Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 33

MAKALAH

FARMAKOTERAPI TERAPAN
”Infeksi Saluran Pencernaan”

OLEH

KELOMPOK VI

MURNIATI O1B1 22 033


MURNIATY O1B1 22 034
PUTERI FEBRIANTHY RACHMAN O1B1 22 047
RAHMA SAFIRA O1B1 22 048
WINDY WIRANDANY O1B1 22 080

DOSEN : MUH. ILYAS YUSUF, S FARM., M.IMUN, APT

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT


yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah
Farmakoterapi Terapan yang berjudul "Infeksi Saluran Pencernaan" dengan tepat
waktu.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Muh. Ilyas Yusuf, S


Farm., M.Imun, apt., selaku dosen pengampu mata kuliah Farmakoterapi Terapan.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
diselesaikannya makalah ini.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh
karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukkan bahkan kritik
yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.

Kendari, Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL
HALAMAN PENGESAHAN
PERNYATAAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Saluran Cerna
2.2 Pengobatan Gangguan Saluran Pencernaan
2.3 KIE
BAB III. PEMBAHASAN
3.1 Kasus
BAB V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Infeksi gastrointestinal (GI) adalah salah satu penyebab morbiditas dan
mortalitas yang lebih umum diseluruh dunia. Sebagian besar disebabkan oleh
virus, dan beberapa disebabkan oleh bakteri atau oganisme lain. Di negara
berkembang dan terbelakang, gastroenteritis akut yang menyebabkan diare adalah
penyebab utama kematian pada bayi dan anak-anak dibawah usia 5 tahun. Di
amerika serikat, ada 179 juta episode gastroenteritis akut setiap tahun,
menyebabkan hampir 500.000 rawat inap dan lebih dari 5.000 kematian. Virus
sekarang menjadi penyebab global utama diare menular. Norovirus, sebelumnya
dikenal sebagai virus mirip norwalk, menyebabkan lebih dari 90% gastroenteritis
virus diantara semua kelompok umur dan 50% wabah di seluruh dunia.
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) ada 2 milyar kasus
diare pada orang dewasa di seluruh dunia setiap tahun. Di Amerika Serikat,
insidens kasus diare mencapai 200 juta hingga 300 juta kasus per tahun. Sekitar
900.000 kasus diare perlu perawatan di rumah sakit. Di seluruh dunia, sekitar 2,5
juta kasus kematian karena diare per tahun. Di Amerika Serikat, diare terkait
mortalitas tinggi pada lanjut usia. Satu studi data mortalitas nasional melaporkan
lebih dari 28.000 kematian akibat diare dalam waktu 9 tahun, 51% kematian
terjadi pada lanjut usia. Selain itu, diare masih merupakan penyebab kematian
anak di seluruh dunia, meskipun tatalaksana sudah maju (Lukman, 2015).
Infeksi gastrointestinal (GI) dan keracunan enterotoksigenik mencakup
berbagai kondisi medis yang ditandai dengan peradangan saluran GI. Muntah dan
diare yang diinduksi inflamasi bertanggung jawab atas banyak morbiditas dan
mortalitas dari kondisi ini. Diare didefinisikan sebagai penurunan konsistensi
buang air besar (yaitu, tinja yang tidak berbentuk) dan peningkatan frekuensi
buang air besar sampai tiga kali atau lebih per hari. Penyakit diare akut umumnya
berhubungan dengan diare yang berlangsung kurang dari 7 hari, diare
berkepanjangan berlangsung 7 sampai 13 hari, diare persisten berlangsung 14
sampai 29 hari, dan diare kronis berlangsung 30 hari atau lebih (Dipiro, 2020).
Tindakan kesehatan masyarakat seperti penyediaan air bersih dan fasilitas
sanitasi, serta pengendalian kualitas produk komersial, penting untuk
pengendaltiian sebagian besar infeksi enterik. Praktek penangan dan persiapan
makanan secara saniter secara signifikan menurunkan kejadian infeksi enterik.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana konsep penyakit dari infeksi saluran pencernaan?
2. Bagaimana identifikasi kasus penyakit infeksi saluran pencernaan?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep penyakit dari infeksi saluran pencernaan
2. Dapat identifikasi kasus penyakit infeksi saluran pencernaan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI SALURAN CERNA
Sistem pencernaan meliputi penerimaan makanan dan mempersiapkannya
untuk diasimilasi oleh tubuh. Saluran pencernaan terdiri atas mulut, faring,
esophagus, ventrikulus, tekak, kerongkongan, lambung, usus halus dan usus besar
(Pearce, 2002).
Saluran cerna berfungsi untuk menyerap zat makanan, zat-zat penting,
garam dan air serta mengeksresi bagian-bagian makanan yang tak diserap dan
sebagian hasil akhir metabolisme. Pencernaan makanan adalah suatu proses
biokimia yang bertujuan mengolah makanan yang dimakan menjadi zat-zat yang
mudah diserap oleh selaput lendir usus, zat tersebut dapat berlangsung secara
optimal dan efisien bila dipengaruhi oleh enzim-enzim yang dikeluarkan oleh
fraktus digestivus sendiri maka enzim-enzim tersebut dapat mempengaruhi proses
pencernaan secara optimal dan efisien sehingga dibutuhkan kontak enzim dengan
makanan.

2.2 PENGOBATAN GANGGUAN SALURAN PENCERNAAN


A. Gastroenteroritis
Gastroenteritis adalah inflamasi membran mukosa lambung dan usus halus.
Gastroenteritis akut ditandai dengan diare dan pada beberapa kasus dapat terjadi
mual muntah yang berakibat kehilangan cairan dan gangguan keseimbangan
elektrolit. Gastroenteritis dapat disebabkan akibat mikroorganisme seperti
Campylobacter jejuni, Salmonella typimurium dan dapat disebabkan akibat virus
seperti Virus Norwalk atau Rotovirus yang tercerna dalam makanan, atau dapat
disebabkan makanan yang terkontaminasi Escherichia coli, Staphylococcus
aureus, Clostridium botulinum (Booker,2008).
Manifestasi klinis gastroenteritis adalah konsistensi feses cair dan frekuensi
defekasi meningkat, muntah (umumnya tidak lama), demam (mungkin dapat
terjadi), kram abdomen, membran mukosa kering, fontanel cekung (pada bayi),
berat badan turun dan malaise. Pada pemeriksaan untuk uji laboratorium dan
diagnosis dapat dilakukan pengujian feses untuk mengevaluasi ada tidaknya
mukus atau pus dan evaluasi warna dan konsistensi. Maka penatalaksanaan bila
dehidrasi ringan dapat dilakukan dengan rawat jalan secara per oral misal dengan
Pedialyte atau Ricelyte. Cairan rehidrasi oral diberikan sedikit tetapi sering (5
hingga 15 ml). bila dalam keadaan dehidrasi berat dapat dirawat dirumah sakit
untuk mendapatkan terapi intravena yaitu dengan melakukan resusitasi cairan
dengan 20 ml/kgBB larutan Normal Saline atau Ringer Laktat. Selain itu
dilakukan diet dengan menghentikan sementara konsumsi makanan tinggi protein,
lemak, jus, minuman berenergi dan softdrink (Betz, 2004).
B. Dispepsia
Dispepsia adalah nyeri abdomen atau rasa tidak enak yang terpusat pada
abdomen bagian atas sekitar linea mediana. Spektrum dispepsia adalah nyeri
epigastrium, rasa tidak enak diperut bagian atas, mual-mual, rasa cepat kenyang
meskipun baru makan sedikit, rasa ketat perut bagian atas (bloating) dan rasa
penuh (fullness) (Mansjoer, 2001).
Ada 2 macam dispepsia yaitu ulcus like dyspepsia (nyeri timbul bila
terlambat makan) dan dismotility like dyspepsia (rasa cepat penuh atau kenyang
setelah makan padahal tidak makan banyak. Penyebab dispepsia adalah
ketidakseimbangan antara asam lambung dengan penetralnya. Kadar asam
lambung yang dapat diatas normal dipicu oleh makanan yang terlalu asam dan
pedas, stress, obat OAINS (seperti Ibuprofen, Aspirin). Dispepsia yang tidak
segera diobati dapat berlanjut menjadi gastritis (peradangan di lambung)
(Puspitasari, 2006).
Strategi terapi untuk dispepsia dengan prinsip menyeimbangkan kadar asam
lambung dengan penetralnya seperti menghindari makanan yang asam dan pedas,
menghindari stress. Dapat juga dengan memberikan pengobatan seperti Antasida,
pengeblok H2, proton pump inhibitor, dan antimual-muntah (Puspitasari, 2006).
C. Peptic Ulcer Disease
1. Definisi
Peptic Ulcer Disease merupakan ulcer yang membentuk pada otot
mukosa pada dinding saluran pencernaan. Ulcerasi ini biasanya terletak di
duodenum atau lambung tetapi dapat ditemukan di tempat lain pada saluran
pencernaan. Peptic ulcer disease umum terjadi dan dapat berbahaya bagi
tubuh bila tidak didiagnosis dan diterapi dengan benar (Goodman and
Gillman, 2011).
2. Epidemiologi
Kira-kira, 25 juta orang Amerika terinfeksi oleh PUD, dengan
prevalensi diperkirakan 12% pada pria dan 10% pada wanita. Tingginya
prevalensi dan angka kekambuhan yang terkait dengan PUD menimbulkan
beban ekonomi yang besar (Dipiro, 2008).
Prevalensi PUD meningkat 5 hingga 10 % seiring dengan pertambahan
usia. Duodenum ulcer dapat terjadi pada pria dan wanita dan dapat terjadi
pada pasien yang lebih muda, sedangkan gastric ulcer terjadi biasa pada usia
55 hingga 65 tahun dan dapat terjadi pada pria dan wanita. Risiko gastric
ulcer dan duodenum ulcer berkisar 11 hingga 30% untuk pasien yang
mendapatkan NSAID harian lebih tinggi daripada pasien yang mendapatkan
kortikosteroid selain itu dapat meningkatkan resiko pendarahan
gastrointestinal terutama pada lansia (Brashers, 2003).
3. Etiologi
Tukak lambung yang paling sering disebabkan oleh HP (infeksi
Helicobacter Pylori), penggunaan NSAID, atau terkait dengan stress
kerusakan mukosa. Helicobacter Pylori terdapat pada saluran pencernaan
akibat kontaminasi pada makanan atau minuman. Penggunaan NSAID
dalam dosis besar dan jangka waktu yang lama dapat memicu terjadinya
PUD. Selain itu merokok dapat meningkatkan prevalensi ulcer karena
mengurangi produksi mukosa lambung (Dipiro, 2008).
Tabel I. Penyebab Peptic Ulcer Disease
H.Pylori NSAID Stres mukosal
Onset lokasi Kronis Kronis Akut lambung
yang duodenum lambung
bermasalah
Adanya gejala Sering Jarang Jarang
Ulcer yang Pada permukaan Dalam Pada permukaan
ditimbulkan
Pendarahan Minor Major Major
gastrointestinal
Sumber: Dipiro, 2008.

4. Patofisiologi
Ulcer terjadi bila terdapat kerusakan pada mukosa akibat tidak
mampunya perbaikan yang normal dengan cara adanya lapisan mukus dan
bikarbonat yang membentuk sistem buffer yang mencegah difusi pepsin ke
lapisan mukosa. Adanya pasokan darah untuk lapisan mukosa dapat
menghilangkan kelebihan ion Hidrogen dan mempertahankan aliran nutrisi
agar fungsi dan perbaikan berjalan normal (Brashers, 2003).
H.Pylori menyebabkan cedera jaringan dengan cara memproduksi LPS
(Lipopolisakarida), menstimulasi pelepasan mediator inflamasi, induksi
gastritis aktif dan kronis dan gastritis atropikans serta meningkatkan sekresi
gastrin, pepsin dan asam. NSAID menyebabkan penghambatan COX-1 yang
mengakibatkan penurunan sintesis Prostaglandin yang berguna untuk
perlindungan mukosa. NSAID juga menyebabkan cedera mukosa lokal
dengan adanya ion Hidrogen yang terjerap dalam sel sehingga mendorong
penetrasi gastrin dan pepsin sampai bagian mukosa lambung (Brashers,
2003).
5. Manifestasi klinik
Manifestasi klinis utama tukak peptik adalah kronik dan nyeri
epigastrium. Nyeri biasanya timbul 2 sampai 3 jam setelah makan atau pada
malam hari sewaktu lambung kosong. Nyeri digambarkan sebagai teriris,
terbakar atau rasa tidak enak.
Keluhan lain yaitu nafsu makan menurun, perut kembung, perut
merasa
selalu penuh atau lekas kenyang, timbulnya konstipasi sebagai akibat
instabilitas neromuskuler dari kolon. Secara umum penderita tukak lambung
mengalami dispepsia. Dispepsia adalah suatu gejala beberapa penyakit
saluran cerna seperti mual, muntah, kembung, nyeri ulu hati, sering
sendawa, rasa terbakar, dan cepat merasa kenyang (Lindseth, 2005).
6. Diagnosis
Diagnosis tukak peptik biasanya dipastikan dengan pemeriksaan
barium radiografi. Bila radiografi barium tidak berhasil membuktikan
adanya tukak lambung atau duodenum tetapi menunjukkan gejala, maka
dilakukan pemeriksaan endoskopi. Diagnosis tukak lambung ditegakkan
berdasarkan pengamatan klinis, hasil pemeriksaan radiologi dan endoskopi,
disertai biopsi untuk pemeriksaan histopatologi. Biopsi dapat
memperlihatkan ada tidaknya Helicobacter pylori (Mayoclinic, 2011).
7. Strategi Terapi
Terapi tukak lambung yang menjadi sasaran terapi adalah menetralkan
asam lambung, melindungi pertahanan mukosa, dan membunuh H.Pylori
(hal ini dilakukan jika tukak lambung disebabkan oleh infeksi H.Pylori).
Tujuan terapi tukak lambung adalah menyembuhkan tukak, mencegah
tukak kambuh, menghilangkan nyeri tukak, dan menghindari terjadinya
komplikasi. Strategi terapi untuk tukak lambung meliputi terapi non-
farmakologis dan farmakologis (Dipiro, 2008).
Strategi terapi yang dapat dilakukan yaitu terapi non farmakologi
berupa menghindari merokok dan konsumsi alkohol serta mengatur
makanan maupun minuman yang dapat memicu ulcer. Selain dapat
dilakukan menhindari stress yang berlebihan dan menjaga sanitasi diri
sendiri dan lingkungan (Dipiro, 2008).
Terapi farmakologis PUD dapat dilakukan dengan:
a. Antasida 20-150 ml/ hari
Pemakaian antasida mengandung campuran Na bikarbonat, Al(OH)3,
Mg(OH)2 dan Mg trisilikat. Antasida berguna untuk terapi simptomatis
yaitu mengurangi nyeri dengan menetralkan asam lambung.
b. Antagonis Reseptor H2
Memiliki kemampuan untuk mengurangi sekresi asam lambung dengan
cara memblok reseptor histamin dalam sel-sel parietal lambung.
Tabel II. Golongan Obat Antagonis Reseptor H2
Obat Indikasi Dosis Waktu
Pemberian
Ranitidin Dispepsia akut 2x150 mg Jangka waktu 4
dan kronis dilanjutkan hingga 6
khususnya tukak 1x150 mg minggu,
duodenum aktif diminum pada
malam hari
Simetidin Gastritis kronik, 3x200 mg Selama 4
tukak peptic minggu
akut dan kronis
Roksatidin Gar=stritis akut 75 mg/hari Selama 1
dan kronis minggu
diminum pada
malam hari

c. Proton Pump Inhibitor (PPI)


Obat golongan PPI untuk mengatur sekresi asam lambung dengan cara
menghambat pompa proton yang mentranspor ion H+ keluar dari sel
parietal lambung.
Tabel III. Golongan Obat PPI
Obat Indikasi Dosis Waktu
Pemberian
Omeprazole Tukak peptic Untuk tukak Selama 1-2
dan tukak peptic: 1x20 minggu sewaktu
duodenum mg/hari, pagi hari
Tukak
duodenum:
1x20-50
mg/hari
Lansoprazole Tukak peptic 1x30 mg/hari Selama 2-4
minggu
Pantoprazole Tukak peptic 1x40 mg/hari Selama 4
dan inhibitor minggu
pompa proton
yang reversibel

d. Sitoprotektif
Analog prostaglandin juga dapat mencegah terjadinya tukak lambung
dengan efek sitoprotektif meliputi stimulasi sekresi musin dan
bikarbonat. Selain bersifat sitoprotektif juga dapat menekan sekresi asam
lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi
prostaglandin endogen yang berguna untuk memperbaiki mikrosirkulasi
dan meningkatkan produksi mukus Dengan membentuk suatu kompleks
berbentuk gel dengan mukus, Sukralfat menciptakan barrier yang
menghalangi mencegah kekambuhan (Mansjoer, 2001).
e. Terapi Kombinasi
Bismuth toksik terhadap H. pylori dan sebagai satu pilihan yang
digunakan untuk eradikasi organisme dan menurunkan kekambuhan
tukak. Kombinasi Ranitidin dan Bismut sebagai Ranitidin Bismuth Sitrat
dalam kombinasi dengan 2 antibiotik yaitu Klaritromisin dan
Amoksisilin berhasil mengeradikasi H. pylori sebesar lebih dari 90%
(Brashers, 2003). Kombinasi PPI (Proton pump inhibitor) ditambah
Claritromisin maupun Amoxicillin dan Metronidazole. Kombinasi dari
dua antimikroba dan PPI menyebabkan angka kesembuhan lebih besar
dari 80% dan mengurangi resiko resistensi organisme (Goodman and
Gillman, 2011).
D. Mual dan Muntah
1. Definisi
Mual dan muntah adalah interaksi kompleks dari sistem pencernaan,
sistem vestibular, dan signaling dari otak. Mual didefinisikan sebagai
keinginan untuk muntah atau perasaan tidak enak pada bagian tenggorokan
atau daerah epigastrium untuk merangsang individu untuk muntah. Muntah
didefinisikan sebagai pengeluaran isi lambung melalui mulut dan biasanya
adanya tekanan. Komponen sensorik dan motorik refleks muntah diatur oleh
sistem saraf otonom (Dipiro, 2008).
2. Epidemiologi
Mual dan muntah terjadi dalam 50-90% kehamilan. Gejalanya biasanya
dimulai pada kehamilan minggu ke 9-10, memuncak pada minggu ke 11-13,
dan berakhir pada minggu ke 12-14. Pada 1-10% kehamilan, gejala dapat
berlanjut melewati 20-22 minggu. Hiperemesis berat yang harus dirawat inap
terjadi dalam 0,3-2% kehamilan (Mochtar, 2004).
3. Etiologi
Penyebab muntah adalah stimulus yang bekerja pada pusat muntah atau
CTZ (Chemoreceptor Trigger Zone). Zona tersebut berada pada luar sawar
darah otak dalam medula yang berbeda dengan pusat muntah namun letaknya
berdekatan. Mual dan muntah bergantung pada banyak faktor misal pemberian
obat yang merangsang mual dan muntah, kondisi emosional, rasa nyeri,
kerusakan jaringan atau perubahan homeostatis (Jordan, 2002).
4. Strategi terapi
Strategi terapi yang dapat dilakukan adalah terapi non farmakologi yaitu
makan frekuensi sering namun dengan porsi kecil, menghindari makanan
pedas serta berlemak, makan makanan ringan tinggi protein.
Penanganan yang dapat dilakukan untuk mengatasi muntah adalah
sebagai berikut:
a. Pemberian cairan (minum) untuk menggantikan cairan yang telah hilang
dan mencegah terjadinya dehidrasi.
b. Mengusahakan agar pasien berdiri tegak agar isi lambung tidak naik ke
atas (melawan gravitasi) yang mengakibatkan muntah
Dengan terapi farmakologis yaitu menggunakan obat-obat antimuntah,
seperti:
a. Prometasine.
Golongan antihistamin, bermanfaat untuk segala jenis muntah. Efek
sampingnya mengantuk dan gejala ekstra piramidal (distonik, diskinetik
terutama pada anak dan remaja).
b. Domperidone/Butyrophenones.
Memiliki efek ringan – sedang jika digunakan pada kondisi kemoterapi
atau post operasi. Domperidone meningkatkan peristaltik esophagus dan
tekanan sfingter esophagus bagian distal, meningkatkan motilitas dan
peristaltik gaster serta memperbaiki koordinasi gastroduodenal sehingga
memfasilitasi pengosongan lambung dan menurunkan waktu transit usus
halus.
c. Chlorpromazine.
Merupakan golongan phenolthiazine yang mempunyai reaksi
antikolinergik dan antihistamin. Obat ini mengurangi transisi dopamin ke
CTZ dan mengurangi rangsang aferen dari pusat muntah ke usus halus.
Efek samping obat ini adalah sedasi, reaksi ekstra piramidal, jaundice dan
gangguan darah.
d. Metochlopramide.
Suatu golongan antagonis dopamin, bekerja pada reseptor dopamin pada
CTZ.
e. Cisapride.
Obat prokinetik baru yang meningkatkan pelepasan asetilkolin pada
pleksus mienterikus. Cisapride juga dapat meningkatkan motilitas
gastrointestinal, meningkatkan peristaltik dan tekanan sfingter esophagus
bagian distal, meningkatkan pengosongan lambung. Cisapride juga
dikontraindikasikan untuk pasien dengan interval QT memanjang, riwayat
aritmia, gagal jantung kongestif, gagal ginjal, gangguan elektrolit serta
gagal nafas.

f. Ondansetron.
Merupakan serotonergis agonis dan antagonis terbaru dengan efek
antimuntah yang sangat efektif (Sherwood, 2001).

E. Konstipasi
1. Definisi
Konstipasi adalah gangguan kesulitan mengeluarkan feses diikuti
dengan pengeluaran tinja yang tidak teratur dengan jumlah tinja yang
dikeluarkan sedikit, sulit mengeluarkan tinja disertai rasa sakit saat
mengeluarkan tinja. Seseorang dianggap mengalami bila tidak dapat buang
air besar selama 2 hari atau lebih (Wells, 2005).
2. Patofisiologi
Konstipasi umumnya terjadi karena kelainan pada transit pada kolon
atau pada fungsi anorektal sebagai akibat gangguan motilitas primer,
penggunaan obat-obat tertentu atau adanya penyakit sistemik yang
memperngaruhi traktus gastrointestinal. Konstipasi dapat mengalami
eksaserbasi akibat sakit kronik yang menimbulkan gangguan fisik atau
mental yang mengakibatkan imobilitas fisik. Konstipasi juga dapat
disebabkan karena adanya gangguan pada sistem saraf pusat misalkan akibat
penyakit Parkinson. Konstipasi yang dapat dijumpai pada masa kehamilan
karena adanya perubahan kadar estrogen serta progesteron yang menurunkan
transit intestinal (Asdie, 1999).
3. Strategi terapi
Terapi yang dilakukan dapat dengan terapi non farmakologis dengan
masukan makanan yang mengandung serat tinggi misal berasal dari sayuran
dan buah-buahan serta masukan cairan yang cukup (misal mengonsumsi air
putih minimal 8 gelas sehari) juga perlu latihan otot-otot rectum dengan
membiasakan buang air besar setiap hari.
Bila dengan terapi non farmakologis tidak berhasil maka dapat
diberikan obat pencahar, jenis obat pencahar antara lain:

a. Obat untuk melunakkan feses dalam 1-3 hari


 Bulk forming agents: Metilselulosa (4-6 gram per hari),
Policarpophil (4-6 gram per hari), dan Psilium (bervariasi tergantung
Produk)
 Emollients: Natrium Dokusat (50-360 mg per hari), Kalsium
Dokusat (50-360 mg per hari), Kalium Dokusat (100-300 mg per
hari)
 Laktulosa 15-30 ml per oral
 Sorbitol 30-50 gram/ hari per oral
 Mineral oil sebanyak 15-30 ml per oral
b. Obat untuk melunakkan feses dalam 6-12 jam
 Bisakodil secara per oral 5-15 mg
 Phenolptalein 30-270 mg secara per oral
 Senna dengan dosis yang disesuaikan formulasi
 Magnesium Sulfat dengan dosis yang rendah (< 10 gram secara per
oral)
c. Obat yang membuat feses menjadi cair dalam 6-12 jam
 Magnesium Sitrat 18 g dilarutkan pada 300 ml air
 Magnesium Hidrooksida 2.4–4.8 g secara per oral
 Magnesium Sulfat (dalam dosis tinggi) 10–30 g secara per oral
 Bisacodyl (dalam bentuk suppositoria) 10 mg dimasukkan ke rektal
(Dipiro, 2008).

F. Diare
1. Definisi
Diare dapat didefinisikan sebagai defekasi encer lebih dari tiga kali
sehari dengan atau tanpa darah dan atau lendir dalam tinja (Mansjoer, 2001).
Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan berlangsung
kurang dari 14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih
dari 14 hari. Diare dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari
penyebab diare yang terbanyak adalah diare infeksi. Diare infeksi dapat
disebabkan Virus, Bakteri, dan Parasit (Friedman, 2003).
2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat keluhan diare menempati peringkat ketiga dari
daftar keluhan pasien pada ruang praktek dokter, sementara di beberapa
rumah sakit di Indonesia data menunjukkan diare akut karena infeksi
terdapat peringkat pertama hingga keempat pasien dewasa yang datang
berobat ke rumah sakit. Diare lebih banyak terdapat pada negara yang
berkembang daripada negara maju yaitu 12.5 kali lebih banyak dalam kasus
mortalitas, di antara banyak bentuk penyakit diare yang dihadapai anak-anak
yang berusia dibawah 5 tahun yang paling parah adalah kolera, infeksi
rotavirus, dan disentri (Rachman, 1996).
3. Etiologi
Penyebab diare yang paling sering diseluruh dunia adalah infeksi usus
(infectious diarrhea). Frekuensi, jenis dan berat diare ditentukan oleh siapa
yang diserang, dimana serta bilamana diare tersebut terjadi.
a. Infeksi Dapat karena virus (rotavirus, adenovirus, Norwalk), bakteri
(Shigella, Salmonella, E. Coli, Vibrio), parasit (protozoa: E. histolytica,
G. lamblia, Balantidium coli; cacing perut: Ascaris, Ttrikuris,
Strongiloideus; dan jamur: Candida).
b. Malabsorpsi berupa intoleransi laktosa, lemak atau protein
c. Makanan yaitu karena Makanan basi, beracun, alergi terhadap
makanan.
d. Imunodefisiensi
e. Adanya rasa takut dan cemas
(Mansjoer, 2001).
4. Patofisiologi
Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis
menjadi diare non inflamasi dan Diare inflamasi. Diare Inflamasi disebabkan
invasi bakteri dan sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri
dengan diare yang disertai lendir dan darah. Pada diare non inflamasi, diare
disebabkan oleh enterotoksin yang mengakibatkan diare cair dengan volume
yang besar tanpa lendir dan darah.
Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman
enteropatogen meliputi penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa
kerusakan mukosa, invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau
sitotoksin. Satu bakteri dapat menggunakan satu atau lebih mekanisme
tersebut untuk dapat mengatasi pertahanan mukosa usus (Wilson, 2003).
5. Manifestasi klinis
Gejala klinis pada diare disertai inflamasi yang menyertai keluhan
adalah abdomen seperti mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah,
demam, tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja
rutin secara makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, serta mikroskopis
didapati sel leukosit polimorfonuklear. Pada diare tanpa inflamasi
mengalami abdomen tidak sakit atau sedikit sakit, namun gejala dan tanda
dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus yang tidak mendapat cairan
pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit
(Wilson, 2003).
6. Diagnosis
Evaluasi laboratorium pasien tersangka diare infeksi dimulai dari
pemeriksaan feses adanya leukosit. Kotoran biasanya tidak mengandung
leukosit, jika ada itu dianggap sebagai penanda inflamasi kolon baik infeksi
maupun non infeksi. Karena netrofil akan berubah, sampel harus diperiksa
sesegera mungkin. Sensitifitas lekosit feses terhadap inflamasi patogen
(Salmonella, Shigella dan Campylobacter) yang dideteksi dengan kultur
feses bervariasi dari 45% - 95% tergantung dari jenis patogennya (Friedman,
2003).
Penanda yang lebih stabil untuk inflamasi intestinal adalah laktoferin.
Laktoferin adalah glikoprotein bersalut besi yang dilepaskan netrofil,
keberadaannya dalam feses menunjukkan inflamasi kolon. Positip palsu
dapat terjadi pada bayi yang minum ASI. Pada suatu studi, laktoferin feses,
dideteksi dengan menggunakan uji agglutinasi lateks yang tersedia secara
komersial, sensitifitas 83 – 93 % dan spesifisitas 61 – 100 % terhadap pasien
dengan Salmonella,Campilobakter, atau Shigella spp, yang dideteksi dengan
biakan kotoran. Pasien dengan diare berat, demam, nyeri abdomen, atau
kehilangan cairan harus diperiksa kimia darah, natrium, kalium, klorida,
ureum, kreatinin, analisa gas darah dan pemeriksaan darah lengkap
(Rachman, 1996).
7. Strategi terapi
a. Penggantian cairan dan elektrolit
Terapi intra vena bila diperlukan dengan cairan normotonik seperti
cairan normal saline atau Ringer Laktat harus diberikan dengan
suplementasi Kalium sebagaimana panduan kimia darah. Status hidrasi
harus dimonitor dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital,
pernapasan, dan urin, dan penyesuaian infus jika diperlukan.
b. Antibiotik
Tabel IV. Antibiotik untuk diare akibat bakteri
Organisme Pilihan Pertama Pilihan Kedua
Campylobacter, Shigella Ciprofloksasin 500 mg Ceftriaxon 1 gram
atau Salmonella oral 2x sehari, 3-5 hari IM/IV sehari
Trimetoprim-
sulfametoksazole oral 2x
sehari, 3 hari
Azitromisin 500 mg oral
2x sehari
Eritromisin 500 mg oral
2x sehari, 5 hari
Vibrio Cholera Tetrasiklin 500 mg oral Resisten Tetrasiklin
4x sehari, 3 hari Ciprofloksasin 1 gram
Doksisiklin 300 mg oral, oral 1x sehari
dosis tunggal Eritromisin 250 mg oral
4x sehari selama 3 hari
Clostridium difficile Metronidazole 250-500 Vankomisin 125 mg oral
mg 4x sehari selama 7- 4x sehari selama 7-14
14 hari dengan oral atau hari.
IV
Sumber: Wilson, 2003.

c. Obat Anti Diare


 Obat antimotilitas dan sekresi usus. Dapat digunakan: Loperamid :
4 mg per oral (dosis awal) lalu tiap tinja cair diberikan 2 mg dengan
dosis maksimal 16 mg/ hari, Difenoksilat: 4 kali sehari 5 mg, Kodein
Fosfat: 15-60 mg tiap 6 jam.
 Obat dengan absorpsi zat toksik. Dapat digunakan Norit sebanyak
1-2 tablet diulang sesuai kebutuhan, dapat digunakan pula attapulgit
aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin dengan efek tersebut maka
sel mukosa usus terhindar kontak langsung dengan zat-zat yang
dapat merangsang sekresi elektrolit.
 Zat hidrofilik. Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang berasal dari
Plantago oveta, Psyllium, Karaya (Strerculia), Ispraghulla, Coptidis
dan Catechu dapat membentuk kolloid dengan cairan dalam lumen
usus dan akan mengurangi frekuensi dan konsistensi feses tetapi
tidak mengurangi kehilangan cairan dan elektrolit. Pemakaiannya
adalah 5-10 cc/ 2x sehari dilarutkan dalam air atau diberikan dalam
bentuk kapsul atau tablet
d. Probiotik
Probiotik adalah preparat mikroorganisme dan sebagian besar produk
komersial berasal dari sumber makanan, terutama produk susu kultur (yaitu,
lactobacilli dan bifidobacteria). Ketika digunakan dalam pengobatan atau
profilaksis diare menular dan diare terkait antibiotik, kemanjurannya
bervariasi. Sebagian besar studi individu belum menunjukkan manfaat yang
signifikan dari penggunaan probiotik dan meta-analisis telah menunjukkan
hasil yang bertentangan, dengan satu menunjukkan kemanjuran ketika uji
coba dinilai secara agregat43dan yang lain menunjukkan tidak ada manfaat.
Tidak ada efek samping serius yang dilaporkan pada orang sehat orang;
namun, ada data yang menunjukkan insiden fungiemia atau sepsis bakterial
yang jarang namun meningkat dengan penggunaan probiotik. Dengan
potensi efek samping dan data kemanjuran yang terbatas, probiotik tidak
boleh direkomendasikan untuk profilaksis atau pengobatan awal diare terkait
antibiotik (Dipiro, 2020).
Kelompok probiotik yang terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria
atau Saccharomyces boulardii, bila mengalami peningkatan jumlahnya di
saluran cerna akan memiliki efek yang positif karena berkompetisi untuk
nutrisi dan reseptor saluran cerna (Friedman, 2003).

2.3 KIE
1. Memberikan edukasi pada pasien untuk menjaga kesehatan sistem
pencernaan, dengan mencegah terjadinya obstruksi, seperti mengonsumsi
makanan tinggi serat, mendapat cairan yang cukup, dan berolahraga secara
teratur.
2. Mengedukasikan pada pasien dengan keganasan terutama pada pasien yang
mendapatkan imunoterapi, pasien harus dievaluasi mengenai keluhan nyeri
perut terutama bila disertai demam dan tanda-tanda perforasi lainnya.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 KASUS PEPTIK


Seorang anak berusia 3 tahun, dengan riwayat keluarga ulkus peptikum,
dirawat dengan gejala demam, muntah kopi dan perut nyeri, hemodinamik stabil
(detak jantung 128 denyut per menit, tekanan darah 108/71 mmHg, laju
pernapasan 28 napas per menit). Ibunya mengatakan, Anak nya menerima dua
dosis berat ibuprofen (dua dosis 100 mg -6,66 mg / kgby mouth, 8 jam terpisah)
dan dosis parasetamol (250 mg -16,66 mg / kg- melalui mulut), keduanya
diberikan dalam waktu yang sesuai interval waktu dalam 24 jam sebelumnya
untuk pengendalian demam. Pasien memiliki riwayat medis positif dari
pernapasan bagian atas. Infeksi saluran dengan kejang demam dan pneumonia
interstisial, diobati dengan antypiretics dan clarithromycin. Di hari-hari pertama
infeksi saluran pernapasan atas (5 minggu sebelumnya untuk episode
perdarahan), ibuprofen 100 mg -6,66 mg / kg- diberikan melalui mulut setiap 8
jam selama tiga hari dan di dua hari dua dosis sehari dalam waktu yang tepat
Interval Untuk episode kejang tidak ada obat antiseizure dibutuhkan. klaritromisin
7,5 mg / kg / hari diberikan melalui mulut selama 10 hari. Durasi gejala adalah 2
minggu. Pasien alergi terhadap sefalosporin dan amoksisilin/asamklavulanat.
Tidak ada penyakit defisiensi imun yang didokumentasikan.

Penyelesaian Kasus:
A. SUBJEKTIF
Data Pasien
Nama : An. Dian
Usia : 3 tahun
Tinggi badan : 88 cm
Berat Badan : 15 kg
Jenis kelamin : Perempuan

Pemeriksaan klinis
Keluhan : Mlaise, pucat, demam, kemacetan faringoton sillar dan batuk
produktif, normal suara napas, perut buncit dan agak lembut dan
tinja normal.
Berat badan : 15 Kg
Tinggi badan : 88 cm
BMI : 19,4

B. OBJEKTIF
Endoskopi
Biopsi pada pencernaan mengungkapkan ulkus lambung non-perdarahan pada 2
cm dari pylorus. Tes biopsi lambung H. pylori adalah positif
Tes Laboratorium
 Tes awal menunjukkan anemia dengan reticulocytosis (Hematokrit 29,7%,
Hemoglobin 9,6 g / dl, retikulosit 3,6%, jumlah retikulosit yang dikoreksi
3,24) dan protein total yang lebih rendah(5,52 g/dL).
 Hasil laboratorium yang lainnya adalah normal, termasuk tes koagulasi.
Segera setelah dirawat di rumahsakit, pasien kembali mengalami muntah
kopi.

C. ASSESMENT/EVALUASI
Resep Dosis Dosis Kesimpul Efek Samping DRP Penga
Resep Literatur an DR
Glukosa Selama       - -
elektrolit Rawat Inap
Esome- 10mg/kg/ 10-20mg/ Sesuai Sakit kepala,
prazole hari hari gangguan
mg/kg/hari pencernaan,
(Medscape, perut kembung, - -
2022)
 
Ibu 100 4-10 Sesuai Pusing,sakit Ibuprofen obat Dihenti
Profen mg/kg/hari mg/dosis kepala,mual,mu golongan Pemaka
ntah,maag NSAID yang
merupakan
  factor pencetus
terjadinya PUD
Paraceta 259mg/ 10-15 overdose Pusing, Dosis yang Direkom
mol kgBB/8jam mg/kg/dosis perdarahan GI diberikan tinggi kan
menuru
  dosis
paraseta
berdasa
umur d
pasien
Klaritro 7,5 15 mg Sesuai Gangguan - -
misin mg/kg/hari Gastrointestinal,
mual, muntah

D. PLANNING
1. Terapi Nonfarmakologi
Modifikasi diet
a. Omega-3 asam lemak tak jenuh ganda harus ditambahkan karena memiliki
efek anti inflamasi dan melindungi perut dari bisul.
b. Hindari makanan pedas.
c. Hindari makan larut malam.
d. Ambil diet seimbang yang sehat memiliki kolesterol rendah.
e. Ambil banyak air dan jus segar.
Modifikasi gaya hidup
a. Hindari berbaring di tempat tidur segera setelah makan.
b. Tinggikan kepala tempat tidur.
c. Hindari stress
2. Terapi Farmakologi
Obat Pemberian Alasan Penggunaan
Esomeprazole 10 mg/kgBB PO Esomeprazole untuk pencegahan dan
2x1maks selama 8 pengobatan penyakit tukak lambung terkait
minggu obat antiinflamasi nonsteroid dengan infeksi
H.pylori (Vardanyan and Hruby, 2016).
Klaritromisin 7,5 mg/kg/hari 2x1 Klaritromisin merupakan antibiotic yang
selama 14 hari dapat digunakan bersamaan dengan obat
penekan asam lambung seperti PPI untuk
membunuh bakteri H.pylori yang
menyebabkan tukak lambung.
Metronidazole 15-20 mg/kg/hari Untuk eradikasi H.pylori pada ulkus
PO 2x1 maks peptikum, metronidazole diberikan bersama
selama 4 minggu dengan obat lain sebagai triple regimen yaitu
esomeprazole, klaritromisin, dan
metronidazole.
 Glukosa elektrolit digunakan selama rawat inap
 Parasetamol diberikan pada pasien pada saat demam dengan dosis
pemberian 160 mg/5 ml
 Terapi 3 jenis obat menggunakan PPI (esomeprazole) klaritromisin, serta
metronidazole merupakan regimen terapi 7-14 hari merupakan terapi
kombinasi yang sangat baik digunakan pada keadaan tertentu
3. KIE
 Memberikan edukasi kepada keluarga tentang penggunaan obat dan alergi
obat serta riwayat penyakitnya
 Memberikan informasi tentang efek samping obat
 Memberikan edukasi mengenai penyakit dan pengobatan mengenai
pentingnya pengobatan dan kepatuhan pengobatan untuk meningkatkan
hasil jangka panjang.
4. Monitoring
 Monitoring efek samping obat
 Monitoring kepatuhan pasien minum obat
 Memantau penggunaan obat
 Monitoring kebutuhan terapi tambahan untuk meningkatkan kemajuan
menuju tujuan.

3.2 KASUS DIARE


Pasien An usia 2 tahun,datang ke puskesmas diantar oleh ibunya untuk
berobat dengan keluhan BAB cair lebih dari 5 kali dalam sehari. BAB dirasakan
sejak 1 hari sebelum dating ke puskesmas, BAB yang di alami sebanyak 1 gelas
belimbing setiap BAB dan berwarna kekuningan, BAB cair juga disertai lender
dan darah, namun saat BAB cair berikutnya, BAB cair sudah tidak disertai darah
selain itu pasien juga mengalami demam 2 hari sebelum keluhan BAB cair
dirasakan, demam yang terjadi tidak terlalu tinggi dan tidak dipengaruhi oleh
waktu, ibu pasien mengatakan pasien terkadang rewel dan hanya sedikit makan
dan minum,sebelum muncul keluhan BAB cair pasien mengkomsumsi es kelapa
muda milik ibunya, ibu pasien mengatakan bahwa pasien mengkomsumsi susu
formula sejak lahir, tidak diberikan ASI sejak lahir, sejak mengalami BAB cair
ibu pasien belum mencoba mencari pengobatan, ibu pasien hanya memberikan
susu dan makanan yang lunak serta memberikan kompres hangat Ketika badan
pasien terasa demam.

Dari pemeriksaan fisik di dapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,


suhu tubuh 36,7oc, frekuensi nadi 120 x/menit, frekuensi nafas 20x/ menit berat
badan 12 kg dan pajang badan 90 cm, status gizi baik (-2 sd+ 2 SD), pada
pemeriksaan status generalis tidak didapatkan mata cekung, turgor kulit kembali
segera, bising usus meningkat 14x/menit dan terdapat nyeri tekan epigastrium,
hidung dan telingah tidak terdapat secret, suara napas vesikulerpada kedua lapang
paru dan bunyi jantung I-IIregular

PENYELESAIAN KASUS

A. SUBJEKTIF
 BAB cair lebih dari 5 kali dalam sehari
 BAB cair juga disertai lender dan darah, namun saat BAB cair berikutnya,
BAB cair sudah tidak disertai darah selain itu pasien juga mengalami
demam 2 hari sebelum keluhan BAB cair dirasakan
B. OBJEKTIF
 Suhu 36,7oc (normal 36,6-37,2oc)
 Frekuensi nadi 120x/menit (normal 70-120 x/menit)
 Frekuensi napas 20x/menit (normal 24-40 /menit)
 BB 12 kg
 Status gizi baik
 Status generalis tidak didapatkan mata cekung
 Turgor kulit Kembali segera
 Bising usus meningkat 14x/menit
 Terdapat nyeri tekan epigastrium,hidung dan telingah tidak terdapat
hiperemis maupun secret
 Suara nafas vesicular pada kedua lapang paru dan bunyi jantung I-II
regular

C. ASSESMENT

Problem medik Terapi obat saat analisis DRP


ini

Diare akut tanpa Oralit sachet (bila penggunaan -cotimokzasol tidak tepat untuk
dehidrasi BAB cair saja) antibiotic belum pennangan diare akut.
tepat,
Paracetamol sirup Probiotik menunjukkan insiden
3x1 cth (jika Probiokid : tidak fungiemia atau sepsis bacterial
demam) direkomendasikan yang jarang namun meningkat
untuk profilaksis dengan penggunaan antibiotik
Lacto B 3x1 sachet
pengobatan awal
Cotrimoxazole 2x1 diare terkait
cth antibiotic (dipiro,

Zink 1x20 2021)


mg(diteruskan
selama 10 hari)

D. PLANNING

Obat Pemberian Alasan Penggunaan


Oralit Diberikan pada Oralit digunakan untuk mengganti elektrolit
saat BAB masih yang hilang Bersama BAB cair, walaupun air
cair sangat penting untuk mencegah dehidrasi, air
minum tidak mengandung garam elektrolit
yang diperlukan untuk mempertahankan
kesimbangan elektrolit dalam tubuh,
sehingga oralit lebih utama, glukosa dan
garam yang terkandung dalam oralit dapat
diserap dengan baik oleh usus penderita,dan
pemberian oralit sesuai banyakanya BAB
cair,hal ini dilakukan sebagai upaya untuk
mencegah supaya tidak terjadi dehidrasi
yang lebih berat pada pasien.
Azitromisin 1x sehari 10mg/kg Azitromisin merupakan lini pertama pada
BB pasien BAB cair disertai darah,menurut
anjuran WHO setiap BAB cair dengan darah
dapat diterapi dengan shigellosis, antibiotik
pilihan golongan makrolida dan floruqinolon
kedua golongan ini baik terhadap bakteri
pathogen invasif termasuk campylobacter
shigella, salmonella, yersina dan aeromonas
species, namun paradigma di negara qt
apalagi untuk pengobatan dasar seperti di
puskemas, merupakan pelayanan dasar
menggunakan kotrimoksazol sebagai obat
utama untuk diare, untuk golongan
makrolida belum terdapat di pelayanan dasar
Parasetamol sirup Apabila masih Paracetamol merupakan terapi simptomatik
demam yaitu diminum hanya setiap kali asien
merasakan demam ,pengobatan simptomatik
diberikan sebisa mungkin dengan dosis yang
rendah,dosis paracetamol anak 10-15
mg/kgbb/kali pemberian
Zink 1x sehari selama Pemberian zink yang dilakukan di awal masa
10 hari diare selama 10 hari ke depan secara
signifikan menurunkan morbiditas dan
mortilitas pasien,zink dapat meningkatkan
kekebalan tubuh sehingga dapat mencegah
risiko terulangnya diare 2-3 bulan setelah
anak sembuh dari diare, pemberian zink
harus tetap dilanjutkan meskipun diare sudah
berhenti,hal ini dimaksudkan untuk
meningktakan ketahanan tubuh terhadap
berulangnya diare pada 2-3 bulan kedepan.

Probiokid adalah preparate mikroorganisme dan sebagian besar produk komersial


berasal dari sumber makanan, terutama produk susu kultur (yaitu lactobacilli dan
bifidobacterial). Ketika digunakan dalam pengobatan atau profilaksis diare
menular dan diare teerkait antibiotic, kemanjuran bervarias. Sebagian besar studi
individu belum menunjukkan manfaat yang signifikan dari penggunaan probiotik
dan meta-analisis telah menunjukkan hasil yang bertentangan, dengan satu
menunjukkan kemanjuran. Ketika uji coba dinilai secara agregata dan yang lain
menunjukkan tidak ada manfaat, tidak ada efek samping serius yang dilaporkan
pada orang sehat, namun ada data yang menunjukkan insiden fungiemia atau
sepsis bacterial yang jarang namun meningkat dengan penggunaan probiotik,
dengan potensi efek samping dan data kemanjuran yang terbatas, probiotik tidak
boleh direkomendasikan untuk profilaksis atau pengobatan awal diare terkait
antibiotik.

E. KIE
1. Cuci tangan dengan sabun
2. Tersedianya air bersih
3. Menjaga lingkungan agar tetap bersih
4. Mengatur pola makan yang sehat dengan gizi yng seimbang
5. Antibiotik harus di habiskan sesuai petunjuk etiket
6. Untuk menghindari terjadinya dehidrasi maka perlu dihindari seperti
minuman ringan,minuman buah manis,kaldu ayam dn minuman olahraga.

F. Monitoring
1. Penggunaan antibiotik.
2. Efek samping obat
3. Resolusi diare
4. Kepatuhan pasien terhadap rencana pengobatan menggunakan berbagai
sumber informasi

BAB IV
PENUTUP
7.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh didapatkan kesimpulan:
1. Infeksi gastrointestinal (GI) adalah salah satu penyebab morbiditas dan
mortalitas yang lebih umum diseluruh dunia. Sebagian besar disebabkan
oleh virus, dan beberapa disebabkan oleh bakteri atau oganisme lain.
2. Ulkus peptikum adalah kondisi rusaknya jaringan mukosa, submukosa
hingga lapisan otot dari saluran cerna dan berhubungan langsung
(kontak) dengan cairan lambung asam/pepsin. Pada kasus 1 PUD yang
dialami pasien bukanlah disebabkan oleh infeksi bakteri melainkan
penggunaan NSAD dosis tinggi, oleh karena itu penggunaan NSAID
tersebut dihentikan.
3. Diare merupakan perubahan konsistensi tinja yang terjadi secara tiba-
tiba akibat jumlah air di dalam tinja meningkat melebihi normal dan
frekuensi defekasi meningkat lebih dari 3 kali dalam 24 jam. Pada kasus
2 diare yang dialami pasien dihentikan penggunaan probiotik. Probiotik
tidak boleh direkomendasikan untuk profilaksis atau pengobatan awal
diare terkait antibiotik.

DAFTAR PUSTAKA
Asdie, A.H., 1999, Harrison: Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta, pp. 256.
Betz L.C., dan Sowden, A.L., 2004, Buku Saku Keperawatan Pediatri, Edisi
Kelima, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, pp. 185, 190-192.
Booker, C., 2008, Ensklopedia Keperawatan, Penerbit Buku kedokteran EGC,
Jakarta, pp. 77, 571.
Brashers, L.V., alih bahasa: Kuncara, H.Y., 2003, Aplikasi Klinis Patofisiologi:
Pemeriksaan dan Manajemen, Edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta, pp. 213-217.
Dipiro J.T, Talbert R.L, Yee G.C, Matzke G.R, Wells B.G. and Posey L.M., 2008,
Pharmacotherapy Principles and Practise, Mc Graw Hill, New York,
Dipiro, J.T., Gary, C.Y., Michael, L.P., Stuart, T.H., Thomas, D.N., dan Vicki, E.
2020. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. Eleventh edition.
McGraw-Hill. United States.
Freedman S.B., 2010, Ondansetron Dosing in Pediatric Gastroenteritis: A
Prospective Cohort, Journal Pediatric Gastroenterology, 12(6), 405-410.
Friedman S.L., 2003, Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology,
Second edition, Lange Medical Books, New York, pp. 131.
Goodman and Gillman, 2011, The Pharmacological Basic of Theurapetics, 12th
Edition, Mc Graw Hill, New York.
Pearce, E.C., 2002, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Penerbit Gramedia,
Jakarta, pp. 176.
Ranchman, A.M., Waspadji S., Lesmana L.A., 1996, Buku Ajar Penyakit Dalam,
Jilid I, Edisi Ketiga, UI Press, Jakarta, pp. 451.
Sherwood, L., 2001, Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, pp. 551
Wells., et al, 2005, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Sixth
Edition, The McGraw-Hill Companies, Inc, USA.
Wilson, W.R., Drew, W.L., Henry N.K., 2003, Current Diagnosis and Treatment
in Infectious Disease, Lange Medical Books, New York, pp. 225.

You might also like