Professional Documents
Culture Documents
Approach of Discourse Analysis
Approach of Discourse Analysis
DISCOURSE ANALYSIS
( APPROACH OF DISCOURSE ANALYSIS)
DISUSUN OLEH :
NUR ANI
( 10256118001 )
BY :
MISPA SARI
( 10256118010 )
Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala
limpahan rahmat, bimbingan dan petunjuk serta hidayah nya sehingga kita dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini yang disusun dalam rangka memenuhi mata kuliah DISCOURSE
ANALYSIS.
Kita menyadari sepenuhnya bahwa penulisan dan penyusunan makalah ini tidak dapat
Akhir kata kami meminta maaf atas kesalahan serta kehilafan yang penulis perbuat baik
sengaja maupun tidak sengaja. Kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Semoga Allah SWT memberikan petunjuk serta rahmat nya kepada kita.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Analisis Data adalah sebuah proses dari pengolahan data yang nantinya akan diubah
untuk menjadi sebuah informasi, agar ciri-ciri dari data tersebut menjadi mudah untuk
dipahami dan dapat digunakan sebagai solusi dari suatu permasalahan. Definis lain
mengatakan bahwa, Data Analysis adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan tujuan untuk
mengubah data dari hasil penelitian untuk menjadi sebuah informasi, yang nantinya akan
digunakan didalam menentukan kesimpulan dari suatu penelitian.
Digunakan untuk mendeskripsikan sebuah data sehingga akan sangat mudah untuk
dipahami.
Untuk membuat kesimpulan berdasarkan data yang didapatkan dari sampel.
Untuk memeriksa, merapihkan, mentransformasikan, dan memeragakan data.
BAB II
PEMBAHASAN
Secara umum, Discourse Analysis atau Analisis Wacana merupakan sebuah metode penelitian
kualitatif yang berfungsi untuk menganalisis bahasa, tulisan, pidato, percakapan, baik percakapan
verbal maupun non-verbal.
Ada beberapa pendekatan dalam analisis wacana, seperti Teori Tindakan Pidato,
Sosiolinguistik Interaksional, Etnografi Komunikasi, Pragmatik, Analisis Percakapan, Analisis
Variasi, dll.
(There are some approaches to discourse analysis, such as Speech Act Theory, Interactional
Sociolinguistics, Ethnography of Communication, Pragmatics, Conversational Analysis, Variation
Analysis, etc.)
Ini adalah perspektif logiko-filosofis tentang organisasi percakapan yang berfokus pada
interpretasi daripada produksi ucapan dalam wacana. Itu tumbuh dari keyakinan dasar bahwa bahasa
digunakan untuk melakukan tindakan. Berdasarkan teori ini, setiap ujaran dapat dianalisis sebagai
perwujudan niat penutur (kekuatan ilokusi) untuk mencapai tujuan tertentu. Fokus analisisnya adalah
tindak tutur (SA) atau gaya ilokusi (IF). Masalah utama yang dihadapi oleh para ahli bahasa adalah
kurangnya kesesuaian satu-ke-satu antara fungsi wacana (IF) dan bentuk tata bahasa. Teori ini
memberikan wawasan bahwa unit dasar dari analisis percakapan harus dimotivasi secara fungsional
daripada didefinisikan secara formal.
Teori ini tumbuh dari karya para antropolog. Ini secara sentral prihatin dengan pentingnya
konteks dalam produksi dan interpretasi wacana. Ini berfokus pada analisis fitur tata bahasa dan
prosodi dalam interaksi. Gumperz mendemonstrasikan bahwa pelaku interaksi dari latar belakang
sosial budaya yang berbeda dapat “mendengar” dan memahami wacana secara berbeda sesuai dengan
isyarat kontekstualisasi interpretasi mereka dalam wacana, mis. kontur intonasi, 'berbicara untuk yang
lain', keselarasan, jenis kelamin. Schiffrin (1987) berfokus pada analisis sosiolinguistik interaktif
kuantitatif, terutama penanda wacana. Perhatian dasarnya adalah pencapaian koherensi percakapan.
Dia berpendapat pentingnya analisis kualitatif dan kuantitatif untuk menentukan fungsi penanda
wacana yang berbeda dalam percakapan.
2. Interactional Sociolinguistics (Gumperz 1982, Goffman 1959-1981)
This theory grows out of the work of anthropologists. It centrally concerned with the
importance of context in the production and interpretation of discourse. It focuses on analysis of
grammatical and prosodic features in interactions. Gumperz demonstrated that interactants from
different socio-cultural backgrounds may “hear” and understand discourse differently according to
their interpretation contextualization cues in discourse, e.g. intonation contours, ‘speaking for
another’, alignment, gender. Schiffrin (1987) focused on quantitative interactive sociolinguistic
analysis, especially discourse markers. Her basic concern is the accomplishment of conversational
coherence. She argues for the importance of both qualitative and quantitative analysis in order to
determine the function of the different discourse markers in conversation.
Teori ini berkaitan dengan pemahaman konteks sosial dari interaksi linguistik: 'siapa
mengatakan apa kepada siapa, kapan, di mana, mengapa dan bagaimana'. Unit utama analisis adalah
acara pidato. Acara pidato mengacu pada 'kegiatan yang secara langsung diatur oleh aturan atau
norma untuk penggunaan ucapan' (Hymes 1972: 56). Acara pidato terdiri dari komponen (kisi Hymes
BERBICARA). Analisis komponen acara pidato ini sangat penting untuk apa yang kemudian dikenal
sebagai etnografi komunikasi atau etnografi berbicara, dengan tujuan etnografer untuk menemukan
aturan kesesuaian dalam acara pidato. Kerangka etnografi telah menyebabkan pengertian yang lebih
luas tentang kompetensi komunikatif. Masalah: Kurangnya penjelasan Hymes tentang hubungan
antara genre dan komponen lain dari kisi-kisi berbicara dan ekspresi mereka dalam bahasa dan
pengenalan hubungan yang erat antara peristiwa pidato dan konteks sosial atau budaya mereka.
This theory concerned with understanding the social context of linguistic interactions: ‘who
says what to whom, when, where, why and how’. The prime unit of analysis is speech event. Speech
event refers to ‘activities that are directly governed by rules or norms for the use of speech’ (Hymes
1972:56). Speech event comprises components (Hymes SPEAKING grid). Analysis of these
components of a speech event is central to what became known as ethnography of communication or
ethnography of speaking, with the ethnographer’s aim being to discover rules of appropriateness in
speech events. The ethnographic framework has led to broader notions of communicative
competence. Problem: Lack of explicitness in Hymes’ account on the relationship between genre and
other components of the speaking grid and their expression in language and recognition of the close
relationship between speech events and their social or cultural contexts.
This theory formulates conversational behaviour in terms of general “principles” rather than
rules. At the base of pragmatic approach is to conversation analysis is Gricean’s co-operative
principle (CP). This principle seeks to account for not only how participants decide what to DO next
in conversation, but also how interlocutors go about interpreting what the previous speaker has just
done. This principle is the broken down into specific maxims: Quantity (say only as much as
necessary), Quality (try to make your contribution one that is true), Relation (be relevant), and manner
(be brief and avoid ambiguity). It provides useful means of characterizing different varieties of
conversation, e.g. in interactions, one can deliberately try to be provocative or consensual. Its
significant problem is it implies that conversations occur co-operatively, between equals where power
is equally distributed etc. However, in reality, conversations involve levels of disagreement and
resistance and power is constantly under contestation.
Labov dan Waletzky berpendapat bahwa struktur naratif fundamental terbukti dalam narasi
lisan dari pengalaman pribadi. Struktur keseluruhan narasi pengalaman pribadi yang terbentuk
sepenuhnya melibatkan enam tahap: 1) Abstrak, 2) Orientasi, 3) Komplikasi, 4) Evaluasi, 5) Resolusi,
6) Coda, di mana 1) dan 6) bersifat opsional. Kekuatannya adalah kejelasan dan penerapannya.
Namun yang menjadi masalah adalah data tersebut diperoleh dari wawancara. Pendekatan variasionis
terhadap wacana berasal dari kuantitatif perubahan dan variasi linguistik. Meskipun biasanya berfokus
pada batasan sosial dan linguistik pada varian yang secara semantik setara, pendekatan tersebut juga
telah diperluas ke teks.
Labov and Waletzky argue that fundamental narrative structures are evident in spoken narratives of
personal experience. The overall structure of fully formed narrative of personal experience involves
six stages: 1) Abstract, 2) Orientation, 3) Complication, 4) Evaluation, 5) Resolution, 6) Coda, where
1) and 6) are optional. The strength is its clarity and applicability. However, the problem is that data
was obtained from interviews. Variationists’ approach to discourse stems from quantitative of
linguistic change and variation. Although typically focused on social and linguistic constraints on
semantically equivalent variants, the approach has also been extended to texts.