Etika Profesi

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 12

Etika Profesi Arsitek dalam Perspektif Islam

Nurul Dalilla Djenaan1


1
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Indonesia
Jl. Dr. Setiabudi No.229
Email: nuruldalilla@upi.edu

Abstract: Humans as intelligent beings can determine good or bad behavior. The ability to
determine good or bad behavior is called ethics. Along with the times, ethics is an
important thing, especially in professional life. With ethics, humans can adapt to any
pressure. Humans of all backgrounds have their direction in ethics. Religion is one thing
that cannot be separated from ethical life. In Islam, ethics in work are regulated in such a
way in the Qur'an and the Sunnah of the Prophet. Every profession has a code of ethics for
the continuity of its professional life. In the architectural profession, the code of ethics is
made the official organization of the architect profession in Indonesia. This research
examines the code of ethics of the architect profession from the perspective of Islam. The
purpose of this study is to discuss Muslim architects regarding the code of ethics of the
architect profession from the perspective of Islamic work ethics. This research was
conducted with a normative juridical research type with a descriptive nature. The data
used is secondary data from various sources of scientific literature. This study shows that
the points of the code of ethics made by IAI are in line with work ethics in Islam. This can
be seen from the alignment of the code of ethics with verses in the Qur'an, hadith, and
terms in other Islamic religions. This can be an evaluation of Muslim architects to put
forward a code of ethics in their profession because the professional code of ethics has
values more than just written rules, but has values that are in harmony with the Islamic
perspective that can guide professional life in a better direction

.Keywords: Professional Ethics, Architect Professional Code of Ethics, Work Ethics in


Islam

Abstrak: Manusia sebagai makhluk berakal mampu menentukan tingkah baik atau buruk.
Kemampuan menentukan tingkah yang baik atau buruk ini disebut dengan etika. Seiring
perkembangan zaman, etika merupakan hal penting, khususnya dalam kehidupan
berprofesi. Dengan etika, manusia dapat beradaptasi di segala tekanan. Manusia dengan
segala latar belakangnya memiliki kiblat sendiri dalam beretika. Agama adalah satu hal
yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan beretika. Dalam agama Islam, etika dalam
bekerja diatur sedemikian rupa dalam Al-Quran dan sunah Rasul. Setiap profesi memiliki
kode etik untuk keberlangsungan kehidupan berprofesinya. Dalam profesi arsitek, kode etik
dibuat organisasi resmi profesi arsitek di Indonesia. Pada penelitian ini akan dikaji
mengenai kode etik profesi arsitek dalam perspektif agama Islam. Tujuan penelitian ini
adalah untuk bahan diskusi arsitek muslim mengenai kode etik profesi arsitek dalam sudut
pandang etika bekrja Islam. Penelitian ini dilakukan dengan jenis penelitian yuridis
normatif dengan sifat deskriptif. Data yang digunakan adalah data sekunder dari berbagai
sumber literatur ilmiah. Kajian ini menunjukkan bahwa poin-poin kode etik yang dibuat
IAI selaras dengan etika bekerja dalam Islam. Hal ini terlihat dari keselarasan kode etik
dengan ayat-ayat dalam Al-Quran, hadis, dan istilah-istilah dalam agama Islam lainnya. Hal
ini dapat menjadi evaluasi para arsitek muslim untuk mengedepankan kode etik dalam
berprofesi karena kode etik profesi memiliki nilai-nilai lebih dari sekedar aturan tetulis,
tetapi memiliki nilai-nilai yang selaras dengan perspektif Islam yang dapat menuntun
kehidupan berprofesi ke arah yang lebih baik.

Kata Kunci: Etika Profesi, Kode Etik Profesi Arsitek, Etika Bekerja dalam Islam

1. Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk yang berakal memiliki kemampuan untuk menentukan tingkah laku dan
kebiasaan. Dalam bertingkah laku dan menjalankan kebiasaannya, manusia memiliki ilmu yang
mendasarinya. Ilmu yang mendasari tingkah laku dan kebiasaan manusia ini merupakan etika (Hasibuan,
2017). Manusia yang beretika memiliki kemampuan untuk membedakan sesuatu yang dianggap baik atau
buruk. Dasar kemampuan ini dapat membentuk karakter pribadi manusia yang unggul (Sihotang, 2020).

1
Manusia yang memiliki karakter etis memiliki keuntungan-keuntungan dalam hidupnya. Dengan etika,
manusia dapat menjalankan kehidupannya secara teratur. Hal ini dikarenakan kepekaan terhadap hal-hal
yang baik atau buruk dalam segala aspek kehidupan. Kepekaan ini menjadikan manusia memiliki perasaan
dan dorongan untuk memperbaiki hal atau bahkan menciptakan sesuatu yang baru. Karakter etis yang kuat
dapat menjadi tameng dalam menghadapi arus kehidupan yang semakin cepat seiring berkembangnya
zaman.

Pada zaman ini, manusia yang memiliki karakter beretika yang kuat memiliki daya pikat di dunia
profesional. Menurut (Sihotang,2020) pentingnya karakter yang etis pada manusia memiliki tiga alasan.
Pertama, tuntutan profesional masa kini bukan hanya mengandalkan hard skill, namun juga kemampuan
berperilaku tanggap dan cekatan akan masalah dan perubahan yang begitu cepat terjadi. Kedua, globalisasi
membuat arus kehidupan lepas kontrol sehingga muncul masalah-masalah baru. Manusia yang memiliki
kekuatan karakter etis dapat bertahan dalam segala kondisi, khususnya dalam dunia profesional. Ketiga,
ketidakmampuan manusia dalam berperilaku dan membangun karakter etis dapat berdampak pula pada
kehidupan di sekitarnya. Di dunia profesional, ketiadaannya etika tidak hanya berdampak negatif pada satu
individu, namun berdampak negatif pula pada berbagai pihak yang terkait.

Manusia secara kesuluruhan memiliki kiblatnya sendiri dalam beretika. Indonesia sebagai negara
hukum memiliki Pancasila dan aturan perundang-undangan yang menjadi landasan dalam beretika. Berbicara
mengenai landasan, kehidupan beretika tidak bisa dipisahkan dari agama (Kholis, 2004). Dalam setiap
agama, etika menjadi salah satu hal utama yang diatur dalam menjalankan kehidupan. Membahas kehidupan
beragama, Indonesia memiliki mayoritas penduduk pemeluk agama Islam, bahkan menjadi negara dengan
penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Etika dalam agama Islam utamanya di atur dalam Al-Quran
kemudian hadis-hadis. Kehidupan beretika dalam Islam dibahas secara terperinci untuk segala aspek
kehidupan. Salah satunya adalah dalam aspek hubungan antar manusia dalam pekerjaan.

Arsitek merupakan profesi yang memiliki hubungan erat dengan peradaban manusia (Edrees, 2017).
Seiring pesatnya perkembangan pembangunan di Indonesia, arsitek merupakan salah satu profesi yang
berpengaruh di dalamnya. Besarnya perkembangan dan pengaruh profesi arsitek di Indonesia, mengharuskan
seorang arsitek memiliki etika dalam berprofesi sebagai salah satu cara untuk menunjukkan kemampuan
profesional. Kemampuan profesional dibutuhkan untuk mempertahankan keberlangsungan persaingan yang
sehat di dunia kerja (Rully, 2008). Lebih dari itu, karya dari seorang arsitek memberikan pengaruh moral
yang akan terus melekat pada diri seorang arsitek selama karyanya masih berdiri bahkan hingga akhir
hayatnya (Wiriantari, 2021). Arsitek di Indonesia dalam dunia profesional diatur dalam perundang-
undangan dan aturan-aturan lembaga profesi arsitek resmi, yaitu Ikatan Arsitek Indonesia/IAI. Salah satu
yang penting adalah peraturan tentang kode etik profesi arsitek dalam dunia kerja.

Pada penelitian ini, dibahas dan dikaji mengenai kode etik yang tercantum dalam aturan-aturan resmi
yang berlaku dengan etika bekerja dalam perspektif agama Islam. Hal ini diharapkan dapat menjadi
pandangan untuk arsitek-arsitek Islam, khususnya di Indonesia dalam menjalankan pekerjaan dan kehidupan
berprofesinya sesuai dengan aturan resmi yang berlaku dan sudut pandangnya dalam Islam.

2
Etika Bekerja

Etika Bekerja dalam


Islam

Etika Profesi Arsitek


dalam Perspektif Islam

Etika Profesi Arsitek

Kode Etik Profesi


Arsitek dalam Perspektif
Islam

Gambar 1. Kerangka Konseptual Etika Profesi dalam Perspektif Islam


(Sumber : Penulis, 2022)

2. Metode Penelitian
Penulisan artikel ilmiah ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan sifat deskriptif.
Data yang digunakan merupakan data sekunder. Data dikumpulkan dari berbagai sumber literatur resmi, baik
dari jurnal, buku, dan peraturan resmi dari pemerintah dan lembaga terkait. Metode pengumpulan berupa
membaca, mencatat, dan mengkaji bahan penelitian.

3. Hasil dan Pembahasan


3.1 Etika Berprofesi
Etika berasal dari kata Ethos dari Bahasa Yunani yang memiliki arti sikap, kepribadian, karakter. Etos
ini terbentuk dari kebiasaan, budaya, dan nilai-nilai yang dipercaya (Sunardi, 2014). Dari etos, kita
mengetahui etika dan etikat yang merupakan implementasi untuk menghasilkan sesuatu yang baik dan benar.
Secara tersirat, segala hal tersebut berkaitan dengan kejiwaan manusia (Sunardi, 2014).

Etika menurut A Sonny Keraf dalam (Hasibuan, 2017) terbagi menjadi dua, yaitu etika umum dan
etika khusus atau etika terapan. Etika dalam bidang kehidupan sosial, khusunya dalam dunia profesi
merupakan etika khusus atau etika terapan (Hasibuan, 2017). Etika khusus ini merupakan
pengimplementasian etika umum atau teori-teori etika ke dalam kehidupan yang lebih spesifik. Nilai-nilai
dalam etika khusus ini tidak boleh terlepas dari etika umum. Dalam bidang khusus, etika ini melingkupi
keputusan dan tindakan dalam bertindak etis di dunia profesional. Etika khusus ini dapat mengalami
penyesuaian dan perubahan atau revisi seiring perkembangan zaman, khususnya di dunia kerja atau
berprofesi.

3
Gambar 2. Bagan sistematika etika menurut A. Sonny Keraf
(Sumber : Hasibuan, 2017)

Etika pada dasarnya merupakan studi mengenai benar dan salah, baik dan buruk. Dalam dunia kerja,
studi ini difokuskan pada standar-standar moral dalam kebijakan, institusi, dan pelakunya (Kementerian
Pendidikan, dan Kebudayaan, 2017). Standar-standar tersebut digunakan dalam menjalankan sistem
keprofesian sesuai dengan yang diharapkan dan disetuji pihak-pihak terkait dalam suatu bidang. Etika dalam
bekerja juga merupakan keyakinan seseorang atau sekelompok mengenai baik dan benar dalam suatu
pekerjaan yang ditunjukkan dalam perilaku kerja (Budianto dkk, 2017).

Kerja merupakan usaha sungguh-sungguh untuk mewujudkan suatu aktivitas atau barang yang
memiliki makna (Sunardi, 2014). Menurut (Tasmara, 2010), aktivitas dapat dikatakan sebagai kerja apabila
terdapat perasaan tanggung jawab dari pelaku untuk berkarya dengan mempertimbangkan kualitas dan
makna serta dilakukan secara sadar dan terencana sehingga dalam bentuk apapun itu hasilnya akan
memberikan manfaat dan kepuasan. Untuk tercapainya makna kerja tersebut, etika adalah hal utama setara
dengan kemampuan fisik yang perlu tertanam dengan baik pada pelaku kerja tersebut.

Di era globalisasi, pengimplementasian etika menjadi semakin diperlukan, khususnya dalam bidang
keprofesian. Di era ini, segala pekerjaan memiliki tuntutan yang lebih untuk merespon cepatnya arus
kehidupan. Menurut (Yulianita, 2002) hal-hal berikut adalah pentingnya implementasi etika pada kehidupan
berprofesi di era globalisasi :
- Etika memberikan rasa tanggung jawab terhadap pelaku profesi untuk melakukan pekerjaan yang
sesuai dengan tuntutan zaman dan standar-standar yang berlaku.
- Etika membuat pelaku profesi untuk konsisten dalam penegakkan keadilan dalam memperhatikan
hak dan kewajiban diri sendiri dan rekan kerjanya untuk menjalin hubungan baik dan kerja sama.
- Etika memberikan kebebasan pelaku profesi untuk bekerja. Etika memberikan kebebasan dengan
rasa tanggung jawab, batasan, dan sadar diri untuk melakukan kerja dan berpendapat dengan bebas
dan kreatif.
- Etika membuat pelaku usaha sadar akan hak-hak orang lain.
- Etika menciptakan pelaku profesi yang mendahulukan kepentingan klien tanpa mengutamakan
kepentingan sendiri.
- Etika membuat pelaku profesi mendahulukan idealisme, kewajiban dan pengabdian sebagai bentuk
profesionalitasnya.

Dengan mengkaji pentingnya implementasi etika dalam kehidupan berprofesi, hal ini menunjukkan
bahwa etika dari seorang pelaku profesi akan menghadirkan lingkungan kerja yang ideal, positif, dan
4
bersahaja. Etika akan membawa orang-orang yang terlibat dalam kehidupan berprofesi mencapai tujuan
yang diharapkan setiap individunya dengan meminimalisisr kemungkinan hal-hal yang tidak diinginkan
terjadi.

3.2 Etika Bekerja dalam Islam


Seorang muslim dalam menjalankan kehidupannya tidak boleh terlepas dari apa-apa yang Allah
Subhanahu wa ta'ala perintahkan dalam Al-Quran dan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Perilaku yang harus kita tunaikan dan larangan-larangan yang harus kita jauhkan
semuanya sudah diatur secara terperinci oleh Allah Subhanahu wa ta'ala dalam Al-Quran dan melalui nabi
dan rasulnya. Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang kita perbuat perlu didasarkan oleh niat karena
Allah semata dan berorientasi pada kehidupan setelah kematian atau akhirat (Amaliah dkk, 2013). Begitu
juga dalam melakukan kehidupan berprofesi.

Dalam ajaran agama Islam, umat muslim perlu mendorong dirinya untuk semangat bekerja dan
menjauhkan diri dari rasa malas (Pulungan, 2014). Dalam Q.S. Al-Mukminun : 1-4, Allah memerintahkan
umatnya untuk beriman kepada-Nya dengan cara beribadah, menjauhkan diri dari perkataan dan perbuatan
yang tidak berguna, dan menunaikan zakat. Surat ini memiliki makna bahwa perbuatan yang dilakukan umat
muslim perlu didasari oleh niat karena Allah sehingga dapat menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang
tidak menghadirkan manfaat. Tujuan bekerja dalam Islam menurut (Kurniawan, 2019) diantaranya :
- Mencari ridha Allah Subhanahu wa ta'ala
- Pemenuhan kebutuhan kehidupan
- Bekerja untuk menafkahi keluarga
- Bekerja untuk kepentingan sosial sebagai bentuk sedekah
- Bekerja sebagai bentuk ibadah kepadah Allah Subhanahu wa ta'ala
- Bekerja untuk menolak lemungkaran

Seorang muslim dalam melakukan pekerjaannya perlu diniatkan bukan hanya sekedar pemenuhan
kebuthan jasmani namun juga pemenuhan kebutuhan rohani (Amaliah dkk, 2013). Maka dari itu, upaya yang
dilakukan seorang muslim, sesuai dengan niatnya, hendaknya bukan hanya dengan kemampuan fisik namun
didampingi pula dengan kekuatan spiritual. Kekuatan spiritual ini hadir dari Allah Subhanahu wa ta'ala
dengan ibadah-ibadah yang sudah diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada
umatnya. Dengan niat bekerja untuk mencapai ridha Allah dan fokus pada kehidupan setelah kematian,
seorang muslim tidak memiliki ekspektasi yang tinggi dan berharap pada kesenangan di dunia sehingga
sikap kerjanya menunjukkan hal-hal positif sesuai dengan firman Allah :

“Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orangorang
mukminin, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu
diberitakan kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (Q.S. At-Taubah, 105).

Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jauh sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul
melakukan pekerjaan yang berimplikasi ke masa depan (Hidayat, 2006). Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam merupakan seorang yang sangat jujur, termasuk dalam menjalankan pekerjaannya yaitu
sebagai pengembala kambing milik orang lain dan pedagang. Kejujuruannya ini membawa kemudahan yang
diberikan Allah Subhanahu wa ta'ala dalam menjalankan kehidupannya. Jerih payah Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam segi usaha jasmani dan rohani mengantarkannya kepada ‘kekayaan’.
Seperti yang sudah dijelaskan, Islam mengajarkan umatnya untuk tidak berfokus pada kesenangan duniawi,
maka Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan ’kekayaan’-Nya tidak semata-mata untuk
berfoya-foya, namun dikembalikan untuk modalnya berjuang di jalan Allah. Profesi yang dilakukan Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul ini adalah profesi yang
perspektif dan prospektif untuk masa depan (Hidayat, 2006). Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam mengajarkan umatnya bahwa kencintaanya dalam bekerja merupakan suatu bentuk ibadah kepada
Allah Subhanahu wa ta'ala.

Manusia diciptakan Allah Subhanahu wa ta'ala dengan kesempurnaan akal pikiran. Seorang muslim
yang cerdas menggunakan akalnya untuk berpikir dan bertindak dengan tidak asal. Agama Islam memiliki
5
panduan Al-Quran dan sunah. Dengan bekal panduan tersebut, seorang muslim memiliki kemampuan untuk
berpikir kritis dan bertindak untuk mengagungkan Allah Subhanahu wa ta'ala. Manusia dengan akal yang
Allah beri harus mampu kreatif dan inovatif dalam dunia berprofesi (Kholis, 2004). Dengan menggunakan
akalnya semaksimal mungkin, seorang muslim dapat memajukan peradaban dengan tetap berfokus pada
tujuan akhir dan tidak terlena dengan kehidupan di dunia.

Dengan akal yang sehat dan dapat berpikir kritis, seorang muslim akan mencerminkannya pada etika
dalam bekerja. Dengan niat yang lurus, perilaku akan menyesuaikan untuk mewujudkan niatnya. Allah
menyuruh umatnya untuk berkerja dan tidak bermalas-malasan serta bekerja tidak berlebihan namun
bermakna. Untuk menciptakan kehidupan berprofesi seperti yang telah Allah perintahkan, Islam memiliki
nilai-nilai moral sebagai ‘pengaman’ umatnya hidup di dunia. Allah telah memerintahkan hambanya untuk
melakukan perintah dan menjauhi larangan-Nya, dalam dunia berprofesi berikut adalah perintah dan
larangannya (Hidayat, 2006) :
- Mencari rezeki dan tidak cepat menyerah
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (Q.S. Al - Jumu'ah, 62 : 10).

- Bekerja keras dengan tetap menjauhi kemewahan dan kezaliman


“Katakanlah: "Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya akupun berbuat
(pula). Kelak kamu akan mengetahui, siapakah (di antara kita) yang akan memperoleh hasil yang
baikdari dunia ini. Sesungguhnya, orang-orang yang zalim itu tidak akan mendapat
keberuntungan (Q.S. Al-An’am, 6 : 135).

- Bekerja dengan ikhlas karena termasuk ke dalam ibadah


Rasulullah saw. bersabda : “Usaha yang paling baik adalah usaha orang yang bekerja dengan
ikhlas” (HR Ahmad).

- Jujur
Rasulullah saw. bersabda : “Sesungguhnya sebaik-baiknya usahaialah usaha pedagang, apabila
mereka berkata tidak berdusta, apabila mereka diamanati tidak berkhianat, apabila mereka berjanji
tidak menyalahi, apabila mereka membeli tidak mencela, apabila menjual tidak memuji-muji
dagangannya, apabila mereka berutang tidak menunda-nunda, apabila mereka mempunyai
piutang tidak mempersulit” (HR Ahmad).

- Kerjasama dalam kebaikan


“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (Q.S. Al-Maidah, 5 : 2).

- Seimbang dalam menjalankan kehidupan dunia dengan tetap mengingat akhirat


Rasulullah saw. bersabda : ”Sebaik-baiknya orang diantara kamu, ialah yang tidak meninggalkan
akhiratnya karena dunianya dan tidak meninggalkan dunianya karena akhiratnya" (Al - Hadist).

- Memiliki visi ke depan yang jelas


“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)" (Q. S. Al-Hsyr 59 : 18).

- Larangan untuk meminta-minta


Rasulullah saw. bersabda : “Tangan yang atas lebih baik dari tangan yang bawah, tangan atas artinya
penderma dan tangan bawah berarti peminta-minta” (HR Bukhori).

- Larangan memonopoli
Rasulullah saw. bersabda : “Barang siapa yang menumpuk barang-barang/makanan kebutuhan
kaum Muslimin, maka Allah akan menghacurkan hartanya” (HR Ahmad).

- Mengutamakan kualitas
Rasulullah saw. bersabda : “Sesungguhnya Allah mencintai seseorang di antara kamu apabila
mengerjakan sesuatu pekerjaan dirapikannya” (HR Ahmad).
6
Pedoman etis dalam bekerja yang diberikan Islam bukan semata-mata aturan yang harus dilaksanakan
begitu saja. Etika kerja ini diatur sedemikian rupa oleh Islam untuk menciptakan kehidupan yang seimbang
dan memiliki kemaslahatan untuk semua umat yang terlibat. Pengabaian etika kerja yang diatur dalam Al-
Quran dan dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salla ini bukan hanya berakibat buruk di
kehidupan di dunia, namun akan terbawa hingga ke kehidupan di akhirat.

3.3 Etika Profesi Arsitek


Arsitek merupakan profesi yang terlibat dalam pemenuhan salah satu kebutuhan dasar manusia,
sandang, pangan, dan papan (Suardana, 2016). Arsitek merupakan profesi yang berkaitan erat dengan
perkembangan dan peradaban manusia. Karya-karya arsitektural memberikan dampak dan penanda yang
besar dalam perjalanan peradaban manusia. Seorang arsitek merancang bangunan dengan konsep utama yang
perlu diperhatikan adalah manusia sebagai penggunanya. Manusia pada dasarnya membutuhkan suatu ruang
untuknya beraktivitas dan berperilaku (Marcella, 2004). Maka dari itu, seorang arsitek harus paham betul
apa yang dibutuhkan dan diinginkan pengguna dari bangunan yang dirancang. Arsitek harus pandai dalam
menempatkan diri di posisi sang pengguna dan tanggap mengatasi masalah yang ada dalam perancangan.

Selain berkaitan dengan manusia penggunanya, arsitek perlu juga memperhatikan dan peduli akan
lingkungan alam tempatnya merancang sebuah bangunan (Rachmawati, 2010). Arsitek perlu memiliki
kemampuan untuk menciptakan bangunan yang responsif terhadap alam dengan tidak ‘melawannya’. Sebuah
karya arsitektur perlu dirancang agar dapat berdampingan selaras dengan alam sekitarnya. Seiring
berkembangnya zaman, aturan-aturan dalam perancangan hadir untuk menciptakan batasan-batasan agar
terjaganya ekosistem alam. Seorang perancang perlu paham betul akan hal itu.

Dari contoh tersebut, menunjukkan bahwa seorang arsitek dalam merancang memiliki aturan dan
nilai-nilai yang tidak boleh dilanggar. Arsitek dalam praktiknya bekerja tidak semata-mata merancang
berdasarkan keinginannya sendiri. Perhatian seorang arsitek terhadap aturan, norma, nilai, hingga
kepercayaan di suatu tempat atau suatu koloni dapat menentukan keberhasilannya dalam merancang.
Perhatian arsitek terhadap hal-hal tersebut merupakan bagian dari beretika dalam profesi arsitek. Menurut
(Suardana, 2016), terdapat prinsip-prinsip etika arsitek dalam berprofesi :
- Prinsip menghormati otonomi, arsitek dalam merancang bangunan memiliki batasan-batasan yang
diberikan klien. Namun batasan ini bukan berarti menghalangi kreativitas arsitek dalam merancang.
Batasan yang diberikan klien justru dijadikan peluang untuk menghasilkan desain yang kreatif.
- Prinsip tidak merugikan, arsitek dalam praktek kerjanya perlu tanggung jawab akan segala yang ia
rancang. Keselamatan dan kenyamanan pengguna pada bangunan merupakan tanggung jawab penuh
seorang arsitek.
- Prinsip berbuat baik, kepentingan klien adalah nomor satu. Arsitek harus menyampingkan
kepentingannya dan berusaha yang terbaik untuk kepuasan klien.
- Prinsip keadilan, arsitek dan jasa lain yang terlibat perlu ditegakkan keadilan untuk mencapai tujuan
dan kemakmuran bersama.

Profesi merupakan pekerjaan yang perlu adanya pendidikan lanjut di bidang sains dan teknologi
sebagai dasar dalam berkegiatan yang menghadirkan manfaat (Pranajaya, 2013). Arsitek sebagai profesi
resmi memiliki kode etik resmi sebagai alat kontrol berprofesi. Praktek berprofesi ini perlu dijalankan
dengan penuh komitmen. Komitmen ini dapat ditunjukkan dengan kemampuan dan keahlian yang maksimal,
terdidik, terlatih dan dilengkapi dengan penglaman-pengalaman lapangan. Syarat kompetensi arsitek yang
diberikan IAI (Noe’man, 2020) diantaranya adalah :
- Ilmu pengetahuan
Melalui pendidikan formal jenjang S1, S2, dan seterusnya, melalui pendidikan informal seperti
kursus, dan memiliki wawasan tradisional.
- Keahlian
Seorang arsitek memiliki keahlian secara kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam bidang arsitektur,
sosial, dan budaya.
- Pengalaman
Arsitek dapat menggunakan pengalamannya sebagai pembelajaran pribadi.
7
- Pelayanan
Arsitek perlu secara sungguh-sungguh dan berkomitmen dalam melaksanakan proyek.

Arsitek dalam berprofesi harus memiliki bekal yang kuat dengan pengetahuan perancangan. Arsitek
yang baik memiliki bekal yang kuat dalam pengetahuan perancangan arsitektur. Kepekaan arsitek terhadap
aspek fungsi, aspek bentuk, aspek teknologi, aspek keamanan dan keselamatan, aspek kenyamanan,
aspek kontekstual, dan aspek efisiensi akan mengantarkan keberhasilan proyek dan kepuasan dari segala
pihak yang terlibat. Undang-Undang Nomor 6 tahun 2017 tentang Arsitek hadir sebagai landasan arsitek
dalam berprofesi. Dengan adanya peraturan profesi, diharapkan para arsitek dapat berhati-hati dalam
bertindak dan selalu mengikuti kaidah tata laku dalam perancangan arsitektur secara benar sesuai
dengan norma yang berlaku (B. Edrees, 2017).

Bersamaan dengan itu, pengetahuan tentang beretika adalah hal yang sangat penting. Arsitek dalam
prakteknya selalu berhubungan dengan manusia, baik itu klien, partner atasan, maupun partner kerja di
lapangan (tukang). Etika dalam berhubungan dengan rekan kerja perlu dijaga untuk terciptanya keberhasilan
proyek bersama. Seorang arsitek harus mampu memposisikan diri dalam segala tempat, waktu, dan kondisi.
Etika arsitek dalam berprofesi diatur oleh Ikatan Arsitek Indonesia/IAI dalam Kode Etik Arsitek dan Kaidah
Tata Laku Profesi Arsitek. Dengan adanya kaidah-kaidah ini, arsitek harus peduli tentang etikanya dalam
praktek berprofesi untuk mendukung kemampuannya dalam perancangan.

3.4 Kode Etik Profesi Arsitek dalam Perspektif Islam


3.4.1 Kewajiban Umum
Dalam standar etika pengabdian diri, seorang arsitek melakukan tugas profesinya sebagai bagian dari
pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan mengutamakan kepentingan negara dan bangsa. Dalam
pedoman etis kerja dalam Islam (Kholis, 2004), bekerja merupakan suatu bentuk keimanan kepada Allah
Subhanahu wa ta'ala. Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman dalam Q.S Az-Zumar ayat 39 yang artinya
“Katakanlah: "Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya aku akan bekerja (pula),
maka kelak kamu akan mengetahui,” Arsitek dalam menjalankan tugasnya memiliki kode etik untuk
menjalankan tugas-tugasnya sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kode etik ini
menunjukkan bahwa niat awal dalam berprofesi adalah sebagai bentuk ibadah kepada Allah Subhanahu wa
ta'ala.

Setelah berniat awal bekerja sebagai bentuk ibadah, selanjutnya arsitek perlu bekerja dengan
mengesampingkan kepentingan pribadi. Kepentingan negara dan bangsa perlu diutamakan untuk
kemaslahatan bersama sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-Hasyr ayat 9 yang artinya “Dan orang-orang
yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin),
mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada
menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan
mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam
kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung”.

Pada kewajiban umum ini dibahas pula mengenai arsitek yang harus mampu berprofesi sesuai dengan
nilai-nilai maupun spiritual. Dalam praktek kerja, arsitek muslim harus selalu ingat akan tujuannya bekerja
adalah untuk beribadah dan mencapai kebahagiaan di akhirat. Dengan mengingat nilai-nilai spiritual, maka
segala tindakan dan ucapan dalam pekerjaan akan senantiasa dijaga oleh Allah Subhanahu wa ta'ala.

Arsitek juga perlu memperhatikan standar kualitas dalam perancangan. Rasulullah saw. bersabda :
“Sesungguhnya Allah mencintai seseorang di antara kamu apabila mengerjakan sesuatu pekerjaan
dirapikannya” (HR Ahmad). Allah menyukai segala pekerjaan yang berkualitas. Dengan mengutamakan
kualitas perancangannya, seorang arsitek berarti melaksanakan etika yang diperintahkan Allah Subhanahu
wa ta'ala.

Arsitek memiliki standar etika mengenai pelestarian alam. Arsitek harus mampu mengendalikan
dirinya untuk merancang dengan tidak melampaui batas (Kholis, 2004). Allah dengan tegas berfirman dalam
QS Al-A'raf:85, "Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya,
yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman.". Seorang arsitek
8
yang dapat mengendalikan dirinya untuk tidak merusak ciptaan Allah merupakan etika berprofesi yang
sesuai dengan nilai Islam.

Pentingnya memperhatikan hak-hak asasi manusia merupakan upaya etika arsitek dalam menegakkan
profesinya. Allah berfirman dalam Q.S Al-Hujurat ayat 13 “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa”. Dalam menjalankan profesinya,
seorang arsitek hendaknya tidak membeda-bedakan seseorang berdasarkan suku, agama,
kebangsaan, dan kondisi fisik. Sesungguhnya di mata Allah seluruh manusia aadalah sama, yang
membedakan adalah akhlak dan amal ibadahnya.

3.4.2 Kewajiban Terhadap Masyarakat


Dalam menjalankan profesi sebagai arsitek, diatur etika kemasyarakatan. Dalam hal ini arsitek
harus mematuhi hukum-hukum yang berlaku dan senantiasa bersukap mendahulukan kepentingan
masyarakat umum. Allah berfirman dalam Q. S Al-Maidah ayat 2, artinya: "... Dan tolong-
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat
berat siksa-Nya.". Pengabdian kepada masyarakat adalah bentuk empati yang harus dimiliki oleh
seorang arsitek. Pada ayat tersebut juga dijelaskan untuk tidak tolong-menolong dan terlibat dalam
pelanggaran apapun. Seorang arsitek harus memiliki idealisme terhadap pematuhan peraturan dan
hukum yang berlaku serta memiliki rasa empati untuk mendahulukan kepentingan orang lain.

3.4.3 Kewajiban Kepada Pengguna Jasa


Arsitek harus mampu bertanggung jawab kepada klien secara profesional. Seseorang yang
telah memberikan kepercayaannya kepada seorang arsitek perlu dijaga dengan rasa tanggung jawab,
kecakapan, dan kepakaran. Allah telah mengatur rezeki seseorang sedemikian rupa. Maka dari itu,
seorang arsitek dalam berpraktek tidak perlu sampai merugikan orang lain untuk mendapatkan
keuntungan yang lebih. Dengan fokus untuk bertanggung jawab kepada klien, Dalam Q.S Al-Isra ayat
39, Allah berfirman yang artinya “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena
pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.”. Allah melarang
hambanya untuk melakukan sesuatu tanpa landasan. Dalam kode etik profesi arsitek, seorang arsitek tidak
boleh merancang tanpa adanya keahlian dan landasan. Hal ini akan menimbulkan kerugian-kerugian, baik
untuk klien maupun untuk arsitek itu sendiri. Arsitek harus bertanggung jawab dalam bentuk kepakaran dan
kecakapan yang dikuasai, pematuhan peraturan perancangan, dan komunikasi yang baik dengan pengguna
jasa.

Kejujuran dan kebenaran perlu dijunjung tinggi oleh seorang arsitek. Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam menunjunjung kejujuran dalam berprofesinya. Kejujuran ini akan membukakan pintu
kemudahan. Rasulullah saw. bersabda : “Sesungguhnya sebaik-baiknya usaha ialah usaha pedagang, apabila
mereka berkata tidak berdusta, apabila mereka diamanati tidak berkhianat, apabila mereka berjanji tidak
menyalahi, apabila mereka membeli tidak mencela, apabila menjual tidak memuji-muji dagangannya,
apabila mereka berutang tidak menunda-nunda, apabila mereka mempunyai piutang tidak mempersulit”
(HR Ahmad). Sama halnya dengan berdagang, seorang arsitek menjual jasanya. Untuk menjadi arsitek yang
sebaik-baiknya, maka dimulai dari kejujuran. Transparasi dan keterbukaan untuk diskusi akan menghasilkan
kepuasan dari kedua pihak, baik dari arsitek itu sendiri dan pengguna jasanya.

3.4.4 Kewajiban Kepada Profesi


Arsitek wajib menjunjung tinggi integritas dan martabat profesinya serta menghargai dan
menghormati kepentingan orang lain. Dalam menunjunjung tinggi profesinya, arsitek harus jujur, adil,
memiliki integritas, dapat mengembangkan diri, dan menjalin hubungan baik dengan kemitraan. Agama
membantu manusia untuk menumbuhkan intelektual tanpa disertai arogansi dan menjaga harga diri
9
(Mahfudzi, 2019). Karakter integritas merupakan kunci dalam kehidupan. Integrasi intelektual dalam Islam
adalah al-sidq, yaitu kesamaan antara perkataan dan amalan. Etika ini sangat penting dalam kehidupan
berprofesi sebagai arsitek. Bekerja secara profesional berarti seimbang antara akhlak dan takwa dengan
praktek pekerjannya. Kewajiban seorang arsitek terhadap profesinya merupakan bentuk kesungguh-
sungguhan berkerja. Kesungguhan ini perlu disertai dengan niat karena Allah. Allah berfirman dalam Q. S.
Insyiqaq ayat 6 yang artinya "Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh
menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.". Dengan menunjukkan etika integritas dalam
menjalankan profesi arsitek maka hal itu menunjukkan bentuk profesionalitas dan tanggung jawab dihadapan
Allah.

3.4.5 Kewajiban Terhadap Sejawat


Kewajiban terhadap penghargaan hak-hak rekan kerja menjadi etika penting dalam profesi arsitek.
Arsitek harus memiliki perasaan silih asih, silih asuh, dan silih asah dengan sesama rekan. Sikap saling
menjatuhkan merupakan pelanggaran kode etik bagi seorang arsitek. Etika sesama arsitek adalah untuk
saling mendukung dan mendapat kesempatan yang sama.

Dalam Islam, hal ini disebut dengan tasamuh. Tasamuh merupakan penghormatan sesama manusia
untuk melaksanakan haknya masing-masing (Jamarudin, 2016). Manusia pada dasarnya adalah makhluk
sosial yang selalu membutuhkan bantuan orang lain. Pada profesi arsitek, segala bentuk kerja sama antar
arsitek sangat diperlukan. Pertukaran informasi mengenai pekerjaan atau sayembara perlu dilakukan secara
transparan dan terbuka. Allah berfirman dalam Q. S Al- Maidah ayat 8 yang artinya “Dan jangan sekali kali
kebencianmu atas suatu kaum mendorong kamu berlaku tidak adil atau semena-mena. Berbuat adil lah
karena adil itu lebih dekat dengan taqwa.” Ayat ini menunjukkan bahwa dalam menjalankan kehidupan
keadilan perlakuan antar sesama adalah ciri orang bertaqwa.

3.4.6 Sanksi Pelanggaran Kode Etik Profesi


Pengurus IAI Nasional mentapkan sanksi terhadap pelanggaran kode etik profesi arsitek. Diantaranya :
- Pembatasan kewenangan
- Pembekuan keanggotaan
- Pencabutan keanggotaan
Pelanggaran terhadap kode etik dalam organisasi memberikan dampak terhadap reputasi seorang arsitek.
Sanksi-sanksi yang ditetapkan manusia, dalam hal ini adalah IAI, dapat meberikan jera terhadap manusia di
dunia. Segala pelanggaran kode etik profesi arsitek tentunya bertentangan pula dengan etika bekerja dalam
Islam. Ketika perintah Allah sudah kita langar, maka sanksi di dunia tidak lagi bernilai. Mengabaikan etika
profesi arsitek bukanlah hal sepele. Mengabaikan kode etik profesi sama saja seperti mengabaikan etika
bekerja yang Allah dan Rasul perintahkan. Mengutamakan etika dalam bekerja akan membawa manusia
kepada kebersahajaan, baik di dunia maupun di akhirat.

4. Kesimpulan
Kehidupan beretika tidak dapat dipisahkan dari kehidupan beragama. Agama Islam mengajarkan dan
mengatur manusia untuk memiliki etika dalam menjalankan profesinya. Bekerja merupakan hal yang wajib
dalam agama. Segala etika dalam bekerja diatur sedemikian rupa dalam Al-Quran dan sunah Rasul.

Arsitek sebagai profesi yang berkaitan erat dengan peradaban manusia perlu mengedepankan kode
etik. Kode etik ini berguna untuk kelangsungan kegiatan berprofesi untuk tercapainya tujuan pihak yang
terlibat. Di Indonesia, kode etik profesi arsitek dibuat oleh Ikatan Arsitek Indonesia/IAI. Berdasarkan hasil
kajian poin-poin kode etik profesi arsitek dan etika bekerja dalam Islam, dapat disimpulkan bahwa poin-poin
kode etik memiliki keselarasan dengan etika-etika bekerja dalam Islam. Setiap poin dalam kode etik profesi
arsitek terdapat penjelasannya dalam sudut pandang Islam. Etika bekerja dalam Islam mengacu pada Al-
Quran dan sunah Rasul sehingga tidak terdapat keraguan untuk diimplementasikan dalam berprofesi sebagai
arsitek. Keselarasan nilai-nilai ini dapat menjadi bahan diskusi lanjut untuk para arsitek muslim untuk
mengkaji lebih dalam nilai-nilai etika profesi dalam peraturan tertulis yang berlaku dengan nilai etika bekerja
dalam perspektif Islam. Diharapkan dengan adanya penelitian ini para arsitek, khususnya arsitek muslim
dapat berdiskusi mengenai makna kode etik secara mendalam dari perspektif Islam.

10
5. Ucapan Terima Kasih
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan artikel ilmiah yang berjudul “Etika Profesi Arsitek dalam
Perspektif Islam”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Asep Yudi P., S. Pd., M. Des. dan
Bapak Suhandy Siswoyo, S. T., M. T. selaku dosen pembimbing penulis dan semua pihak yang turut
membantu sehingga artikel ini dapat terselesaikan dengan baik. Diharapkan artikel ini dapat memberi
informasi bagi orang lain dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

6. Referensi
Amaliah, I., Julia, A., Riani., W. (2013). Pengaruh Nilai Islam terhadap Kinerja Kerja. MIMBAR, 29(2), 165-
174.
B. Edrees, M. (2017). Profesi Arsitek di Era Globalisasi. Losari : Jurnal Arsitektur Kota dan Pemukiman. 2,
2 (Jun. 2017), 51-54. https://doi.org/10.33096/losari.v2i2.59.
Budianto, A., Pongtuluran, Y., & Syaharuddin, Y. (2018). Pengaruh Etika Kerja, Motivasi Kerja dan
Kompensasi Finansial terhadap Kinerja Karyawan. KINERJA, 14(1), 1-5.
Hasibuan, A. (2018, January 19). Etika Profesi – Profesionalisme Kerja .
https://doi.org/10.31219/osf.io/7ezmq.
Hidayat, I. S. (2006). Etos Kerja Sesuai Dengan Etika Profesi Islam. MIMBAR: Jurnal Sosial dan
Pembangunan, 22(1), 130-142.
Ikatan Arsitek Indonesia. (2007). Kode Etik Arsitek dan Kaidah Tata Laku Profesi Arsitek. Retrieved from
http://www.iaibali.org/assets/content_upload/files/kode%20etik.pdf.
Jamarudin, A. (2016). Membangun Tasamuh Keberagamaan Dalam Perspektif Al-Qur’an. TOLERANSI:
Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama, 8(2), 170-187.
Kemendikbud. (2017). Etika Bekerja. Nusa Tenggara Barat : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Retrieved from http://repositori.kemdikbud.go.id/18409/1/bahan-ajar-etika-bekerja-digital.pdf.
Kholis, N. (2004). Etika Kerja Dalam Perspektif Islam. Al-Mawarid Journal of Islamic Law, 12(11), 26011.
Kurniawan, R. (2019). Urgensi Bekerja Dalam Alquran. Jurnal Transformatif (Islamic Studies), 3(1), 42-67.
Mahfudzi, M. (2019). Integritas Intelektual Menurul Al-Quran. Al-Fanar : Jurnal Ilmu Al-Quran dan Tafsir,
2(1). 15-28.
Marcella, J. (2004). Arsitektur & Perilaku Manusia. Grasindo.
Noe’man, F. A. T. (2020). Arsitek, IAI dan Tantangan Kode Etik Dunia Profesi. Retrieved from
https://ar.itb.ac.id/wp-content/uploads/sites/162/2016/08/Pen-KE-TL-ITB-14-02-2020.pdf.
Rachmawati, M. (2010). Humanisme (Kembali) dalam Arsitektur. NALARs, 9(2).
Rully, R. (2008). Peran Unggulan Daya Saing Arsitek dalam Meningkatkan Profesionalisme pada Era
Globalisasi. Jurnal Teknik Sipil Dan Arsitektur, 5(9.A). Retrieved from
http://ejournal.utp.ac.id/index.php/JTSA/article/view/661.
Pulungan, S. (2014). Etos Kerja dan Etika Profesi dalam Pandangan Islam. Wahana Inovasi, 3(2), 512-518.
Sihotang, K. (2020). Etika Kerja Unggul. Daerah Istimewa Yogyakarta : PT Kanisius.
Suardana, P. G. E. (2016). Kajian Bioetika dalam Etika Berprofesi Arsitek. Jurnal Anala, 4(1), 1-6.
Sunardi, D. (2014). Etos kerja islami. JISI: Jurnal Integrasi Sistem Industri, 1(1).
Tasmara, T. (2010). Membudayakan Etos Kerja Islami. Jakarta: Gema Insani.
Wiriantari, F. (2021). Etika Profesi dan Profesionalisme Bagi Arsitek dalam Berkarya. Jurnal Anala, 9(1),
23-28. https://doi.org/10.46650/anala.9.1.1050.23-28.
Yulianita, N. (2002). Implementasi Etika di Era Globalisasi. Mimbar: Jurnal Sosial dan Pembangunan,
18(4), 457-473.

B. Edrees, M. (2017). Profesi Arsitek di Era Globalisasi. Losari : Jurnal Arsitektur Kota dan Pemukiman. 2,
2 (Jun. 2017), 51-54. https://doi.org/10.33096/losari.v2i2.59.
Rully, R. (2008). Peran Unggulan Daya Saing Arsitek dalam Meningkatkan Profesionalisme pada Era
Globalisasi. Jurnal Teknik Sipil Dan Arsitektur, 5(9.A). Retrieved from
http://ejournal.utp.ac.id/index.php/JTSA/article/view/661.
Wiriantari, F. (2021). Etika Profesi dan Profesionalisme Bagi Arsitek dalam Berkarya. Jurnal Anala, 9(1),
23-28. https://doi.org/10.46650/anala.9.1.1050.23-28
Suardana, P. G. E. (2016). Kajian Bioetika dalam Etika Berprofesi Arsitek. Jurnal Anala, 4(1), 1-6.
11
Marcella, J. (2004). Arsitektur & Perilaku Manusia. Grasindo.

Rachmawati, M. (2010). Humanisme (Kembali) dalam Arsitektur. NALARs, 9(2).

12

You might also like