Professional Documents
Culture Documents
Lasminingrat
Lasminingrat
Itulah sebabnya jumlah anak perempuan yang masuk sekolah pada tahun 1878
hanya 25 orang, diantara 12.448 dari anak laki-laki. Sedangkan pada tahun 1897
jumlahnya meningkat menjadi 301 orang di antara murid laki-laki yang berjumlah
24.732 orang (Wiriaatmadja, 1986 : 63). Dengan demikian pendidikan perempuan
pada zaman Kolonial Belanda sampai Zaman Pemerintahanan Hindia-Belanda belum
dapat maksimal. Oleh karena itu Raden Ayu Lasminingrat datang sebagai perintis
pendidikan perempuan di Indonesia dengan cara memnuangkan pemikirannya tentang
pendidikan perempuan dengan membuat sakola kautamaan istri pertama kali pada
zaman itu sebelum Dewi Sartika.
Dihari kedua di Garut penulis mencoba menemui pak Deddy Effendie Tp. M.
Hs dirumah kediamanannya pada tanggal 21 Juni 2016 pukul 17.00 samapi dengan
selesai, Deddy adalah seorang sejarawan yang pernah menulis buku Raden Ajoe
Lasminingrat Perempuan Intelektual Pertama di Indonesia. Sebagai seorang
sejarawam sekaligus kerabat Lasminingrat, tentu Deddy mengetahui betul bagaimana
perjuangan Lasminingrat terhapa pendidikan perempuan.
Tidak semua anak bisa sekolah di sekolah yang didirikan itu, lembaga
pendidikan itu hanya diperuntukan bagi anak laki-laki kelompok menak usia
10 sampai 18 tahun seperti anak Bupati, patih, jaksa, Hoffd-penghulu, agen
komisi penanaman kopi dan kepala distrik, mereka dalah kelompok strategis
sebagai pejabat penting dibidang ekonomi dan administrasi pemerintah
kolonial. Sekolah untuk perempuan sama sekali belum ada.
Penerimaan murid dipengaruhi oleh tujuan sekolah.
Hal yang diungkapkan oleh Deddy diatas selaras dengan Nasution dalam
bukunya yang berjudul sejarah pendidikan Indonesia, Nasution menjelaskan bahwa
Adat istiadat tradisional juga kurang mneyetujui pendidikan untuk kaum wanita.
Penduduk sendiri melihat tidak ada manfaat untuk mendidik gadis-gadis dengan cara
yang sama dengan kaum pria. Gadis-gadis memiliki peranan penting terhadap rumah
tangga dan di sawah. Maka karena itu jumlah murid pria jauh lebih banyak dibanding
murid perempuan. Pada tahun 1877 hanya 25 anak wanita terdaftar di sekolah
pemerintah di banding dengan 12.498 anak pria. Pada tahun 1888 terdapat 30.767
anak laki-laki akan tetapi hanya 276 anak perempuan di sekolah. Jika dilihat dari
tahun 1877 sampai 1888 terdapat peningkatan untuk kaum perempuan mengenyam
pendidikan walaupun halanga-halangan sosial masih terlampau kuat untuk
mengijinkan anak wanita menikmati kesempatan belajar yang sama seperti anak pria.
Penulis dapat menyimpulkan bahwa sejarah pendidikan di Indoensia pada
masa kolonialisme masih bias gender, selain dari adat istiadat yang melarang
perempuan melakukan aktivitas diluar rumah yang mereka anggap tidak penting
seperti bersekolah, sistem pemerintahan pada masa itu hanya memikirkan kepentingan
individu dan kelompok mereka saja. Oleh sebab itu sekolah diperuntukan untuk
kalangan menak dan juga laki-laki yang menurut mereka lebih mampu melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang disiapkan oleh pemerintah kolonial
“Dengan pergaulan dan didikan dari Holle yang seorang warga Belanda
mungkin beliau memahami arti gender itu, tetapi beliau tidak meninggalkan
budaya Sunda, seperti pakainnya belaiu berpakaian layaknya perempuan ningrat
Sunda dengan kebayanya. Kebebasan dalam berpikir dan bergerak didapatkannya
dari suami keduanya R.A.A Wiratanoedatar VIII yang saat itu menjabat menjadi
Buapti Garut pertama, suaminya sangat mendukung kegiatan-kegiatan
Lasminingrat di bidang pendidikan. Walaupun setelah menikah dengan R.A.A
Wiratanoedatar VIII Lasminingrat sempat berhenti sejenak ditengah kegiatana
mengajar di sekolah yang didirikan ayahnya tetapi nalurinya tidak bisa dibohongi
bahwa beliau sangat peduli dengan pendidikan perempuan, maka beliau berjuang
dengan mendirikan ssekolah yang dinamainya sakola kautamaan istri.”
B. Perkembangan Sakola Kautamaan Istri Sampai Menjadi SDN Regol VII dan X
1. Sakola Kautamaan Istri
Pada tahun 1910 Sakola Istri bergati nama menjadi Sakola Kautamaan Istri.
Diambil dari nama perkumpulan bentukan Residen Priangan yang mendukung
pengembangan dan pembangunan sekolah wanita bumi putera saat itu. Orang-orang
dalam perkumpulan itu di antaranya Bupati Bandung, R. Kanduruan Agah
Suriawinata (Isteri Bupati), De Hamer (Inspektur Kantor pengajaran atau
Pendidikan), Nyi. R. Uwid, Nyi Mas Purwa (kawan pengajar), R.A.A.
Wiranatakusumah (Bupati Bandung yang menggantikan Martanagara tahun 1920),
Ny. Residen Tacoma, Ny. Ulje, Atmadinata, Surakusumah, Tuan Beets, Prof.
Boomstra, Kontrolir Van Der Leden, Perkumpulan Pasundan Istri, dan Kaum
Wanita Palembang (Ekadjati, 2014 : 72). Rencana pelajaran Sekolah Kautamaan
Istri disesuaikan dengan rencana pelajaran sekolah kelas dua pelajaran ketrampilan
kewanitaan masih diutamakan. Adapun mata pelajaran ketrampilan kewanitaan di
sekolah ini di antaranya pelajaran memasak, mencuci, menyetrika dan membatik.
Pada tahun 1907 R.A Lasminingrat tergerak hatinya untuk mendirikan sekolah
yang serupa seperti R.H Moehamad Moesa yang tidak lain adalah ayah kandungnya
di kabupaten Garut. Sekolah itu pada awalnya di laksanakan di lingkungan pendopo
dengan menggunakan ruangan gamelan. untuk pertama kalinya sekolah kautamaan
istri tersebut murid-muridnya diambil dari lingkungan keluarga dalem, keluarga
Lasminingrat yang memiliki anak perempuan menwajibkan untuk masuk sakola
kautamaan istri tersebut.
Kegiatan itu berkembang dan akhirnya pengelolaannya dibantu oleh
keponakannya R.A Surianingrum, pada tahun 1911 sakola kautamaan istri R.A
Lasminingrat pindah untuk menempati bangunan baru disamping pendopo
menghadap ke Jalan Kautamaan Istri (sekarang Jalan Renggalawe), muridnya
mencapai 200 orang dan memiliki 5 kelas. (Deddy, 2011:126). Lasminingrat
menempuh prosedur legal dalam pembuatan sakolah kautamaan istri, tidak seperti
Dewi Sartika yang menempuh persetujuan hanya lewat bupati Bandung dan
menggunakan dinding sebagai papan tulis tetapi Lasmingrat sudah memakai
prosedur dengan meminta ijin mendirikan gedung ke Gubernur Jendral yang diantar
langsung oleh Holle dan akhirnya disetujui dan langsung membuat sakola
kautamaan istri di Garut. Di sekolah Keutamaan Istri, murid-muridnya diajari cara
memasak, merapikan pakaian, mencuci, menjahit pakaian, dan segala hal yang ada
hubungannya dengan kehidupan berumah tangga. Tujuannya, supaya kelak saat
dewasa dan menikah, mereka bisa membahagiakan suami dan anak, juga
mengerjakan sendiri apa saja yang berhubungan dengan rumah tangga.
Sakola istri Raden Adjeng Dewi Sartika kemudian diganti namanya menjadi
sakola kautamaan istri. Sejak itu ditanah pasundang berdiri beberapa sekolah
khusus perempuan, antara lain di Tasikmalaya (1913), Sumedang (1916), Cianjur
(1916), Ciamis (1917), Cicurug (1918), Kuningan (1922), Sukabumi (1926). Diluar
pasundan tercatat berdiri sekolah khusus perempuan di Padangpanjang pada tahun
1915 .
Sakola kautamaan istri yang didirikan oleh Lasminingrat terus mendapat
sambuntan yang baik dari masyarakat Garut pada masa itu. Perkembangan yang
menggembirakan setelah medapat pengesahan dari pemerintah. Kemudian berdiri
cabang sakola kautamaan istri distrik Tarogong (letaknya disamping puskesmas
Tarogong), murid kesayangan R.A Lasminingrat yaitu R.A Poernamaningrat adalah
putra R.H Moehamad Musa dari istrinya Raden Ajoe Lendra Karaton ayah dari
Poernamaningrat yaitu Raden Ayu Lasminingrat jadi keponakannya sendiri yang
sekolah di kautamaan istri pada tahun 1909-1912. Sekolah ini akhirnya
mendapatkan pengesahan dari pemerintah Hindia Belanda pada 1913 melalui akta
nomor 12 tertanggal 12 Februari 1913. Tahun 1934 dipercaya untuk mengelola
sakola kautamaan istri Lasminingrat lalu membuka cabang di kota Wetan Garut,
Bayongbong dan Cikajang lalu sakola kautamaan istri perubah nama menjadi
sakola gadis dan diteruskan oleh Poernamaningrat. (Deddy: 2011: 118)
Jadi sakolah kautamaan istri didirikan pada tahun 1907 oleh Lasminingrat,
karena usia dan kesibukannya menjadi istri dari seorang bupati Garut maka sakola
kautamaan istri kepengurusannya dipindahkan dan diteruskan oleh murid
kesayangannya sekaligus keponakannya R.A Poernamaningrat dan berganti nama
menjadi sakola gadis.
2. SDN Regol VII dan X dan Kondisi Sekarang
Dalam perjalanannya Kautamaan Istri pun sempat berubah nama beberapa
kali. Menjadi Sekolah Rakyat pada zaman Jepang, kemudian tahun 1950 menjadi
SDN Ranggalawe I dan IV. Terakhir, nama sekolah tersebut menjadi SDN Regol
VII dan X. Nina Lubis menuturkan, beberapa meubeleur seperti lemari dan meja
peninggalan Lasmingingrat masih tersimpan di SDN Regol. Setelah suaminya
pensiun dari jabatan Bupati tahun 1915, Lasminingrat dan keluarga pindah ke
sebuah rumah di Regensweg yang sekarang Jalan Siliwangi. Tapi akan sia-sia jika
sekarang mencari rumah mana yang pernah dihuni Lasminingrat dan suaminya
setelah pensiun. Karena rumah tersebut kini sudah berganti menjadi departement
store di Jalan Siliwangi. Rumah tersebut ditinggalkan Lasminingrat saat mengungsi
ketika perang kemerdekaan. Rumah itu lalu dipakai sebagai markas Tentara
Republik Indonesia.
Ketika kembali dari pengungsian, ia memilih tinggal di sebuah rumah di Jalan
Tangsi. Lasmingingrat berpulang 10 April 1948 dan dimakamkan di belakang
Mesjid Agung Garut. Nama Lasminingrat selalu mencuat ketika ada pengajuan
pahlawan nasional. Namun, kabar terakhir dari Nina Lubis, Lasminingrat tak juga
disetujui menjadi pahlawan nasional. Bahkan, tambahnya, sekarang ada peraturan
seseorang tak boleh diajukan lebih dari dua kali. “Lasminingrat sudah tiga kali,”
ujarnya. Meski tak dinobatkan sebagai pahlawan nasional, toh jasa Lasminingrat
untuk pendidikan terutama di Garut tetap akan selalu dikenang. Mungkin, jika Anda
suatu saat belanja di satu departement store di Jalan Siliwangi Garut, Anda bisa
mengingat. Bahwa di tempat ini, dulu seorang perempuan hebat pernah tinggal.
(http://nosferatubook.blogspot.co.id/2010/11/lasminingrat-perempuan-hebat-dari-
garut.html. diunduh pada tanggal 27 Juli 2016 pukul 18:00 WIB).
Sekolah Dasar Negri Regol VII dan X ini benar-benar sudah melupakan
keberadaan Lasminingrat yang dulu mati-matian memperjuangkan untuk
mendirikan sekola kautamaan istri. Ketika saya mengunjungi sekolah tersebut tidak
ada yang mengenal nama Lasminingrat baik dari para gurunya maupun murid-
muridnya, padahal didepan gedung sekolah tersebut tertancap plang yang
menjelaskan bahwa sekolah itu dulu didirikan oleh R.A. Lasminingrat. Tetapi ada
satu orang yang masih mengenal Lasminingrat dan penulis mewawancarai beliau
pada tanggal 22 Juni 2016 yaitu penjaga sekolahnya, beliau ternyata mantan murid
sekolah rakyat dan mengenal Lasminingrat dan Poernamaningrat.
“ Bangunan yang sama Cuma kayu buat atap, kursi dan lemarinya karena
kayu yang digunakan adalah kayu jati asli makannya awet mba, ruangan
kelasnya ditambah 2 yang awalnya lima dan kantornya ditaruh diatas kelas
mba. Wajar kalo murid-murid SDN Regol VII dan X soalnya mereka ga
dikenalkan dengan Lasminingrat, dipelajarannya ga ada, peringatannya juga
ga pernha ada mba.”
Dari penjelasan diatas bisa dipahami mengapa sampai murid yang bersekolah
di gedung yang didirikan oleh Lasminingrat samapi tidak pernah memperingati
bahkan tidak mengenal Lasminingrat. Deddy dalam bukunya menjelaskan karena
pandangan Moesa yang liberal itu banyak yang menganggap bahwa Moesa sebagai
seorang oportunis dan ambisius. Kedekatannya dengan pemerintah kolonial dianggap
sebagai penjilat, dan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Pada
tahun 1876 muridnya mncapai sekitar seratus orang dan sekolah Eropanya menerima
subsidi dari pemerintah sebesar 100 gulden per bulan. (Deddy,2011: 37).
Penulis pun sulit mendapatkan data-data sekolahnya seperti yang ada di
lampiran. Jadi di simpulkan bahwa banyak masyarakat Garut yang tidak mengenal
Lasminingrat, yang mengenal beliau malahan seorang penjaga sekolah yang mungkin
tidak begitu penting perannya dalam sekolah, Sungguh kenyataan yang miris.