Professional Documents
Culture Documents
Journal Reading
Journal Reading
Journal Reading
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokan- Kepala Leher
Disusun Oleh :
Pembimbing :
JOURNAL READING
Disusun oleh :
Pembimbing
ii
DAFTAR ISI
iii
ABSTRACT
iv
ABSTRAK
Latar Belakang: Epistaksis (perdarahan hidung) adalah salah satu kedarutatan yang
paling umum ditemukan di bidang THT yang mempengaruhi 60 % populasi dalam
kehidupan mereka, dimana enam persennya membutuhkan perawatan medis.
Metode: Studi yang digunakan hospital based cross sectional yang dilakukan pada
Oktober 2018 hingga Januari 2020 di departemen THT di Southern Railway
Headquarters Hospitals, Perambur, Chennai.
Hasil: Rerata usia subjek penelitian adalah 47,76±23,01. Wanita kurang terpengaruh
dibandingkan dengan pria dengan rasio 1,68:1 pria: wanita. Hasil pemeriksaan
THT/pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan 153 (100%) subjek mengalami
epistaksis anterior dan 5 (3,27%) subjek mengalami epistaksis posterior. 143
(93,46%) subjek memiliki deviasi septum. Pada pemeriksaan Endoskopi hidung
menemukan bahwa 90 (58,82%) subjek memiliki septum deviasi ke kiri, dan 55
(35,94%) subjek septum deviasi kekanan. Sebagian besar subjek, yaitu 86 (56,21%),
dikelola secara konservatif, diikuti oleh 52 (33,99%), 5 (3,27%), dan 1 (0,65%)
pasien diberikan pengobatan dengan tampon hidung anterior, tampon hidung anterior
dan posterior, dan kauterisasi. Sedangkan 9 (5,88%) subjek membutuhkan perawatan
bedah untuk mengelola epistaksisnya.
Kesimpulan: Temuan mengungkapkan bahwa kejadian epistaksis tinggi pada
individu dengan lanjut usia, dengan laki-laki lebih banyak daripada perempuan.
Epistaksis anterior lebih sering terjadi dibandingkan dengan epistaksis posterior.
Penelitian kami mendukung kredibilitas metode manajemen konservatif dalam
pengobatan epistaksis. Praktek tampon hidung sederhana adalah pendekatan
konservatif paling umum yang memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi. Akibatnya,
metode ini akan menjadi pilihan terbaik untuk manajemen epistaksis.
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
sepuluh tahun umumnya ringan dan jenis epistaksis anterior. Di sisi lain, epistaksis
pada orang berusia di atas lima puluh tahun diperkirakan menjadi parah dan
berkembang menjadi epistaksis posterior.1 Epistaksis jauh lebih berisiko pada
individu yang lebih tua, yang mungkin mengalami perburukan klinis yang cepat jika
ada kehilangan darah yang signifikan.11
Pengobatan epistaksis membutuhkan pendekatan metodis dan sistematis,
dengan pilihan yang bervariasi tergantung pada lokasi, penyebab serta beratnya
perdarahan.6,11,13 Dalam pengobatan epistaksis, modalitas perawatan bedah dan
konservatif telah digunakan.11,13, 14 Sebagian besar faktor penyebab epistaksis dapat
dicegah.1,15 Mengembangkan tindakan pencegahan dan pedoman pengobatan
membutuhkan pemahaman yang lebih baik tentang penyebab, pengobatan, dan hasil
dari setiap subjek.2,17 Penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama untuk
mengidentifikasi karakteristik klinikopatologi dan menentukan hasil pengobatan
pasien epistaksis.
2
BAB II
METODE
3
penelitian. Proforma pra-terstruktur digunakan untuk mencatat detail setiap kasus.
Semua pasien yang terdaftar dalam penelitian ini menjalani pemeriksaan rutin
tertentu yaitu. hemogram lengkap, waktu perdarahan, waktu pembekuan, LED,
jumlah eosinofil absolut, analisis urin, pemeriksaan rinoskopi anterior, pemeriksaan
rinoskopi posterior, dan diagnostic nasal endoscopy. Pemeriksaan khusus seperti
waktu protrombin, jumlah trombosit, golongan darah, waktu tromboplastin parsial
teraktivasi, rontgen sinus paranasal, nasofaring, rontgen tulang hidung pada kasus
trauma, CT scan sinus paranasal, EKG, biopsi dan pemeriksaan histopatologi
dilakukan jika diperlukan untuk pengelolaan kasus-kasus tersebut. Pengobatan
dimulai sesuai dengan etiologi pada pasien tertentu seperti kauter kimia, tampon
hidung anterior, tampon hidung posterior, kauter elektrik, bedah septum,
pengangkatan benda asing, pembedahan massa hidung, reduksi fraktur tulang hidung
dan ligasi arteri jika diperlukan. Analisis deskriptif untuk variabel kuantitatif
dilakukan dengan menggunakan mean dan standar deviasi, sedangkan untuk variabel
kategori digunakan proporsi dan frekuensi. Untuk analisis statistik menggunakan
Statistical for social sciences (SPSS) versi 22.17
4
BAB III
HASIL PENELITIAN
Sebanyak 153 pasien yang dianalisis. Usia rata-rata subjek adalah 47,76±23,01,
dan usia subjek berkisar antara 2 hingga 88 tahun (95% CI dari 44,09 hingga 51,44).
Penelitian ini menunjukkan bahwa epistaksis lebih sering terjadi pada dekade pertama
dan insiden meningkat kembali setelah dekade ke-4; 11,76% kasus terjadi pada
dekade pertama dan 76,47% kasus dari dekade ke-4 dan seterusnya (Tabel 1).
5
Sebagian besar subjek penelitian yaitu 149 (97,39%), tidak ada riwayat
epistaksis sebelumnya, dan 10 (6,54%) memiliki riwayat epistaksis dengan hipertensi
(Tabel 3).
Tabel 3: Analisis deskriptif riwayat penyakit dahulu pada populasi
subjek penelitian (n=153).
6
Hasil pemeriksaan THT/rinoskopi anterior menemukan semua 153 (100%)
subjek memiliki epistaksis anterior dan 5 (32,7%) mengalami epistaksis posterior.
143 (93,46%) subjek memiliki deviasi septum, 10 (6,54%) subjek memiliki benda
asing, 4 (2,61%) subjek masing-masing memiliki polip dan 44 (28,76%) subjek
memiliki deformitas eksternal (Tabel 5).
7
Mayoritas subjek, yaitu 86 (56,21%), dikelola konservatif, diikuti oleh 52
(33,99%), 5 (3,27%), dan 1 (0,65%) pasien dirawat dengan tampon anterior, tampon
hidung anterior dan posterior, dan kauterisasi. Sedangkan 9 (5,88%) subjek
membutuhkan perawatan bedah untuk mengelola epistaksis (Tabel 7).
8
BAB IV
PEMBAHASAN
9
penyakit yang jauh lebih umum ditemukan di antara orang tua. 19 Temuan yang
dilaporkan oleh Shaheen et al mengungkapkan peningkatan kejadian antara 15 hingga
25 tahun dan kemudian dari usia 45-65 tahun dengan tidak satu bukti predileksi jenis
kelamin.27
Dalam penelitian ini, 4 (2,61%) subjek memiliki riwayat epistaksis
sebelumnya dan 10 (6,54%) subjek memiliki riwayat perdarahan hidung dengan
hipertensi. ini di sesuai dengan artikel penelitian sebelumnya dari Nigeria yang
menyatakan bahwa beberapa subjek yang mengalami epistaksis erjadi akibat
hipertensi yang tidak terkontrol akibat penghentian obat antihipertensi 28. Di Thailand
dan India, hipertensi tercatat sebagai penyebab epistaksis yang paling umum ke-2
setelah penyebab idiopatik.18,29 Hal Ini penting untuk menekankan pentingnya
pengaturan tekanan darah yang terkontrol pada pasien dengan riwayat hipertensi dan
meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan anti-hipertensi. Hipertensi arteri dan
epistaksis sering terjadi pada populasi umum, lebih terlihat pada pasien dengan
epistaksis yang parah dengan prevalensi 24 persen hingga 64 persen Dalam penelitian
kami, sebagian besar subjek, yaitu, 78 (50,98%) dengan keluhan utama epistaksis,
diikuti oleh 62 (40,52%) yang mengalami epistaksis dan trauma, dan 13 (8,50%)
mengalami epistaksis dengan sumbatan hidung. Lebih-lebih lagi, sebagian besar
subjek, yaitu 108 (70,59%), memiliki jenis epistaksis anterior diikuti oleh 33
(21,57%) yang mengalami epistaksis anterior dengan antikoagulan oral, 10 (6,54%)
mengalami epistaksis anterior dengan benda asing, dan 4 (2,61%) mengalami
epistaksis anterior dan posterior. Temuan ini sebanding dengan temuan yang
dilaporkan oleh Hussain et al.
Dalam penelitian kami, pemeriksaan rinoskopi anterior pada subjek penelitian
mengungkapkan bahwa semua 153 (100%) subjek memiliki epistaksis anterior dan 5
(32,7%) memiliki epistaksis posterior. 143 (93,46%) memiliki deviasi, 10 (6,54%)
memiliki benda asing, 4 (2,61%) masing-masing memiliki polip dan 44 (28,76%)
memiliki kelainan bentuk luar hidung. Mayoritas subjek, yaitu 86 (56,21%), dikelola
secara konservatif. 52 (33,99%) dan 5 (3,27%) pasien lainnya dirawat dengan tampon
hidung anterior, tampon hidung anterior dan posterior. Hanya 1 (0,65%) yang
10
menjalani kauterisasi. 9 (5,88%) subjek membutuhkan perawatan bedah untuk
mengelola epistaksis mereka. Temuan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Pollice et al dimana 83% pasien berhasil diobati dengan cara non-intervensi. 31
Selain itu, penelitian lain yang dilaporkan oleh Razdan et al mengungkapkan bahwa
hampir 99% kasus dikelola oleh tindakan konservatif seperti kauterisasi, tampon
hidung anterior dan posterior.17 Tampon hidung memiliki manfaat tambahan karena
penempatan dan pelepasannya mudah; tidak diperlukan anestesi untuk prosedur ini.
Ini juga hemat biaya untuk pasien. Namun, Razdan et al melaporkan beberapa
komplikasi tampon hidung yaitu. hematoma septum, sindrom syok toksik, sinusitis,
nekrosis alae nasi, sinkop selama pemasangan tampon hidung. Tetapi sebagian besar
komplikasi ini dapat dihindari dengan ketentuan yang diperlukan seperti teknik
penyisipan tampon yang benar, penggunaan antibiotik dan dekongestan hidung.32
Dalam penelitian kami, 9 subjek dirawat dengan pembedahan. Hasil yang sebanding
juga tercatat di Nigeria, di Tanzenia dan Bangladesh. 9,25,27 Menurut studi Islam et al.,
dengan menggunakan metode langsung, perdarahan terkontrol dapat dicapai pada 11
(10,57%) subjek. 86 (82,69%) subjek diobati dengan tampon hidung anterior, tampon
postnasal diberikan pada 3 (2,89%) subjek, dan 3,85% subjek diterapi dengan
pembedahan karena perdarahan tumor intranasal2.
11
BAB V
KESIMPULAN
12
DAFTAR PUSTAKA
13
12. Meccariello G, Georgalas C, Montevecchi F, Cammaroto G, Gobbi R, Firinu
E et al. Management of idiopathic epistaxis in adults: what’s new? Acta
Otorhinolaryngol Ital. 2019;39(4):211.
13. https://emedicine.medscape.com/article/863220-treatment. Accessed on 10
May 2021.
14. Adoga AA, Kokong DD, Mugu JG, Okwori ET, Yaro JP. Epistaxis: The
demographics, etiology, management, and predictors of outcome in Jos,
North-Central Nigeria. Ann Afr Med. 2019;18(2):75.
15. Bertrand B, Eloy P, Rombaux P, Lamarque C, Watelet JB, Collet S.
Guidelines to the management of epistaxis. B ENT. 2005:27.
16. Siddapur GK, Siddapur KR. Clinical Profile of Referred Otalgia in a Tertiary
Health Centre-A Retrospective Study. IJCRR. 2014;6(14):17-24.
17. Razdan U, Raizada RM, Chaturvedi VN. Efficacy of conservative treatment
modalities used in epistaxis. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg.
2004;56(1):20-2.
18. Varshney S, Saxena RK. Epistaxis: a retrospective clinical study. Indian J
Otolaryngol Head Neck Surg. 2005;57(2):125-9.
19. Eziyi JA, Akinpelu OV, Amusa YB, Eziyi AK. Epistaxis in Nigerians: A 3-
year experience. East Cent. Afri J surg. 2009;14(2):93-8.
20. Santos PM, Lepore ML. Epistaxis in head and neck surgery. In Bailey BJ.
Philadelphia, PA: Lippincott-Raven. 1998:513-29.
21. Culbertson MC, Manning SC. Epistaxis. In: Bluestone CD, Stool
SE(Eds)Paediatric otolaryngology. W.B. Saunders Philadelphia. 1990;672-9.
22. Tomkinson A, Roblin DG, Flanagan P, Quine SM, Backhouse S. Patterns of
hospital attendance with epistaxis. Rhinol. 1997;35(3):129-31.
23. Walker TW, Macfarlane TV, McGarry GW. The epidemiology and
chronobiology of epistaxis: an investigation of Scottish hospital admissions
1995–2004. Clin Otolaryngol. 2007;32(5):361-5.
14
24. Arshad M, Ahmed Z, Ali L. Epistaxis: An experience with over 100 cases.
Trauma. 2007;17:15-60.
25. Islam R, Islam MA, Mahbub AR, Chowdhury AK, Islam MN, Khan AM. A
Clinical Study on Etiological Factors and Management of Epistaxis at a
Tertiary Level Hospital. Bangladesh J otorhinolaryngol. 2020;26(1):45-54.
26. Watkinson JC. Epistaxis. In: Mackay IS, Bull TR, eds. Scott Brown’s
Otolaryngology, London: Butterworths. 1997;18:5-7.
27. Shaheen OH. Arterial Epistaxis. J Laryngol Otol. 1975;89:17-34.
28. Iseh KR, Muhammad Z. Pattern of epistaxis in Sokoto, Nigeria: A review of
72 cases. Ann Afr Med. 2008;7(3):107-11.
29. Chaiyasate S, Roongrotwattanasiri K, Fooanan S, Sumitsawan Y. Epistaxis in
Chiang Mai University Hospital. J Med Assoc Thai. 2005;88(9):1282.
30. Hussain G, Iqbal M, Shah S A, Said M, Sanaulla, Khan SA, et al. Evaluation
of aetiology and efficacy of management protocol of epistaxis. J Ayyub Med
Col. 2006;18(4):62-5.
31. Pollice PA, Yoder MG. Epistaxis: a retrospective review of hospitalized
patients. Otolaryngol. Head Neck Surg. 1997;117(1):49-53.
32. Razdan U, Zada R, Chaturvedi VN. Epistaxis: study of aetiology, site and side
of bleeding. Indian J Med. 1999;53(12):545-52.
15