Journal Reading

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 20

JOURNAL READING

Clinicopathological profile and treatment outcomes of patients


presenting with epistaxis: a hospital-based cross-sectional study in
Southern railway headquarters hospital, Chennai

Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokan- Kepala Leher

Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto

Disusun Oleh :

Laily Afika Ayu 2110221120

Pembimbing :

dr. Evita FE, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG


TENGGORKAN- KEPALA LEHER
RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SUBROTO
FAKULTAS KEDOKTERAN UPN VETERAN JAKARTA
PERIODE 14 MARET – 15 APRIL 2022
LEMBAR PENGESAHAN

JOURNAL READING

“Clinicopathological profile and treatment outcomes of patients presenting with


epistaxis: a hospital-based cross-sectional study in Southern railway
headquarters hospital, Chennai”
Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas
Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan-
Kepala Leher

Disusun oleh :

Laily Afika Ayu


2110221120

Jakarta, 28 Maret 2022


Telah dibimbing dan disahkan oleh,

Pembimbing

(dr. Evita FE, Sp. THT-KL)

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii


ABSTRACT ............................................................................................................ iv
ABSTRAK ............................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
BAB II METODE................................................................................................... 3
BAB III HASIL PENELITIAN...............................................................................5
BAB IV PEMBAHASAN........................................................................................9
BAB III KESIMPULAN .......................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................13

iii
ABSTRACT

Background: Epistaxis (nose-bleed) is one of the commonest emergencies presenting


to an otolaryngological emergency that affects up to sixty per cent of the population
in their lifetime; in this, six per cent needs medical care.
Methods: Hospital-based cross-sectional study carried between October 2018 to
January 2020 in the department of ENT at Southern Railway Headquarters
Hospitals, Perambur, Chennai.
Results: The mean age of the subjects was 47.76±23.01. Females were less affected
compared to males with 1.68:1 male: female ratio. The results of ENT
examination/anterior rhinoscopic examination revealed that all 153 (100%) subjects
had anterior epistaxis and 5 (3.27%) had posterior epistaxis. 143 (93.46%) had
deviated nasal septum. Diagnostic nasal endoscopy revealed that 90 (58.82%) had
deviated nasal septum to the left, and 55 (35.94%) had to the right. The majority of
subjects, i.e., 86 (56.21%), were managed conservatively, followed by 52 (33.99%), 5
(3.27%), and 1 (0.65%) patient were given treatment with anterior nasal packing,
anterior and posterior nasal packing, and cauterization respectively. Whereas 9
(5.88%) subjects needed a surgical mode of treatment to manage their epistaxis.
Conclusions: Findings revealed that the incidence was high in elderly individuals,
with male preponderance over females. Anterior epistaxis more commonly occurred
in comparison to posterior epistaxis. Our research supports the conservative
management methods’ credibility in the epistaxis treatment. The practice of simple
nasal packing is the commonest conservative approach that has a high rate of
success. As a result, this method will be the best choice for epistaxis management.

Keywords: Epistaxis, Clinicopathological, Conservative methods, Nasal packing,


Surgery

iv
ABSTRAK

Latar Belakang: Epistaksis (perdarahan hidung) adalah salah satu kedarutatan yang
paling umum ditemukan di bidang THT yang mempengaruhi 60 % populasi dalam
kehidupan mereka, dimana enam persennya membutuhkan perawatan medis.
Metode: Studi yang digunakan hospital based cross sectional yang dilakukan pada
Oktober 2018 hingga Januari 2020 di departemen THT di Southern Railway
Headquarters Hospitals, Perambur, Chennai.
Hasil: Rerata usia subjek penelitian adalah 47,76±23,01. Wanita kurang terpengaruh
dibandingkan dengan pria dengan rasio 1,68:1 pria: wanita. Hasil pemeriksaan
THT/pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan 153 (100%) subjek mengalami
epistaksis anterior dan 5 (3,27%) subjek mengalami epistaksis posterior. 143
(93,46%) subjek memiliki deviasi septum. Pada pemeriksaan Endoskopi hidung
menemukan bahwa 90 (58,82%) subjek memiliki septum deviasi ke kiri, dan 55
(35,94%) subjek septum deviasi kekanan. Sebagian besar subjek, yaitu 86 (56,21%),
dikelola secara konservatif, diikuti oleh 52 (33,99%), 5 (3,27%), dan 1 (0,65%)
pasien diberikan pengobatan dengan tampon hidung anterior, tampon hidung anterior
dan posterior, dan kauterisasi. Sedangkan 9 (5,88%) subjek membutuhkan perawatan
bedah untuk mengelola epistaksisnya.
Kesimpulan: Temuan mengungkapkan bahwa kejadian epistaksis tinggi pada
individu dengan lanjut usia, dengan laki-laki lebih banyak daripada perempuan.
Epistaksis anterior lebih sering terjadi dibandingkan dengan epistaksis posterior.
Penelitian kami mendukung kredibilitas metode manajemen konservatif dalam
pengobatan epistaksis. Praktek tampon hidung sederhana adalah pendekatan
konservatif paling umum yang memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi. Akibatnya,
metode ini akan menjadi pilihan terbaik untuk manajemen epistaksis.

Kata kunci: Epistaksis, Klinikopatologi, Metode Konservatif, Nasal packing,


Bedah

v
BAB I
PENDAHULUAN

Pendarahan hidung, atau Epistaksis, didefinisikan sebagai salah satu


kedaruratan otorhinolaryngological paling umum di seluruh dunia yang menimbulkan
kekhawatiran di fasilitas kesehatan dengan sumber daya yang terbatas untuk merawat
pasien dengan epistaksis. Epistaksis adalah masalah umum yang akan sering dihadapi
pada praktik sehari-hari dan mungkin menjadi kasus gawat darurat bila pasien
riwayat perdarahan berulang dan memiliki penyakit yang mendasarinya1. Selain
pengaruh epistaksis terhadap status hemodinamik pasien juga perdarahan hidung
akan menimbulkan kecemasan tersendiri bagi pasien. Epistaksis diperkirakan
mempengaruhi enam puluh persen dari populasi global, dan hanya enam persen yang
membutuhkan perawatan medis3,4. Anak-anak usia < 10 tahun menunjukan
peningkatan prevalensi yang selanjutknya meningkat pada usia setelah 35 tahun 4,5.
Secara umum laki-laki memiliki prevalensi lebih tinggi dibandingkan dengan Wanita
sampai usia lima puluh tahun, namun tidak ada perbedaan jenis kelamin setelah
melewati usia tersebut3,6. Berdasarkan daerah asalnya, episaksis dibedakan menjadi
epistaksis anterior dan posterior7. Cedera pada pleksus Kiesselbach di daerah septum
hidung anterior bawah, disebut sebagai Little's area, dapat menyebabkan epistasis
anterior, sementara cedera arteri septum hidung posterior menyebabkan epistaksis
posterior.1,6 Epistaksis anterior secara signifikan lebih umum dibandingkan dengan
epistaksis posterior, dengan kejadian epistaksis anterior terjadi pada delapan puluh
persen kasus.8,9
Etiologi epistaksis dapat dipisahkan secara luas menjadi penyebab sistemik
dan lokal, dan istilah "Epistaksis Idiopatik" akhirnya digunakan pada sekitar 80
hingga 90 persen kasus.6 trauma wajah, benda asing atau trauma di rongga hidung
adalah penyebab paling sering epistaksis traumatis pada usia lebih muda (dibawah 35
tahun). Pasien di atas usia 50 tahun lebih mungkin terjadi epistaksis non traumatis
yang berhubungan dengan kondisi neoplastic, peradangan, hipertensi, kondisi
lingkungan (ketinggian, kelembaban, suhu).10,11 Epistaksis pada anak di bawah usia

1
sepuluh tahun umumnya ringan dan jenis epistaksis anterior. Di sisi lain, epistaksis
pada orang berusia di atas lima puluh tahun diperkirakan menjadi parah dan
berkembang menjadi epistaksis posterior.1 Epistaksis jauh lebih berisiko pada
individu yang lebih tua, yang mungkin mengalami perburukan klinis yang cepat jika
ada kehilangan darah yang signifikan.11
Pengobatan epistaksis membutuhkan pendekatan metodis dan sistematis,
dengan pilihan yang bervariasi tergantung pada lokasi, penyebab serta beratnya
perdarahan.6,11,13 Dalam pengobatan epistaksis, modalitas perawatan bedah dan
konservatif telah digunakan.11,13, 14 Sebagian besar faktor penyebab epistaksis dapat
dicegah.1,15 Mengembangkan tindakan pencegahan dan pedoman pengobatan
membutuhkan pemahaman yang lebih baik tentang penyebab, pengobatan, dan hasil
dari setiap subjek.2,17 Penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama untuk
mengidentifikasi karakteristik klinikopatologi dan menentukan hasil pengobatan
pasien epistaksis.

2
BAB II
METODE

Penelitian ini merupakan penelitian hospital based cross sectional yang


dilakukan pada Oktober 2018 hingga Januari 2020 di departemen THT di Southern
Railway Headquarters Hospitals, Perambur, Chennai. Perhitungan ukuran sampel
dilakukan dengan asumsi proporsi yang diharapkan dari etiologi paling umum
(trauma) sebesar 40,4%, menurut penelitian yang dilakukan oleh Siddapur et al.16
Faktor lain yang diperhitungkan untuk perhitungan ukuran sampel adalah presisi
absolut 8% serta tingkat kepercayaan 95%.
𝑛=𝑍2𝑝(1−𝑝)÷𝑑2
Keterangan :
n: ukuran sampel
Z = Z statistik untuk tingkat kepercayaan = 1,96
P = Prevalensi proporsi yang diharapkan (Jika prevalensi yang diharapkan adalah
20%, maka P = 0,404),
d = Presisi (Jika presisi 5%, maka d=0,08)
Ukuran sampel yang didapatkan menurut perhitungan yang disebutkan di atas,
adalah 145. Ditambahan 8 pasien, mengingat tingkat non-partisipasi sekitar 5%. Oleh
karena itu, total 153 peserta terdiri dalam studi akhir.
Kriteria Inklusi
Semua pasien yang datang ke unit gawat darurat atau departemen rawat jalan
THT dengan keluhan perdarahan hidung pada kedua jenis kelamin, berusia> 1 tahun
dilibatkan dalam penelitian.
Kriteria Ekslusi
Subyek dengan operasi epistaksis pasca operasi seperti septoplasty, reseksi
submukosa dan FESS dikeluarkan dari penelitian.

Setelah mendapatkan persetujuan dari Komite Etik Institusional, penelitian


dimulai dan persetujuan tertulis yang diinformasikan diperoleh dari semua subjek

3
penelitian. Proforma pra-terstruktur digunakan untuk mencatat detail setiap kasus.
Semua pasien yang terdaftar dalam penelitian ini menjalani pemeriksaan rutin
tertentu yaitu. hemogram lengkap, waktu perdarahan, waktu pembekuan, LED,
jumlah eosinofil absolut, analisis urin, pemeriksaan rinoskopi anterior, pemeriksaan
rinoskopi posterior, dan diagnostic nasal endoscopy. Pemeriksaan khusus seperti
waktu protrombin, jumlah trombosit, golongan darah, waktu tromboplastin parsial
teraktivasi, rontgen sinus paranasal, nasofaring, rontgen tulang hidung pada kasus
trauma, CT scan sinus paranasal, EKG, biopsi dan pemeriksaan histopatologi
dilakukan jika diperlukan untuk pengelolaan kasus-kasus tersebut. Pengobatan
dimulai sesuai dengan etiologi pada pasien tertentu seperti kauter kimia, tampon
hidung anterior, tampon hidung posterior, kauter elektrik, bedah septum,
pengangkatan benda asing, pembedahan massa hidung, reduksi fraktur tulang hidung
dan ligasi arteri jika diperlukan. Analisis deskriptif untuk variabel kuantitatif
dilakukan dengan menggunakan mean dan standar deviasi, sedangkan untuk variabel
kategori digunakan proporsi dan frekuensi. Untuk analisis statistik menggunakan
Statistical for social sciences (SPSS) versi 22.17

4
BAB III
HASIL PENELITIAN

Sebanyak 153 pasien yang dianalisis. Usia rata-rata subjek adalah 47,76±23,01,
dan usia subjek berkisar antara 2 hingga 88 tahun (95% CI dari 44,09 hingga 51,44).
Penelitian ini menunjukkan bahwa epistaksis lebih sering terjadi pada dekade pertama
dan insiden meningkat kembali setelah dekade ke-4; 11,76% kasus terjadi pada
dekade pertama dan 76,47% kasus dari dekade ke-4 dan seterusnya (Tabel 1).

Tabel 1. Analisis deskriptif umur dan kelompok umur pada populasi


penelitian (n=153).

Mayoritas subjek penelitian, yaitu 96 (62,75%) laki-laki dan 57 (37,25%)


perempuan. Di antara subjek tersebut 25 (16,34%) adalah pasien rawat inap, dan 128
(83,66%) adalah pasien rawat jalan (Tabel 2).

Tabel 2: Analisis deskriptif jenis kelamin pada populasi penelitian (n=153).

5
Sebagian besar subjek penelitian yaitu 149 (97,39%), tidak ada riwayat
epistaksis sebelumnya, dan 10 (6,54%) memiliki riwayat epistaksis dengan hipertensi
(Tabel 3).
Tabel 3: Analisis deskriptif riwayat penyakit dahulu pada populasi
subjek penelitian (n=153).

Di antara mayoritas populasi penelitian, yaitu, 78 (50,98%) dari subjek


disajikan dengan keluhan utama epistaksis diikuti oleh 62 (40,52%) memiliki
epistaksis dengan trauma, dan 13 (8,50%) mengalami epistaksis dan sumbatan
hidung. Sekitar 62 (40%) subjek mengalami epistaksis dengan trauma, diikuti oleh 46
(29,67%) tipe epistaksis anterior, diikuti oleh 33 (21,57%) mengalami epistaksis
anterior dengan antikoagulan oral, 10 (6,54%) mengalami epistaksis anterior dengan
benda asing, dan 4 (2,61%) mengalami epistaksis anterior dan posterior (Tabel 4).

Tabel 4: Analisis deskriptif keluhan utama dan jenis epistaksis pada


populasi penelitian (n=153).

6
Hasil pemeriksaan THT/rinoskopi anterior menemukan semua 153 (100%)
subjek memiliki epistaksis anterior dan 5 (32,7%) mengalami epistaksis posterior.
143 (93,46%) subjek memiliki deviasi septum, 10 (6,54%) subjek memiliki benda
asing, 4 (2,61%) subjek masing-masing memiliki polip dan 44 (28,76%) subjek
memiliki deformitas eksternal (Tabel 5).

Tabel 5: Analisis Deskriptif pemeriksaan THT/ rhinoskopi anterior pada


populasi penelitian (n=153).

Pemeriksaan subjek dengan diagnostic nasal endoscopic menemukan bahwa


90 (58,82%) subjek mengalami deviasi septum nasal ke kiri dan 55 (35,94%) subjek
memiliki deviasi septum ke kanan. Diantara 112 (73,20%) dan 41 (26,80%) subjek,
penyebab perdarahan ditemukan masing-masing bersifat lokal dan umum (Tabel 6).
Tabel 6: Analisis deskriptif diagnostic nasal endoscopic dan penyebab
sebenarnya dari epistaksis dalam penelitian ini populasi (n=153).

7
Mayoritas subjek, yaitu 86 (56,21%), dikelola konservatif, diikuti oleh 52
(33,99%), 5 (3,27%), dan 1 (0,65%) pasien dirawat dengan tampon anterior, tampon
hidung anterior dan posterior, dan kauterisasi. Sedangkan 9 (5,88%) subjek
membutuhkan perawatan bedah untuk mengelola epistaksis (Tabel 7).

Tabel 7: Analisis deskriptif pengobatan dalam penelitian populasi


(n=153).

8
BAB IV
PEMBAHASAN

Epistaksis merupakan penyakit klinis yang umum dan dapat menyebabkan


ketidaknyaman yang minimal bagi pasien sampai yang mengancam jiwa akibat
gangguan hemodinamik. Dalam penelitian ini, total 153 subjek penelitian dengan
distribusi perempuan lebih jarang terkena dibandingkan dengan laki-laki dengan rasio
1:1,68. Hasil ini sesuai dengan berbagai penelitian terdahulu yang melaporkan dalam
sebuah artikel penelitian9,18,19. Namun, berbeda dengan temuan kami, terdapat
beberapa penelitian lain yang juga melaporkan tidak ada perbedaan signifikan antara
jenis kelamin dengan kejadian epistaksis20,21. Setelah usia 50 tahun, perbedaan jenis
kelamin tidak signifikan terlihat dengan rasio perempuan laki-laki mendekati 1:1. 22,23.
Tomkinson et al menggambarkan bahwa Wanita kondisi pra-menopause telah
diidentifikasi sebagai faktor protektif yang signifikan terhadap penyakit ini. Namun
mekanisme yang mendasarinya tidak jelas, tetapi bisa jadi terjadi akibat efek
sekunder dari estrogen secara langsung terhadap pembuluh darah atau penyembuhan
mukosa hidung atau pembuluh darah pada daerah yang terkena22.
Dalam penelitian ini distribusi subjek penelitian berdasarkan usia bervariasi
dimana usia yang termuda yaitu 2 tahun dan usia tertua yaitu 88 tahun. Dalam
penelitian ini usia rata-rata adalah 47 tahun, sedangkan dalam studi penelitian lain
yaitu 35,04 dan 40 tahun.24,25. Sebagian besar subjek dalam penelitian kami berada di
dekade ke-6 (21,57%), diikuti oleh 5 (16,99%) dan decade ke 4 (15,03%). Padahal
sesuai penelitian yang dilaporkan oleh Watkinson mayoritas pasien berada pada
dekade ke-2 (21,15%), diikuti oleh dekade ke-6 (19,23%) dan ke-3 (17,31%).
Laporan tersebut menyatakan bahwa distribusi bimodal yang jelas di usia timbulnya
epistaksis berasal dari Amerika Utara dan Eropa.21,26 Pada pria yang lebih tua,
prevalensi yang lebih besar disebabkan kemungkinan besar terkait dengan patologi
vascular dan hipertensi. Beberapa peneliti menggambarkan epistaksis sebagai
penyakit orang muda, sementara yang lain mengklaim bahwa epistaksis adalah

9
penyakit yang jauh lebih umum ditemukan di antara orang tua. 19 Temuan yang
dilaporkan oleh Shaheen et al mengungkapkan peningkatan kejadian antara 15 hingga
25 tahun dan kemudian dari usia 45-65 tahun dengan tidak satu bukti predileksi jenis
kelamin.27
Dalam penelitian ini, 4 (2,61%) subjek memiliki riwayat epistaksis
sebelumnya dan 10 (6,54%) subjek memiliki riwayat perdarahan hidung dengan
hipertensi. ini di sesuai dengan artikel penelitian sebelumnya dari Nigeria yang
menyatakan bahwa beberapa subjek yang mengalami epistaksis erjadi akibat
hipertensi yang tidak terkontrol akibat penghentian obat antihipertensi 28. Di Thailand
dan India, hipertensi tercatat sebagai penyebab epistaksis yang paling umum ke-2
setelah penyebab idiopatik.18,29 Hal Ini penting untuk menekankan pentingnya
pengaturan tekanan darah yang terkontrol pada pasien dengan riwayat hipertensi dan
meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan anti-hipertensi. Hipertensi arteri dan
epistaksis sering terjadi pada populasi umum, lebih terlihat pada pasien dengan
epistaksis yang parah dengan prevalensi 24 persen hingga 64 persen Dalam penelitian
kami, sebagian besar subjek, yaitu, 78 (50,98%) dengan keluhan utama epistaksis,
diikuti oleh 62 (40,52%) yang mengalami epistaksis dan trauma, dan 13 (8,50%)
mengalami epistaksis dengan sumbatan hidung. Lebih-lebih lagi, sebagian besar
subjek, yaitu 108 (70,59%), memiliki jenis epistaksis anterior diikuti oleh 33
(21,57%) yang mengalami epistaksis anterior dengan antikoagulan oral, 10 (6,54%)
mengalami epistaksis anterior dengan benda asing, dan 4 (2,61%) mengalami
epistaksis anterior dan posterior. Temuan ini sebanding dengan temuan yang
dilaporkan oleh Hussain et al.
Dalam penelitian kami, pemeriksaan rinoskopi anterior pada subjek penelitian
mengungkapkan bahwa semua 153 (100%) subjek memiliki epistaksis anterior dan 5
(32,7%) memiliki epistaksis posterior. 143 (93,46%) memiliki deviasi, 10 (6,54%)
memiliki benda asing, 4 (2,61%) masing-masing memiliki polip dan 44 (28,76%)
memiliki kelainan bentuk luar hidung. Mayoritas subjek, yaitu 86 (56,21%), dikelola
secara konservatif. 52 (33,99%) dan 5 (3,27%) pasien lainnya dirawat dengan tampon
hidung anterior, tampon hidung anterior dan posterior. Hanya 1 (0,65%) yang

10
menjalani kauterisasi. 9 (5,88%) subjek membutuhkan perawatan bedah untuk
mengelola epistaksis mereka. Temuan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Pollice et al dimana 83% pasien berhasil diobati dengan cara non-intervensi. 31
Selain itu, penelitian lain yang dilaporkan oleh Razdan et al mengungkapkan bahwa
hampir 99% kasus dikelola oleh tindakan konservatif seperti kauterisasi, tampon
hidung anterior dan posterior.17 Tampon hidung memiliki manfaat tambahan karena
penempatan dan pelepasannya mudah; tidak diperlukan anestesi untuk prosedur ini.
Ini juga hemat biaya untuk pasien. Namun, Razdan et al melaporkan beberapa
komplikasi tampon hidung yaitu. hematoma septum, sindrom syok toksik, sinusitis,
nekrosis alae nasi, sinkop selama pemasangan tampon hidung. Tetapi sebagian besar
komplikasi ini dapat dihindari dengan ketentuan yang diperlukan seperti teknik
penyisipan tampon yang benar, penggunaan antibiotik dan dekongestan hidung.32
Dalam penelitian kami, 9 subjek dirawat dengan pembedahan. Hasil yang sebanding
juga tercatat di Nigeria, di Tanzenia dan Bangladesh. 9,25,27 Menurut studi Islam et al.,
dengan menggunakan metode langsung, perdarahan terkontrol dapat dicapai pada 11
(10,57%) subjek. 86 (82,69%) subjek diobati dengan tampon hidung anterior, tampon
postnasal diberikan pada 3 (2,89%) subjek, dan 3,85% subjek diterapi dengan
pembedahan karena perdarahan tumor intranasal2.

11
BAB V
KESIMPULAN

Epistaksis adalah keadaan darurat otolaryngological yang umum dan sering


karena lesi di sekitar atau di dalam hidung dan karena kondisi sistemik. Temuan
penelitian kami mengungkapkan bahwa pada orang usia tua, insiden dilaporkan tinggi
dengan dominasi laki-laki dibandingkan perempuan. Dibandingkan dengan epistaksis
posterior, epistaksis anterior jauh lebih umum. Penelitian kami mendukung
kredibilitas metode manajemen konservatif dalam pengobatan epistaksis. Praktek
tampon hidung sederhana adalah pendekatan konservatif paling umum yang memiliki
tingkat keberhasilan yang tinggi. Akibatnya, metode ini akan menjadi pilihan terbaik
untuk manajemen epistaksis.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Tabassom A, Cho JJ. Epistaxis (nose bleed). StatPearls. 2020:30.


2. Beck R, Sorge M, Schneider A, Dietz A. Current approaches to epistaxis
treatment in primary and secondary care. Dtsch. Arztebl. 2018;115(1-2):12.
3. Kuo CL. Updates on the Management of Epistaxis. Clin Med Ther. 2019:12.
4. Tunkel DE, Anne S, Payne SC, Ishman SL, Rosenfeld RM, Abramson PJ et
al. Clinical practice guideline: nosebleed (epistaxis). Otolaryngol Head Neck
Surg. 2020;162(1):S1-38.
5. Smith J, Hanson J, Chowdhury R, Bungard TJ. Community-based
management of epistaxis: Who bloody knows? Can Pharm J/Revue des
Pharmaciens du Canada. 2019;152(3):164-76.
6. Hill CS, Hughes O. Update on management of epistaxis. WLJM.
2009;1(1):33-41.
7. Walker TW, Macfarlane TV, McGarry GW. The epidemiology and
chronobiology of epistaxis: an investigation of Scottish hospital admissions
1995–2004. Clin. Otolaryngol. 2007;32(5):361-5.
8. Nayak P, Das A. Clinicoepidemiological Study on Epistaxis and Its
Management. Trauma. 2020;15:17-4.
9. Gilyoma JM, Chalya PL. Etiological profile and treatment outcome of
epistaxis at a tertiary care hospital in Northwestern Tanzania: a prospective
review of 104 cases. BMC ear, Nose and throat Disord. 2011;11(1):1-6.
10. Manappattu N, Bashir NK, Raj G. Aetiological profile of non-traumatic
epistaxis: a two-year retrospective analysis in a tertiary care hospital. Int J
Otorhinolaryngol Head Neck Surg. 2019;5(2):440.
11. Shah WA, Amin P, Nazir F. Epistaxis-etiological profile and treatment
outcome at a tertiary care centre. J Evol Med Dent Sci. 2015;4(30):5204-11.

13
12. Meccariello G, Georgalas C, Montevecchi F, Cammaroto G, Gobbi R, Firinu
E et al. Management of idiopathic epistaxis in adults: what’s new? Acta
Otorhinolaryngol Ital. 2019;39(4):211.
13. https://emedicine.medscape.com/article/863220-treatment. Accessed on 10
May 2021.
14. Adoga AA, Kokong DD, Mugu JG, Okwori ET, Yaro JP. Epistaxis: The
demographics, etiology, management, and predictors of outcome in Jos,
North-Central Nigeria. Ann Afr Med. 2019;18(2):75.
15. Bertrand B, Eloy P, Rombaux P, Lamarque C, Watelet JB, Collet S.
Guidelines to the management of epistaxis. B ENT. 2005:27.
16. Siddapur GK, Siddapur KR. Clinical Profile of Referred Otalgia in a Tertiary
Health Centre-A Retrospective Study. IJCRR. 2014;6(14):17-24.
17. Razdan U, Raizada RM, Chaturvedi VN. Efficacy of conservative treatment
modalities used in epistaxis. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg.
2004;56(1):20-2.
18. Varshney S, Saxena RK. Epistaxis: a retrospective clinical study. Indian J
Otolaryngol Head Neck Surg. 2005;57(2):125-9.
19. Eziyi JA, Akinpelu OV, Amusa YB, Eziyi AK. Epistaxis in Nigerians: A 3-
year experience. East Cent. Afri J surg. 2009;14(2):93-8.
20. Santos PM, Lepore ML. Epistaxis in head and neck surgery. In Bailey BJ.
Philadelphia, PA: Lippincott-Raven. 1998:513-29.
21. Culbertson MC, Manning SC. Epistaxis. In: Bluestone CD, Stool
SE(Eds)Paediatric otolaryngology. W.B. Saunders Philadelphia. 1990;672-9.
22. Tomkinson A, Roblin DG, Flanagan P, Quine SM, Backhouse S. Patterns of
hospital attendance with epistaxis. Rhinol. 1997;35(3):129-31.
23. Walker TW, Macfarlane TV, McGarry GW. The epidemiology and
chronobiology of epistaxis: an investigation of Scottish hospital admissions
1995–2004. Clin Otolaryngol. 2007;32(5):361-5.

14
24. Arshad M, Ahmed Z, Ali L. Epistaxis: An experience with over 100 cases.
Trauma. 2007;17:15-60.
25. Islam R, Islam MA, Mahbub AR, Chowdhury AK, Islam MN, Khan AM. A
Clinical Study on Etiological Factors and Management of Epistaxis at a
Tertiary Level Hospital. Bangladesh J otorhinolaryngol. 2020;26(1):45-54.
26. Watkinson JC. Epistaxis. In: Mackay IS, Bull TR, eds. Scott Brown’s
Otolaryngology, London: Butterworths. 1997;18:5-7.
27. Shaheen OH. Arterial Epistaxis. J Laryngol Otol. 1975;89:17-34.
28. Iseh KR, Muhammad Z. Pattern of epistaxis in Sokoto, Nigeria: A review of
72 cases. Ann Afr Med. 2008;7(3):107-11.
29. Chaiyasate S, Roongrotwattanasiri K, Fooanan S, Sumitsawan Y. Epistaxis in
Chiang Mai University Hospital. J Med Assoc Thai. 2005;88(9):1282.
30. Hussain G, Iqbal M, Shah S A, Said M, Sanaulla, Khan SA, et al. Evaluation
of aetiology and efficacy of management protocol of epistaxis. J Ayyub Med
Col. 2006;18(4):62-5.
31. Pollice PA, Yoder MG. Epistaxis: a retrospective review of hospitalized
patients. Otolaryngol. Head Neck Surg. 1997;117(1):49-53.
32. Razdan U, Zada R, Chaturvedi VN. Epistaxis: study of aetiology, site and side
of bleeding. Indian J Med. 1999;53(12):545-52.

15

You might also like