Professional Documents
Culture Documents
Kel.6 - Makalah Infeksi Saluran Pencernaan-1
Kel.6 - Makalah Infeksi Saluran Pencernaan-1
FARMAKOTERAPI TERAPAN
”Infeksi Saluran Pencernaan”
OLEH
KELOMPOK VI
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh
karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukkan bahkan kritik
yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
HALAMAN PENGESAHAN
PERNYATAAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Saluran Cerna
2.2 Pengobatan Gangguan Saluran Pencernaan
2.3 KIE
BAB III. PEMBAHASAN
3.1 Kasus
BAB V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep penyakit dari infeksi saluran pencernaan
2. Dapat identifikasi kasus penyakit infeksi saluran pencernaan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI SALURAN CERNA
Sistem pencernaan meliputi penerimaan makanan dan mempersiapkannya
untuk diasimilasi oleh tubuh. Saluran pencernaan terdiri atas mulut, faring,
esophagus, ventrikulus, tekak, kerongkongan, lambung, usus halus dan usus besar
(Pearce, 2002).
Saluran cerna berfungsi untuk menyerap zat makanan, zat-zat penting,
garam dan air serta mengeksresi bagian-bagian makanan yang tak diserap dan
sebagian hasil akhir metabolisme. Pencernaan makanan adalah suatu proses
biokimia yang bertujuan mengolah makanan yang dimakan menjadi zat-zat yang
mudah diserap oleh selaput lendir usus, zat tersebut dapat berlangsung secara
optimal dan efisien bila dipengaruhi oleh enzim-enzim yang dikeluarkan oleh
fraktus digestivus sendiri maka enzim-enzim tersebut dapat mempengaruhi proses
pencernaan secara optimal dan efisien sehingga dibutuhkan kontak enzim dengan
makanan.
4. Patofisiologi
Ulcer terjadi bila terdapat kerusakan pada mukosa akibat tidak
mampunya perbaikan yang normal dengan cara adanya lapisan mukus dan
bikarbonat yang membentuk sistem buffer yang mencegah difusi pepsin ke
lapisan mukosa. Adanya pasokan darah untuk lapisan mukosa dapat
menghilangkan kelebihan ion Hidrogen dan mempertahankan aliran nutrisi
agar fungsi dan perbaikan berjalan normal (Brashers, 2003).
H.Pylori menyebabkan cedera jaringan dengan cara memproduksi LPS
(Lipopolisakarida), menstimulasi pelepasan mediator inflamasi, induksi
gastritis aktif dan kronis dan gastritis atropikans serta meningkatkan sekresi
gastrin, pepsin dan asam. NSAID menyebabkan penghambatan COX-1 yang
mengakibatkan penurunan sintesis Prostaglandin yang berguna untuk
perlindungan mukosa. NSAID juga menyebabkan cedera mukosa lokal
dengan adanya ion Hidrogen yang terjerap dalam sel sehingga mendorong
penetrasi gastrin dan pepsin sampai bagian mukosa lambung (Brashers,
2003).
5. Manifestasi klinik
Manifestasi klinis utama tukak peptik adalah kronik dan nyeri
epigastrium. Nyeri biasanya timbul 2 sampai 3 jam setelah makan atau pada
malam hari sewaktu lambung kosong. Nyeri digambarkan sebagai teriris,
terbakar atau rasa tidak enak.
Keluhan lain yaitu nafsu makan menurun, perut kembung, perut
merasa
selalu penuh atau lekas kenyang, timbulnya konstipasi sebagai akibat
instabilitas neromuskuler dari kolon. Secara umum penderita tukak lambung
mengalami dispepsia. Dispepsia adalah suatu gejala beberapa penyakit
saluran cerna seperti mual, muntah, kembung, nyeri ulu hati, sering
sendawa, rasa terbakar, dan cepat merasa kenyang (Lindseth, 2005).
6. Diagnosis
Diagnosis tukak peptik biasanya dipastikan dengan pemeriksaan
barium radiografi. Bila radiografi barium tidak berhasil membuktikan
adanya tukak lambung atau duodenum tetapi menunjukkan gejala, maka
dilakukan pemeriksaan endoskopi. Diagnosis tukak lambung ditegakkan
berdasarkan pengamatan klinis, hasil pemeriksaan radiologi dan endoskopi,
disertai biopsi untuk pemeriksaan histopatologi. Biopsi dapat
memperlihatkan ada tidaknya Helicobacter pylori (Mayoclinic, 2011).
7. Strategi Terapi
Terapi tukak lambung yang menjadi sasaran terapi adalah menetralkan
asam lambung, melindungi pertahanan mukosa, dan membunuh H.Pylori
(hal ini dilakukan jika tukak lambung disebabkan oleh infeksi H.Pylori).
Tujuan terapi tukak lambung adalah menyembuhkan tukak, mencegah
tukak kambuh, menghilangkan nyeri tukak, dan menghindari terjadinya
komplikasi. Strategi terapi untuk tukak lambung meliputi terapi non-
farmakologis dan farmakologis (Dipiro, 2008).
Strategi terapi yang dapat dilakukan yaitu terapi non farmakologi
berupa menghindari merokok dan konsumsi alkohol serta mengatur
makanan maupun minuman yang dapat memicu ulcer. Selain dapat
dilakukan menhindari stress yang berlebihan dan menjaga sanitasi diri
sendiri dan lingkungan (Dipiro, 2008).
Terapi farmakologis PUD dapat dilakukan dengan:
a. Antasida 20-150 ml/ hari
Pemakaian antasida mengandung campuran Na bikarbonat, Al(OH)3,
Mg(OH)2 dan Mg trisilikat. Antasida berguna untuk terapi simptomatis
yaitu mengurangi nyeri dengan menetralkan asam lambung.
b. Antagonis Reseptor H2
Memiliki kemampuan untuk mengurangi sekresi asam lambung dengan
cara memblok reseptor histamin dalam sel-sel parietal lambung.
Tabel II. Golongan Obat Antagonis Reseptor H2
Obat Indikasi Dosis Waktu
Pemberian
Ranitidin Dispepsia akut 2x150 mg Jangka waktu 4
dan kronis dilanjutkan hingga 6
khususnya tukak 1x150 mg minggu,
duodenum aktif diminum pada
malam hari
Simetidin Gastritis kronik, 3x200 mg Selama 4
tukak peptic minggu
akut dan kronis
Roksatidin Gar=stritis akut 75 mg/hari Selama 1
dan kronis minggu
diminum pada
malam hari
d. Sitoprotektif
Analog prostaglandin juga dapat mencegah terjadinya tukak lambung
dengan efek sitoprotektif meliputi stimulasi sekresi musin dan
bikarbonat. Selain bersifat sitoprotektif juga dapat menekan sekresi asam
lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi
prostaglandin endogen yang berguna untuk memperbaiki mikrosirkulasi
dan meningkatkan produksi mukus Dengan membentuk suatu kompleks
berbentuk gel dengan mukus, Sukralfat menciptakan barrier yang
menghalangi mencegah kekambuhan (Mansjoer, 2001).
e. Terapi Kombinasi
Bismuth toksik terhadap H. pylori dan sebagai satu pilihan yang
digunakan untuk eradikasi organisme dan menurunkan kekambuhan
tukak. Kombinasi Ranitidin dan Bismut sebagai Ranitidin Bismuth Sitrat
dalam kombinasi dengan 2 antibiotik yaitu Klaritromisin dan
Amoksisilin berhasil mengeradikasi H. pylori sebesar lebih dari 90%
(Brashers, 2003). Kombinasi PPI (Proton pump inhibitor) ditambah
Claritromisin maupun Amoxicillin dan Metronidazole. Kombinasi dari
dua antimikroba dan PPI menyebabkan angka kesembuhan lebih besar
dari 80% dan mengurangi resiko resistensi organisme (Goodman and
Gillman, 2011).
D. Mual dan Muntah
1. Definisi
Mual dan muntah adalah interaksi kompleks dari sistem pencernaan,
sistem vestibular, dan signaling dari otak. Mual didefinisikan sebagai
keinginan untuk muntah atau perasaan tidak enak pada bagian tenggorokan
atau daerah epigastrium untuk merangsang individu untuk muntah. Muntah
didefinisikan sebagai pengeluaran isi lambung melalui mulut dan biasanya
adanya tekanan. Komponen sensorik dan motorik refleks muntah diatur oleh
sistem saraf otonom (Dipiro, 2008).
2. Epidemiologi
Mual dan muntah terjadi dalam 50-90% kehamilan. Gejalanya biasanya
dimulai pada kehamilan minggu ke 9-10, memuncak pada minggu ke 11-13,
dan berakhir pada minggu ke 12-14. Pada 1-10% kehamilan, gejala dapat
berlanjut melewati 20-22 minggu. Hiperemesis berat yang harus dirawat inap
terjadi dalam 0,3-2% kehamilan (Mochtar, 2004).
3. Etiologi
Penyebab muntah adalah stimulus yang bekerja pada pusat muntah atau
CTZ (Chemoreceptor Trigger Zone). Zona tersebut berada pada luar sawar
darah otak dalam medula yang berbeda dengan pusat muntah namun letaknya
berdekatan. Mual dan muntah bergantung pada banyak faktor misal pemberian
obat yang merangsang mual dan muntah, kondisi emosional, rasa nyeri,
kerusakan jaringan atau perubahan homeostatis (Jordan, 2002).
4. Strategi terapi
Strategi terapi yang dapat dilakukan adalah terapi non farmakologi yaitu
makan frekuensi sering namun dengan porsi kecil, menghindari makanan
pedas serta berlemak, makan makanan ringan tinggi protein.
Penanganan yang dapat dilakukan untuk mengatasi muntah adalah
sebagai berikut:
a. Pemberian cairan (minum) untuk menggantikan cairan yang telah hilang
dan mencegah terjadinya dehidrasi.
b. Mengusahakan agar pasien berdiri tegak agar isi lambung tidak naik ke
atas (melawan gravitasi) yang mengakibatkan muntah
Dengan terapi farmakologis yaitu menggunakan obat-obat antimuntah,
seperti:
a. Prometasine.
Golongan antihistamin, bermanfaat untuk segala jenis muntah. Efek
sampingnya mengantuk dan gejala ekstra piramidal (distonik, diskinetik
terutama pada anak dan remaja).
b. Domperidone/Butyrophenones.
Memiliki efek ringan – sedang jika digunakan pada kondisi kemoterapi
atau post operasi. Domperidone meningkatkan peristaltik esophagus dan
tekanan sfingter esophagus bagian distal, meningkatkan motilitas dan
peristaltik gaster serta memperbaiki koordinasi gastroduodenal sehingga
memfasilitasi pengosongan lambung dan menurunkan waktu transit usus
halus.
c. Chlorpromazine.
Merupakan golongan phenolthiazine yang mempunyai reaksi
antikolinergik dan antihistamin. Obat ini mengurangi transisi dopamin ke
CTZ dan mengurangi rangsang aferen dari pusat muntah ke usus halus.
Efek samping obat ini adalah sedasi, reaksi ekstra piramidal, jaundice dan
gangguan darah.
d. Metochlopramide.
Suatu golongan antagonis dopamin, bekerja pada reseptor dopamin pada
CTZ.
e. Cisapride.
Obat prokinetik baru yang meningkatkan pelepasan asetilkolin pada
pleksus mienterikus. Cisapride juga dapat meningkatkan motilitas
gastrointestinal, meningkatkan peristaltik dan tekanan sfingter esophagus
bagian distal, meningkatkan pengosongan lambung. Cisapride juga
dikontraindikasikan untuk pasien dengan interval QT memanjang, riwayat
aritmia, gagal jantung kongestif, gagal ginjal, gangguan elektrolit serta
gagal nafas.
f. Ondansetron.
Merupakan serotonergis agonis dan antagonis terbaru dengan efek
antimuntah yang sangat efektif (Sherwood, 2001).
E. Konstipasi
1. Definisi
Konstipasi adalah gangguan kesulitan mengeluarkan feses diikuti
dengan pengeluaran tinja yang tidak teratur dengan jumlah tinja yang
dikeluarkan sedikit, sulit mengeluarkan tinja disertai rasa sakit saat
mengeluarkan tinja. Seseorang dianggap mengalami bila tidak dapat buang
air besar selama 2 hari atau lebih (Wells, 2005).
2. Patofisiologi
Konstipasi umumnya terjadi karena kelainan pada transit pada kolon
atau pada fungsi anorektal sebagai akibat gangguan motilitas primer,
penggunaan obat-obat tertentu atau adanya penyakit sistemik yang
memperngaruhi traktus gastrointestinal. Konstipasi dapat mengalami
eksaserbasi akibat sakit kronik yang menimbulkan gangguan fisik atau
mental yang mengakibatkan imobilitas fisik. Konstipasi juga dapat
disebabkan karena adanya gangguan pada sistem saraf pusat misalkan akibat
penyakit Parkinson. Konstipasi yang dapat dijumpai pada masa kehamilan
karena adanya perubahan kadar estrogen serta progesteron yang menurunkan
transit intestinal (Asdie, 1999).
3. Strategi terapi
Terapi yang dilakukan dapat dengan terapi non farmakologis dengan
masukan makanan yang mengandung serat tinggi misal berasal dari sayuran
dan buah-buahan serta masukan cairan yang cukup (misal mengonsumsi air
putih minimal 8 gelas sehari) juga perlu latihan otot-otot rectum dengan
membiasakan buang air besar setiap hari.
Bila dengan terapi non farmakologis tidak berhasil maka dapat
diberikan obat pencahar, jenis obat pencahar antara lain:
F. Diare
1. Definisi
Diare dapat didefinisikan sebagai defekasi encer lebih dari tiga kali
sehari dengan atau tanpa darah dan atau lendir dalam tinja (Mansjoer, 2001).
Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan berlangsung
kurang dari 14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih
dari 14 hari. Diare dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari
penyebab diare yang terbanyak adalah diare infeksi. Diare infeksi dapat
disebabkan Virus, Bakteri, dan Parasit (Friedman, 2003).
2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat keluhan diare menempati peringkat ketiga dari
daftar keluhan pasien pada ruang praktek dokter, sementara di beberapa
rumah sakit di Indonesia data menunjukkan diare akut karena infeksi
terdapat peringkat pertama hingga keempat pasien dewasa yang datang
berobat ke rumah sakit. Diare lebih banyak terdapat pada negara yang
berkembang daripada negara maju yaitu 12.5 kali lebih banyak dalam kasus
mortalitas, di antara banyak bentuk penyakit diare yang dihadapai anak-anak
yang berusia dibawah 5 tahun yang paling parah adalah kolera, infeksi
rotavirus, dan disentri (Rachman, 1996).
3. Etiologi
Penyebab diare yang paling sering diseluruh dunia adalah infeksi usus
(infectious diarrhea). Frekuensi, jenis dan berat diare ditentukan oleh siapa
yang diserang, dimana serta bilamana diare tersebut terjadi.
a. Infeksi Dapat karena virus (rotavirus, adenovirus, Norwalk), bakteri
(Shigella, Salmonella, E. Coli, Vibrio), parasit (protozoa: E. histolytica,
G. lamblia, Balantidium coli; cacing perut: Ascaris, Ttrikuris,
Strongiloideus; dan jamur: Candida).
b. Malabsorpsi berupa intoleransi laktosa, lemak atau protein
c. Makanan yaitu karena Makanan basi, beracun, alergi terhadap
makanan.
d. Imunodefisiensi
e. Adanya rasa takut dan cemas
(Mansjoer, 2001).
4. Patofisiologi
Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis
menjadi diare non inflamasi dan Diare inflamasi. Diare Inflamasi disebabkan
invasi bakteri dan sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri
dengan diare yang disertai lendir dan darah. Pada diare non inflamasi, diare
disebabkan oleh enterotoksin yang mengakibatkan diare cair dengan volume
yang besar tanpa lendir dan darah.
Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman
enteropatogen meliputi penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa
kerusakan mukosa, invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau
sitotoksin. Satu bakteri dapat menggunakan satu atau lebih mekanisme
tersebut untuk dapat mengatasi pertahanan mukosa usus (Wilson, 2003).
5. Manifestasi klinis
Gejala klinis pada diare disertai inflamasi yang menyertai keluhan
adalah abdomen seperti mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah,
demam, tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja
rutin secara makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, serta mikroskopis
didapati sel leukosit polimorfonuklear. Pada diare tanpa inflamasi
mengalami abdomen tidak sakit atau sedikit sakit, namun gejala dan tanda
dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus yang tidak mendapat cairan
pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit
(Wilson, 2003).
6. Diagnosis
Evaluasi laboratorium pasien tersangka diare infeksi dimulai dari
pemeriksaan feses adanya leukosit. Kotoran biasanya tidak mengandung
leukosit, jika ada itu dianggap sebagai penanda inflamasi kolon baik infeksi
maupun non infeksi. Karena netrofil akan berubah, sampel harus diperiksa
sesegera mungkin. Sensitifitas lekosit feses terhadap inflamasi patogen
(Salmonella, Shigella dan Campylobacter) yang dideteksi dengan kultur
feses bervariasi dari 45% - 95% tergantung dari jenis patogennya (Friedman,
2003).
Penanda yang lebih stabil untuk inflamasi intestinal adalah laktoferin.
Laktoferin adalah glikoprotein bersalut besi yang dilepaskan netrofil,
keberadaannya dalam feses menunjukkan inflamasi kolon. Positip palsu
dapat terjadi pada bayi yang minum ASI. Pada suatu studi, laktoferin feses,
dideteksi dengan menggunakan uji agglutinasi lateks yang tersedia secara
komersial, sensitifitas 83 – 93 % dan spesifisitas 61 – 100 % terhadap pasien
dengan Salmonella,Campilobakter, atau Shigella spp, yang dideteksi dengan
biakan kotoran. Pasien dengan diare berat, demam, nyeri abdomen, atau
kehilangan cairan harus diperiksa kimia darah, natrium, kalium, klorida,
ureum, kreatinin, analisa gas darah dan pemeriksaan darah lengkap
(Rachman, 1996).
7. Strategi terapi
a. Penggantian cairan dan elektrolit
Terapi intra vena bila diperlukan dengan cairan normotonik seperti
cairan normal saline atau Ringer Laktat harus diberikan dengan
suplementasi Kalium sebagaimana panduan kimia darah. Status hidrasi
harus dimonitor dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital,
pernapasan, dan urin, dan penyesuaian infus jika diperlukan.
b. Antibiotik
Tabel IV. Antibiotik untuk diare akibat bakteri
Organisme Pilihan Pertama Pilihan Kedua
Campylobacter, Shigella Ciprofloksasin 500 mg Ceftriaxon 1 gram
atau Salmonella oral 2x sehari, 3-5 hari IM/IV sehari
Trimetoprim-
sulfametoksazole oral 2x
sehari, 3 hari
Azitromisin 500 mg oral
2x sehari
Eritromisin 500 mg oral
2x sehari, 5 hari
Vibrio Cholera Tetrasiklin 500 mg oral Resisten Tetrasiklin
4x sehari, 3 hari Ciprofloksasin 1 gram
Doksisiklin 300 mg oral, oral 1x sehari
dosis tunggal Eritromisin 250 mg oral
4x sehari selama 3 hari
Clostridium difficile Metronidazole 250-500 Vankomisin 125 mg oral
mg 4x sehari selama 7- 4x sehari selama 7-14
14 hari dengan oral atau hari.
IV
Sumber: Wilson, 2003.
2.3 KIE
1. Memberikan edukasi pada pasien untuk menjaga kesehatan sistem
pencernaan, dengan mencegah terjadinya obstruksi, seperti mengonsumsi
makanan tinggi serat, mendapat cairan yang cukup, dan berolahraga secara
teratur.
2. Mengedukasikan pada pasien dengan keganasan terutama pada pasien yang
mendapatkan imunoterapi, pasien harus dievaluasi mengenai keluhan nyeri
perut terutama bila disertai demam dan tanda-tanda perforasi lainnya.
BAB III
PEMBAHASAN
Penyelesaian Kasus:
A. SUBJEKTIF
Data Pasien
Nama : An. Dian
Usia : 3 tahun
Tinggi badan : 88 cm
Berat Badan : 15 kg
Jenis kelamin : Perempuan
Pemeriksaan klinis
Keluhan : Mlaise, pucat, demam, kemacetan faringoton sillar dan batuk
produktif, normal suara napas, perut buncit dan agak lembut dan
tinja normal.
Berat badan : 15 Kg
Tinggi badan : 88 cm
BMI : 19,4
B. OBJEKTIF
Endoskopi
Biopsi pada pencernaan mengungkapkan ulkus lambung non-perdarahan pada 2
cm dari pylorus. Tes biopsi lambung H. pylori adalah positif
Tes Laboratorium
Tes awal menunjukkan anemia dengan reticulocytosis (Hematokrit 29,7%,
Hemoglobin 9,6 g / dl, retikulosit 3,6%, jumlah retikulosit yang dikoreksi
3,24) dan protein total yang lebih rendah(5,52 g/dL).
Hasil laboratorium yang lainnya adalah normal, termasuk tes koagulasi.
Segera setelah dirawat di rumahsakit, pasien kembali mengalami muntah
kopi.
C. ASSESMENT/EVALUASI
Resep Dosis Dosis Kesimpul Efek Samping DRP Penga
Resep Literatur an DR
Glukosa Selama - -
elektrolit Rawat Inap
Esome- 10mg/kg/ 10-20mg/ Sesuai Sakit kepala,
prazole hari hari gangguan
mg/kg/hari pencernaan,
(Medscape, perut kembung, - -
2022)
Ibu 100 4-10 Sesuai Pusing,sakit Ibuprofen obat Dihenti
Profen mg/kg/hari mg/dosis kepala,mual,mu golongan Pemaka
ntah,maag NSAID yang
merupakan
factor pencetus
terjadinya PUD
Paraceta 259mg/ 10-15 overdose Pusing, Dosis yang Direkom
mol kgBB/8jam mg/kg/dosis perdarahan GI diberikan tinggi kan
menuru
dosis
paraseta
berdasa
umur d
pasien
Klaritro 7,5 15 mg Sesuai Gangguan - -
misin mg/kg/hari Gastrointestinal,
mual, muntah
D. PLANNING
1. Terapi Nonfarmakologi
Modifikasi diet
a. Omega-3 asam lemak tak jenuh ganda harus ditambahkan karena memiliki
efek anti inflamasi dan melindungi perut dari bisul.
b. Hindari makanan pedas.
c. Hindari makan larut malam.
d. Ambil diet seimbang yang sehat memiliki kolesterol rendah.
e. Ambil banyak air dan jus segar.
Modifikasi gaya hidup
a. Hindari berbaring di tempat tidur segera setelah makan.
b. Tinggikan kepala tempat tidur.
c. Hindari stress
2. Terapi Farmakologi
Obat Pemberian Alasan Penggunaan
Esomeprazole 10 mg/kgBB PO Esomeprazole untuk pencegahan dan
2x1maks selama 8 pengobatan penyakit tukak lambung terkait
minggu obat antiinflamasi nonsteroid dengan infeksi
H.pylori (Vardanyan and Hruby, 2016).
Klaritromisin 7,5 mg/kg/hari 2x1 Klaritromisin merupakan antibiotic yang
selama 14 hari dapat digunakan bersamaan dengan obat
penekan asam lambung seperti PPI untuk
membunuh bakteri H.pylori yang
menyebabkan tukak lambung.
Metronidazole 15-20 mg/kg/hari Untuk eradikasi H.pylori pada ulkus
PO 2x1 maks peptikum, metronidazole diberikan bersama
selama 4 minggu dengan obat lain sebagai triple regimen yaitu
esomeprazole, klaritromisin, dan
metronidazole.
Glukosa elektrolit digunakan selama rawat inap
Parasetamol diberikan pada pasien pada saat demam dengan dosis
pemberian 160 mg/5 ml
Terapi 3 jenis obat menggunakan PPI (esomeprazole) klaritromisin, serta
metronidazole merupakan regimen terapi 7-14 hari merupakan terapi
kombinasi yang sangat baik digunakan pada keadaan tertentu
3. KIE
Memberikan edukasi kepada keluarga tentang penggunaan obat dan alergi
obat serta riwayat penyakitnya
Memberikan informasi tentang efek samping obat
Memberikan edukasi mengenai penyakit dan pengobatan mengenai
pentingnya pengobatan dan kepatuhan pengobatan untuk meningkatkan
hasil jangka panjang.
4. Monitoring
Monitoring efek samping obat
Monitoring kepatuhan pasien minum obat
Memantau penggunaan obat
Monitoring kebutuhan terapi tambahan untuk meningkatkan kemajuan
menuju tujuan.
PENYELESAIAN KASUS
A. SUBJEKTIF
BAB cair lebih dari 5 kali dalam sehari
BAB cair juga disertai lender dan darah, namun saat BAB cair berikutnya,
BAB cair sudah tidak disertai darah selain itu pasien juga mengalami
demam 2 hari sebelum keluhan BAB cair dirasakan
B. OBJEKTIF
Suhu 36,7oc (normal 36,6-37,2oc)
Frekuensi nadi 120x/menit (normal 70-120 x/menit)
Frekuensi napas 20x/menit (normal 24-40 /menit)
BB 12 kg
Status gizi baik
Status generalis tidak didapatkan mata cekung
Turgor kulit Kembali segera
Bising usus meningkat 14x/menit
Terdapat nyeri tekan epigastrium,hidung dan telingah tidak terdapat
hiperemis maupun secret
Suara nafas vesicular pada kedua lapang paru dan bunyi jantung I-II
regular
C. ASSESMENT
Diare akut tanpa Oralit sachet (bila penggunaan -cotimokzasol tidak tepat untuk
dehidrasi BAB cair saja) antibiotic belum pennangan diare akut.
tepat,
Paracetamol sirup Probiotik menunjukkan insiden
3x1 cth (jika Probiokid : tidak fungiemia atau sepsis bacterial
demam) direkomendasikan yang jarang namun meningkat
untuk profilaksis dengan penggunaan antibiotik
Lacto B 3x1 sachet
pengobatan awal
Cotrimoxazole 2x1 diare terkait
cth antibiotic (dipiro,
D. PLANNING
E. KIE
1. Cuci tangan dengan sabun
2. Tersedianya air bersih
3. Menjaga lingkungan agar tetap bersih
4. Mengatur pola makan yang sehat dengan gizi yng seimbang
5. Antibiotik harus di habiskan sesuai petunjuk etiket
6. Untuk menghindari terjadinya dehidrasi maka perlu dihindari seperti
minuman ringan,minuman buah manis,kaldu ayam dn minuman olahraga.
F. Monitoring
1. Penggunaan antibiotik.
2. Efek samping obat
3. Resolusi diare
4. Kepatuhan pasien terhadap rencana pengobatan menggunakan berbagai
sumber informasi
BAB IV
PENUTUP
7.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh didapatkan kesimpulan:
1. Infeksi gastrointestinal (GI) adalah salah satu penyebab morbiditas dan
mortalitas yang lebih umum diseluruh dunia. Sebagian besar disebabkan
oleh virus, dan beberapa disebabkan oleh bakteri atau oganisme lain.
2. Ulkus peptikum adalah kondisi rusaknya jaringan mukosa, submukosa
hingga lapisan otot dari saluran cerna dan berhubungan langsung
(kontak) dengan cairan lambung asam/pepsin. Pada kasus 1 PUD yang
dialami pasien bukanlah disebabkan oleh infeksi bakteri melainkan
penggunaan NSAD dosis tinggi, oleh karena itu penggunaan NSAID
tersebut dihentikan.
3. Diare merupakan perubahan konsistensi tinja yang terjadi secara tiba-
tiba akibat jumlah air di dalam tinja meningkat melebihi normal dan
frekuensi defekasi meningkat lebih dari 3 kali dalam 24 jam. Pada kasus
2 diare yang dialami pasien dihentikan penggunaan probiotik. Probiotik
tidak boleh direkomendasikan untuk profilaksis atau pengobatan awal
diare terkait antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA
Asdie, A.H., 1999, Harrison: Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta, pp. 256.
Betz L.C., dan Sowden, A.L., 2004, Buku Saku Keperawatan Pediatri, Edisi
Kelima, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, pp. 185, 190-192.
Booker, C., 2008, Ensklopedia Keperawatan, Penerbit Buku kedokteran EGC,
Jakarta, pp. 77, 571.
Brashers, L.V., alih bahasa: Kuncara, H.Y., 2003, Aplikasi Klinis Patofisiologi:
Pemeriksaan dan Manajemen, Edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta, pp. 213-217.
Dipiro J.T, Talbert R.L, Yee G.C, Matzke G.R, Wells B.G. and Posey L.M., 2008,
Pharmacotherapy Principles and Practise, Mc Graw Hill, New York,
Dipiro, J.T., Gary, C.Y., Michael, L.P., Stuart, T.H., Thomas, D.N., dan Vicki, E.
2020. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. Eleventh edition.
McGraw-Hill. United States.
Freedman S.B., 2010, Ondansetron Dosing in Pediatric Gastroenteritis: A
Prospective Cohort, Journal Pediatric Gastroenterology, 12(6), 405-410.
Friedman S.L., 2003, Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology,
Second edition, Lange Medical Books, New York, pp. 131.
Goodman and Gillman, 2011, The Pharmacological Basic of Theurapetics, 12th
Edition, Mc Graw Hill, New York.
Pearce, E.C., 2002, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Penerbit Gramedia,
Jakarta, pp. 176.
Ranchman, A.M., Waspadji S., Lesmana L.A., 1996, Buku Ajar Penyakit Dalam,
Jilid I, Edisi Ketiga, UI Press, Jakarta, pp. 451.
Sherwood, L., 2001, Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, pp. 551
Wells., et al, 2005, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Sixth
Edition, The McGraw-Hill Companies, Inc, USA.
Wilson, W.R., Drew, W.L., Henry N.K., 2003, Current Diagnosis and Treatment
in Infectious Disease, Lange Medical Books, New York, pp. 225.