Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 16

BAB IV

KONTRIBUSI PEMIKIRAN RADEN AYU LASMININGRAT DALAM


PENDIDIKAN PEREMPUAN

A. Kontribusi Pemikiran Raden Ayu Lasminingrat Terhadap Pendidikan


Perempuan
1. Kondisi pendidikan pada zaman Belanda
Muhammad Rifai dalam bukunya menerangkan sejaah pndidikan Nasional dari
klasik hingga modern (2011), menjelaskan bahwa jenis pendidikan Islam pada
zaman perdagangan adalah:
a. Pendidikan Langgar
Hampir di setiap desa di Pulau Jawa terdapat tempat peribadahan. Di tempat
tersebut, umat Islam dapat melakukan ibadahnya sesuai denga perintah agamanya.
Tempat tersebut dikelola seorang petugas yang disebut “amil”, “modin”, “lebai”
(Sumatera). Petugas tersebut bertugas ganda; yaitu memimpin dan memberikan do’a
pada waktu hajat upacara keluarga atau desa, dan jugga bertugas sebagai pendidik
agama. Apa yang diajarakan di langgar merupakan pelajaran agama dasar, mulai dari
pelajaran dalam huruf Arab, tapi tak jarang pula dilakukan secara langsung mengikuti
guru dengan menirukan apa yang telah dibacakan dari kitab Al-Qur’an. Tujuan
pendidikan dan pengajaran di langgar adalah murid dapat membaca dan lebih tepat
melagukan menurut irama tertentu seluruh isi Al-Qur’an. Pola pengajarannya dengan
jalan; murid-murid diajar secara individual, yaitu menghadap para guru satu persatu.
Sementara murid-murid lain yang belum mendapat giliran maju menghadap guru,
duduk bersila melingkar dengan tetap berlatih melagukan ayat-ayat suci. Dalam hal
ini guru melakukan koreksi kepada bacaan murid-murid yang salah melafalkannya.
Pelajaran biasanya diberikan pada pagi hari (setelah shubuh) atau petang hari
(sesudah atau sebelum maghrib). Proses tersebut biasa selesai atau dapat diselesaikan
selama beberapa bulan, tetapi umumnya sekitar 1 tahun. Para santri yang belajar di
langgar tersebut tidak dipungut biaya uang sekolah. Kalaupun ada uang sekolah yang
diberikan itu tergantung kepada kerelaan orangtua murid yang dapat memberikan
tanda mata berupa benda-benda “in natura” atau uang. Sementara kalau orangtuanya
miskin, anaknya dapat mengikuti pelajaran tanpa membayar. Sesudah murid
58
menyelesaikan pelajaran dalam arti tamat membaca Al Qur’an, biasanya diadakan
selamatan dengan mengundang makan teman-teman murid atau kerabat dekat, di
rumah guru atau di langgar. Hubungan antara murid dan guru pada umumnya
berlangsung terus walaupun murid kemudian meneruskan pendidikan pada lembaga
pendidikan yang lebih tinggi. (Depdikbud, 1985: 64-65).
b. Pendidikan Pesantren
Di dalam sistem pengajaran pesantren ini, para santri yaitu murid–murid yang
belajar di asramakan dalam suatu kompleks yang dinamakan “pondok”. Pondok
tersebut dapat dibangun atas biaya guru yang bersangkutan ataupun atas biaya
bersama dari masyarakat desa pemeluk agama Islam. Di samping pondok pesantren
tersebut juga terdapat tanah bersama yang dipergunakan untuk usaha bersama antara
guru dan santri. Para santri belajar pada bilik-bilik terpisah dan belajar sendiri-sendiri,
tetapi sebagian besar waktunya dipergunakan untuk bekerja di luar ruangan, baik
untuk membersihkan ruangan, halaman atau bercocok tanam. Mereka pada umumnya
telah dewasa dan dapat memenuhi kebutuhan sendiri, baik dari bantuan keluarganya,
atau telah mempunyai penghasilan sendiri. Adakalanya, untuk memenuhi kebutuhan
pesantren secara keseluruhan, para santri kerap bergerak ke luar pesantren untuk
mencari dana pada umat Islam. Dan pada umunya masyarakat dengan sukarela dan
hati terbuka memberikan dana atau materi yang diperlukan. Besar kecilnya atau dalam
dangkalnya bahan studi yang diberikan pada pesantren tergantung pada kiai dan
pondok pesantren tersebut. Ada pondok pesantren yang diikuti oleh 8 sampai dengan
10 orang.
Akan tetapi, ada pula pesantren yang diikuti oleh ratusan murid. Luas dan
sempitnya bahan studi tidak sama, tetapi semuanya telah mendapatkan pendidikan
dasar pada langgar-langgar setempat. Lama berlangsungnya pendidikan di pesantren
juga tidak sama. Ada yang belajar hanya satu tahun, tetapi ada pula yang belajar
bertahun-tahun hingga 10 tahun atau bahkan lebih. Gambaran mengenai pelajaran
pada pesantren sehari-hari, diperkirakan sebagai berikut: Pada waktu shubuh di pagi
hari setelah sembahyang, para santri melakukan pekerjaan kerumah-tanggaan untuk
kepentingan guru, seperti membersihkan halaman, mengerjakan sawah atau ladangg,
mengisi bak kamar mandi, dan sebagainya.
Harus diingat bahwa guru tidak memperoleh imbalan dari para murid secara
teratur. Sesudah itu, baru diberikan pelajaran utama diseling dengan belajar sendiri.
Pada siang hari, murid-murid beristirahat dan pada waktu petang, belajar melakukan
ibadah agamanya, yaitu sembahyang (shalat). Pelajaran utama yang diberikan adalah
dogma keagamaan (ushuluddin), yaitu dasar kepercayaan dan keyakinan Islam, dan
fiqih: yaitu kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan bagi pemeluk agama Islam,
meliputi; 1. Syahadat, yaitu mengucapkan kalimat bahwa tidak ada Tuhan yang harus
disembah kecuali Allah dan Nabi Muhammad adalah utusannya. 2. Menjalankan
shalat. 3. Membayar zakat kepada fakir miskin. 4. Berpuasa pada bulan Ramadhan. 5.
Pergi naik haji bagi yang mampu. Dalam kompleks pesantren terdapat tempat
kediaman para guru beserta keluarganya dengan semua fasilitas rumah tangga dan
tidak ketinggalan masjid yang dipelihara dan dikelola bersama. Pendidikan dan
pengajaran di langgar dan di pesantren adalah suatu sistem yang diketemukan di
Jawa. Di Sumatera khususnya di daerah Minangkabau, terdapat suatu sistem yang
berada di antara sistem tersebut. Pendidikan dan pelajaran agama yang diberikan
melalui suaru-surau yang sebenarnya sama saja dengan langgar atau masjid di Jawa.
Perbedaan antara pendidikan dasar dan lanjutan seperti yang ada di Pulau Jawa tidak
nampak walaupun ada surau-surau kecil yang memberikan pelajaran secara mendasar.
Sementara di Aceh terdapat suatu sistem yang mirip dengan surau di Sumatera Barat,
dinamakan “rangkang”. Sama halnya denga langgar atau di surau, para murid duduk
di sekelilingi guru, kemudian diajar serta dijelaskan satu per satu menurut gilirannya
(Depdikbud, 1985: 65-68).
c. Pendidikan Madrasah
Kemunculan pendidikan Islam di Indonesia tipe madrasah menurut data dari buku
terbitan Depdikbud dihubungkan dengan sosok seorang menteri terkenal dari dunia
Arab bernama Nizam el-Mulk (abad ke-11) sebagi pendiri lembaga pendidikan
madrasah. Tokoh ini mengadakan pembaruan dengan memperkenalkan sistem
pendidikan yang semula bersifat murni teologi (ilmu ketuhanan) dan menambahkan
ilmu-ilmu yang bersifat keduniawian, seperti astronomi (ilmu perbintangan) dan ilmu
obat-obatan. Di dalam perkembangannya, madrrasah ini ada yang berjenjang sejajar
dengan pendidikan dasar dan menengah. Jika dibandingkan antara sistem pendidikan
di pesantren dan madrasah terlihat bahwa pendidikan di pesantren hubungan antara
guru dan murid masih terpengaruhi ciri-ciri khas perguruan di India yang berasal dari
sistem pendidikan Hindu. Guru-guru tidak dibayar langsung dan tunai, tetapi murid
harus bekerja bagi kepentingan guru dalam arti untuk kepentingan rumah tangga atau
keperluan sehari-hari guru.
Pencarian dana untuk keperluan pesantren kepada umat Islam juga identik dengan
cara kaum biarawan Hindu atau Buddha mencari dana bagi keperluan biaranya. Di
madrasah guru-guru diperkenankan menerima imbalan dalam bentuk uang tunai
secara tetap dari orangtua murid. Selain itu, pesantren pendidikan dan pengajaran
keagamaan masih bersifat tetap dominan dibandingkan dengan ilmu pengetahuan
lainnya. Hubungan antara guru dan murid, baik dalam surau, rangkang, langgar atau
pesantren pada umumnya bersifat kekal. Bekas murid akan selalu menghormati bekas
gurunya dalam keadaan bagaimanapun juga. Ciri-ciri tersebut terdapat pula pada
perguruan di India. Pada pendidikan di madrasah, hubungan antara guru dan murid
agak longgar dan tidak mendalam seperti halnya di pesantren
Pada waktu Pemerintahan Hindia Belanda, pendidikan baru diberikan kepada
anak-anak perempuan Eropa, itu pun hanya untuk kalangan atasan dan syarat untuk
masuk sekolah tersebut harus dapat berbicara bahasa Belanda. Sekolah ini bertujuan
memberikan pendidikan kesusilaan dan pengetahuan, lama pendidikan tiga tahun atau
tiga tingkatan. Tahun 1876 di Batavia (Jakarta) dibuka sebuah sekolah untuk anak-
anak gadis Eropa. Sekolah ini merupakan sekolah khusus perempuan yang pertama di
Indonesia. Tahun berikutnya sekolah perempuan akan dibuka di tempat-tempat di
mana perhatian anak-anak gadis cukup untuk menjadi muridnya. Maka sekolah-
sekolah itu dibuka di Semarang, Surabaya dan Padang. Pelajaran yang diberikan
berupa pelajaran umum yang terdapat di sekolah rendah serta pendidikan kewanitaan
dan bahasa Perancis. Sedangkan pendidikan untuk anak-anak gadis bangsa Indonesia
dengan sendirinya selama ini tidak diperhatikan.
Pada umumnya pendidikan anak-anak Indonesia secara tradisional didapat dari
pesantren- pesantren yang menitik beratkan pada pendidikan agama. Di zaman
Kompeni Belanda tidak memperhatikan pendidikan anak-anak pribumi, baru pada
masa Pemerintahan Hindia Belanda tahun 1849 ke sekolah dasar tiga tahun, disusul
kemudian dengan dibukanya sekolah guru pada tahun 1852. Sekolah dasar yang
dibuka untuk anak Indonesia terbagi menjadi dua macam, yang pertama adalah
sekolah kelas satu sekolah yang diperuntukkan anak-anak bangsawan dan orang
berada, Sedangkan sekolah kelas dua adalah sekolah yang dibuka untuk rakyat umum.
Perkembangan sekolah tersebut terhambat oleh kekurangan biaya dan tenaga
pengajar. Kesulitan-kesulitan ini dapat diatasi dengan dibukanya sekolah desa, yang
pembiayaannya tergantung dari desa yang bersangkutan. Sekolah desa ini
memberikan pendidikan selama tiga tahun dan selama dua tahun menampung anak-
anak pribumi didaerah pedalaman. Pengajaran diberikan dalam bahasa daerah. Di
antara murid-murid yang memasuki sekolah tersebut, sedikit sekali jumlah anak-anak
perempuan yang ikut menikmati kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Hal ini
disebabkan oleh pandangan orang tua dari perempuan-perempuan tadi yang
berkeberatan memasukan anak- anak mereka dengan berbagai alasan antara lain :
a. Pendidikan sekolah anak perempuan dirasa tidak perlu;
b. Anak perempuan lebih pantas berada didalam rumah tangga dan terutama
ditakdirkan untuk melanjutkan keturunan;
c. Pelajaran-pelajaran yang diberikan tidak banyak berbunga bagi perempuan
pribumi;
d. Anak-anak perempuan tidak bekerja sehingga pengetahuan yang didapat di
sekolah tidak berguna, mereka hanya memerlukan pendidikan mengenai
penyelenggaraan rumah tangga;
e. Orang tua takut bahwa wibawa orang tua akan berkurang, terutama dalam
menentukan perkawinan.

Itulah sebabnya jumlah anak perempuan yang masuk sekolah pada tahun 1878
hanya 25 orang, diantara 12.448 dari anak laki-laki. Sedangkan pada tahun 1897
jumlahnya meningkat menjadi 301 orang di antara murid laki-laki yang berjumlah
24.732 orang (Wiriaatmadja, 1986 : 63). Dengan demikian pendidikan perempuan
pada zaman Kolonial Belanda sampai Zaman Pemerintahanan Hindia-Belanda belum
dapat maksimal. Oleh karena itu Raden Ayu Lasminingrat datang sebagai perintis
pendidikan perempuan di Indonesia dengan cara memnuangkan pemikirannya tentang
pendidikan perempuan dengan membuat sakola kautamaan istri pertama kali pada
zaman itu sebelum Dewi Sartika.

Dihari kedua di Garut penulis mencoba menemui pak Deddy Effendie Tp. M.
Hs dirumah kediamanannya pada tanggal 21 Juni 2016 pukul 17.00 samapi dengan
selesai, Deddy adalah seorang sejarawan yang pernah menulis buku Raden Ajoe
Lasminingrat Perempuan Intelektual Pertama di Indonesia. Sebagai seorang
sejarawam sekaligus kerabat Lasminingrat, tentu Deddy mengetahui betul bagaimana
perjuangan Lasminingrat terhapa pendidikan perempuan.

“ Pada 5 Januari 1808-15 Mei 1811 Gubernur Jendral Herman Willem


Daendels pada awal pemerintahannya di Hidia Belanda mengeluarkan
keputusan : memerintahkan kepada para Bupati untuk mendirikan sekolah.
Tapi nampaknya keputusan itu setengah hati atau tidak mendapat respon yang
baik dari para Bupati karena mereka sendiri tidak memahami tentang sekolah,
hingga akhir kepemimpinna Daendels mimpi itu tidak terwujud. Pada
tahun1818 Gubernur Jendral G.A.G.Ph Baron van der Capellen menetapkan
peraturan pemerintah bahwa pemerintah wajib memberikan fasilitas
pendidikan untuk anak-anak bumiputera sama dengan yang diberikan kepada
anak-anak Eropa. Dia mendirikan sekolah di Karawang, Cianjur dan Pasuruan,
saat itu bangunan yang dibangun sangat sederhana dan hanya menyediakan
seorang guru yang mengajar baca tulis aksara Belanda kepada murid yang
jumlahnya sangat sedikit selama beberapa jam sehari. Sedangkan untuk anak
jajahan lebih suka menyekolahkan anak-anaknya ke pesantren dan belajar
baca tulis aksara arab (pegon) atau aksara Jawa (cacarakan).

Nasution dalam bukunya menjelaskan bahwa selama setengah abad ke-18


pertama pemerintah Belanda tak satu sekolah pun menyediakan bagi anak-anak
Indonesia. Alasan yang diberikan ialah agar menghormati bumiputera serta lembaga-
lembaga mereka dengan membiarkan penduduk di bawah bimbingan pemimpin
mereka. Alasan lain ialah kesulitan finansial yang berat yang dihadapi orang belanda
akibat perang Diponegoro (1825-1830) yang mahal dan dan menelan banyak korban
itu serta peperangan antara Belanda dan Belgia (1830-1839)

Tidak semua anak bisa sekolah di sekolah yang didirikan itu, lembaga
pendidikan itu hanya diperuntukan bagi anak laki-laki kelompok menak usia
10 sampai 18 tahun seperti anak Bupati, patih, jaksa, Hoffd-penghulu, agen
komisi penanaman kopi dan kepala distrik, mereka dalah kelompok strategis
sebagai pejabat penting dibidang ekonomi dan administrasi pemerintah
kolonial. Sekolah untuk perempuan sama sekali belum ada.
Penerimaan murid dipengaruhi oleh tujuan sekolah.

Nasution memiliki pandangan yang sama seperti Deddy, Nasution


menjelaskan dalam bukunya bahwa sekolah-sekolah pertama di Jawa dimaksud untuk
mendidik pegawai pemerintah. Konsekuensinya dua macam. Pertama, hanya anak
laki-laki yang diterima dan kedua, anak priyayi diberikan prioritas utama. Maka anak-
anak perempuan mengalami berbagai macam rintangan dalam mengikuti kegiatan
pendidikan formal. Agama Islam, agama mayoritas penduduk Jawa pada masa itu
masih ortodoks dan menentang pendidikan formal untuk gadis-gadis.
Selain penerimaan murid menurut jenis kelamin terdapat pula kebijakan
penerimaan murid menurut kedudukan sosial seperti memberikan prioritas pada anak-
anak priyayi untuk memenuhi kebutuhan mereka akan pegawai. Pada waktu sekolah
menyediakan tempat yang lebih banyak daripada yang dapat di isi oleh anak kaum
ningrat karena itu anak orang baisa makin banyak mmasuki sekolah. Pada tahun 1888
sejumlah 5.824 atau 16% dari murid adalah aristrokasi dan pegawai yang dipandang
sebagai priyayi sedangkan 84% dari anak-anak dari kalangan orang biasa.

Keadaan perempuan kita masa itu masih terkungkung dengan


“kepamalian” apapun yang kita lakukan mesti memiliki hukum pamali itu,
seperti hal kecil yang mungkin neng pernah alami larangan duduk di depan
pintu katanya nanti lamaran laki-laki bisa balik lagi, sebenarnya nenek
moyang kita saat itu ingin memberikan perintah jangan menghalangi orang
lewat, kalo kita duduk didepan pintu pasti orang mau lewat susah kan, tetapi
biar pada mau dengerin makannya dibilang pamali. sedangkan banyak
pekerjaan yang harus laki-laki kerjakan makannya ga ada yang mau nganter
jadinya banyak perempuan yang susah keluar rumah. Paradigma keluarga
Jawa atau Indonesia pada masa itu masih mengutamakan anak laki-laki untuk
mendapatkan pendidikan dibanding anak perempuannya, para orang tua masih
berpikiran anak perempuan mereka cukup bisa masak, nyapu, ngurus anak,
ngurus suami dirumah. Mereka tidak tahu bahwa pekerjaan yang mereka
sebutkan tadi pun memerlukan pembelajaran, bukan yang semua perempuan
bisa lakukan toh. Keprihatinan beliau terhadap saudara-saudara
perempuannya, teman perempuannya memacu Lasminingrat membuat satu
gebrakan besar yaitu mendirikan satu sekolah khusus perempuan, melihat
kepeloporan lasminingrat dengan zamannya itu sungguh melebihi kapasitas
akal dan keberanian teman-temannya.”

Hal yang diungkapkan oleh Deddy diatas selaras dengan Nasution dalam
bukunya yang berjudul sejarah pendidikan Indonesia, Nasution menjelaskan bahwa
Adat istiadat tradisional juga kurang mneyetujui pendidikan untuk kaum wanita.
Penduduk sendiri melihat tidak ada manfaat untuk mendidik gadis-gadis dengan cara
yang sama dengan kaum pria. Gadis-gadis memiliki peranan penting terhadap rumah
tangga dan di sawah. Maka karena itu jumlah murid pria jauh lebih banyak dibanding
murid perempuan. Pada tahun 1877 hanya 25 anak wanita terdaftar di sekolah
pemerintah di banding dengan 12.498 anak pria. Pada tahun 1888 terdapat 30.767
anak laki-laki akan tetapi hanya 276 anak perempuan di sekolah. Jika dilihat dari
tahun 1877 sampai 1888 terdapat peningkatan untuk kaum perempuan mengenyam
pendidikan walaupun halanga-halangan sosial masih terlampau kuat untuk
mengijinkan anak wanita menikmati kesempatan belajar yang sama seperti anak pria.
Penulis dapat menyimpulkan bahwa sejarah pendidikan di Indoensia pada
masa kolonialisme masih bias gender, selain dari adat istiadat yang melarang
perempuan melakukan aktivitas diluar rumah yang mereka anggap tidak penting
seperti bersekolah, sistem pemerintahan pada masa itu hanya memikirkan kepentingan
individu dan kelompok mereka saja. Oleh sebab itu sekolah diperuntukan untuk
kalangan menak dan juga laki-laki yang menurut mereka lebih mampu melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang disiapkan oleh pemerintah kolonial

2. Kontribusi Pemikiran Raden Ayu Lasminingrat


Penulis mengawali penelitian dengan mewawancarai bapak Wawan Somarwan
selaku ketua Dinas Kebudayaan pada tanggal 20 Juni 2016 pukul 08.00 sampai
dengan selesai di kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Garut. Dalam wawancara
tersebut Wawan menjelaskan tentang kontribusi pemikiran Raden Ayu Lasminingrat
dalam pendidikan perempuan.
“ Raden Ayu Lasminingrat memiliki peran yang sangat penting terhadap
kemajuan pendidikan, pada zamannya masih sangat sulit sekali orang pribumi
mengenyam pendidikan, sekedar untuk masuk kekelas pun tidak boleh, karena
sekolah pertama yang didirikan pada saat itu hanya untuk anak-anak koloni, orang
pribumi yang boleh merasakan pendidikan hanya anak-anak berdarah biru yang
orang tuanya menduduki kursi pemerintah Belanda dan yang mendukung
pemerintah kolonial pada saat itu. Kalo boleh saya sombong saya bisa mengatakan
bahwa beliau adalah pahlawan pertama yang memperjuangkan pendidikan di
Indonesia, jauh sebelum Dewi Sartika.”

Menurut Ahira kontribusi berasal dari bahasa Inggris yaitu Contribute,


Contribution yang artinya adalah keikutsertaan, keterlibatan, melibatkan diri
maupun sumbangan. Berarti dalam hal ini kontribusi dapat berupa materi atau
tindakan. Hal yang bersifat materi misalnya seorang individu memberikan
pinjaman terhadap pihak lain demi kebaikan bersama. Kontribusi dalam
pengertian sebagai tindakan yaitu berupa perilaku yang dilakukan oleh individu
yang kemudian memberikan dampak baik positif maupun negatif terhadap pihak
lain.
Menurut penulis jika di sinkronkan dengan teori Ahira diatas Lasminingrat
sudah memberikan kontribusi yang nyata dengan mendirikan sakola kautamaan
istri di Garut yang dikhususkan untuk kaum perempuan.
Kata merdeka dimaksudkan untuk kebebasan, bebas mengutarakan pendapat,
bebas memilih, bebas dipilih dan bebas menerima pendidikan yang layak untuk
menunjang kehidupannya. Lasminingrat lahir pada zaman belum merdeka,
merdeka dengan sebenar-benarnya, mungkin Soekarno sudah mengikrarkan
proklamasi tetapi rakyatnya pada kenyataan sekarang belum benar-benar merdeka.
Masih banyak perempuan teman sebayanya tidak bisa atau lebih tepatnya tidak
boleh belajar menulis, membaca, mengerjakan pekerjaan rumah dengan baik
seperti seharusnya seorang istri. Oleh karena itu Lasminingrat hadir dengan niat
yang mulia untuk mencerdaskan kaumnya.
Selain tentang kontribusi Lasminingrat terhadap pendidikan perempuan,
penulis juga menanyakan tentang kontribusi pemerintah Garut terhadap pahlawan
perempuan yang memperjuangkan pendidikan di Garut.
“ Kami sudah mencoba untuk mengajukan R.A Lasminingrat sebagai
pahlawan Nasional seperti halnya Kartini dan kawan-kawan, tetapi bukti
perjuangannyanya terhadap pendidikan masih belum cukup untuk bukti
kepahlawanannya itu. Tetapi kami menjadikan gedung wanita di Garut
menjadi gedung Raden Ayu Lasminingrat, itu salah satu upaya dan pengakuan
masyarakat Garut terhadap kontribusi Lasminingrat terhadap pendidikan.
Kami memang belum melakukan banyak untuk membayar jasa beliau, karena
keterbatasan kami dan keterbatasan bukti untuk menjadikannya pahlawan
Nasional. Belum ada perayaan untuk memperingatai kepahlawannya mba. Dan
buku-buku karya beliau Saya kurang tahu tentang itu, lebih baik mba pergi
bertemu dengan pak Deddy Effendi seorang sejarawan yang pernah
menuliskan buku yang bejudul Raden Ajoe Lasminingrat. Beliau juga masih
sanak keluarganya.
Menurut analisa penulis, pemerintah Garut pada saat ini masih tidak
memberikan perhatian yang maksimal untuk pahlawan perempuan Garut tersebut,
yang memperjuangkan Lasminingrat untuk menjadi pahlawan nasional saja bukan
timbul dari pemerintah itu sendiri melainkan inisiatif dari para sejarawan Garut dan
keluarga-keluarga Lasminingrat yang masih hidup. Jika saja pemerintah memberikan
perhatian sedikit lebih banyak, bukan tidak mungkin dua karya Lasminingrat yang
sekarang berada di perpustakaan nasional Autralia dapat kembali pulang ke tanah air.

Kemudian penulis mempertanyakan tentang pengetahuan dan pemahaman


Lasminingrat terkait gender. Karena gender muncul di Amerika pada tahun 1776 Raden
Ayu Lasminingrat lahir di Indonesia tahun 1843, apa mungkin dengan keterbatasan media
pada masa itu Lasminingrat sudah mampu memahami konsep pendidikan gender.

“Dengan pergaulan dan didikan dari Holle yang seorang warga Belanda
mungkin beliau memahami arti gender itu, tetapi beliau tidak meninggalkan
budaya Sunda, seperti pakainnya belaiu berpakaian layaknya perempuan ningrat
Sunda dengan kebayanya. Kebebasan dalam berpikir dan bergerak didapatkannya
dari suami keduanya R.A.A Wiratanoedatar VIII yang saat itu menjabat menjadi
Buapti Garut pertama, suaminya sangat mendukung kegiatan-kegiatan
Lasminingrat di bidang pendidikan. Walaupun setelah menikah dengan R.A.A
Wiratanoedatar VIII Lasminingrat sempat berhenti sejenak ditengah kegiatana
mengajar di sekolah yang didirikan ayahnya tetapi nalurinya tidak bisa dibohongi
bahwa beliau sangat peduli dengan pendidikan perempuan, maka beliau berjuang
dengan mendirikan ssekolah yang dinamainya sakola kautamaan istri.”

Dari uraian diatas berbeda dengan pandangan Shihab dalam bukunya


menjelaskan bahwa geder (kesetaraan muncul bukan dari tahun 1776 oleh perempuan
Amerika melainkan perempuan di zaman Nabi SAW. menyadari benar kewajiban
menuntun ilmu, sehingga mereka memohon kepada Nabi agar beliau bersedia
menyisihkan waktu tertentu dan khusus untuk mereka agar dapat menuntut ilmu
pengetahuan. Permohonan ini tentu saja dikabulkan oleh Nabi Muhammad SAW. Al-
Quran memberikan pujian kepada ulul albab, yang berzikir dan memikirkan kejadian
langit dan bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut hal tersebut mengantarkan manusia
mengetahui rahasia-rahasia alam raya.
Mereka yang dinamai ulul albab tidak terbatas pada kaum lelaki saja,
melainkan juga kaum perempuan. Hal ini terbukti dari lanjutan ayat di atas, yang
menguraikan tentang sifat-sifat ulul albab. pengetahuannya dalam berbagai bidang
ilmu pengetahuan, sehingga menjadi rujukan sekian banyak tokoh lelaki. Istri Nabi,
Aisyah R.A., adalah salah seorang yang mempunyai pengetahuan sangat dalam serta
termasyhur pula Sejarah membuktikan bahwa banyak wanita yang sangat menonjol
sebagai seorang kritikus, sampai-sampai ada ungkapan terkenal yang dinisbahkan
oleh sementara ulama sebagai pernyataan Nabi Muhammad SAW: Ambillah
setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira, (yakni Aisyah). Demikian
juga As-Sayyidah Sakinah putri Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib. Kemudian, Al-
Syaikhah Syuhrah yang bergelar “Fakhr Al-Nisa”, (Kebanggaan Perempuan) adalah
salah seorang guru Imam Syafi'i, tokoh mazhab yang pandangan-pandangannya
menjadi panutan banyak umat Islam di seluruh dunia. Selain itu wanita yang
mempunyai kedudukan ilmiah yang sangat terhormat ialah Al-Khansa' dan Rabi'ah
Al-Adawiyah.
Menurut analisis penulis yang melakukan wawancara langsung ke tempat
kelahiran Lasminingrat dan mendapatkan kesimpulan bahwa kecerdasan dan
kepekaan yang dimiliki Lasminingrat mampu merasakan dan menganalisis apa
kebutuhan dari perempuan pada saat itu, selain kebutuhan sandang, pangan, papan.
Kemudian penulis memberikan pertanyaan terkai keberadaan buku-buku karya
Lasiningrat dan keadaannya sekarang kepada Deddy yang dulu juga pernah meneliti
jejak kepahlawanannya.
“Beliau menterjemahkan tiga buku dalam bahasa Sunda dan
memasukkan nuansa Islami, tiga buku itu berjudul Tjarita Erman yang
sekarang berada di perpustakaan Nasional RI di Jakarta dan buku berjudul
warnasari aksara Walanda dan warnasari aksara Sunda-Jawa yang sekarang
berada di perpustakaan Nasional Australia. Kurangnya perhatian warga
Indonesia terhadap budayanya menyebabkan harta berharga peninggalan
pahlawan banyak yang tidak di Inonesia, seperti halnya dua buku ciptaan
beliau itu. Itulah salah satu alasan kenapa R.A Lasminingrat sulit diajukan
menjadi pahlawan Nasional, karena tulisan yang diktahuai hanya ada satu.
Padahal kalo boleh saya komentar, Kartinipun hanya menulis dua surat dan
surat lainnya yang seperti di buku habis gelap terbitlah terang bukan asli
tulisan Kartini.”

Kurangnya kepedulian pemerintah dan masyarakat Indonesia khususnya Garut


membuat salah satu bukti berharga yang mampu membuat R.A Lasminingrat diajukan
menjadi pahlawan nasioanal seperti Kartini dan Dewi Sartika hilang diambil oleh
penjajah, dan akhirnya sekarang Lasminingrat tidak bisa diajukan menjadi pahlawan
nasioanl lagi karena maksimal pengajuan kepahlawanan seseorang hanya boleh
maksimal tiga kali dan Lasminingrat sudah diajukan tiga kali dan masih ditolak.
Kemudian penulis mewawancarai Deddy terkait kontribusi pemikiran R.A
Lasminingrat terhadap pendidikan perempuan Indonesia.

” Pada tahun 1874 Hoofd-penghulu Limbangan R.H Moehamad Moesa yang


tidak lain adalah ayah kandung Lasminingrat untuk pertamakalinya melakukan
sebuah gerakan yang cukup berani dengan mendirikan sekolah Eropa yang
dibiayainya sendiri, serta sokongan dari beberapa kelompok menak
Limbangan. Disekolah tersebut anak bumiputra dan anak Eropa diperbolehkan
belajar bersama, berlaku pula untuk anak-anak perempuan. Muridnya
mencapai 100 orang, jumlah yang luar biasa untuk zaman itu, pada tahun 1876
sekolah Moesa mendapat subsidi dari pemerintah sebesar 100 gulden per-
bulan.

Pernyataan diatas selaras dengan buku yang berjudul Raden Ajoe


Lasminingrat perempuan intelektual pertama, bahwa memang Moesa mendirikan
sekolah Eropa (Bijzondere Europeesche School) yang pertama dilakukan oleh
pribumi, pada tahun 1874 dengan mendatangkan dua orang guru Eropa dan pribumi
laki-laki dan perempuan diperbolehkan belajar bersama dalam satu kelas.
(Deddy,2011: 36). Satu tindakan yang luar biasa yang dilakukan oleh seorang Ulama
Islam terkemuka pada zamannya. Karena kebanyakan dari mereka lebih suka belajar
di pesantren dibandingkan belajar disekolah umum yang mengajarkan ilmu orang-
orang kafir. Karena pandangan Moesa yang liberal itu banyak yang menganggap
bahwa Moesa sebagai seorang oportunis dan ambisius. Kedekatannya dengan
pemerintah kolonial dianggap sebagai penjilat, dan dimanfaatkan untuk kepentingan
pribadi dan keluarganya. Pada tahun 1876 muridnya mncapai sekitar seratus orang
dan sekolah Eropanya menerima subsidi dari pemerintah sebesar 100 gulden per
bulan.

Keberanian ayahnya itu menginspirasi Lasminingrat untuk melakukan


hal yang sama, pada tahun 1907 R.A Lasminingrat mendirikan sekolah yang
kautaman istri di Kabupaten Garut. Sekolah itu pada awalnya dilaksanakan di
pendopo dengan menggunakan ruangan gamelan. Untuk pertama kalinya
murid-muridsekolah kautaman istri diambil dari lingkungan keluarga dalem,
keluarga Lasminingrat yang memiliki anak perempuan wajib menyekolahkan
anaknya. Setelah perjuangan Lasminingrat itu menyebar luas beritanya maka
di tanah pasundan ada beberapa sekolah khusus perempuan.
Kecintaannya terhadap pendidikan orang-orang pribumi sangat jelas
ditunjukkan, di tempat pengungsian Waas Pojok Bayongbong mantan ibu
Dalem Garut itu tidak berpangku tangan, beliau bergaul dan berbaur dengan
masyarakat setempat, memberikan kasih sayang kepada anak-anak dan
mengajar mengaji di masjid. Kesaksian itu diutarakan oleh Maksun (65 tahun)
yang ketika bayi pernah mendapat belaian kasih sayang dari Lasminingrat.”

Dari penelitian yang dilakukan penulis maka penulis menyimpulkan bahwa


Lasminingrat sudah berkecimpung di dunia pendidikan sejak dia masih remaja,
dengan mengabdikan dirinya sebagai pengajar di sekolahan yang didirikan oleh
ayahnya, kemudian dengan tekad yang bulat Lasmingrat membuat sekolahnya sendiri
yang diberi nama sakola kautamaan istri yang khusus diperuntukkan oleh perempuan.
Lasminingrat sudah menggunakan prosedur-prosedur untuk membangun bangunan
sekolahnya dengan mngajukan kepada pemerintah Belanda.

B. Perkembangan Sakola Kautamaan Istri Sampai Menjadi SDN Regol VII dan X
1. Sakola Kautamaan Istri
Pada tahun 1910 Sakola Istri bergati nama menjadi Sakola Kautamaan Istri.
Diambil dari nama perkumpulan bentukan Residen Priangan yang mendukung
pengembangan dan pembangunan sekolah wanita bumi putera saat itu. Orang-orang
dalam perkumpulan itu di antaranya Bupati Bandung, R. Kanduruan Agah
Suriawinata (Isteri Bupati), De Hamer (Inspektur Kantor pengajaran atau
Pendidikan), Nyi. R. Uwid, Nyi Mas Purwa (kawan pengajar), R.A.A.
Wiranatakusumah (Bupati Bandung yang menggantikan Martanagara tahun 1920),
Ny. Residen Tacoma, Ny. Ulje, Atmadinata, Surakusumah, Tuan Beets, Prof.
Boomstra, Kontrolir Van Der Leden, Perkumpulan Pasundan Istri, dan Kaum
Wanita Palembang (Ekadjati, 2014 : 72). Rencana pelajaran Sekolah Kautamaan
Istri disesuaikan dengan rencana pelajaran sekolah kelas dua pelajaran ketrampilan
kewanitaan masih diutamakan. Adapun mata pelajaran ketrampilan kewanitaan di
sekolah ini di antaranya pelajaran memasak, mencuci, menyetrika dan membatik.
Pada tahun 1907 R.A Lasminingrat tergerak hatinya untuk mendirikan sekolah
yang serupa seperti R.H Moehamad Moesa yang tidak lain adalah ayah kandungnya
di kabupaten Garut. Sekolah itu pada awalnya di laksanakan di lingkungan pendopo
dengan menggunakan ruangan gamelan. untuk pertama kalinya sekolah kautamaan
istri tersebut murid-muridnya diambil dari lingkungan keluarga dalem, keluarga
Lasminingrat yang memiliki anak perempuan menwajibkan untuk masuk sakola
kautamaan istri tersebut.
Kegiatan itu berkembang dan akhirnya pengelolaannya dibantu oleh
keponakannya R.A Surianingrum, pada tahun 1911 sakola kautamaan istri R.A
Lasminingrat pindah untuk menempati bangunan baru disamping pendopo
menghadap ke Jalan Kautamaan Istri (sekarang Jalan Renggalawe), muridnya
mencapai 200 orang dan memiliki 5 kelas. (Deddy, 2011:126). Lasminingrat
menempuh prosedur legal dalam pembuatan sakolah kautamaan istri, tidak seperti
Dewi Sartika yang menempuh persetujuan hanya lewat bupati Bandung dan
menggunakan dinding sebagai papan tulis tetapi Lasmingrat sudah memakai
prosedur dengan meminta ijin mendirikan gedung ke Gubernur Jendral yang diantar
langsung oleh Holle dan akhirnya disetujui dan langsung membuat sakola
kautamaan istri di Garut. Di sekolah Keutamaan Istri, murid-muridnya diajari cara
memasak, merapikan pakaian, mencuci, menjahit pakaian, dan segala hal yang ada
hubungannya dengan kehidupan berumah tangga. Tujuannya, supaya kelak saat
dewasa dan menikah, mereka bisa membahagiakan suami dan anak, juga
mengerjakan sendiri apa saja yang berhubungan dengan rumah tangga.
Sakola istri Raden Adjeng Dewi Sartika kemudian diganti namanya menjadi
sakola kautamaan istri. Sejak itu ditanah pasundang berdiri beberapa sekolah
khusus perempuan, antara lain di Tasikmalaya (1913), Sumedang (1916), Cianjur
(1916), Ciamis (1917), Cicurug (1918), Kuningan (1922), Sukabumi (1926). Diluar
pasundan tercatat berdiri sekolah khusus perempuan di Padangpanjang pada tahun
1915 .
Sakola kautamaan istri yang didirikan oleh Lasminingrat terus mendapat
sambuntan yang baik dari masyarakat Garut pada masa itu. Perkembangan yang
menggembirakan setelah medapat pengesahan dari pemerintah. Kemudian berdiri
cabang sakola kautamaan istri distrik Tarogong (letaknya disamping puskesmas
Tarogong), murid kesayangan R.A Lasminingrat yaitu R.A Poernamaningrat adalah
putra R.H Moehamad Musa dari istrinya Raden Ajoe Lendra Karaton ayah dari
Poernamaningrat yaitu Raden Ayu Lasminingrat jadi keponakannya sendiri yang
sekolah di kautamaan istri pada tahun 1909-1912. Sekolah ini akhirnya
mendapatkan pengesahan dari pemerintah Hindia Belanda pada 1913 melalui akta
nomor 12 tertanggal 12 Februari 1913. Tahun 1934 dipercaya untuk mengelola
sakola kautamaan istri Lasminingrat lalu membuka cabang di kota Wetan Garut,
Bayongbong dan Cikajang lalu sakola kautamaan istri perubah nama menjadi
sakola gadis dan diteruskan oleh Poernamaningrat. (Deddy: 2011: 118)
Jadi sakolah kautamaan istri didirikan pada tahun 1907 oleh Lasminingrat,
karena usia dan kesibukannya menjadi istri dari seorang bupati Garut maka sakola
kautamaan istri kepengurusannya dipindahkan dan diteruskan oleh murid
kesayangannya sekaligus keponakannya R.A Poernamaningrat dan berganti nama
menjadi sakola gadis.
2. SDN Regol VII dan X dan Kondisi Sekarang
Dalam perjalanannya Kautamaan Istri pun sempat berubah nama beberapa
kali. Menjadi Sekolah Rakyat pada zaman Jepang, kemudian tahun 1950 menjadi
SDN Ranggalawe I dan IV. Terakhir, nama sekolah tersebut menjadi SDN Regol
VII dan X. Nina Lubis menuturkan, beberapa meubeleur seperti lemari dan meja
peninggalan Lasmingingrat masih tersimpan di SDN Regol. Setelah suaminya
pensiun dari jabatan Bupati tahun 1915, Lasminingrat dan keluarga pindah ke
sebuah rumah di Regensweg yang sekarang Jalan Siliwangi. Tapi akan sia-sia jika
sekarang mencari rumah mana yang pernah dihuni Lasminingrat dan suaminya
setelah pensiun. Karena rumah tersebut kini sudah berganti menjadi departement
store di Jalan Siliwangi. Rumah tersebut ditinggalkan Lasminingrat saat mengungsi
ketika perang kemerdekaan. Rumah itu lalu dipakai sebagai markas Tentara
Republik Indonesia.
Ketika kembali dari pengungsian, ia memilih tinggal di sebuah rumah di Jalan
Tangsi. Lasmingingrat berpulang 10 April 1948 dan dimakamkan di belakang
Mesjid Agung Garut. Nama Lasminingrat selalu mencuat ketika ada pengajuan
pahlawan nasional. Namun, kabar terakhir dari Nina Lubis, Lasminingrat tak juga
disetujui menjadi pahlawan nasional. Bahkan, tambahnya, sekarang ada peraturan
seseorang tak boleh diajukan lebih dari dua kali. “Lasminingrat sudah tiga kali,”
ujarnya. Meski tak dinobatkan sebagai pahlawan nasional, toh jasa Lasminingrat
untuk pendidikan terutama di Garut tetap akan selalu dikenang. Mungkin, jika Anda
suatu saat belanja di satu departement store di Jalan Siliwangi Garut, Anda bisa
mengingat. Bahwa di tempat ini, dulu seorang perempuan hebat pernah tinggal.
(http://nosferatubook.blogspot.co.id/2010/11/lasminingrat-perempuan-hebat-dari-
garut.html. diunduh pada tanggal 27 Juli 2016 pukul 18:00 WIB).
Sekolah Dasar Negri Regol VII dan X ini benar-benar sudah melupakan
keberadaan Lasminingrat yang dulu mati-matian memperjuangkan untuk
mendirikan sekola kautamaan istri. Ketika saya mengunjungi sekolah tersebut tidak
ada yang mengenal nama Lasminingrat baik dari para gurunya maupun murid-
muridnya, padahal didepan gedung sekolah tersebut tertancap plang yang
menjelaskan bahwa sekolah itu dulu didirikan oleh R.A. Lasminingrat. Tetapi ada
satu orang yang masih mengenal Lasminingrat dan penulis mewawancarai beliau
pada tanggal 22 Juni 2016 yaitu penjaga sekolahnya, beliau ternyata mantan murid
sekolah rakyat dan mengenal Lasminingrat dan Poernamaningrat.

“ Bangunan yang sama Cuma kayu buat atap, kursi dan lemarinya karena
kayu yang digunakan adalah kayu jati asli makannya awet mba, ruangan
kelasnya ditambah 2 yang awalnya lima dan kantornya ditaruh diatas kelas
mba. Wajar kalo murid-murid SDN Regol VII dan X soalnya mereka ga
dikenalkan dengan Lasminingrat, dipelajarannya ga ada, peringatannya juga
ga pernha ada mba.”

Dari penjelasan diatas bisa dipahami mengapa sampai murid yang bersekolah
di gedung yang didirikan oleh Lasminingrat samapi tidak pernah memperingati
bahkan tidak mengenal Lasminingrat. Deddy dalam bukunya menjelaskan karena
pandangan Moesa yang liberal itu banyak yang menganggap bahwa Moesa sebagai
seorang oportunis dan ambisius. Kedekatannya dengan pemerintah kolonial dianggap
sebagai penjilat, dan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Pada
tahun 1876 muridnya mncapai sekitar seratus orang dan sekolah Eropanya menerima
subsidi dari pemerintah sebesar 100 gulden per bulan. (Deddy,2011: 37).
Penulis pun sulit mendapatkan data-data sekolahnya seperti yang ada di
lampiran. Jadi di simpulkan bahwa banyak masyarakat Garut yang tidak mengenal
Lasminingrat, yang mengenal beliau malahan seorang penjaga sekolah yang mungkin
tidak begitu penting perannya dalam sekolah, Sungguh kenyataan yang miris.

You might also like