Teori Administrasi Dan Penerapannya Di Indonesia

You might also like

Download as pdf
Download as pdf
You are on page 1of 43
AGUS DWIYANTO TEORI Os LSPA PENERAPANNYA DI INDONESIA BAB 1 DIKOTOMI POLITIK DAN ADMINISTRASI, IMPARSIALITAS, DAN ETIKA NETRALITAS PENDAHULUAN Kontroversi tentang hubungan antara politik dengan administrasi tidak pernah usai, walaupun isu tentang hal itu sudah sejak awal didiskusikan oleh para pendiri Iimu Administrasi Publik. Wilson dan Godnow, generasi pertama pemikir administrasi publik, mengingatkan perlunya pemisahan politik dan administrasi, baik dalam tataran konsep maupun dalam praktik. Kuatnya gagasan tentang pembagian kekuasaan negara ke dalam Trias Politika amat berpengaruh terhadap pemikiran mereka tentang pemisahan politik dan administrasi. Lebih dari itu, keinginan mereka untuk membangun pemerintahan yang efisien, efektif, dan profesional dapat diwujudkan kalau birokrasi dan aparatur sipil bebas dari intervensi para politisi. Walaupun gagasan pemisahan politik dan administrasi dengan cepat memperoleh kritik dari pemikir generasi kedua, seperti Waldo, Applebly, Simon, dan lainnya sebagai hal yang mustahil dan tidak sesuai dengan realitas, tetapi dinamika hubungan politik dan administrasi tidak pernah menurun. Para pemikir administrasi publik mencoba memberi perspektif yang berbeda dalam memahami dinamika hubungan antara politik dengan administrasi. Waldo, misalnya, memahami hubungan politik dan administrasi dengan mencoba menjelaskan hubungan antara birokrasi dengan demokrasi. Sementara itu, Simon menggunakan metafora yang berbeda, dengan melihatnya sebagai hubungan antara fakta dengan nilai, untuk menjelaskan hubungan antara politik dengan administrasi. Keterlibatan administrator dalam proses kebijakan, walaupun menjadi realitas tak terbantahkan tetapi masih sering mengundang pertanyaan tentang seberapa jauh administrator seharusnya terlibat dalam alokasi nilai dan bagaimana pembagian kerjanya dengan para pejabat terpilih. Dalam tataran praktik, perdebatan terjadi tentang bagaimana hubungan antara para pejabat politik dengan para profesional, mereka yang menduduki jabatan karena karier. Keinginan untuk memberi dukungan kepada para pejabat politik terpilih untuk dapat mewujudkan visi dan janjinya ketika kampanye menimbulkan pertanyaan tentang seberapa jauh seorang pejabat terpilih dapat melakukan intervensi pada birokrasinya untuk memastikan bahwa visi dan janjinya selama kampanye benar-benar menjadi basis bagi birokrasi dalam merumuskan program dan kegiatan pemerintah sehari-hari. Akan tetapi, pada saat yang sama muncul juga pertanyaan tentang bagaimana mencegah politisasi birokrasi dan pegawai aparatur sipil negara. Birokrasi dan aparatur sipil negara dibentuk bukan untuk mengabdi kepada kepentingan kekuasaan, tetapi sebagai alat untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Mereka harus mengabdi pada nilai-nilai publik, bukan pada kepentingan politik sempit. Walaupun tidak dirancang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara langsung, bab ini mencoba membahas berbagai aspek dalam hubungan antara politik dengan administrasi, baik dalam tataran konsepsual ataupun dalam praktik. Bab ini membahas pemikiran dikotomi politik-administrasi, latar belakang, dan implikasi dari penerapan gagasan untuk memisahkan politik dan administrasi. Bab ini juga membahas kritik yang telah disampaikan oleh banyak pemikir administrasi publik terhadap gagasan untuk memisahkan politik dengan administrasi. Generasi kedua pemikir administrasi publik umumnya menganggap hubungan politik dan administrasi tidak saling menegasikan, tetapi saling melengkapi. Oleh karena itu, mereka mencoba mengembangkan pemikiran untuk mengintegrasikan proses politik dan administrasi sebagai satu kegiatan dalam proses kebijakan. Pejabat politik dan pejabat karier keduanya terlibat dalam proses kebijakan. Yang membedakan keduanya dalam proses kebijakan adalah jenis keterlibatan dan intensitasnya. Sebagai konsekuensi dari pemikiran bahwa para pejabat politik dan karier keduanya terlibat dalam proses kebijakan, penulis menentang gagasan untuk mengembangkan etika netralitas. Administrator tidak netral dan tidak boleh netral dalam proses kebijakan. Politik administrator adalah politik kepublikan, bukan politik kekuasaan. Mereka terlibat dalam proses alokasi nilai melalui proses kebijakan. Oleh karena itu, mereka harus ikut bertanggung jawab terhadap tindakan dan dampak dari tindakan yang dilakukannya dalam proses kebijakan. Posisi ini penting untuk ditegaskan jika ingin membuat para pejabat karier dan administrator menjadi sensitif terhadap kekuasaan yang dimilikinya dan berhati-hati dalam menggunakan kekuasaannya untuk mengambil diskresi. Bab ini membahas secara mendalam keterlibatan administrator dalam proses kebijakan dan implikasinya terhadap gagasan untuk mengembangkan etika netralitas. Bab ini juga membahas perlunya administrator bertindak imparsial terhadap politik praktis dan politik kekuasaan. Walaupun administrator terlibat dalam proses kebijakan, mereka harus imparsial ketika berhadapan dengan kepentingan kekuasaan. Kepentingan administrator adalah memperjuangkan nilai-nilai publik dan menjadikannya sebagai basis dalam mengelola proses kebijakan. Kepentingan untuk memperjuangkan nilai- nilai publik dengan kepentingan kekuasaan tidak selalu berjalan bersama- sama. Konflik antarkeduanya sering tidak terhindarkan. Penulis dalam bab ini menjelaskan bagaimana seharusnya administrator bertindak ketika keyakinannya tentang nilai-nilai publik berbeda dengan pilihan politik pimpinannya, yang notabene adalah pejabat terpilih yang memiliki mandat untuk membuat kebijakan publik. Dengan membaca bab ini diharapkan para pembaca dapat memahami kompleksitas hubungan antara politik dengan administrasi dan dinamika yang terjadi dalam hubungan antara para pejabat politik dengan para pejabat karier. KONSEP DIKOTOMI POLITIK DAN ADMINISTRASI Pemikiran tentang pemisahan politik dengan administrasi sudah lama berkembang dalam kajian administrasi publik. Bahkan, gagasan tersebut sudah disampaikan oleh generasi pertama pemikir administrasi publik, seperti Wodrow Wilson, Goodnow, dan Weber. Kebanyakan pustaka yang terbit sebelum era perang dunia kedua, umumnya sangat peduli dengan keinginan untuk menjaga agar administrasi jauh dari hiruk-pikuk kegiatan politik. Bahkan, sejak awal sejarah kelahiran ilmu administrasi publik, Kotak 1.1. Dinamika Pemikiran tentang Hubungan antara Politik dengan Administrasi Generasi pertama pemikir administrasi publik di era sebelum perang dunia kedua, seperti Wilson, Goodnow, dan Weber mendorong pemisahan kegiatan politik dan administrasi. Di samping sesuai dengan tradisi Trias, Politika yang sangat kuat di AS, pemisahan politik dan administrasi juga merespons kekhawatiran mereka terhadap politisasi birokrasi di Eropa dan AS pada waktu itu. Namun ; . Jabatan publik karena karier, diinginkan? Apakah mungkin memisahkan_ | {2yiny?don rors kone politik dengan administrasi, dan mencegah | Pandangannya tentang masalah publik sering dipengaruhi oleh pengalaman, tacit knowledge, Jain. Undang Undang Aparatur sipil Negara _ | nilai, dan keyakinan profesinya. A Orientasi politik administrator No. 5 Tahun 2014 juga berusaha mencegah | [isin porte kepubiven, politisasi birokrasi dengan membatasi ruang_ | yaitu memperjuangkan . - a ; terwujudnya nilai dan bagi para pejabat politik untuk terlalu jauh RevenincanttCneaaiary masuk dalam arena birokrasi. Upaya itu | proses kebijakan. Perbedaan . - . pandangan antarkeduanya dilakukan dengan memindahkan jabatan_| Bayeengen crranees pembina kepegawaian dari para pejabat | publik adalah wajar dan tak politik. Akan tetapi, hal itu ternyata gagal | ‘thindarkan. keduanya saling mengintervensi satu sama 13 dilakukan karena memperoleh resistansi yang kuat dari para politisi. Mereka menganggap bahwa depolitisasi birokrasi dan aparaturnya akan membuat para pejabat politik kehilangan pengaruh dan otoritas untuk menggerakkan birokrasi dan aparaturnya untuk memenuhi mandat dan aspirasi politik dari konstituennya. Apa yang diatur dalam UU ASN adalah mengharuskan pengisian jabatan pimpinan tinggi dilakukan secara terbuka, kompetitif, dan berdasarkan prinsip merit. Walaupun pelaksanaannya belum seperti yang diharapkan tetapi sebagai salah satu cara mencegah politisasi birokrasi hal itu penting dilakukan. Amat sulit membayangkan para pejabat karier di Indonesia akan mengundurkan diri dari jabatannya ketika mereka memiliki pandangan yang berbeda tentang “what is good for the people”. Administrator tentu sah memiliki pendapat mengenai yang seharusnya dilakukan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat. Pengalaman, tacit knowledge yang dimiliki, dan keyakinannya sebagai pemegang profesi dapat memberikan petunjuk pada mereka tentang apa yang sebaiknya dilakukan untuk memperjuangkan kepentingan publik. Apa yang diyakininya mungkin berbeda dengan yang ingin dilakukan oleh para pejabat politik, seperti gubernur, bupati, dan wali kota. Para pejabat politik mungkin terikat dengan janjinya terhadap konstituennya. Mereka tentu ingin membalas dukungan konstituen dengan proyek-proyek pembangunan seperti infrastruktur dan sebagainya. Pertimbangan pejabat politik dalam alokasi dan distribusi proyek pembangunan mungkin berbeda dengan yang dimiliki oleh administrator sebagai pejabat karier. Pejabat politik lebih memperhatikan kepentingan konstituen, sementara pejabat karier mungkin melihatnya dari perspektif yang luas dari kepentingan warga secara keseluruhan. Mereka dapat berbeda pendapat tentang sarana dan prasarana yang harus dibangun serta lokasinya. Jika terjadi perbedaan dalam pengambilan keputusan, tentu administrator harus patuh pada keputusan para pejabat politik, walaupun dari kacamatanya mungkin pilihan tersebut tidak tepat. Namun demikian, pertanyaannya apakah administrator tersebut dengan ikhlas dan sepenuh hati melaksanakan keputusan tersebut sesuai dengan semangat yang dimiliki para pejabat politik. Apakah mereka menyadari bahwa dalam politik kompensasi pada konstituen adalah wajar adanya, bahkan ketika hal tersebut ditempatkan di atas kepentingan publik secara keseluruhan? Jika tidak sepakat dan 14 tidak dapat menerima maka mereka akan berhenti dari jabatannya. Tentu amat sulit membayangkan hal tersebut akan terjadi di Indonesia. Jabatan struktural bagi seorang pejabat karier sangat penting dan mereka berjuang dengan keras untuk dapat mendudukinya, tentu tidak mungkin mereka akan meninggalkannya karena tidak sepakat dengan keputusan politik yang diambil pimpinan. Jika mereka tidak mundur, sebagaimana pengalaman yang terjadi di negara-negara Barat pada masa lalu, tentu mereka juga memiliki banyak cara dan kesempatan untuk mengekspresikan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan yang diambil pejabat politik, apalagi jika peraturan dan UU melindunginya dari intervensi politik. Jika mereka tahu bahwa apa pun yang dilakukan untuk mengganggu pelaksanaan kebijakan yang dinilai tidak adil dan tidak sesuai dengan keyakinan profesinya mereka tidak dapat diberhentikan dari jabatannya maka peluang para administrator untuk mengganggu pelaksanaan kebijakan sangat terbuka luas. Apakah dalam situasi seperti ini pejabat politik tidak dapat mengintervensi proses administrasi? Mencegah intervensi politik dalam proses administrasi karena banyak alasan sebenarnya tidak masuk akal, apalagi ketika dikotomi politik- administrasi menempatkan proses politik sebagai superior daripada proses administrasi, mencegah para politisi untuk tidak mengintervensi proses administrasi adalah hal yang mustahil dilakukan. Para politisi yang tidak sabar dan/atau melihat ada yang salah dalam implementasi akan selalu gatal tangannya untuk tidak melakukan intervensi. Intervensi politik dalam administrasi dalam beberapa hal wajar dan dapat dijustifikasi karena nasib politisi juga ditentukan oleh kualitas dari proses administrasi. Dari sisi administrator juga amat sulit mencegah mereka untuk tidak terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Sebagai pelaksana kebijakan tentu mereka yang paling tahu tentang kesulitan dalam memastikan bahwa kebijakan yang diambil para pejabat politik dapat berjalan dengan baik. Seandainya mereka sepakat dengan pilihan politik dari pimpinannya dan peduli dengan keberhasilan pelaksanaan kebijakan dan mereka menyadari bahwa ada hal-hal yang harus diperbaiki dari kebijakan, apakah mereka akan membiarkannya? Jika mereka melaporkan kepada pimpinan dan menyarankan akan perlunya perubahan-perubahan dalam kebijakan, apakah 15 hal itu bukan berarti intervensi terhadap keputusan politik? Jika pimpinannya sepakat dengan pemikirannya, untuk melakukan perubahan terhadap keputusan dan kebijakan yang telah diambilnya, apakah hal itu bukan berarti para administrator tersebut juga terlibat dalam proses kebijakan publik? Jika kita melihat realitas bahwa pejabat karier sering kali lebih menguasai informasi daripada para pejabat politik karena pekerjaaan, pengalaman, dan keahliannya. Pejabat karier memiliki informasi tentang besaran anggaran, alokasi, dan distribusinya yang amat penting dalam pengambilan keputusan politik. Mereka memonopoli informasi tentang kapasitas supply of services dari pemerintahnya. Bahkan, tidak jarang karena birokrasi juga memiliki mekanisme untuk menjaring informasi tentang demand for services dari warganya, mereka juga memiliki informasi tentang kebutuhan warga, jenisnya, dan lokasinya. Informasi yang dimiliki oleh administrator mungkin tidak kalah lengkap dan canggih dari yang dimiliki oleh para pejabat politik yang bersumber dari konstituennya. Bagaimana mencegah mereka untuk tidak terlibat dalam proses kebijakan kalau mereka menguasai dan/atau bahkan memonopoli informasi tentang “supply dan demand for services”. Bukankah informasi adalah bahan baku utama dari proses kebijakan publik? Oleh karena itu, amat sulit membayangkan bahwa proses pembuatan kebijakan dapat mencegah keterlibatan para pejabat karier dari setiap tahap proses pembuatan kebijakan publik. Dari sejak perumusan agenda, pengambilan pilihan tindakan, alokasi anggaran, hingga pelaksanaan dan evaluasi kebijakan, peluang bagi adminisrator untuk terlibat dalam proses itu sangat besar. Para pejabat politik tidak mungkin dapat mencegah keterlibatan administrator, bahkan dalam tingkat tertentu mereka membutuhkan keterlibatan administrator untuk membantunya dalam mengambil pilihan- pilihan yang tepat dan sesuai dengan visi politiknya, Bahkan, dalam praktik yang terjadi sering kali proses kebijakan didominasi oleh keterlibatan administrator, Dapur dari keseluruhan proses kebijakan adalah urusan administrator, peran utama para pejabat politik adalah pada pemberian legitimasi dari keputusan yang diambil. Bahan baku dari keputusan disiapkan oleh para administrator, tetapi keputusan diambil oleh para pejabat politik. Jika realitas yang terjadi seperti digambarkan di atas, apa relevansinya dikotomi politik-administrasi? Mengapa para akademisi dan praktisi pada 16 waktu itu sangat getol untuk memisahkan politik dengan administrasi? Apa asumsi yang mereka miliki sehingga mereka menggagas pemikiran untuk memisahkan politik dengan administrasi? Bahkan, pemisahan tersebut dilakukan bukan hanya ada pada tingkat pemikiran, tetapi juga coba diwujudkan dalam praktik. KRITIKTERHADAP DIKOTOMI POLITIK-ADMINISTRASI Tentu menarik untuk mengkaji asumsi-asumsi yang mendasari perlunya melakukan dikotomi politik-administrasi. Walaupun dalam praktik terbukti sulit memisahkan praktik politik dengan praktik administrasi tetapi sejarah perjalanan ilmu administrasi publik mencatat bahwa gagasan pemisahan tersebut sempat sangat berpengaruh dalam pengembangan teori dan praktik adminstrasi publik. Bahkan, di negara-negara Barat dikotomi politik- administrasi pernah diperlakukan sebagai salah satu paradigma dalam ilmu adminstrasi publik. Diskusi penting untuk melihat apakah secara pemikiran dikotomi politik-administrasi masuk akal dan perlu dielaborasi kemungkinannya untuk diimplementasikan. Kegagalan implementasi tidak selalu harus menggugurkan rasionalias dari gagasan tentang pemisahan politik dan administrasi. Untuk mengkaji rasionalitas dari pemikiran tersebut, berikut akan coba didiskusikan asumsi dan latar belakang dari pemikiran dikotomi politik-administrasi. Salah satu asumsi yang penting dari pemikiran dikotomi politik administrasi adalah bahwa proses politik akan dapat menghasilkan kebijakan pemerintah yang tegas, jelas, dan rinci sehingga tidak bisa dan tidak perlu diterjemahkan kembali oleh para administrator sebagai agen pelaksana. Para administrator tidak perlu dan tidak boleh memberi interpretasi terhadap isi kebijakan karena tugas mereka hanya melaksanakan apa pun kebijakan yang telah diambil oleh proses politik sesuai dengan semangat yang dimiliki oleh para politisi itu. Administrator di sini ditempatkan sebagai robot atau malaikat yang tidak memiliki kepentingan dan selalu patuh terhadap apa pun yang diinginkan oleh para pengambil kebijakan. Pertanyaannya, apakah asumsi tersebut masuk akal dan didukung oleh realitas? Pertama, apakah mungkin proses kebijakan publik menghasilkan kebijakan yang jelas, tegas, dan rinci sehingga tidak dapat 17 dan tidak perlu diinterpretasi kembali 1 2 A Kotak 1 oleh pelaksananya? Untuk menjawab | gag eeettn sikotom! pertanyaan tersebut mungkin perlu dilihat Politik-Administrasi pengalaman proses kebijakan publik yang. perran, sonatas trates terjadi di Indonesia selama ini maupun | tidak memungkinkan proses - gara-negara mai . kebijakan menghasilkan yang terjadi di negara-negara maju di Barat. Pe seaiererclesrtion Pengalaman selalu menunjukkan bahwa_ | Selalu ada kebutuhan bagi F F birokrat untuk mengambil proses kebijakan publik hampir selalu_ | vovtat wus oungen menghasilkan kebijakan yang tidak jelas dan | dapat diimplementasikan. Kedua, kapasitas mengambil konsensus yang terbatas yang berbeda sehingga menyisakan ruang | selalu menghasilkan kebijakan Sadan A yang ambigu. Kebijakan bagi administrator sebagai agen pelaksana ae tee el earey untuk memberi interpretasi sesuai dengan | bagi pemangku kepentingan . . ti dan agen pelaksana untuk sistem nilai dan kognitifnya. memberi interpretasi berbeda- Proses kebijakan adalah proses | beda terhadap nilai dan tujuan oa . a ak. | Kebliakan. Ketiga, politik dan politik dan selalu melibatkan tarik-menarik | i inictrasi adalah Feciseay kepentingan antaraktor dan pemangku | yang saling melengkapi, A bukan saling menegasikan. kepentingan yang berbeda. Para aktor | yuansiy'g mencausk dan pemangku kepentingan tentu akan | administrasi adalah hal yang melakukan berbagai upaya untuk | ™#*hildilakukan. memastikan bahwa kebijakan yang diambil akan mengakomodasi kepentingannya. akomodatif terhadap berbagai kepentingan Mereka menyadari bahwa pilihan kebijakan yang diambil selalu mendistribusikan manfaat dan kerugian kepada aktor dan pemangku kepentingan yang berbeda. Apa yang menjadi manfaat bagi satu kelompok dapat menjadi kerugian bagi kelompok lainnya. Proses kebijakan selalu berusaha untuk mengambil jalan tengah dengan mencoba mengakomodasi kepentingan yang berbeda-beda agar dukungan dan kepemilikan kebijakan tersebut menjadi semakin luas. Membayangkan proses kebijakan mampu menghasilkan pilihan yang jelas, tegas, dan tidak dapat diinterpretasi secara berbeda oleh agen pelaksana dalam realitas politik amat sulit diwujudkan, apalagi dalam masyarakat yang pluralistis, seperti yang terjadi di Indonesia, bisa dikatakan proses kebijakan tidak mungkin menghasilkan pilihan kebijakan yang jelas, tegas, dan rinci karena untuk memperoleh kebijakan yang seperti ini diperlukan 18 konsensus politik yang sulit diwujudkan. Semakin jelas dan tegas pilihan kebijakan semakin jelas pula distribusi manfaat dan kerugian dari pilihan kebijakan tersebut. Semua aktor dan pemangku kepentingan dengan mudah melihat posisinya dalam kebijakan tersebut, apakah mereka termasuk dalam kelompok yang menerima manfaat atau sebaliknya, mereka termasuk dalam kelompok yang dirugikan dan harus membayar ongkos dari kebijakan itu. Dalam situasi tersebut maka proses kebijakan akan menjadi semakin sulit untuk dikelola. Semakin jelas dan tegas distribusi manfaat dan kerugian, semakin sulit konsensus dapat dicapai. Jika konsensus tidak dapat dicapai maka resistansi akan semakin besar dan penolakan terhadap kebijakan yang dirancang para pejabat politik akan menjadi semakin meluas. Jika hal ini terjadi maka legitimasi dari pejabat politik juga akan tergerus dan mereka juga dapat kehilangan kepercayaan dari konstituen dan warganya. Kesulitan dalam mencapai konsensus ketika membuat kebijakan yang jelas dan tegas menyebabkan para pejabat politik sering kali harus membuka ruang untuk diskusi dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang berbeda. Dalam realitas, proses kebijakan publik selalu mengakomodasi pro dan kontra dari pemangku kepentingan yang berbeda-beda. Mengelola proses kebijakan adalah seni mengelola kompromi dari berbagai kepentingan yang berbeda dalam rangka memperluas konsensus dan dukungan terhadap kebijakan. Pilihan kebijakan yang diambil sering kali menggambarkan optimalitas kompromi dari berbagai kelompok kepentingan yang berbeda. Optimalitas sering dapat dicapai ketika kebijakan yang diambil memberi peluang pada para pemangku kepentingan yang berbeda untuk memberi penafsiran secara luas dan terbuka. Semakin terbuka dan luas penafsiran yang dapat dibuat, semakin besar kemungkinan kebijakan itu mengakomodasi kepentingannya. Optimalitas kompromi dan dukungan pemangku kepentingan selalu bergerak secara diametral dengan keinginan untuk menghasilkan kebijakan yang rinci dan jelas. Proses politik sering membiarkan proses kebijakan menghasilkan kebijakan yang ambigu dan memiliki makna ganda sehingga bisa ditafsirkan secara berbeda-beda oleh pemangku kepentingannya. Dengan cara ini, proses kebijakan publik dapat mengakomodasi kepentingan para pemangku kepentingan yang berbeda-beda. Akan tetapi, akibatnya 19 proses kebijakan selalu menyisakan ruang bagi agen pelaksana untuk memberi interpretasi terhadap isi kebijakan. Kesulitan merumuskan kebijakan publik yang tegas, rinci, dan jelas juga muncul karena keterbatasan kemampuan memproduksi informasi yang sempurna. Simon (1947) berpendapat bahwa manusia tidak akan pernah mampu memprediksi masa depan secara sempurna karena mereka tidak pernah mampu memproduksi informasi yang sempurna. Ia mengembangkan konsep rasionalitas terbatas (bounded rationality). Aktor-aktor kebijakan yang memiliki rasionalitas yang terbatas jelas tidak bisa diharapkan untuk bisa menghasilkan kebijakan yang mampu menjawab masa depan dengan sempurna, Para pejabat politik tidak akan mampu memprediksi masa depan dengan sempurna dan menentukan tindakan yang harus dilakukan oleh administrator untuk merespons setiap kontingensi yang mungkin terjadi. Para pejabat politik tidak akan mampu merinci yang akan terjadi pada masa mendatang, tindakan yang harus dilakukan oleh seorang administrator untuk menjawab setiap kemungkinan yang terjadi pada masa mendatang. Tidak mungkin proses kebijakan dapat merespons semua kemungkinan yang terjadi. Oleh karena kebijakan publik tidak pernah mampu mengantisipasi dan menjawab masa depan dengan sempurna, maka setiap kebijakan akan selalu menyisakan ruang bagi para pelaksana untuk mengambil diskresi ketika kebijakan tidak mengatur apa yang harus dilakukannya. Diskresi dalam pengelolaan kebijakan adalah kenyataan yang tak terhindarkan. Seorang pejabat karier harus mampu mengkompromikan kebijakan publik dengan realitas sosial dan politik yang ada di lingkungannya ketika harus mengambil diskresi mereka. Nilai dan semangat yang terkandung dalam kebijakan publik tentu harus menjadi acuan dari diskresi yang akan diambilnya. Akan tetapi, ketika kondisi yang berlaku tidak memungkinkan untuk melaksanakan kebijakan sebagaimana adanya maka diskresi harus diambil untuk memastikan bahwa pemerintah dapat merespons problem yang muncul dalam pelaksanaan kebijakan dengan cepat dan tepat. Ketika seorang administrator mengambil diskresi tentu tidak dapat menghindari bahwa sistem nilai, pengetahuan, dan pengalaman bahkan kepentingan pribadi dan kelompoknya, yang secara langsung atau tidak langsung akan memengaruhi tindakan yang diambilnya. Dalam konteks ini sebenarnya 20 mencegah keterlibatan administrator dalam proses kebijakan amat sulit dilakukan. Di samping melalui diskresi, keterlibatan administrator dalam proses kebijakan juga mungkin terjadi melalui interpretasinya terhadap isi dan substansi kebijakan. Dalam situasi ketika kebijakan publik bersifat ambigu dan memberi kemungkinan terjadinya makna ganda, administrator sering memiliki ruang yang memadai untuk melakukan interpretasi terhadap isi kebijakan. Mereka memiliki peluang untuk menerjemahkan kebijakan publik yang ambigu tersebut menurut sistem nilai, predisposisi, pengetahuan, dan pengalamannya. Tidak jarang interpretasi yang diberikan oleh administrator terhadap isi dari satu kebijakan publik berbeda dengan semangat yang dimiliki oleh para pembuat kebijakan. Akibatnya, sering kali muncul gap antara kebijakan (policy in theory) yang dihasilkan oleh proses politik dengan kebijakan atau diskresi (policy in use) yang diambil oleh administrator. Dalam situasi seperti ini, sering terjadi pergeseran kebijakan, bahkan penggusuran kebijakan karena kebijakan yang dihasilkan oleh proses politik dan dibuat oleh para politisi dalam lembaga-lembaga politik kemudian digeser dan digusur oleh diskresi yang dibuat oleh administrator sebagai agen pelaksana. Kalau pergeseran atau penggusuran kebijakan terjadi maka kebijakan yang nantinya diimplementasikan adalah kebijakan yang dihasilkan oleh proses administrasi, bukan yang dihasilkan oleh proses politik. Akibatnya, kebijakan yang memengaruhi nasib rakyat adalah kebijakan birokrasi, bukan kebijakan yang dirumuskan melalui proses politik oleh para pejabat politik. Nasib rakyat tidak ditentukan oleh keputusan yang diambil oleh pihak yang dipercaya dan memperoleh mandat dari rakyat, tetapi justru ditentukan oleh para administrator, yang notabene tidak memiliki mandat untuk mewakili kepentingannya. Pertanyaannya, siapa yang sebenarnya menjadi pembuat kebijakan, para pejabat politik atau para pejabat karier? Asumsi kedua dari pemikiran dikotomi politik-administrasi adalah tentang penguasaan informasi. Proses politik yang intens membuat para pejabat terpilih memiliki informasi tentang demand for services. Mereka memahami kemauan para pemilihnya serta proses politik dan birokrasi akan dapat membantunya menerjemahkan kemauan pemilih dalam berbagai tindakan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Akan tetapi, 21 dalam praktik sering kali proses politik yang intens tidak terjadi. Pejabat politik hanya mengunjungi warganya ketika membutuhkan suaranya. Tidak ada hubungan emosional yang kuat antara pejabat politik dengan konstituennya. Akibatnya, pemahaman mereka tentang aspirasi dan kebutuhan warga sering kali amat terbatas. Sementara itu, proses teknokrasi dan birokrasi dalam perencanaan kegiatan dan pembuatan kebijakan sering tidak dapat dikontrol sepenuhnya oleh para pejabat terpilih. Pork-barell budget atau dana aspirasi sebagai salah satu instrumen untuk memenuhi aspirasi dan kepentingan konstituen dalam penerapannya sering menciptakan problem baru karena cenderung menjadi arena korupsi di antara pejabat politik, pengusaha, dan birokrat. Proses penganggaran yang berlaku juga sering memberi peluang kepada administrator untuk memengaruhi keputusan tentang alokasi anggaran. Administrator cenderung memiliki informasi tentang anggaran yang lebih banyak dari yang dimiliki pejabat politik. Ketika terjadi asimetri informasi, di mana para administrator menguasai informasi, baik tentang kapasitas pemerintah maupun kebutuhan warga, maka amat sulit bagi para pejabat politik untuk dapat mengendalikan proses kebijakan agar sepenuhnya memperjuangkan aspirasi politiknya. Yang sering terjadi justru sebaliknya, mereka harus mengkompromikan aspirasi politik dan konstituen dengan proses teknokrasi dan birokrasi yang ada di bawah kendali administrator. Dalam situasi ketidakseimbangan informasi yang lebih menguntungkan birokrasi, maka menjadi sangat tidak mungkin mencegah birokrasi untuk terlibat dalam proses kebijakan. Dari diskusi ini tampak bahwa ketika asumsi tentang penguasaan informasi yang dimiliki oleh para pejabat politik tidak terpenuhi amat sulit mencegah keterlibatan administrator dalam proses kebijakan. Apalagi jika realitas menunjukkan terjadi asimetri informasi, di mana birokrasi justru lebih menguasai informasi daripada para pejabat politik maka dikotomi politik-administrasi menjadi kehilangan basis rasionalitasnya. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa pemikiran dikotomi politik- administrasi yang ingin memisahkan proses politik dan administrasi sebenarnya tidak masuk akal. Mencegah keterlibatan administrator dalam proses kebijakan sama sekali bukan hanya sulit, tetapi hampir tidak mungkin dilakukan. Sebaliknya, mencegah para politisi tidak mengintervensi proses 22 pelaksanaan kebijakan publik juga tidak mungkin dilakukan. Para pejabat politik yang harus mempertanggungjawabkan kebijakannya pada warga dan konstituennya tidak akan rela membiarkan kebijakannya digusur oleh diskresi yang diambil para agen pelaksananya. Para pejabat politik sering kali harus melakukan intervensi dalam proses implementasi untuk memastikan bahwa para pejabat birokrasi melaksanakan kebijakan sesuai dengan semangat yang dimilikinya. Fenomena seperti ini menunjukkan bahwa keinginan untuk memisahkan proses politik dan administrasi adalah suatu kemustahilan. Asumsi lainnya yang perlu dikritisi dari pemikiran dikotomi politik- administrasi adalah persepsinya bahwa kedua kegiatan politik dan administrasi berbeda secara jenis. Walaupun tampaknya masuk akal memisahkan kegiatan perumusan tujuan negara dengan pelaksanaannya, dalam realitas keduanya memiliki sisi yang saling tumpang-tindih, baik dilihat dari sifat kegiatannya maupun dari pelakunya. Proses pembuatan kebijakan melibatkan begitu banyak kegiatan, dari sejak menentukan tujuan yang akan dicapai dan merumuskan masalah kebijakan sampai pengambil keputusan tentang tindakan yang akan dilakukan, Ada begitu banyak kegiatan yang harus dilakukan, tidak semuanya ada di bawah kompetensi dari para pejabat politik. Ada kalanya kompetensi justru lebih banyak dikuasai oleh para administrator. Keseluruhan proses kebijakan tersebut tidak semuanya melibatkan kegiatan yang sepenuhnya bersifat politik, tetapi juga melibatkan kegiatan teknokratis dan birokratis. Oleh karena itu, walaupun pada dasarnya proses pembuatan kebijakan adalah kegiatan politik, tetapi di dalamnya terkandung banyak kegiatan teknokratis dan administratif. Dengan demikian, sebenarnya klaim bahwa kegiatan politik dan administrasi berbeda secara jenis adalah pemikiran yang keliru. Keduanya berbeda lebih pada intensitas. Kegiatan pembuatan kebijakan memiliki intensitas kegiatan politik yang tinggi, sementara kegiatan pelaksanaan kebijakan memiliki intensitas politik yang rendah. Keduanya dapat ditempatkan dalam satu kontinum dan sulit untuk diposisikan berbeda secara kategorikal. Pelaksanaan kebijakan juga tidak dapat dipisahkan dari kegiatan politik karena hal itu terkait dengan akuntabilitas dari para pejabat politik. Implementasi kebijakan yang buruk dapat menurunkan kredibilitas dan kepercayaan warga kepada pejabat politik. Kepercayaan dan akuntabilitas 23 publik dari para pejabat politik memengaruhi elektabilitasnya. Oleh karena itu, wajar kalau mereka diberi ruang untuk memastikan bahwa implementasi kebijakan yang diambil berjalan sesuai dengan yang diharapkannya. DIKOTOMI POLITIK-ADMINISTRASI DAN NETRALITAS, Konsep dikotomi politik-administrasi sering dikaitkan dengan konsep netralitas birokrasi. Isu netralitas sudah lama menjadi perdebatan di kalangan para praktisi dan akademisi administrasi publik. Bahkan, perdebatan tersebut terjadi sejak awal sejarah perkembangan ilmu adminisrasi publik. Akan tetapi, perdebatan di kalangan para akademisi dan awam tentang netralitas administrator cenderung memiliki isu yang berbeda dan jika tidak diklarifikasi hal tersebut dapat menyesatkan. Pertama, netralitas administrator dan birokrasi sebagaimana diperdebatkan dalam dikotomi politik administrasi itu terkait dengan pro dan kontra tentang keterlibatan administrator dalam pengambilan keputusan politik. Pertanyaannya, sebagaimana telah didiskusi di bagian sebelumnya, apakah administrator terlibat dalam proses pembuatan kebijakan? Apakah administrator terlibat dalam alokasi nilai? Bukankah alokasi nilai mestinya menjadi hak mereka yang memperoleh mandat dari rakyat, yaitu para pejabat politik, yang dipilih oleh rakyat? Pejabat karier karena tidak memperoleh mandat dari rakyat, mereka tidak seharusnya terlibat dalam alokasi nilai. Isu netralitas kedua dikaitkan dengan sikap dan perilaku administrator dalam politik praktis. Meluasnya politisasi birokrasi di Barat pada waktu itu membuat banyak pihak khawatir dengan dampak negatif dari politisasi birokrasi terhadap kemampuan pemerintah melayani warganya secara adil dan imparsial, terbebas dari afiliasi politik administrator dan warganya. Politisasi birokrasi cenderung membuat keputusan dan tindakan administrator tidak imparsial, tetapi dipengaruhi oleh kesamaan afiliasi politik dari rezim pelayanan. Walaupun isu imparsialitas dari tindakan administrator ini berkaitan dengan isu netralitas dalam pengambilan keputusan, tetapi kesimpangsiuran dalam memahami kedua isu netralitas tersebut dapat menyesatkan. Oleh karena itu, dalam bagian ini saya merasa perlu membahas secara terpisah agar para mahasiswa dan akademisi dapat menempatkan perdebatan tentang 24 kedua isu tersebut secara pas. Seorang administrator tidak boleh netral dan sebaiknya terlibat dalam proses pengambilan keputusan pada isu netralitas yang pertama. Akan tetapi, pada isu netralitas kedua berpendapat bahwa sebaiknya administrator netral dari kepentingan politik praktis. Kepentingan politik administrator adalah kepentingan untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan warganya. Administrator tidak boleh terlibat dalam upaya seseorang dan bahkan dirinya sendiri dalam memperoleh dan/atau mempertahankan kekuasaan. Isu yang pertama adalah tentang proses kebijakan, yang dalam pustaka sering disebut sebagai policy. Dalam konteks ini, administrator seharusnya tidak boleh netral, tetapi terlibat dalam proses kebijakan untuk ikut memengaruhi agar proses kebijakan berpihak pada kepentingan dan nilai-nilai publik, bukan kepentingan partikularistik, sempit, kelompok, dan partisan. Politik administrator adalah politik kepublikan, bukan politik partisan. Oleh karena itu, dalam isu kedua, administrator seharusnya imparsial. Mereka harus netral dan tidak berpihak kepada politik kekuasaan dan partisan. Politik partisan menjadi arena para pejabat politik dan bukan urusannya administrator. ADMINISTRATOR DAN NETRALITAS DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN Perdebatan tentang netralitas birokrasi pada level ini terkait pro dan kontra terhadap keterlibatan dalam proses pembuatan keputusan politik. Dalam pemikiran dikotomi politik-administrasi, administrator dan birokrasi harus netral karena mereka tidak seharusnya terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, mereka berpendapat ada pembagian kerja yang jelas dan tegas antara administrasi dengan politik. Politik bertugas merumuskan tujuan negara, sedangkan administrasi melaksanakan apa pun keputusan yang diambil dalam proses politik. Administrator karenanya harus netral. Artinya, mereka tidak boleh terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan ada di arena politik, dalam lembaga politik, dan dilakukan oleh mereka yang dipilih oleh warga. 25 Yang dimaksud dengan netral adalah tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, Netralitas tidak ada kaitannya dengan netralitas pada konteks yang lain yang menjadi isu dalam pengembangan teori dan praktik administrasi publik, yaitu netralitas terhadap kepentingan politik praktis. Netralitas terhadap kepentingan politik praktis memiliki makna yang berbeda dan akan dijelaskan dalam bagian kemudian. Konsep netralitas dalam pengambilan keputusan memiliki implikasi yang luas dalam pengembangan teori dan praktik administrasi publik. Sebagian dari implikasinya sudah dijelaskan ketika menjelaskan konsep dan kritik terhadap dikotomi politik administrasi. Salah satunya adalah munculnya persepsi di kalangan ilmuwan dan praktisi bahwa “administration begins when politics ends”. Dalam banyak pustaka bersumber dari Barat, terutama dari administrasi publik di AS, persepsi dan pemahaman seperti itu mendorong ilmu administrasi menjadi tidak sensitif terhadap nil. lai penting, seperti keadilan sosial, responsivitas, akuntabilitas, kebebasan, dan sebagainya. Proses administrasi terpisah dan tidak terlibat dalam pengambilan keputusan sehingga relevansi dan akuntabiitas dari pilihan kebijakan dianggap bukan isu dari administrasi publik. Para akademisi menganggap hal tersebut menjadi urusan tetangga dan koleganya di ilmu politik. Administrasi publik tidak perlu lagi ikut terlibat dalam diskursus tentang hal tersebut. Konsep netralitas memiliki implikasi ganda. Diskursus akademik di komunitas administrasi publik menjadi semakin jauh dari isu-isu yang berkembang dalam masyarakat dan menjadi perhatian dari praktisi administrasi publik. Para praktisi sering kali dihadapkan pada isu tentang kemiskinan, keadilan sosial, kebebasan, dan semakin banyak masalah sosial yang pada waktu itu terjadi negara Barat. Akan tetapi, mereka tidak dapat berbuat banyak karena mereka tidak dibekali kapasitas untuk meresponsnya. Ketika mereka menghadapi kenyataan bahwa program dan pilihan tindakan yang diambil oleh para pejabat politik tidak sesuai dengan problem yang dihadapi dan menuntut mereka untuk mengambil diskresi, mereka tidak dapat berbuat banyak. Mereka tidak dididik untuk mengambil diskresi. Mereka dididik dan disiapkan untuk melaksanakan apa pun keputusan politik. 26 Terjadi perbedaan dan jarak yang semakin luas antara teori dengan praktik administrasi publik. Teori mengajarkan para pejabat untuk bersifat netral dan sekadar melaksakan keputusan politik, sementara praktik menuntut untuk mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh warganya. Apalagi administrator sebagai pelaksana kebijakan dan pelayan publik adalah pihak yang secara langsung berhadapan dengan warga pengguna. Mereka yang sehari-hari bertemu dengan warga dan menerima keluhan dari mereka Mereka juga yang paling tahu kesulitan pemerintah melayani warganya. Oleh karena itu, wajar jika mereka diberi diskresi untuk merespons keluhan dan aspirasi warganya. Diskresi yang diambil administrator berpengaruh terhadap kehidupan warganya. Oleh karena itu, seperti yang dikatakan oleh Peter dan Pierce, melalui pelayanan publik administrator sebenarnya melakukan tindakan politik karena mereka menentukan “who get what from public sector”. Teori administrasi publik tidak mengajarkan bagaimana administrator terlibat dalam proses kebijakan sehingga teori tersebut gagal memberi pedoman bagi praktisi untuk mengelola praktik. IImu administrasi publik menjadi tidak responsif dan tidak relevan dengan praktik yang terjadi pada waktu itu. [mu administrasi publik pada waktu itu cenderung memusatkan perhatiannya pada efisiensi dan efektivitas, menjadikan kedua nilai tersebut sebagai pedoman dalam mengelola praktik. Namun demikian, realitas menghadapkan mereka pada kenyataan bahwa proses administrasi tidak hanya harus memperhatikan kedua nilai tersebut. Administrasi efisien dan efektif, tetapi tidak relevan dan akuntabel membuat kegiatan pelayanan menjadi tidak banyak artinya. Ketika warga pengguna mempersoalkan jenis pelayanan, masyarakat mempersoalkan relevansi dari kegiatan pembangunan, dan akuntabilitas dari tindakan yang diambil oleh pemerintah yang dianggapnya tidak sesuai dengan aspirasi warganya, administrator dan birokrasi tidak dapat merespons dinamika yang terjadi di lingkungannya. Warga tidak hanya butuh efisiensi dan efektivitas, tetapi bagi warga juga membutuhkan kesesuaian antara program dan tindakan pemerintah dengan kebutuhan dan aspirasinya. Kesesuaian antara tindakan dengan kebutuhan dan aspirasi justru menjadi isu yang lebih penting. Meluasnya gap antara teori dan praktik administrasi publik menimbulkan kegelisahan di kalangan akademisi dan praktisi 27 administrasi publik. Muncul kegelisahan yang meluas tentang keberadaan dan arah pengembangan ilmu administrasi publik. Kegelisahan yang menjadi penyebab utama munculnya gerakan di kalangan akademisi muda pada waktu itu mengkritisi keberadaan ilmu dan praktik administrasi publik. Mereka menggagas adanya “New Public Administration” (Administrasi Publik Baru), yang menuntut ilmu administrasi publik untuk peduli pada nilai-nilai keadilan sosial, kebebasan, kemiskinan, dan sebagainya. Gerakan Administrasi Publik Baru mendorong konsep dan teori administrasi publik untuk memperluas nilai-nilai yang selama ini dijadikan dasar dalam pengembangannya dengan memasukkan nilai keadilan, responsivitas, akuntabilitas, dan sebagainya. Konsep dan teori administrasi publik tidak boleh hanya dikembangkan untuk mewujudkan proses administrasi yang efisien dan efektif, tetapi juga menjadi kegiatan administrasi relevan dan menjawab kebutuhan warganya. Teori administrasi publik harus mampu memberi petunjuk dan pedoman agar kehadiran pemerintah dan birokrasinya dirasakan manfaatnya oleh warganya. Mereka mengadakan seminar yang sangat terkenal di University of Syracuse untuk menjual gagasannya tentang “New Public Administration”. Melalui gagasannya itu, mereka menggugat keberadaan konsep dan teori administrasi publik yang dinilainya tidak relevan arena terlalu memusatkan perhatiannya pada efisiensi dan efektivitas. Mereka juga menggugat arah pengembangan ilmu administrasi publik yang cenderung memperlebar jarak antara teori dengan praktik. Pemikiran tentang netralitas administrator yang berlaku pada waktu itu dinilai telah membuat konsep, teori, dan pendekatan administrasi publik 28 Kotak 1.6. Administrator dan Etika Netralitas Mengapa etika netralitas mesti ditolak? Pertama, teori dan praktik administrasi publik sekarang ini gagal menjelaskan perlunya pemisahan politik dan administrasi. Yang terjadi keduanya menjelaskan politik dan administrasi saling melengkapi, bukan saling megasikan. Kedug, sebagai manusia biasa administrator memiliki akal sehat, nurani, dan tacit knowledge yang sering tidak dapat dicegah keterlibatannya dalam proses kebijakan. Keterlibatan subjektivitas administrator tersebut harus dipertanggungjawabkan pada warganya. Ketiga, etika netralitas menghalangi upaya untuk membuat standar etika dan perilaku yang tinggi bagi pegawai ASN. Standar etika tersebut diperiukan dalam melembagakan tata pemeritahan yang berkualitas. menjadi kurang relevan terhadap dinamika yang terjadi dalam praktik administrasi publik. Dikotomi politik-administrasi juga mendorong munculnya etika netralitas. Etika netralitas mengajarkan bahwa administrator tidak bertanggung jawab terhadap apa yang dilaksanakannya. Etika ini mengajarkan bahwa karena administrator tidak terlibat dalam pengambilan keputusan dan hanya melaksanakan apa pun yang telah diputuskan oleh proses politik sehingga pertanggungjawaban keputusan dan kebijakan pemerintah terletak pada pengambil keputusan. Jadi, jika keputusan dan kebijakan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan kebutuhan atau jika gagal mencapai apa yang diinginkan oleh warga maka pertanggungjawaban ada pada para pejabat politik. Administrator tidak mengenal pertanggungjawaban publik. Pertanggungjawaban publik adalah milik para pejabat politik. Pertanyaannya adalah apakah benar administrator itu robot? Apakah mereka malaikat dan tidak memiliki hawa nafsu? Apakah nilai, sikap, dan kepentingan mereka tidak terlibat sama sekali dalam pelaksanaan setiap kebijakan yang diambil oleh pejabat politik? Bagaimana kita dapat menjamin bahwa ketika mereka melaksanakan kebijakan publik mereka benar-benar mampu mengendalikan semua nilai dan kepentingannya sehingga mereka melaksanakan kebijakan publik sebagaimana adanya? Dalam diskusi sebelumnya sudah dibahas, bahwa hal tersebut sangat kecil kemungkinan terjadinya. Ada banyak ruang yang membuat administrator tidak bisa sepenuhnya tidak terlibat dalam alokasi nilai. Alokasi nilai tidak hanya terjadi dalam pengambilan keputusan semata, tetapi juga dalam proses implementasi. Di dalam penjelasan sebelumnya, sudah didiskusikan panjang lebar bahwa mencegah keterlibatan administrator dalam keseluruhan proses kebijakan publik adalah hal yang mustahil. Jika demikian halnya, apakah etika netralitas memiliki dukungan empiris? Bagaimana mereka membangun argumentasi untuk membebaskan administrator dari pertanggungjawaban publik atas tindakannya? Kalau mereka membangun basis pemikirannya hanya atas dasar pemikiran dikotomi politik-adminstrasi, yang dalam tulisannya terbukti tidak lebih dari utopia daripada realitas, maka gagasan etika netralitas seharusnya ditolak. Administrator harus dapat dituntut pertanggungjawabannya atas tindakan yang dilakukannya. 29 Pertanyaannya kemudian, seberapa besar dan dalam hal apa administrator harus bertanggung jawab dalam proses kebijakan. Jawabannya tentu sangat tergantung pada apa yang dilakukan oleh administrator dalam proses kebijakan. Seberapa besar keterlibatan administrator dalam proses kebijakan. Seperti diketahui bahwa proses kebijakan melibatkan serangkaian kegiatan dan tindakan, dari sejak muncul wacana publik tentang satu isu dan masalah kebijakan sampai dengan terjadi perubahan sosial ekonomi sebagai akibat dari tindakan pemerintah tertentu. Setiap tindakan yang dilakukan oleh administrator dalam keseluruhan proses itu harus dapat dimintakan pertanggungjawaban kepadanya. Gagasan etika netralitas harus ditolak. Di samping tidak berbasis pada realitas empiris juga sangat merugikan bagi pengembangan profesi administrator. Bagaimana kita dapat membangun profesi administrator kalau administator diperlakukan sebagai robot karena hanya melaksanakan perintah dari pejabat politik? Tindakan robotik tidak dapat diperlakukan sebagai profesi. Robot memang tidak perlu dan butuh profesi. Profesi hanya dapat dikembangkan jika pemegang jabatan dan pekerja tersebut memiliki otonomi untuk mengambil keputusan. Jika administrator tidak memiliki ruang sama sekali untuk mengambil keputusan maka administrator tidak dapat diperlakukan sebagai profesi. Justru karena administrator terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan dalam tingkat tertentu memiliki otonomi untuk mengambil diskresi maka administrator perlu dan dapat dikembangkan sebagai profesi. Otonomi yang dimiliki administrator terbatas, tidak seperti otonomi yang dimiliki profesi lainnya seperti dokter, adalah hal yang wajar. Besar- kecil otonomi yang dimiliki oleh para pemegang profesi adalah isu yang berbeda dan sangat tergantung pada jenis profesi. Otonomi yang dimiliki oleh administrator terbatas karena tindakan administrator banyak diatur oleh peraturan perundangan yang berlaku, mengingat besaran risiko yang terjadi seandainya terjadi moral hazard dari pemegang profesi. Jika terjadi malpraktik yang dilakukan oleh seorang dokter, mungkin risikonya tidak sebesar ketika terjadi maladministration yang dilakukan oleh seorang administrator. Malpraktik yang dilakukan oleh seorang dokter dapat membuat kesehatan dan kehidupan seseorang terganggu. Jika seorang administrator melakukan kesalahan dalam mengambil diskresi, maladministrasi dapat 30 menghasilkan kerugian sosial ekonomi yang sangat besar. Kesalahan diskresi yang diambil oleh seorang administrator dapat menjadi pemicu konflik dan kerusakan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Mengenai besar kecilnya ruang yang tersedia bagi administrator untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan kewenangan mengambil diskresi berbeda antarnegara tergantung pada sistem regulasi yang dimilikinya. Di negara yang menganut sistem kontinental seperti Indonesia, negara dan pemerintah cenderung membuat regulasi yang membatasi dan mengatur secara rinci tindakan diskresi yang diambil oleh administrator. Indonesia memiliki pemerintah yang sangat rule-driven. Sebagian besar aspek penyelenggaraan pemerintah diatur secara formal dan rinci dalam petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis). Di negara persemakmuran, ruang yang tersedia bagi para pejabat publik dan administrator untuk mengambil diskresi relatif lebih terbuka. Mereka menggunakan kode etik dan kode perilaku untuk melengkapi regulasi yang tersedia untuk mengendalikan tindakan dari administrator. Pengaturan tentang otonomi yang dimiliki oleh administrator penting dan wajar adanya. Akan tetapi, sebaiknya pemerintah mulai memperkuat pemanfaatan kode etika dan perilaku sebagai komplementer dari regulasi. Rigiditas dan kompleksitas dari regulasi yang mengatur perilaku administrator dalam pengambilan diskresi dan inovasi harus dikurangi dan diimbangi dengan internalisasi kode etika dan perilaku. Apa pun bentuk keseimbangan yang optimal yang dipilih antara regulasi dengan internalisasi kode etika dan perilaku, sejauh administrator tetap memiliki kewenangan untuk mengambil diskresi maka administrator dapat dikembangkan sebagai satu profesi yang berdiri sendiri, sebagaimana profesi lainnya. Di banyak negara yang memiliki administrasi publik yang berkelas dunia, profesi administrator berkembang dengan baik. Di Indonesia, melalui UU No. 5 Tahun 2014, negara mengakui Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai profesi. Pengakuan ASN sebagai satu profesi adalah langkah maju karena selama ini administrator diperlakukan tidak lebih dari sebagai satu jenis pekerjaan. Pengakuan kedudukan ASN sebagai profesi berarti pengakuan terhadap otonomi yang dimiliki oleh ASN. Pegawai ASN memiliki otonomi untuk menggunakan akal sehat, hati nurani, dan nilai- nilai profesinya untuk membaca dan merumuskan masalah publik serta 31 merekomendasi pilihan kebijakan kepada pejabat politik atasannya. Mereka juga dapat mengambil diskresi untuk memastikan kebijakan dan pelayanan publik dapat mempercepat terwujudnya kesejahteraan warganya. Artinya, administrator terlibat dalam proses alokasi nilai-nilai publik dalam proses kebijakan. Dengan demikian, mereka juga harus mempertanggungjawabkan tindakan dan dampak dari tindakan yang dilakukannya. Penolakan terhadap etika netralitas di banyak negara juga dengan mudah ditunjukkan dari berkembangnya profesi administator atau civil services. Di banyak negara yang berkelas dunia, mereka umumnya memiliki profesi civil service yang sangat maju dan tidak kalah dengan profesi-profesi lainnya. Mereka juga mengembangkan kode etika dan kode perilaku dan melembagakannya dalam kehidupan pegawai ASN dan/atau administratomya. Bahkan, sebagian dari negara-negara berkelas dunia mengatur kode etika dan kode perilaku administrator tersebut dalam peraturan perundangan. Sebagian lainnya menjadikan sebagai bagian dari budaya birokrasinya. Kedua pendekatan tersebut dalam konteksnya masing- masing berhasil mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas. Sekali lagi, dengan melihat realitas yang ada, klaim pemikiran dikotomi politik-administrasi bahwa administrator itu netral, yaitu karena tidak terlibat dalam alokasi nilai dan/atau proses pengambilan keputusan, secara empiris dan secara politik di banyak negara, termasuk di Indonesia, ditolak keberadaannya. Administrator melalui berbagai kegiatan terlibat dalam proses kebijakan. Mereka ikut mengalokasi nilai-nilai yang mereka yakini sebagai nilai-nilai publik. Keyakinan dan persepsinya tentang nilai-nilai publik tersebut harus dipertanggungjawabkan kepada warganya. Dengan demikian, gagasan tentang etika netralitas juga harus ditolak keberadaannya. Penolakan terhadap etika netralitas juga penting untuk membangun: standar etika yang tinggi bagi administrator. Bagaimana dapat membangun standar etika yang tinggi jika etika netralitas mengajarkan bahwa administrator tidak dapat dituntut pertanggungjawaban atas tindakannya. Tentu pemikiran etika netralitas tersebut sangat berisiko dan membuat administrator tidak sensitif atas kewenangan yang dimiliki dan penggunaan kewenangan itu dalam menjalankan profesinya. Yang terjadi seharusnya, kita meyakinkan bahwa setiap administrator memiliki kewenangan yang melekat pada jabatannya dan setiap penggunaan kewenangan dan dampak dari 32 penggunaan kewenangan itu memiliki efek terhadap kehidupan warganya. Penggunaan kewenangan dan dampak dari penggunaan kewenangan memiliki efek yang besar bagi kehidupan warganya sehingga administrator harus bertanggung jawab atas tindakannya. Dengan cara ini, administrator menjadi berhati-hati dan sensitif terhadap penggunaan kewenangan yang dimilikinya. ADMINISTRATOR DAN IMPARSIALITAS Penggunaan konsep netralitas yang kedua yang sering muncul dalam praktik penyelenggaraan pemerintah sehari-hari adalah keinginan menjadikan administrator dan birokrasi bersikap netral terhadap kepentingan politik praktis. Politisasi birokrasi sudah berlangsung lama dan telah menjadi perhatian para pemikir administrasi publik pada masa lalu. Munculnya pemikiran dikotomi politik-administrasi terutama sebagian didorong oleh terjadinya politisasi birokrasi pada masa itu. Mengapa ada upaya untuk mengatur jabatan politik dan jabatan administrasi dan cara pengisiannya? Banyak negara pada masa lalu juga peduli dengan risiko kegagalan administrator dalam menjaga imparsialitasnya. Imparsialitas administrator penting dan harus dijaga untuk mewujudkan pemerintah yang berkelas dunia. Pemerintah berkelas dunia hanya akan dapat diwujudkan sebagian jika administrator profesional dan imparsial. Administrator yang seperti ini adalah mereka yang tidak terlibat dalam politik praktis, yang dalam menjalankan tugas sehari-hari didasarkan pada akal sehat, kode etika, dan kode perilakunya. Keputusan yang diambil ketika dihadapkan pada keharusan mengambil diskresi harus bersifat imparsial dalam keseluruhan dimensinya. Artinya, keputusan tersebut harus imparsial dari kepentingan kekuasaan, afiliasi politiknya, serta kepentingan pribadi dan kelompoknya. Ketika keputusan seorang pegawai ASN berbasis pada nilai-nilai, kode etika, dan kode perilaku profesi maka ruang yang tersedia untuk mengakomodasi subjektivitasnya sebagai perseorangan seharusnya dibatasi pada tacit knoweledge dan pengalamannya ketika berhasil mengatasi problem serupa pada masa lampau. Seorang pemegang profesi ASN yang telah lama berkarier tentu memiliki banyak tacit knowledge. Tacit 33 knowledge yang diperolehnya ketika mengalami pembelajaran dalam pelaksanaan beraneka tugas jabatan dipergunakan untuk mencari solusi saat ketika mereka dihadapkan pada keharusan mengambil diskresi. Juga ketika mereka berhasil menghadapi problem serupa pada masa lampau dapat juga membantu mereka memiliki institusi untuk dipergunakan dalam mengambil keputusan. Namun, ketika institusi dan tacit knowledge yang bersifat sangat personal berbenturan dengan nilai-nilai profesi, kode etika, dan kode perilaku maka administrator harus berpedoman pada kode etika dan kode perilakunya. Dalam perkembangan mutakhir, pemikiran dan praktik administrasi publik di banyak negara berkelas dunia, administrator tidak netral dan tidak boleh netral dalam alokasi nilai, tetapi administator harus imparsial terhadap kepentingan politik praktis dan politik kekuasaan. Ketika mereka terlibat dalam proses pengambilan keputusan maka sikap dan tindakannya seharusnya didasarkan pada akal sehat, hati nurani, dan nilai-nilai profesinya. Dengan mengembangkan teori yang mampu memberi petunjuk pada administrator untuk terlibat dalam proses kebijakan, maka teori adminisrasi akan menjadi semakin fungsional dan menarik banyak pihak mempelajari dan mengembangkan ilmu administrasi publik. Ilmu administrasi publik menjadi semakin relevan terhadap dinamika yang terjadi di lingkungannya. Para praktisi akan semakin terbantu dalam melaksanakan tugas mereka sehari-hari, utamanya dalam mengelola proses kebijakan, Mereka tidak lagi gagap ketika diminta oleh atasannya untuk membantu dalam mengambil pilihan kebijakan yang tepat untuk menyelesaikan masalah dan/atau menjawab isu kebijakan yang harus direspons dengan tepat dan cerdas. Administrator dapat memberi nasihat pada pimpinannya tentang isu kebijakan yang berkembang dan membuat pimpinan menjadi knowledgable sehingga ketika berhadapan dengan media massa mereka dapat dengan sigap merespons setiap isu yang berkembang. Para pejabat politik akan selalu dihadapkan pada berbagai macam isu kebijakan dan mereka tidak boleh gagap dalam merespons semua isu kebijakan yang relevan dengan mandat yang dimilikinya. Dalam praktik penyelenggaraan pemerintah yang berlaku sekarang di Indonesia, baik di pusat maupun daerah, politisasi birokrasi dan ASN terus terjadi dan pada tingkat tertentu cenderung meluas. Di berbagai kementerian 34 dan pemerintah daerah, politisasi birokrasi dan ASN dapat dengan mudah diamati. Banyak kementerian dipimpin oleh para politisi, jabatan pimpinan tinggi (Pimti) di banyak kementerian diisi oleh mereka yang memiliki afiliasi politik dan menunjukkan bahwa nepotisme dan klientalisme masih mengakar dalam birokrasi. Walaupun UU ASN berusaha mencegahnya dengan mengharuskan pengisian jabatan Pimti dilakukan melalui rekrutmen terbuka, tetapi dalam praktik rekrutmen terbuka belum berjalan dengan baik seperti yang diharapkan oleh pembentuk UU ASN. Di daerah situasinya lebih buruk. Politisasi birokrasi dan ASN berlangsung dengan cara masif dan pada tingkat tertentu agak brutal. Pelaksanan pilkada secara langsung ternyata memiliki implikasi politik yang luas dalam birokrasi di daerah. Landasan profesionalisme yang rapuh dan praktik masa lalu di dalam Rezim Orde Baru! sehingga ketika pilkada dilakukan di daerah banyak kepala daerah yang kemudian menjadikan birokrasi dan ASN yang ada dalam kekuasaannya menjadi mesin pengumpul suara. Pada sisi lain, banyak pegawai ASN yang memanfaatkan pilkada sebagai peluang untuk membangun akses terhadap kekuasaan dan mengambil jalan pintas dalam mengembangkan karier di birokrasinya. Akibatnya, politisasi birokrasi menjadi keniscayaan. Politisasi birokrasi dan ASN tentu merusak imparsialitas dari para pejabat karier. Pada gilirannya, mereka bukan hanya terlibat dalam kegiatan politik praktis, tetapi lambat laun tidak bisa dihindari akan memiliki afiliasi politik yang sangat kuat dengan kekuatan politik tertentu. Bukan hanya terlibat dalam pilpres dan pilkada, afiliasi politik sangat berisiko membuat pengambilan keputusan dalam birokrasi menjadi terpengaruh oleh nilai dan kepentingan politik, sesuatu yang dulunya memicu munculnya pemikiran dikotomi politik-administrasi. Kegagalan menjaga imparsialitas dari kekuatan politik pada gilirannya dapat mengganggu netralitas dalam pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan dari administrator tidak lagi berbasis akal sehat, nurani, dan pertimbangan profesi, tetapi dikhawatirkan akan didominasi oleh kepentingan politik praktis dan jangka pendek. Administrator sebagai T. Dalam zaman Orde Baru politisasi birokrasi adalah lumrah. PNS yang mestinya harus imparsial justru mengalami golkarisasi. Tradisi politisasi ini yang mendorong ketika Pilkada dilakukan para pejabat politik berusaha memanfaatkan birokrasi dan pegawainya sebagai mesin pengumpul suara 35 sebuah profesi harus dijaga imparsialitas agar keputusan dan tindakannya selalu dibimbing oleh akal sehat, hati nurani, dan nilai profesinya. Kalau administrator terlibat dalam kegiatan politik maka keterlibatan politik adminstrator adalah politik dalam arti policy, yaitu terlibat dalam proses kebijakan. Politik administrator adalah politik kepublikan. Kepentingan politik administrator adalah politik kebangsaan, yaitu politik menjaga keutuhan dan kelangsungan bangsa dengan cara mewujudkan nilai-nilai publik yang dulu menjadi inspirasi para pendiri bangsa untuk mewujudkan Indonesia yang merdeka. ASN dan birokrasi harus menjadi the guardian of the state, yaitu menjaga keutuhan dan kelangsungan hidup bangsa. Untuk kelangsungan hidup dan keutuhan bangsa serta mewujudkan cita-cita pendiri bangsa yang menjadi dasar menentukan nilai-nilai publik, maka pegawai ASN harus bertindak dan tidak boleh netral. Bagaimana menentukan apakah keberpihakan pada kepentingan bangsa diperlukan sebagai bagian dari keterlibatan pada politik kepublikan maka akal sehat, hati nurani, kode etik dan kode prilaku yang dimilikinya seharusnya menjadi pedoman dalam menentukannya. Pegawai ASN yang profesional dan ingin mempertahankan posisinya yang imparsial sering dihadapkan pada pilihan yang sulit dan dilematis. Jika mereka bersikap imparsial maka risiko akan kehilangan jabatan sangat besar, siapa pun yang akan memenangkan pilkada. Sikap imparsial dianggap tidak mendukung calon yang memenangkan pilkada. Akibatnya, mereka dihadapkan pada risiko kehilangan jabatan strukturalnya. Akan tetapi, jika mereka berpihak dan terlibat dalam politik praktik maka mereka melanggar peraturan dan etika profesinya. Ilmu administrasi publik dan profesi administrator dapat berperan untuk mengurangi tekanan politisasi, nepotisme, dan klientalisme dalam birokrasi ketika mampu memberi pedoman bertindak dan bersikap pada anggotanya ketika dihadapkan pada problem tersebut. Untuk itu, profesi ASN harus segera membentuk organisasi profesi yang dapat menyantuni pengembangan profesi dan melindungi kepentingan anggotanya ketika dihadapkan pada tindakan sewenang-wenang pejabat politik yang menjadi atasannya. Amat sulit membayangkan Korps Pegawai Negeri (Korpri), yang sekarang menjadi wadah tunggal para pegawai negeri, dikembangkan sebagai organisasi 36 profesi karena kendala struktural dan kultural yang selama ini melekat pada organisasi tersebut. Korpri yang menempatkan dirinya sebagai organisasi kedinasan atau setengah kedinasan dan secara struktural pengurusnya diisi oleh para pimpinan K/L dan pemerintah daerah tidak akan mampu mentransformasi dirinya sebagai organisasi profesi yang sesungguhnya. Ketika dipimpin oleh para pimpinan K/L yang nasibnya sebagai pejabat publik bergantung pada Pembina Kepegawaian di K/L dan pemerintah daerah, mereka dipastikan tidak akan dapat memperjuangkan nilai-nilai profesi ketika berhubungan dengan kepentingan jangka pendek dari politik pemerintahan. Contoh kasus benturan nilai-nilai profesi dengan kepentingan politik jangka pendek pemerintah yang ingin menambah hukuman kebiri pada pelaku kejahatan seksual pada anak dapat menjadi pembelajaran bagi profesi ASN. Kasus ini seharusnya dapat menginspirasi pemegang profesi ASN untuk segera membentuk organisasi profesi yang independen. Pemerintah dapat berganti setiap lima tahun dan wajar ketika mereka kemudian mengembangkan program-program jangka pendek dan menengah agar selama lima tahun berkuasa ada banyak legasi yang dapat diklaim sebagai modal kampanye untuk dapat dipilih kembali dan berkuasa pada periode lima tahun berikutnya. Hampir semua pemerintahan melakukan hal itu. Wajar kalau mereka tidak tertarik pada kepentingan jangka panjang. Nilai-nilai publik, yang pada tingkat tertentu bersifat universal dan generik, mewujudkannya perlu waktu relatif panjang. Misalnya, pemberdayaan penduduk miskin, perempuan, kelompok marginal, keadilan sosial, kesejahteraan, dan kebebasan berpendapat adalah bagian dari nilai dan kepentingan publik yang seharusnya diperjuangkan oleh seorang pemegang profesi ASN. Walaupun negara dibentuk untuk mewujudkan nilai-nilai publik, tetapi adakalanya pemerintah, karena orientasinya jangka pendek dan pada kepentingan konstituen politiknya, sangat mungkin terjadi benturan antara program pemerintah yang berwawasan jangka pendek dengan nilai dan kepentingan publik. Dalam konteks ini, organisasi profesi ASN dapat menyampaikan alternatif pandangannya tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah agar programnya dapat memberi kontribusi pada terwujudnya nilai-nilai publik. Oleh karena itu, penting menjaga independensi dari organisasi profesi ASN. 37 Dari sisi kepentingan publik, mengembangkan ilmu administrasi publik dan organisasi profesi ASN yang mampu memberi pedoman dan petunjuk pada anggotanya ketika dihadapkan pada dilema seperti tersebut di atas sangat menguntungkan. Dalam proses kebijakan, masyarakat luas diuntungkan karena proses kebijakan menjadi semakin terbuka dan inklusif karena nilai-nilai yang menjadi dasar dalam proses kebijakan bukan lagi kepentingan politik jangka pendek dan kepentingan konstituen semata, tetapi juga mencakup aspirasi pemangku kepentingan, termasuk nilai-nilai dan kepentingan publik yang direpresentasikan oleh para pemegang profesi. Apalagi ketika nantinya praktik pembuatan kebijakan menjadi semakin evidence-based, proses pembuatan kebijakan akan melibatkan para birokrat sebagai agen pelaksana. Sebagai agen pelaksana, birokrat adalah pihak yang menguasai eviden karena mereka yang sehari-hari bergaul dengan kebijakan dengan segala persoalan yang melekat padanya. Umu adminisrasi publik yang mutakhir sekarang ini mengajarkan proses kebijakan seharusnya berbasis evidence, siapa yang memiliki eviden seharusnya menjadi aktor kebijakan yang penting. Pemegang profesi ASN sebagai pelaksana kebijakan yang sehari-hari bergelut dengan dinamika implementasi kebijakan tentu menjadi salah satu pihak yang menguasai eviden. Masyarakat sipil dan dunia akademisi yang peduli dengan isu kebijakan tertentu memiliki banyak eviden yang dapat dijadikan masukan dalam pembuatan kebijakan sehingga mereka seharusnya juga terlibat dan dilibatkan dalam proses kebijakan. Nilai-nilai dan gagasan yang disampaikan oleh banyak aktor menjadi bagian dari perdebatan dalam proses kebijakan sehingga konsensus yang diambil nantinya mencerminkan pandangan dari sebagian besar pemangku kepentingan dan semakin mendekati nilai-nilai dan kepentingan publik yang inklusif. Kembali pada isu imparsialitas, bagi administrator sebagai pemegang profesi ASN tidak ada pilihan lain, kecuali mereka harus imparsial dari semua kekuatan politik. Haram hukumnya mereka terlibat dalam politik pilkada dan politik kekuasan. Keterlibatan mereka dalam politik pilkada dan politik kekuasaan bukan hanya merusak kualitas tata pemerintah yang berlaku, tetapi juga merusak profesi ASN. Namun demikian, tidak berarti pegawai ASN menjadi apolitik, tidak peduli dengan politik, dan acuh pada dinamika lingkungan sosial politik sekitarnya. ASN yang profesional dan 38 imparsial harus peduli pada politik kepublikan, Ia harus terlibat dalam proses kebijakan untuk memastikan bahwa proses kebijakan mengabdi pada kepentingan publik yang luas, bukan pada kepentingan kekuasaan. KESIMPULAN Pemikiran terdahulu administrasi publik, terutama sebelum perang dunia kedua yang dipelopori oleh Wilson, Weber, dan Goodnow, umumnya mengajarkan perlunya pemisahan antara politik dengan administrasi. Pemikiran tersebut di samping merespons dinamika yang terjadi pada masa itu, terutama keinginan untuk mengembangkan aparatur sipil negara yang imparsial, juga sesuai dengan tradisi konstitusi di Amerika Serikat yang mengajarkan trias politika. Ajaran trias politika yang memisahkan fungsi pengambilan keputusan (legislatif) dan fungsi eksekusi (eksekutif) dianggap pas dengan gagasan dikotomi politik administrasi. Namun demikian, dalam kenyataannya gagasan untuk memisahkan proses politik dan administrasi sebagai sesuatu yang berbeda secara distinct bukan hal yang mudah karena dalam praktik, politik dan administrasi adalah kegiatan yang komplementer. Pascaperang dunia kedua, para pemikir generasi kedua yang dimulai oleh Waldo dengan artikelnya yang sangat seminal, “Administrative State”, Simon dengan konsepnya tentang rasionalitas terbatas (bounded rationality), dan Applebly, semuanya menggugat gagasan pemisahan politik dan administrasi. Pemisahan politik dan administrasi dinilai tidak masuk akal dan tidak lebih dari mitos. Upaya untuk mengembangkan administrasi publik yang imparsial tidak seharusnya dilakukan dengan memisahkan proses politik dengan administrasi karena keduanya bersifat komplementer dan hanya menggambarkan perbedaan intensitas. Administrator dalam praktiknya terlibat dalam hampir semua proses kebijakan, yang membedakan adalah derajat dari keterlibatannya, yang mungkin berbeda pada setiap sub proses yang ada. Diskusi dalam bab ini menunjukkan bahwa dilihat dari berbagai aspek pemisahan politik dan administrasi, baik pada tingkat gagasan maupun praktik, tidak mungkin dilakukan. Administrator, karena pekerjaan, keahlian, dan profesinya, tidak mungkin untuk tidak terlibat dalam proses kebijakan. Para pejabat politik, karena mandat yang diterima dari konstituen 39 dan pertanggungjawaban publik atas kebijakan yang diambilnya, juga tidak mungkin untuk tidak terlibat dalam proses implementasi kebijakan. Implementasi kebijakan tidak dapat diperlakukan sebagai taken for granted karena nasib mereka juga ditentukan oleh kualitas dari implementasi. Nasib konstituennya berubah bukan hanya karena kualitas dari keputusannya tetapi juga bagaimana keputusan tersebut diwujudkan dalam program dan kegiatan yang bermanfaat bagi konstituennya. Namun demikian, walaupun secara gagasan pemisahan politik dan administrasi dengan cepat ditinggalkan, isu tentang dinamika hubungan antara politik dengan administrasi tidak pernah padam dan akan selalu menarik untuk didiskusikan, baik dalam pengembangan diskursus akademik ataupun dalam praktik administrasi publik. Keinginan untuk mewujudkan administrasi publik yang imparisial dan nonpartisan tidak akan pernah lekang dan selalu menjadi obsesi dari para akademisi dan praktisi. Administrator memang tidak boleh terlibat dalam politik partisan dan harus menjaga agar proses penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan bersifat imparsial. Akan tetapi, hal itu tidak berarti administrator ignorance dan tidak peduli dengan proses kebijakan. Harus dibedakan antara politik partisan dengan policy, di mana untuk yang terakhir administrator harus peduli dan memastikan bahwa proses kebijakan benar-benar mengabdi pada terwujudnya nilai dan kepentingan publik. Politik dari administrator tidak bersifat partisan, tetapi politik kepublikan. Dalam menjalankan politik kepublikan, administrator dapat berperan melalui pemberian opini dan/atau nasihat kepada para pejabat politik tentang pilihan-pilihan kebijakan yang tersedia untuk mewujudkan nilai dan kepentingan publik dengan tanpa meninggalkan kepentingan konstituen. Administrator juga dapat menjalankan politik kepublikan ketika mereka mengambil diskresi dalam implementasi kebijakan. Dalam kegiatan pemerintah sehari-hari, politik kepublikan ini tidak dapat dipisahkan dalam hubungan antara pejabat politik dengan administrator. Keduanya seharusnya bekerja bersama untuk menghindari politik partisan. Ada hal-hal yang perlu diperhatikan oleh administrator dalam mewujudkan politik kepublikan. Pertama, administrator menghargai posisi pejabat politik sebagai pemegang mandat dari pemilih. Mereka yang dipercaya oleh warga dan diberi mandat untuk memperjuangkan 40 aspirasinya. Oleh karena itu, administrator harus menghargai gagasan kebijakan dan tindakan yang ingin dilakukan oleh para pejabat politik dalam mewujudkan aspirasi dan kepentingan konstituen. Jika administrator memiliki pandangan yang berbeda dengan yang dimiliki oleh para pejabat politik karena pertimbangan profesi dan keahilan yang dimilikinya, administrator dapat menyampaikannya secara tertutup. Administrator tidak seharusnya mengkritisi secara terbuka gagasan kebijakan yang dimiliki oleh para pejabat politik yang menjadi atasannya. Kedua, sebagai pejabat karier yang menduduki jabatan karena merit administrator harus menyadari bahwa di samping harus akuntabel pada publik, mereka juga harus akuntabel pada pejabat politik yang menjadi atasannya. Administrator harus menjaga agar kedua akuntabilitas ini sejalan dengan nilai dan kepentingan publik. Jika karena satu dan lain hal keduanya memberi tekanan yang diametral kepada administrator maka administrator pertama-tama harus menempatkan kepentingan dan nilai publik di atas yang lainnya. Tentu hal ini tidak sederhana dan mudah dilakukan karena nasib administrator dalam banyak hal amat tergantung pada penilaian dari para pejabat politiknya, Letak pentingnya profesi ASN memiliki organisasi profesi yang independen, menyantuni pengembangan profesi, dan membela kepentingan anggota dari tindakan sewenang-wenang pejabat politik atasannya. Ketiga, administrator tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik partisan dan/atau politik elektoral. Administrator dalam segala tindakannya harus dapat membebaskan dirinya dari tarik-menarik kepentingan politik jangka pendek dan politik praktis. Mereka harus dapat membuktikan bahwa mereka bertindak above all impartially. Hal ini dapat dilakukan dengan selalu menjaga jarak dari semua kepentingan partai dan hanya lokus pada politik kepublikan. Dalam sistem multi partai yang berlaku di Indonesia, di mana partai politik yang berbeda dapat menguasai tingkat pemerintahan yang berbeda-beda, maka administrator seharusnya dapat berperan untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan politik praktis dengan politik kepublikan. Keempat, administrator secara politik netral dan imparsial, tetapi secara policy ikut terlibat dalam alokasi nilai. Apakah alokasi nilai dilakukan melalui pemberian nasihat kepada pejabat politik atasannya atau melalui 41 diskresi yang diambilnya dalam proses implementasi, administrator harus ikut bertanggung jawab tethadap diskresi dan dampak yang terjadi sebagai akibat dari diskresi yang diambilnya. Profesi ASN harus mampu menetapkan standar etika profesi yang tinggi sehingga setiap pegawai ASN memiliki sensitivitas yang tinggi tethadap besamya kekuasaan yang dimilikinya dalam mengambil diskresi dan dampak dari penggunaan kekuasaannya tersebut. Besarnya warga dan dalam hal apa saja warga memperoleh manfaat dari kehadiran negara melalui pelayanan publiknya ditentukan melalui diskresi. 42

You might also like