Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 30

MAKALAH

BID’AH DALAM IBADAH

OLEH

NAMA : MIFTAHUL

JANNAH

PRODI : MANAJEMEN

NPM : 22310154

KELAS : B22

Dosen pembimbing :

Dr. MUHAMMAD YUSRAN HADI, Lc, MA.

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI SABANG (STIES)

BANDA ACEH
1
Daftar Isi

Daftar Isi 2

KATA PENGANTAR 3

BAB I PENDAHULUAN 4

A. Latar belakang 4

B. Rumusan Masalah 4

C. Tujuan 5

BAB II PEMBAHASAN 6

A. Pengertian Bid’ah 6

1. Definisi Bid’ah 6

2. Definisi Bid'ah Syariat Lebih Khusus 7

B. Dalil Tentang Haramnya Bid’ah 13

1. Dalil Al-Qur’an 13

2. Dalil Hadits 13

C. Pendapat Para Ulama Salaf yang Melarang dan Mengharamkan Bid’ah 18

a) Para Sahabat 18

b) Para Tabi’in 19

c) Tabi’ut dan Tabi’in 20

D. Pendapat Ulama Khalaf dan Kontemporer 20

E. Contoh-Contoh Bid’ah Dalam Ibadah 22

1. Bid’ah Dalam Shalat 22

2. Bid’ah dalam puasa 23

3. Bid’ah dalam thaharah 25

Daftar Pustaka 26

2
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi robbil 'alamin, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang telah
menganugerahkan keimanan, keislaman, kesehatan, dan kesempatan sehingga penulis dapat
menyusun makalah ini dengan baik, dengan judul "Bid’ah Dalam Ibadah" ini disusun dalam
rangka memenuhi tugas kuliah.

Penyusunan makalah ini tak lepas dari campur tangan berbagai pihak yang telah
berkontribusi secara maksimal. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya.

Meski demikian, penulis meyakini masih banyak yang perlu diperbaiki dalam
penyusunan makalah ini, baik dari segi dalil, sumber hukum, tata bahasa, dan bahkan tanda
baca sehingga sangat diharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian sebagai bahan
evaluasi penulis.

Demikian, besar harapan penulis agar makalah ini dapat menjadi bacaan menarik bagi
pembaca dan peserta seminar.

Banda Aceh, 10 November 2022

MIFTAHUL JANNAH

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Sesuatu yang diadakan (baru) dan bertentangan dengan kitab suci al Quran,
sunnah rasul, ijma' para ulama, atau atsar (para sahabat), maka itulah bid'ah dan ini
dilarang. Sedangkan suatu kebaikan yang tidak bertentangan sedikitpun dengan al Quran,
sunnah, ijma' atau atsar maka yang demikian itu adalah terpuji.

Bid’ah adalah mengadakan suatu perkara yang baru dalam agama. Adapun
mengadakan suatu perkara yang tidak diniatkan untuk agama tetapi semata diniatkan
untuk terealisasinya maslahat duniawi seperti mengadakan perindustrian dan alat-alat
sekedar untuk mendapatkan kemaslahatan manusia yang bersifat duniawi
tidak dinamakan bid’ah.
Bid’ah tidak mempunyai dasar yang ditunjukkan syariat. Adapun apa yang
ditunjukkan oleh kaidah-kaidah syariat bukanlah bid’ah, walaupun tidak ditentukan oleh
nash secara khusus.Bid’ah dalam agama terkadang menambah dan terkadang
mengurangi syariat sebagaimana yang dikatakan oleh Suyuthi di samping dibutuhkan
pembatasan yaitu apakah motivasi adanya penambahan itu agama. Adapun bila motivasi
penambahan selain agama, bukanlah bid’ah. Contohnya meninggalkan perkara wajib
tanpa udzur, maka perbuatan ini adalah tindakan maksiat bukan bid’ah. Demikian juga
meninggalkan satu amalan sunnah tidak dinamakan bid’ah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan dari latar belakang tersebut, dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Apa definisi atau pengertian dari bid’ah?
2. Bagaimanakah Pembagian bid’ah itu?
3. Apa yang melatarbelakangi bid’ah terbagi menjadi 2?
4. Sebutkan contoh bid’ah hasanah?
5. Sebutkan contoh bid’ah dhalalah?

4
C. Tujuan
Adapun tujuan disusunnya makalah ini yaitu:

1. Untuk melengkapi nilai dan tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam 2.
2. Untuk meningkatkan pengetahuan tentang Bid’ah dan pembagiannya.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Bid’ah

1. Definisi Bid’ah
Untuk mengetahui pengertian bid'ah yang benar maka kita harus terlebih
dahulu memahami arti bid'ah secara Bahasa (etimologi) dan istilah
(terminologi/syariat). Bid'ah Menurut Bahasa (Etimologi) Yaitu hal baru yang
disisipkan pada syariat setelah setelah ia sempurna. Ibnu As-Sikkit berpendapat
bahwa bid'ah adalah segala hal yang baru. Sementara istilah pelaku bid'ah (baca:
mubtadi') menurut adat terkesan tercela. Adapun Abu Adnan berpendapat bahwa
bid'ah adalah melakukan satu perbuatan yang nyaris belum pernah dilakukan oleh
siapapun, seperti perkataan Anda: si fulan berbuat bid'ah dalam perkara ini, artinya
ia telah mendahului untuk melakukan hal itu sebelum orang lain. Bid'ah Menurut
Istilah (Terminologi/Syariat).
Ada dua cara yang ditempuh para ulama untuk mendefinisikan bid'ah menurut
syara'. Segala hal yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW adalah Bid'ah.
Pandangan ini dimotori oleh Al Izz bin Abdussalam (ulama madzhab Syafi'i), dia
menganggap bahwa segala hal yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW sebagai
bid'ah. Bid'ah ini pun terbagi kepada hukum yang lima. Berikut perkataan Al Izz:
"Amal perbuatan yang belum pernah ada di zaman Nabi SAW atau tidak pernah
dilakukan di zaman beliau terbagi lima macam: Bid'ah wajib, Bid'ah haram
Bid'ah sunnah, Bid'ah makruh, Bid'ah mubah.
Adapun untuk mengetahui semua itu adalah mengembalikan semua perbuatan
yang dianggap bid'ah itu di hadapan kaidah-kaidah syariat, jika ia masuk atau
sesuai dengan kaidah atau prinsip wajib maka perbuatan itupun menjadi wajib
(bid'ah wajib), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip haram maka
perbuatan itupun menjadi haram (bid'ah haram), jika ia masuk atau sesuai dengan
kaidah atau prinsip sunah maka perbuatan itupun menjadi sunah (bid'ah sunah),
jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip mubah (boleh) maka
perbuatan itu pun menjadi mubah (bid'ah mubah). (Lihat Qawa'id Al Ahkam fi
Mashalihil Anam, juz 2. h. 204) Makna tersebut juga dikatakan oleh Imam

6
An-Nawawi yang berpendapat bahwa segala perbuatan yang tidak pernah ada di
zaman Nabi dinamakan bid'ah, akan tetapi hal itu ada yang baik dan ada yang
kebalikannya/buruk. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al Asqalani. Juz 2.h. 394).

2. Definisi Bid'ah Syariat Lebih Khusus


Cara kedua yang ditempuh para ulama untuk mendefinisikan bid'ah adalah:
menjadikan pengertian bid'ah menurut syariat lebih khusus dari pada menurut
bahasa. Sehingga istilah bid'ah hanya berlaku untuk suatu perkara yang tercela saja,
dan tidak perlu ada penamaan bid'ah wajib, sunah, mubah dan seterusnya seperti
yang diutarakan oleh Al Izz bin Abdussalam.
Cara kedua ini membatasi istilah bid'ah pada suatu amal yang diharamkan
saja. Cara kedua ini diusung oleh Ibnu Rajab Al Hambali, ia pun memjelaskan
bahwa bid'ah adalah suatu perbuatan yang tidak memiliki dasar syariat yang
menguatkannya, adapun jika suatu perbuatan ini memiliki dasar syariat yang
menguatkannya maka tidak dinamakan bid'ah, sekalipun hal itu bid'ah menurut
bahasa. (lihat Jami' Al Ulum Wa Al Hikam h. 223).
Sebenarnya kedua cara yang ditempuh para ulama ini sepakat mengenai
hakikat pengertian bid'ah, perbedaan mereka terjadi pada pintu masuk yang akan
mengantarkan pada pengertian yang disepakati ini, yaitu bahwa bid'ah yang tercela
(madzmumah) adalah yang berdosa jika mengerjakannya, dimana perbuatan itu
tidak memiliki dasar syar'i yang menguatkannya, inilah makna yang dimaksud dari
sabda Nabi SAW,
‫" ﺔﻟﻼﺿ ﺔﻋﺪﺑ ﻞﻛ‬Setiap perbuatan bid'ah itu sesat”.
Definisi yang jelas inilah yang dipegang oleh para ulama, ahli fiqih dan imam
yang diikuti. Imam Syafi'i--sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al
Baihaqi--bahwa beliau berkata, "Perkara baru yang tidak ada di zaman nabi SAW
itu ada dua kategori: Perkara baru yang bertolak belakang dengan Al Qur'an,
Sunnah, pendapat sahabat atau Ijma, maka itu termasuk bid'ah yang sesat (bid'ah
dhalalah).
Perkara baru yang termasuk baik (hasanah), tidak bertentangan dengan Al
Qur'an, Sunnah, pendapat sahabat atau Ijma, maka perkara baru ini tidak tercela.
"(Riwayat Al Baihaqi. Lihat kitab Manaqib Asy-Syafi'i, juga oleh Abu Nu'aim
dalam kitab Hilyatul Auliya'. 9/113)

7
Sementara Hujjatul Islam, Abu Hamid Al Ghazali berpendapat bahwa tidak
semua perkara baru yang tidak dilakukan di zaman nabi SAW itu dilarang, akan
tetapi yang dilarang adalah perkara bid'ah yang bertolak belakang dengan Sunnah
dan menghilangkan apa yang sudah ditetapkan syari'at. (Lih.Ihya' Ulumuddin, juz
2, h. 248)

Imam An-Nawawi telah menukil dari Sulthanul ulama, Imam Izzuddin bin
Abdussalam, dia berkata di akhir kitab Qawa'id Al Ahkam (kaidah-kaidah
hukum),"Bid'ah itu terbagi kepada wajib, sunah, mubah, haram dan makruh ... ",Di
kesempatan lain, dalam pembicaraan tentang hukum bersalaman usai shalat, dia
juga berkata, "Ketahuilah bahwa bersalaman ini disunahkan pada setiap pertemuan,
adapun orang-orang membiasakan bersalaman pada setiap kali usai shalat maka ini
tidak ada dasarnya sama sekali, akan tetapi hal itu tidak mengapa dilakukan, karena
dasar bersalaman itu adalah Sunnah. Adapun mereka yang membiasakannya pada
kondisi tertentu seperti usai shalat maka hal ini tidak keluar dari keberadaan
bersalaman yang disinggung oleh dasar syariat (Sunnah)." (lihat An-Nawawi dalam
Al Adzkar)

Adapun Ibnu Al Atsir berkata,

"Bid'ah itu ada dua macam, bid'ah huda (yang berpetunjuk) dan bid'ah
dholalah (sesat), jika perkaranya bertolak belakang dengan apa yang diperintahkan
Rasulullah SAW maka itu termasuk tercela dan dikecam. Jika perkara itu termasuk
yang disunahkan dan dianjurkan maka perkara itu terpuji. Dia pun menambahkan:
bid'ah yang baik pada dasarnya adalah sunnah."

Karena itu hadits Nabi SAW, "Bahwa setiap perkara baru itu bid'ah."
Dipahami jika perkara baru itu bertentangan dengan dasar-dasar syariat dan
bertolak belakang dengan Sunnah." (lihat An-Nihayah, karangan Ibnu Al Atsir juz
1. h. 80)

Ibnu Al Manzhur juga memiliki pendapat yang bagus mengenai definisi bid'ah
secara istilah syar'i, menurutnya:

Bid'ah itu ada dua macam, bid'ah berpetunjuk (huda) dan bid'ah yang sesat
(dhalal). Jika perkara itu bertolak belakang dengan perintah Allah dan Rasul-Nya
maka itu termasuk tercela dan dikecam. Adapun jika perkaranya termasuk atau

8
sesuai dengan apa yang dianjurkan Allah dan Rasul-Nya maka itu termasuk
perkara terpuji. Adapun perkara yang tidak ada contohnya di zaman nabi SAW
seperti macam-macam jenis kebaikan dan kedermawanan serta perbuatan baik
lainnya maka itu termasuk perbuatan yang terpuji (seperti bersedekah dengan
pulsa, voucher, mengucapkan selamat via email dan SMS atau MMS, mengaji via
telepon, dan lain sebagainya--Red)."

Perkara baru ini tidak boleh bertentangan dengan dasar-dasar syariat, karena
Nabi SAW telah menilai perbuatan ini (yang sesuai dengan dasar-dasar syari'at)
berhak mendapatkan pahala: beliau bersabda,"Siapa yang memulai perbuatan baik
maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya."

Pada perbuatan kebalikannya beliau bersabda pula, "Siapa yang memulai


suatu kebiasaan buruk, maka dia mendapatkan dosanya, dan dosa orang yang
mengamalkannya." Hal itu terjadi jika perbuatannya bertentangan dengan perintah
Allah dan Rasul-Nya.

Begitu Pula dengan yang dikatakan Umar,

"Ini (shalat Tarawih berjamaah) bid'ah yang baik".Jika perbuatan itu termasuk
kategori kebaikan dan terpuji maka dinamakannya dengan bid'ah yang baik dan
terpuji, karena Nabi SAW tidak menyunahkan shalat Tarawih secara berjamaah
kepada mereka, Rasulullah hanya melakukannya beberapa hari lalu
meninggalkannya dan tidak lagi mengumpulkan jamaah untuk melakukan shalat
Tarawih. Praktik shalat Tarawih berjamaah ini juga tidak dilakukan pada masa Abu
Bakar. Namun hal itu dipraktikkan di masa Umar bin Al Khaththab, beliau
menganjurkannya serta membiasakannya, sehingga Umar menamakannya dengan
bid'ah pula, namun pada hakikatnya praktik tersebut adalah sunnah, berdasarkan
sabda Nabi SAW, "Ikutilah Sunnahku, dan sunnah khulafaur rasyidin
setelahku."Juga sabda beliau lainnya, "Ikuti orang-orang setelahku, yaitu Abu
Bakar, Umar, Utsman dan Ali ".

Adapun hadits nabi SAW, "Setiap perkara baru adalah bid'ah". Dipahami jika
perkara itu bertolak belakang dengan dasar-dasar syariat dan tidak sesuai dengan
Sunnah. (lihat Lisan Al 'Arab juz 8. h. 6)

Sikap Para Ulama terhadap Definisi Bid'ah

9
Jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa bid'ah terbagi
beberapa macam, hal ini nampak pada pendapat imam Syafi'i dan para pengikutnya
seperti, Al Izzu bin Abdussalam, An-Nawawi dan Abu Syamah. Dari Madzhab
Maliki seperti, Al Qarafi dan Az-Zarqani. Dari Madzhab Hanafi, seperti Ibnu
Abidin. Dari Madzhab Hambali, seperti Ibnu Al Jauzi. Dari madzhab Zhahiriyah,
seperti Ibnu Hazm.

Semua ini tercermin dalam definisi yang diberikan Al Izz bin Abdussalam
mengenai bid'ah, yaitu perbuatan atau amal yang tidak pernah ada di zaman Nabi
SAW, dan hal ini terbagi pada bid'ah wajib, sunah, haram, makruh dan mubah.

Para ulama ini memberikan contoh-contoh mengenai pembagian bid'ah ini:

Bid'ah wajib

Seperti mempelajari ilmu nahwu dan sharaf (gramatika bahasa Arab) yang
dengannya dapat memahami kalam Ilahi dan sabda Rasulullah. Ini termasuk bid'ah
wajib, karena ilmu ini berfungsi untuk menjaga kemurnian syariat, sebagaimana
dijelaskan dalam kaidah fikih,

‫ﺐﺟاو ﻮﮭﻓ ﮫﺑ ﻻإ ﺐﺟاﻮﻟا ﻢﺘﯾﻻ ﺎﻣ‬

"Sesuatu yang tanpanya kewajiban tidak akan berjalan sempurna maka sesuatu itu
pun menjadi wajib hukumnya."

- Bid'ah haram

Seperti pemikiran sekte Al Qadariyah, sekte Al Jabariyah, sekte Al Murji'ah


dan sekte Al Khawarij, paham bahwa Al Qur'an adalah produk budaya, dan paham
bahwa zamantini masih jahiliyah sehingga hukum-hukum Islam belum bisa
diterapkan, dan lain sebagainya.

- Bid'ah sunnah

Seperti merenovasi sekolah, membangun jembatan, shalat tarawih secara


berjamaah dengan satu imam, dan adzan dua kali pada shalat Jum'at.

- Bid'ah makruh

Seperti menghiasi atau memperindah Masjid dan Kitab Al Qur'an.

10
- Bid'ah mubah

Seperti, bersalaman usai shalat jamaah, tahlil, memperingati Maulid Nabi


SAW, berdoa dan membaca Al Qur'an di kuburan, dzikir secara berjamaah
dengan dipimpin imam usai shalat, dzikir dengan suara keras secara berjamaah,
dan keanekaragaman bentuk pakaian dan makanan.

Mengenai bid'ah mubah ini diperlukan sikap toleransi yang tinggi di kalangan
umat Islam untuk menjaga persatuan dan persaudaraan yang hukumnya wajib,
artinya siapa saja boleh melakukan dan meninggalkannya, jangan sampai ada
paksaan sedikitpun dalam melakukannya apalagi saling merasa benar atau
menyalahkan kelompok lainnya.

Adapun dalil yang menjadi dasar pembagian bid'ah ini menjadi lima adalah:

Perkataan Umar tentang shalat tarawih berjamaah di masjid pada bulan


Ramadhan dengan mengatakan

,‫هﺬھ ﺔﻋﺪﺒﻟا ﺖﻤﻌﻧ‬

Ini sebaik-baik bid'ah.

Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abdul Qari, dia berkata:

Aku keluar rumah bersama Umar bin Khaththab pada malam bulan
Ramadhan menuju masjid. Kami menyaksikan orang-orang terbagi-bagi, masing
masing melakukan shalat sendirian. Kemudian Umar berkata,"Aku berpandangan
andai saja aku bisa mengumpulkan mereka pada satu imam maka ini lebih baik dan
ideal." Beliau Pun bertekad mengumpulkan mereka dengan imamnya Ubay bin
Ka'ab. Kemudian aku keluar ke masjid pada hari berikutnya bersama beliau, kami
pun melihat orang-orang sedang shalat dibelakang satu imam. Umar lalu berkata.

‫هﺬھ ﺔﻋﺪﺒﻟا ﺖﻤﻌﻧ‬, “Inilah sebaik-baik bid'ah”.

Adapun melakukannya di akhir malam maka itu lebih afdhal daripada


melakukannya di awal malam. (HR. Bukhari)

Abdullah bin Umar menilai shalat Dhuha yang dilakukan secara berjamaah di
masjid adalah bid'ah, padahal itu merupakan perkara baik.

11
Diriwayatkan dari Mujahid, dia berkata:

Aku dan Urwah bin Zubair masuk masjid, ternyata ada Abdullah bin Umar
sedang duduk di samping serambi rumah Aisyah, lalu ada sekelompok orang
melakukan shalat Dhuha secara berjamaah. Kami Pun menanyakan hukum shalat
mereka ini kepadanya, dia pun menjawab,"Bid'ah".(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits-hadits yang menunjukkan pembagian bid'ah menjadi bid'ah baik dan


buruk diantaranya adalah yang diriwayatkan secara marfu' (shahih dan sampai pada
nabi SAW): "Siapa yang memulai suatu perbuatan baik maka ia akan mendapatkan
pahalanya, dan pahala dari orang yang mengikutinya sampai hari kiamat. Siapa
yang memulai suatu perbuatan buruk maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa
dari orang yang mengikutinya sampai hari kiamat." (HR. Muslim)

Dari apa yang disampaikan dapat kita simpulkan bahwa mengenai bid'ah ini ada
dua pandangan para ulama:

Seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Rajab Al Hambali dan lainnya, bahwa
semua perbuatan yang diberi pahala dan disyariatkan melakukannya tidak
dinamakan bid'ah, sekalipun hal itu pantas dinamakan bid'ah dari segi bahasa, yaitu
perbuatan baru yang belum pernah ada yang melakukannya, akan tetapi penamaan
bid'ah terhadap perbuatan ini tidak dimaksudkan sebagai bid'ah yang tercela
apalagi sesat. Pandangan perincian macam-macam bid'ah seperti yang
dikemukakan oleh Al Izz bin Abdissalam sebagaimana yang telah kami paparkan
sebelumnya.

Sementara sikap kita sebagai muslim terhadap masalah yang cukup penting ini
yang mempengaruhi pemikiran Islam, masalah-masalah fikih, juga pandangan atau
sikap kita terhadap saudara-saudara semuslim kita lainnya, sehingga janganlah
dengan mudah kita mengklaim mereka yang melakukan bid'ah hasanah (yang baik)
itu sebagai pelaku bid'ah yang sesat dan fasik (wal 'iyadzu billah/kita memohon
perlindungan kepada Allah dari hal itu), hal ini terjadi karena ketidaktahuan
dengan prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah yang telah jelas tersebut, sehingga
masalah ini pun menjadi samar dan aneh di kalangan umat Islam.

12
B. Dalil Tentang Haramnya Bid’ah
1. Dalil Al-Qur’an
‫نﻮﻜﯿﻓ ﻦﻛ ﮫﻟ لﻮﻘﯾ ﺎﻤﻧﺈﻓ اﺮﻣأ ﻰﻀﻗ اذإو ضرﻷاو تاوﺎﻤﺴﻟا ﻊﯾﺪﺑ‬
Artinya adalah “Memulai, mengkreasi dan mencipta sesuatu tanpa ada contoh
sebelumnya” (QS. Al-Baqarah 117).
‫نﻮﻘﺘﺗ ﻢﻜﻠﻌﻟ ﮫﺑ ﻢﻛﺎﺻو ﻢﻜﻟذ ﮫﻠﯿﺒﺳ ﻦﻋ ﻢﻜﺑ قﺮﻔﺘﻓ ﻞﺒﺴﻟا اﻮﻌﺒﺘﺗ ﻻو هﻮﻌﺒﺗﺎﻓ ﺎﻤﯿﻘﺘﺴﻣ ﻲطاﺮﺻ اﺬھ نأو‬
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah
dia; dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.” (Qs. Al An'am [6]: 153).

2. Dalil Hadits
1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

‫در ﻮﮭﻓ ﮫﻨﻣ ﺲﯿﻟ ﺎﻣ اﺬھ ﺎﻧﺮﻣأ ﻰﻓ ثﺪﺣأ ﻦﻣ‬

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan
agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no.
2697 dan Muslim no. 1718)

2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda

‫در ﻮﮭﻓ ﺎﻧﺮﻣأ ﮫﯿﻠﻋ ﺲﯿﻟ ﻼﻤﻋ ﻞﻤﻋ ﻦﻣ‬

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka
amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718)

3. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap memulai khutbah biasanya beliau


mengucapkan,

‫ﺔﻟﻼﺿ ﺔﻋﺪﺑ ﻞﻛو ﺎﮭﺗﺎﺛﺪﺤﻣ رﻮﻣﻷا ﺮﺷو ﺪﻤﺤﻣ ىﺪھ ىﺪﮭﻟا ﺮﯿﺧو ﷲ بﺎﺘﻛ ﺚﯾﺪﺤﻟا ﺮﯿﺧ نﺈﻓ ﺪﻌﺑ ﺎﻣأ‬

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan


sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara
agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR.
Muslim no. 867)

4. Dalam riwayat An-Nasa'i

13
‫ ﮫﻟ ﻞﻀﻣ ﻼﻓ ﷲ ﺪﮭﯾ ﻦﻣ‬، ‫ ﮫﻟ يدﺎھ ﻼﻓ ﻞﻠﻀﯾ ﻦﻣو‬، ‫ ﷲ بﺎﺘﻛ ﺚﯾﺪﺤﻟا قﺪﺻأ نإ‬، ‫ﺪﻤﺤﻣ يﺪھ يﺪﮭﻟا ﻦﺴﺣأو‬
‫ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ‬، ‫ ﺎﮭﺗﺎﺛﺪﺤﻣ رﻮﻣﻷا ﺮﺷو‬، ‫ ﺔﻋﺪﺑ ﺔﺛﺪﺤﻣ ﻞﻛو‬، ‫ ﺔﻟﻼﺿ ﺔﻋﺪﺑ ﻞﻛو‬، ‫رﺎﻨﻟا ﻲﻓ ﺔﻟﻼﺿ ﻞﻛو‬

“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang bisa
menyesatkannya. Dan yang disesatkan oleh Allah tidak ada yang bisa memberi
petunjuk padanya. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara
agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan
setiap kesesatan tempatnya di neraka” (HR. An Nasa’i no. 1578, dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An-Nasa’i)

5. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

‫ﻰﺘﻨﺴﺑ ﻢﻜﯿﻠﻌﻓ اﺮﯿﺜﻛ ﺎﻓﻼﺘﺧا ىﺮﯿﺴﻓ ىﺪﻌﺑ ﻢﻜﻨﻣ ﺶﻌﯾ ﻦﻣ ﮫﻧﺈﻓ ﺎﯿﺸﺒﺣ اﺪﺒﻋ نإو ﺔﻋﺎﻄﻟاو ﻊﻤﺴﻟاو ﷲ ىﻮﻘﺘﺑ ﻢﻜﯿﺻوأ‬
‫ﺔﻋﺪﺑ ﺔﺛﺪﺤﻣ ﻞﻛ نﺈﻓ رﻮﻣﻷا تﺎﺛﺪﺤﻣو ﻢﻛﺎﯾإو ﺬﺟاﻮﻨﺎﻟﺑ ﺎﮭﯿﻠﻋ اﻮﻀﻋو ﺎﮭﺑ اﻮﻜﺴﻤﺗ ﻦﯾﺪﺷاﺮﻟا ﻦﯿﯾﺪﮭﻤﻟا ءﺎﻔﻠﺨﻟا ﺔﻨﺳو‬
‫ﺔﻟﻼﺿ ﺔﻋﺪﺑ ﻞﻛو‬

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar
dan taat kepada pemimpin walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak
dari Habasyah. Karena barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku
nanti, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk
berpegang pada sunnah-ku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mereka itu telah
diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham
kalian. Jauhilah dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara
(agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR.
At Tirmidzi no. 2676. ia berkata: “hadits ini hasan shahih”)

6. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

‫ﮫﺘﻋﺪﺑ عﺪﯾ ﻰﺘﺣ ﺔﻋﺪﺑ ﺐﺣﺎﺻ ﻞﻛ ﻦﻋ ﺔﺑﻮﺘﻟا ﺐﺠﺣ ﷲ نإ‬

“Sungguh Allah menghalangi taubat dari setiap pelaku bid’ah sampai ia


meninggalkan bid’ahnya” (HR. Ath-Thabrani dalam Al Ausath no.4334.
Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 54)

7. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

14
‫ ضﻮﺤﻟا ﻰﻠﻋ ﻢﻜطﺮﻓ ﺎﻧأ‬، ‫ﻰﺑﺎﺤﺻأ بر ىأ لﻮﻗﺄﻓ ﻰﻧود اﻮﺠﻠﺘﺧا ﻢﮭﻟوﺎﻧﻷ ﺖﯾﻮھأ اذإ ﻰﺘﺣ ﻢﻜﻨﻣ لﺎﺟر ﻰﻟإ ﻦﻌﻓﺮﯿﻟ‬
‫ كﺪﻌﺑ اﻮﺛﺪﺣأ ﺎﻣ ىرﺪﺗ ﻻ لﻮﻘﯾ‬.

“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Lalu ditampakkan di


hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan
(minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata,
‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku’. Allah berfirman, ‘Engkau tidak tahu (bid’ah)
yang mereka ada-adakan sepeninggalmu’ “ (HR. Bukhari no. 6576, 7049)

8. Dalam riwayat lain dikatakan

‫ ﻰﻨﻣ ﻢﮭﻧإ‬. ‫ىﺪﻌﺑ لﺪﺑ ﻦﻤﻟ ﺎﻘﺤﺳ ﺎﻘﺤﺳ لﻮﻗﺄﻓ كﺪﻌﺑ اﻮﻟﺪﺑ ﺎﻣ ىرﺪﺗ ﻻ ﻚﻧإ لﺎﻘﯿﻓ‬

“(Wahai Rabb), sungguh mereka bagian dari pengikutku. Lalu Allah


berfirman, ‘Sungguh engkau tidak tahu bahwa sepeninggalmu mereka telah
mengganti ajaranmu”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku
sesudahku”(HR. Bukhari no. 7050)

Al ‘Aini rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini beliau berkata:


“Hadits-hadits yang menjelaskan orang-orang yang demikian yaitu yang dikenal oleh
Nabi sebagai umatnya namun ada penghalang antara mereka dan Nabi, dikarenakan
yang mereka ada-adakan setelah Nabi wafat. Ini menunjukkan setiap orang
mengada-adakan suatu perkara dalam agama yang tidak diridhai Allah itu tidak
termasuk jamaah kaum muslimin. Seluruh ahlul bid’ah itu adalah orang-orang yang
gemar mengganti (ajaran agama) dan mengada-ada, juga orang-orang zhalim dan ahli
maksiat, mereka bertentangan dengan al haq. Orang-orang yang melakukan itu semua
yaitu mengganti (ajaran agama) dan mengada-ada apa yang tidak ada ajarannya dalam
Islam termasuk dalam bahasan hadits ini” (Umdatul Qari, 6/10)

9. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

‫• ﺔﻨﺴﻟا• نﻮﺌﻔﻄﯾ• لﺎﺟر• يﺪﻌﺑ• ﻦﻣ• ﻢﻛﺮﻣأ• ﻲﻠﯿﺳ• ﮫﻧا‬، •‫• ﺔﻋﺪﺑ• نﻮﺛﺪﺤﯾو‬، •‫• ”• ﺎﮭﺘﯿﻗاﻮﻣ• ﻦﻋ• ةﻼﺼﻟا• نوﺮﺧﺆﯾو‬، •‫ﻦﺑا• لﺎﻗ‬
: ‫ ﷲ لﻮﺳر ﺎﯾ‬، ‫ لﺎﻗ ؟ ﻢﮭﺘﻛردأ اذإ ﻲﺑ ﻒﯿﻛ‬: ” ‫ ” ﷲ ﻰﺼﻋ ﻦﻤﻟ ﺔﻋﺎط ﺪﺒﻋ مأ ﻦﺑا ﺎﯾ ﺲﯿﻟ‬، ‫ثﻼﺛ ﺎﮭﺎﻟﻗ‬
‫دﻮﻌﺴﻣ تاﺮﻣ‬

15
“Sungguh diantara perkara yang akan datang pada kalian sepeninggalku
nanti, yaitu akan ada orang (pemimpin) yang mematikan sunnah dan membuat
bid’ah. Mereka juga mengakhirkan shalat dari waktu sebenarnya’. Ibnu Mas’ud lalu
bertanya: ‘apa yang mesti kami perbuat jika kami menemui mereka?’. Nabi
bersabda: ‘Wahai anak Adam, tidak ada ketaatan pada orang yang bermaksiat pada
Allah'”. Beliau mengatakannya 3 kali. (HR. Ahmad no.3659, Ibnu Majah no.2860.
Dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Hadits Shahihah, 2864)

10. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

‫ﺎﺌﯿﺷ ﻢھرﻮﺟأ ﻦﻣ ﺺﻘﻨﯾ نأ ﺮﯿﻏ ﻦﻣ• ﺎﮭﺑ• ﻞﻤﻋ ﻦﻣ ﻞﺜﻣ ﺮﺟﻷا ﻦﻣ ﮫﻟ نﺈﻓ يﺪﻌﺑ ﺖﺘﯿﻣأ• ﺪﻗ ﻲﺘﻨﺳ ﻦﻣ ﺔﻨﺳ ﺎﯿﺣأ ﻦﻣ ﮫﻧإ‬
، ‫سﺎﻨﻟا رازوأ ﻦﻣ ﻚﻟذ ﺺﻘﻨﯾ ﻻ ﺎﮭﺑ ﻞﻤﻋ ﻦﻣ مﺎﺛآ ﻞﺜﻣ ﮫﯿﻠﻋ نﺎﻛ ﮫﻟﻮﺳرو ﷲ ﺎھﺎﺿﺮﯾ ﻻ ﺔﻟﻼﺿ ﺔﻋﺪﺑ عﺪﺘﺑا• ﻦﻣو‬
‫ﺎﺌﯿﺷ‬

“Barangsiapa yang sepeninggalku menghidupkan sebuah sunnah yang aku


ajarkan, maka ia akan mendapatkan pahala semisal dengan pahala orang-orang
yang melakukannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Barangsiapa yang
membuat sebuah bid’ah dhalalah yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya,
maka ia akan mendapatkan dosa semisal dengan dosa orang-orang yang
melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun” (HR. Tirmidzi no.2677, ia
berkata: “Hadits ini hasan”)

11. Hadits dari Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

‫ ﺮﺸﺑ ﺎﻨﻛ ﺎﻧإ ! ﷲ لﻮﺳر ﺎﯾ‬. ‫ ﺮﯿﺨﺑ ﷲ ءﺎﺠﻓ‬. ‫ ﮫﯿﻓ ﻦﺤﻨﻓ‬. ‫ ﺖﻠﻗ ( ﻢﻌﻧ ) لﺎﻗ ؟ ﺮﺷ ﺮﯿﺨﻟا اﺬھ ءارو ﻦﻣ ﻞﮭﻓ‬: ‫ﻦﻣ ﻞھ‬
‫ ﺖﻠﻗ ( ﻢﻌﻧ ) لﺎﻗ ؟ ﺮﯿﺧ ﺮﺸﻟا ﻚﻟذ ءارو‬: ‫ ﺖﻠﻗ ( ﻢﻌﻧ ) لﺎﻗ ؟ ﺮﺷ ﺮﯿﺨﻟا ﻚﻟذ ءارو ﻦﻣ ﻞﮭﻓ‬: ‫نﻮﻜﯾ ) لﺎﻗ ؟ ﻒﯿﻛ‬
‫ ياﺪﮭﺑ نوﺪﺘﮭﯾ ﻻ ﺔﻤﺋأ يﺪﻌﺑ‬، ‫ ﻲﺘﻨﺴﺑ نﻮﻨﺘﺴﯾ ﻻو‬. ‫( ﺲﻧإ• نﺎﻤﺜﺟ• ﻲﻓ• ﻦﯿطﺎﯿﺸﻟا بﻮﻠﻗ ﻢﮭﺑﻮﻠﻗ لﺎﺟر ﻢﮭﯿﻓ مﻮﻘﯿﺳو‬
‫ ﺖﻠﻗ لﺎﻗ‬: ‫ ﺮﯿﻣﻸﻟ• ﻊﯿﻄﺗو• ﻊﻤﺴﺗ ) لﺎﻗ• ؟ ﻚﻟ ُ•ذ ﺖﻛردأ نإ ! ﷲ لﻮﺳر ﺎﯾ ؟ ﻊﻨﺻأ ﻒﯿﻛ‬. •‫ كﺮﮭظ بﺮﺿ• نإو‬. •‫ﺬﺧأو‬
‫ ﻚﺎﻟﻣ‬. ‫) ﻊطأو ﻊﻤﺳﺎﻓ‬

“Wahai Rasulullah, dulu kami orang biasa. Lalu Allah mendatangkan kami
kebaikan (berupa Islam), dan kami sekarang berada dalam keislaman. Apakah
setelah semua ini akan datang kejelekan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Apakah setelah itu
akan datang kebaikan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Apakah setelah itu akan datang
kejelekan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Aku bertanya: ‘Apa itu?’. Nabi bersabda: ‘akan
datang para pemimpin yang tidak berpegang pada petunjukku dan tidak berpegang
pada sunnahku. Akan hidup diantara mereka orang-orang yang hatinya adalah hati

16
setan namun berjasad manusia’. Aku bertanya: ‘Apa yang mesti kami perbuat wahai
Rasulullah jika mendapati mereka?’. Nabi bersabda: ‘Tetaplah mendengar dan taat
kepada penguasa, walau mereka memukul punggungmu atau mengambil hartamu,
tetaplah mendengar dan taat’” (HR. Muslim no.1847)

Tidak berpegang pada sunnah Nabi dalam beragama artinya ia berpegang pada
sunnah-sunnah yang berasal dari selain Allah dan Rasul-Nya, yang merupakan
kebid’ahan.

12. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

‫ﺔﯿﻣأ ﻲﻨﺑ ﻦﻣ ﻞﺟر ﻲﺘﻨﺳ ﺮﯿﻐﯾ ﻦﻣ لوأ‬

“Orang yang akan pertama kali mengubah-ubah sunnahku berasal dari Bani
Umayyah” (HR. Ibnu Abi Ashim dalam Al Awa’il, no.61, dishahihkan Al Albani
dalam Silsilah Ash Shahihah 1749)

Dalam hadits ini Nabi mengabarkan bahwa akan ada orang yang
mengubah-ubah sunnah beliau. Sunnah Nabi yang diubah-ubah ini adalah kebid’ahan.

13. Disebutkan dalam hadits,

‫ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟا ةدﺎﺒﻋ ﻦﻋ نﻮﺄﻟﺴﯾ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟا جاوزأ تﻮﯿﺑ ﻰﻟإ ﻂھر ﺔﺛﻼﺛ ءﺎﺟ‬، ‫ﺎﻤﻠﻓ‬
‫ ﺎھﻮﺎﻟﻘﺗ ﻢﮭﻧﺄﻛ‬، ‫ اﻮﺎﻟﻘﻓ‬: ‫؟• ﺮﺧﺄﺗ ﺎﻣو• ﮫﺒﻧذ• ﻦﻣ• مﺪﻘﺗ ﺎﻣ ﮫﻟ ﺮﻔﻏ ﺪﻗ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟا ﻦﻣ ﻦﺤﻧ ﻦﯾأو‬
: ‫ ﺎﻧأ ﺎﻣأ‬، ‫ اﺪﺑأ ﻞﯿﻠﻟا ﻲﻠﺻأ ﻲﻧﺈﻓ‬، ‫ ﺮﺧآ لﺎﻗو‬: ‫ ﺮﻄﻓأ ﻻو ﺮھﺪﻟا مﻮﺻأ ﺎﻧأ‬، ‫ ﺮﺧآ لﺎﻗو‬: ‫اوﺮﺒﺧأ ءﺎﺴﻨﻟا لﺰﺘﻋأ ﺎﻧأ‬
‫ اﺪﺑأ‬، ‫ ﻢﮭﯿﻟإ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ﷲ لﻮﺳر ءﺎﺠﻓ‬، ‫ لﺎﻘﻓ‬: ” ‫ اﺬﻛو اﺬﻛ ﻢﺘﻠﻗ ﻦﯾﺬﻟا ﻢﺘﻧأ‬، ‫ﻢھﺪﺣأ لﺎﻗ ﻲﻧإ ﷲو ﺎﻣأ‬
‫جوﺰﺗأ ﻼﻓ‬
‫ ﺮﻄﻓأو مﻮﺻأ ﻲﻨﻜﻟ ﮫﻟ ﻢﻛﺎﻘﺗأو‬، ‫ ﺪﻗرأو ﻲﻠﺻأو‬، ‫ ءﺎﺴﻨﻟا جوﺰﺗأو‬، ‫ﻲﻨﻣ ﺲﯿﻠﻓ ﻲﺘﻨﺳ ﻦﻋ ﺐﻏر ﻦﻤﻓ‬ ‫ﻢﻛﺎﺸﺧﻷ‬

“Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Nabi shallallahu alaihi


wasallam dan bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu alaihi wasallam. Setelah
diberitakan kepada mereka, sepertinya mereka merasa hal itu masih sedikit bagi
mereka. Mereka berkata, “Ibadah kita tak ada apa-apanya dibanding Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam, bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang
telah lalu dan juga yang akan datang?” Salah seorang dari mereka berkata,
“Sungguh, aku akan shalat malam selama-lamanya” (tanpa tidur). Kemudian yang
lain berkata, “Kalau aku, sungguh aku akan berpuasa Dahr (setahun penuh) dan aku
tidak akan berbuka”. Dan yang lain lagi berkata, “Aku akan menjauhi wanita dan
tidak akan menikah selama-lamanya”. Kemudian datanglah Rasulullah
17
shallallahu’alaihi wasallam kepada mereka seraya bertanya: “Kalian berkata begini
dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di
antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat
dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang benci sunnahku, maka
bukanlah dari golonganku” (HR. Bukhari no. 5063)

Dalam hadits di atas, ketiga orang tersebut berniat melakukan kebid’ahan,


karena ketiganya tidak pernah diajarkan oleh Nabi. Yaitu puasa setahun penuh, shalat
semalam suntuk setiap hari, kedua hal ini adalah bentuk ibadah yang bid’ah. Dan
berkeyakinan bahwa dengan tidak menikah selamanya itu bisa mendatangkan pahala
dan keutamaan adalah keyakinan yang bid’ah. Oleh karena itu Nabi bersabda
“Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku“.

Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang membicarakan dan mencela bid’ah,
namun apa yang kami nukilkan di atas sudah cukup mewakili betapa bahaya dan
betapa pentingnya kita untuk waspada dari bid’ah.

C. Pendapat Para Ulama Salaf yang Melarang dan Mengharamkan Bid’ah

a) Para Sahabat
● Menurut Umar bin Khaththab bahwa jauhilah oleh kalian ashhab al- ra’yi
(yang mendahulukan akal), karena mereka adalah musuh- musuh al sunnah.
Mereka dilemahkan untuk menghafal hadits, akhirnya mereka berbicara
dengan ra’yu, lalu mereka pun sesat dan menyesatkan.
● Sedangkan menurut Sufyan Al-Tsauri bahwa bid’ah itu lebih disukai oleh
iblis daripada kemaksiatan. Kemaksiatan itu dapat taubat dari padanya,
sedangkan bid’ah tidak dapat taubat dari padanya.
● Selain dari itu menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwa seperti imam-
imam kebid’ahan dari pencetus pendapat- pendapat yang menyelisihi al Qur'an
dan al-sunnah. Karena sesungguhnya menerangkan keadaan mereka,
mentahdzir umat dari mereka adalah wajib menurut kesepakatan muslimin,
bahkan dikatakan kepada Ahmad bin Hanbal bahwa seseorang berpuasa,
shalat dan i’tikaf lebih anda sukai ataukah orang yang berbicara tentang ahli

18
bid’ah. Kata beliau: kalau dia mendirikan shalat dan i’tikaf, maka itu hanya
untuk dirinya sendiri. Tapi kalau dia berbicara tentang ahli bid’ah, maka hal
itu adalah untuk kaum muslimin, inilah yang lebih utama. Jadi salaf al- shalih
dari para sahabat dan para tabi’in, serta orang- orang yang mengikuti manhaj
mereka sudah sepakat mencela bid’ah dan para pelakunya, serta tahdzir dari
bid’ah dan para pelakunya (Salam,1429: 118).

b) Para Tabi’in
menurut Ibnu Taimiyah Ibnu taimiyah yang dijuluki sebagai Syaikhul Islam
lahir tahun 661 H, dalam fatwanya menyebut sebagai berikut:25 24 Ahmad Bin Idris
Bin Abdurrahman al-Masyhur al-Qarafi, al-Furuq, Juz IV, (Saudi: Dakwah
Irsyadiyah, 1421 H), hlm. 202-204. 25 Ahmad Bin Taimiyah, Majmu‟ Fatawa, Juz
XX, (Saudi: Dakwah Isyadiyah, 1425), hlm. 163.
‫ﻞﻣ لﻮﺳر نﺄﺑ ﻢﻠﻌﻟا ﻮﺑ الا ﻢﺘﯾ ال نﺎﻤﯾﻻا نا ﻢﻋز ادﺎﻘﺘﻋا وأ ﺎﻘﯾﺮط عﺪﺘﺑا ﻦﻣ لﻼﺿ فﺮﻌﯾ ﺎﻨ‬ ‫ﻦﻣو‬
‫ﺔﻋﺪﺑ ﻰﻤﺴﯾ ﻞﻣ ﺪﻘﻓ ﺎﮭﻔﺎﻟﺧ ﻮﻧأ ﻢﻠﻌﯾ ﻞﻣ ﺎﻣو ﺖﻤﻠﺴﻟدا قﺎﻔﺗﺎﺑ ﺔﻋﺪﺑ ﻮﮭﻓ صﻮﺼﻨﻟا ﻒﺎﻟﺧ ﺎﻣو‬. ‫لﺎﻗ‬
‫هﺮﻛﺬﯾ هﺬﮭﻓ ﻞﻠھا لﻮﺳر بﺎﺤﺻأ ﺾﻌﺑ ﻦﻋ اﺮﺛأو ﺎﻋﺎﺟواو ﺔﻨﺳو ﺎﺑﺎﺘﻛ ﺖﻔﺎﻟﺧ ﺔﻋﺪﺑ نﺎﺘﻋﺪﺑ• ﺔﻋﺪﺒﻟا‬
‫هﺬھ ﺔﻋﺪﺒﻟا ﺖﻤﻌﻧ ﺮﻤﻋ لﻮﻘﻟ ﺔﻨﺴﺣ نﻮﻜﺗ ﺪﻗ هﺬھو ﻚﻟذ ﻦﻣ ﺎﺌﯿﺷ ﻒﺎﻟﺧ ﻞﻣ ﺔﻋﺪﺑو‬. ‫ﻲﻌﻓﺎﺸﻟا هﻮﺤﻧ ىﺬ‬
‫لﻼﺿ ﺔﻋﺪﺑ ﻞﺧﺪﻟا ﻒﯾ ﺢﯿﺤﺼﻟا هدﺎﻨﺳﺈﺑ ﻲﻘﮭﯿﺒﻟا هاور‬

Artinya: “Dari sini diketahui kesesatan orang yang membuat jalan atau aqidah
yang menganggap bahwa iman tidak sempurna kecuali dengan jalan atau aqidah itu
bersamaan dengan itu ia mengetahui bahwa Rasul tidak menyebutkannya dan sesuatu
yang bertentangan dengan nas maka semua itu adalah bid'ah sesuai dengan
kesepakatan umat islam. Sedangkan bid‟ah yang tidak diketahui bertentangan dengan
nas, maka sesungguhnya terkadang ia tidak disebut bid'ah.Imam Syafi'i berkata:
Bid'ah ada dua.(Pertama) Bid'ah yang bertentangan dengan kitab, sunnah, ijma dan
asar dari sebagian sahabat nabi, maka ini adalah bid'ah yang 4 sesat. (Kedua) bid‟ah
yang sama sekali tidak bertentangan dengan empat hal tersebut maka bid'ah ini
terkadang baik sebab ucapan Umar : ini adalah sebaik-baik bidah. Ucapan ini dan
yang semisalnya diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad shaḥiḥ dalam Al Madkhal.

19
c) Tabi’ut dan Tabi’in
Ada tulisan kali ini, penulis ingin memaparkan lagi satu pandangan dari imam
Mazhab Syafi’i yaitu Muhammad bin Idris As-Syafi’i terkait persoalan bid’ah. beliau
berpandangan bahwa bid’ah terbagi menjadi dua macam yaitu bid’ah yang terpuji dan
bid’ah yang tercela. Hal ini seperti yang termaktub dalam kitab Hilyatul Auliya milik
Abu Na’im Al-Isfahani. “…Bercerita kepada kami Harmalah bin Yahya ia berkata:
aku mendengar Muhammad bin Idris As-Syafi’i berkata: bid’ah ada dua macam,
bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Maka bid’ah yang selaras dengan
sunnah maka itu terpuji, dan yang bertentangan dengan sunnah maka itu
tercela”.Menurut kitab Hilyatul Auliya wa Thabaqat Al-Ashfiya Juz 9 Hal. 113 Cet.
Darul Kitab Al-Arabi.

Dan di kitab Manaqib As–Syafi’i milik Al-Baihaqi, tercatat juga pandangan


dari imam Syafi’i yang lebih luas terkait pembagian bid’ah menjadi dua bagian.
“…telah bercerita pada kami As-Syafi’i ia berkata: pembaruan-pembaruan itu
termasuk dalam perkara-perkara yang terbagi menjadi dua: Pertama, sesuatu hal
baru yang bertentangan dengan Kitab (Alquran) atau Sunnah, atau Atsar, atau Ijma’,
ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua, sesuatu hal baru yang termasuk dalam kebaikan
yang di dalamnya tidak bertentangan terhadap salah satu dari yang ini, maka ini
adalah pembaruan yang tidak tercela. Menurut kitab ”Manaqib As-Syafi’i Hal. 469
Cet. Maktabah Darut At-Turats – Kairo.

Itulah pandangan yang diutarakan oleh imam Syafi’i terkait bid’ah, pada
bahasan selanjutnya kita bisa mengupas perihal maulid Nabi Saw bersandarkan pada
pandangan tersebut. Jika kita sandarkan pada pandangan tersebut terkait mereka yang
mengatakan bahwa maulid Nabi Saw adalah bid’ah, apakah bid’ahnya masuk pada
bid’ah yang terpuji, yang berarti tidak bertentangan dengan Al-Quran, Sunnah atau
yang lainnya, ataukah masuk pada bid’ah yang tercela dan sesat?.

D. Pendapat Ulama Khalaf dan Kontemporer


Perhatian mengenai bid’ah sudah lama dituangkan oleh Hadratus Syekh
Muhammad Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah: fi
Hadits al-Sa’ah wa Bayani Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah. Dijelaskan ada

20
beberapa metodologi atau cara yang dipaparkan oleh Hadratussyekh secara panjang
lebar mengenai bid’ah. “Namun saya akan mengambil beberapa cara saja yang nanti
dapat digunakan sebagai pijakan,” kata Zuhairi Misrawi saat mengisi kajian rutin
Islam Nusantara Center (INC) Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (24/2). Ia
menjelaskan lima macam bid’ah mengutip dari kitab Risalah Ahlussunnah wal

Jama’ah.
Pertama, bid’ah yang bersifat wajib seperti mempelajari bahasa Arab. Sebab
tanpa bahasa Arab, seseorang tak akan mampu memahami Al-Qur’an, hadits, serta
kitab-kitab karangan para ulama dengan baik. Al-Qur’an sendiri menurut Imam Ali
adalah hammalatul aujuh (mempunyai banyak wajah atau tafsiran), untuk itu
menjalankan bid’ah yang ini menjadi wajib. “Oleh karenanya, pesantren-pesantren
NU maupun pesantren-pesantren yang didirikan Syaikhona Kholil Bangkalan pasti
pesantren bahasa,” ungkap Zuhair Misrawi atau yang akrab disapa dengan Gus Mis.
Seseorang yang mengerti bahasa Arab, kemungkinan menjadi teroris pun sangat
rendah, sebab ia memahami konteks Al-Qur’an dan hadits dengan baik. “Itu sudah
menjadi jaminan,” lanjut Gus Mis. Cara memahami bahasa Arab itu dapat dilakukan
dengan mempelajari Alfiyah Ibn Malik, ‘Imrithi, Jurumiyyah dan ilmu-ilmu alat
lainnya. Ia juga berharap kepada kader-kader NU untuk memahami bahasa Arab
dengan benar.
Kedua, bid’ah yang bersifat haram seperti yang dilakukan oleh kalangan
jabariyah yang katalistik dimana ia mendirikan negara Tuhan dan mengatakan dirinya
paling benar, selain itu juga seperti yang dilakukan kalangan qadariyyah yang
memberhalakan rasio atau akal serta seperti yang dilakukan kalangan mujassamah.
Ketiga, bid’ah yang bersifat mandub (sunnah). Bid’ah yang jika dikerjakan
menjadi baik kalau tidak, tidak akan masalah, seperti membangun sekolah, pesantren,
dan mempererat tali silaturahim. “Sebelum ukhuwah Islamiyah maka dahulukan
ukhuwah Nahdliyah,” kata Gus Mis mengutip dari KH Mustofa Bisri.
Keempat, bid’ah yang bersifat makruh, seperti memperindah mushaf Al-Qur’an,
menghiasi masjid. “Menghiasi masjid itu, seperti kubahnya dari emas bangunannya
dipermegah. Yang harus diisi itu hatinya ketika di dalam masjid, bukan bangunannya,
percuma masjid megah tapi kalau sholat jamaahnya kosong,” lanjut Gus Mis.
Kelima, bid’ah yang bersifat mubah seperti berjabat tangan setelah shalat. “Itu
bid’ah tapi diperbolehkan,” terangnya. Contoh bid’ah lain yang bersifat mubah adalah

21
memperluas tempat makan maupun minum, supaya orang lain kebagian hidangan
yang kita sajikan. (Nuri Farikhatin/Fathoni).

E. Contoh-Contoh Bid’ah Dalam Ibadah

1. Bid’ah Dalam Shalat


Saat ini ada banyak jenis bid'ah yang menyimpang saat melakukan ibadah. Banyak
orang yang melakukan gerakan salat, cara membaca Alquran, dan lain-lain yang bertentangan
dengan syariat.

Hal ini merupakan bentuk bid'ah sebab tidak ada sesuatu yang disyariatkan
dalam hal ibadah kecuali dengan dalil. Sesuatu yang tidak ada dalilnya termasuk
kategori bid’ah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
berbunyi:

‫در ﻮﮭﻓ ﺎﻧﺮﻣأ ﮫﯿﻠﻋ ﺲﯿﻟ ﻼﻤﻋ ﻞﻤﻋ ﻦﻣ‬

Artinya:“Barangsiapa mengerjakan amalan yang tidak ada padanya perintah


kami maka dia tertolak” (Hadits Riwayat Muslim)

Contoh bid'ah haram dalam hal ibadah adalah:

● Mengeraskan niat ketika shalat


● Mengadakan shalat yang tidak ada dalilnya
● Merayakan ulang tahun atau hari besar seakan bernilai pahala

Hal-hal termasuk contoh bid'ah sebab tidak dijelaskan oleh Rasulullah SAW
berfirman:
‫ضرﻷا ﻲﻓ ﺎﻣو تاوﺎﻤﺴﻟا ﻲﻓ ﺎﻣ ﻢﻠﻌﯾ ﷲو ﻢﻜﻨﯾﺪﺑ• ﷲ نﻮﻤﻠﻌﺗأ ﻞﻗ ﻢﯿﻠﻋ ءﻲﺷ ﻞﻜﺑ ﷲو‬

“Katakanlah (kepada mereka), ‘Apakah kalian akan memberitahukan kepada Allah


tentang agamamu (keyakinanmu), padahal Allah mengetahui apa yang ada di langit
dan apa yang ada di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”
[Al-Hujurat/49:16].

22
2. Bid’ah dalam puasa
● Bid’ah Berdzikir Dengan Keras Setelah Salam Shalat Tarawih

Berdzikir dengan suara keras setelah melakukan salam pada shalat tarawih
dengan dikomandani oleh satu suara adalah perbuatan yang tidak disyariatkan. Begitu
pula perkataan muazin, “assholaatu yarhakumullah” dan yang semisal dengan
perkataan tersebut ketika hendak melaksanakan shalat tarawih, perbuatan ini juga
tidak disyariatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula oleh para
sahabat maupun orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Oleh karena itu
hendaklah kita merasa cukup dengan sesuatu yang telah mereka contohkan. Seluruh
kebaikan adalah dengan mengikuti jejak mereka dan segala keburukan adalah dengan
membuat-buat perkara baru yang tidak ada tuntunannya dari mereka.
● Membangunkan Orang-Orang untuk Sahur

Perbuatan ini merupakan salah satu bid’ah yang tidak pernah dilakukan pada
masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak pernah memerintahkan hal
ini. Perbedaan tata-cara membangunkan sahur dari tiap-tiap daerah juga menunjukkan
tidak disyariatkannya hal ini, padahal jika seandainya perkara ini disyariatkan maka
tentunya mereka tidak akan berselisih.
● Melafadzkan Niat
Melafazkan niat ketika hendak melaksanakan puasa Ramadhan adalah tradisi
yang dilakukan oleh banyak kaum muslimin, tidak terkecuali di negeri kita. Di antara
yang kita jumpai adalah imam masjid shalat tarawih ketika selesai melaksanakan
shalat witir mereka mengomandoi untuk bersama-sama membaca niat untuk
melakukan puasa besok harinya. Perbuatan ini adalah perbuatan yang tidak
dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga orang-orang saleh
setelah beliau. Yang sesuai tuntunan adalah berniat untuk melaksanakan puasa pada
malam hari sebelumnya cukup dengan meniatkan dalam hati saja, tanpa dilafazkan.
● Imsak
Tradisi imsak, sudah menjadi tren yang dilakukan kaum muslimin ketika
ramadhan. Ketika waktu sudah hampir fajar, maka sebagian orang meneriakkan
“imsak, imsak…” supaya orang-orang tidak lagi makan dan minum padahal saat itu
adalah waktu yang bahkan Rasulullah menganjurkan kita untuk makan dan minum.
Sahabat Anas meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhuma, “Kami makan
sahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau shalat. Maka

23
kata Anas, “Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?”, Zaid menjawab, “Kira-kira
50 ayat membaca ayat al-Qur’an.” (HR. Bukhari dan Muslim).
● Menunda Azan Magrib Dengan Alasan Kehati-Hatian
Hal ini bertentangan dengan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menganjurkan kita untuk menyegerakan berbuka. Rasulullah bersabda,
‫ﺮﻄﻔﻟا اﻮﻠﺠﻋ ﺎﻣ ﺮﯿﺨﺑ سﺎﻨﻟا الﺰﯾ ﻻ‬
“Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.”
(HR. Bukhari Muslim).

● Takbiran
Yaitu menyambut datangnya ied dengan mengeraskan membaca takbir dan
memukul bedug pada malam ied. Perbuatan ini tidak disyariatkan, yang sesuai dengan
sunnah adalah melakukan takbir ketika keluar rumah hendak melaksanakan shalat ied
sampai tiba di lapangan tempat melaksanakan shalat ied.
● Padusan
Yaitu Mandi besar pada satu hari menjelang satu ramadhan dimulai. Perbuatan
ini tidak disyariatkan dalam agama ini, yang menjadi syarat untuk melakukan puasa
ramadhan adalah niat untuk berpuasa esok pada malam sebelum puasa, adapun mandi
junub untuk puasa Ramadhan tidak ada tuntunannya dari Nabi kita shallallahu ‘alaihi
wa sallam.

● Mendahului Puasa Satu Hari Atau Dua Hari Sebelumnya


Rasulullah telah melarang mendahului puasa ramadhan dengan melakukan
puasa pada dua hari terakhir di bulan sya’ban, kecuali bagi yang memang sudah
terbiasa puasa pada jadwal tersebut, misalnya puasa senin kamis atau puasa dawud.
Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian mendahului puasa ramadhan dengan
melakukan puasa satu hari atau dua hari sebelumnya. Kecuali bagi yang terbiasa
melakukan puasa pada hari tersebut maka tidak apa-apa baginya untuk berpuasa.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
● Perayaan Nuzulul Qur’an
Yaitu melaksanakan perayaan pada tanggal 17 Ramadhan, untuk mengenang
saat-saat diturunkannya al-Qur’an. Perbuatan ini tidak ada tuntunannya dari praktek
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula para sahabat sepeninggal beliau.
● Berziarah Kubur Karena Ramadhan

24
Tradisi ziarah kubur menjelang atau sesudah ramadhan banyak dilakukan oleh
kaum muslimin, bahkan di antara mereka ada yang sampai berlebihan dengan
melakukan perbuatan-perbuatan syirik di sana. Perbuatan ini tidak disyariatkan.
Ziarah kubur dianjurkan agar kita teringat dengan kematian dan akhirat, akan tetapi
mengkhususkannya karena even tertentu tidak ada tuntunannya dari Rasulullah
maupun para sahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’iin.
Inilah beberapa bid’ah yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin,
khususnya di negeri kita, semoga Allah ta’ala memberikan kita ilmu yang bermanfaat,
sehingga kita bisa meninggalkan perkara-perkara tersebut dan melakukan perbuatan
yang sesuai dengan tuntunan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

3. Bid’ah dalam thaharah


Di antara beberapa bid’ah dalam thaharah yang beredar pada masyarakat di negeri ini
dan sudah menjadi konsumsi harian bagi mereka adalah,

● Menjaharkan niat di dalam thaharah dan bersuci dari hadats. Biasanya mengucapkan;
‫ﺮﻐﺻﻷا ثﺪﺤﻟا ﻊﻓر ﺖﯾﻮﻧ‬.
● Mengucapkan; ‫ ءﻮﺿﻮﻟا ﻦﻨﺳ ﺖﯾﻮﻧ‬dan ‫ءﻮﺿﻮﻟا ﺾﺋاﺮﻓ ﺖﯾﻮﻧ‬. (Artinya aku berniat untuk
melakukan sunnah-sunnah wudhu) dan (aku berniat melakukan kewajiban-kewajiban
wudhu).
● Ucapan orang yang wudhu ketika membasuh kedua tangan;

‫ﺪﻤﺤﻟا و ﷲ ﻢﺴﺑ‬ ‫ﺎﺑ ﻻإ ةﻮﻗ ﻻو لﻮﺣﻻ و‬

● (Ketika membasuh) anggota-anggota wudhu, mengucapkan;

‫و رﺎﻨﻟا ﻰﻠﻋ ىﺪﺴﺟ و ىﺮﻌﺷ مﺮﺣ و ﻰﺎﻟﻤﺸﺑ ﻰﺑﺎﺘﻛ ﻰﻨﻄﻌﺗ ﻻ و ﻰﻨﯿﻤﯿﺑ ﻰﺑﺎﺘﻛ ﻰﻨﻄﻋأ و ﻰﮭﺟو ﺾﯿﺑ ﻢﮭﻠﻟا‬
‫ﺦﻟا … ﻦﯿﻤﯿﻟا ﻰﻣﺪﻗ ﺖﺒﺛ و لﻼﺑ ناذأ ﻰﻨﻌﻤﺳأ‬
● Begitu pula ucapan; ‫رﻮﮭﻄﻟا ءﺎـﻤﻟا اﺬھ ﻰﻠﻋ‬ ‫ﺪﻤﺤﻟا و ارﻮﻧ مﻼﺳﻹا و ارﻮﮭط ءﺎـﻤﻟا ﻞﻌﺟ ىﺬﻟا‬ ‫ﺪﻤﺤﻟا‬
● Adanya perasaan was was di dalam wudhu.
● Membaca dzikir atau doa khusus dikala membasuh atau mengusap anggota-anggota
wudhu.
● Memperbaharui air wudhu untuk kedua telinga lantaran menyelisihi hadits yang
shahih.
● Memisahkan antara mengusap kepala dan dua telinga.

25
● Membasuh kepala sebanyak tiga kali.
● Membasuh leher di dalam wudhu.
● Membasuh tengkuk secara khusus di dalam wudhu.
● Mengusap kening atau sedikit bahagian rambut yang depan saja.
● Mewudhukan bahagian rambut yang rontok.
● Berlebihan di dalam menggunakan air pada saat bersuci (mandi atau wudlu). Biasanya
lantaran saling mengobrol atau bersenda gurau.
● Beranggapan bahwa bersentuhan antara lelaki dan perempuan itu membatalkan
wudhu, meskipun suami istri.
● Beranggapan bahwa keluarnya darah dari selain dua lubang (qubul dan dubur) itu
membatalkan wudhu, misalnya dari hidung (mimisan), mulut, pecahnya bisul dan
lainnya.
● Menetapkan doa setelah wudhu dengan mengangkat kedua tangan dan
menengadahkan kepala ke langit.
● Wudhu untuk menyembelih hewan kurban.
● Tidak mau berwudlu dengan air zamzam lantaran keutamaan air zamzam tersebut.

F. SEBAB SEBAB BID'AH

Oleh Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari,bukan hal yang samar bagi setiap orang, bahwa setiap
kejadian memiliki sebab, yang dengannya dapat diketahui benar atau salahnya. Adapun sebab terjadinya bid’ah
dengan berbagai ragam bentuknya adalah kembali ke tiga hal. [1]

1. Kebodohan Tentang Sumber Hukum Dan Cara Pemahamannya.


Sumber hukum syar’I adalah Al-Qur’an dan Hadits dan apa yang diikutkan dengan keduanya berupa Ijma dan
Qiyas. Tetapi qiyas tidak dapat dijadikan rujukan dalam hukum ibadah. Sebab di antara rukun dalam qiyas adalah
bila ada kesamaan alasan hukum dalam dalil pokok dengan hukum cabang yang diqiyaskan, padahal ibadah
semata-mata didirikan berdasarkan peribadatan murni.

Sebenarnya bentuk kesalahan yang menyebabkan munculnya bid’ah adalah karena kekeliruan tentang Sunnah,
posisi qiyas dan tingkatannya, juga tentang gaya bahasa Arab.

Kebodohan terhadap hadits mencakup sebagian besar tentang hadits-hadits shahih dan kehilangan penggunaan
hadits-hadits dalam penipuan hukum Islam. Dimana yang pertama berimplikasi kepada melemahnya hukum,
padahal dasar hukumnya adalah hadits shahih, sedang yang kedua berdampak pada tidak dipakainya hadits-hadits
shahih dan tidak berpedoman padanya, bahkan meletakkan posisinya dengan argumen-argumen yang tidak
dibenarkan dalam syari’at.

Sedangkan kelemahan terhadap qiyas dalam mempermainkan hukum Islam adalah yang menjadikan ulama fikih
generasi khalaf yang menetapkan qiyas dalam masalah-masalah ibadah dan menetapkannya dalam agama terhadap
apa yang tidak terdapat dalam hadits dan amal, padahal banyaknya kebutuhan untuk mengamalkannya dan tidak
ada yang menghalanginya.

Adapun kelemahan tentang gaya bahasa Arab adalah yang menyebabkan dipahaminya dalil-dalil bukan pada
arahnya. Demikian itu menjadi sebab adanya hal baru yang tidak dikenal generasi awal.

Sebagai contoh adalah pendapat sebagian manusia tentang hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

َ ‫ ثُ َّم‬، ‫ِإ َذا َس ِم ْعتُ ْم ْال ُمَؤ ِّذنَ فَقُولُوا ِم ْث َل َما يَقُو ُل‬
‫صلُّوا َعلَ َّي‬

26
“ Jika kamu mendengar orang adzan maka katakanlah seperti apa yang dikatakannya kemudian bershalawatlah
padaku ” [Hadits Riwayat Muslim No. 384]

Mereka menganggap hadits tersebut sebagai perintah kepada orang yang adzan untuk membaca shalawat setelah
selesai adzan, dan beliau memintanya untuk memperkeras suaranya, sehingga hadits ini dijadikan dalil
disyariatkannya bershalawat dengan suara yang keras. Mereka mengarahkan arti perintah bershalawat kepada
orang yang adzan dengan alasan bahwa pembicaraan hadits untuk umum kepada semua kaum muslimin,
sedangkan orang yang adzan masuk ke dalamnya. Atau ungkapan bahwa “ Jika kamu mendengar ” mencakup
kepada orang yang adzan karena dia juga mendengar adzannya sendiri! Penakwilan kedua tersebut disebabkan
kelemahan tentang gaya bahasa. Sebab permulaan hadits tidak mencakup perintah kepada orang yang adzan, dan
akhir hadits datang sesuai dengan awalnya, sehingga tidak mencakup juga kepada orang yang adzan.

Sesungguhnya ulama quran awal berijma (bersepakat) bahwa mengetahui karakteristik bahasa Arab untuk
pemahaman Al-Qur’an dan Hadits adalah sebagai syarat dasar dalam kebolehan untuk berijtihad dan
menyimpulkan dalil-dalil syar’i.

Adapun kelemahan tentang tingkatan qiyas dalam sumber hukum Islam, yaitu qiyas boleh dipakai apabila tidak
ada hadits dalam masalah tersebut, kelemahan akan hal ini mengakibatkan suatu kaum melakukan qiyas padahal
terdapat hadits yang kuat, namun mereka tidak mau kembali kepadanya sehingga mereka terjerumus ke dalam bid’
ah.

Bagi orang yang mencermati berbagai pendapat ulama fiqih niscaya dia mendapatkan banyak contoh tentang hal
ini. Dan yang paling dekat adalah apa yang dikatakan sebagian orang dalam mengqiyaskan orang yang adzan
dengan orang yang mendengar dalam perintah membaca shalawat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah
adzan. Padahal pendapat hadits yang sangat jelas mengenai hukum tersebut sebagaimana telah disebutkan,
sedangkan hadits harus didahulukan atas qiyas. Sebab redaksai, “ Jika kamu mendengar adzan … (sampai akhir
hadits)” menunjukkan kekhususan perintah membaca shalawat setelah adzan hanya kepada orang yang mendengar
adzan.

2. Mengikuti Hawa Nafsu Dalam merangsang Hukum


Orang yang terkontaminasi hawa nafsunya bila memperhatikan dalil-dalil sayr’I, dia akan terdorong untuk
menetapkan hukum sesuai dengan selera nafsunya kemudian berupaya mencari dalil yang dijadikan pedoman dan
hujjah.

Artinya, dia menjadikan hawa nafsu sebagai pedoman penyimpulan dalil dan penetapan hukum. Demikian itu
berarti pemutarbalikan posisi hukum dan merusak tujuan syari’at dalam menyalakan dalil.

Mengikuti hawa nafsu adalah akar dasar penyelewengan dari jalan Allah dan lurus.

FirmanNya.

َ ‫و َم ْن َأ‬ 
ِ ‫ضلُّ ِم َّم ِن اتَّبَ َع ه ََواهُ ِب َغي ِْر هُدًى ِمنَ هَّللا‬ َ
“ Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk
dari Allah seikitpun? ” [al-Qashash/28 : 50]

Fakta membutktikan bahwa akibat mengikuti hawa nafsu menjadikan berbagai peraturan dalam agama menjadi
pudar dan setiap kebaikan menjadi terhapuskan.

Bid’ah karena mengikuti hawa nafsu adalah bentuk bid’ah yang dosanya paling besar di sisi Allah dan
pelanggarannya paling besar terhadap kebaikan. Sebab sudah banyak hawa nafsu yang telah merubah syari’at,
mengganti agama dan menjatuhkan manusia ke dalam kesesatan yang nyata.

3. Menjadikan Akal Sebagai Tolak Ukur Hukum Syar’i.


Sesungguhnya Allah menjadikan akal terbatas penalarannya dan tidak menjadikannya pedoman untuk mengetahui
segala sesuatu. Sebab ada beberapa hal yang sama sekali tidak terjangkau oleh akal dan ada pula yang terjangkau
hanya sebatas lahirnya saja dan bukan substansinya. Dan karena keterbatasan akal, maka hampir tidak ada
kesepahaman tentang hakikat yang diketahuinya. Sebab kekuatan dan cara pemahaman orang berbeda-beda
menurut para ahli.

Maka, dalam sesuatu yang tidak dapat dijangkau akal dan penalaran, menusia harus merujuk kepada pembawa
berita yang jujur yang dijamin kebenarannya karena mu’jizat yang dibawanya. Dia adalah seorang rasul yang
dikuatkan dengan mu’jizat dari sisi Allah Yang Maha Mengetahui atas segala sesuatu yang Maha cermat dengan
apa yang Dia ciptakan.

Atas dasar ini Allah mengutus para rasulNya untuk menjelaskan kepada manusia apa yang diridhai pencipta
mereka, menjamin kebahagiaan mereka, dan menjadikan mereka memperoleh keberuntungan dalam kebaikan
dunia dan kebaikan di akhirat.

Sesungguhnya sebab-sebab terjadinya bid’ah yang kami sebutkan diatas telah tercakup semua sisinya dan
terpadunya pokok-pokoknya dalam hadits.

27
ٍ َ‫ ْال ِع ْل َم ِم ْن ُكلِّ خ‬mengambil ‫ ا ْنيْفيْفيْفيْفي‬secara ‫ ان‬berslan ‫ا‬banِ sambil
‫ف ُع ُدلُهُ يَ ْنفُوْ ن‬

“ Akan mengemban ilmu ini dari setiap generasi, orang-orang yang adil di antara mereka yang akan menafikan
orang-orang yang ekstrim, dan ajaran orang-orang yang melakukan kebatilan serta penakwilan orang-orang yang
bodoh ” [2]

Ungkapan “perubahan orang-orang yang ekstrim” keheningan terhadap sikap fanatik dan belebihan. Sedang
Ungkapan “ajaran orang-orang yang melakukan kebatilan” bohong kepada yang menganggap baik mendahulukan
akal dan mengikuti hawa nafsu dalam menetapkan hukum syar’i. Lalu ungkapan “penakwilan orang-orang yang
bodoh” diam kepada kelemahan dalam sumber-sumber hukum dan cara pemahamannya dari sumber-sumbernya.

[Disalin dari kitab Ilmu Ushul Al-Fiqh Al-Bida’ Dirasah Taklimiyah Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh, edisi
Indonesia Membedah Akar Bid’ah,Penulis Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Penerjemah
Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Pustaka Al-Kautsar]

 Footnote
[1]. Lihat Kitab Al-Bid’ah, karya Syaikh Mahmud Syaltut : 17-36
[2] .Hadits hasan Lihat Isryad As-Sari I/4 oleh Al-Qasthallani dan Al-Hiththah oleh Shiddiq Hasan Khan : 70

G. BAHAYA BAHAYA BID’AH

Bahaya Bid’ah Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah dan Salafush shalih


Syaikh Shalih As-Suhaimi hafidzahullahu berkata: Sesungguhnya bid’ah-bid’ah dan hal-hal baru dalam urusan
agama mengakibatkan bahaya-bahaya yang besar dan dampak-dampak negatif terhadap individu maupun
masyarakat bahkan terhadap semua bidang agama baik yang ushul maupun furu’.[1]

Inilah peringatan dari Allah, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam serta para shalafush shalih tentang bahaya bid’ah.
Dan ini hukum secara umum (terutama dalam hukum di akhirat), maka tidak boleh kita serampangan untuk
menghukumi individu yang melakukannya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: Sesungguhnya
nash-nash Al-Qur’an tentang ancaman itu secara mutlak. Semisal firman Allah:
۬ ‫صلَ ۡونَ َس ِع‬
‫يرً ا‬ ُ ‫ٲل ۡٱليَتَ ٰـ َم ٰى ظُ ۡل ًما ِإنَّ َما يَ ۡأ‬
ۡ َ‫ڪلُونَ ِفى بُطُو ِن ِهمۡ ن َ۬ارً ۖا‌ َو َسي‬ ُ ‫ِإنَّ ٱلَّ ِذينَ يَ ۡأ‬
َ ‫ڪلُونَ َأمۡ َو‬
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (QS. An-Nisa’ : 10)

Demikian pula yang semisal dengannya: Barangsiapa yang berbuat demikian maka baginya demikian. Ini adalah
secara mutlak dan umum. Dan hal ini juga seperti apa yang dikatakan oleh para salaf: Barangsiapa yang
mengatakan demikian maka dia demikian. Adapun individunya mungkin tidak berlaku ancaman tersebut karena
dia sudah bertaubat, atau ada kebaikan yang menghapusnya atau musibah-musibah yang bisa menghapus atau
syafaat yang diterima[2].

Maka pahamilah dengan baik dan jangan gagal paham!

1. Bid’ah tidak diterima disisi Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫من عمل عمال ليس عليه أمرنا فهو رد‬

Dan barangsiapa yang melakukan suatu amal perbuatan yang tidak sesuai dengan tuntunanku maka dia tertolak.
(HR. Muslim)

Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr hafidzahullahu berkata: Apabila ibadah seperti wudhu, mandi jababat,
shalat dan lain sebagainya jika dilakukan tidak sesuai syariat maka tertolak dan tidak sah…..Hadits ini
menunjukkan dengan kemutlakannya bahwa setiap amaliyah yang menyelisihi syariat tertolak, meskipun niat
pelakunya baik[3].

2. Pelaku bid’ah termasuk orang yang paling merugi. Allah berfirman:

(103) ً‫قُ ۡل ه َۡل نُنَبُِّئ ُكم بِٱَأۡل ۡخ َس ِرينَ َأ ۡع َم ٰـال‬

(104) ‫ض َّل َس ۡعيُہُمۡ فِى ۡٱل َحيَ ٰو ِة ٱلد ُّۡنيَا َوهُمۡ يَ ۡح َسبُونَ َأنَّہُمۡ ي ُۡح ِسنُونَ ص ُۡنعًا‬
َ َ‫ٱلَّ ِذين‬
Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi amal
perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka
menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (QS. Al-Kahfi : 103-104)

Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: Ayat ini umum mencakup siapa saja yang beribadah kepada Allah
namun diatas jalan yang tidak diridhai (Allah). Dan dia mengira dia benar dan bahwasanya amal perbuatannya itu
diterima, padahal dia keliru dan amalnya tertolak.[4]
28
3. Pelaku bid’ah membuka pintu kesesatan.

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata kepada para pelaku bid’ah amaliyah: Demi Allah yang jiwaku
ada ditangan-Nya, sesungguhnya kalian itu berada diatas ajaran yang lebih baik dari ajaran nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam atau kalian itu sengaja membuka pintu kesesatan?![5]

 Fottnote

[1] Tanbiihu ulil abshar ila kamaal ad-diin wa maa fii al-bida’ min akhthaar hal.153.

[2] Majmu’ Fatawa 3/231.

[3] Fathu Al-Qawi Al-Matin fi syarhi al-arba’in wa tatimmati al-khamsiin hal. 114-115.

[4] Tafsir Ibnu Katsir 5/180.

[5] Lihat atsar ini selengkapnya dalam kitab sunan Ad-Darimi hal 83-84 no.210.

Daftar Pustaka
““40 Masalah Agama” K.H.Sirajuddin Abbas: Bid'ah.” bambangbelajar, 15 September 2013,
https://bambangbelajar.wordpress.com/2013/09/15/40-masalah-agama-k-h-sirajuddin-
abbas-bidah/. Accessed 29 November 2022.
Abu Sa’id Satria Buana © 2022 muslim.or.id Sumber:
https://muslim.or.id/330-bidah-bulan-ramadhan.html. “Macam-Macam Bid'ah di
Bulan Ramadhan.” Muslim.or.id, 21 April 2021,
https://muslim.or.id/330-bidah-bulan-ramadhan.html. Accessed 28 November 2022.
Drs. H. Muhammaddin, M.Hum. “1 SIKAP ULAMA SALAF TERHADAP AHLUL
BID'AH Oleh: Drs. H. Muhammaddin, M.Hum Abstrak Sebenar- benar ucapan adalah

29
kitabullah, s.” Neliti, https://media.neliti.com/media/publications/98152-ID-none.pdf.
Accessed 27 November 2022.
“Home.” YouTube,
https://kumparan.com/kabar-harian/13-contoh-bidah-berdasarkan-jenis-dan-hukumny
a-1yMdG1G2IIz/full. Accessed 27 November 2022.
Mohamad Shafawi Bin Md Isa. “KONSEP BID'AH MENURUT IMAM NAWAWI
DAN SYEKH ABDUL AZIZ BIN BAZ.” UIN - Ar Raniry Repository,
https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/5665/1/Mohamad%20Shafawi%20Bin%20
Md%20Isa.pdf. Accessed 27 November 2022.
“Pembagian Bid’ah dalam Pandangan Imam Syafi’i.” Muslim Menjawab, 16 October 2021,
https://muslimmenjawab.com/2021/10/16/pembagian-bidah-dalam-pandangan-imam-
syafii/#_ftnref1. Accessed 27 November 2022.
Syaikh. Prof. Dr. Ali Jum’ah (Mufti Republik Mesir). “DEFINISI BID'AH MENURUT 4
MADZHAB | Generasi Salafus Sholeh.” Generasi Salafus Sholeh, 1 September 2014,
https://generasisalaf.wordpress.com/2014/09/01/definisi-bidah-menurut-4-madzhab/.
Accessed 27 November 2022.
“WAHAI SAUDARAKU, JAUHI BID'AH DALAM THAHARAH… | cinta kajian sunnah.”
cinta kajian sunnah, 2 July 2013,
https://cintakajiansunnah.wordpress.com/2013/07/02/wahai-saudaraku-jauhi-bidah-da
lam-thaharah/. Accessed 27 November 2022.
Yulian Purnama. “Hadits Tentang Bid'ah: Sudah Tahukah Anda 11 Hadits Ini?” Muslim.or.id,
27 October 2022, https://muslim.or.id/11456-hadits-hadits-tentang-bidah.html.
Accessed 27 November 2022.
Referensi : https://almanhaj.or.id/2132-sebab-sebab-bidah.html

30

You might also like