Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 15

KEDUDUKAN JANDA DALAM HUKUM WARIS

ADAT YURISPRUDENSI

Oleh:
Afrida Nurel Salshabila

Abstract
The Indonesian nation consists of various ethnic groups, which
have different customs, such as marriage, inheritance and others.
This difference is strongly influenced by the principle of lineage,
namely patrilineal, matrilineal and bilateral lineages. According to
customary inheritance law, widows are not heirs of their husbands,
the position of widows with respect to their husband's inheritance is
influenced by the form of marriage they perform.
In a patrilineal society that performs an honest marriage, a
widow may only enjoy but cannot inherit her husband's inheritance,
while in a matrilineal society with a free and urban marriage and a
bilateral community with a free marriage, the widow is entitled to
half of the joint property. Likewise, the position of daughters with
respect to their father's inheritance is also influenced by the
principle of heredity, in bilateral societies children are heirs of their
fathers, while in patrilineal and matrilineal societies daughters are
not heirs of their fathers.
However, based on existing jurisprudence, now there is no
difference between sons and daughters, they are both considered
heirs of their fathers. Inheritance law regulated in the Civil Code
recognizes equal rights between men and women, where husband
and wife inherit each other and children, both male and female,
inherit from their parents. The purpose of this research is to find out
what is the pattern and process of inheritance of customary law in
Indonesia and what is the position of widows according to customary
inheritance law, as well as its jurisprudence. This study uses an
empirical normative research method carried out on the current laws
and regulations. Then the research was carried out in a descriptive
manner where the combination of the results of the study with
existing data was carried out to provide a qualitative picture.
Keywords : customary law; inheritance; widow; jurisprudence.

Abstrak

Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa, yang


memiliki adat istiadat yang berbeda-beda, misalnya perkawinan,
pewarisan dan lain-lain. Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh
prinsip garis keturunan, yaitu garis keturunan patrilinial, matrilinial
dan bilateral. Menurut hukum waris adat, janda bukanlah ahli waris
dari suaminya, kedudukan janda terhadap warisan suaminya
dipengaruhi oleh bentuk perkawinan yang mereka lakukan.

Pada masyarakat patrilinial yang melakukan perkawinan jujur,


janda hanya boleh menikmati tapi tidak boleh memiliki warisan
suaminya sedangkan pada masyarakat Matrilinial dengan perkawinan
semendo bebas dan dikota serta masyarakat bilateral dengan
berkawinan bebas, janda berhak atas setengah bagian dari harta
bersama. Begitu juga kedudukan anak perempuan terhadap warisan
bapaknya, juga dipengaruhi oleh prinsip keturunan tersebut, pada
masyarakat bilateral anak-anak adalah ahli waris dari bapaknya,
sedangkan pada masyarakat patrilinial dan masyarakat matrilinial
anak perempuan bukanlah ahli waris dari bapaknya.

Tetapi berdasarkan yurisprudensi yang ada, sekarang tidak


dibedakan lagi anak laki-laki dan perempuan, mereka sama-sama
dianggap ahli waris dari bapaknya. Hukum kewarisan yang diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengenal adanya
persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, dimana suami isteri
saling mewaris dan anak-anak baik laki-laki maupun perempuan
sama-sama mewaris dari orang tuanya. Tujuan dilakukannya
penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimanakah corak dan proses
pewarisan hukum adat di Indonesia dan bagaimanakah kedudukan
janda menurut hukum waris adat, serta yurisprudensi nya. Penelitian
ini menggunakan metode penelitian normatif empiris dilakukan
terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini.
Kemudian penelitian dilakukan secara diskriptif dimana
penggabungan antara hasil penelitian dengan data-data yang ada
untuk memberikan gambaran secara kualitatif.

Kata kunci: hukum adat; waris; janda; yurisprudensi.

A. PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara yang memiliki banyak suku bangsa, ras, adat

istiadat, budaya, bahasa, dan agama. Negara Indonesia menganut pluralitas

dalam bidang hukumnya, dimana negara Indonesia mengakui adanya tiga

hukum yang berlaku dalam masyarakat yaitu hukum barat, hukum agama,

dan hukum adat. Pada praktik mengatur serta menyelesaikan suatu

permasalahan masyarakat sehari-harinya masih banyak yang menggunakan

hukum adat. Setiap wilayah atau daerah di Indonesia mempunyai tata

hukum adatnya masing-masing untuk mengatur kehidupan bermasyarakat

yang beraneka ragam dan sebagian besar hukum adat tersebut dalam bentuk

tidak tertulis. Hukum adat tersebut berkembang mengikuti perkembangan

masyarakat dan tradisi yang ada, dan keberadaannya mendapat pengakuan

dari masyarakat tersebut.

Secara etimologis istilah hukum adat terdiri dari dua kata, yaitu

“hukum” dan “adat” yang seluruhnya berasal dari Bahasa arab. Hukum dari

kata “hukm” yang artinya perintah. Sedangkan adat dari kata “ adah” yang
berarti kebiasaan atau sesuatu yang diulang-ulang. 1
Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia adat adalah aturan (perbuatan) yang lazim diturut atau

dilakukan sejak dahulu kala, cara (kelakuan) yang sudah menjadi

kebiasaan wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya,

norma, hukum dan aturan yang satu dengan yang lainnya berkaitan menjadi

suatu sistem. 2

Adat istiadat yang hidup serta berhubungan dengan tradisi rakyat,

merupakan sumber yang mengagumkan bagi hukum adat. Keadaan

semacam ini juga berpengaruh pada hukum adat masing-masing, khususnya

dalam bidang hukum warisnya, tiap daerah berbeda-beda, ada yang

menganut hukum waris BW (perdata) dan hukum waris Islam. Sedangkan,

hukum waris adat menunjukkan corak yang khas dari aliran pikiran budaya

Indonesia dan bersendi atas prinsip yang timbul dari aliran-aliran pikiran

komunal serta konkret bangsa Indonesia. Oleh karena itu, hukum waris adat

memperlihatkan perbedaan yang prinsipil dengan hukum waris BW

(perdata) dan hukum waris Islam. 3

Hukum Waris adat merupakan hukum yang memuat garis-garis

ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, harta warisan,

pewaris, ahli waris, serta cara harta warisan itu dialihkan penguasaannya

dan pemilikannya dari pewaris kepada waris.4

Menurut hukum adat, kedudukan janda pada mulanya tidak mewaris

karena janda tidak mempunyai hubungan darah dengan suaminya akan


1
Hilman Syahrial Haq, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Klaten, Jateng: Penerbit Lakeisha, 2020), hlm 9.
2
H. Sri Jaya Lesmana, SH., MH, Hukum Adat, (Tangerang: PT. Bidara Cendekia Ilmi Nusantara, 2020), hlm 4.
3
Fitria Olivia and Azizah Lubis, “Kedudukan Janda Dalam Hukum Waris Adat Batak,” Lex Jurnalica Vol.4
No.3, (Agustus 2007), 133.
4
Ellyne Dwi Poespasari, Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat di Indonesia, ( Jakarta Timur: Prenadamedia
Group, 2018), hlm. 15.
tetapi dalam perkembangannya bahwa janda dapat mewaris karena akibat

dari perkembangan zaman dari hukum adat itu sendiri, dimana kedudukan

dan hak mewaris janda dapat dilihat dari sistem kekerabatan yang ada yaitu

patrilinail, matrilineal dan parental atau bilateral. Masyarakat Indonesia

yang menganut berbagai macam agama dan kepercayaan yang berbeda-

beda mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan sistem kekerabatan

yang berbeda pula. Sistem kekerabatan ini sudah berlaku sejak dahulu

sebelum masuknya ajaran agama Hindu, Islam, Kristen dan Budha,

sehingga membawa pengaruh dalam sistem pewarisan hukum adat.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian mengenai kedudukan janda dalam hukum waris adat

yurisprudensi ini akan dilakukan dengan metode penelitian hukum

yuridis normatif.

Metode penelitian yuridis normatif adalah penelitian ini mencakup

kegiatan inentarisasi hukum positif, sistemati perundang-undangan dan

sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang mengacu kepada norma-

norma hukum yang terdapat didalam peraturan perundang-undangan dan

putusan-putusan pengadilan.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Kedudukan Janda Menurut Hukum Adat

Istilah janda, diberbagai daerah mempunyai arti wanita yang telah

ditinggal oleh suaminya, baik itu karena perceraian mati tetapi juga berarti

janda karena perceraian hidup dengan suaminya. Permasalahannya, apakah

janda yang karena wafatnya suami itu, mendapatkan warisan dari harta

peninggalan atau hanya sekedar menikmati atau mengurus harta saja.

Sesungguhnya, kedudukan janda sebagai ahli waris atau bukan, dipengaruhi

oleh sistem kekerabatan dan bentuk perkawinan yang berlaku didalam

masyarakat yang bersangkutan. Ada janda yang karena wafatnya suami,

maka tetap tidak bebas untuk menentukan sikap tindaknya, karena masih

harus berkedudukan ditempat pihak kerabat suami, tetapi ada juga janda

yang setelah wafatnya suami, dapat kembali pada kerabat asalnya dan bebas

menentukan sikap tindaknya.

Tentang kedudukan janda didalam hukum adat terhadap harta

peninggalan, bertitik tolak dari asas bahwa wanita sebagai orang asing tidak

berhak mewaris. Hal ini terjadi, apabila yang dijadikan syarat untuk mewaris

adalah tali kekeluargaan berdasarkan atas persamaan darah atau keturunan.

Tetapi ada kenyataan, bahwa dalam suatu perkawinan itu, hubungan lahir

maupun bathin antara suami dengan istrinya itu sedemikian eratnya, bahkan

jauh melebihi hubungan antara suami dengan saudara kandungnya sendiri.


Oleh sebab itu di dalam rumusan kewarisan hak-hak janda harus

diperhatikan, antara lain:

1. Janda berhak atas jaminan nafkah seumur hidupnya, dari hasil barang

gono-gini maupun dari hasil barang asal suami.

2. Janda berhak menguasai harta peninggalan suaminya, untuk menarik

penghasilan dari barang-barang itu, terlebih jika mempunyai anak,

harta itu tetap merupakan kesatuan di bawah asuhan janda dan tidak

dibagi-bagi.

3. Janda berhak menahan barang-barang asal suaminya, selama barang

itu diperlukan olehnya, untuk keperluan nafkahnya.

4. Janda berhak mendapat bagian atau menuntut sebesar bagian anak, di

dalam keadaan terpaksa diadakan pembagian dengan anak, misalnya

janda hamil atau anak meminta sebagian untuk modal usaha.

Patut diperhatikan bahwa harus ada dua syarat, agar janda mendapatkan

kedudukan sebagai ahli waris:

1. Janda harus telah lama hidup bersama dan mengikuti suka duka dalam

keluarga.

2. Janda, sesudah suami meninggal tidak menunjukkan sikap atau

cenderung memutuskan hubungan dengan keluarga suami, juga tidak

menikah lagi dengan laki-laki lain. 5

Soerjono Soekanto menyatakan, bahwa janda tidak mendapat bagian

dari harta peninggalan suami, tetapi janda berhak menarik penghasilan dari

harta tersebut, jika perlu seumur hidup janda. Apabila untuk nafkahnya janda

5
Fitria Olivia and Azizah Lubis, “Kedudukan Janda Dalam Hukum Waris Adat Batak,” Lex Jurnalica Vol.4
No.3, (Agustus 2007), 149-150.
itu dapat pula diberi bagian sekaligus dari harta peninggalan suaminya. Oleh

sebab itu, untuk nafkah ini disediakan harta gono-gini, jika barang-barang

tersebut tidak mencukupi untuk nafkah, maka ahli waris dapat menunjuk

supaya barang-barang harta asal dari peninggalan harta diterimakan kepada

mereka.

Jika barang gono-gini tidak mencukupi untuk nafkah, maka barang

asal dari suami dapat dipakai untuk keperluan hidup janda. Harta peninggalan

dibagi-bagi asal janda terpelihara dalam hidupnya, misalnya janda sudah

dapat pewarisan atau nafkah dijamin oleh beberapa waris. Apabila janda

kawin lagi, ia keluar dari rumah tangga almarhum suami dan ia masuk dalam

rumah tangga baru. Dalam hal ini barang gono-gini dapat dibagi-bagi antara

janda yang kawin lagi. Dengan demikian, kedudukan janda adalah kuat

walaupun janda bukan sebagai ahli waris, karena janda terjamin hak-haknya6

Di Indonesia, terdapat 3 (tiga) bentuk sistem kekerabatan, yang sedikit

banyak memberi pengaruh terhadap kedudukan janda. Yaitu sistem

kekerabatan patrilineal, matrilineal dan parental/bilateral.

Janda dalam masyarakat patrilineal yang melakukan perkawinan

dengan membayar jujur tidak berkedudukan sebagai ahli waris, karena hanya

keturunan laki-laki yang mewaris. Janda berhak mengurus, memelihara,

mengusahakan dan menikmati harta peninggalan suaminya untuk diteruskan

kepada anak laki-lakinya asalkan dia tidak melakukan perbuatan tercela.

Pengurusan harta suami dibantu oleh saudara tertua dari suaminya.

6
Alan Christian Lolaroh, “Tinjauan Hukum Kedudukan Janda Dan Duda Menurut Hukum Waris Adat,” Lex
Privatum Vol. VI/No. 9, (Nov 2018 ), 53.
Janda dalam masyarakat matrilineal pada umumnya tidak mewaris

harta pusaka keluarga masing-masing, tetapi terhadap harta Bersama suami

istri dapat diadakan pembagian yang seimbang atau mendapat bagian dengan

tetap memperhatikan kepentingan anak-anak mereka, baik dari satu istri

maupun lebih dari satu istri.

Janda dalam masyarakat bilateral/parental, sumi atau istri masing-

masing tidak saling mewaris dan apabila salah satu meninggal, maka janda

dapat menguasai harta peninggalan guna memenuhi kebutuhan hidup dan

memelihara anak keturunannya. Dalam hukum adat masyarakat jawa, janda

memiliki hak bertempat tinggal di rumah kediaman yang ditinggali suaminya

dan menguasai harta benda yang ditinggalkannya untuk keperluan hidupnya.

Perkembangan yang berarti dalam hukum adat terjadi pada tahun

1960, Mahkamah Agung pada tanggal 2 November 1960 mengeluarkan

putusan Mahkamah Agung dengan Nomor Register 302 K/Sip/1960 yang

menyimpulkan bahwa seseorang janda merupakan ahli waris terhadap barang

asal itu Sebagian harus tetap berada di tangan janda sepanjang perlu untuk

hidup secara pantas sampai ia meninggal dunia atau kawin lagi. Janda berhak

mendapat harta waris seperti bagian anak kandung. Pada tahun 1987,

Mahkamah Agung memutuskan bahwa janda bersama-sama dengan anak

berhak mewarisi harta Bersama dan harta asal (lihat dalam putusan

Mahkamah Agung No. 836 K/Pdt/1987). 7

b. Putusan Mahkamah Agung berkaitan dengan Kedudukan Janda di

dalam pewarisan.

7
Prof. Dr. Sri Hajati, S.H., M.S. dkk, Buku Ajar Hukum Adat, (Jakarta Timur: Kencana, 2018), hlm. 256.
Berikut adalah beberapa putusan-putusan Mahkamah Agung/

Yurisprudensi mengenai kedudukan janda dalam Hukum wais adat di

Indonesia :

1. Putusan Mahkamah Agung No. 387 K/Sip/1958, tanggal 11

Februari 1959, menyatakan bahwa : janda mendapat setengah dari

harta gono-gini.

2. Putusan Mahkamah Agung, No. 258K/Sip/1959, tanggal 8 Agustus

1959, menyatakan bahwa : harta gono-gini diwaris oleh janda dan

anak kandung.

3. Putusan Mahkamah Agung, No. 1062 K/sip/1973, tanggal 16

Maret 1976, menyatakan bahwa : Istri II, III, dan seterusnya tidak

berhak atas harta gono-gini istri I (hukum adat di daerah blitar).

4. Putusan Mahkamah Agung, No. 988 K/Sip/1973, tanggal 20 April

1976, menyatakan bahwa : Duda/janda hanya berhak menikmati

harta asli istri/suami selama ia masih hidup.

5. Putusan Mahkamah Agung No. 302 K/Sip/960, tanggal 2

November 1960, menyatakan bahwa : Janda merupakan ahli waris

terhadap barang asal suami sepanjang unntuk keperluan hidup

secara pantas sampai meninggak dunia atau kawin lagi.

6. Putusan Mahkamah Agung, No. 70 K/Sip/1963 tanggal 5 Maret

1963, menyataka bahwa : seseorang yang tidak mempunyai anak

meninggal dunia, harta peninggalannya diwaris oleh jandanya

(hukum adat di daerah Yogyakarta).


7. Putusan Mahkamah Agung, tanggal 22 Mei 1963 K/Sip/1963,

menyatakan bahwa : janda berhak mewaris harta peninggalan

suami. (hukum adat di daerah kudus).

8. Putusan Mahkamah Agung, No. 829 K/Sip/1973, tanggal 16

September 1975, menyatakan bahwa : duda/balu mendapat ½ dari

harta gono-gini. Harta asal dan ½ harta gono-gini diwaris oleh

saudara pewaris (adik pewaris) (hukum adat di daerah

Banjarnegara).

9. Putusan Mahkamah Agung, No. 627 K/Sip/1975, tanggal 27

November 1975, menyatakan bahwa : duda/balu tidak mewaris

harta asal istri. Harta asal diwaris oleh orang tua pewaris,

sedangkan duda/balu mewaris harta gono-gini ½ bagian, sedangkan

½ bagian lainnya diwaris olehsaudara pewaris (hukum adat di

daerah purbalingga).

10. Putusan Mahkamah Agung, No. 307 K/Sip/1960, tanggal 19

Oktober 1960, menyatakan bahwa : janda dapat menguasai barang-

barang tinggalan mendiang suami apabila ia memerlukan untuk

penghidupannya selama hidup dan tidak kawin lagi (hukum adat

daerah Blitar).

11. Putusan Mahkamah Agung, No. 140 K/Sip/1971, tanggal 12

Agustus 1972, menyatakan bahwa : janda cerai mempunyai hak

sama dengan janda mati terhadap barang-barang peninggalan

suaminya yang belum dibagi (hukum adat daerah temanggung).

12. Putusan Mahkamah Agung, No. 140 K/Sip/1961, tanggal 22 Juni

1961, menyatakan bahwa : janda mewaris bersama anak kandung,


masing-masing berhak atas bagian yang sama (hukum adat daerah

tulung agung).

13. Putusan Mahkamah Agung, No. 298, tanggal 29 Oktober 1958,

menyatakan bahwa : janda tanpa anak berhak atas seluruh harta

gono-gini dengan tidak perlu dipertimbangkan cukup tidaknya

harta tersebut bagi kehidupannya (hukum adat daerah demak)

14. Putusan Mahkamah Agung, No. 2 K/Sip/1959, tanggal 28 Januari

1959, menyatakan bahwa : janda berhak atas separuh dari harta

gono-gininya dengan alm. Suaminya (hukum adat orang-orang

sunda di daerah Jakarta).

15. Putusan Mahkamah Agung, No. 110 K/Sip/1960, tanggal 13 April

1960, menyatakan bahwa : janda dan anak-anak ialah ahli waris

alm. Suaminya, walaupun janda tidak selalu mendapat bagian

tertentu dari harta warisan, melainkan hanya sekedar cukup untuk

melanjutkan hidup. (hukum adat di daerah Pekalongan).

16. Putusan Mahkamah Agung, No. 187 K/Sip/1959, tanggal 24 Juni

1959, menyatakan bahwa : janda menguasai barang gono-gini

untuk menjamin penghidupannya, selama janda masih hidup

barang gono-gini tidak dapat dibagi (hukum adat di daerah

Jombang).

17. Putusan Mahkamah Agung, No. 214 K/Sip/1973, tanggal 20

November 1975, menyatakan bahwa: janda laki-laki/balu/duda

hanya berhak menguasai dan menikmati harta hasil asal alm.

Istrinya selama hidup atau sampai ia kawin lagi (hukum adat

daerah Tuban).
18. Putusan Mahkamah Agung, No. 130 K/Sip?1957, tanggal 5

November 1957, menyatakan bahwa : janda dan anak kandung

berhak atas harta warisan (hukum adat di daerah Bandung).

19. Putusan Mahkamah Agung, No. 26 K/Sip/1963, tanggal 30 juli

1963, menyatakan bahwa : apabila pewaris meninggalkan dua

orang istri (janda) dengan istri pertama mempunyai seorang anak

laki-laki dan dengan istri kedua mempunyai seorang anak

perempuan maka barang asal pewaris dibagi antara kedua janda

dan kedua anak tersebut masing-masing mendapat ¼ bagian.

(hukum adat di daerah Kediri).

20. Putusan Mahkamah Agung, No. 441 K/Sip/1972, tanggal 3 Januari

1973, menyatakan bahwa : barang-barang gono-gini yang dipegang

oleh seorang janda tidak dapat dibagi-bagi guna menjami

kehidupannya selama dia belum kawin lagi tidak berlaku secara

mutlak tetapi dapat dikesampingkan atas persetujuan pihak-pihak

(janda dan ahli waris lainnya) (hukum adat di daerah Klaten).

21. Putusan Mahkamah Agung, No. 248 K/Sip/1958, tanggal 10

September 1958, menyatakan bahwa : seseorang yang meninggal

dunia dengan meninggalkan dua orang istri dengan masing-masing

seorang anak, harta gono-gininya dengan istri kedua jatuh pada istri

pertama beserta anaknya (hukum adat di daerah Klaten).

22. Putusan Mahkamah Agung, No. 263 K/Sip/1959, tanggal 9

September 1959, menyatakan bahwa : janda berhak membagi-

bagikan harta keluarga kepada semua anak, asalkan setiap anak

memperoleh bagian yang pantas (hukum adat di daerah Cilacap)


23. Putusan Mahkamah Agung, No. 263 K/Sip/1959, tanggal 9

September 1959, menyatakan bahwa : janda berhak membagi-

bagikan harta keluarga kepada semua anak, asalkan setiap anak

memperoleh bagian yang pantas (hukum adat di daerah Cilacap).8

D. KESIMPULAN

Hak waris janda menurut hukum waris Adat, baik dalam sistem

kekerabatan patrilineal, matrilineal, dan parental, janda adalah bukan ahli

waris dari almarhum suaminya akan tetapi, demi kelangsungan hidupnya

sehari-hari dapat menuntut pembagian harta peninggalan tersebut, Menurut

hukum waris BW, janda adalah ahli waris bersama anak-anak, akan tetapi

janda bukanlah legitimaris seperti halnya anak-anaknya. Menurut hukum

waris Islam, janda adalah ahli waris bersama anak anak, dan apabila tidak

dilahirkan anak, maka janda mewaris harta peninggalan suaminya beserta

orangtua dan saudara-saudara pewaris.

Hak waris janda terhadap harta peninggalan suaminya adalah sebagai

ahli waris, yang diperkuat dengan adanya putusan-putusan yang merupakan

yurisprudensi tetap dari pengadilan dan Mahkamah Agung yang menyatakan

bahwa janda adalah sebagai ahli waris, maka secara hukum hak janda

terhadap harta warisan adalah cukup kuat dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat menuju kearah persamaan derajat antara pria dan wanita dalam

masyarakat parental bilateral yang menarik garis keturunan bapak dan ibu.

8
Prof. Dr. Sri Hajati, S.H., M.S. dkk, Buku Ajar Hukum Adat, (Jakarta Timur: Kencana, 2018), hlm. 257-263.
DAFTAR PUSTAKA

Hajati, Sri. Dkk. 2018. Buku Ajar Hukum Adat. Jakarta Timur: Kencana.

Haq, Hilman Syahrial. 2020. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Klaten,


Jateng: Penerbit Lakeisha.

Lesmana, Sri Jaya. 2020. Hukum Adat. Tangerang: PT. Bidara Cendekia Ilmi
Nusantara.

Lolaroh, Alan Christian. 2018. “Tinjauan Hukum Kedudukan Janda Dan


Duda Menurut Hukum Waris Adat,” Lex Privatum Vol. VI/No. 9.

Olivia Fitria, dan Lubis, Azizah. 2007 “Kedudukan Janda Dalam Hukum
Waris Adat Batak,” Lex Jurnalica Vol.4 No.3.

Poespasari , Ellyne Dwi. 2018. Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat di


Indonesia. Jakarta Timur: Prenadamedia Group.

You might also like