Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 117

KAJIAN PENGERING ROTARI TIPE CO-CURRENT

UNTUK PENGERINGAN SAWUT UBIJALAR

HENDRI SYAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Kajian Pengering Rotari Tipe Co-
Current untuk Pengeringan Sawut Ubijalar” adalah karya sendiri dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka pada bagian
akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2008

Hendri Syah
NIM F151050041
ABSTRACT

HENDRI SYAH. Study on Co-Current Rotary Dryer for Sweet Potato Grates.
Under supervision of I WAYAN BUDIASTRA, SUROSO, and LEOPOLD
OSCAR NELWAN.

Rotary drying is a very complicated process that implies not only thermal
drying but also movement of wet material within the dryer. The objective of this
research were to evaluate performance of rotary dryer, to identify amount of
energy consumption which are used during the drying process, to develop model
of rotary drying and to identify drying cost per kg of sweet potato grates. Drying
characterisctics of product need to be established because of important
information for the design, prediction, and modelling. The model of rotary drying
was constructed based on energy and mass balance. The differential equations
were solved by simultaneous-numerically. This model applied to predict
temperature dryer chamber, temperature product, moisture content and RH.
The result showed that the performance of rotary dryer depends on feed rate
sweet potato grates into drying chamber. High feed rate could decrease
temperature in drying chamber. The residence time of all experiments were 18
minutes. Hold-up of all experiments in this study were relatively low that ranges
9-36 kg. The specific energy consumption in all of the experiments was between
5.51-14.26 MJ/kg H2O. The high feed rate (3 kg/1 min) had the lowest specific
energy consumption. Conversely, the lowest feed rate (3 kg/4 min) had the highest
specific energy consumption for all experiments. The high total efficiency could
be found from high feed rate, the feed rate (3 kg/1 min) is highest total efficiency
for all experiments. The model can be used to obtain temperature profiles of air
and the product in dryer chamber. Using the model, change of air temperature and
product during drying were successfully predicted. Coefficient of determination
(COD) between measured and calculated ranges 0.819-0.992, respectively.
However, the model could not predict moisture content and RH accurately. The
drying cost of grates is Rp 1 494 per kg wet grates. It is relatively expensive for
drying.

Key words : co-current rotary dyer, specific energy consumption, feed rate,
efficiecy
RINGKASAN

HENDRI SYAH. Kajian Pengering Rotari Tipe Co-current untuk Pengeringan


Sawut Ubijalar. Dibawah bimbingan I WAYAN BUDIASTRA, SUROSO, dan
LEOPOLD OSCAR NELWAN.

Pengeringan sawut merupakan salah satu rantai pengolahan tepung ubijalar


yang kritis karena proses ini sangat mempengaruhi mutu dan daya guna untuk
pengolahan selanjutnya serta penyimpanan. Pengering tipe kontinyu merupakan
pengering buatan yang sesuai digunakan untuk kebutuhan industri pengolahan
tepung yang menekankan kepada kualitas, kuantitas, dan kontinuitas produksi.
Dalam kajian ini digunakan pengering rotari tipe co-current sebagai alternatif
pengering tipe kotinyu untuk pengeringan sawut ubijalar. Pengering dengan
kapasitas yang besar akan banyak menghadapi berbagai masalah seperti kinerja,
konsumsi energi, serta biaya yang dikeluarkan untuk pengeringan. Pengunaan
model matematik diperlukan untuk menduga distribusi suhu udara, suhu bahan,
kadar air dan RH di dalam ruang pengering yang sulit diukur secara langsung.
Secara garis besar penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kinerja dan
menentukan konsumsi energi pengering rotari untuk pengeringan sawut ubijalar,
mengembangkan model matematika pengering rotari dan melakukan simulasi
serta menentukan biaya pokok pengeringan sawut ubijalar.
Penelitian ini didahului dengan pengukuran sifat termofisik dari sawut
ubijalar sebagai parameter pengeringan. Penentuan kadar air keseimbangan (Me)
dan konstanta pengeringan (k) menggunakan pengeringan lapisan tipis sedangkan
perhitungannya dipecahkan menggunakan metode non linear least square. Uji
kinerja pengering rotari didahului dengan menguji suhu inlet dan ruang pengering
tanpa menggunakan kontrol suhu dan tanpa beban. Pengujian selanjutnya adalah
mengunakan kontrol suhu yang terbagi dua pengujian yaitu pengujian tanpa beban
dan menggunakan beban (pengeringan sawut ubijalar). Pengujian tersebut diiringi
dengan pengukuran laju konsumsi bahan bakar, listrik, dan parameter pengeringan
lain untuk menghitung konsumsi energi. Pengujian dengan menggunakan kontrol
suhu dan beban dibagi menjadi 4 percobaan berdasarkan laju pengumpanan sawut
yaitu 3 kg/1 menit, 3 kg/2 menit, 3 kg/3 menit, dan 3 kg/4 menit. Model
matematik pengering rotari dibagun dengan acuan keseimbangan massa dan
energi, persamaan diferensial diselesaikan secara numerik dengan metode beda
hingga Euler secara simultan. Biaya pokok pengeringan setiap percobaan
didasarkan kepada biaya tetap dan biaya tidak tetap.
Pada penelitian ini waktu tinggal (waktu pengeringan) semua percobaan
adalah sama sebesar 18 menit, dengan hold-up berkisar antara 9-36 kg sawut. Laju
pengumpanan sawut ke ruang pengering menyebabkan penurunan suhu di ruang
pengering. Semakin besar laju pengumpanan maka semakin besar juga penurunan
suhunya dan sebaliknya. Kadar air sawut kering rata-rata yang diperoleh pada
percobaan I, II, III, dan IV masing-masing 64.98, 36.23, 19.29, dan 9.01%bk.
Semakin kecil laju pengumpanan maka semakin rendah kadar air sawut kering
yang dihasilkan.
Konsumsi minyak tanah pada semua percobaan berkisar antara 0.183-0.207
lt/menit, lebih rendah daripada konsumsi minyak tanah tanpa kontrol suhu yaitu
sebesar 0.256 lt/menit. Konsumsi energi spesifik merupakan total jumlah energi
per jumlah air yang diuapkan selama proses pengeringan, Konsumsi energi
terendah dihasilkan dari laju pengumpanan yang tinggi (3 kg/1 menit) sebesar
5.09 MJ/kg H2O. Efisiensi total tertinggi juga dihasilkan dari percobaan dengan
laju pengumpanan yang tinggi yaitu 43.91%. Kebalikannya, percobaan dengan
laju pengumpanan yang rendah (3 kg/4 menit) memiliki mutu fisik sawut kering
yang paling baik dengan kadar air rata-rata 8.26%bb dan nilai L sebesar 82.76.
Model matematik dapat digunakan untuk memprediksi suhu ruang pengering,
hal ini terlihat dari nilai Coefficient of Determination (COD) berkisar antara
0.819-0.992. Demikian pula dengan suhu sawut juga dapat diduga profil suhunya,
dimana error yang dihasilkan cukup rendah berkisar antara 0.6-1.3 oC. Tetapi,
model tidak dapat menduga distribusi kadar air dan RH secara akurat.
Biaya pokok pengeringan yang diperoleh sebesar Rp 1 494/kg sawut basah
atau Rp 4 747/kg sawut kering. Ini merupakan biaya pokok pengeringan yang
ideal karena sawut yang dihasilkan sudah kering atau kadar airnya rendah.

Kata kunci: pengering rotari tipe co-current, sawut, laju pengumpanan, kinerja,
konsumsi energi spesifik, Coefficient of Determination.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008
Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumber :
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KAJIAN PENGERING ROTARI TIPE CO-CURRENT
UNTUK PENGERINGAN SAWUT UBIJALAR

HENDRI SYAH

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Departemen Ilmu Keteknikan Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si
Judul Tesis : Kajian Pengering Rotari Tipe Co-Current untuk Pengeringan
Sawut Ubijalar
Nama : Hendri Syah
NIM : F151050041

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr


Ketua

Dr. Ir. Suroso, M.Agr Dr. Ir. Leopold Oscar Nelwan, M.Si
Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Keteknikan Pertanian

Prof.Dr.Ir.Armansyah H Tambunan Prof.Dr.Ir Khairil Anwar Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Judul dari tesis ini ialah “Kajian Pengering
Rotari Tipe Co-Current untuk Pengeringan Sawut Ubijalar ”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr selaku
ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Suroso, M.Agr dan Dr. Ir. Leopold Oscar
Nelwan, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan saran dan
kontribusi yang sangat berharga terhadap tesis ini. Disamping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada Program kemitraan Agro-Machinery Industrial Interface
Unit (AMIn unit) Departemen TEP dan Program RUSNAS Diversifikasi Pangan
Departemen ITP IPB yang telah membantu penelitian ini, Bapak Pen Supendi dan
Bapak Edi di KUD Jasa Mukti Cibungbulang Bogor, Bapak Harto, Mas Firman,
dan Mas Darma di Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian Departemen
TEP IPB atas bantuan dan dukungan tempat dan peralatan penelitian, serta kepada
teman-teman seangkatan S2 TEP 2005 dan S2 TPP 2006 atas kebersamaan dan
persahabatan.
Ungkapan rasa terima kasih yang mendalam disampaikan kepada ayahanda
(Abdullah Y), ibunda tercinta (Sitti Hasanah), serta seluruh keluarga, atas segala doa
dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2008

Hendri Syah
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tapaktuan (Aceh Selatan), 5 April 1977. Penulis


merupakan putra kedua dari pasangan Abdullah Y dan Sitti Hasanah.
Pada tahun 1995, penulis diterima sebagai mahasiswa di Jurusan Teknik
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB melalui jalur USMI dan lulus tahun
1999. Pada tahun 2005, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana
IPB pada Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian dengan beasiswa dari
Departemen Pendidikan Nasional, Dirjen Pendidikan Tinggi melalui BPPS.
Penulis bekerja sebagai dosen tetap sejak tahun 2002 di Universitas Syiah
Kuala, Fakultas Pertanian, Jurusan Teknik Pertanian.
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ......................... ............................................................................. i
DAFTAR TABEL ................. ............................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR ............ ............................................................................. iii
DAFTAR LAMPIRAN ......... ............................................................................. v
DAFTAR SIMBOL............... ............................................................................. vi

PENDAHULUAN.............................................................................................. 1
Latar Belakang .............................................................................................. 1
Tujuan ........................................................................................................... 3

TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 4


Ubijalar.......................................................................................................... 4
Mekanisme Pengeringan ............................................................................... 6
Termofisik Udara Pengering ......................................................................... 8
Kadar Air Keseimbangan (Me) dan Konstanta Pengeringan (k) .................. 9
Pengering Rotari (Rotary Dryer) .................................................................. 11

PENDEKATAN TEORI ................................................................................... 15


Sistem Pengering Rotari................................................................................ 15
Kebutuhan Energi dan Efisiensi Pengering Rotari ....................................... 18
Model Fisik Pengering Rotari ....................................................................... 20

METODOLOGI PENELITIAN ...................................................................... 23


Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................................... 23
Bahan dan Alat .............................................................................................. 23
Deskripsi dan Spesifikasi Pengering Rotari .................................................. 23
Metode Penelitian ......................................................................................... 27
Simulasi Model dan Validasi ........................................................................ 33

HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 35


Sifat Termofisik ............................................................................................ 35
Suhu dan RH Lingkungan ............................................................................. 41
Performansi Pengering Rotari ....................................................................... 43
Kebutuhan Energi Pengering Rotari ............................................................. 59
Mutu Pengeringan ......................................................................................... 64
Validasi Model .............................................................................................. 65
Biaya Pokok Pengeringan ............................................................................. 73

SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................... 76


DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 77
LAMPIRAN ....................................................................................................... 81
DAFTAR TABEL

Halaman
1. Sifat fisik ubijalar berdasarkan varietas (Hilman 2005) ............................... 5
2. Mutu Ubijalar (SNI 01- 4493-1998) ............................................................. 5
3. Perbandingan antara pengering rotari dengan pengering pesaingnya
(Mujumdar dan Devastin 2001) .................................................................... 13
4. Spesifikasi silinder dan flight ........................................................................ 24
5. Bagian dan spesifikasi dari penukar panas.................................................... 26
6. Perlakuan pengumpanan bahan ..................................................................... 31
7. Neraca massa ubijalar pra pengeringan......................................................... 37
8. Nilai Me, k, dan faktor bentuk (A) hasil perhitungan ................................... 39
9. Laju aliran massa udara pada burner ............................................................ 44
10. Efisiensi tungku............................................................................................. 44
11. Analisis dan kinerja penukar panas ............................................................... 46
12. Perhitungan penurunan tekanan pada penukar panas.................................... 47
13. Waktu operasi pengeringan dan waktu tinggal ............................................ 57
14. Laju aliran massa rata-rata uap air dan padatan ............................................ 59
15. Konsumsi minyak tanah ................................................................................ 60
16. Pemanfatan energi untuk pengeringan sawut ubijalar .................................. 61
17. Konsumsi energi dan efisiensi pengering rotari ............................................ 63
18. Mutu fisik sawut kering ................................................................................ 64
19. Berat sawut kering dan susut ........................................................................ 64
20. Faktor koreksi yang digunakan pada model ................................................. 71
21. Komponen biaya tidak tetap (Rp/kg sawut basah)........................................ 73
DAFTAR GAMBAR

Halaman
1. Ubijalar (Ipomoea batatas L.) ....................................................................... 4
2. Diagram alir pengolahan ubijalar (Widowati et al. 2000) ............................ 6
3. Kurva karakteristik pengeringan ................................................................... 7
4. Proses pengeringan dalam grafik psikrometrik ............................................. 8
5. Aliran bahan dan udara pada pengering rotari tipe co-current (Barr-Rosin
1996) ............................................................................................................ 12
6. Perubahan suhu udara dan bahan pada pengering rotari tipe co-current
(Barr-Rossin 1996) ....................................................................................... 12
7. Sistem pengering rotari ................................................................................ 15
8. Susunan pipa penukar panas (Staggered arrangement) ................................ 18
9. Grafik faktor f dan x (Zukauskas 1985 dalam Cengel 2003) ........................ 18
10. Model fisik pengering rotari.......................................................................... 20
11. Volume Kendali ............................................................................................ 20
12. Silinder (a) dan Flight (b) ............................................................................. 24
13. Motor penggerak (a) dan burner pada tungku (b)......................................... 25
14. Penukar panas (a) dan kipas (b) .................................................................... 27
15. Diagram alir pengeringan lapisan tipis sawut ubijalar .................................. 28
16. Algoritma perhitungan A, k, dan Me (Abdullah et al. 2007) ...................... 29
17. Proses penyawutan (a) dan penirisan (b) ...................................................... 30
18. Diagram alir proses pengeringan sawut ubijalar ........................................... 31
19. Pengukuran suhu: (a) sawut, (b) ruang pengering, dan (c) pembakaran ....... 33
20. Densitas curah sawut ubijalar........................................................................ 36
21. Penurunan kadar air sawut ubijalar pada pengeringan lapisan tipis ............. 39
22. Hubungan antara suhu absolut dengan konstanta pengeringan..................... 40
23. Suhu dan RH lingkungan setiap percobaan: (a) percobaan I,
(b) percobaan II, (c) percobaan III dan (d) percobaan IV ............................ 42
24. Suhu, RH dan H rata-rata lingkungan selama proses pengeringan ............... 43
25. Suhu pembakaran dalam tungku ................................................................... 45
26. Suhu inlet tanpa kontrol suhu........................................................................ 49
27. Suhu ruang pengering tanpa kontrol suhu..................................................... 50
28. Suhu rata-rata sepanjang silinder (tanpa kontrol) ......................................... 51
29. Suhu inlet dan ruang pengering dengan kontrol suhu dan tanpa beban ....... 52
30. Suhu rata-rata sepanjang silinder (kontrol suhu dan tanpa beban) ............... 53
31. Profil suhu ruang pengering pada pengumpanan 3 kg/2 menit ..................... 54
32. Profil suhu ruang pengering pada pengumpanan 3 kg/4 menit ..................... 55
33. Kadar air awal dan akhir sawut ..................................................................... 58
34. Konsumsi energi spesifik .............................................................................. 62
35. Suhu ruang pengering (model dan pengukuran) pada pengumpanan
3 kg/1 menit .................................................................................................. 66
36. Suhu ruang pengering (model dan pengukuran) pada pengumpanan
3 kg/2 menit .................................................................................................. 66
37. Suhu ruang pengering (model dan pengukuran) pada pengumpanan
3 kg/3 menit .................................................................................................. 67
38. Suhu ruang pengering (model dan pengukuran) pada pengumpanan
3 kg/4 menit .................................................................................................. 67
39. Pengukuan suhu sawut pada bagian outlet a) laju pengumpanan 3 kg/3
menit dan b) laju pengumpanan 3 kg/4 menit ............................................... 69
40. Suhu sawut hasil simulasi ............................................................................. 69
41. Hasil simulasi penurunan kadar air setiap pengumpanan (faktor koreksi) ... 72
42. Biaya pokok pengeringan sawut ubijalar ...................................................... 75
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1. Gambar pengering rotari tipe co-current ...................................................... 81
2. Penukar panas (Heat Exchanger) .................................................................. 82
3. Mesin penyawut mekanis .............................................................................. 83
4. Data warna umbi ubijalar .............................................................................. 84
5. Data hasil pengukuran penurunan kadar air pada pengeringan lapisan
tipis sawut ubijalar ........................................................................................ 85
6. Sifat termofisik udara lingkungan tiap percobaan ........................................ 86
7. Suhu pembakaran di dalam tungku ............................................................... 87
8. Perhitungan penurunan tekanan .................................................................... 89
9. Suhu inlet dan ruang pengering dengan kontrol suhu dan tanpa beban
(pengujian I) .................................................................................................. 91
10. Grafik suhu ruang pengering pada pengumpanan 3 kg/1 menit (a) dan
Pengumpanan 3 kg/3 menit (b) ..................................................................... 93
11. Fluktuasi RH pada outlet............................................................................... 94
12. Grafik kecepatan udara dalam ruang pengering............................................ 95
13. Hasil pengukuran kadar air umbi dan sawut ubijalar .................................... 96
14. Data warna sawut kering ............................................................................... 97
15. Tampilan hasil simulasi ................................................................................ 98
16. Asumsi-asumsi perhitungan biaya pokok pengeringan ................................ 99
DAFTAR SIMBOL

Simbol

A Luas permukaan panas (m2)


AL Luas penampang saluran (m2)
Cpu Panas spesifik udara (kJkg-1 oC-1)
Cpp Panas spesifik sawut (kJkg-1 oC-1)
Cpl Panas spesifik uap air (kJkg-1 oC-1)
Cpw Panas spesifik air (kJkg-1 oC-1)
c1 dan c2 Konstanta pada persamaan Arhenius.
D Diameter saluran (m)
f Faktor gesekan
Gu Debit udara (m3/s)
hf Nilai kalor bahan bakar (kJ/kg)
hfg Panas laten penguapan air (kJ/kg)
hcv Koefisien perpidahan panas volumetrik (W/oCm3)
H Kelembaban mutlak (kg H20)/kg udara kering)
k Konstanta pengeringan (s-1)
L Panjang silinder (m)
Lu Panas laten uap air (kJ/kg)
Lp Panas laten produk (kJ/kg)
LMTD Logarithmic Mean temperature Difference
muap Massa uap air (kg H2O)
Me Kadar air keseimbangan (%bk)
M Kadar air bahan (%bk)
m Kadar air bahan (%bb)
NL Jumlah tube dalam shell secara tranversal (unit)
N Jumlah tube pada penukar panas
n Parameter pengeringan pada persamaan Page
P Tekanan udara (Pa)
Pv Tekanan uap air (Pa)
Ps Tekanan uap air jenuh (Pa)
Qu Panas untuk menguapkan air pada produk (J)
Qp Panas untuk memanaskan produk (J)
Qd Panas untuk pengeringan (J)
Qt Panas total (J)
Qm Energi mekanik (J)
Q Laju aliran udara (m3/s m2)
Re Bilangan reynold
ST Jarak antar tube pada penukar panas (m)
S1,2,..n Volume kendali pada model fisik pengering rotari
Tu Suhu udara pengering (oC)
Tp Suhu sawut (oC)
Ts Suhu pembakaran (oC)
Ta Suhu lingkungan (oC)
tr Waktu tinggal (s)
U Koefisien perpindahan panas konveksi menyeluruh (W/oCm2)
ΔP Penurunan tekanan (Pa)
ρu Kerapatan udara (kg/m3)
ε Faktor kekasaran pipa (mm)
υ Kecepatan udara (m/s)

mu Laju aliran massa udara (kg/s)

m uk Laju aliran massa udara kering (kg/s)

mp Laju aliran massa produk (kg/s)

m pd Laju aliran massa padatan (kg/s)

mf Laju aliran massa bahan bakar (kg/s)
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Ketergantungan terigu sebagai sumber karbohidrat non beras dan bahan
baku produk pangan olahan oleh masyarakat dan industri pangan cukup tinggi.
Hal ini sangat rawan karena jumlah penduduk Indonesia terus meningkat,
sedangkan gandum sebagai bahan baku terigu merupakan komoditas impor yang
hampir tidak diproduksi di dalam negeri. Harga jual tepung terigu mengikuti
harga jual gandum di pasar internasional yang sangat berfluktuatif. Asosiasi
Produsen Tepung Terigu Indonesia (APTINDO) mencatat pertengahan Mei 2006,
harga gandum dunia mencapai angka tertinggi dalam 4 tahun terakhir sebesar
US$ 201 per ton. Naiknya harga dan ketergantungan terhadap impor merupakan
ancaman bagi ketahanan pangan nasional. Diversifikasi pangan yang berbasis
pada potensi lokal dapat dilakukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap
terigu.
Ubijalar merupakan salah satu produk pangan lokal yang potensial dan
prospektif untuk dikembangkan sebagai produk diversifikasi pangan. Kelebihan
ubijalar adalah memiliki kandungan karbohidrat dan kalsium cukup tinggi, umur
panen relatif pendek 3-4 bulan serta produktifitas 10-30 ton/hektar. Di Indonesia
ubijalar termasuk palawija terpenting ke-3 setelah jagung dan singkong (Widowati
et al. 2002). Ubijalar juga dapat diolah menjadi beranekaragam produk dan bahan
baku industri seperti pati, tepung, saos dan alkohol. Menurut Sarwono (2005),
subtitusi terigu dengan tepung ubijalar pada industri makanan olahan akan
mengurangi penggunaan terigu 1.4 juta ton per tahun, disamping dapat
menghemat penggunaan gula hingga 20%.
Permintaan ubijalar dari sektor industri mengalami pertumbuhan positif
sebesar 30.4% per tahun. Meningkatnya permintaan tersebut, mengindikasikan
bahwa permintaan ubijalar untuk industri pengolahan semakin meningkat, sejalan
dengan tumbuh dan berkembangnya industri olahan. (Hafsah 2004). Ironisnya,
produksi ubijalar di Indonesia belum mengembirakan, dimana produksinya
cenderung menurun dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari BPS (2007),
produksi ubijalar pada tahun 2004 tercatat sebesar 1 901 802 ton menurun
menjadi 1 856 969 ton pada tahun 2005. Pada tahun 2006, penurunan produksi
ubijalar relatif kecil dengan produksi sebesar 1 854 238 ton.
Salah satu rantai pengolahan tepung ubijalar yang kritis adalah pengeringan.
Hal ini dikarenakan proses pengeringan sangat mempengaruhi mutu dan daya
guna untuk pengolahan selanjutnya serta penyimpanan. Oleh karena itu
dibutuhkan metode pengeringan sawut ubijalar yang sesuai dengan kebutuhan
industri pengolahan yaitu kualitas, kuantitas, dan kontinuitas produksi.
Pengeringan sawut ubijalar dengan penjemuran memiliki banyak kendala
walaupun biaya operasionalnya cukup murah. Kendala yang dihadapi adalah
cuaca yang berubah setiap waktu sehingga menyebabkan suhu dan kelembaban
relatif (RH) udara berfluktuatif. Kendala yang lain adalah dibutuhkan lahan yang
luas, proses pengadukan, serta bahan terkontaminasi dengan debu. Pengeringan
sawut dengan pengering buatan tipe batch seperti tray dryer, ERK (efek rumah
kaca) dan sebagainya dirasa tidak sesuai lagi untuk bahan baku industri tepung
karena kapasitas pengering yang terbatas walaupun mutu sawut kering dapat
dijaga. Alternatif pengering buatan yang cocok untuk proses pengeringan sawut
ubijalar adalah pengering tipe kontinyu.
Pengering rotari (Rotary dryer) merupakan salah satu pengering tipe
kontinyu. Menurut Mujumdar (2001), pengering rotari adalah pengering kontak
langsung yang beroperasi secara kontinyu dan terdiri dari cangkang silinder yang
berputar perlahan serta biasanya dimiringkan beberapa derajat dari bidang
horizontal untuk membantu perpindahan umpan basah yang dimasukan pada
ujung atas silinder. Dalam perkembangannya, penggunaan pengering rotari tidak
hanya digunakan untuk mengeringkan bahan mineral dan limbah tapi juga
digunakan untuk mengeringkan bahan pertanian. Alvarez dan Shene (1994)
melakukan penelitian tentang kajian eksperimental residence time pada sebuah
pengering rotari, dimana bahan yang digunakan untuk pengeringan adalah tepung
ikan, tepung kedelai, serbuk gergaji dan pasir. Variabel yang diukur adalah
kecepatan rotasi dan laju pengumpanan bahan.
Pengering rotari merupakan pengering berkapasitas besar. Masalah yang
akan timbul pada pengering dengan kapasitas besar adalah kinerja pengering serta
konsumsi energi yang besar, serta biaya pengeringan yang dikeluarkan juga lebih
besar. Untuk itu diperlukan pengujian dan perhitungan biaya pokok pengeringan
agar masalah yang akan dihadapi dapat ditangani.
Penyusunan model dan simulasi merupakan bagian penting dalam
mendesain proses. Pemodelan yang dimaksudkan untuk meniru suatu sistem
sebenarnya dalam bentuk hubungan matematis (Stoecker 1971). Pengembangan
model matematis untuk menerangkan proses pengeringan merupakan topik yang
telah banyak diteliti selama beberapa dekade. Sekarang ini, lebih banyak model
pengeringan tersedia yang terdiri dari kira-kira tiga aspek utama dari sebuah
model yaitu sifat termofisik, kinetika pengeringan, dan keseimbangan massa dan
energi. Model pengeringan keseluruhan terdiri dari keseimbangan massa dan
energi di dalam pengering yang dikombinasikan dengan model kinetika pengering
dan termofisik yang cocok (Kouris et al. 1996). Distribusi suhu udara, bahan,
kadar air dan RH di dalam pengering rotari sulit diukur secara langsung, maka
diperlukan model matematis untuk menduganya.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengevaluasi kinerja dan menentukan konsumsi energi pengering rotari untuk
pengeringan sawut ubijalar.
2. Mengembangkan model matematika pengering rotari dan melakukan simulasi
pengeringan sawut ubijalar.
3. Menentukan biaya pokok pengeringan sawut ubijalar.
TINJAUAN PUSTAKA

Ubijalar (Ipomoea batatas L.)


Ubijalar merupakan salah satu komoditas utama yang mempunyai daya
adaptasi yang luas, sehingga dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di
seluruh nusantara. Komoditas ini merupakan tanaman umbi-umbian penting ke-2
setelah ubikayu yang mempunyai manfaat beragam (Hafsah 2004). Menurut
Sarwono (2005), ubijalar dapat dibudidayakan di berbagai tempat, baik di dataran
rendah (0 m dpl) maupun di dataran tinggi (1700 m dpl). Daerah yang paling ideal
untuk mengembangkan ubijalar yaitu daerah yang bersuhu 21-27 oC, kelembaban
udara 50-60%, mendapatkan sinar matahari 11-12 jam per hari, dan curah hujan
750-1500 mm per tahun. Klasifikasi lengkap taksonomi tanaman ubijalar adalah
sebagai berikut.
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Tubiflorae
Famili : Convolvulaceae
Genus : Ipomoea
Species : Ipomoea batatas L.

Gambar 1. Ubijalar (Ipomoea batatas L.)

Ubijalar dapat dipanen jika umbi sudah tua dan besar, secara fisik ubijalar
siap dipanen apabila daun dan batang mulai menguning. Di dataran rendah,
ubijalar umumnya dipanen pada umur 3.5-5 bulan. Sedangkan di dataran tinggi
ubijalar dipanen pada umur 5-8 bulan (Hilman 2005). Ubijalar yang siap dipanen
dan ubijalar setelah dibersihkan dapat dilihat pada Gambar 1.
Sifat fisik ubijalar seperti bentuk, warna kulit dan daging, kandungan bahan
kering serta kandungan pati bervariasi setiap varietas. Sifat fisik ubijalar
berdasarkan varietas dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Sifat fisik ubijalar berdasarkan varietas (Hilman 2005)


Warna Kandungan (%)
Varietas Bentuk umbi Padatan
Kulit Daging Pati
kering
Sari bulat telur merah kuning 28 32
Sukuh elip membulat kuning putih 35 31
Boko elip memanjang merah krem 32 32
Jago bulat putih kuning muda 33 31
Kidal bulat merah kuning tua 31 32.85

Menurut Badan Standardisasi Nasional (1998), Mutu ubijalar dapat dilihat


dari keseragaman bentuk dan berat umbi. Keseragaman bentuk umbi adalah
keseragaman ratio panjang (P)/lebar (L) dari ubijalar, seperti bulat (P/L berkisar
1-1.5), elip (P/L berkisar 1.6-2.0), panjang (P/L > 2.0) sesuai dengan varietasnya.
Keseragaman berat umbi adalah keseragaman sesuai dengan tiga macam
penggolongan berat yaitu: golongan A (berat > 200 gram per umbi), golongan B
(berat 100-200 gram per umbi), dan golongan C (berat < 100 gram per umbi),
toleransi di atas dan di bawah ukuran berat masing-masing 5% (biji) maksimum.
Mutu ubijalar dapat digolongkan menjadi 3 golongan mutu berdasarkan
komponen mutu. Penggolongan mutu ubijalar dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Mutu Ubijalar (SNI 01-4493-1998)


Mutu
No Komponen Mutu
I II III
1 Berat umbi (gram/umbi) > 200 100-200 75-100
2 Umbi cacat (per 50 biji) maks tidak ada 3 biji 5 biji
3 Kadar air (% bb min) 65 60 60
4 Kadar serat (% bb maks) 2 2.5 > 3.0
5 Kadar pati (%bb min) 30 25 25

Pengolahan ubijalar segar menjadi produk setengah jadi sangat penting guna
pengamanan ubijalar segar yang tidak tahan disimpan. Widowati et al. (2002)
menyebutkan proses pembuatan ubijalar menjadi tepung didahului oleh proses
pengupasan dan pencucian, kemudian ubijalar disawut atau dirajang tipis. Sawut
basah direndam dalam sodium bisulfit 0.3% selama ± 1 jam lalu dipress,
diremahkan, dan kemudian dikeringkan sampai kadar air 12-14%. Sawut ubijalar
kering dapat langsung ditepungkan atau disimpan pada kemasan yang kedap udara.
Agar lebih efisien, penepungan dilakukan dua tahap yaitu penghancuran sawut
untuk menghasilkan butiran kecil (lolos 20 mesh), dan penggilingan/penepungan
dengan saringan lebih halus (80 mesh). Diagram alir pengolahan ubijalar menjadi
tepung dan pati dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram alir pengolahan ubijalar (Harnowo et al. 1994)

Mekanisme Pengeringan

Menurut Mujumdar dan Devastin (2001), pengeringan adalah operasi yang


rumit yang meliputi perpindahan panas dan massa secara transien serta beberapa
laju proses, seperti transformasi fisik atau mekanisme perpindahan panas dan
massa. Pergerakan air di dalam padatan dapat terjadi melalui salah satu atau lebih
dari mekanisme pindah massa berikut; 1) Difusi cairan, jika padatan basah berada
pada suhu di bawah titik didih cairan tersebut, 2) Difusi uap, jika cairan tersebut
menguap dalam bahan, 3) Difusi Knudsen, jika pengeringan berlangsung pada
suhu dan tekanan sangat rendah, misal pada pengeringan beku, 4) Difusi
permukaan (mungkin terjadi, meskipun belum terbukti), 5) Beda tekanan
hidrostatik, jika laju penguapan internal melampaui laju pergerakan uap melalui
padatan ke lingkungan sekitar, 6) Kombinasi dari mekanisme di atas.

Pengeringan lapisan tipis merupakan pengeringan yang seluruh bahan


terkena udara pengering. Proses pengeringan lapisan tipis dibagi menjadi dua
periode yaitu periode laju pengeringan tetap dan periode laju pengeringan
menurun (Henderson et al. 1997). Grafik laju pengeringan dapat dilihat pada
Gambar 3.

Gambar 3. Grafik laju pengeringan

Periode laju pengeringan tetap ditandai oleh kecepatan pengeringan yang


tidak tergantung pada bahan. Selama periode ini, permukaan bahan begitu basah
sehingga seluruh permukaan ditutupi oleh film air yang kontinyu (Sagara 1990).
Pengurangan kadar air yang signifikan akan terjadi pada laju pengeringan konstan
dan pada temperatur yang tetap. Dalam kebanyakan situasi, laju pengeringan
konstan akan berhenti pada kadar air kritis (Heldman & Singh 1993). Laju
pengeringan menurun meliputi dua proses yaitu pergerakan air di dalam bahan ke
permukaan dan pengeluaran air dari permukaan (Henderson et al. 1997). Menurut
Sharma et al. (2000), produk pangan higroskopis memiliki dua periode laju
pengeringan menurun. Periode laju pengeringan menurun pertama terjadi pada
kondisi dimana seluruh permukaan film sudah diuapkan semua dan laju
pengeringan dikendalikan oleh laju pergerakan air melewati padatan. Periode laju
pengeringan menurun kedua menjelaskan kondisi dimana laju pengeringan
sebagian besar dikendalikan oleh pergerakan air di dalam padatan dan bebas dari
kondisi luar dari padatan. Pergerakan air dapat terjadi oleh kombinasi dari faktor-
faktor seperti difusi cairan, pergerakan kapiler, dan difusi uap.

Psikrometri Udara Pengering

Udara pada atmosfir normal merupakan campuran udara kering dan uap air.
Sifat-sifat fisik dan panas udara atmosfir disajikan dengan sebuah grafik yaitu
psikrometrik (Henderson & Perry 1976). Proses pengeringan di dalam grafik
psikrometrik dapat dilihat pada Gambar 4. Parameter yang digunakan pada proses
pengeringan adalah suhu bola kering, suhu bola basah, kelembaban relatif,
kelembaban absolut, volume spesifik, dan entalpi.

Gambar 4. Proses pengeringan dalam grafik psikrometrik

Proses pemanasan udara menyebabkan peningkatan suhu udara, selama


proses pemanasan berlangsung tidak ada perubahan pada kelembaban mutlak (H).
Menurut Heldman dan Singh (1993), selama proses adiabatik, suhu bola kering
menurun dan entalpi tetap konstan. Udara pengering memperoleh uap air dari
produk sehingga kelembaban mutlak meningkat.
Kelembaban mutlak didefinisikan sebagai massa uap air per massa udara
kering. Persamaannya (Singh & Heldman 1993) :

Pv
H = 0.622 ....................................................................................1)
P − Pv

Dimana Pv didefinisikan secara empiris (ASAE 1994)

Pv A + BT + CT 2 + DT 3 + ET 4
ln = .....................................................2)
R FT − GT 2

Dimana ; R = 22105649.25, A = -27405.526, B = 97.5413, C = -0.146244, D =


0.12558 x 10-3, E = -0.48502 x 10-7, F = 4.34903, G = 0.39381 x 10-2

Kadar air keseimbangan (Me) dan Konstanta Pengeringan (k)

Menurut Somantri (2003), kadar air keseimbangan didefinisikan sebagai


kandungan air pada bahan yang seimbang dengan kandungan uap air udara
sekitarnya. Hal tersebut merupakan satu faktor yang menentukan sampai seberapa
jauh suatu bahan dapat dikeringkan pada kondisi lingkungan tertentu (aktivitas air
tertentu).

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kadar air keseimbangan adalah


kecepatan udara pengering, suhu udara, kelembaban relatif udara, dan kematangan
bahan. Kadar air keseimbangan dibedakan menjadi dua yaitu kadar air
keseimbangan dinamis dan kadar keseimbangan statis. Kadar air keseimbangan
statis didapat dari sistem dengan bahan dan udara pengering dalam keadaan diam.
Sedangkan, kadar air keseimbangan dinamis diperoleh dari sistem dengan bahan
dan/atau udara pengering dalam keadaan bergerak (Hall 1957).

Persamaan Lewis (Lewis 1921 dalam Tan et al. 2001) digunakan untuk
menerangkan laju pengeringan pada bahan solid :

MR = exp (−kt ) ........................................................................................3)

(M − M e )
MR = ....................................................................................4)
(M 0 − M e )

Modifikasi persamaan Page (Page 1949; Overhults et al. 1973) dalam Tan et
al. (2001) diperoleh persamaan berikut :
MR = exp (−kt ) n ......................................................................................5)

Henderson dan Perry (1976), menyatakan bahwa nilai k hanya dipengraruhi


oleh suhu udara pengering. Penentuan nilai k dilakukan dengan asumsi bahwa
perubahan suhu bahan terhadap waktu dan suhu udara pengering adalah
eksponensial. Untuk menduga nilai k, model yang digunakan mengikuti
persamaan Arhenius :

⎛−c ⎞
k = c1 exp⎜ 2 ⎟ ………………...........................................…....……..6)
⎝ T ⎠

Tan et al. (2001) melakukan penelitian pengeringan lapisan tipis (thin-layer


drying) untuk chips dan sawut ubijalar, dimana hanya dua parameter yang
digunakan sebagai parameter percobaan yaitu temperatur dan laju aliran udara.
Persamaan yang digunakan adalah modifikasi persamaan Page.

Hasil dari analisis regresi diperoleh:

Chips ubijalar:

k = −0.001404 + 0.000088T + 0.0000156QT 2 .........................................7)

n = 1.178382 − 0.004342T − 6.036700Q 2 + 0.0000554T 2 ......................8)

Sawut ubijalar:

k = 0.000331 + 0.017321Q 2T + 0.000541Q 2T 2 .......................................9)

n = 1.210810 + 4.580319Q 2 − 0.487037Q 2T + 0.0040356Q 2T 2 ...........10)

Persamaan 6) sampai 9) diaplikasikan pada temperatur 33-70 oC dan laju


aliran udara antara 0.08-0.145 m3/(s.m2). Nilai k dan n untuk chips ubijalar dan
nilai k untuk sawut ubijalar dipengaruhi oleh temperatur dan laju aliran udara.
Pengering Rotari (Rotary Dryer)

Definisi dan Prinsip Kerja

Pengering rotari merupakan tipe pengering industrial yang umum digunakan.


Pengering rotari biasanya terdiri dari sebuah silinder baja (tromel) yang agak
dimiringkan, dan memiliki diameter 0.3-5 m dan panjang 5-90 m. Bahan
diumpankan dari bagian silinder yang paling tinggi dan bahan bergerak sepanjang
silinder ke ujung lainnya. Pengering rotari ada dua fungsi yaitu pengangkutan
bahan dan pengeringan (Jover & Alastruey 2006)

Pengering rotari secara umum menggunakan flight sepanjang silinder untuk


mengangkat dan membuat bahan tercurah pada bagian pengering. Desain flight
yang baik penting untuk meningkatkan kontak gas dan bahan, hal ini dibutuhkan
untuk pengeringan yang cepat dan seragam (Revol et al. 2001). Menurut
Mujumdar dan Devahastin (2001), bahwa bagian-bagian internal khusus sering
dibutuhkan bagi bahan yang cenderung membentuk gumpalan besar dan harus
dipecahkan untuk menghindari masalah pada tahap akhir pengeringan. Bahan
diangkat ke bagian atas drum oleh pengangkat dan mencurahkannya seperti air
terjun. Proses pindah panas dan massa terutama berlangsung selama
pengangkutan partikel dari atas ke bawah secara gravitasi di dalam drum.

Menurut Kelly (1995), proses-proses yang terjadi di dalam pengering rotari


meliputi gerakan atau perpindahan partikel, perpindahan panas dari udara panas
ke partikel dan perpindahan massa uap air dari dalam partikel ke permukaan yang
kemudian ke udara panas di dalam silinder.

Pengering Rotari Tipe Co-Current

Berdasarkan aliran bahan dan udara pengering, pengering rotari dapat dibagi
menjadi 2 jenis yaitu rotary dryer co-current (aliran bahan searah dengan udara
pengering) dan Rotary dryer counter-current (aliran bahan berlawanan arah
dengan udara pengering). Pengering rotari tipe co-current banyak digunakan
secara luas dan khusus untuk mengeringkan bahan yang mengandung kadar air
yang tinggi serta sensitif terhadap panas dan memiliki kecendrungan lengket.
Ilustrasi aliran bahan dan udara pengering dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Aliran bahan dan udara pada pengering rotari
tipe co-current (Barr-Rosin 1996)

Suhu

Suhu udara
Suhu produk

Waktu

Gambar 6. Perubahan suhu udara dan bahan pada pengering rotari


tipe co-current (Barr-Rosin 1996)

Bahan basah kontak dengan udara yang suhunya tertinggi, kemudian


menguapkan dengan cepat kadar air bebas pada bahan. Laju perpindahan panas
awal yang tinggi (cepat) menyebabkan penurunan suhu udara pengering dengan
segera. Penurunan suhu udara pengering dapat mencegah pemanasan yang
berlebihan pada bahan dan silinder pengering, hal ini dapat dilihat pada Gambar 6.
Produk akhir kontak dengan udara yang suhunya sangat rendah, hal ini
memungkinkan kadar air dikontrol dengan mudah. Pengering rotari tipe co-
current cocok digunakan untuk mengeringkan pupuk, pulp bit gula, batu
bara/arang, posphat, pakan ternak dan lumpur (Barr-Rosin 1996).

Kinerja Pengering Rotari

Perbandingan kinerja pegering rotari dengan pengering lainnya dapat dilihat


pada Tabel 3.
Tabel 3. Perbandingan antara pengering rotari dengan pengering pesaingnya
(Mujumdar & Devastin 2001)
Kriteria Rotary Dryer Flash Konveyor Fluidisasi
Ukuran partikel Kisaran besar Partikel halus 50 µm-10 mm 100-2000 µm
Distribusi ukuran Distribusi Distribusi
Fleksibel Fleksibel
partikel ukuran terbatas ukuran terbatas
Waktu Mencapai 60 Mencapai 120 Mencapai 60
10-30 detik
pengeringan menit menit menit
Luas lantai Besar Panjang besar Besar Kecil
Kebutuhan daya Tinggi Rendah Rendah Sedang
Pemeliharaan Tinggi Sedang Sedang Sedang
Efsiensi energi Sedang Sedang Tinggi Tinggi
Kemudahan
Rendah Sedang Tinggi Tinggi
pengendalian
Kapasitas Tinggi Sedang Sedang Sedang

Efisiensi termal pengering rotari berkisar antara 30-60%. Untuk efisiensi


yang baik, penampung bahan (10-15% volume) harus sedemikian rupa sehingga
menutupi pengambang dan pengangkat secara penuh. Pengangkat harus dirancang
dengan baik untuk mendapatkan aksi cascade yang baik dan mencegah gumpalan
bahan yang besar jatuh dari pengambang. Perbandingan panjang terhadap
diameter antara 4 sampai 10 umum digunakan di industri (Mujumdar &
Devahastin 2001).

Residence Time (Waktu Tinggal) dan Hold-Up

Menurut Jover dan Alastruey (2006), waktu tinggal merupakan sebuah


akibat dari pengangkutan bahan sepanjang pengering dan waktu tinggal
tergantung dari beberapa mekanisme yaitu tingginya bahan pada pengering
(melintang), pergerakan bahan karena aliran udara, bahan meluncur pada dinding
pengering atau bahan yang terkumpul pada bagian bawah pengering dan terakhir,
pergerakan bahan karena tabrakan antar bahan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi waktu tinggal (Liu & Specht 2006) yaitu:
(1) dimensi dari silinder: diameter dan panjang, (2) operasional pengering rotari:
laju pengumpanan, kecepatan putar, dan kemiringan dari silinder (3) sifat bahan:
angle of repose dan (4) geometri dari penghalang yang diinstalasi pada akhir
pengering atau laju bahan keluar dari silinder. Kecepatan putar silinder memiliki
pengaruh yang nyata terhadap waktu tinggal daripada laju pengumpanan,
peningkatan rpm silinder dari 1 rpm menjadi 2.5 rpm menyebabkan waktu tinggal
menurun dengan cepat sebesar 64% dari 50 menit menjadi 18 menit. Sebaliknya,
waktu tinggal menunjukan hanya sedikit peningkatan dengan laju aliran massa.
Sebagai contoh, pada kecepatan putar silinder 2.5 rpm perbedaan waktu tinggal
kurang dari 7% pada setiap laju aliran masa (60-150 kg/jam).

Hold-up atau jumlah bahan di dalam ruang pengering mempunyai pengaruh


yang besar pada operasi pengeringan. Hold-up yang rendah akan mengurangi laju
produksi tetapi hold-up yang terlalu banyak akan menyebabkan bahan berlalu di
bagian bawah silinder sehingga kadar air yang diinginkan tidak akan tercapai
(Yliniemi 1999). Menurut Jover dan Alastruey (2006), kuantitas bahan yang
optimum di dalam ruang pengering sebesar 3-7% dari total volume silinder
pengering.

Dalam menganalisa operasi dari pengering rotari komersial, jumlah bahan


dalam silinder selama keadaan steady state yang dikenal hold-up merupakan
parameter penting, persamaan hold-up (Kelly 1995) :

Hold − up = (Waktu tinggal ) x ( Laju pengumpanan) .............................11)

Peningkatan laju pengumpanan menyebabkan peningkatan hold-up ketika


kecepatan rotasi dijaga konstan, jika kecepatan rotasi ditingkatkan dan laju
pengumpanan dijaga konstan maka bahan dapat diangkut lebih cepat keluar dari
silinder dan hold-up mejadi lebih rendah.

Liu dan Specht (2006) melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan


antara laju pengumpanan dan kecepatan rotasi terhadap hold-up. Sebuah variabel
baru didefinisikan sebagai massa pengumpanan per jumlah rotasi silinder.
Persamaan linear hubungan antara diperoleh yaitu :

⎛ Massa pengumpanan ⎞
Hold − up = 56⎜⎜ ⎟⎟ − 6.2 ........................................12)
⎝ Kecepa tan rotasi ⎠
PENDEKATAN TEORITIS

Sistem Pengering Rotari

Sistem pengering rotari dapat dibagi menjadi 4 subsistem yaitu tungku,


penukar panas, kipas, dan ruang pengering. Energi panas yang dihasilkan pada
pengering berasal dari pembakaran minyak tanah di dalam tungku. Udara panas
yang dihasilkan, kemudian masuk ke tube-tube penukar panas. Udara lingkungan
ditarik oleh kipas dan ditiup masuk ke penukar panas, pada bagian ini terjadi
perpindahan panas karena udara lingkungan melewati tube-tube yang telah
dipanaskan oleh udara panas dari tungku. Udara panas yang dihasilkan dari
penukar panas bergerak menuju silinder (ruang pengering). Udara panas ini
digunakan untuk menguapkan sebagian kadar air pada bahan basah yang
diumpankan secara kontinyu ke dalam silinder, selain proses pengeringan juga
terjadi proses pengangkutan bahan dari feeder ke outlet bahan. Selama proses
pegangkutan, bahan mengalami proses cascading akibat dari perputaran silinder,
proses ini bertujuan untuk memperbesar kontak bahan dengan udara pengering.
Akhirnya, bahan kering dikeluarkan dari silinder bersamaan dengan udara lembab.
Diagram sistem pengering rotari dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Sistem pengering rotari


Energi panas yang digunakan untuk proses pengeringan dihasilkan dari
pembakaran minyak tanah di dalam tungku. Jumlah panas yang dihasilkan dari
udara lingkungan yang masuk ke dalam tungku dihitung dengan persamaan 13).

Qs = m u Cp u (Ts − Ta ) ...............................................................................13
)

Energi yang dihasilkan dari proses pembakaran minyak tanah adalah



Q f = m f h f ..............................................................................................14

Laju aliran massa udara yang masuk ke dalam tungku diperoleh dari
kecepatan rata-rata aliran udara yang dihasilkan blower pada burner, dan luas
penampang bukaan udara. Laju aliran massa udara dihitung dengan rumus ;

m u = ρ u x Gu ............................................................................................15

Transfer energi sebanyak mungkin dari penukar panas dapat dilakukan


dengan memperbanyak laluan dari salah satu atau kedua fluida. Konfigurasi yang
sangat populer digunakan pada penukar panas adalah susunan selubung dan pipa
(shell and tube). Penambahan penghalang (baffle) pada penukar panas dapat juga
memperbesar perpindahan panas antar fluida.
Perpindahan panas untuk berbagai tipe penukar panas dapat ditentukan
dengan menggunakan persamaan berikut (Holdman, 1986) :
QHE = U × AL × LMTD ............................................................................16)
Pada kondisi steady state, dengan mengabaikan kehilangan panas
disepanjang aliran yang dilaluinya, maka panas yang dipindahkan dari udara hasil
pembakaran (Qs) sama dengan udara panas yang diterima oleh udara pengering
(Qd).
Jumlah akumulasi panas sama dengan nol pada kondisi tunak, maka jumlah
panas masuk sama dengan jumlah panas keluar

Qs = Qd = m u × Cpu × (Tu − Ta ) ................................................................17)
Logarithmic Mean temperature Difference (LMTD) merupakan pendekatan
untuk menentukan nilai perbedaan suhu antara dua fluida dalam alat penukar
panas keseluruhan. LMTD dapat dihitung dengan persamaan 18.
(Ts − Tu ) − (Tc − Ta )
LMTD = ..................................................................18)
⎛ T − Tu ⎞
ln⎜⎜ s ⎟⎟
⎝ Tc − Ta ⎠
Untuk menentukan laju perpindahan panas yang tidak menyangkut suhu
keluar yang manapun digunakan nilai efektifitas penukar panas. Keefektifan
penukar panas adalah perbandingan laju perpindahan panas yang sebenarnya
dalam penukar panas terhadap laju pertukaran panas yang mungkin terjadi (Kreith,
1973).
laju pindah panas sebenarnya
Efektivnes s = ε = ..............19)
laju pindah panas yang mungkin terjadi
Laju pindah panas sebenarnya = Cmin (Tu – Ta).......................................20)
Laju pindah panas yang mungkin terjadi = Cmin (Ts – Ta).......................21)
Nilai efektifitas penukar panas untuk aliran berlawanan dapat dihitung
dengan persamaan (Holman, 1986):

⎧⎪
( )12 (1 + exp(− NTU (1 + C ) ))⎫⎪⎬ 2 12
−1

ε = 2⎨1 + C + 1 + C 2
⎪⎩
×
(1 − exp(− NTU (1 + C ) ))⎪⎭ 2 12
………..……..22)

U×A
NTU = ……………………………………………………..…...23)
C min

⎛• ⎞
⎜ m u × C pu ⎟
C min ⎝ ⎠ min
C= = • …………………………………………..…24)
C max ⎛ ⎞
⎜ m u × C pu ⎟
⎝ ⎠ max
NTU (number of heat transfer units) adalah jumlah satuan perpindahan
panas yang merupakan tolak ukur perpindahan panas suatu penukar panas. Harga
NTU semakin besar maka penukar panas mendekati batas termodinamikanya
(Kreith, 1973).

Penurunan tekanan pada penukar panas merupakan perbedaan antara


tekanan pada inlet dan outlet dari kumpulan pipa (tube bank). Persamaan
penurunan tekanan pada penukar panas sebagai berikut :
ρν mak
2
ΔP = N L f x .................................................................................25)
2

ST
ν mak = ν ......................................................................................26)
ST − D

Gambar 8. Susunan pipa penukar panas (staggered arrangement)

Penentuan nilai faktor gesekan f dan faktor x untuk kumpulan pipa dengan
penyusunan bersilangan (staggered arrangement) dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Grafik faktor f dan x (Zukauskas, 1985 dalam Cengel, 2003)

Kebutuhan Energi dan Efisiensi Pengering Rotari


Energi panas yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar di tungku
digunakan untuk memanaskan udara yang selanjutnya digunakan untuk
memanaskan produk dan menguapkan air pada produk. Jumlah panas untuk
menaikkan suhu produk adalah sebagai berikut

Q p = m p × Cp p × (Tu − T p ) ………………………………….……….27)

Dimana panas jenis produk (Cpp) dihitung dengan menggunakan persamaan


Siebel (1892) dalam Heldman dan Singh (1980).
Cp p = 0.837 + 0.034(m) ……………………………………...….….....28)

Jumlah panas yang dibutuhkan untuk menguapkan air pada produk dapat
menggunakan persamaan 29).

Qu = m u × h fg ………………………………………..…………….…29)
Energi yang digunakan untuk pengeringan produk adalah :
Qd = Q p + Qu ……………………………………………………….….30)

Energi total (Qt) merupakan keseluruhan energi yang digunakan pada proses
pengeringan, energi yang masuk ke dalam sistem adalah energi pembakaran bahan
bakar dan energi listrik. Konsumsi energi total yang digunakan untuk menguapkan
air disebut dengan konsumsi energi spesifik (KES)
Qt
KES = ………………………………………….………...……31)
muap

Konsumsi energi panas yang digunakan untuk menguapkan air pada bahan
disebut dengan konsumsi energi panas spesifik (KEPS)
Qp
KEPS = ………………………………………………………...32)
muap

Konsumsi Energi Mekanik Spesifik (KEMS) adalah total energi mekanik yang
dipakai untuk menguapkan air pada bahan.
Qm
KEMS = ………………………………………………..………33)
muap

Efisiensi total pengering rotari adalah perbandingan energi total yang


dipakai untuk memanaskan bahan dan menguapkan air pada bahan.
Q p + Qu
η termal = × 100% …………………………….……..……...….34)
Qt
Model Fisik Pengering Rotari
Dalam mengembangkan model, pengering dibagi secara transversal menjadi
beberapa volume kendali, dimana produk dan udara bergerak pada setiap volume
kendali. Gambar 10 menunjukkan model fisik pengering rotari, sedangkan
parameter-parameter pada volume kendali dapat dilihat pada Gambar 11.

Udara
Tu
H

mu
Produk
Tp
M

mp
S1 S2 S3 Sn-2 Sn-1 Sn

Gambar 10. Model fisik pengering rotari

H(x) H(x+dx)
• •

Udara mu mu
Tu (x) Tu (x+dx)

M(x) M(x+dx)
Bahan • •
mp mp
Tp (x) Tp (x+dx)

dx

Gambar 11. Volume kendali

Keseimbangan Massa
Persamaan keseimbangan massa produk dan udara di dalam volume kendali
sebagai berikut:
• dH • dM
m uk + m pd = 0 ………………………………………………..35)
dx dx
• dH • dM
m uk = − m pd ……………………………………………….....36)
dx dx

dH m pd dM
=− • ………………………………………….……….…..37)
dx m dx uk

dM dM dt
= ………………………………………………………….38)
dx dt dx
Keseimbangan Energi
Perubahan entalpi udara sama dengan panas yang ditransferkan secara konveksi
ke bahan dan yang di suplai ke udara dalam bentuk uap air. Panas yang masuk ke
volume kendali adalah :

[ ]
m u (C pu + C pw H ( x ) )Tu ( x ) + Lu H ( x ) ………………………………...…..39)

Panas yang keluar dari volume kendali adalah

[ ]
m u (C pu + C pw H ( x + dx ) )Tu ( x + dx ) + Lu H ( x + dx ) ……………………...……..40)

Keseimbangan energi yang terjadi adalah :

[ ] [
m u (C pu + C pw H ( x + dx ) )Tu ( x + dx ) + Lu H ( x + dx ) − m u (C pu + C pw H ( x ) )Tu ( x ) + Lu H ( x ) ]
• •

= − hcv A(Tu − T p ) ………………………………………………...…….41)

m u (C pu + C pw H ) (C pwTu + Lu ) = −hcv A(Tu − T p ) ...……..42)


• dTu • dH
+ mu
dx dx

− hcv A(Tu − T p ) − m u ⎜ ⎟(C pwTu + Lu )



⎛ dH ⎞
dTu
= ⎝ dx ⎠
………………………43)

dx m u (C pu + C pw H )

Panas yang mengalir ke dalam volume kendali karena pergerakan bahan adalah

m p (C pp + C pl M ( x ) )T p ( x ) ……………………………………………….44)

Panas yang keluar dari volume kendali adalah

m p (C pp + C pl M ( x + dx ) )T p ( x + dx ) …………………………………………..45)

Perubahan entalpi ini adalah hasil dari panas yang di konveksikan dari udara

hcv A(Tu − T p ) dan panas desorpsi yang disuplai ke bahan : m u (C pwT p + L p )


• dH
dx
Konservasi panas adalah

m p (C pp + C pl M ( x + dx ) )T p ( x + dx ) − m p (C pp + C pl M ( x ) )T p ( x )
• •
= − hcv A(Tu − T p )m u (C pwT p + L p ) …………….………...…….…...46)
• dH
dx

m p (C pp + C pl M ) C plT p = −hcv A(Tu − T p ) + mu (C pwTp + L p ) .......47)


• dTp • dM • dH
+ mp
dx dx dx

m p (C pp + C pl M ) C pl T p = −hcv A(Tu − T p ) + m u (C pwT p + L p )....48)


• dT p • dH • dH
− mu
dx dx dx

hcv A(Tu − T p ) + m u ⎜ ⎟(L p + (C pw − C pl )T p )



⎛ dH ⎞
dT p
= ⎝ dx ⎠
..…...………....…49)

dx m p (C pp + C pl M )

Dalam mengembangkan model pengeringan maka dibutuhkan persamaan


laju pengeringan sebagai berikut

= −k (M − M e ) ………………………...……………………….….50)
dM
dt
METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian,
Departemen Teknik Pertanian, FATETA IPB dan Gudang Pengolahan KUD Jasa
Mukti Cibungbulang Bogor. Waktu penelitian dimulai pada bulan Desember 2006
sampai Agustus 2007.

Bahan dan Alat


Bahan yang dipakai pada penelitian ini adalah ubijalar yang diperoleh dari
pedagang pengumpul di Bogor. Bahan lain yang dipakai adalah natrium bisulfit
serta minyak tanah sebagai bahan bakar.
Peralatan yang digunakan adalah oil bath, oven pegering type SS-204D,
timbangan digital Adam type AQT-200, anemomaster Kanomax, chromameter,
temokopel (tipe CC dan CA), chino recorder Yokogawa, multimeter YF-3503,
clampmeter, termometer air raksa, mesin penyawut mekanis, mesin peniris
mekanis, gelas ukur, timbangan (10 kg), timbangan (50 kg), stop watch, mistar,
jangka sorong, pisau stainless, ember, sikat, drum perendaman, pengering biji-
bijian udara terkendali (PBUT), dan pengering rotari.

Deskripsi dan Spesifikasi Pengering Rotari


Jenis pengering rotari yang digunakan pada penelitian ini adalah cascade
rotary dryer dengan aliran bahan dan udara pengering searah atau co-current.
Gambar pengering dapat dilihat pada Lampiran 1. Bagian-bagian pengering rotari
berserta fungsi dan spesifkasinya sebagai berikut:
Silinder
Silinder pada pengering rotari merupakan ruang pengeringan bahan. Silinder
ini terbuat dari bahan stainless steel yang dilapisi glass wool dan plat aluminium.
Silinder diatur dengan kemiringan tertentu dimana slope yang terbentuk terhadap
bidang horizontal yaitu 0.419o.
Pada bagian pangkal silinder terdapat wadah pengumpanan bahan (feeder)
dan inlet udara pengering. Wadah feeder dimiringkan dengan tujuan umpan lebih
mudah masuk ke dalam ruang pengering. Kemiringan wadah feeder adalah 20.05o.
Lubang inlet berfungsi sebagai tempat masuknya udara pengering dari penukar
panas ke ruang pengering. Pada bagian ujung slinder terdapat outlet udara dari
silinder dan outlet bahan kering. Lubang outlet udara berfungsi sebagai tempat
keluarnya udara lembab dari ruang pengering, sedangkan bahan kering
dikeluarkan melalui outlet bahan.
Bagian dalam dari silinder terdapat flight yang berfungsi sebagai pengangkat
dan pengambang bahan sehingga bahan tercurah di bagian tengah ruang pengering.
Terdapat dua ukuran flight yaitu flight besar dan kecil. Spesifikasi silinder dan
fight dapat dilihat pada Tabel 4, sedangkan gambar silinder dan flight dapat dilihat
pada Gambar 12.

Tabel 4. Spesifikasi Silinder dan flight


Komponen Dimensi Satuan Jumlah
Silinder : 1
panjang 1230 cm
diameter luar 106 cm
diameter dalam 98 cm
wadah umpan 37 x 34 x 13 cm 1
diameter inlet udara pengering 30 cm 1
diameter outlet udara 25 cm 1
outlet bahan 7x7 cm 12
Flight :
panjang flight besar 50 cm 82
ukuran (stem x tip) flight besar 10 x 10 cm
sudut flight besar 90o
panjang flight kecil 40 cm 82
ukuran (stem x tip) flight kecil 4 x 3.5 cm
sudut flight kecil 130o

(a) (b)
Gambar 12. Silinder (a) dan flight (b)
Motor Penggerak
Silinder diputar dengan menggunakan motor listrik dengan spesifikasi: 3
phase, 11000 Watt, 415 volt, frekuensi 50 Hz, dan 1460 rpm. Motor listrik ini
akan menggerakkan gear pada gearbox, yang kemudian menggerakkan silinder.
Arah perputaran silinder adalah berlawanan arah jarum jam. Motor penggerak
silinder dapat dilihat pada Gambar 13 (a).
Burner dan Tungku
Kompor bertekanan atau burner berfungsi sebagai pensuplai bahan bakar
(minyak tanah) secara teratur untuk proses pembakaran. Pada burner terdiri dari
beberapa bagian yaitu nosel, blower, dan pencatat tekanan. Fungsi dari nosel
adalah untuk mengabutkan bahan bakar sehingga lebih mudah terbakar pada saat
pengapian secara listrik. Blower pada burner berfungsi untuk mensuplai udara
untuk pembakaran sehingga diperoleh pembakaran yang sempurna. Spesifikasi
dari burner sebagai berikut: Merk Olympia Oil Burner, Model LT 20, 1 phase,
220 V, 0.25 kW, konsumsi bahan bakar 8-20 kg/jam, diameter api 140-160 mm
dan panjang api 350-400 mm.
Tungku merupakan tempat terjadinya pembakaran sehingga diperoleh udara
panas yang kemudian masuk ke penukar panas. Tungku dilapisi oleh bata api di
bagian dalam dan plat besi di bagian luar. Dimensi dari tungku adalah 79 x 83 x
55 cm. Tungku juga dilengkapi dengan kerangka penyangga tungku yang
memiliki dimensi 94 x 90 x 80 cm. Posisi burner pada tungku dapat dilihat pada
Gambar 13 (b).

(a) (b)
Gambar 13. Motor penggerak (a) dan Burner pada tungku (b)
Penukar Panas (Heat Exchanger)
Penukar panas merupakan tempat terjadinya pemanasan udara lingkungan
yang akan digunakan sebagai udara pengering pada proses pengeringan. Penukar
panas terdiri dari pipa-pipa (tube) dan selubung (shell). Penukar panas berbentuk
kotak yang bagian dalamnya terdapat pipa-pipa penukar panas, baffle, lubang inlet,
outlet dan cerobong. Pipa-pipa yang berada di dalam selubung berfungsi sebagai
tempat mengalirnya udara panas hasil pembakaran. Fungsi dari baffle adalah
sebagai penghalang dan pembelokan udara sehingga perpindahan panas ke udara
semakin besar. Pada penukar panas terdapat 2 lubang yaitu inlet dan outlet
Lubang inlet berfungsi sebagai lubang pemasukan udara lingkungan ke penukar
panas sedangkan lubang outlet berfungsi sebagai lubang pengeluaran udara panas
dari penukar panas ke ruang pengering. Hasil pembakaran di tungku dikeluarkan
melalui cerobong. Penukar panas dapat dilihat pada Gambar 14 (a), sedangkan
gambar tekniknya dapat dilihat pada Lampiran 2. Bagian dan dimensi penukar
panas dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Bagian dan spesifikasi dari penukar panas


Bagian Jumlah Dimensi Bahan
tube 175 1” x 1010 mm carbon steel
shell 1 766 x 726 x 1000 mm mild steel
lubang outlet 1 Ǿ 300 x 100 mm mild steel
lubang inlet 1 Ǿ 300 x 100 mm mild steel
lubang cerobong 1 Ǿ 195 x 100 mm mild steel
baffle 2 754 x 365 mm mild steel

Kipas (fan)
Kipas berfungsi menarik udara dari lingkungan ke penukar panas dan
kemudian menghembuskannya melewati pipa-pipa panas menuju ke ruang
pengeringan. Jenis kipas yang digunakan pada pengering rotari adalah kipas aliran
sumbu atau aksial. Spesifikasi kipas sebagai berikut: Type AFD-500, kapasitas
10.000 CMH, 2800 rpm, 3 HP, 3 phase, static pressure 78 mmH2O dan jumlah
daun kipas 10 buah. Rumah kipas memiliki diameter 57 cm dan panjang 42 cm.
Gambar kipas pada pengering rotari dapat dilihat pada Gambar 14 (b).
(a) (b)
Gambar 14. Penukar panas (a) dan Kipas (b)

Metode Penelitian

Pengukuran sifat termofisik (Me dan k)


Pengambilan data untuk sifat termofisik ubijalar (Me dan k) dilakukan
dengan menggunakan PBUT dengan 10 tingkat suhu dan RH yang terbentuk
dijaga konstan. Tahap pertama adalah mempersiapkan sampel (sawut ubijalar),
kemudian ditimbang massa awalnya (± 100 gram) dan kadar air awalnya.
Selanjutnya sampel dimasukkan ke dalam ruang pengering yang suhu dan RH
pengeringnya konstan.
Produk ditimbang setiap interval waktu tertentu, dimana interval ini semakin
diperbesar setelah waktu tertentu, karena perubahannya semakin berkurang.
Setelah perubahan massanya menjadi sangat kecil, maka pengeringan dihentikan
(Nelwan 1997). Diagram alir proses pengeringan lapisan tipis ubijalar dapat
dilihat pada Gambar 15. Perhitungan nilai Me dan k menggunakan metode non
linear least square. Algoritma perhitungan A, K, Me dapat dilihat pada Gambar
16.
Gambar 15. Diagram alir proses pengeringan lapisan tipis sawut ubijalar

Pengujian awal
Pengujian awal pengering rotari bertujuan untuk melihat kinerja dari
pengering rotari dengan penukar panas baru yang menggantikan penukar panas
sebelumnya. Parameter yang diukur adalah temperatur inlet dan ruang pengering.
Pengujian awal ini tanpa menggunakan termostat dan beban.
Gambar 16. Algoritma perhitungan A, k, dan Me (Abdullah et al. 2007)

Pengujian performansi pengering rotari


Pengujian ini terdiri dari pengujian dengan beban dan tanpa beban.
Pengujian tanpa beban hanya mengukur suhu inlet dan ruang pengering dalam
keadaan kosong. Pengujian dengan beban menggunakan sawut ubijalar untuk
proses pengeringannya. Tahapan proses pengeringan terdiri dari tahap persiapan
sawut basah (pra pengeringan), pengumpanan, dan pengeringan. Pengujian tahap
ini menggunakan termostat sebagai pengontrol suhu.
Pra pengeringan
Proses persiapan sawut basah didahului dengan penimbangan ubijalar segar,
dimana setiap perlakuan menggunakan 200 kg ubijalar. Selanjutnya, ubijalar
dicuci secara manual, pada proses ini juga dilakukan pemotongan pangkal dan
ujung umbi serta daging yang terkena boleng atau lanas. Kemudian, ubijalar
bersih disawut untuk menghasilkan ukuran yang lebih kecil dan tipis. Proses
penyawutan dilakukan secara mekanis dengan mesin penyawut. Mesin penyawut
mekanis dapat dilihat pada Lampiran 3. Hasil penyawutan direndam ke dalam air
yang telah dilarutkan natrium bisulfit 0.3% (± 30 menit), proses perendaman
bertujuan untuk menghilangkan getah yang masih menempel pada sawut. Pada
proses ini juga meliputi pembuangan kotoran dan kulit ubijalar yang mengapung.
Proses perendaman menyebabkan sawut menjadi lebih basah, sehingga untuk
meghilangkan air dan larutan tersebut dilakukan proses penirisan. Proses penirisan
menggunakan peniris mekanis, dimana sawut dimasukkan ke dalam wadah
berpori yang berputar pada porosnya. Proses pelepasan air dari sawut karena
sentrifugasi, proses ini dilakukan selama ± 3 menit. Penirisan yang terlalu lama
dikuatirkan pati dari sawut akan ikut terlepas bersama air. Sawut basah siap
diumpankan ke pengering. Massa bahan dari setiap proses dilakukan
penimbangan untuk mengetahui rendemennya. Proses penyawutan dan penirisan
sawut basah dapat dilihat pada Gambar 17.

(a) (b)
Gambar 17. Proses penyawutan (a) dan penirisan (b)

Pengumpanan (feeding)
Parameter yang diukur pada proses pengumpanan adalah laju pengumpanan.
Sebelum sawut basah diumpankan ke ruang pengering, sawut dimasukkan ke
dalam timba kemudian ditimbang beratnya. Lamanya pengumpanan diukur
menggunakan stop watch. Laju pengumpanan dihitung bedasarkan perbandingan
berat sawut dengan lama pengumpanan. Ada empat perlakuan pengumpanan yang
digunakan pada penelitian ini. Perlakuan pengumpanan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Perlakuan pengumpanan sawut
Percobaan Laju pengumpanan
1 3 kg/1 menit
2 3 kg/2 menit
3 3 kg/3 menit
4 3 kg/4 menit

Pengeringan
Pengeringan dilakukan sebanyak 4 kali percobaan berdasarkan laju
pengumpanan. Tahapan pengeringan sawut ubijalar dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18. Diagram alir proses pengeringan sawut ubijalar


Parameter Pengukuran
• Pengukuran kadar air bahan meliputi kadar air ubijalar segar, sawut basah,
dan sawut kering. Pengukuran kadar air ubijalar berdasarkan SNI 01-4493-
1998. Kadar air ditentukan dengan metode oven.
• Massa bahan yang ditimbang meliputi massa ubijalar segar, ubijalar bersih,
sawut basah, dan sawut kering. Susut selama proses pengumpanan dan
pengeringan juga ditimbang massanya. Pengukuran massa dilakukan untuk
mencari rendemen.
• Pengukuran densitas curah atau bulk density dilakukan hanya untuk sawut
basah dan kering, dimana sawut dimasukkan ke wadah yang telah
diketahui volumenya, kemudian sawut tersebut ditimbang massanya.
Hasil bagi antara berat dan volume sawut merupakan densitas curah sawut.
Dimensi wadah yang digunakan untuk pengukuran densitas curah yaitu 25
x 23 x 25 cm.
• Pengukuran warna menggunakan chromameter, dimana hasil pengukuran
dikonversi ke sistem Hunter yang dicirikan dengan notasi L, a, dan b.
Warna yang diukur meliputi warna daging umbi dan sawut kering.
• Dimensi sawut dari proses penyawutan sangat beragam ukurannya
tergantung dari ukuran umbi ubijalar. Untuk mengetahui dimensi dari
sawut, maka sampel umbi ubijalar diukur panjang dan diameternya
terlebih dahulu dengan jangka sorong, kemudian umbi disawut dengan
mesin penyawut. Kemudian, sawut ubijalar diambil masing-masing
cuplikannya untuk diukur panjang, lebar dan tebal dari sawut.
• Pengukuran suhu pada percobaan ini meliputi pengukuran suhu udara
lingkungan, suhu sawut basah, pembakaran di tungku, cerobong, inlet,
outlet, dan ruang pengering. Letak titik pengukuran di sepanjang silinder
adalah 1.36 m, 8.22 m, 9.58 m, dan 10.94 m. Pengukuran RH meliputi RH
lingkungan (suhu bola basah) dan outlet. Pengukuran suhu sawut, ruang
pengering dan pembakaran di tungku dapat dilihat pada Gambar 19.
(a) (b) (c)
Gambar 19. Pengukuran suhu : (a) sawut, (b) ruang pengering dan (c) pembakaran

• Bahan bakar yang terpakai diperoleh dari pengurangan jumlah bahan bakar
awal dengan sisa bahan bakar pada drum setelah proses selesai. Laju aliran
bahan bakar merupakan nisbah antara jumlah bahan bakar yang terpakai
terhadap lama pemakaian.
• Pencatatan waktu meliputi lama pengoperasian alat, lama pengeringan,
dan waktu tinggal.
• Kecepatan udara diukur sepanjang ruang pengering dengan interval 1.23 m,
inlet, outlet dan feeder.
• Kondisi dari pengering rotari yang diperhatikan selama proses
pengeringan yaitu rpm silinder dan kemiringan silinder.

Simulasi Model dan Validasi

Simulasi model pengeringan rotari digunakan untuk menduga suhu ruang


pengering, suhu sawut, kadar air, dan RH. Simulasi model pindah panas dan
massa dilakukan untuk menyelesaikan persamaan 37), 43), 49) secara simultan
dengan menggunakan metode beda hingga Euler. Model diselesaikan dengan
bahasa pemograman Visual Basic 6.
Model masing-masing parameter dari udara dan produk diselesaikan secara
numerik dengan metode Euler.
Kelembaban Mutlak
⎡• ⎤
j +1 ⎢ m pd dM dt ⎥
H = H + Δx •
j
…………………..………………….….51)
⎢ dt dx ⎥
⎣ m uk ⎦
Suhu Udara
⎡ ⎤
Δx
j

( ) ⎛ dH ⎞
( )


j +1
Tu = Tu + j
⎢− hcv A Tu − T p − m u ⎜⎝ dx ⎟⎠ C pwTu + Lu
j j j j j
⎥ .…52)
( )

m u C pu + C pw
j
H j
⎢⎣ ⎥⎦

Suhu Produk
⎡ ⎤
Δx
j

( ) ⎛ dH ⎞ j
( ( ) )
j ⎥

j +1
=T + ..53)
⎢hcv A Tu − T p + m u ⎜⎝ dx ⎟⎠ L p + C pw − C pl T p ⎥
j j j j
T
( )
p p •
m u C ppj + C pl M j
⎢⎣ ⎥⎦

Kadar Air
Model untuk kadar air bahan menggunakan persamaan 38), yang dijabarkan
menjadi

j +1 ⎡ dM dt ⎤
M = M j + Δx ⎢ ⎥ ……………………………………………………..54)
⎣ dt dx ⎦
Kelembaban Relatif (RH) (ASAE 1994)
HP
RH = ……………………………………………………...…...55)
( H + 0.622) Ps
Dimana tekanan statis (Ps) menggunakan persamaan (56) (Bala 1997)

[
Ps = exp 52.576 − 6796 − 5.0281 ln(T ) …………………………...……...…..56)
T
]
Validasi model dilakukan untuk membandingkan hasil pengukuran dengan
hasil simulasi yang diperoleh pada titik-titik pengukuran. Acuan yang digunakan
menganalisis hasil vaidasi adalah kurva fitting dan COD (Coefficient of
Determination.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Termofisik
Sifat fisik umbi dan sawut ubijalar
Umbi ubijalar yang akan diproses untuk menghasilkan sawut, terlebih
dahulu ditentukan sifat fisiknya yaitu berat, kadar air umbi dan warna daging
umbi. Umbi ubijalar yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kadar air
berkisar 60.76-61.64% bb dengan rata-rata 61.1% bb. Ubijalar yang digunakan
merupakan ubijalar mutu II (SNI 01-4493-1998) berdasarkan kadar air umbinya.
Salah satu kriteria mutu II menurut SNI adalah kadar air umbi minimum 60% bb.
Penyebab rendahnya mutu ubijalar yang digunakan dalam penelitian ini adalah
karena ubijalar diperoleh dari pedagang pengumpul, dimana rantai pascapanennya
lebih panjang. Semakin panjang rantai pascapanen ubijalar maka semakin besar
penurunan mutu dari ubijalar. Penurunan kadar air ubijalar selama penyimpanan
menguntungkan untuk proses pengeringan tetapi ada komponen lain dari ubijalar
yang turut berkurang selama penyimpanan seperti pati. Menurut Winarno (2001)
penurunan pati pada umbi-umbian setelah panen meskipun terjadi tapi sangat
lambat. Pada suhu 40 oF, proses hidrolisa pati akan terstimulasikan dan penurunan
pati berlangsung lebih cepat.
Sifat fisik lain yang diukur pada umbi ubijalar adalah wana daging umbi.
Pengukuran warna umbi menggunakan chromameter. Nilai L (lightness) rata-rata
umbi adalah 87.47. Nilai L menyatakan parameter kecerahan dari 0 (hitam)
sampai 100 (putih). Dilihat dari nilai L menunjukan warna daging umbi ubijalar
mendekati putih. Data warna daging umbi ubijalar dapat dilihat pada Lampiran 4.
Ubijalar segar dikecilkan ukurannya menjadi sawut, hal ini bertujuan untuk
meningkatkan rasio ukuran luas permukaan terhadap volume bahan sehingga
dapat meningkatkan kontak bahan dengan udara pengering. Sawut basah ubijalar
yang diukur sifat fisiknya adalah sawut setelah perendaman bukan sawut setelah
penyawutan, hal ini dilakukan karena ubijalar sangat mudah terjadi browning jika
tidak langsung ditangani. Menurut Hoover dan Miller (1973) seperti yang dikutip
oleh Jenie et al. (1978), kerusakan warna pada produk ubi jalar disebabkan oleh
adanya aktivitas enzim catechol oksidase jika terdapat tanin atau zat semacam
tanin. Telah lama diketahui bahwa reaksi browning ini dipengaruhi oleh oksigen,
air dan suhu.
Sifat fisik sawut basah yang diukur adalah kadar air, bulk density, dan berat.
Kadar air sawut basah berkisar antara 66.6-68.8% bb dengan rata-rata 67.9% bb.
Peningkatan kadar air sawut basah karena proses pembasahan (wetting) pada saat
perendaman. Proses perendaman yang lama menyebabkan kadar air sawut akan
bertambah. Menurut Widowati et al. (2002) untuk mengurangi air yang berlebih
pada sawut pasca perendaman dilakukan proses pengepresan.
Bentuk dan dimensi sawut sangat beragam tergantung dari hasil sawutan dan
ukuran umbi ubijalar yang disawut. Berdasarkan pengujian dimensi sawut
diperoleh bahwa umbi jalar yang memiliki diameter rata-rata 7.81 ± 1.40 cm dan
panjang rata-rata 8.84 ± 1.70 cm diperoleh dimensi awut dengan lebar 0.57 ± 0.10
cm, panjang 5.95 ± 2.01 cm, dan tebal 0.4-2.8 mm. Berdasarkan standar deviasi
terlihat bahwa panjang sawut sangat beragam jika dibandingkan dengan lebar
sawut. Diameter lubang-lubang piring penyawut mempengaruhi ukuran lebar
sawut. Diameter lubang-lubang piring penyawut adalah 0.7 cm.
Gambar 20, memperlihatkan bulk density dari sawut sebelum dan sesudah
pengeringan. Bulk density sawut basah ubijalar berkisar antara 351.3-388.2 kg/m3,
sedangkan bulk density sawut kering lebih dipengaruhi oleh kadar air sawut kering.
Pada percobaan IV nilai bulk density sawut keringnya paling rendah dibandingkan
percobaan lain, hal ini dikarenakan kadar air sawut kering pada percobaan IV
paling rendah dibandingkan percobaan lain.
450
375.65 388.17 379.13
400
351.30
Bulk density (kg/m3)

350 330.43

300
253.91 243.48 236.52
250
200
150

100
50

0
I II III IV

Percobaan
Sebelum pengeringan Sesudah pengeringan

Gambar 20. Bulk density sawut ubijalar


Semakin rendah kadar air sawut maka semakin rendah nilai bulk densitynya,
hal ini berarti sawut kering memiliki nilai bulk density yang rendah. Informasi
bulk density sawut kering perlu diketahui untuk pengemasan dan penyimpanan
setelah pengeringan, sedangkan pada sawut basah untuk mengetahui volume
sawut di dalam silinder (ruang pengering).
Neraca massa bahan sebelum pengeringan sawut perlu diketahui untuk
mencari rendemen masing-masing penanganan pra pengeringan. Neraca massa pra
pengeringan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 7. Neraca massa ubijalar pra pengeringan
rendemen rendemen
Percobaan ubijalar ubijalar bersih sawut basah
(%) (%)
1 200 198.85 99.4 187.45 94.3
2 200 198.55 99.3 185.85 93.6
3 200 198.45 99.2 188.25 94.9
4 200 191.45 95.7 185.6 96,9

Sebelum proses penyawutan, ubijalar melewati proses pembersihan yang


meliputi (1) pencucian kulit umbi yang bertujuan menghilangkan pasir, debu dan
sebagainya yang menempel pada kulit, (2) pembuangan ujung dan pangkal umbi,
dan (3) pembuangan bagian umbi yang telah terserang penyakit (boleng atau
lanas). Rendemen proses pencucian masing-masing percobaan masih tinggi yaitu
lebih dari 99%, kecuali percobaan IV dengan rendemen sebesar 95.7%. Total
susut pada proses pembersihan setiap percobaan berturut-turut adalah I (1.15 kg),
II (1.45 kg), III (1.55 kg), dan IV (8.55 kg). Rendahnya rendemen atau tingginya
susut pada percobaan IV disebabkan lamanya waktu tunggu ubijalar untuk
diproses yaitu 5 hari sehingga diduga bagian umbi banyak terbuang karena
penyebaran lanas atau boleng pada saat penyimpanan.
Proses selanjutnya adalah penyawutan, perendaman, dan penirisan. Ketiga
proses tersebut merupakan kesatuan proses untuk menghasilkan sawut basah.
Rendemen pada proses ini berkisar antara 93.6-96.9%. Rendemen pada proses ini
tergantung dari cara penanganannya, berbeda dengan proses sebelumnya yang
banyak tergantung pada bahan dan cara penanganannya. Rata-rata susut berat
pada proses ini adalah 10.04 kg. Tingginya susut berat dikarenakan terbuangnya
bagian umbi yang tidak tersawut pada saat penyawutan, pembuangan kulit ubijalar
yang mengapung pada saat proses perendaman, serta sawut yang tercecer pada
saat pemindahan sawut antar penanganan. Rendemen pra pengeringan sangat
perlu diperhatikan sebagai gambaran seberapa besar ubijalar dapat dimanfaatkan
dengan baik dan untuk mengetahui nilai ekonomis dari ubijalar dalam pengolahan.
Semakin tinggi rendemen suatu bahan maka semakin tinggi nilai ekonomisnya.
Suhu dan Panas Jenis Sawut
Suhu sawut basah merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
proses pindah panas udara pengering ke bahan. Pengukuran suhu sawut basah
dengan menancapkan sensor termokopel pada sebagian sampel. Suhu sawut basah
yang terukur pada masing-masing percobaan adalah I (30.4 oC), II (29.4 oC), III
(28.5 oC), dan IV (28.5 oC).
Panas jenis sawut merupakan sifat termal yang digunakan untuk menduga
jumlah energi yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu sawut. Panas jenis
dipengaruhi oleh kandungan airnya. Nilai panas jenis dari sawut basah (Cpp)
dihitung dengan mengunakan persamaan Siebel. Nilai panas jenis hasil
perhitungan pada masing-masing percobaan sebagai berikut I (3.129 kJ/kg oC), II
(3.069 kJ/kg oC), III (3.107 kJ/kg oC), dan IV (3.142 kJ/kg oC).
Kadar air keseimbangan (Me) dan Konstanta Pengeringan (k)

Pengeringan lapisan tipis sawut ubijalar pada suhu dan RH yang dijaga
konstan dapat dilihat pada Gambar 21. Perubahan kadar air yang paling besar
terjadi pada awal pengeringan. Pola kurva pengeringan yang terbentuk adalah
kurva eksponensial, hal ini sesuai dengan kurva yang umum terjadi pada proses
penurunan kadar air hasil pertanian. Pengeringan dengan suhu tinggi mempunyai
laju penurunan kadar air yang lebih besar. Tetapi, pengeringan dengan RH yang
tinggi mempunyai laju penurunan kadar air yang rendah.

Kadar air keseimbangan dari sawut ubijalar diperoleh dari pengujian


pengeringan lapisan tipis dengan berbagai tingkat suhu dan RH yang terbentuk.
Data pengukuran penurunan kadar air pada pengeringan lapisan tipis dapat dilihat
pada Lampiran 5. Nilai Me hasil pengukuran digunakan sebagai input pada
program komputer. Keluaran dari program tersebut adalah Me, konstanta
pengeringan, dan faktor bentuk yang dihitung secara simultan. Nilai Me, k, dan
faktor bentuk hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 8.
360

330

300

270

240
K a d a r a ir (% b k )

210

180

150

120

90

60

30

0
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500
Waktu (menit)

T 50C, RH 23.7% T 50C, RH 42.5% T 56C, RH 15.4% T 56C, RH 26.9%


T 61C, RH 13.7% T 65C, RH 10.4% T 68C, RH 13.5% T 74C RH 7.3%
T 78C, RH 10.2% T 84C, RH 10.6%

Gambar 21. Penurunan kadar air sawut ubijalar pada pengeringan lapisan tipis

Tabel 8. Nilai Me, k, dan faktor bentuk (A) hasil perhitungan


T RH Me k A
50 27.3 4.52 0.0295 1.03
50 42.5 4.78 0.0299 1.04
56 15.4 4.46 0.0416 1.02
56 26.9 3.55 0.0318 1.05
61 13.7 3.70 0.0471 1.02
65 10.4 2.44 0.0500 1.02
68 13.5 2.39 0.0510 1.03
74 7.3 2.80 0.0690 1.02
78 10.2 2.03 0.0655 1.02
84 10.6 2.02 0.0750 1.02
Nilai Me perhitungan digunakan untuk menentukan persamaan kadar air
keseimbangan sawut ubijalar dengan suhu dan RH udara. Persamaan Me sawut
ubijalar untuk 50 oC≤ T ≤ 84 oC, 7.3%≤ RH ≤ 42.5% sebagai berikut :

Me = 24.9 − 5.24 ln T − 0.33 ln (1 − RH ) ……………………………….57)

Persamaan konstanta pengeringan (k) terhadap suhu absolut untuk 323 K≤


T ≤ 357 K menggunakan model sebagai berikut :

k = −2.632 + 0.4607 ln T …………….………………..…...…..58)


Pada umumnya untuk suhu semakin tinggi, nilai k akan semakin besar. Hal
ini dapat dimengerti karena nilai k menunjukan kecepatan pengeringan, apabila
kondisi pengeringannya dalam keadaan sama (Nelwan 1997). Grafik hubungan
suhu absolut dan konstanta pengerigan dapat dilihat pada Gambar 22.

0.080

0.070

0.060

0.050
k (1/m en it)

0.040

0.030

0.020

0.010

0.000
320 325 330 335 340 345 350 355 360

Suhu absolut (K)

Gambar 22. Hubungan antara suhu absolut dengan konstanta pengeringan


Suhu dan RH Udara Lingkungan

Udara lingkungan merupakan bahan baku udara yang ditarik secara mekanis
dan kontinu oleh kipas untuk kebutuhan pengeringan. Udara berperan sebagai
media penghantar panas secara konveksi dan sebagai tempat penampungan uap air
yang terlepas dari proses pengeringan. Ada dua sifat termofisik udara lingkungan
yang perlu diperhatikan yaitu suhu dan RH.
Suhu dan RH lingkungan selama percobaan tidak terlalu fluktuatif, hal ini
dapat dilihat pada Gambar 23. Kondisi ini terjadi karena pengukuran suhu dan RH
lingkungan dilakukan di dalam ruangan (gudang pengolahan). Profil suhu dan RH
pada masing-masing percobaan menunjukan pola yang sama yaitu peningkatan
suhu dan penurunan RH menjelang siang hari. Suhu lingkungan tertinggi pada
percobaan I, II, III dan IV masing-masing adalah selama 38 oC, 38 oC, 39 oC dan
37 oC. Suhu lingkungan tertinggi pada masing-masing percobaan terjadi pada saat
pengering dioperasikan (proses pengeringan) dan cuaca cerah (pukul 12:00-14:00),
tingginya suhu lingkungan diduga karena lingkungan mendapat panas buangan
pengering dan panas dari radiasi surya yang menyinari bangunan yang konstruksi
dinding dan atapnya terbuat dari seng.
Kelembaban relatif lingkungan terendah pada percobaan I, II, III, dan IV
masing-masing adalah 40.9%, 45.1%, 39.8%, dan 46.4%. Sama halnya dengan
suhu lingkungan, RH terendah juga terjadi pada siang hari (pukul 12:00-14:00).
Nilai RH terendah pada percobaan II, III, dan IV terjadi pada saat proses
pengeringan berlangsung, sedangkan pada percobaan I terjadi setelah proses
pengeringan.
Nilai Suhu, RH dan kelembaban mutlak (H) rata-rata udara lingkungan pada
saat proses pengeringan berlangsung dapat dilihat pada Gambar 24. Suhu rata-rata
tertinggi dan RH terendah terdapat pada percobaan III masing-masing 36.9 oC dan
47.04%, hal ini dikarenakan pada percobaan III pengeringan dimulai pada pukul
12:43. Sedangkan suhu rata-rata terendah dan RH rata-rata tertinggi terdapat pada
percobaan IV, yang proses pengeringan dimulai lebih pagi yaitu pukul 08:17. Sifat
termofisik udara lingkungan seperti kelembaban mutlak (H), enthalpi dan RH
dapat dilihat pada Lampiran 6.
40 90 40 90
35 80 80
35
30 70 70
30
Suhu (C)

60

Suhu (C)
60

RH (%)
25

RH (%)
25
50 50
20 20
40 40
15 30 15 30
10 20 10 20
5 10 5 10
0 0 0 0
07:00 08:00 09:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00 07:00 08:00 09:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00

Waktu Waktu

Suhu (Tbk) RH (%) Suhu (Tbk) RH (%)

(a) (b)

40 90 40 90
35 80 80
35
30 70 70
30
60 60
Suhu (C)

Suhu (C)
25

RH (%)
25

RH (%)
50 50
20 20
40 40
15 15
30 30
10 20 10 20
5 10 5 10
0 0 0 0
07:00 08:00 09:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00 07:00 08:00 09:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00

Waktu Waktu

Suhu (Tbk) RH (%) Suhu (Tbk) RH (%)

(c) (d)

Gambar 23. Suhu dan RH lingkungan setiap percobaan : (a) percobaan I, (b) percobaan II, (c) percobaan III dan (d) percobaan IV
Kelembaban mutlak udara lingkungan diperlukan untuk mengetahui mutu udara
kering yang akan dimanfaatkan sebagai tempat uap air dari proses penguapan
bahan. Kelembaban mutlak rata-rata udara lingkungan tertinggi terdapat pada
percobaan I sebesar 19.004 g/kg udara kering, sedangkan percobaan II, III, dan IV
menunjukan nilai yang hampir sama. Suhu udara lingkungan yang tinggi dan RH
lingkungan yang rendah dapat membantu proses pengeringan secara tidak
langsung. Semakin rendah nilai RH maka kemampuan udara dalam menyerap uap
air akan semakin besar.

18.091
IV 54.77
33.86
18.449
III 47.04
Percobaan

36.9
18.849
II 49.4
36.4
19.004
I 50.48
36.13

0 10 20 30 40 50 60

Suhu rata-rata (C) RH rata-rata (%) H rata-rata (g/kg)

Gambar 24. Suhu, RH dan H rata-rata lingkungan selama proses pengeringan

Performansi Pengering Rotari


Kinerja Burner dan Tungku
Udara sangat dibutuhkan pada proses pembakaran minyak tanah di dalam
tungku. Udara lingkungan disuplai ke dalam tungku dengan menggunakan blower
yang terdapat pada burner. Pada penelitian ini bukaan blower yang dipakai adalah
bukaan ½ dengan laju aliran massa udara yang menuju ke tungku sebesar 0.0896
kg/m3 lebih rendah dengan bukaan penuh yaitu sebesar 0.1251 kg/m3. Laju aliran
massa udara dari blower menyebabkan perpindahan panas dari tungku ke tube-
tube penukar panas terjadi secara konveksi paksa. Kinerja blower pada burner
dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 10 menunjukan energi yang dihasilkan dari proses pembakaran, energi
output dari tungku dan efisiensi tungku pada setiap percobaan. Energi panas yang
dihasilkan dari proses pembakaran dipengaruhi oleh laju aliran massa minyak
tanah dan nilai kalor minyak tanah. Percobaan I memiliki nilai energi pembakaran
tertinggi dibandingkan dengan percobaan yang lain yaitu sebesar 121.98 kW,
sedangkan percobaan II, III, dan IV memiliki nilai yang hampir sama yaitu
berkisar 107.71-108.29 kW. Efisiensi tungku setiap percobaan menunjukan nilai
yang hampir sama kecuali percobaan I yang memiliki nilai efisiensi yang lebih
rendah yaitu sebesar 58%, hal ini dikarenakan konsumsi minyak tanah yang
terlalu boros pada proses pembakaran yang tidak sepadan dengan jumlah energi
yang dihasilkan.

Tabel 9. Laju aliran massa udara pada burner


Kecepatan Luas Laju aliran
Debit
Bukaan Blower rata-rata penampang ρ (kg/m3) massa
(m3/s)
(m/s) (m2) (kg/m3)
1/2 (skala 5) 19.81 0.00388 0.077 1.167174 0.0896
penuh (skala 10) 9.88 0.01085 0.107 1.167174 0.1251

Tabel 10. Efisiensi tungku


Percobaan Q out (kW) Q in (kW) Efisiensi (%)
I 70.96 121.98 58.2
II 71.57 108.00 66.3
III 71.97 108.29 66.5
IV 71.45 107.71 66.3

Suhu pembakaran percobaan I dapat dilihat pada Gambar 25 dan data


pengukurannya semua percobaan dapat dilihat pada Lampiran 7. Suhu
pembakaran rata-rata di tungku pada percobaan I, II, III, dan IV masing-masing
adalah 767.7 oC, 775.2 oC, 796.0 oC, dan 774.2 oC. Suhu rata-rata pembakaran
pada percobaan III lebih tinggi dibandingkan dengan percobaan I, II, dan IV.
Profil suhu pembakaran semua percobaan menunjukkan pola yang sama yaitu
peningkatan suhu pada awal proses pembakaran dan kemudian berfluktuasi. Suhu
pembakaran yang sangat berfluktuatif dikarenakan penggunaan jenis kontrol ON-
OFF pada pengering rotari untuk mengontrol suhu inlet. Apabila suhu inlet telah
tercapai atau sama dengan suhu yang telah di set up pada panel kontrol maka
burner akan mati sehingga proses pembakaran akan berhenti, demikian sebaliknya.
Keadaan ini menyebabkan suhu pembakaran yang tercatat sangat berfluktuasi.
Selain itu, waktu burner dalam kondisi OFF sampai ON lagi cukup lama yaitu
sekitar 20 detik, sehingga suhu di dalam tungku akan turun lebih cepat.

1000

900

800

700
Suhu (C)

600

500

400

300

200

100

0
0 20 40 60 80 100

Waktu (menit)

Gambar 25. Suhu pembakaran dalam tungku percobaan I

Kinerja penukar panas


Penukar panas pada pengering rotari menggunakan fluida udara. Udara
panas dari hasil pembakaran di tungku sebagai fluida panas dan udara lingkungan
sebagai fluida dingin. Penukar panas yang terpasang pada pengering rotari adalah
penukar panas tipe shell and tube dimana udara panas hasil pembakaran
memasuki tube dan keluar melalui cerobong sedangkan udara bersih (lingkungan)
melewati tube-tube panas menuju ruang pengering.
Analisis dan kinerja penukar panas dapat dilihat pada Tabel 11.
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh energi pada penukar panas yang hampir
sama nilainya pada setiap percobaan berkisar antara 70.96-71.97 kW. Energi
panas yang dihasilkan pada percobaan III lebih tinggi dibandingkan dengan
percobaan lain yaitu sebesar 71.97 kW, hal ini diduga karena energi panas yang
dihasilkan dipengaruhi oleh suhu pembakaran, dimana suhu pembakaran
percobaan III lebih tinggi dibandingkan dengan percobaan lainnya sehingga suplai
energi ke penukar panas lebih besar pula. Begitu juga halnya dengan energi panas
maksimum yang dapat dihasilkan oleh penukar panas. Hasil perhitungan energi
panas maksimum pada keempat percobaan adalah I (75.32 kW), II (76.15 kW), III
(78.51 kW), dan IV (76.30 kW).
Laju aliran massa udara yang masuk ke dalam selubung (sheel) ditentukan
berdasarkan keseimbangan energi antara energi panas yang masuk dengan energi
panas yang keluar dari penukar panas. Rata-rata laju aliran massa udara
berdasakan hasil perhitungan sebesar 0.737 kg/s.
Koefisien perpindahan panas menyeluruh diperoleh berdasarkan hasil
perhitungan dimana energi (Qin) dibagi dengan perkalian antara luas permukaan
sentuh (A) dengan log beda temperatur (LMTD). Nilai koefisien panas
menyeluruh yang dihasilkan cukup kecil yaitu berkisar antara 15.19-17.39 W/oC-
m2, hal dikarenakan fluida yang digunakan pada penukar panas adalah udara yang
memiliki koefisien pindah panas lebih kecil dibandingkan dengan fluida lain
seperti air.
Keefektifan penukar panas yang hampir sama setiap percobaan dan
cenderung lebih tinggi, hal ini dikarenakan analisis keseimbangan energi pada
penukar panas menggunakan asumsi kehilangan panas diabaikan sehingga energi
yang masuk ke penukar panas sama dengan energi yang keluar dari penukar panas.

Tabel 11. Analisis dan Kinerja penukar panas


Percobaan
Parameter
I II III IV
Suhu pembakaran (oC) 767.7 775.2 796.0 774.2
Suhu cerobong (oC) 78.5 80.9 100.1 80.9
Suhu lingkungan (oC) 36.1 36.4 36.9 33.9
Suhu inlet (oC) 131.4 130.3 135.1 132
Panas jenis udara lingkungan
1.006 1.006 1.006 1.006
(kJ/kgoC)
Panas jenis udara
1.149 1.151 1.154 1.150
pembakaran (kJ/kgoC)
Q HE (kW) 70.96 71.57 71.97 71.45
Laju aliran udara (kg/s) 0.740 0.757 0.728 0.724
Ch (kW/oC) 0.103 0.103 0.103 0.103
Cc (kW/oC) 0.745 0.762 0.733 0.728
Cmin = Ch (kW/oC) 0.103 0.103 0.103 0.103
Qmak = Cmin (Tsi –Ta) (kW) 75.32 76.15 78.51 76.30
C = Cmin/Cmak 0.138 0.135 0.141 0.141
LMTD (oC) 219.21 224.53 254.65 227.67
Luas permukaan 18.61 18.61 18.61 18.61
Koefisien perpindahan panas
17.39 17.1 15.19 16.86
overal (W/oC-m2)
NTU 3.14 3.09 2.73 3.05
Keefektifan (ε) 0.94 0.94 0.92 0.94
Rasio UA/Cmin dinyatakan sebagai jumlah unit transfer (number of transfer
units),disingkat NTU. Berdasarkan hasil perhitungan nilai NTU pada setiap
percobaan berkisar antara 2.73-3.14.
Kebutuhan tenaga kipas
Perhitungan tahanan arus udara atau penurunan tekanan diperlukan untuk
instalasi kipas pada pengering. Perhitungan penurunan tekanan pada pengering
rotari dilakukan pada bagian penukar panas, pipa penghubung, dan ruang
pengering. Penurunan tekanan dapat disebabkan oleh udara mengalir pada pipa,
penukar panas, penyimpitan mendadak dan pembesaran mendadak dari saluran.
Tabel 12 menunjukan penurunan tekanan yang terjadi pada penukar panas.

Tabel 12. Perhitungan penurunan tekanan


pada penukar panas
Parameter Nilai Satuan
ρ 1.15336 kg/m3
μ ( x 10-5) 1.8769 kg/ms

mu 0.7373 kg/s
Luas saluran 0.2718 m2
v 2.352 m/s
v maks 6.025 m/s
Re 12414.17 -
Pipa HE :
D nominal 1 inchi
Do 0.03353 m
L 1.01 m
Susunan pipa :
ST 55 mm
SD 55.31 mm
SL 48 mm
NL 14 buah
NT 13 buah
Grafik f dan x :
PT 1.6403 -
PL 1.4316 -
PT/PL 1.1458 -
f 0.4 -
x 1 -
Penurunan tekanan
ΔP 117.2 Pa
ΔP total 351.7 Pa

Besar penurunan tekanan pada penukar panas sebesar 117.2 Pa, nilai
tersebut merupakan penurunan tekanan sekali laluan udara melewati kumpulan
pipa, sedangkan alat penukar panas pada pengering rotari ini terdiri dari 2 baffle
sehingga jumlah laluan udara yang melewati kumpulan pipa menjadi tiga kali jadi
total penurunan tekanan pada penukar panas sebesar 351.7 Pa. Penurunan tekanan
pada pipa penghubung penukar panas dan ruang pengering sebesar 3.6 Pa.
Penurunan tekanan pada ruang pengering dengan mengasumsikan permukaan
bagian dalam ruang pengering halus (tanpa flight) diperoleh ΔP sebesar 0.13 Pa.
Penyempitan saluran terjadi pada penukar panas ke pipa penghubung, besar
penurunan tekanannya adalah 15.1 Pa. Sedangkan pembesaran mendadak terdapat
pada pipa penghubung ke ruang pengering, penurunan tekanannya sebesar 38.8 Pa.
Perhitungan penurunan tekanan masing-masing bagian dapat dilihat pada
Lampiran 8. Total penurunan tekanan yang terjadi pada pengering rotari sebesar
409.3 Pa. Nilai ini lebih kecil dari tekanan statis kipas yang telah terpasang yaitu
sebesar 78 mmH2O atau 764.4 Pa, sehingga kipas ini dapat digunakan pada
pengering rotari sebagai pemindah fluida udara.
Kinerja Silinder (ruang pengering)
Kondisi Operasi
Kemiringan silinder pengering rotari sangat mempengaruhi waktu tinggal
bahan di dalam silinder dan juga mempengaruhi kecepatan pergerakan partikel
melewati ruang pengering. Semakin besar kemiringan atau perbedaan tinggi
antara inlet dan oulet maka semakin besar kecepatan pergerakan bahan melintasi
silinder sehingga akan mempersingkat waktu tinggal, hal ini akan menyebabkan
proses pengeringan bahan akan lebih cepat. Oleh karena itu, untuk memperlama
waktu tinggal bahan di dalam silinder maka elevasi diperkecil dengan menaikkan
ketinggian outlet. Kemiringan silinder pengering rotari pada penelitian ini sebesar
0.419o.
Kecepatan putar silinder merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
waktu tinggal. Pergerakan bahan di dalam ruang pengering dipengaruhi kecepatan
putar silinder. Semakin cepat silinder berputar, maka semakin cepat bahan keluar
dari silinder sehingga mempersingkat waktu tinggal. Kecepatan putar yang
digunakan pada penelitian ini adalah 5 rpm. Berdasarkan hasil penelitian dari
Santri (2007), kemiringan drum 2.06o dan kecepatan putar 10 rpm ini
menghasilkan waktu tinggal sebesar 15 menit sedangkan pengurangan sudut
elevasi menjadi 0.257o dan kecepatan putar menjadi 2 rpm menghasilkan waktu
tinggal sebesar 39 menit. Selain kedua faktor tersebut, kontruksi silinder juga
mempengaruhi waktu tinggal. Untuk memperlama waktu tinggal maka silinder
harus diperpanjang. Tetapi, hal ini sulit dilakukan karena keterbatasan space
(ruang). Cara lain yang dapat dilakukan adalah memperbesar diameter silinder
sehingga kecepatan udara dapat diperlambat dan cascade action bahan di bagian
tengah silinder menjadi lebih lama.
Pengujian tanpa kontrol suhu
Pengujian pengering rotari dimulai dari pengujian pengering tanpa kontrol
suhu dan tanpa beban. Pegujian awal ini untuk melihat keragaan suhu di bagian
inlet sebagai indikator suhu udara pengering. Pengujian awal pengering rotari
dilakukan sebanyak 3 kali pengujian. Masing-masing pengujian dilakukan selama
3 jam. Profil suhu inlet tiap-tiap pengujian pada pengering rotari dapat dilihat
pada Gambar 26. Pada awal pengujian, suhu inlet cenderung meningkat dan
selanjutnya konstan (170-188 oC) pada waktu tertentu. Suhu inlet pada pengujian I
cenderung akan konstan pada menit ke-45 dengan suhu rata-rata 182.3 oC,
sedangkan pengujian II dan III cenderung konstan pada menit ke-66 dan ke-54
dengan suhu rata-rata masing-masing 175.7 oC dan 180 oC.

200

180

160

140

120
S uhu (C)

100

80

60

40

20

0
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

Waktu (menit)

Uji I Uji II Uji III

Gambar 26. Suhu inlet tanpa kontrol suhu


Pengujian selanjutnya dilakukan untuk melihat distribusi suhu di dalam
silinder atau ruang pengering. Profil dan distribusi suhu ruang pengering masing-
masing titik pengukuran dapat dilihat pada Gambar 27.

200

180

160

140

120
Suhu (C)

100

80

60

40

20

0
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

Waktu (menit)
T inlet T2 m T3m T 8.3 m
T 9.3 m T 10.3 m T 11.3 m T outlet

Gambar 27. Suhu ruang pengering tanpa kontrol suhu

Suhu dalam ruang pengering memiliki pola yang sama dengan suhu inlet,
dimana terjadi peningkatan suhu pada awal pemanasan dan kemudian cenderung
steady. Suhu rata-rata ruang pengering tertinggi berada di jarak 2 m dari inlet
sebesar 156.8 oC dengan suhu rata-rata inlet sebesar 182.3 oC, sedangkan suhu
rata-rata ruang pengering yang rendah berada di outlet yaitu sebesar 140.5 oC.
Suhu ruang pengering sepanjang silinder pada kondisi steady state dapat dilihat
pada Gambar 28. Suhu rata-rata pada bagian tengah silinder sangat sulit untuk
diukur, tetapi dapat diduga dengan melihat suhu rata-rata pada titik sebelum dan
sesudahnya yaitu titik 3 m dan 8.3 m. Suhu rata-rata pada kedua titik tersebut
adalah 154.9 oC dan 154.1 oC, dengan perbedaan suhu kedua titik tersebut yaitu
sebesar 0.8 oC. Perbedaan kedua titik pengukuran tersebut yang relatif kecil atau
cenderung konstan, maka suhu rata-rata di bagian tengah silinder dapat diduga.
Dalam proses pengeringan diperlukan suhu pengeringan yang konstan disetiap
jarak ruang pengering karena suhu konstan akan menghasilkan produk kering
dengan mutu yang seragam.
190

180

170

160

Suhu (C) 150

140

130

120

110

100
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Jarak (m)

Gambar 28. Suhu rata-rata sepanjang silinder (tanpa kontrol)

Pengujian dengan kontrol suhu


Pengujian kinerja pengering rotari dengan kontrol suhu dibagi menjadi dua
bagian yaitu tanpa beban dan dengan beban (sawut ubijalar). Pengujian dengan
kontrol suhu dengan cara mengontrol suhu pada inlet. Alat yang berfungsi
mengontrol suhu inlet adalah panel kontrol, dimana pada bagian ini terdiri dari
dua terminal yaitu termokopel dihubungkan ke inlet dan arus listrik yang
terhubung pada burner. Tipe kontrol pada alat ini adalah ON-OFF, apabila suhu
inlet telah melampaui suhu yang di set pada panel kontrol maka akan OFF dan
sebaliknya. Pada penelitian ini suhu diset pada 135 oC.
Pengujian pengering rotari tanpa beban dilakukan dengan 2 pengujian
masing-masing selama 3 jam. Profil suhu inlet dan ruang pengering pada
pengujian II dapat dilihat pada Gambar 28 sedangkan data pengujian I dapat
dilihat pada Lampiran 9. Suhu inlet meningkat pada awal proses pemanasan dan
kemudian konstan. Suhu rata-rata inlet pada pengujian 1 dan 2 masing-masing
adalah 132.7 oC dan 130.9 oC, dimana pada kedua percobaan suhu inlet cenderung
konstan pada menit ke-18.
Suhu ruang pengering pada setiap jarak pengukuran mempunyai pola yang
sama dengan suhu inlet yaitu mengalami kondisi konstan pada waktu tertentu.
Pada Gambar 29 juga terlihat bahwa semakin lama grafik suhu ruang pengering
pada setiap jarak akan menempel, hal ini dapat diduga bahwa titik-titik
pengukuran pada ruang pengering mempunyai suhu yang hampir sama.
140

120

100
Suhu (C)
80

60

40

20

0
0 20 40 60 80 100 120

Waktu (menit)
T inlet T 1.36 m T 8.22 m T 9.58 m T 10.94 m T outlet

Gambar 29. Suhu inlet dan ruang pengering dengan kontrol suhu dan tanpa beban

Suhu rata-rata udara pengering sepanjang silinder dapat dilihat pada Gambar
30. Pada keadaan steady, suhu rata-rata ruang pengering tertinggi berada pada
jarak 1.36 m dari inlet, dimana pada pengujian I dan II masing-masing sebesar
110.2oC dan 111.7oC. Tingginya suhu ini dikarenakan titik pengukuranya lebih
dekat ke inlet. Suhu rata-rata ruang pengeringan terhadap jarak pada silinder dari
kedua percobaan tersebut berbeda, hal ini karena suhu inlet kedua pengujian
tersebut berbeda juga.
140

130

120
Suhu (C)

110

100

90

80
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Jarak (m)
Uji I Uji II

Gambar 30. Suhu rata-rata sepanjang silinder (kontrol suhu dan tanpa beban)
Suhu rata-rata ruang pada bagian ujung (8.22 m, 9.58 m, dan 10.94 m)
pengering lebih rendah dibandingan dengan suhu outlet, hal ini dikarenakan pada
bagian outlet, panas terakumulasi sehingga suhu di bagian ini lebih tinggi. Suhu
rata-rata pada bagian tengah silinder sulit untuk diukur. Pendugaan dapat
dilakukan dengan melihat suhu rata-rata pada titik pengukuran sebelum dan
sesudahnya yaitu titik 1.36 m dan 8.22 m. Selisih suhu rata-rata pada kedua titik
tersebut untuk pengujian I dan II masing-masing adalah 1.7 oC dan 2.9 oC maka
dapat diduga suhu rata-rata udara di bagian tengah silinder yaitu mendekati atau
antara suhu kedua titik tersebut.
Pengujian pengering rotari dengan beban (sawut ubijalar) dibagi menjadi 4
percobaan berdasarkan laju pengumpanan. Empat tingkat laju pengumpanan
sawut basah ke pengering rotari yaitu 3 kg/1 menit, 3 kg/2 menit, 3 kg/3 menit,
dan 3 kg/4 menit. Suhu rata-rata inlet yang tecatat pada percobaan I, II, III, dan IV
masing-masing adalah 131.4 oC, 130.3 oC, 135.1 oC, dan 132 oC. Suhu inlet
tersebut adalah suhu inlet rata-rata dalam kondisi ruang pengering penuh dengan
sawut (hold-up). Suhu inlet pada masing-masing percobaan cenderung konstan
pada waktu tertentu, dimana suhu inlet tidak berpengaruh terhadap insersi sawut
basah ke ruang pengering. Suhu inlet rata-rata setiap percobaan berbeda-beda
walaupun sudah dikontrol dengan menggunakan pengontrol suhu (termostat) pada
suhu yang sama yaitu 135 oC, hal ini dipengaruhi oleh suhu pembakaran minyak
tanah di dalam tungku yang sangat berfluktuatif. Suhu inlet pada percobaan III
lebih tinggi dibandingkan dengan percobaan lainnya, hal ini merupakan gambaan
dari suhu pembakaran di tungku dan suhu cerobong yang dihasilkan, dimana
percobaan III memiliki suhu yang tertinggi di kedua titik pengukuran tersebut.
Suhu cerobong yang terukur pada masing-masing percobaan adalah percobaan I
(78.5 oC), II (80.9 oC), III (100.1 oC), dan IV (80.9 oC).
Sawut basah yang diumpankan ke ruang pengering menyebabkan suhu
ruang pengering menurun, hal ini dikarenakan udara pengering memberikan panas
ke sawut untuk menguapkan air, semakin banyak sawut yang masukkan semakin
besar panas yang harus diberikan udara panas ke sawut dan semakin besar
penurunan suhu udara pengering. Grafik suhu udara pengering terhadap waktu
dapat dilihat pada Gambar 31 (percobaan II) dan Gambar 32 (percobaan IV),
sedangkan percobaan I dan III dapat dilihat pada Lampiran 10.
Hampir semua percobaan mengalami fenomena penurunan suhu udara di
ruang pengering. Penurunan suhu udara pengering dihitung berdasarkan selisih
antara suhu udara pengering sebelum dan sesudah kondisi hold up. Penurunan
suhu udara pengering pada jarak 9.58 m dan 10.94 m tertinggi terjadi pada
percobaan I masing-masing sebesar 34.3 oC dan 33.7 oC, sedangkan penurunan
suhu terendah pada jarak tersebut terjadi pada percobaan IV masing-masing
sebesar 3.7 oC dan 5.5 oC. Sama dengan kedua titik pengukuran tersebut,
penurunan suhu udara di outlet (12.3 m) tertinggi juga terjadi pada percobaan I
dan terendah pada percobaan IV masing-masing sebesar 31.6 oC dan 7.7 oC. Laju
pengumpanan berpengaruh terhadap penurunan suhu udara pengering jarak 9.58
m, 10.94 m, dan suhu outlet. Semakin banyak bahan yang masuk ke dalam ruang
pengering semakin besar penurunan suhunya. Penurunan suhu udara pengering
pada jarak 1.36 m tidak berpengaruh terhadap laju pengumpanan, hal ini dapat
diduga karena sensor suhu pada jarak 1.36 m tertutup oleh sawut basah sehingga
suhu yang terukur bukan sepenuhnya suhu udara. Letak titik pengukuran 1.36 m
lebih dekat dengan lubang feeder sehingga kemungkinan sawut menutup sensor
suhu cukup besar.

160

140

120

100
S uhu (C)

80

60

40

20

0
0 30 60 90 120 150 180 210 240

Waktu (menit)

T inlet T 1.36 m T 9.58 m T 10.94 m T outlet

Gambar 31. Profil suhu ruang pengering pada pengumpanan 3 kg/2 menit
160

140

120

100
Suhu (C)

80

60

40

20

0
0 40 80 120 160 200 240 280

Waktu (menit)

T inlet T 1.36 m T 9.58 m T 10.94 m T outlet

Gambar 32. Profil suhu ruang pengering pada pengumpanan 3 kg/4 menit

Kelembaban Relatif di Outlet


Jumlah uap air di dalam ruang pengering dapat diduga dari nilai RH di outlet.
Uap air yang dikeluarkan oleh sawut pada saat pengeringan akan ditampung oleh
udara pengering, apabila uap air yang dikeluarkan oleh bahan lebih banyak maka
RH udara pengering akan meningkat sehingga tekanan uap air udara juga
meningkat sehingga kemampuan perpindahan uap air dari bahan ke udara akan
menurun karena beda tekanan lebih rendah, hal ini kurang menguntungkan untuk
proses pengeringan. Fluktuasi RH yang terukur di outlet dapat dilihat pada
Lampiran 11. Kelembaban relatif di outlet pada percobaan I lebih tinggi dari
percobaan lainnya, dengan rata-rata pada saat kondisi hold-up sebesar 81.7%, hal
ini mengindikasikan bahwa pada percobaan I lebih banyak uap air yang
dilepaskan ke udara pengering. Nilai RH pada kondisi hold-up pada percobaan III
dan IV berturut-turut adalah 56.8% dan 19.3%. Pada percobaan II nilai RHnya
tidak terekam dengan baik, tetapi dapat diduga kecenderungannya berdasarkan
nilai RH pada percobaan I, III, dan IV. Semakin banyak bahan yang diumpankan
ke dalam pengering maka semakin besar nilai RH udara yang dikeluarkan melalui
outlet.
Kecepatan Udara
Kecepatan udara merupakan faktor yang mempengaruhi proses pengeringan.
Profil kecepatan udara dalam silinder dapat dilihat pada Lampiran 12. Kecepatan
udara ini diukur pada saat silinder dalam keadaan kosong (tanpa beban) dan
diukur tepat di tengah silinder dengan arah aksial.
Kecepatan udara di dalam silinder akan mulai konstan pada jarak 3.69 m
dari inlet, menurunnya kecepatan udara di dalam silinder karena adanya pelebaran
diameter yang mana semakin jauh jarak tempuhnya maka akan semakin kecil dan
cenderung tetap kecepatannya, sedangkan jarak yang dekat dengan inlet,
kecepatan udaranya lebih besar. Kecepatan udara rata-rata pada jarak 3.69-11.07
m berkisar antara 0.88-1.48 m/s. Kecepatan udara rata-rata pada inlet sebesar
15.72 m/s, tinggi kecepatan di inlet karena adanya vena contracta sedangkan
kecepatan udara rata-rata pada outlet adalah 5.707 m/s.
Waktu tinggal dan lama operasi pengeringan
Waktu tinggal (residence time) sawut ubijalar di ruang pengering rotari
didapatkan dengan menghitung lamanya sawut berada di ruang pengering mulai
dari sawut basah pertama yang diumpankan sampai sawut kering yang pertama
kali keluar dari pengering rotari. Waktu tinggal juga merupakan lamanya proses
pengeringan sawut setiap pengumpanan (sekali melintas dalam ruang pengering).
Menurut Kelly (2005), semakin lama waktu tinggal maka semakin lama waktu
pengeringan berlangsung dalam satu kali lewat dan semakin banyak terjadi proses
pindah panas dan pindah massa. Hal ini akan berpengaruh terhadap kadar air akhir
sawut kering.

Pada penelitian ini diperoleh waktu tinggal yang sama pada semua
percobaan yaitu 18 menit, hal ini dikarenakan faktor kemiringan dan rpm silinder
pada semua percobaan adalah sama dan konstan. Sawut bergerak sepanjang
silinder dengan kecepatan rata-rata 0.011 m/s. Kecepatan sawut di sepanjang
ruang pengering kenyataannya tidak sama karena pada bagian yang lebih dekat
inlet kecepatan sawut agak lambat karena sawut lebih berat atau masih tinggi
kadar airnya jika dibandingkan dengan kecepatan sawut yang dekat dengan outlet.
Menurut Yliniemi (1999) pergerakan bahan di dalam pengering dipengaruhi oleh
mekanisme berikut yaitu lifting (mengangkat), cascade action (mencurah),
slinding (meluncur) dan bouncing (melambung).

Hold-up merupakan banyak sawut yang mengisi penuh ruang pengering.


Berdasarkan rumus persamaan 11) maka diperoleh hold-up dari semua percobaan.
Hold-up pada percobaan I, II, III, dan IV masing-masing sebesar 36, 18, 12, dan
9 kg sawut. Semakin besar laju pengumpanan sawut ke pengering rotari maka
semakin besar hold-upnya

Perhitungan waktu pada masing-masing percobaan meliputi lama pre


heating, lama total pengeringan, dan lama operasi pengering rotari. Tabel 13
menjelaskan waktu-waktu dalam operasi pengering pada pengering rotari.
Pengoperasian pengering rotari dimulai dari pemanasan awal (pre-heating) yang
bertujuan untuk memanaskan cangkang silinder bagian dalam sampai diperoleh
suhu inlet yang konstan. Indikator dari waktu pre-heating telah selesai adalah
kontrol suhu telah berjalan dengan baik dimana burner mati dan hidup. Setelah
waktu pre-heating berlangsung, selanjutnya dilakukan proses pengumpanan sawut
ke dalam ruang pengering.

Tabel 13. Waktu operasi pengeringan dan waktu tinggal


Waktu (menit)
Percobaan Lama Lama alat Waktu
Pre-heating
pengeringan beroperasi tinggal
I 19 111 130 18
II 16 154 170 18
III 23 201 224 18
IV 18 255 273 18

Lama total pengeringan merupakan waktu yang dibutuhkan untuk


mengeringkan seluruh sawut basah. Percobaan I membutuhkan lama total
pengeringan yang singkat dibandingkan percobaan yang lain, sedangkan
percobaan IV membutuhkan waktu yang paling lama. Lama total pengeringan
berbanding lurus dengan laju pengumpanan, semakin rendah laju pengumpanan
maka semakin besar lama total pengeringan, dan sebaliknya. Lama total
pengeringan masing-masing percobaan dapat dilihat pada Tabel 7. Lama operasi
pengering rotari dimulai dari burner dan kipas dihidupkan sampai proses
pengeringan semua sawut basah selesai.
Kadar air sawut
Pengukuran kadar air sawut di dalam ruang pengering untuk melihat
penurunan kadar air selama waktu tinggal sangat sulit dilakukan karena sawut
bergerak di sepanjang ruang pengering secara kontinu. Kadar air sawut yang
hanya dapat diukur adalah kadar air akhir sawut kering yang keluar dari lubang
outlet bahan Data pengukuran kadar air umbi, sawut basah,dan kering dapat
dilihat pada Lampiran 13. Grafik kadar air awal dan akhir dari sawut dapat dilihat
pada Gambar 33. Kadar air sawut kering rata-rata yang diperoleh pada percobaan
I, II, III, dan IV masing-masing 64.98, 36.23, 19.29, dan 9.01%bk.

250 216.76 199.58 210.17 220.62

200
Kadar air (%bk)

150

100 64.98
36.23
50 19.29 9.01

0
I II III IV
Percobaan
Kadar air aw al (%bk) Kadar air akhir (%bk)

Gambar 33. Kadar air awal dan akhir sawut

Laju pengumpanan sawut berpengaruh terhadap kadar air sawut kering. Laju
pengumpanan yang rendah akan menyebabkan sawut lebih sedikit berada di dalam
ruang pengering, hal ini menyebabkan penurunan suhu di ruang pengering relatif
rendah sehingga suhu udara masih tinggi selain itu RH yang terbentuk juga lebih
rendah. Kedua faktor tersebut menyebakan proses penguapan air dari sawut
berjalan dengan cepat, begitu juga sebaliknya dengan laju pengumpanan tingg.i
Kadar air sawut kering dengan pengumpanan yang lambat lebih rendah
dibandingkan dengan pegumpanan cepat. Kelemahan dari pengumpanan lambat
adalah kapasitas produksinya lebih kecil dibandingkan dengan pengumpaan cepat.
Proses pindah panas antara udara dan bahan serta perpindahan massa air dari
bahan ke udara terjadi secara simultan. Laju perpidahan uap air dipengaruhi oleh
laju pengumpanan sawut ke ruang pengering serta kadar air awal dan akhir dari
sawut. Tabel 14 menjelaskan bahwa laju penguapan air rata-rata dan laju padatan
dari sawut. Laju penguapan air rata-rata yang dapat dihitung. Pada kenyataannya
laju penguapan air pada awal proses pengeringan berlangsung lebih cepat
dibandingkan dengan akhir dari proses pengeringan. Sedangkan, laju padatan
sawut adalah konstan sepanjang proses pengeringan dan selama pergerakan bahan
di dalam ruang pengering. Percobaan I dengan laju pengumpanan yang tinggi
memiliki laju penguapan air rata-rata dan laju padatan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan percobaan lain, jadi semakin tinggi laju pengumpanan sawut
maka semakin tinggi laju penguapan air rata-rata dan laju padatan dari sawut dan
begitu juga sebaliknya.

Tabel 14. Laju aliran massa rata-rata uap air dan padatan
Laju aliran massa
Percobaan Uap air rata-rata padatan
(gH2O/detik) (g/detik)
I 23.96 15.79
II 13.63 8.35
III 10.26 5.37
IV 8.25 3.90

Jumlah air yang diuapkan selama pengeringan (waktu tinggal) masing-


masing percobaan I, II, III, dan IV adalah 25.9, 14.7, 11.1, dan 8.9 kg H2O.
Jumlah air yang diuapkan pada percobaan I lebih tinggi dibandingkan dengan
percobaan lain, hal ini dikarenakan laju pengumpanan sawut yang tinggi sehingga
laju penguapan airnya juga tinggi. Faktor lain yang juga perpengaruh terhadap
jumlah air yang diuapkan adalah waktu tinggal. Tetapi, dalam penelitian ini semua
percobaan memiliki waktu tinggal yang sama sehingga tidak terlihat pengaruhnya
terhadapjumlah air yang diuapkan.

Kebutuhan Energi Pengering Rotari

Konsumsi bahan bakar


Bahan bakar yang digunakan sebagai sumber energi adalah minyak tanah.
Penggunaan minyak tanah mempunyai banyak kelebihan diantaranya memiliki
nilai kalor yang cukup tinggi (43 028 kJ/kg) dan panas yang dihasilkan lebih stabil
dibandingkan dengan biomassa dan batu bara. Kelemahan dari penggunaan
minyak tanah adalah harganya yang mahal. Panas dari pembakaran minyak tanah
menggunakan kompor bertekanan (burner). Menurut Manalu (2002), penggunaan
burner cukup baik karena panas yang dihasilkan cukup tinggi dan jelaga yang
dihasilkan hampir tidak ada, sedangkan kelemahannya adalah nosel atau
spuyernya mudah tertutup kotoran dari minyak tanah. Konsumsi minyak tanah
pada masing-masing percobaan dapat dilihat dari Tabel 15.
Tabel 15. Konsumsi minyak tanah
Konsumsi minyak tanah
Percobaan
(liter/menit) (kg/menit)
Kontrol suhu
Tanpa beban 0.185 0.151
I 0.207 0.170
II 0.184 0.151
III 0.184 0.151
IV 0.183 0.150
Tanpa kontrol suhu 0.256 0.210

Konsumsi minyak tanah tertinggi terdapat pada percobaan tanpa kontrol


suhu (termostat) yaitu sebesar 0.256 liter/menit, sedangkan percobaan dengan
kontrol suhu menunjukkan nilai yang hampir sama kecuali percobaan I. Tingginya
konsumsi minyak tanah pada percobaan tanpa kontrol suhu karena burner terus
menyemprotkan minyak tanah ke tungku pembakaran tanpa berhenti.
Konsumsi Energi
Sumber energi yang digunakan pada pengering rotari terdiri dari energi
minyak tanah dan energi listrik. Total input energi adalah total energi dari minyak
tanah dan listrik yang dipakai pada proses pengeringan. Total input energi
masing-masing percobaan adalah percobaan I (142.7 MJ), II (127.6 MJ), III
(127.9 MJ) dan IV (127.3 MJ). Percobaan I memiliki total input energi terbesar,
hal ini dikarenakan konsumsi penggunaan minyak tanah pada percobaan I lebih
besar dibandingkan dengan percobaan lainnya walaupun waktu tinggal sama.
Sedangkan percobaan II, III dan IV memiliki total input energi yang sama
besarnya. Energi yang bersumber dari minyak tanah merupakan energi terbesar
yang digunakan pada pengering rotari. Persentase energi minyak tanah dari total
input energi yang digunakan pada masing-masing percobaan berkisar antara 91.4-
92.3%, hal ini terlihat bahwa percobaan yang konsumsi minyak tanahnya paling
besar berarti input energinya juga paling besar. Energi hasil pembakaran minyak
tanah digunakan untuk memanaskan udara yang selanjutnya menguapkan air dari
bahan dan menaikan suhu bahan. Energi dari minyak tanah dihitung berdasarkan
laju konsumsi minyak tanah, lama penggunaan dan nilai kalor dari minyak tanah.
Energi listrik yang dikonsumsi pada pengering rotari sangat kecil
pemakaiannya sekitar 7.7-8.6% dari total input energi, pemakaian energi listrik
digunakan untuk menggerakkan silinder, mengoperasikan kipas, dan burner.
Energi listrik dihitung dari lamanya penggunaan peralatan listrik selama proses
pengeringan dikalikan dengan daya yang dipakai oleh peralatan tersebut.
Penggunaan energi motor penggerak dan kipas pada masing-masing percobaan
adalah sama, hal ini dikarenakan durasi peralatan tersebut beroperasi adalah sama
yaitu berdasarkan waktu tinggal. Total energi listrik yang digunakan tiap-tiap
percobaan adalah 10.96 MJ. Penggunaan energi listrik untuk mengerakan silinder
lebih besar dibandingkan dengan mengoperasikan kipas dan burner. Persentase
besarnya energi listrik tiap-tiap peralatan terhadap total energi listrik adalah motor
penggerak (66.8%), kipas (30.7%) dan burner (2.5%). Penggunaan energi listrik
untuk motor penggerak dan kipas digunakan secara terus-menerus atau tidak
intermiten dari mulai pengoperasian alat hingga proses pengeringan selesai,
sedangkan pengunaan energi burner tergantung dari sistem kontrol.
Energi panas dari pembakaran minyak tanah dimanfaatkan langsung untuk
pemanasan udara, pemanasan bahan, dan penguapan air. Besar pemanfaatan
energi dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Pemanfaatan energi untuk pengeringan sawut ubijalar
Percobaan
Parameter
I II III IV
Energi pemanasan udara (MJ) 76.64 77.29 77.73 77.17
Energi pemanasan produk (MJ) 4.14 3.16 3.02 2.59
Energi penguapan (MJ) 58.40 33.22 25.01 20.11

Pada tiap-tiap percobaan menunjukan bahwa energi untuk menguapkan air


dari bahan lebih besar dibandingkan dengan energi untuk memanaskan bahan.
Energi penguapan terbesar ditemukan pada percobaan I sebesar 58.4 MJ, hal ini
dikarenakan laju penguapan air pada percobaan I lebih besar dibandingkan dengan
percobaan lainnya. Laju penguapan air yang besar membutuhkan energi
penguapan yang besar pula, hal ini juga terlihat pada percobaan IV yang memiliki
energi penguapan dan laju penguapan air yang paling kecil dibandingkan dengan
percobaan lain. Beberapa faktor yang mempengaruhi energi penguapan adalah
laju penguapan air, massa air yang diuapkan, dan panas laten penguapan. Energi
pemanasan bahan pada masing-masing percobaan menunjukan nilai yang berbeda.
Energi yang dibutuhkan untuk memanaskan sawut dari yang tertinggi sampai
terendah berturut-turut adalah percobaan I (4.14 MJ), II (3.16 MJ), III (3.02 MJ),
dan IV (2.59 MJ). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi energi pemanasan
sawut adalah laju pengumpanan, suhu udara pengering, suhu produk, dan panas
jenis dari sawut.
Konsumsi energi spesifik merupakan total jumlah energi per jumlah air yang
diuapkan selama proses pengeringan. Konsumsi energi spesifik dapat dilihat pada
Gambar 34 dan Tabel 10. Konsumsi energi spesifik terbesar terdapat pada
percobaan IV yaitu sebesar 14.26 MJ/kgH2O dan terkecil terdapat pada percobaan
I yaitu sebesar 5.51 MJ/kgH2O. Tingginya konsumsi energi spesifik disebabkan
pengeringan dilakukan dengan kapasitas kecil. Proses pengeringan dikatakan baik
apabila nilai konsumsi energi spesifiknya kecil.

14286.55
16000
Konsumsi energi spesifik

14000
11543.64
12000
8668.45
(kJ/kg H20)

10000

8000
5514.82
6000

4000

2000

0
I II III IV

Percobaan

Gambar 34. Konsumsi energi spesifik


Konsumsi energi panas spesifik merupakan total jumlah energi panas per
total jumlah air yang diuapkan selama pengeringan. Nilai konsumsi energi panas
spesifik hampir sama dengan konsumsi energi spesifik, hal ini dikarenakan energi
panas merupakan kontribusi yang paling besar dari total energi yang digunakan
pada pengering rotari. Konsumsi energi mekanik spesifik adalah total jumlah
energi mekanik per total jumlah air yang diuapkan selama waktu tinggal.
Konsumsi energi panas spesifik jauh lebih besar jika dibandingkan dengan
konsumsi energi mekanik spesifik. Pada Tabel 17 dapat dilihat bahwa konsumsi
energi mekanik spesifik terkecil terdapat percobaan I yaitu sebesar 283.2 kJ/kg
H2O. Faktor yang mempengaruhi konsumsi energi mekanik spesifik pada setiap
percobaan adalah jumlah uap air yang dihasilkan dari pengeringan, sedangkan
durasi pengoperasian motor penggerak bukan merupakan faktor penentu karena
durasi pengoperasian berdasarkan waktu tinggal yang nilainya sama setiap
percobaan.

Tabel 17. Konsumsi energi dan efisiensi pengering rotari


Percobaan
Parameter
I II III IV
Energi total pengeringan (MJ) 62.55 36.39 28.02 22.70
Energi bahan bakar (MJ) 131.74 116.64 116.95 116.33
Energi kipas (MJ) 3.36 3.36 3.36 3.36
Energi motor penggerak (MJ) 7.33 7.33 7.33 7.33
Energi total sistem (MJ) 142.43 127.33 127.64 127.02
Konsumsi energi spesifik
5.51 8.65 11.52 14.26
(MJ/kg H2O)
Konsumsi energi panas
5.09 7.92 10.55 13.06
spesifik ( MJ/kg H2O)
Konsumsi energi mekanik
0.28 0.49 0.66 0.82
spesifik (MJ/kg H2O)
Efisiensi pengeringan (%) 81.61 47.08 36.06 29.42
Efisiensi total (%) 43.91 28.58 21.96 17.87

Efisiensi pengeringan tertinggi diperoleh dari percobaan I yaitu 81.61%,


sedangkan yang terendah terdapat pada percobaan IV sebesar 29.42%. Tingginya
efisiensi dikarenakan banyaknya energi udara panas yang termanfaatkan untuk
proses penguapan air dan pemanasan bahan. Efisiensi total pengering rotari dari
keempat percobaan berturut-turut adalah I (47.41%), II (31.15%), III (23.93%),
dan IV (19.49%). Efisiensi total sistem pengering yang tertinggi terdapat pada
percobaan I dengan pengumpanan bahan 3 kg/menit. Rendahnya efisiensi
pengering rotari dikarenakan banyaknya energi yang dibutuhkan dalam proses
pengoperasiannya.
Mutu Pengeringan

Sifat fisik sawut kering yang dilihat sebagai parameter mutu pada penelitian
ini adalah kadar air akhir dan warna. Mutu sawut kering dapat dilihat pada Tabel
18.
Tabel 18. Mutu fisik sawut kering
Percobaan
Parameter
I II III IV
Kadar air akhir (%bb) rata-rata 39.39 26.60 16.17 8.26
Nilai L rata-rata 73.93 79.76 79 82.76

Perlakuan sebelum proses pengeringan adalah proses perendaman dengan


natrium bisulfit 0.3%, hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya reaksi
browning sehingga diperoleh warna sawut kering yang cerah. Data warna sawut
kering dapat dilihat pada Lampiran 14. Nilai L pada sistem warna hunter
menunjukan parameter kecerahan (lightness). Nilai L rata-rata yang tertinggi pada
sawut kering diperoleh dari percobaan IV yaitu 82.76, hal ini menunjukan sawut
kering dari percobaan tersebut memiliki warna yang lebih cerah. Sawut kering
yang mutunya baik adalah sawut kering dengan kadar air yang rendah.
Berdasarkan keempat percobaan terlihat bahwa percobaan IV memperoleh kadar
air akhir yang rendah yaitu 8.26%bb, hal ini diperlukan agar mudah untuk proses
penepungan maupun penyimpanan sawut. Percobaan IV memiliki dua parameter
mutu yang terbaik dibandingkan dengan percobaan yang lain.
Mutu sawut kering secara kuantitas dapat dilihat dari beratnya. Sawut kering
dan susut yang berhasil ditimbang pada masing-masing percobaan dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.

Tabel 19. Berat sawut kering dan susut.


Percobaan Sawut kering (kg) Susut (kg)
I 93.95 0.9
II 75.9 3.05
III 66.45 1
IV 58.4 1.4
Berat sawut kering dihasilkan dari proses pengeringan dipengaruhi oleh
kadar air akhir sawut, dimana semakin tinggi kadar air akhir maka semakin berat
sawut kering yang dihasilkan dari jumlah input yang sama. Faktor lain yang
mempengaruhi kuantitas sawut kering adalah susut. Jumlah susut banyak terdapat
pada bagian feeder, hal ini karena pengumpanan masih dilakukan secara manual.
Selain itu ada sawut yang terhembus ke luar karena dorongan udara dari ruang
pengering melalui feeder.

Validasi Model

Model matematik digunakan untuk menduga distribusi suhu udara pengering


di dalam silinder, suhu produk, kadar air, dan RH. Keluaran dari model divalidasi
dengan data-data hasil pengukuran pada kondisi steady state. Input data yang
digunakan pada model adalah laju pengumpanan sawut, laju aliran massa udara,
kadar air awal sawut (%bk), suhu inlet, suhu sawut basah, panas jenis udara,
panas jenis sawut, kelembaban mutlak udara lingkungan, panjang silinder, waktu
tinggal, dan panas spesifik air, tekanan udara, koefisien perpindahan konveksi
volumetrik, dan luas permukaan bahan yang terkena udara pengering.
Tampilan simulasi menggunakan program komputer dapat dilihat pada
Lampiran 15. Pada tampilan tersebut terlihat bahwa suhu udara pengering dan
suhu produk akan berubah sesuai dengan input yang dimasukkan. Input yang
banyak pengaruhnya terhadap keluaran model adalah laju pengumpanan. Semakin
besar laju pengumpanan maka selisih antara suhu udara pengering dengan suhu
produk akan semakin kecil, begitu juga sebaliknya.
Kesesuaian data pengukuran dengan hasil model dapat dilihat dari kurva
fitting. Gambar 35, 36, 37, dan 38 menunjukan perbandingan antara suhu ruang
pengering hasil pengukuran dengan keluaran model pada masing-masing laju
pengumpanan yaitu 3 kg/1 menit, 3 kg/2 menit, 3 kg/3 menit, dan 3 kg/4 menit.
140.0
130.0
120.0
110.0
100.0
Suhu (C) 90.0
80.0
70.0
60.0
50.0
40.0
30.0
20.0
10.0
0.0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Jarak (m)
Model Ukur

Gambar 35. Suhu ruang pengering (model dan pengukuran)


pada pengumpanan 3 kg/1 menit

140
130
120
110
100
90
Suhu (C)

80
70
60
50
40
30
20
10
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Jarak (m)
Model Ukur

Gambar 36. Suhu ruang pengering (model dan pengukuran)


pengumpanan 3kg/2 menit
140
130
120
110
100
Suhu (C) 90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Jarak (m)
Model Ukur

Gambar 37. Suhu ruang pengering (model dan pengukuran)


pengumpanan 3 kg/3 menit
140
130
120
110
100
90
Suhu (C)

80
70
60
50
40
30
20
10
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Jarak (m)
Model Ukur

Gambar 38. Suhu ruang pengering (model dan pengukuran)


pengumpanan 3 kg/4 menit

Model dapat digunakan untuk menjelaskan profil suhu ruang pengering dan
produk dalam arah aksial. Profil suhu pada percobaan I (laju pengumpanan yang
tinggi) kecenderungan menurun dengan tajam dibandingkan dengan percobaan II,
III, dan IV (laju pengumpanan yang rendah) terlihat agak datar. Hal ini
dikarenakan banyaknya panas yang ditransfer ke bahan untuk proses penguapan
sehingga terjadinya penurunan suhu udara pengering. Semakin tinggi laju
pengumpanan maka semakin banyak panas yang ditransferkan dan semakin besar
penurunan suhu. Menurut Iguaz et al. (2003) pada awal pengeringan laju
perpindahan panas maksimum karena adanya perbedaan yang besar antara suhu
udara dengan suhu produk, panas dibutuhkan untuk menguapkan air dari produk
sehingga jumlah uap air lebih tinggi pada awal pengeringan.
Simulasi model untuk suhu ruang pengering telah mengikuti kecenderungan
data dengan cukup baik, dimana nilai COD untuk masing-masing percobaan I, II,
III, dan IV adalah 0.992, 0.955, 0.928, dan 0.819. Nilai COD yang berbeda setiap
percobaan dikarenakan kesalahan (error) nilai pengukuran dan perhitungan
(model) pada titik pengukuran 1.36 m sangat besar. Error masing-masing
percobaan pada titik pengukuran 1.36 m adalah 4.7 oC, 15.8 oC, 15.8 oC, dan 20
o
C. Penyebab dari error yang besar pada titik tersebut adalah asumsi dari model
yaitu kehilangan panas pada feeder (bagian pengering rotari yang lebih dekat
dengan titik pengukuran 1.36 m) diabaikan. Pada Gambar 35-38 terlihat suhu di
titik pengukuran 1.36 m hasil model lebih tinggi dibandingkan dengan
pengukuran, hal ini dikarenakan panas yang terbuang melewati lubang feeder
tidak diperhitungkan didalam model. Selain itu, kemungkinan sensor suhu pada
saat pengukuran tertutup oleh sawut yang diumpankan sehingga suhu udara yang
terukur kurang akurat. Berdasarkan hasil simulasi bahwa semakin tinggi laju
pengumpanan maka semakin rendah suhu ruang pengering begitu pula sebaliknya.
Keakuratan profil suhu sawut sulit untuk dibuktikan karena suhu sawut di
dalam silinder sulit untuk diukur, Tetapi dalam kajian ini, suhu sawut di bagian
outlet yang dapat diukur suhunya. Acuan yang digunakan untuk melakukan
validasi model adalah error antara data pengukuran dengan model. Pengukuran
suhu sawut dapat pada Gambar 39. Data pengukuran suhu sawut dengan
menggunakan model masing-masing percobaan adalah 42.7 oC, 47.7 oC, 48.4 oC,
dan 51.5 oC. Model suhu sawut memiliki kecenderungan cukup baik, hal ini dapat
dilihat dari error yang dihasilkan cukup rendah. Error masing-masing pengukuran
suhu sawut masing-masing percobaan adalah 1.3 oC, 0.9 oC, 1.2 oC, dan 0.6 oC.
(a) (b)
Gambar 39. Pengukuran suhu sawut pada bagian outlet a) laju pengumpanan
3 kg/3 menit dan b) laju pengumpanan 3 kg/4 menit.

Peningkatan suhu sawut selama proses pengeringan berdasarkan hasil


simulasi dapat dilihat pada Gambar 40. Semakin tinggi laju pengumpanan maka
akan semakin rendah suhu sawut yang dikeluarkan dari ruang pengering begitu
pula sebaliknya, hal ini sama dengan suhu ruang pengering.

55

50

45
Suhu (C)

40

35

30

25
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Jarak (m)
Percobaan I Percobaan II Percobaan IV

Gambar 40. Suhu sawut hasil simulasi


Pendugaan kadar air sawut dan RH dengan menggunakan model hampir
sama dengan pendugaan suhu bahan, karena sulit untuk melakukan pengukuran di
dalam ruang pengering yang berputar dan sawut yang bergerak. Dalam melakukan
validasi terhadap model, data pengukuran yang digunakan hanya kadar air dan RH
outlet saja. Berdasakan hasil validasi diperoleh error yang sangat besar, baik
untuk kadar air sawut maupun RH. Error untuk kadar air pada percobaan I, II, III,
dan IV masing-masing adalah 10.5% bk, 4.66% bk, 11.56% bk, dan 20.53% bk.
Hasil validasi untuk RH outlet juga memiliki kecederungan yang sama dengan
kadar air yaitu error yang besar. Model pendugaan untuk kadar air bahan dan RH
belum bisa digunakan untuk memprediksi kedua parameter tersebut.
Ada beberapa asumsi yang menyebabkan perbedaan yang cukup jauh antara
data pengukuran dengan model adalah :
1. Model dari Me dan konstanta pengeringan (k) yang dihasilkan dari
pengeringan lapisan tipis menggunakan selang suhu dan RH yang sempit,
sedangkan kenyataannya selang suhu dan RH proses pengeringan rotari
sangat lebar. Selain itu, suhu dan RH pada pengeringan rotari lebih tinggi
dibandingkan dengan pengeringan lapisan tipis sehingga dalam
perhitungan Me dan k pada kondisi suhu dan RH tersebut terjadi
ekstrapolasi.
2. Bentuk geometri dari sawut yang sangat beragam, hal ini ditambah lagi
dengan bentuk sawut yang tidak utuh (patah) pada saat pengeringan karena
cascade action, bentuk geometri sawut pada saat pengeringan lapisan tipis
tidak mengalami kondisi tersebut. Perbedaan ini sangat berpengaruh
terhadap konstanta pengeringan, bentuk sawut yang lebih kecil memiliki
nilai k yang tinggi dibandingkan dengan sawut yang masih utuh.
3. Nilai panas laten sawut yang digunakan sebagai input adalah panas laten
air pada kondisi jenuh, hal ini sangat berpengaruh terhadap jumlah uap air
yang diuapkan. Panas laten produk pertanian lebih tinggi dibandingkan
dengan panas laten air.
Brooeker et al. (1974) dalam Manalu dan Abdullah (2001) menyatakan
penyebab perbedaan antara simulasi dan percobaan adalah kurang akuratnya
model pengeringan lapisan tipis, kurang tepatnya persamaan kadar air isotermis
bahan pada RH tinggi dan tidak tepatnya nilai parameter masukkan (input) model.
Ketidaktepatan nilai kadar air antara model dengan pengukuran diduga
karena nilai konstanta pengeringan (k) hasil pengeringan lapisan tipis (model)
tidak representatif terhadap pengeringan rotari karena bentuk geometri sawut
ubijalar yang digunakan pada kedua pengujian berbeda. Untuk itu diperlukan
faktor koreksi nilai k pada model yang digunakan. Setiap percobaan memiliki
nilai faktor koreksi yang berbeda-beda. Pada Tabel 20 menunjukan nilai faktor
koreksi dengan kisaran 1.25 - 2. Faktor koreksi ditentukan pada model secara trial
and error, dengan melihat error antara kadar air hasil pengukuran dengan model
serta nilai COD untuk suhu udara pengering. Nilai faktor koreksi yang ditetapkan
berdasarkan error kadar air yang rendah dan nilai COD suhu udara pengering
yang tinggi. Pada tabel juga terlihat nilai error kadar air tanpa faktor koreksi lebih
besar dibandingkan setelah menggunakan faktor koreksi, begitu pula dengan COD
tanpa faktor koreksi lebih kecil dibandingkan setelah menggunakan faktor koreksi
pada model. Perbandingan tersebut menggunakan data input yang konstan pada
model baik sebelum maupun sesudah menggunakan faktor koreksi.
Perbedaan faktor koreksi setiap percobaan dikarenakan sawut yang lebih
cepat kering akan lebih mudah patah yang kemudian menghasilkan ukuran sawut
yang lebih kecil, sehingga konstanta pengeringannya juga tinggi. Faktor koreksi
pada percobaan IV lebih besar dibandingkan dengan percobaan lain karena pada
percobaan ini sawut lebih cepat kering (kadar airnya lebih rendah) dan mudah
patah sehingga konstanta pengeringannya lebih tinggi, untuk itu diperlukan faktor
koreksi yang lebih besar pada model. Perkalian faktor koreksi dengan konstanta
pengeringan tidak berpengaruh terhadap keakuratan antara hasil pengukuran dan
model untuk RH. Model yang menggunakan faktor koreksi dapat digunakan untuk
menduga kadar air secara akurat karena error antara pengukuran dan model cukup
rendah berkisar 0.98-2.04%bk.
Tabel 20. Faktor koreksi yang digunakan pada model
tanpa faktor koreksi faktor koreksi
Parameter
I II III IV I II III IV
faktor koreksi - - - - 1.25 1.25 1.45 2
KA ukur 64.98 36.23 19.29 9.01 64.98 36.23 19.29 9.01
KA model 75.48 45.46 38.35 40.45 65.96 34.19 20.59 10.48
error 10.5 9.23 19.06 31.44 0.98 2.04 1.3 1.47

RH ukur 81.62 - 56.8 19.3 81.62 - 56.8 19.3


RH model 67.2 17.4 9.7 8.5 81.7 19.54 10.88 9.5
error 14.42 - 47.1 10.8 0.08 - 45.92 9.8

COD 0.992 0.954 0.928 0.819 0.996 0.964 0.947 0.869


250
225
200
175
Kadar Air (%bk) 150
125
100
75
50
25
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Jarak (m)

3 kg/1 menit 3 kg/2 menit 3 kg/3 menit 3 kg/4 menit

Gambar 41. Hasil simulasi perubahan kadar air setiap pengumpanan (faktor
koreksi)

Sama halnya dengan peningkatan suhu sawut, penurunan kadar air sawut di
ruang pengering juga sulit diukur secara langsung. Oleh karena itu, model
simulasi dari kadar air dapat membantu melihat perilaku penurunan kadar air di
ruang pengering. Penurunan kadar air pada pengumpanan 3 kg/1 menit lebih
lambat dibandingkan dengan pengumpanan yang lebih rendah. Sulitnya air keluar
dari sawut karena suhu udara pengering yang rendah dan RH yang tinggi
merupakan penyebab lambatnya penurunan kadar air pada pengumpanan 3 kg/1
menit. Berdasarkan penelitian Iguaz et al. (2003), kehilangan kadar air bahan
sangat cepat pada awal pengeringan, kira-kira 52% dari kadar air awal hilang pada
segmen awal pengering, dan pada segmen berikutnya kadar air berkurang lebih
lambat. Penurunan kadar air setiap pengumpanan hasil simulasi dengan faktor
koreksi dapat dilihat pada Gambar 41.
Kadar air akhir sawut ubijalar yang diharapkan pada penelitian ini adalah
5% bb atau 5.26% bk, berdasarkan hasil percobaan terlihat bahwa kadar akhir
sawut ubijalar untuk laju pengumpanan yang tinggi (3 kg/1 menit) masih jauh dari
yang diharapkan, hal ini dikarenakan kadar air awal sawut yang masih tinggi.
Untuk itu diperlukan proses pra pengeringan sebelum sawut masuk ke ruang
pengering sehingga kadar air akhir yang diharapkan bisa tercapai. Berdasarkan
hasil simulasi, untuk mendapatkan kadar air 5% bb maka kadar air awal sawut
harus sebesar 25.04% bb atau 33.4% bk. Selisih kadar air antara 68.43% bb dan
25.04% bb lebih besar dibandingkan dengan selisih antara 25.04% bb dan 5%bb,
Walaupun selisih kadar air 68.43% bb menjadi 25.04% bb lebih besar, tetapi
kadar air bebas pada sawut lebih mudah diuapkan dibandingkan kadar air terikat
(dari 25.05% bb menjadi 5% bb). Pra pengeringan dilakukan dengan tujuan untuk
menghilangkan kadar air sawut dari 68.43% bb menjadi 25.04% bb, sehingga
kadar air yang diharapkan 5% bb dapat tercapai.

Biaya Pokok Pengeringan

Tujuan dari analisis biaya dari pengering adalah untuk mengetahui berapa
biaya yang diperlukan untuk memproduksi per satuan output produk dari suatu
pengering. Biaya dalam suatu proses produksi dibagi menjadi dua komponen
yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variabel cost). Asumsi dasar
yang digunakan untuk menghitung biaya tetap dan biaya tidak tetap dapat dilihat
pada Lampiran 16. Biaya tetap merupakan biaya yang jumlahnya tetap
dikeluarkan setiap tahunnya, komponennya adalah biaya penyusutan, biaya bunga
modal, dan pajak. Biaya ini tidak tergantung pada jumlah produk yang dihasilkan
(jumlah jam kerja alat). Total biaya tetap yang dikeluarkan dalam mengoperasikan
pengering rotari adalah Rp 32 934 450/tahun. Nilai komponen biaya ini
dipengaruhi oleh harga dan umur ekonomis dari pengering
Biaya tidak tetap merupakan biaya yang dikeluarkan berdasarkan jumlah
dan lamanya pemakaian pengering, dimana jumlah biayanya berubah setiap saat
atau tidak tetap. Komponen biaya tidak meliputi biaya bahan bakar, biaya listrik,
perawatan, dan biaya tenaga kerja. Satuan biaya tidak tetap adalah Rp/jam.
Komponen biaya tidak tetap dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Komponen biaya tidak tetap (Rp/kg sawut basah)
Percobaan
Komponen
I II III IV
Biaya bahan bakar 430 533 688 881
Biaya listrik 68 95 122 157
Biaya tenaga kerja 118 166 214 275
Biaya pemeliharaan 3 4 5 7
Total biaya tidak tetap 619 797 1029 1319
Biaya tidak tetap dari pengering dipengaruhi oleh banyak faktor seperti
konsumsi bahan bakar, pemakaian listrik serta jumlah jam kerja per hari.
Komponen biaya tidak tetap yang tertinggi adalah biaya bahan bakar dengan
kisaran Rp 430 - 881 per kg sawut basah. Hal ini dipengaruhi oleh harga bahan
bakar yang tinggi serta laju konsumsi bahan bakar per jamnya yang juga tinggi.
Menurut Nelwan (1997), komponen biaya tidak tetap tergantung pada waktu
pengeringan yang dibutuhkan untuk proses pengeringan, oleh karena itu perbaikan
dari segi teknis dalam mempercepat waktu pengeringan merupakan hal yang harus
mendapat perhatian.
Biaya operasional pengering merupakan penggabungan biaya tetap dan
biaya tidak tetap, karena biaya tetap dihitung per tahun maka perlu diketahui
jumlah jam kerja per tahun untuk mencari biaya operasional suatu pengering.
Biaya pokok pengeringan diperoleh dari rasio antara biaya operasional dengan
kapasitas dari pengering. Percobaan I dengan laju pengumpanan (3 kg/1 menit)
memiliki biaya pokok pengeringan sebesar Rp 694/kg sawut basah atau Rp 1 384/
kg sawut kering. Biaya pokok pengeringan pada percobaan I lebih rendah
dibandingkan dengan percobaan lain, dimana percobaan IV memiliki biaya pokok
pengeringan yang tertinggi sebesar Rp 1 494/kg sawut basah atau Rp 4 747/kg
sawut kering. Meskipun biaya pokok pengeringan percobaan I lebih rendah tetapi
sawut akhir yang dihasilkan masih basah atau kadar airnya masih tinggi, hal ini
tidak dapat dijadikan sebagai acuan biaya pokok untuk pengeringan sawut ubijalar.
Dengan menggunakan model dapat dilihat apakah percobaan I dapat
dilakukan pengulangan dengan laju pengumpanan yang sama. Hasil simulasi
menunjukkan pengulangan dengan laju pengumpanan sama (3 kg/menit) masih
menghasilkan kadar air sebesar 12.41%bb dan RH yang dihasilkan pada outlet
sebesar 25.1%. Tambahan biaya yang dikeluarkan untuk pengulangan sebesar Rp
615/kg sawut basah. Total biaya pokok pengeringan pada percobaan I setelah
dilakukan pengulangan pengumpanan sebesar Rp 1 309/kg sawut basah. Biaya ini
lebih besar dari pada percobaan III (laju pengumpanan 3 kg/3 menit) tetapi kadar
air yang dihasilkan dari pengulangan ini lebih rendah daripada percobaan III.
Pada Gambar 42 terlihat bahwa biaya pokok pengeringan semakin
menurun sejalan dengan penambahan laju pengumpanan. Perbedaan antara biaya
pokok pengeringan per kg sawut basah dengan biaya pokok pengeringan per kg
sawut kering pada laju pengumpanan yang rendah lebih besar dibandingkan
dengan laju pengumpanan yang tinggi.

5000
Biaya pokok pengeringan (Rp/kg)
4500
4000

3500
3000
2500
2000

1500

1000
500

0
0.5 0.75 1 1.25 1.5 1.75 2 2.25 2.5 2.75 3

Laju pengumpanan (kg/menit)

Saw ut Basah Saw ut Kering

Gambar 42. Biaya pokok pengeringan sawut ubijalar

Laju pengumpanan yang lebih tinggi akan meningkatkan kapasitas


pengering, semakin tinggi kapasitas pengering maka semakin rendah biaya pokok
pengeringan. Untuk menurunkan biaya pokok pengeringan maka perlu dilakukan
pengumpanan bahan ke pengering dalam jumlah besar sehingga kapasitas
pengering akan bertambah besar sehingga waktu pengeringan per kg bahan akan
dapat dipersingkat. Hal ini akan mengurangi jumlah bahan bakar dan listrik yang
terpakai per kg bahan.
SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
1. Kadar air akhir sawut yang diperoleh dari semua percobaan berkisar antara
9.01–64.98% bk dengan waktu tinggal yang sama setiap percobaan yaitu 18
menit. Laju pengumpanan yang tinggi menyebabkan penurunan suhu ruang
pengering yang tinggi pula.
2. Konsumsi energi spesifik setiap percobaan berkisar antara 5.51-14.26 MJ/kg
uap air, semakin besar laju pengumpanan maka semakin kecil konsumsi
energi spesifiknya, sebaliknya semakin tinggi efisiensi pengeringan dan
totalnya Konsumsi energi spesifik terkecil diperoleh dari percobaan I (laju
pengumpanan 3 kg/1 menit) yaitu 5.51 MJ/kg, efisiensi total tertinggi juga
diperoleh dari percobaan I sebesar 43.91%.
3. Mutu sawut kering yang baik dihasilkan dari percobaan IV (laju pengumpanan
3 kg/4 menit) yaitu KA akhir 8.26% bb dan nilai L 82.76.
4. Model pengering yang digunakan telah dapat mengikuti kecenderungan suhu
ruang pengering dengan COD berkisar antara 0.819-0.992, begitu juga dengan
suhu produk dengan error sebesar 0.6 – 1.3 oC. Model tidak dapat digunakan
untuk memprediksi kadar air dan RH outlet dengan akurat.
5. Biaya pokok pengeringan sawut ubijalar yang dikeluarkan untuk memperoleh
sawut kering (kadar air akhir 8.26% bb) sebesar Rp 1 494/kg sawut basah atau
Rp 4 747/kg sawut kering.

Saran
1. Pengering rotari dapat digunakan secara efisien dan efektif apabila sawut yang
diumpankan memiliki kadar air yang rendah, untuk laju pengumpanan 3 kg/1
menit sebaiknya kadar air sawut yang diumpankan sebesar 25.04% bb.
2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menvariasikan rpm dan kemiringan
silinder untuk mendapat kondisi proses pengeringan yang optimum.
3. Untuk mendapatkan model pengering rotari yang akurat maka pengukuran
parameter pengeringan pada pengeringan lapisan tipis harus disesuaikan
dengan kondisi pengeringan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah K, Nelwan LO, Fasirun. 2007. Parameter pengeringan ikan kembung


(Rastrelliger sp). Di dalam : Abdullah K, editor. Teknologi Berbasis Sumber
Energi Terbarukan untuk Pertanian. Bogor: IPB Press.

Alvarez PI, Shene C. 1994. Experimental determination of volumetric heat


transfer coefficient in a rotary dryer. Drying Technologi 12(7), 1003-1027.

Anonim. 1994. ASAE Standad. USA.

[APTINDO] Asosiasi Produsen Terigu Indonesia. 2006. Harga gandum mencapai


angka tertinggi dalam 4 tahun. http://www.bogasari.com [ 16 April 2007]

Bala RK. 1997. Drying and Storage of Cereal Grains. New Delhi: Oxford & IBH
Publishing Co. Pvt. Ltd.

Barr-Ronin. 1996. Rotary dryer, coolers and calciners. http://www.Gea-


niro.com.mx/bibliotea/pdf/rotary.pdf [18 Oktober 2006]

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1998. Ubijalar SNI 01-4493-1998. Jakarta:


BSN.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Production of Secondary Food Crops in


Indonesian. http://www.bps.go.id/sector/agri/pangan/table2.shtml. [10 Juli
2007].

Damardjati, Said D, Widowati S. 1994. Pemanfaatan ubijalar dalam program


diversifikasi guna mensukseskan swasembada pangan. Malang: balitan
No.3 : 1-25. ubi I-2.

Hafsah MJ. 2004. Prospek Bisnis Ubijalar. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Harnowo D, Antarlina SS, Mahagyosuko H. 1994. Pengolahan ubijalar guna


mendukung diversifikasi pangan dan agroindustri. Malang: Balitan
No.3 :145-160. Ubi I-11.

Hall CW. 1957. Drying Farm Crops. Michigan: Edwards Brothers Inc. Ann Arbor

Hall CW. 1980. Drying and Storage of Agricultural Crops. Connecticut: The AVI
Publishing Company, Inc.
Heldman DR, Singh RP. 1993. Introduction to Food Engineering. Second Edition.
New York: Academic Press, Inc

Heldman DR, Singh RP. 1980. Food Process Engineering. Second Edition.
Connecticut: The AVI Publishing Company, Inc.

Henderson SM, Perry RL. 1976. Agricultural Process Engineering. 3rd Edition.
Connecticut: The AVI Publishing Company, Inc.

Henderson SM, Perry RL, Young JH. 1997. Principles of Process Engineering.
California: ASAE.

Hilman Y. 2005. Teknologi Produksi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian.


Malang : Badan Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian.

Holman, J.P. 1986. Heat Transfer. Edition 6. Diterjemahkan Jasifi, E. 1993.


Jakarta: Erlangga.

Iguaz A, Esnoz A, Martinez G, Lopez A, Virseda P. 2003. Mathematical


modelling and simulation for the drying process of vegetable wholesale by-
products in a rotary dryer. Food Engineering 59: 151-160.

Jover C, Alastruey CF. 2006. Multivariable control for an industrial rotary dryer.
Food Control. 17: 653-659.

Jenie BSL. 1988. Sanitasi dalam Industri Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi,
IPB.

Kelly JJ. 1995. Rotary drying. Didalam : Mujumdar AS. Editor. Handbook of
industrial drying. Ed ke-2. New York: Marcel Dekker Inc.

Kumalaningsih S. 1994. Peluang pengembangan agroindustri dari bahan baku


ubijalar. Edisi khusus Balittan Malang No.3. Balittan, Malang, pp. 26-35.

Kouris DM, Maroulis ZB, Kiranoudis CT. 1996. Computer simulation of


industrial dryers. Drying Technologi 14(5), 971-1010.

Kreith, F. 1973. Principle of Heat Transfer. Terjemahan. Prijono A. 1986.


Prinsip-prinsip Perpindahan Panas. Edisi ke-3. Jakarta: Erlangga.

Liu XY, Specht E. 2006. Mean residence time and hold-up of solids in rotary
kilns. Chemical Engineering Science 61: 5176-5181.
Manalu LP. 1998. Studi kebutuhan energi untuk pengering kakao dengan alat
pengering tenaga surya. Buletin Teknik Pertanian 12(3) : 174.

Manalu LP, Abdullah K. 2001. Model simulasi proses pengeringan kakao


memakai pengering surya efek rumah kaca. Buletin Teknik Pertanian 15(3) :
154.

Mujumdar AS. 2001. Pengeringan untuk bahan berbentuk padatan partikulat,


bubur dan lembaran. Penerjemah: Armansyah et al, editor. Bogor: IPB
Press. Terjemahan dari : Mujumdar’s practical guide to industrial drying.

Mujumdar AS, Devastin S. 2001. Prinsip dasar pengeringan. Penerjemah :


Armansyah et al., editor. Bogor: IPB Press. Terjemahan dari: Mujumdar’s
practical guide to industrial drying.

Nelwan LO. 1997. Pengeringan kakao dengan energi surya menggunakan rak
pengering dengan kolektor tipe efek rumah kaca [tesis]. Bogor: Program
Pascasarjana, IPB.

Nelwan LO. 2005. Study on solar-assisted dryer with rotating rack for cocoa
beans [dissertation]. Bogor: The Graduate School Bogor Agricultural
University.

Revol D, Briens CL, Chabagno JM. 2001. The design of flight in rotary dryer.
Powder Technology. 121 : 230-238.

Sagara Y. 1990. Drying of Process Materials and Agricultural Products. Bogor :


JICA-DGHE/IPB Project/ADAET.

Sarwono B. 2005. Ubijalar. Jakarta: Penebar Swadaya.

Santri, N. 2006. Uji kinerja dan modifikasi alat pengering (rotary dryer) pada
pengeringan sawut ubi jalar (Ipomea batatas L.) di unit pengolahan Badan
Usaha Milik Petani (BUMP) Cibungbulang [skripsi]. Bogor: Fakultas
Teknologi Pertanian, IPB.

Sharma SK, Mulvaney SJ, Rizvi SSH. 2000. Food Process Engineering. New
York: Jhon Wiley & Sons, Inc.

Somantri AS. 2003. Persamaan korelasi kadar air keseimbangan untuk lada.
Buletin Keteknikan Pertanian. 17:22-28.

Stoecker WF. 1971. Design of Thermal Systems. Int. Student Edition. Tokyo: Mc
Graw Hill.
Tan DLS, Miyamoto K, Ishibashi K, Matsuda K, Satow T. 2001. Thin-layer
drying of sweet potato chips and pressed grates. Trans of the ASAE,
44(3) : 669-674.

Yliniemi L. 1999. Advanced control of rotary dryer. http://www.herkules


oulu//isbn 9514252810 [17 september 2006].

Cengel YA. 2003. Heat Transfer, A Practical Approach. Second Edition. New
York: Mc Graw Hill.

Widowati S, Sulismono, Suarni, Sutrisno, Komalasari O. 2002. Petunjuk Teknis


Proses Pembuatan Aneka Tepung dari Bahan Pangan Sumber Karbohidrat
Lokal. Jakarta: Balai Penelitian Pascapanen Pertanian.

Winarno FG. 2002. Fisiologi Lepas Panen Produk Hortikultra. Bogor: M-Brio
Press.
Lampiran 1. Gambar pengering rotari tipe co-current
Lampiran 2. Penukar panas (Heat Exchanger)
Lampiran 3. Mesin penyawut mekanis

a) tampak depan

b) tampak samping

c) tampak atas
Lampiran 4. Data warna umbi ubijalar

Sampel ulangan Y x y L a b

U1 pangkal 71.02 0.3599 0.3837 87.5 -6.6 -21.5

tengah 71.6 0.3563 0.3803 87.8 -6.8 -22.5

ujung 68.97 0.3513 0.3738 86.5 -6.2 -23.9

rata-rata 70.53 0.3558 0.3793 87.27 -6.53 -22.63

U2 pangkal 70.34 0.3633 0.3868 87.2 -6.4 -20.5

tengah 69.28 0.3608 0.3831 86.7 -5.9 -21.3

ujung 70.06 0.3645 0.3869 87.1 -5.9 -20.4

rata-rata 69.89 0.3629 0.3856 87 -6.1 -20.7

U3 pangkal 72.2 0.3635 0.3873 88.1 -6.5 -20.6

tengah 69.18 0.3541 0.3753 86.6 -5.7 -23.4

ujung 69.62 0.3706 0.394 86.8 -6.1 -18.5

rata-rata 70.33 0.3627 0.3855 87.2 -6.1 -20.8

U4 pangkal 73.95 0.3583 0.3821 88.9 -6.7 -22.2

tengah 72.85 0.3558 0.3788 88.4 -6.4 -23

ujung 72.08 0.3576 0.3796 88 -6 -22.6

rata-rata 72.96 0.3572 0.3802 88.4 -6.4 -22.6


Lampiran 5. Data hasil pengukuran penurunan kadar air pada pengeringan lapisan
tipis sawut ubijalar

Kadar air %bk (M)


Waktu
50 oC 50 oC 56oC 56 oC 61 oC 65 oC 68 oC 74 oC 78 oC 84 oC
23.7% 42.5% 15.4% 26.9% 13.7% 10.4% 13.5% 7.3% 10.2% 10.6%

0 253.17 303.73 261.39 307.93 211.27 222.99 320.96 228.54 324.27 250.17

5 222.00 270.38 217.42 272.48 170.72 177.00 256.92 169.98 244.66 180.59

10 199.74 240.45 180.99 242.41 139.23 143.23 204.30 123.90 181.02 128.52

15 174.70 210.77 152.00 210.67 112.56 113.24 161.56 86.68 134.62 86.79

20 154.20 184.04 124.55 183.58 89.79 87.47 124.08 59.56 91.51 55.62

25 134.19 160.32 100.57 157.05 71.48 65.83 92.60 39.88 61.11 34.41

30 116.83 137.62 80.69 133.18 53.26 48.93 67.60 25.69 39.39 20.22

40 84.46 99.02 49.39 90.07 29.97 25.58 34.52 11.21 15.13 7.32

50 59.63 69.58 29.91 60.65 16.94 13.88 17.50 6.64 6.66 4.28

60 41.56 48.25 18.48 39.55 10.81 8.59 9.94 5.26 4.67 3.83

70 28.56 33.17 12.20 25.49 8.17 6.65 6.79 4.87 4.33 3.58

80 20.04 23.28 9.28 16.53 6.96 6.01 5.65 4.74 4.03 3.55

90 14.61 16.63 7.84 11.80 6.49 5.97 5.31 4.74 3.99 3.51

120 9.12 9.57 6.97 7.36 6.06 5.75 4.94 4.64 3.99 3.51

150 8.13 8.44 6.76 6.91 5.90 5.68 4.77

180 7.85 8.40 6.76 6.87 5.81 4.77

210 7.64 8.32 6.72 6.87 5.78

270 7.25 8.24 6.68

330 7.18 8.20

390 7.11 8.12

450 7.11 8.12


Lampiran 6. Sifat termofisik udara lingkungan tiap percobaan

Percobaan I Percobaan II Percobaan III Percobaan IV


Jam Suhu, C RH Suhu, C RH Suhu,C RH Suhu, C RH
bk bb (%) bk bb (%) bk bb (%) bk bb (%)

07:00 26 23 77.7 25 22.5 80.9 24 21 76.8 24.5 22 80.7

08:00 29 25 72.6 28.5 25 75.5 28 22 59.6 28 24 72

09:00 32 26 62.5 31.5 26 65 31.5 25 59.3 31 25 61.8

10:00 33.5 26.5 58.1 33.5 27 60.7 33.5 26 55.5 33.5 26 55.5

11:00 36 27 50.1 35 26 49.3 35 26.5 51.7 35 26.5 51.7

12:00 37 27.5 48.6 37.5 27.5 46.8 36.5 26.5 46 36 26.5 47.8

13:00 38 27.5 45.1 38 27.5 45.1 37 27 46.4 37 27 46.4

14:00 38 26.5 40.9 38 27.5 45.1 39 27 39.8 36.5 27 48.2

15:00 36.5 27 48.2 36.5 27.5 50.5 37 27 46.4 35 27 54.1

16:00 35 27 54.1 35 27 54.1 35 27.5 56.6 33.5 27 60.7

Percobaan I Percobaan II Percobaan III Percobaan IV


Jam Entalpi Entalpi Entalpi Entalpi
H (g/kg) H (g/kg) H (g/kg) H (g/kg)
(kJ/kg) (kJ/kg) (kJ/kg) (kJ/kg)
07:00 68.09 16.458 66.21 16.127 60.73 14.379 64.35 15.6

08:00 76.06 18.539 76.08 18.571 64.21 14.127 71.97 17.164

09:00 80.23 18.77 80.26 18.983 75.94 17.299 75.97 17.51

10:00 82.39 19.002 84.66 19.89 80.16 18.134 80.16 18.134

11:00 84.54 18.827 80.09 17.499 82.31 18.365 82.31 18.365

12:00 86.81 19.306 86.79 19.094 82.24 17.73 82.27 17.942

13:00 86.76 18.882 86.76 18.882 84.49 18.402 84.49 18.402

14:00 82.17 17.096 86.76 18.882 84.39 17.556 84.51 18.614

15:00 84.51 18.614 86.84 19.519 84.49 18.402 84.59 19.251

16:00 84.59 19.251 84.59 19.251 86.91 20.157 84.66 19.89


Lampiran 7. Suhu pembakaran di dalam tungku
Tabel percobaan I dan II

Waktu Percobaan I Percobaan II


(menit) mV suhu, F suhu, C mV suhu, F suhu, C
0 0 89.6 32.0 0 89.6 32.0
3 33.8 1494.2 812.3 34.4 1520.9 827.2
6 35.1 1552.0 844.4 35.5 1569.8 854.3
9 35.8 1583.1 861.7 36.1 1596.4 869.1
12 36.1 1596.4 869.1 36.8 1627.6 886.4
15 36.7 1623.1 884.0 31.5 1395.1 757.3
18 33.0 1459.9 793.3 35.1 1552.0 844.4
21 35.8 1583.1 861.7 35.8 1583.1 861.7
24 34.1 1507.6 819.8 35.0 1547.6 842.0
27 30.6 1356.3 735.7 30.7 1360.6 738.1
30 28.1 1248.3 675.7 30.2 1339.0 726.1
33 30.1 1334.7 723.7 33.3 1472.8 800.4
36 31.7 1403.7 762.1 35.7 1578.7 859.3
39 33.2 1468.5 798.0 30.2 1339.0 726.1
42 28.5 1265.6 685.3 34.6 1529.8 832.1
45 30.2 1339.0 726.1 28.4 1261.3 682.9
48 34.1 1507.6 819.8 32.9 1455.5 790.9
51 30.6 1356.3 735.7 33.0 1459.9 793.3
54 28.0 1244.0 673.3 27.0 1200.9 649.4
57 28.3 1257.0 680.5 32.9 1455.5 790.9
60 31.7 1403.7 762.1 29.0 1287.2 697.3
63 30.1 1334.7 723.7 27.6 1226.8 663.8
66 27.3 1213.8 656.6 31.7 1403.7 762.1
69 33.7 1490.1 810.0 32.9 1455.5 790.9
72 27.1 1205.2 651.8 29.2 1295.9 702.2
75 32.5 1438.3 781.3 29.6 1313.1 711.7
78 30.6 1356.3 735.7 32.4 1434.0 778.9
81 33.0 1459.9 793.3 33.4 1477.1 802.8
84 32.8 1451.2 788.5 29.4 1304.5 706.9
87 32.1 1421.0 771.7 29.2 1295.8 702.1
90 33.1 1464.2 795.7 33.5 1481.4 805.2
Lampiran 7. Lanjutan
Tabel percobaan III dan IV
Waktu Percobaan III Percobaan IV
(menit) mV suhu, F suhu, C mV suhu, F suhu, C
0 0 89.6 32.0 0 89.6 32.0
3 34.4 1520.9 827.2 34.1 1507.6 819.8
6 35.4 1565.3 851.9 35.1 1552.0 844.4
9 36.0 1592.0 866.7 35.8 1583.1 861.7
12 36.5 1614.2 879.0 36.3 1605.3 874.1
15 36.9 1632.0 888.9 36.7 1623.1 884.0
18 37.3 1649.8 898.8 36.1 1596.4 869.1
21 35.4 1565.3 851.9 33.4 1476.4 802.5
24 37.0 1636.4 891.4 31.1 1377.8 747.7
27 32.6 1442.6 783.7 35.1 1552.0 844.4
30 33.0 1459.9 793.3 32.7 1446.9 786.1
33 30.0 1330.4 721.3 35.6 1574.2 856.8
36 34.7 1534.2 834.6 29.7 1317.4 714.1
39 31.6 1399.4 759.7 32.2 1425.3 774.1
42 31.8 1408.1 764.5 33.7 1490.1 810.0
45 33.9 1498.7 814.8 31.0 1373.5 745.3
48 33.6 1485.8 807.6 31.3 1382.5 750.3
51 32.7 1446.9 786.1 33.9 1498.7 814.8
54 35.2 1556.4 846.9 27.5 1222.4 661.4
57 29.0 1287.2 697.3 28.5 1265.6 685.3
60 31.4 1390.8 754.9 33.9 1498.7 814.8
63 30.1 1334.7 723.7 28.1 1248.3 675.7
66 31.5 1395.1 757.3 33.2 1468.5 798.0
69 33.2 1468.5 798.0 30.4 1347.6 730.9
72 34.2 1512.0 822.2 32.1 1421.0 771.7
75 30.0 1330.4 721.3 31.2 1421.0 771.7
78 30.2 1339.0 726.1 32.7 1382.2 750.1
81 28.2 1252.7 678.1 26.9 1196.3 646.9
84 33.1 1464.2 795.7 27.4 1218.1 659.0
87 34.0 1503.1 817.3 33.6 1485.8 807.6
90 30.0 1330.4 721.3 27.2 1209.5 654.2
Lampiran 8. Perhitungan penurunan tekanan

1. Penurunan tekanan pada pipa penghubung


Data pendukung :
μu 1.8769 x 10-5 kg/ms
ρu 1.15336 kg/m3
A 0.0707 m2
mu 0.7373 kg/s
L 1.2 m
v 9.0483 m/s
D 0.3 m
ε 0.15 mm

ρu ν D
Re =
μ
Re = 166806.20

Diasumsikan pipa terbuat dari besi galvanisasi (ε = 0.15 mm)


ε/D = 0.0005

Faktor gesekan dengan menggunakan persamaan Colebrook (1939) dalam Cengel


(2003)
1 ⎛ε 2.51 ⎞⎟
= −2.0 log⎜⎜ D +
f ⎜ 3.7 Re f ⎟⎟
⎝ ⎠

Nilai f ditentukan dengan trial and error


F= 0.01915

L ρ uν 2
ΔP = f
D 2
ΔP = 3.6 Pa

2. Penurunan tekanan pada ruang pengering


Asumsi : permukaan dalam ruang pengering halus.

Data pendukung :
μu 1.8769 x 10-5 kg/ms
ρu 1.15336 kg/m3
A 0.754 m2
mu 0.7373 kg/s
L 1.2 m
v 0.89 m/s
D 0.98 m
ε 0.002 mm
ρu ν D
Re =
μ
Re = 53596.92

Diasumsikan ruang pegering terbuat dari stainless steel (ε = 0.002 mm)


ε/D = 2.0408E-06
Faktor gesekan dengan menggunakan persamaan Colebrook (1939) dalam Cengel
(2003)
1 ⎛ε 2.51 ⎞⎟
= −2.0 log⎜⎜ D +
f ⎜ 3.7 Re f ⎟⎟
⎝ ⎠
Nilai f ditentukan dengan trial and error
F= 0.0223
L ρ uν 2
ΔP = f
D 2
ΔP = 0.13 Pa

3. Penurunan tekanan akibat penyempitan mendadak


Data pendukung:
v 9.05 m/s
A1 0.2718 m2
A2 0.0707 m2
ρu 1.15336 kg/m3
Faktor koreksi akibat penyempitan saluran
A2/A1 0.260
Cc 0.639

2
⎛1 ⎞ ν 2 ρu
ΔP = ⎜ − 1⎟⎟

⎝ cc ⎠ 2

ΔP = 15.1 Pa

4. Penurunan tekanan akibat pembesaran mendadak


Data pendukung:
v 9.05 m/s
A1 0.2718 m2
A2 0.0707 m2
ρu 1.15336 kg/m3

A1/A2 0.093713

2
⎛ A1 ⎞ ν 2 ρ u

Δ =⎜ −
P 1 ⎟
⎝ A2 ⎟⎠ 2

ΔP = 38.8 Pa
Lampiran 9. Suhu inlet dan ruang pengering dengan kontrol suhu dan tanpa
beban (pengujian I)

Temperatur, C
Waktu
T inlet T(1.36 m) T(8.22 m) T(9.58 m) T(10.94 m) T outlet
0 33.18 34.70 33.49 32.15 33.11 33.85
2 58.98 49.84 45.86 43.63 43.58 46.32
4 77.61 64.97 54.42 53.20 54.06 56.87
6 92.90 77.75 64.89 62.76 62.63 65.98
8 110.10 88.63 71.55 70.42 69.77 75.58
10 116.79 96.67 81.07 78.07 77.39 83.73
12 123.48 102.82 86.78 84.77 84.53 89.97
14 130.65 108.97 93.44 91.47 89.77 93.80
16 127.78 110.87 96.29 94.82 93.11 98.60
18 129.21 111.81 99.15 96.25 95.49 101.00
20 129.69 111.81 102.48 99.12 98.34 103.88
22 129.69 112.28 102.95 100.56 100.25 105.79
24 132.56 112.28 104.38 101.04 100.25 106.27
26 131.13 113.23 104.86 103.43 103.11 106.27
28 131.13 114.65 104.38 105.34 105.01 108.67
30 133.52 114.18 107.71 108.21 105.49 108.19
32 130.65 115.12 108.66 107.73 106.92 108.67
34 132.56 113.23 109.61 108.21 108.34 110.59
36 133.04 114.65 109.14 108.21 107.39 110.59
38 133.04 113.70 109.61 109.65 108.82 110.59
40 131.60 114.65 109.61 109.17 108.82 110.59
42 133.99 115.12 109.61 109.65 109.30 111.55
44 133.04 114.65 109.61 111.08 110.73 112.51
46 132.08 114.18 109.61 110.60 109.77 112.51
48 133.52 114.18 109.14 110.60 110.73 113.47
50 133.04 112.28 109.61 110.60 110.25 112.51
52 132.08 113.23 110.09 110.60 110.25 112.51
54 132.08 114.65 109.61 111.08 110.25 112.03
56 133.52 114.18 110.09 112.04 111.20 112.99
58 133.04 112.76 110.57 111.08 110.73 113.47
60 133.04 114.18 110.57 112.04 111.68 113.95
62 133.04 113.70 110.57 112.04 111.68 112.99
64 131.60 114.18 111.04 112.04 111.68 112.99
66 133.04 114.18 111.52 112.52 112.15 112.99
68 133.99 115.12 111.52 113.47 112.63 114.91
70 133.04 113.70 111.99 113.47 112.63 114.91
72 132.08 113.70 112.47 112.04 111.68 112.99
74 134.47 113.70 111.99 112.04 111.68 112.99
76 133.52 114.18 111.99 112.04 112.15 113.47
Lampiran 9. (Lanjutan)

Temperatur, C
Waktu
T inlet T(1.36 m) T(8.22 m) T(9.58 m) T(10.94 m) T outlet
78 134.95 114.18 112.47 113.00 112.63 113.95
80 133.99 114.18 112.47 112.52 112.63 113.47
82 134.47 114.18 111.99 112.52 112.15 112.99
84 133.52 113.23 112.47 113.47 113.11 114.43
86 133.52 113.23 113.42 113.47 113.11 113.95
88 133.99 114.18 112.94 112.52 112.15 113.47
90 132.56 113.23 112.94 112.52 111.68 112.99
92 133.04 113.70 112.47 112.52 112.15 112.99
94 133.52 113.70 112.47 112.52 112.15 112.99
96 133.99 112.76 112.47 112.52 112.15 112.99
98 133.52 113.70 112.47 113.47 113.11 113.95
100 133.52 113.70 112.94 113.00 112.63 114.43
102 132.08 112.76 112.47 113.00 112.15 113.95
104 132.56 112.28 112.94 112.52 112.15 113.47
106 132.56 113.70 112.47 112.52 112.63 113.95
108 132.08 112.28 112.94 113.00 112.63 113.95
110 131.60 112.28 112.94 113.00 112.63 113.95
112 132.08 112.76 112.94 113.00 112.63 113.95
114 132.08 112.28 112.94 113.00 113.11 113.95
116 132.08 113.23 112.94 113.47 113.11 114.43
118 132.56 112.76 113.42 113.47 113.11 114.43
120 133.04 18.14 112.94 113.00 112.63 113.95
Lampiran 10. Grafik suhu ruang pengering pada pengumpanan 3 kg/1 menit (a)
dan pengumpanan 3 kg/3 menit (b)

160

140

120

100
Suhu (C)

80

60

40

20

0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140

Waktu (menit)
T inlet T 1.36 m T 9.58 m T 10.94 m T outlet

(a) pengumpanan 3 kg/1 menit

160

140

120

100
S uhu (C)

80

60

40

20

0
0 30 60 90 120 150 180 210 240

Waktu (menit)

T inlet T 1.36 m T 9.58 m T 10.94 m T outlet

(b) pengumpanan 3 kg/3 menit


Lampiran 11. Fluktuasi RH pada outlet

100

90

80

70

60
R H (% )

50

40

30

20

10

0
0 50 100 150 200 250 300

Waktu (menit)

Percobaan IV Percobaan III Percobaan I


Lampiran 12. Grafik kecepatan udara dalam ruang pengering

12

10
Kecepatan (m/s)

0
0 1.23 2.46 3.69 4.92 6.15 7.38 8.61 9.84 11.07 12.3
Jarak (m)
Lampiran 13. Hasil pengukuran kadar air umbi dan sawut ubijalar

Kadar air (%bb)


Percobaan sampel
awal akhir
I K1 68.10 37.86
K2 68.31 42.53
K3 68.90 37.77
rata-rata 68.44 39.39
II K1 63.41 25.65
K2 71.66 27.01
K3 64.81 27.13
rata-rata 66.63 26.6
III K1 68.10 15.88
K2 68.31 16.16
K3 68.90 16.48
Rata-rata 68.44 16.17
IV K1 68.78 7.88
K2 69.39 8.26
K3 68.27 8.29
rata-rata 68.81 8.26
Umbi K1 61.05 -
K2 61.64 -
K3 60.76 -
K4 60.96 -
rata-rata 61.10 -
Lampiran 14. Data warna sawut kering

Percobaan Sampel ulangan Y x y L a b


I 46.38 0.3376 0.3539 73.8 -3.6 -25.4
FR11 II 46.7 0.3379 0.3543 74 -3.6 -25.3
I
III 46.72 0.3381 0.3545 74 -3.6 -25.3
rata-rata 46.6 0.3379 0.3542 73.93 -3.6 -25.33
I 56.11 0.3409 0.3475 79.67 4.42 10.34
FR21 II 55.44 0.3399 0.3468 79.29 4.26 9.92
III 56.62 0.3411 0.3476 79.96 4.46 10.43
I 56.46 0.3412 0.3483 79.87 4.21 10.66
FR22 II 55.15 0.3406 0.3474 79.12 4.25 10.21
II
III 55.87 0.341 0.3478 79.53 4.31 10.42
I 57.6 0.3408 0.3477 80.51 4.31 10.46
FR23 II 54.23 0.3414 0.3482 78.59 4.27 10.52
III 58.97 0.3401 0.3471 81.27 4.31 10.25
rata-rata 56.27 0.3408 0.3476 79.76 4.31 10.36
I 55.49 0.3391 0.3455 79.32 4.43 9.4
FR31 II 54.46 0.3397 0.3456 78.72 4.63 9.44
III 56.73 0.3387 0.3449 80.02 4.54 9.19
I 53.71 0.3387 0.345 78.28 4.43 9.08
FR32 II 54.27 0.3381 0.3434 78.61 4.84 8.48
III
III 55.35 0.3375 0.3435 79.23 4.57 8.49
I 55.24 0.3386 0.3448 79.17 4.51 9.08
FR33 II 53.35 0.3392 0.3449 78.08 4.66 9.11
III 55.93 0.3391 0.345 79.57 4.65 9.27
rata-rata 54.95 0.3387 0.3447 79.00 4.58 9.06
I 61.6 0.3486 0.3554 82.69 4.48 14.55
FR41 II 61.89 0.3493 0.3563 82.85 4.44 14.97
III 61.62 0.3501 0.3565 82.7 4.69 15.16
I 60.4 0.3481 0.3557 82.05 4.15 14.47
FR42 II 61.36 0.3477 0.3551 82.57 4.26 14.29
IV
III 60.64 0.3499 0.3571 82.18 4.3 15.24
I 60.91 0.3493 0.3565 82.32 4.34 14.99
FR43 II 64.22 0.3474 0.3549 84.08 4.29 14.37
III 62.88 0.3489 0.3558 83.37 4.5 14.81
rata-rata 61.72 0.3488 0.3559 82.76 4.38 14.76
Lampiran 15. Tampilan hasil simulasi

a. Percobaan I

b. Percobaan III
Lampiran 16. Asumsi-asumsi perhitungan biaya pokok pengeringan

Percobaan
No Uraian
I II III IV
1 Harga pengering rotari
Konstruksi pengering dan motor 90 000 000 90 000 000 90 000 000 90 000 000
Kipas 7 000 000 7 000 000 7 000 000 7 000 000
Burner 1 600 000 1 600 000 1 600 000 1 600 000
Corong penampungan 4 750 000 4 750 000 4 750 000 4 750 000
Penukar panas + tungku 20 000 000 20 000 000 20 000 000 20 000 000
Total 123 350 000 123 350 000 123 350 000 123 350 000
2 Jumlah hari kerja per tahun (hari) 360 360 360 360
3 Jam kerja per orang (jam) 12 12 12 12
4 Kapasitas alat (kg/jam) 101.32 72.41 56.19 43.67
6 Umur ekonomi (tahun) 5 5 5 5
7 Bunga modal (%/tahun) 12 12 12 12
8 Nilai akhir alat (%) 10 10 10 10
9 Konsumsi minyak tanah (lt/jam) 12.44 11.02 11.05 10.99
10 Konsumsi listrik (kWh/kg) 0.1 0.14 0.18 0.23
11 Harga ubijalar (Rp/kg) 1500 1500 1500 1500
12 Harga minyak tanah (Rp/liter) 3500 3500 3500 3500
13 Harga listrik (Rp/kWH) 675 675 675 675
14 Upah tenaga kerja (Rp/jam) 3000 3000 3000 3000
15 Jumlah tenaga kerja (orang) 4 4 4 4
16 Jam tenaga kerja/thn (jam/thn) 4320 4320 4320 4320
17 Pemeliharaan (Rp/jam) 286 286 286 286
18 Pajak (%/tahun) 1.5 1.5 1.5 1.5

Percobaan
Komponen Biaya
I II III IV
Biaya tetap
Biaya penyusutan (Rp/tahun) 22 203 000 22 203 000 22 203 000 22 203 000
Biaya bunga modal (Rp/tahun) 8 881 200 8 881 200 8 881 200 8 881 200
Pajak (Rp/tahun) 1 850 250 1 850 250 1 850 250 1 850 250
Total biaya tetap (Rp/tahun) 32 934 450 32 934 450 32 934 450 32 934 450
Total biaya tetap (Rp/jam) 7 624 7 624 7 624 7 624
Biaya tidak tetap
Biaya bahan bakar (Rp/jam) 43 540 38 570 38 675 38 465
Biaya listrik (Rp/jam) 6 851 6 851 6 851 6 851
Biaya tenaga kerja (Rp/jam) 12 000 12 000 12 000 12 000
Biaya pemeliharaan (Rp/jam) 286 286 286 286
Total biaya tidak tetap (Rp/jam) 62 677 57 707 57 812 57 602
Biaya pokok pengeringan
694 902 1 165 1 494
(Rp/kg sawut basah)
Biaya pokok pengeringan
1 384 2 209 3 299 4 747
(Rp/kg sawut kering)

You might also like