Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 21

PENGISIAN JABATAN PENJABAT KEPALA DAERAH OLEH PERWIRA TINGGI

POLRI BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


DI INDONESIA
Vinod Mehra (P2B118007)
Prof. Dr. Bahder Johan Nasution, S.H., M.Hum dan Dr. Helmi, S.H., M.H.

Email: vinodmehra057@gmail.com/hp: 081271164449


Program Kekhususan Hukum Pemerintahan Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Jambi, Indonesia


Jl. Arif Rahman Hakim, Telanai Pura, Kota Jambi
Telepon +62 741 583377
Website: http://www.unja.ac.id/
ABSTRACT
This study aimed to determine and to analyze how is the enrolling position of regional head
by a high ranked police officer of Republic of Indonesia based on the Prevailing Laws at
Indonesia. the formulations of the problem in this study were to know how to set up the
legality of the appointment of the Governor that came from high-ranked police officer of
Republic of Indonesia and to know and to analyze how the results the law against the
appointment of governor which comes from high ranking Police officer of Republic of
Indonesia based on laws and regulations in Indonesia. This research methodology was
juridical normative, as for the research results obtained, e.i : l) arrangements for the
appointment of acting governor in Undang-undang No 10, 2016 Regarding Pilkada and
Undang-Undang No 5,2014 concerning ASN and Undang-undang No 2, 2002 concerning the
National Police is not allowed to appoint of high-ranked police officers as governor
because high ranked Police officers are not classified as a high leadership position
intermediate unless the police officers have resigned or retire from Police service, in other
words has switched status as a civil servant] (PNS). 2) Presidential Decree Number 106 / P
of 2018 regarding the appointment of high-ranking police officers as Acting Governor, does
not meet the requirements for decision-making and violates the Legislation so that the
appointment of Governor from high-ranking Police Officers has legal consequences, namely
being illegal (ilegitimate) or null and void, and if there are parties who want legal certainty
and justice and prevent violations of the Prevailing Laws, they can file a lawsuit to the State
Administrative Court containing demands that Presidential Decree Number 106 / P of 2018
is declared null and void by law / not legitimate.

Keywords: High rank officer

1. PENDAHULUAN
Konsep Pilkada di Indonesia saat ini dilaksanakan secara serentak bergelombang
yang dimulai dari tahun 2015, 2017, 2018, terakhir pada tahun 2020 yang lalu dan secara
serentak nasional dilaksanakan pada tahun 2027. 1 Pada pelaksanaan Pilkada tahun 2018

1
Budi Setiawanto, Tujuh Gelombang Pilkada Serentak 2015 hingga 2027
https://www.antaranews.com/berita/480618/tujuh-gelombang-Pilkada-serentak-2015-hingga-2027, diakses pada
22 November 2019.
yang lalu ada beberapa hal yang timbul salah satunya terjadinya kekosongan jabatan
kepala daerah yang diakibatkan dengan habis atau berakhirnya masa jabatan kepala daerah
serta diakibatkan kepala daerah yang mencalonkan kembali pada periode kedua yang
diharusan untuk cuti sebagai kepala daerah. Sebagai konsekuensi habisnya masa jabatan
kepala daerah dan kepala daerah yang cuti karena mencalonakan diri pada periode kedua
menyebabkan kekosongan jabatan kepala daerah sehingga berdampak pada pengambilan
keputusan Pemerintahan dan terganggunya pengelolaan administrasi Pemerintahan.
Menyikapi dengan adanya kekosongan jabatan kepala daerah Provinsi tersebut maka
diangkatlah Penjabat Gubernur untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur yang habis
masa jabatan dan Gubernur yang cuti karena mencalonakan diri pada periode kedua.
Pengangkatan Penjabat Gubernur sampai dengan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih
dan dilantik, sesuai dengan ketentuan pasal 201 ayat (10) Undang-undang No. 10 tahun
2016 Tentang Pilkada bahwa “Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat
Penjabat Gubernur yang berasal dari Jabatan Pimpinan Tinggi Madya sampai dengan
pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan”.
Pada Pilkada tahun 2018 yang lalu Menteri Dalam Negeri resmi melantik Komjen.
Pol. Mochammad Iriawan sebagai Penjabat Gubernur Provinsi Jawa Barat, seperti
diketahui bersama Komjen. Pol. Mochammad Iriawan ini tercatat masih aktif sebagai
Perwira tinggi Mabes Polri, lain hal jika Komjen. Pol. Mochammad Iriawan sudah tidak
aktif di Institusi Polri dengan kata lain status keanggotaanya sudah pindah dan/atau alih
status menjadi ASN/Pejabat di Kementerian. Lebih lanjut penunjukan Perwira tinggi Polri
aktif untuk menduduki jabatan Penjabat Gubernur Jawa Barat ini dengan alasan
“kekhawitaran kehabisan Penjabat eselon I di Kementerian Dalam Negeri yang mengisi
jabatan sebagai Penjabat Gubernur pada 17 provinsi yang melaksanakan Pilkada serentak
pada tahun 2018 yang lalu”.2 Alasan lain Mendagri menunjuk perwira tinggi Polri
dikarenakan “adanya potensi kerawanan pada daerah-daerah yang melaksanakan
Pemilihan kepala daerah”.3 Sehingga berdasarkan pada dua hal tersebut Mendagri
mengangkat Penjabat Gubernur yang berasal dari perwira tinggi Polri.
Sementara itu, sebagai landasan hukum Mendagri dalam mengangkat Penjabat
Gubernur dari perwira tinggi Kepolisian yakni dengan merujuk pada Pasal 4 ayat (2)
Permendagri Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Cuti Di Luar Tanggungan Negara Bagi Gubernur
Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Wali Kota Dan Wakil Wali Kota,
bahwa “Pjs Gubernur Sebagaimana Pada ayat (1) berasal dari pimpinan pimpinan tinggi
madya/setingkat di lingkup pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah provinsi”.
Bahwa makna setingkat menjadikan dasar “Mendagri dalam mengangkat Penjabat
Gubernur dapat diambil dari luar institusi ASN termasuk berasal dari Perwira tinggi
Polri”.4
Selanjutnya, jika mengacu pada pasal 201 ayat (10) Undang-undang 10 Tahun 2016
Tentang Pilkada, pada pasal tersebut tidak menyebutkan adanya frasa jabatan ”setingkat”,
baik pada isi pokok pasal tersebut maupun pada penjelasan pasal 201 ayat (10) Undang-
2
Berry, Pertimbangan Mendagri Angkat Penjabat Gubernur dari Instansi Lain,
https://infopublik.id/kategori/sorot-politik-hukum/433889/pertimbangan-mendagri-angkat-penjabat-gubernur-
dari-instansi-lain, diakses pada tanggal 11 November 2019.
3
Hesti Rika Pratiwi, Kemendagri Ungkap Perbedaan Plt Gubernur Dari Polri dan Sipil
htttps://www.cnnindonesia.com/nasional/20180126211756-32-271927/kemendagri-ungkap-perbedaan-plt-
Gubernur-dari-Polri-dan-sipil, diakases pada tanggal 12 November 2019.
4
Bayu Hermawan, Pakar Plt Gubernur dari Polri Bertentangan UU
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik /18/01/29/p3avex354-pakar-plt-Gubernur-dari-Polri-
bertentangan-uu/, diakases pada tanggal 12 November 2019.
Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada. Dalam artian bahwa Undang-Undang
Nomor 10 tahun 2016 Tentang Pilkada tersebut tidak mengatur mengenai jabatan yang
dimaknai “setingkat” untuk jabatan Penjabat Gubernur. Sehingga menurut hemat penulis
frasa “setingkat” hanya lahir dari Permendagri Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Cuti Di Luar
Tanggungan Negara Bagi Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta
Wali Kota Dan Wakil Wali Kota, pada dasanya Permendagri tersebut haruslah berpatokan
dan berdasarkan pada aturan yang lebih tinggi seperti Undang-Undang 10 Tahun.
Berdasarkan fakta dalam pengangkatan Penjabat Gubernur pada tahun 2018 yang
lalu lalu yang dihubungan dengan sejumlah Peraturan Perundang-Undangan yang terkait
serta adanya pembatasan hak-hak Jabatan Pimpinan Tinggi Madya yang berasal dari
kalangan sipil (ASN) untuk menduduki jabatan Penjabat Gubernur tersebut, sehingga
menggungah keingintahuan penulis dalam meneliti dan mengkaji tesis yang berjudul
“PENGISIAN JABATAN PENJABAT KEPALA DAERAH OLEH PERWIRA
TINGGI POLRI BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI
INDONESIA”.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, adapun rumusan masalah yang akan
dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan pengangkatan Penjabat Gubernur yang berasal dari perwira
tinggi Polri?
2. Bagaimana akibat hukum pengangkatan Penjabat Gubernur yang berasal dari perwira
tinggi Polri berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia?

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Negara Hukum
Dalam kepustakaan, yang dimaksud dengan negara hukum sering diterjemahkan
dengan istilah rechtstaats atau rule of law.5 Paham rectstaats pada dasarnya bertumpu pada
sistem hukum eropa kontinental, menjadi sumber awal perkembangan rechtstaats yang
bermula dari penemuan Corpus Iuris Civilis.6
Sementara itu pada abad ke-19 muncul sebuah konsep rechtstaat dari Friederich
Julius Stahl yang menyebutkan, dengan istilah “rechtstaat” itu mencakup empat elemen
penting, yaitu :
Adanya pengakuan akan hak-hak dasar manusia
a. Adanya pembagian kekuasaan
b. Pemerintah yang berdasarkan peraturan (wetmatigheid van bstuur)
c. Adanya perailan tata usaha negara.7
AV. Dicey mengemukakan bahwa, adanya tiga ciri pentig dalam setiap Negara
Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law” , yaitu :
1) Supremasi dari hukum, artinya bahwa yang mempunyai kekuasaan yag tertinggi
di dalam negara adalah hukum (kedaulatan hukum);
2) Persamaan dalam kedudukan hukum bagi setiap orang;
3) Konstitusi itu tidak merupakan sumber dari hak-hak asasi manusia dan jika hak-
hak asasi manusia itu diletakakkan dalam konstitusi itu hanya sebagai penegasan

5
Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Cet. 1.CV.Mandar Maju, Bandung,
2011. Hal.3.
6
Petter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Edisi revisi, Kencana, Jakarta, 2016, Hal. 224.
7
Bahder Johan Nasution, Op.Cit., Hal. 18.
bahwa hak asasi itu harus dilindungi.8
Lebih lanjut Bagir manan menyatakan pula terdapat unsur-unsur penting dari negara
hukum, meliputi sebagai berikut:
1) Ada UUD sebagai peraturan tertulis yang mengatur hubungan antara pemerintah
dan warganya.
2) Ada pembagian kekuasaan (machtenscheiding) yang secara khusus menjamin
suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka.
3) Ada pemencaran kekuasaan negara atau pemerintah (spreiding Vn de
staatsmacht).
4) Ada jaminan terhadap hak asasi manusia.
5) Ada jaminan persamaan di muka hukum dan jaminan perlindungan hukum.
6) Ada asas legalitas, pelaksanaan kekuasaan pemerintah harus didasarkan atas
hukum (undang-undang).9
Hal tersebut menunjukan bahwa setiap sendi kehidupan bernegara diatur dengan
hukum (Undang-Undang), pelaksanakan tugas dan kewajiban, pemerintah harus selalu
berdasarkan atas hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis
dengan hukum pula diatur adanya pembagian kekuasaan, adanya hubungan fungsional
yang proporsioanl antara kekuasaan-kekuasaan negara.

2.2 Teori Pengisian Jabatan


Secara etimologi, kata jabatan berasal dari kata dasar “jabat” yang ditambah
dengan imbuh-an, yang berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
“pekerjaan (tugas) dalam Pemerintahan atau organisasi yang berkenaan dengan pangkat
dan kedudukan”.10 Lebih lanjut menurut Logemann dalam bukunya yang diterjemahkan
oleh Makkatutu dari Pangkerego, “Jabatan adalah Lingkungan kerja awet dan digaris-
batasi, dan yang disediakan untuk ditempati oleh pemangku jabatan yang ditunjuk dan
disediakan untuk diwakili oleh mereka sebagai pribadi. Dalam sifat pembentukan hal ini
harus dinyatakan dengan jelas”.11
Dari pengertian di atas menunjukan bahwa Logemann menghendaki suatu kepastian
dan kontinuitas pada suatu jabatan supaya organisasi dalam berfungsi dengan baik. 12
Logemann juga menunjukan pentingnya perhubungan antara negara sebagai organisasi
pengisian jabatan, oleh karena itu teorinya disebut teori pengisian jabatan. 13 Lebih lanjut
Bagir Manan menyatakan, berdasarkan kriteria pertanggungjawaban, pengisian jabatan
dapat dibedakan menjadi tiga yaitu “pertama, pengisian jabatan dengan Pemilihan, kedua,
pengisian jabatan dengan pengangkatan, dan ketiga, pengisian jabatan yang sekaligus
mengandung pengangkatan serta Pemilihan (yang berfungsi sebagai pernyataan
dukungan).”14

8
Moh.Kusnadi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. V, Pusat Studi
Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, 1983, Hal. 161.
9
Tedi Sudrajat, Hukum Birokrasi Pemerintah Kewenangan dan Jabatan, Cet. 1, Sinar Grafika, Jakarta,
2017. Hal.7.
10
Poerwasunata,W.J.S, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2003.
11
Logemann, diterjemahkan oleh Makkatutu dan Pangkerego dari judul, asli over de Theori Van Een
Stelling Staatsrecht, Universitaire Pers Leiden, 1948, Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif, Ikhtiar
Baru-Van Hoeve, Jakarta, 1975, Hal. 124.
12
Ibid, Hal. 121.
13
Pudja Pramana KA, Ilmu Negara, Garaha Ilmu, Jakarta, 2009, Hal. 285.
14
Ibid. Hal. 41-42.
Adapun menurut I Gde Panjta Astawa, pengisian jabatan dapat dibedakan kedalam 3
(tiga) pola, yaitu :
1) Pengisian jabatan dengan Pemilihan (election);
2) Pengisian jabatan dengan pengangkatan (appointmen);
3) Pengisian jabatan yang sekaligus mengandug pengangkatan dan Pemilihan.15
Sementara itu Menurut Harun Al-Rasyid, “pengisian jabatan dapat dilakukan dengan
pengangkatan, Pemilihan, pewarisan yang sifatnya turun temurun, penggiliran atau rotasi,
pemangkuan jabatan karena jabatan (ex officio) dan lain sebagainya.”16
Sistem pengisian jabatan kepala daerah dijelaskan oleh Joko Prihatmoko yang
membagi tiga jenis sistem Pemilihan kepala daerah :
(1)Sistem penunjukan dan/atau pengangkatan oleh Pemerintah pusat;
(2)Sistem Pemilihan perwakilan DPRD; dan
(3)Sistem Pemilihan langsung oleh rakyat.17
Metode dalam pengisian jabatan yang digunakan dalam sistem pengisian Jabatan
kepala daerah dapat dikelompokan menjadi dua jenis, yakni sebagai berikut :
1) Sistem Pemilihan secara tidak langsung dengan mekanisme pengangkatan
dan/atau penunjukan serta Pemilihan perwakilan; dan.
2) Pemilihan secara langsung yakni memberikan ruang atau keleluasaan rakyat
untuk memilih Kepala Daerah.18
Dari penjabaran konsep di atas bahwa konsep pengisian jabatan dapat dilaksanakan
dengan sistem Pemilihan baik dengan secara tidak langsung dengan mekanisme
pengangkatan dan penunjukan serta melalui mekanisme Pemilihan perwakilan (DPRD),
sedangkan untuk sistem pemilihan langsung yakni memberikan ruang partisipiasi lebih
kepada rakyat yang memilih pemimpin daerahnya.

2.3 Teori Kewenangan


Kewenangan atau wewenang adalah suatu istilah yang biasa digunakan dalam
lapangan hukum publik. Prajudi Atmosudirjo berpendapat bahwa terdapat adanya
perbedaan antara kewenangan dan wewenang, “Kewenangan (yang biasa terdiri dari atas
beberapa wewenang) adalah sesuatu bidang Pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu
yang bulat, sedangkan wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak
hukum publik”.19 Seiring dengan pilar utama dari konsepsi Negara hukum, yakni asas
legalitas (legaliteitsbeginsel atau het beginsel van wetma tigheid van bestuur) 20, maka
berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenang Pemerintahan berasal dari Peraturan
Perundang-Undangan, yang berarti bahwa sumber wewenang bagi pemerintah ada di
dalam Peraturan Perundang-Undangan. Sementara itu menurut Philipus M.Hadjon “Bagi
pemerintah, dasar untuk melakukan perbuatan hukum publik adalah adanya kewenangan
yang berkaitan dengan jabatan (ambt). Jabatan yang bertumpu pada tiga sumber, yakni
atribusi, delegasi dan mandat, ia akan melahirkan kewenangan”21. Lebih lanjut perihal
atribusi, delegasi dan mandat diterangkan oleh H.D van Wijk/Willem Konijnenbelt, yakni
sebagai berikut:

15
Tedi Sudrajat, Loc. Cit.
16
Harun Al-Rasyid, Pengisian Jabatan Presiden, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1999, Hal. 23.
17
Joko Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Filosofi, Sistem dan Problema, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2005, Hal. 104.
18
Ibid. Hal.105.
19
Sukamto Satoto, Pengaturan Eksistensi dan Fungsi Badan Kepegawaian Negara, Hanggar Kreator,
Jogjakarta, 2004, Hal. 116.
20
Aminuddin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, Cet.1, Kencana, Jakarta, 2014, Hal.111.
21
Sukamto Satoto , Op.Cit, Hal. 116.
Atribusi adalah sebagai pemberian wewenang Pemerintahan oleh pembuat Undang-
Undang (attribute is toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan
een bestuursorgan). Delegasi Adalah pelimpahan wewenang Pemerintahan dari
suatu organ Pemerintahan kepada organ Pemerintahan lainya (delegatie is
overdracht van een bevoegheid van het een bestuursorgaan aan een ander). Mandat
Adalah terjadi ketika organ Pemerintahan mengizinkan kewenanganya dijalankan
oleh organ lain atas namanya (mandaat is een bestuursorgaan loot zijn bevoegheid
namens hem uitoefenen door een ander).22
Berbeda dengan H.D van Wijk/Willem Konijnenbelt, F.A.M Stroink dan J.G
Steenbeek mengemukakan pendapat:
Ada dua cara organ Pemerintahan memperoleh wewenang yakni dengan jalan
Atribusi dan Delegasi (er bestan Slechts twee wijzen waarop een delegatie).
Mengenai pengertian atribusi dan delegasi ditegaskan, bahwa atribusi berkenaan
dengan penyerahan wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan
wewenang yang telah ada atau organ yang telah memperoleh wewenang secara
atributif kepada orang lain sehingga delegasi secara logis selalu didahului suatu
atribusi. Dalam hal pengertian mandat tidak dibicarakan mengenai penyerahan
wewenang atau pelimpahan wewenang. Bahkan, dalam hal mandat tidak terjadi
perubahan wewenang apapun atau setidak-tidaknya dalam yuridis formal.23
Dari beberapa pendapat ahli di atas, dapatlah dikemukakan adanya perbedaan yang
mendasar antara atribusi dan delegasi , bahwa pada atribusi terjadinya suatu penyerahan
wewenang baru berkenaan dengan wewenang Pemerintahan dalam hal pembuataan
Peraturan Perundang-Undangan, dan pada delegasi terjadi suatu penyerahan wewenang
yang telah ada sebelumya atau organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif
terlebih dahulu, serta suatu delegasi selalu didahului dengan adanya atribusi. Pada mandat
yakni badan atau jabatan Pemerintahan mengizinkan kewenangnya dijalankan oleh Badan
atau jabatan Pemerintahan dibawahnya atau dengan kata lain penerima mandat bertindak
untuk dan atas nama Badan atau jabatan Pemerintahan pemberi mandat.

3. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian dalam penulisan ini adalah penelitian yudiris normatif. Penelitian yuridis
normatif terdiri dari penelitian terhadap asas-asas, sistematika, taraf sinkronisasi hukum,
sejarah dan perbandingan hukum. Pendekatan yang relevan dengan penelitian hukum ini
adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan konseptual (conseptual
approach) dan pendekatan kasus (case approach).

4. HASIL PENELITIAN
4.1 Pengaturan Pengaturan Pengisian Jabatan Penjabat Gubernur Oleh Perwira
Tinggi Polri
Pada tahun 2018 yang lalu terdapat adanya 171 daerah yang melangsungkan
Pemilihan kepala daerah secara serentak, di beberapa daerah tersebut didapati adanya
Gubernur yang habis masa jabatan dan ada pula Gubernur yang cuti sebagai kepala daerah
karena mencalonkan diri kembali pada periode kedua. Salah satu daerah yang
melangsungkan Pilkada tersebut yakni di provinsi Jawa Barat yang Gubernurnya habis
masa jabatan yang mengakibatkan terjadi kekosongan jabatan kepala daerah. Sebagai

22
Ibid, Hal. 113.
23
Ibid.
konsekuensi habisnya masa jabatan kepala daerah dan kepala daerah yang cuti karena
mencalonkan diri pada periode kedua menyebabkan kekosongan jabatan kepala daerah
sehingga berdampak pada pengambilan keputusan Pemerintahan dan terganggunya
pengelolaan administrasi Pemerintahan.
Dengan adanya kekosongan jabatan kepala daerah Provinsi Jawa Barat tersebut,
maka diangkatlah Penjabat Gubernur untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur yang
habis masa jabatan. Sementara itu, Kementerian dalam Negeri yang pada waktu itu yang
dipimpin oleh Tjahjo Kumolo menunjuk Komjen Pol. M.Iriawan, SH.,MM.MH untuk
menjadi Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat. Langkah Kemendagri dalam menunjuk
Komjen Pol. M.Iriawan, SH.,MM.MH tersebut dinilai dapat menimbulkan polemik dan
persoalan hukum karena dalam pengangkatan Penjabat Gubernur ini, diketahui Komjen
Pol. M.Iriawan, SH.MM.MH masih merupakan perwira tinggi Polri aktif yang berpotensi
menubruk sejumlah Peraturan perundang-undangan, seperti halnya Undang-Undang 10
Tahun 2016 Tentang Pilkada, Undang-Undang 5 Tahun 2014 Tentang ASN, serta
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian.
Lebih lanjut polemik yang ditimbulkan karena adanya kekhawatiran dalam
pengangkatan perwira tinggi Polri menjadi Penjabat Gubernur Jawa Barat sehingga Publik
justru gelisah dan khawatir akan netralitas pelaksanaan Pilkada di wilayah tersebut,
“mengingat ada peserta Pilkada yang berasal dari Polri dan TNI.”24 Disisi lain alasan
Kementerian Dalam Negeri dalam mengangkat Penjabat Gubernur dari unsur Polri yakni
karena adanya “kekhawitaran kehabisan Penjabat eselon I di Kementerian Dalam Negeri
yang mengisi jabatan sebagai Penjabat Gubernur pada 17 provinsi yang melaksanakan
Pilkada serentak pada tahun 2018 yang lalu”.25 Alasan lain Mendagri dalam menunjuk
perwira tinggi Polri dikarenakan “adanya potensi kerawanan pada daerah-daerah yang
melaksanakan Pemilihan kepala daerah”.26 Sehingga berdasarkan pada dua hal tersebut
Mendagri mengangkat Penjabat Gubernur yang berasal dari perwira tinggi Polri.
Selanjutnya, persoalan hukum yang dimaksud yakni “tidaklah sesederhana bahwa
Komjen Pol. M.Iriawan, SH.MM.MH telah menjabat sebagai Sekretaris Utama Lemhanas
RI, maka dengan demikian telah menenuhi syarat sebagai Penjabat Gubernur Jawa
Barat.”27 Namun ada hal yang mendasar yang kemudian dibedakan menjadi 3 (tiga) point
penting. “pertama dibolehkanya anggota Kepolisian (Polri) yang masih aktif diangkat
dalam jabatan pimpinan tinggi madya. kedua, tidak semua jabatan pimpinan tinggi madya
dapat diisi oleh anggota Polri yang masih aktif. Dan ketiga, tidak semua orang yang
memegang jabatan pimpinan tinggi madya secara otomatis dapat diangkat menjadi
Penjabat Gubernur”.28
Pengangkatan Penjabat Gubernur tidak dapat dipisahkan dari aspek regulasi yang
ada, karena banyaknya Peraturan Perundang-Udangan yang saling bersingungan antara
aturan yang satu dengan yang lain tentunya tidak boleh bertentangan baik antara aturan
yang setara maupun dengan aturan di atasnya. Berdasarkan Pasal 201 Ayat (10) Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada yang berbunyi, bahwa “Untuk mengisi
kekosongan jabatan Gubernur, diangkat Penjabat Gubernur yang berasal dari Jabatan

24
Joko Sadewo, Polri Jadi Plt Niat Jaga Stabilitas Malah Buat Instabilitas,
https://www.republika.co.id/berita/nasional/news-analysis/18/01/29/p3apjg318-polri- jadi-plt-niat-jaga-
stabilitas-malah-buat-instabilitas, diakses pada tanggal 28 Maret 2021.
25
Berry, Loc.Cit.
26
Hesti Rika Pratiwi, Loc.Cit.
27
Tohadi, Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah Yang Berasal Dari Anggota Tentara Nasional
Indonesia dan Anggota Kepolisian Negara Indonesia Dalam Sistem Hukum Indonesia, Fakultas Hukum
Univeristas Pamulang, Jurnal Hukum Replik Volume 6 No.1 Maret 2018 Op.Cit, Hal. 92.
28
Ibid.
Pimpinan Tinggi Madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-Undangan”. Dengan demikian, mengacu pada aturan di atas bahwa
kualifikasi syarat utama dalam pengisian jabatan Penjabat Gubernur yakni haruslah
berasal dari Jabatan Pimpinan Tinggi Madya yang pengisian jabatan Penjabat Gubernur
tersebut berakhir setelah dilantiknya Gubernur dan Wakil Gubernur definitif, artinya
pengisian jabatan Penjabat Gubernur bersifat sementara yang dibatasi dengan limitasi
waktu dalam jabatan tersebut dan bukan berasal dari perwira tinggi Polri, hal ini sesuai
dengan ketentuan yang diatur secara jelas di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
Tentang Aparatur Sipil Negara.
Selanjutnya, adapun yang dimaksud dengan Jabatan Pimpinan tinggi mengacu
pada Pasal 1 Angka 7 dan 8 Undang-Undang No 5 Tahun 2014 Tentang ASN yang telah
membatasi konteks Jabatan Pimpinan Tinggi yakni:
(7) Jabatan Pimpinan Tinggi adalah sekelompok jabatan tinggi pada instansi
pemerintah.
(8) Pejabat Pimpinan Tinggi adalah Pegawai ASN yang menduduki Jabatan
Pimpinan Tinggi.
Sementara itu, pada penjelasan Pasal 19 ayat (1) huruf b UU No. 5 Tahun 2014
Tentang ASN yang berbunyi sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan ”Jabatan Pimpinan Tinggi Madya” meliputi sekretaris
jenderal kementerian, sekretaris kementerian, sekretaris utama, sekretaris jenderal
kesekretariatan lembaga negara, sekretaris jenderal lembaga nonstruktural, direktur
jenderal, deputi, inspektur jenderal, inspektur utama, kepala badan, staf ahli
menteri, Kepala Sekretariat Presiden, Kepala Sekretariat Wakil Presiden, Sekretaris
Militer Presiden, Kepala Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden, sekretaris
daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara.
Dengan memperhatikan penjelasan Pasal 19 Ayat (1) huruf b Undang-Undang No
5 Tahun 2014 Tentang ASN di atas, menyiratkan bahwa Jabatan Pimpinan Tinggi Madya
meliputi jabatan-jabatan pada lingkungan ASN saja artinya pada pengaturan yang
berkaitan Jabatan Pimpinan Tinggi Madya tidak dimungkinkan adanya jabatan di luar
ASN seperti halnya perwira tinggi Polri yang disetarakan/disamakan (setingkat) dengan
kualifikasi dari Jabatan Pimpinan Tinggi Madya, kendati demikian, sekretaris jenderal
kementerian, sekretaris utama (Lemhanas RI), dan sekretaris daerah provinsi semuanya
merupakan jabatan pimpinan tinggi madya. Namun, tidak semuanya dapat diisi oleh
perwira tinggi Polri yang masih aktif. Dan tidak dengan semerta-merta semua jabatan
tersebut secara otomatis bisa diangkat menjadi Penjabat Gubenur, kecuali bagi perwira
tinggi Polri yang telah alih status sebagai PNS tentunya tidak akan menjadi persoalan
hukum.
Dalam pengangkatan Penjabat Gubernur, berada di Kementerian Dalam Negeri
dengan menitikberatkan pada tingkatan jabatan serta pengalaman dibidang Pemerintahan.
Mengenai Syarat dan Kriteria Penjabat Gubernur juga diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, pada pasal 132 disebutkan bahwa:
Ayat (1)
Penjabat Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (3) dan
Pasal 131 ayat (4), diangkat dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat dan
kriteria:
a. mempunyai pengalaman di bidang Pemerintahan, yang dibuktikan dengan
riwayat jabatan.
b. menduduki jabatan struktural esselon I dengan pangkat golongan sekurang-
kurangnya IV/c bagi Penjabat Gubernur dan jabatan struktural esselon II
pangkat golongan sekurang-kurangnya IV/b bagi Penjabat Bupati/Walikota.
c. Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan selama 3 (tiga) tahun terakhir
sekurang-kurangnya mempunyai nilai baik.
Dengan memperhatikan ketetuan di atas bahwa telah di tegaskan kembali bahwa
syarat utama dalam mengangkat Penjabat Gubernur yakni didasarkan pada pengalaman di
bidang Pemerintahan, berasal dari Pegawai Negeri Sipil yang telah menduduki Jabatan
Pimpinan Tinggi Madya serta mempunyai penilaian pelaksanaan pekerjaan selama 3 (tiga)
tahun terakhir sekurang-kurangnya mendapat nilai baik. Selanjutnya Penjabat Gubernur
tersebut ditetapkan dengan Keputusan Presiden untuk melaksanakan tugas, wewenang dan
kewajiban sebagai Gubernur yang dibatasi dengan waktu dalam jabatan sampai dengan
dilantiknya Gubernur yang definitif.
Pengangkatan perwira tinggi Polri sebagai Penjabat Gubernur terlebih dahulu
memperhatikan ketentuan sebagaimana di atur di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 pasal 28 Ayat (3) Tentang Kepolisian, terkait anggota Polri aktif yang ingin
menduduki jabatan di luar Polri, menyebutkan “Anggota aktif Kepolisian negara Republik
Indonesia dapat menduduki jabatan diluar Kepolisian setelah mengundurkan diri atau
pensiun dari dinas Kepolisian”. Merujuk pada pasal ini maka apabila perwira tinggi Polri
yang ingin menduduki jabatan diluar Polri, maka terlebih dahulu diharuskan
mengundurkan diri atau pensiun dari dinas Polri. Dengan begitu maka netralitas institusi
Polri tetap terjaga agar Polri dapat menjalakan fungsi dan wewenang Kepolisianya secara
profesional dan tidak mencampur adukan wewenang Polri dalam penegakan hukum
dengan penyelenggaraan urusan Pemerintahan daerah.
Sementara itu, jika merujuk pada penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Polri menyatakan bahwa, yang dimaksud dengan
“Jabatan diluar Kepolisian adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan
Kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri”. Konteks penugasan dari
Kapolri sejauh yang penulis pahami tentunya harus disesuiakan dengan kompetensi yang
dimiliki oleh anggota Kepolisian seperti halnya dalam bidang penegakan hukum,
penugasan angggota Kepolisian diluar institusi Polri yakni berada pada instansi pusat
seperti BNN, BNPT, dan KPK yang masih memiliki relevansi yang sama terkait
kompetensinya sebagai anggota Polri.
Selanjutnya, jabatan sipil tertentu yang berada pada instansi pusat dapat diisi oleh
perwira tinggi Polri dengan kategori tidak mengharuskan perwira tinggi Polri tersebut
mundur atau pensiun dari dinas Kepolisian, hal ini mengacu pada Pasal 9 Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun Tahun 2002 Tentang Pengalihan Status Anggota Tentara
Nasional Indonesia dan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia Menjadi Pegawai
Negeri Sipil Untuk Menduduki Jabatan Struktural Sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2004 yang berbunyi, anggota Polri yang tanpa
dialihkan statusnya menjadi PNS dapat menduduki jabatan struktural tertentu pada instansi
sipil :
a. Kantor Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan; Departemen
Pertahanan;
b. Sekretariat Militer Presiden;
c. Badan Intelijen Negara;
d. Lembaga Sandi Negara;
e. Lembaga Ketahanan Nasional;
f. Dewan Ketahanan Nasional;
g. Badan S.A.R Nasional;
h. Badan Narkotika Nasional.
dapat diduduki oleh Anggota Tentara Nasional Indonesia dan Anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia tanpa dialihkan statusnya menjadi Pegawai Negeri Sipil
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Jika merujuk pada hal di atas sudah ditentukan jabatan yang dibolehkan diisi oleh
perwira tinggi Polri tanpa beralih status sebagai PNS, tentunya berbeda dengan konteks
pengisian jabatan Penjabat Gubernur yang praktis merupakan jabatan politis. Mengingat
pula dalam Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Polri,
bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik
dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.”
Konstitusi Indonesia telah memberikan batasan kewenangan secara jelas bahwa
peran dan otoritas dari institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu untuk
menjaga kedaulatan negara, keamanan, ketertiban serta penegakan hukum dan bukan
sebagai pelaku politik praktis. Dengan mengacu ketentuan hukum pada peristiwa
pengangkatan Komjen.Pol.M.Iriawan, SH.,MM.MH. bahwa perintah dari Undang-Undang
10 Tahun 2016 Tentang Pilkada dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang ASN
serta Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Polri tidak membolehkan
penunjukan perwira tinggi Polri sebagai Penjabat Gubernur karena perwira tinggi tidak
tergolong sebagai jabatan pimpinan tinggi madya kecuali telah mengundurkan diri atau
pensiun dari dinas Kepolisian, dengan kata lain telah beralih status sebagai pegawai negeri
sipil (PNS) sehingga tidak melahirkan persoalan hukum nantinya.
Sehingga jika dicermati kembali ketentuan di dalam Pasal 201 Ayat (10) Undang-
Undang 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada tidak menyebutkan adanya frasa jabatan
”setingkat”, baik pada isi pokok pasal tersebut maupun pada penjelasan pasal 201 Ayat
(10) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada. Lebih lanjut untuk
menyelesaiakan pertentangan norma (konflik norma) dalam pengangkatan Penjabat Gubernur yang
terdapat dalam Pasal 201 ayat (10) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota Menjadi Undang-Undang dengan Pasal 4 ayat 2 Permendagri Nomor 1 Tahun 2018
Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Cuti Di
Luar Tanggungan Negara Bagi Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta
Wali Kota Dan Wakil Wali Kota, yang berkaitan dengan pengisian kekosongan jabatan Gubernur,
maka digunakan asas preferensi hukum.
Menurut Shidarta dan Petrus Lakonawa yang menyatakan bahwa:
Asas preferensi hukum memiliki peran sebagai penyelesai konflik di antara norma-
norma hukum positif. Apabila dalam suatu perkara terdapat sejumlah undang-
undang yang berlaku menjadi hukum positif dan terjadi di antara hukum tersebut,
maka asas preferensi hukum hadir sesuai kegunaanya untuk memastikan peraturan
perundang-undangan mana yang harus dipakai sebagai rujukan. Oleh karena itu, asas
preferensi hukum disebut sebagai pengobat hukum (legal remedies).29
Asas preferensi hukum tersebut terdapat 3 (tiga) asas (adagium) dalam tata urutan
Peraturan Perundang-Undangan yang dikenal sebagai asas prefrensi, dalam penelitian ini
penulis hanya menjabarkan 1 (satu) asas yakni Asas Lex Superior Derogat legi inferiori
sebagai berikut:

29
Shidarta dan Petrus Lakonawa. Lex Specialis Derogat Legi Generali: Makna Dan Penggunaannya.
Jakarta. Penerbit BINUS University. Rubric of Faculty Members. Dipublikasikan pada 3 Maret 2018,
http://business-law.binus.ac.id diakses tanggal 18 September 2020.
Asas lex superior derogat legi inferiori bermakna undang-undang (norma/aturan
hukum) yang lebih tinggi meniadakan keberlakuan undang-undang (norma/aturan hukum)
yang lebih rendah. Sehingga, “menentukan apakah suatu norma memiliki kedudukan yang
lebih tinggi dari norma lainnya tentunya bukan suatu hal yang sulit karena negara hukum
pada umumnya memiliki bangunan tatanan hukum tertulis yang tersusun secara
hirarkis.”30
Selanjutnya, pendapat Petter Mahmud Marzuki yang menyatakan bahwa asas lex
superior derogat legi inferiori, “karena yang satu diperintahkan oleh undang-undang
sedangkan yang lainnya diperintahka oleh peraturan pemerintah.”31 Disamping itu, Bagir
Manan dalam A.A. Oka Mahendra memberikan pendapat yang berbeda, pada asas ini
memiliki makna bahwa:
Peraturan perundang-undangan bertingkat lebih tinggi mengesampingkan peraturan
perundang-undangan tingkat lebih rendah, kecuali apabila substansi peraturan
perundang-undangan lebih tinggi mengatur hal-hal yang oleh undang-undang
ditetapkan menjadi wewenang peraturan perundang-undangan tingkat lebih
rendah.”32
Sehingga pada asas ini terdapat adanya pengecualian apabila substansi peraturan
perundang-undangan, yang “Lex Superior mengatur hal-hal yang oleh undang-undang
ditetapkan menjadi wewenang peraturan perundang-undangan yang lebih Inferiori.”33
Sejalan dengan pendapat Bagir manan, menurut Kusnu Goesniadhie bahwa :
Peraturan Perundang-undangan yang tingkatnya lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang tingkatanya lebih tinggi
yang mengatur materi normatif yang sama. Jika terjadi pertentangan, maka peraturan
perundang-undangan yang tingkatanya lebih tinggi akan mengesampingkan
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, dan karena adanya hirarki dalam
peraturan perundang-undangan maka hal demikian berlaku asas Lex Superior
Derogate Legi Inferiori.34
Dengan demikian berdasarkan hal di atas bahwa dapat dipahami, pada asas ini
memiliki makna bahwa Peraturan Perundang-Undangan yang secara hierarki lebih tinggi
mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan yang secara hierarki lebih rendah.
Dalam artian bahwa adanya dua aturan yang mengatur materi yang sama namun terdapat
adanya pertentangan norma, sehingga berdasarkan hierarki Peraturan Perundang-
Undangan maka aturan yang tinggi mengesampingkan aturan yang rendah.
Sehingga berkaitan dengan Pengaturan dalam pengangkatan Penjabat Gubernur
dalam Pasal 4 Ayat (1) Permendagri Nomor 1 Tahun 2018 yang tidak berdasar atau
berpayung pada aturan yang lebih tinggi yakni pada Pasal 201 Ayat (10) Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada, maka dengan demikian seharusnya pengaturan

30
Nurfaqih Irfani, Asas Lex Superior, Lex Specialis, Dan Lex Posterior: Pemaknaan, Problematika,
Dan Penggunaannya Dalam Penalaran Dan Argumentasi Hukum, Jurnal Legislasi Indonesia Vol 16 No. 3 -
September 2020, Hal.312.
31
Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, Hal.
141.
32
A.A. Oka Mahendra, Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan, Artikel Hukum Tata Negara dan
Peraturan Perundang-undangan. Dipublikasikan pada 29 Maret 2010, http:ditjenpp.kemenkumham.go.id di
akses tanggal 18 September 2020.
33
Ibid.
34
Harif Fadhilah dkk, Harif Fadhilah dkk, Pengaturan Tentang Tenaga Kesehatan dalam Peraturan
Perundang-Undangan dan Azas Kepastian Hukum, Jurnal Hukum Kesehatan Vo.5 No 1 Juni 2019, Healht Law
Master Program, Soegijapranata Catholic University of Semarang, Hal. 156.
Penjabat Gubernur di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada
mengesampingkan Pengaturan terkait Penjabat Gubernur di dalam Permendagri Nomor 1
Tahun 2018.
Lebih lanjut, Farouk Muhammad memperingatkan bahwa “keberadaan polisi di
dalam pemerintah daerah dapat menimbulkan potensi pemanfaatan polisi sebagai
instrumen pemaksa bagi perwujudan kebijakan-kebijakan politik pemerintah.”35 Dengan
demikian berdasarkan pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa pengangkatan perwira
tinggi Polri sebagai Penjabat Gubernur menimbulkan potensi dalam pemanfatan polisi
sebagai intsrumen pemaksa terhadap bentuk konkret dari suatu kebijakan politik
pemerintahanan.
Sejatinya, Penjabat Gubernur harus dari jabatan pimpinan tinggi madya yang berasal
dari kalangan sipil sebagaiamana diatur dalam Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2016 Tentang Pilkada. Sementara itu, pimpinan tinggi madya merupakan Aparatur
Sipil Negara yang berasal Kementerian Dalam Negeri atau dari Kementerian lain, dan
bukan berasal dari perwira tinggi Polri. Disisi lain dalam pengangakatan Penjabat
Gubernur yang berasal dari perwira tinggi Polri juga menimbulkan persoalan bagi
institusi Polri sendiri yang notabenenya masih memiliki segudang tanggung jawab, yang
dinilai belum maksimal dalam bidang penegakkan hukum.
Maka, dalam hal penunjukan Penjabat Gubernur yang berasal dari perwira tinggi
Polri tidak hanya cukup dengan memperhatikan aspek pimpinan atau personal yang cakap
saja, melainkan juga memperhatikan aspek integratif institusional yang berirama sama
dalam memposisikan sebagai institusi kemanan dan penegakkan hukum di dalam Negeri
yang mampu menjawab keinginan dan harapan publik tidak dengan bertentangan tugas
dan fungsi serta yang terpenting tidak melanggar ketentuan Peraturan Perundang-
Undangan yang terkait. Sehingga dengan demikian pengangkatan Penjabat Gubernur Jawa
Barat tersebut dinilai dapat menyeret kembali insitusi Polri ke dalam konsep Dwi fungsi
ABRI yang telah lama dihapuskan terutama dalam bentuk politik praktis (sosial politik)
dan hal ini suatu bentuk kemunduran bagi demokrasi Indonesia.
Dengan demikian, memperhatikan bahwa Polri masih banyak memiliki segudang
permasalahan internal dan memperhatiakan aspek regulasi yang saling bersingungan yang
notabenenya tidak membolehkan institusi selain PNS untuk menduduki jabatan Penjabat
Gubernur, maka seharusnya menjadi pertimbangan bagi Kemendagri untuk tidak
melibatkan institusi Polri ke dalam ranah politik sipil, dengan mengangkat perwira tinggi
Polri sebagai Penjabat Gubernur. Kendati demikian, penunjukan dan pelatikan perwira
tinggi Polri sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat telah dilaksanakan. Maka, peristiwa ini
menjadi catatan dan sebagai bahan evaluasi bagi pemerintah (Kementerian Dalam Negeri)
agar tidak lagi mengulang kesalahan yang sama, serta dengan memperhatikan bahwa Polri
masih memiliki tugas dan tanggung jawab lain untuk dilaksanakan sebagaimana amanat
konstitusi dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Polri.

4.2 Akibat Hukum Pengangkatan Penjabat Gubernur berasal dari Perwira Tinggi
Polri
Keputusan Tata Usaha Negara yang dibuat oleh pejabat administrasi negara dan
Presiden merupakan pejabat administrasi negara yang merupakan pemegang kekuasaan
eksekutif.36 Kewenangan Presiden merupakan konsistensinya sebagai kepala
Pemerintahan. Namun, keputusan Presiden tidak bersifat umum seperti peraturan

35
Makmur Keliat, Reformasi Kepolisian Dalam TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik Cet-2, Jakarta:
Program Magister Studi Pertahanan- ITB dan Imparsial; 2008, Hal.35-42
36
Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, Hal. 18.
pemerintah, melainkan bersifat khusus (einmalig).37 Sebagai contoh keputusan Presiden
yang bersifat khusus, yakni Keputusan Presiden yang berisi tentang pengangkatan
seorang pejabat. Seperti diketahui Presiden memiliki hak preogratif dalam mengangkat
pejabat yang tertuang dalam Konstitusi. Berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh
Presiden Sebagaimana dalam hal ini, memberhentikan Gubernur Provinsi Jawa Barat
dengan hormat karena telah habis masa jabatan dan kemudian mengangkat Penjabat
Gubernur Provinsi Jawa Barat untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur definitif
tersebut.
Beberapa tahun yang lalu Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 106/P
Tahun 2018 Tentang Pengesahan Pemberhentian dengan Hormat Gubernur dan Wakil
Gubernur Gubernur Jawa Barat masa jabatan Tahun 2013-2018 dan Pengangkatan
Penjabat Gubernur Jawa Barat. Pada saat Keppres itu dikeluarkan menimbulkan Polemik
berkaitan dengan pengangkatan Penjabat Gubernur yang berasal dari perwira tinggi Polri
aktif yang dinilai oleh berbagai kalangan menubruk atau melanggar Peraturan Perundang-
Undangan. Konsekuensi logis dari suatu kebijakan dalam mengangkat perwira tinggi Polri
sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat oleh Menteri Dalam Negeri tentunya menimbulkan
akibat hukum, mengingat banyaknya aturan hukum yang saling bersingungan dengan kata
lain adanya aturan yang dinilai dilanggar oleh Menteri Dalam Negeri. Ketika membahas
akibat hukum tentunya tidak terlepas dari yang namanya peristiwa hukum, dalam hal ini
yang menjadi peristiwa hukum yakni terkait pengangkatan Penjabat Gubernur yang
berasal dari perwira tinggi Polri, sedangkan yang menjadi akibat hukumnya yakni terkait
suatu kebijakan atau keputusan yang dikeluarkan oleh Presiden melalui Menteri Dalam
Negeri terhadap pengangkatan Penjabat Gubernur yang berasal dari perwira tinggi Polri
serta dilanggarnya sejumlah aturan oleh Menteri Dalam Negeri seperti Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2016, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang ASN serta
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Polri, hal ini sebagai dasar pengangkatan
Penjabat Gubernur.
Ketetapan dari pengangkatan Penjabat Gubernur merupakan Keputusan Tata Usaha
Negara (KTUN) yang bertujuan untuk melaksanakan tugas dan fungsi serta kewajiban
negara dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Apalagi, Keputusan Tata Usaha
Negara (KTUN) tersebut merupakan bentuk konkret dari Peraturan Perundang-Undangan
yang besifat abstrak. KTUN merupakan tindakan hukum yang bersegi satu/sepihak dalam
artian tidak memerlukan lagi persetujuan dalam penetapan tersebut. Hal tersebut
didasarkan pada perspektif hukum publik yang pada dasarnya kedudukan pemerintah lebih
tinggi dibandingan dengan kedudukan warga negaranya. Berkaitan dengan hal ini Ridwan
HR mengungkapkan bahwa:
Bila dikatakan bahwa tindakan hukum pemerintah itu merupakan pernyataan
kehendak sepihak dari organ pemerintahan (eenzijdige wilsverklaring van de
bestuurorgaan) dan membawa akibat pada hubungan hukum atau keadaan hukum
yang ada, maka kehendak organ tersebut tidak boleh mangandung cacat seperti
kekhilafan (dwaling), penipuan (bedrog), paksaan (dwang) dan lain-lain yang
menyebabkan akibat-akibat hukum tidak sah. Di samping itu, karena setiap tindakan
hukum itu harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka
dengan sendirinya tindakan tersebut tidak boleh menyimpang dengan peraturan yang
bersangkutan, yang dapat menyebabkan akibat-akibat hukum yang muncul itu batal
(nietig) atau dapat dibatalkan (nietigbaar).38

37
Lutfi Effenfi, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Bayu Media Publishing, Malang, 2004.
Hal.49.
38
Ibid. Hal. 111.
Selanjutnya, menurut Van Der Pot yang menyatakan bahwa suatu keputusan yang
dibuat oleh pemerintah dapat berlaku sebagai keputusan yang sah harus memenuhi 4
(empat) syarat antara lain:
a) Keputusan harus dibuat oleh alat (orgaan) yang berkuasa membuatnya;
b) Oleh karena keputusan merupakan suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring),
maka pembentukan kehendak tersebut tidak memuat kekurangan yuridis (geen
juridisch gebreken in de wilsvorming);
c) Keputusan dimaksudkan harus diberi bentuk yang ditetapkan dalam peraturan
yang menjadi dasarnya dan pembuatnya juga harus memperhatikan cara
(procedure) membuat ketetapan dimaksud, apabila cara dimaksud ditetapkan
dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut;
d) Isi dan tujuan keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.39
Sedangkan menurut Kuntjoro Purbopranoto yang mengungkapkan agar keputusan
yang dibuat menjadi keputusan yang sah ada dua syarat yang harus dipenuhi, yakni syarat
materiil dan formil. Kuntjoro Purbopranoto menyatakan bahwa terdapat syarat materiil
sahnya keputusan antara lain:
a) Alat Pemerintahan yang membuat keputusan harus berwenang (berhak);
b) Dalam kehendak alat Pemerintahan yang membuat keputusan tidak boleh ada
kekurangan yuridis (geen yuridische gebreken in de welsvoming);
c) Keputusan harus diberi bentuk (vonm) yang ditetapkan dalam peraturan yang
menjadi dasarnya dan pembentukkanya harus juga memperhatikan prosedur
membuat keputusan bila mana prosedur itu ditetapkan dengan tegas dalam
peraturan itu (rechmatig);
d) Isi dan tujuan keputusan itu harus seusai dengan isi dan tujuan yang hendak
dicapai (doelmatig).
Sedangkan syarat formil sahnya suatu keputusan meliputi:
a) Syarat-syarat ditentukan berhubungan dengan persiapan dibuatnya keputusan dan
berhubungan dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi;
b) Harus diberi bentuk yang telah ditentukan;
c) Syarat-syarat berhubungan dengan pelaksanaan keputusan terpenuhi;
d) Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hak-hak yang menyebabkan
dibuatnya dan diumumkan keputusan itu dan tidak boleh dilupakan.40
Keabsahan dalam penetapan KTUN dalam mengangkat Penjabat Gubernur yang
berasal dari perwira tinggi Polri dapat dilihat pula, apakah penetapan KTUN tersebut telah
sesuai dengan hukum atau dalam artian harus sesuai dengan prinsip legalitas (legality
principle). Lebih lanjut menurut Phillipus M.Hadjon mengungkapkan, bahwa prinsip
penyelenggaraan pemerintahan adalah berdasarkan prinsip negara hukum dengan prinsip
dasar legalitas (rechtmatigheid van het bestuur).41 Dalam penetapan KTUN yang telah
berdasar pada hukum maka, KTUN tersebut dianggap sah, dan sebaliknya.
Phillipus M.Hadjon mengungkapkan bahwa dalam prinsip legalitas dalam tindakan/
keputusan pemerintah meliputi:

39
Sadjijono, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2008. Hal. 101.
40
Kuntjoro Purbopranoto, Perkembangan Hukum Administrasi Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1981.
Hal. 48-49.
41
Phillipus M.Hadjon, Hukum Administrasi dan Good Governance, Penerbit Univerisitas Tri Sakti,
Jakarta, 2010, Hal. 20.
1, wewenang, 2, prosedur dan 3) substansi. Wewenang dan prosedur merupakan
landasan bagi legalitas formal yang melahirkan asas praesumptio iustae
causa/vermoden van rechtmatig/keabsahan tindakan pemerintah. Sedangkan
subtansi akan melahirkan legalitas materiil. Tidak terpenuhinya tiga komponen
legalitas tersebut mengakibatkan cacat yuridis suatu tindakan/keputusan
pemerintah.42
Selain adanya akibat hukum pengangkatan Komjen. Pol. M.Iriawan, SH.MM.MH
sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat, juga berimplikasi pada dicampuradukanya
kewenangan sebagai Kepala daerah provinsi dan kewenangan sebagai perwira tinggi Polri,
selain itu berimplikasi pula pada hal politis yakni berkaca pada sejarah demokrasi
Indonesia, dengan mengangkat perwira tinggi Polri menjadi Penjabat gubernur adalah
suatu bentuk kemunduran bagi demokrasi Indonesia. Karena berdasarkan amanat
reformasi yakni menghapuskan konsep Dwi Fungsi ABRI. Kendati Polri saat ini tidak
dibawah naungan ABRI namun terdapat adanya perbedaan yang mendasar berkaitan
dengan tugas pokok dan fungsi sebagai pejabat Pegawai Negeri Sipil dengan perwira
tinggi Polri.
Selanjutnya, berkaitan dengan prinsip keabsahan dalam mengangkat Penjabat
Gubernur yang berasal dari perwira tinggi Polri dapat pula merujuk pada Pasal 8 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan menentukan:
1) Setiap Keputusan dan/atau Tindakan harus ditetapkan dan/atau dilakukan oleh
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang.
2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menggunakan Wewenang wajib
berdasarkan:
a. Peraturan perundang-undangan; dan
b. AUPB.
3) Pejabat Administrasi Pemerintahan dilarang menyalahgunakan Kewenangan
dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.
Dalam menjalankan tugas-tugas pemerintah negara, negara melakukan berbagai
tindakan hukum seperti mengeluarkan keputusan, peraturan kebijakan dan sebagainya.
Tindakan hukum pada penulisan tesis ini yakni berkaitan dengan Keputusan Presiden
Nomor 106/P Tahun 2018 Tentang Pengesahan Pemberhentian dengan Hormat Gubernur
dan Wakil Gubernur Jawa Barat masa Jabatan Tahun 2013-2018 dan Pengangkatan
Penjabat Gubernur Jawa Barat. Dalam Keppes ini Presiden mengangkat Komjen
Pol.M.Iriawan, SH.MM.MH. sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat, namun dalam
pengangkatan ini dinilai melanggar Peraturan Perundang-Undangan karena banyaknya
aspek Peraturan Perundang-Undangan yang diabaikan oleh Menteri Dalam Negeri.
Sehingga berdasarkan keputusan atau kebijakan dari pemerintah terhadap
pengangkatan Penjabat Gubernur yang berasal dari perwira tinggi Polri maka, ada dua
upaya hukum yang dapat dilaksanakan yakni pertama, Pemerintah harus menegakan
aturan secara tegas sebagaimana yang telah di atur dalam artian bahwa pengisian jabatan
Penjabat Gubernur hanya diiisi oleh Jabatan Pimpinan tinggi madya yang telah memenuhi
syarat dan ketentuan dalam hal ini diisi oleh Pegawai Negeri Sipil Eselon I. Kedua, yakni
dengan mengajukan gugatan ke PTUN menguji keabsahan keputusan Presiden berkaitan
dengan pengangkatan Penjabat Gubernur yang berasal dari perwira tinggi Polri tersebut.
Dalam faktanya sehari-hari, masih banyak ditemukannya keputusan-keputusan
Badan atau pejabat TUN yang disengketakan baik yang bertentangan dengan Peraturan
Perundang-Undangan maupun yang mengabaikan asas-asas umum pemerintahan yang

42
Ibid. Hal. 22.
baik. Dalam hal sengketa tersebut, perlu adanya suatu penyelesaian agar terdapat adanya
suatu kepastian hukum dan rasa keadilan. Maka, berkaitan dengan sengketa administrasi
pemerintahan/tata usaha negara tersebut telah diatur melalui Peraturan Perundang-
Undangan yang berlaku baik yang berkaitan dengan subtansi didalamnya maupaun
berkaitan dengan prosedural pembuatan keputusan tersebut.
Perbuatan hukum oleh aparat pemerintah adalah tindakan yang dilakukan oleh
pejabat Tata Usaha Negara dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan. Salah satu
contoh dari perbuatan aparat pemerintah ialah ketetapan. Ketetapan dibagi menjadi dua
macam yakni :
1. Ketetapan sah (rechtsgeldige beschikking)
Syarat-syarat yang harus terpenuhi agar ketetapan adalah ketetapan yang sah
(voorwaarden voor de rechtsgeldigheid der beschickking) menurut Van der Pot :
a. Ketetapan harus dibuat oleh alat (organ) yang berkuasa (bevoegd)
membuatnya.
b. Dalam pembentukan kehendak dari alat negara yang mengeluar kan suatu
ketetapan, tidak boleh ada kekurngan yuridis, kekurangan yuridis dapat
disebabkan karena salah kira (dwaling), paksaan (Dwang) dan tipuan (bedrog).
c. Ketetapan yang dimaksud harus diberi bentuk (vorm) yang sesuai dengan yang
ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatan keputusan
tersebut juga harus memperhatikan cara/prosedur pembuatan
keputusan/ketetapan yang dimaksud.
d. Isi dan tujuan dari ketetapan harus sesuai dengan isi dan tujuan dalam
peraturan dasarnya.
2. Ketetapan tidak sah (niet- rechtsgeldige beschikking)
Ketetapan tidak sah itu dapat berupa :
a. Ketetapan Batal demi hukum (nietig van recht wege).
b. Ketetapan yang batal mutlak (absoluut nietig).
c. Ketetapan yang dapat dibatalkan (vernietigbaar).43
Berdasarkan hal di atas diketahui bahwa Keputusan Presiden dalam mengangkat
perwira tinggi Polri sebagai Penjabat Gubernur yakni merupakan suatu perbuatan hukum
dari pemerintah dalam hal ini Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya, salah
satu unsur dari perbuatan hukum tersebut yakni dimaksudkan sebagai sarana untuk
menimbulkan akibat hukum dibidang hukum administrasi maka, diketahui keputusan
dalam mengangkat perwira tinggi Polri tersebut menimbulkan suatu akibat hukum terkait
keabsahan dari suatu keputusan tersebut, yang notabenenya apabila Keputusan tersebut
terdapat adanya cacat yuridis atau mengabaikan aspek asas umum pemerintahan yang baik
maka berimplikasi pula terhadap ketetapan tersebut menjadi tidak sah atau batal demi
hukum.
Oleh karena itu, berdasarkan hal tersebut dan merujuk pada beberapa ketentuan yang
berlaku, yakni pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada, Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang ASN dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
Tentang Polri, serta dengan memperhatikan keterangan/pendapat pakar, maka Penjabat
gubernur seyogyanya harus berasal dari PNS Eselon I yakni pada jabatan pimpinan tinggi
madya yang telah jelaskan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang ASN dan
bukan berasal dari unsur perwira tinggi Polri. Sehingga peraturan yang terkait lainya
seperti Permendagri yang juga mengatur konteks pengisian jabatan Penjabat gubernur
seharusnya berpayung/mendasarkan pada peraturan terkait di atasnya.

43
Ibid. Hal. 6-7.
Sementara itu, tindakan pemerintah dalam membuat keputusan atau produk hukum
tersebut sah (legitimate) maka, keputusan tersebut akan terus dilanjutkan namun
sebaliknya apabila keputusan tersebut tidak sah (ilegitimate) atau dengan kata lain
melanggar Peraturan Perundang-Undangan dan/atau mengabaikan asas-asas umum
pemerintahan yang baik maka timbul konsekuensi terhadap perbuatan hukum tersebut
menjadi batal. Dalam peristiwa pada penulisan ini yakni berkaitan dengan Keputusan
Presiden dalam mengangkat perwira tinggi sebagai Penjabat Gubernur.
Selanjutnya, pemerintah dalam menetapkan Keputusan Tata Usaha Negara yang
menimbulkan sengketa tata usaha negara sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1 angka
10 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi :
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha
Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara, baik di Pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya
keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan Peraturan
Perundang-Undangan yang berlaku.
Sehingga dengan demikian Sengketa Tata Usaha Negara, merupakan sengketa dalam
lingkup administrasi. Maka, sengketa administrasi sendiri diartikan sebagai sengketa yang
menyangkut keabsahan sebuah keputusan yang ditangani oleh lembaga peradilan dalam
hal ini Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dengan dilakukanya pengujian tersebut,
maka gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) ini meliputi dua aspek pertama,
perlindungan hukum bagi warga masyarakat dan kedua, berkaitan dengan pengoreksian
terhadap keputusan yang keliru. Dan dalam hal ini adalah berkaitan dengan pengoreksian
terhadap Keputusan Presiden Nomor 106/P Tahun 2018 dalam mengangkat perwira tinggi
Polri sebagai Penjabat Gubernur yang dinilai keliru atau cacat yuridis.
Lebih lanjut akibat hukum dari perbuatan badan atau pejabat tata usaha negara yang
tidak sah dan menjadi batal dijabarkan melalui teori kebatalan (nietig theory) yakni
sebagai berikut:
1. Batal mutlak (absulute nietig);
2. Batal demi hukum (nietig van rechts wege);
3. Dapat dibatalkan (vernietig baar).44
Untuk memperjelas teori kebatalan, berikut perbandingan dari ketiga teori kebatalan
tersebut:
1. Batal mutlak (absolute nitieg)
Secara prinsip, batal mutlak berakibat semua perbuatan yang pernah dilakukan,
dianggap tidak pernah ad. Dalam konsteks ini, perbuatan yang dinyatakan tidak
pernah ada tersebut, berlaku prinsip fiction theory atau semua subjek orang atau
subjek hukum dianggap tahu oleh hakim. Dalam hal batal mutlak ini, yang berhak
menyatakan batal mutlak hanyalah peradilan dalam Undang-Undang Kehakiman.
2. Batal Demi Hukum (nietig van rechts wege)
Akibathukumnya ada dua laternatif, alternatif pertama ialah perbuatan sudah
dilakukan, dianggap tidak ada atau tidak sah secara hukum, dan alternatif kedua
ialah perbuatan yang telah dilakukan, sebagian dianggap sah, dan sebagian lagi
dianggap tidak sah. Dalam hal batal demi hukum ini, pejabat yang berhak
menyatakan batal atau tidak adalah pihak yudikatif dan eksekutif.
3. Dapat dibatalkan (vernitig baar)

44
Ibid. Hal.9.
Dalam hal ini, dapat dibatalkan memiliki konsekuensi hukum keseluruhan dari
perbuatan hukum yang pernah dilakukan sebelumnya, tetap dianggap sah. Artinya
keseluruhan perbuatan dimasa lampau tetap menjadi suatu tindakan hukm yang
tidak dapat dibatalkan atau tetap berlaku pada masa itu. Adapun pejabat yang
berhak membatalkan adalah pihak yudikatif, eksekutif, dan legislatif.45

Selanjutnya, keputusan tata usaha negara yang melanggar Peraturan Perundang-


Undangan dan mengabaikan asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam hal ini
berkaitan dengan pengangkatan perwira tinggi Polri sebagai Penjabat Gubernur dilakukan
dengan upaya melayangkan gugatan tata usaha negara. Disamping itu, gugatan yang
diajukan tersebut memuat beberapa syarat, hal ini sesuai dengan ketentuan sebagaimana
Pasal 56 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang berbunyi:
(1)Gugatan harus memuat:
a. nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat, atau
kuasanya;
b. nama, jabatan, dan tempat kedudukan tergugat;
c. dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh Pengadilan.
(2)Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa
penggugat,makagugatan harus disertai surat kuasa yang sah.
(3)Gugatan sedapat mungkin juga disertai Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan oleh penggugat.
Berdasarkan ketentuan di atas dapat dipahami bahwa dalam mengajukan gugatan
terhadap Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal ini Keputusan Presiden Nomor 106/P
Tahun 2018 ini, terlebih dahulu memperhatikan syarat-syarat gugatan yang harus
dipenuhi. Namun, apabila hal yang dipersyaratkan tersebut tidak dilengkapi maka
berimplikasi pada gugatan yang diajukan tersebut tidak dapat diterima atau dengan kata
lain tidak berdasar.
Disamping itu, keabsahan sebuah keputusan dapat diukur berdasarkan syarat sahnya
sebuah keputusan, sehingga terdapat adanya hal-hal yang harus diperhatikan sebelum
mengajukan gugatan, yakni berdasarkan pada Pasal 53 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pada pasal ini menyiratkan alasan-
alasan dalam mengajukan gugatan yakni sebagai berikut:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentanggan dengan Peraturan
Perundang-Undangan yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentanggan dengan asas-asas
umum pemerintahan yang baik.
Berdasarkan syarat atau alasan di atas dalam mengajukan gugatan terhadap
Keputusan Presiden Nomor 106/P Tahun 2018 Tentang Pengesahan Pemberhentian
dengan Hormat Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat masa Jabatan Tahun 2013-2018
dan Pengangkatan Penjabat Gubernur Jawa Barat, dinyatakan terpenuhi. Mengingat bahwa
ketidaksesuaian Peraturan Perundang-Undangan dalam hal ini Pasal 4 ayat (2)
Permendagri Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Cuti Di Luar Tanggungan Negara Bagi Gubernur
Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Wali Kota Dan Wakil Wali Kota
yang tidak berdasarkan pada Pasal 201 Ayat (10) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016
Tentang Pilkada, serta dengan memperhatikan kualifikasi jabatan pimpinan tinggi madya
yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang ASN yang hanya

45
Ibid. Hal. 10.
membolehkan diisi oleh Jabatan Pimpinan Tinggi Madya (PNS) Eselon I, serta
memperhatikan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Polri yang melarang Polri
bertugas diluar jabatan Kepolisian, kecuali setelah mengundurkan diri atau pensiun dari
dinas Kepolisian dan ditambah lagi jabatan gubernur merupakan jabatan politis yang
sangat rentan menyeret Polri masuk dalam ranah politik praktis.
Sehingga dalam pembuatan Keputusan Presiden Nomor 106/P Tahun 2018 terhadap
pengangkatan perwira tinggi Polri sebagai Penjabat Gubernur, dapat dikatakan tidak
memenuhi syarat dalam membuat keputusan sebagaimana diungkapan oleh Van Der Pot
dan Kunjtoro Purbo Pranoto dan tidak melaksanakan ketentuan di dalam Pasal 8 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan yang
menentukan bahwa dalam menjalankan tindakan Pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan dalam menggunakan wewenang wajib berdasarkan Peraturan Perundang-
undangan dan AUPB. Selain itu telah memenuhi pula alasan-alasan dalam mengajukan
gugatan sebagaimana Pasal 53 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 karena
adanya aspek Peraturan Perundang-Undangan yang dilanggar oleh Presiden melalui
Menteri Dalam Negeri.
Dengan demikian pengangkatan Penjabat Gubernur yang berasal dari Perwira tinggi
Polri menimbulkan akibat hukum yakni menjadi tidak sah (ilegitimate) atau batal demi
hukum, dan bilamana terdapat pihak yang menginginkan suatu kepastian hukum dan
keadilan serta mencegah adanya pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara yang berisikan tuntutan agar
Keputusan Presiden Nomor 106/P Tahun 2018 Tentang Pengesahan Pemberhentian
dengan Hormat Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat masa Jabatan Tahun 2013-2018
dan Pengangkatan Penjabat Gubernur Jawa Barat tersebut dinyatakan batal demi hukum/
tidak sah.

5. PENUTUP
Konstitusi Indonesia telah memberikan batasan kewenangan secara jelas bahwa
peran dan otoritas dari Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu untuk menjaga
kedaulatan negara, keamanan, ketertiban serta penegakan hukum dan bukan sebagai
pelaku politik praktis. Dengan mengacu pada ketentuan hukum terkait peristiwa
pengangkatan Komjen.Pol.M.Iriawan, SH.,MM.MH. bahwa perintah dari Undang-Undang
10 Tahun 2016 Tentang Pilkada dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang ASN
serta Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Polri tidak membolehkan
penunjukan perwira tinggi Polri sebagai Penjabat Gubernur karena perwira tinggi Polri
tidak tergolong sebagai jabatan pimpinan tinggi madya kecuali telah mengundurkan diri
atau pensiun dari dinas Kepolisian, dengan kata lain telah beralih status sebagai pegawai
negeri sipil (PNS).
Bahwa Keputusan Presiden Nomor 106/P Tahun 2018 terhadap pengangkatan
perwira tinggi Polri sebagai Penjabat Gubernur, tidak memenuhi syarat dalam pembuatan
keputusan dan melanggar Peraturan Perundang-Undangan sehingga pengangkatan
Penjabat Gubernur yang berasal dari Perwira tinggi Polri menimbulkan akibat hukum
yakni tidak sah (ilegitimate) atau batal demi hukum, dan bilamana terdapat pihak yang
menginginkan suatu kepastian hukum dan keadilan serta mencegah adanya pelanggaran
Peraturan Perundang-Undangan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha
Negara yang berisikan tuntutan agar Keputusan Presiden Nomor 106/P Tahun 2018
tersebut dinyatakan batal demi hukum/ tidak sah.
Daftar Pustaka
A. Buku-Buku

Aminuddin Ilmar, 2014, Hukum Tata Pemerintahan, Cet.1, Jakarta: Kencana.

Bahder Johan Nasution, 2011. Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Cet. 1. Bandung:
CV Mandar Maju.
Hamdan Zoelva, 2011, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika.

Harun Al-Rasyid, 1999, Pengisian Jabatan Presiden, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Kuntjoro Purbopranoto, 1981, Perkembangan Hukum Administrasi Indonesia,


Bandung, Bina Cipta.
Makmur Keliat, 2008, Reformasi Kepolisian Dalam TNI-Polri Di Masa Perubahan
Politik Cet-2, Jakarta: Program Magister Studi Pertahanan- ITB dan Imparsial.

Moh.Kusnadi dan Hermaily Ibrahim, 1983 Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Cet. V, Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia.
Logemann, 1975, diterjemahkan oleh Makkatutu dan Pangkerego dari judul, asli over de
Theori Van Een Stelling Staatsrecht, Universitaire Pers Leiden, 1948, Tentang
Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif, Jakarta: Ikhtiar Baru-Van Hoeve.

Lutfi Effenfi, 2004, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Malang, Bayu Media
Publishing.

Phillipus M.Hadjon, 2010.Hukum Administrasi dan Good Governance, Jakarta, Penerbit


Univerisitas Tri Sakti.

Petter Mahmud Marzuki, 2016. Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Jakarta, Kencana.

Pudja Pramana KA, 2009, Ilmu Negara, Jakarta: Garaha Ilmu.

Sadjijono, 2005, Fungsi Kepolisan Dalam Melaksanakan Good Governance, Cet. 2,


Surabaya: Laksbang.

Sukamto Satoto, 2004, Pengaturan Eksistensi dan Fungsi Badan Kepegawaian Negara,
Jogjakarta, Hanggar Kreator.
Tedi Sudrajat, 2017, Hukum Birokrasi Pemerintah Kewenangan dan Jabatan, Cet. 1,
Jakarta: Sinar Grafika.

B. Karya Ilmiah (Jurnal/Majalah/Makalah Seminar)


Harif Fadhilah dkk, Pengaturan Tentang Tenaga Kesehatan dalam Peraturan
Perundang-Undangan dan Azas Kepastian Hukum, Jurnal Hukum Kesehatan
Vo.5 No 1 Juni 2019, Healht Law Master Program, Soegijapranata Catholic
University of Semarang, 2019.
Nurfaqih Irfani, Asas Lex Superior, Lex Specialis, Dan Lex Posterior: Pemaknaan,
Problematika, Dan Penggunaannya Dalam Penalaran Dan Argumentasi Hukum,
Jurnal Legislasi Indonesia Vol 16 No. 3 - September 2020.
Tohadi, Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah Yang Berasal Dari Anggota Tentara
Nasional Indonesia dan Anggota Kepolisian Negara Indonesia Dalam Sistem
Hukum Indonesia, Fakultas Hukum Univeristas Pamulang, Jurnal Hukum Replik
Volume 6 No.1 Maret 2018.

C. Internet
https://www.antaranews.com/berita/480618/tujuh-gelombang-Pilkada-serentak-2015-
hingga-2027,

htttps://www.cnnindonesia.com/nasional/20180126211756-32 271927/keMendagri-
ungkap-perbedaan-plt-Gubernur-dari-Polri-dan-sipil,

http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik /18/01/29/p3avex354-pakar-plt-
Gubernur-dari-Polri-berTentangan-uu/,

http://business-law.binus.ac.id, Shidarta dan Petrus Lakonawa. Lex Specialis Derogat


Legi Generali: Makna Dan Penggunaannya. Jakarta. Penerbit BINUS
University. Rubric of Faculty Members. Dipublikasikan pada 3 Maret 2018, 18
September 2020.

D. Peraturan Perundang-Undangan

Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

______,Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian. Lembaran Negara


Republik Indonesian Tahun 2002 Nomor 2. Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4168.
______,Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, Walikota Menjadi Undang-Undang. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 130. Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5898.
_____,Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6. Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5494.

_____,Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor74 Tahun 2016 Tentang Cuti Di Luar
Tanggungan Negara Bagi Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil
Bupati, Serta Walikota dan Wakil Walikota, Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2018 Nomor 120.

You might also like