Professional Documents
Culture Documents
ID None
ID None
ID None
Muqorobin
Instansi
Abstract
This study is an attempt to know (1) biography of the author of the book
'Uqudullijain. (2) the attitude of Nawawi in the book 'Uqudullijain. (3)
Relevancy of the concept of family in the book 'Uqudullijain with Islamic
education in Indonesia. This study use induction and deductive method to
analyze the data. The research findings indicate that family education in the
book "Uqudullijain offered Nawawi have relevance in his day, is not
relevant when applied to contemporary and necessary to adjust in order to
remain relevant. While the answer to the above question is in accordance
with the results of the study are as follows: (1) Nawawi’s thought is said to
be very traditionalist, it is influenced by the time she concocted since 114
years ago, so the method used and culture the current was very supportive of
Nawawi to pour the thought that is traditionalist. (2) Nawawi’s attitude look
too superiorized to male and curb the rights and degrading women, but there
is little his opinion that respects women. He was also seen in interpreting a
verse of the Koran textually different from the contextual contemporary
interpreters. (3) the book 'Uqudullijain was relevant at the time of
authorship, but because times are kept so the advance then it is possible a
content of the book is irrelevant, so that should do reshuffle and adjustment,
in order to keep abreast of the Age and the demands of human needs.
Pendahuluan
Rumah tangga merupakan markas atau pusat dimana denyut
pergaulan hidup menggetar, dia merupakan susunan yang hidup
mengekalkan keturunan. Sebenarnya rumah tangga adalah alam pergaulan
manusia yang sudah diperkecil. Bukanlah di rumah tangga itu lahir dan
tumbuh pula apa yang disebut kekuasaan, agama, pendidikan, hukum dan
perusahaan. Keluarga adalah jamaah yang bulat, teratur dan sempurna
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa
(Leter, 1985: 11).
Didalam Alqur‟an tujuan perkawinan dijelaskan sebagai berikut,
sesuai dengan firman Allah SWT QS. Ar-rum: 21:
ََلَقَ لَ ُكم ِ ِّم ْن أَنفُ ِس ُك ْم أ َ َْ ٰو اجا ِلِّت َ ْسكُنُ ٓو ۟ا إِلَ ْي َها َومِ ْن َء ٰايتِ ِهۦٓ أ َ ْن
ِّ
ََل َء ٰايت ِلقَ ْوم يَتَفَ َّك ُرون ٰ
ََو َجعَ َل بَ ْينَ ُكم َّم َو َّدة ا َو َرحْ َمةا ۚ ِإ َّن فِى ذلِك
﴾٤٢:﴿الروم
Permasalahan
1. Bagaimana biografi pengarang kitab „Uqudullijain ?
Tinjauan Pustaka
A. Riwayat Hidup Syeikh Muhammad Nawawi
1. Masa Kecil
Syekh Muhammad Nawawi, lahir di Banten, pada tahun 1230
H/1813 M. Nama aslinya adalah Muhammad Nawawi Bin Umar Bin Arabi.
Ia disebut juga Nawawi Al-Bantani. Di kalangan keluarganya, Syekh
Nawawi Al Jawi dikenal dengan sebutan Abdul Mu‟ti. Ayahnya bernama
KH. Umar Bin Arabi, seorang ulama dan penghulu di Tanara Banten.
Ibunya Jubaidah, penduduk asli Tanara. Dari silsilah keturunan ayahnya,
Syekh Nawawi merupakan salah satu keturunan Maulana Hasanuddin
(Sultan Hasanuddin), putra Maulana Syarif Hidayatullah (Depag, 1992:
422). Syekh Nawawi terkenal sebagai salah seorang ulama besar di kalangan
umat Islam internasional. Ia dikenal melalui karya-karya tulisnya. Beberapa
julukan kehormatan dari Arab Saudi, Mesir dan Suriah diberikan kepadanya,
seperti Sayid ulama Al-Hedzjaz, Mufti dan Fakih.
Dalam kehidupan sehari-hari ia tampil dengan sangat sederhana.
Sejak kecil Syekh Nawawi telah mendapat pendidikan agama dari orang
tuanya. Mata pelajaran yang diterimanya antara lain bahasa Arab, fikih dan
ilmu tafsir. Selain itu ia belajar pada kyai Yusuf di Purwakarta. Pada usia 15
tahun ia pergi menunaikan ibadah haji ke Makkah dan bermukim di sana
selama 3 tahun. Di Makkah ia belajar pada beberapa orang Syekh yang
bertempat tinggal di Masjidil Haram, seperti Syekh Ahmad Nahrawi, Syekh
Ahmad Dimyati dan Syekh Ahmad Zaini Dahlan. Ia juga pernah belajar di
Madinah di bawah bimbingan Syekh Muhammad Khatib Al- Hanbali.
Metode Penelitian
Melalui riset perpustakaan untuk mengkaji sumber-sumber tertulis
yang telah dipublikasikan atau belum (Arikunto, 1980: 10). Adapun sumber
data dalam penelitian ini dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: Sumber
Data primer, yaitu sumber data yang langsung berkaitan dengan obyek riset
yaitu Kitab „Uqudullijain (Dhahara, 1980: 60). Sumber Data Sekunder yaitu
sumber data yang mengandung dan melengkapi sumbersumber data primer,
adapun sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku atau
karya ilmiah lain yang isinya dapat melengkapi data penelitian yang penulis
teliti, seperti diantaranya kitab Qurrata A‟yun, Qurratul „Uyun beserta
terjemahan dan karya-karya ilmiah lainnya.
Pembahasan
A. Tinjauan Pendidikan Islam
1. Definisi Pendidikan Islam
satu dari yang lain tentang penilaian iman dan amalnya (Djamaluddin, 2004:
624- 625).
Dari ayat dan hadis di atas adalah sebuah realita pengakuan Islam
terhadap hak-hak waita secara umum dan anugrah kemuliaan dari Allah
SWT. Persoalan yang muncul kemudian bahwa sekalipun Islam telah
mendasari penyadaran intregatif tentang wanita tidak berbeda dalam
beberapa hal dengan laki-laki, pada kenyataanya prinsip-prinsip Islam
tentang wanita tersebut telah mengalami distorsi. Kita tidak bisa menutup
mata bahwa masih banyak
manusia yang mencoba mengingkari kelebihan yang dianugrahkan
Allah SWT. Kepada wanita (Djamaluddin, 2004: 626). Dari situlah tampak
jelas bahwa kedudukan wanita tiada bedanya, suami istri sama-sama
mempunyai tanggung jawab besar dalam rumah tangga sesuai penuturan
ayat Al-Quran dan hadis di atas, tapi sayangnya Syaikh Nawawi tetap
menggunakan dalil QS. Al-Baqarah ayat 228, yang memposisikan istri lebih
rendah dari suami.
Pembahasan selanjutnya mengenai pendapat Syaikh Nawawi tentang
ketaatan istri terhadap suami yang mengibaratkan seperti ketaatan seorang
anak terhadap orang tuanya yang telah disebutkan dalam bab tiga. Suami
merupakan penjaga, penanggung jawab, pemimpin, dan pendidik kaum
perempuan tentu mendapatkan hak untuk ditaati segala perintahnya kecuali
kemaksiatan, Padahal pendapat yang bercorak demikian pada dasarnya
berhubungan dengan situasi sosio-kultural waktu Nawawi mengarang kitab
„Uqudullijain sangat merendahkan kedudukan kaum perempuan. Dalam hal
ini Nawawi mengambil dalil dari firman Allah SWT. QS. An-Nisa‟: 34:
ٓ بَ ْعض َو ِب َما علَ ٰىَ ض ُه ْم
َ َّللاُ بَ ْع
َّ َّ َسآءِ ِب َما ف
ض َل َ ِّعلَى ال ِن
َ َالر َجا ُل قَ ّٰو ُمون
ِّ ِ
ۚ َُّللاَّ َ َح ِف
ظ ب بِ َما ْ ِّ ٰ ٰ ٰ
ِ ص ِلحٰ تُ قنِتتٌ حٰ فِظتٌ ِللغَ ْي ّٰ وا مِ ْن أ َ ْم ٰو ِل ِه ْم ۚ فَال ۟ ُأَنفَق
ۖ َواض ِْربُوُ َُّن اج ِعِ ض َ ْال َم ُ ُوََ ُ َُّن فَ ِع
ظوُ َُّن َوا ُْ ُج ُروُ َُّن فِى ُ َُوالّٰتِى تَََافُونَ ن
َك ِب ا
يرا ع ِليًّا
َ ََكان َّللا
َ َّ ِإ َّن ۗ س ِب ا
يَل َ علَ ْي ِه َّن
َ ۟ ُت َ ْبغ
وا فَ ََل َ َ فَإ ِ ْن أ
ط ْعنَ ُك ْم
﴾٤٣:﴿النساء
Pekerjaan yang ada sekarang tidak semua terdapat pada masa Nabi.
Namun sebagian ulama menyimpulkan bahwa Islam membenarkan
perempuan aktif dalam berbagai kegitan atau secara mandiri atau bersama
orang lain selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat,
sopan serta dapat memelihara agamanya dan dapat pula menghilangkan
dampak negatif pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya. Atau
dengan perkataan lain, yaitu perempuan mempunyai hak untuk bekerja
selama ia membutuhkannya dan selama norma-norma agama dan susila
tetap terpelihara. QS. An-Nisa: 32:
ِ ِّم َّما ِ لر َجا ِل ن
ٌَصيب ِّ ِ ِّعلَ ٰى بَ ْعض ۚ ِل َ ض ُك ْم
َ َّللاُ بِهِۦ بَ ْع َّ َّ ََو ََّل تَت َ َمنَّ ْو ۟ا َما ف
ض َل
ض ِل ِهۦٓ ۗ ِإ َّن
ْ ََّللا مِ ن ف َ َّ ۟ ُسبْنَ ۚ َوسْـل
وا َ َ ِ ِّم َّما ا ْكت ِ سآءِ ن
ٌَصيب َ ُِّوا ۖ َولِل ِن ۟ سب
َ َ ا ْكت
َٔ
﴾٤٤:علِي اما ﴿النساء َ َىء ُ
ْ ُ َّللا َكانَ بِك ِِّل َ َّ
Daftar Pustaka
Mahfur
Instansi
Abstract
The research objectives of this research are: (1) What is the concept
Mohammad Natsir of Islamic education?, (2) What are the cornerstone
concept of thought Mohammad Natsir in Islamic education?, (3) How
relevant is the idea Mohammad Natsir on the thinking of Islamic education
in Indonesia today?. To answer these questions, this study used literature
research. Because here is a literature review of research, the author examines
the concept of thought in Mohammad Natsir with the help of books in his
own writings as well as books written by others that tell about the Islamic
educational thought by Mohammad Natsir. The results showed that the
concept Mohammad Natsir of Islamic education that Education should be
able to bring man achieve his goal, which devote themselves to God, having
good character (akhlakul karimah) and got a decent living in the world.
While the foundation of Islamic education is to know God, to acknowledge
the ones of God and not to consider as an ally of Him. Relevance thought
Mohammad Natsir to education in Indonesia today, as evidenced by the
existence of public schools and Islamic school (madrasah), even schools
that combine general education and religious education, as well as
coordination among the schools with the holding of the National exam
together.
Pendahuluan
Banyak sekali buku-buku pendidikan yang menerangkan tentang
manfaat dan tujuan pendidikan. Diantaranya yang terdapat dalam tujuan
pendidikan nasional sebagaimana dirumuskan dalam Undang-undang
Republik Indonesia Nomer 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang bunyinya sebagai berikut: Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradapan bangsa
Permasalahan
Dari latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa Konsep Mohammad Natsir tentang Pendidikan Islam ?
2. Apa landasan konsep Pemikiran Mohammad Natsir dalam
Pendidikan Islam?
3. Bagaimana Relevansi Pemikiran Mohammad Natsir terhadap
Pendidikan Islam di Indonesia saat ini?
Tinjauan Pustaka
A. Silsilah Mohammad Natsir
Muhammad Natsir lahir di Jembatan Berukir, Alahan Panjang,
Kabupaten Solok, Sumatra Barat, pada hari Jumat’ 17 Jumadil Akhir 1326
Hijriah, bertepatan dengan 17 Juli 1908 Masehi. Ibunya bernama Khadijah,
sedang ayahnya bernama Mohammad Idris Sutan Saripado, seorang pegawai
rendah yang pernah menjadi juru tlis pada kantor kontroler di Maninjau dan
sipir penjara di Sulawesi selatan (Ajib Rosyidi, 1990: 150 Mohammad
Natsir dilahirkan di Kampung Jembatan, Baukia, Alahan, Alahan Panjang.
Minangkabau, pada tanggal 17 Juli 1908. Kampung Jembatan terletak di
balik Gunung Talang olok Profinsi Sumatra Barat. Mohammad Natsir
adalah putra ketiga Idris Sutan Sari Pado dan Khadijah. Ayahnya adalah
seorang pegawai bawahan, yakni sebagai juru tulis kontrolir di masa
pemerintahan Hindia Belanda. ( Badiatul Roziqin (dkk), 2009: 221) Ketika
pindah ke Bekeru, dia diajak oleh mamaknya Ibrahim pindah kepadang.
Mamaknya yang biasa dikenal dengan makcik Ibrahim adalah bekerja
sebagai buruh harian disebuah pabrik kopi yang hanya memperoleh upah
beberapa puluh sen sehari. Sehari-hari mereka hidup sangat sederhana,
bahkan dalam urusan makanan hanya ketika hari raya saja atau
peristiwaperistiwa penting saja. Sehingga dapat dikatakan bila sejak kecil
Natsir sudah belajar hidup sederhana.
Pada tanggal 20 Oktober 1934, M. Natsir melangsungkan
pernikahannya dengan Putri Nur Nahar, guru Taman Kanak-kanak
Pendidikan Islam. Pernikahan dilaksanakan dengan sederhana saja. Tamu-
tamu makan di langgar yang terletak di depan rumah tempat pernikahan
dilangsungkan. Pergaulan selama dua tahun sesama pengasuh Pendidikan
Islam, menambah perkenalan sebelumnya tatkala keduanya sama-sama aktif
di JIB, telah mengeratkan kedua insan yang sama-sama tulus mengabdikan
hidupnya bagi kemajuan umat Islam(Ajib Rosyidi, 1990: 177) Natsir wafat
pada tanggal 6 Februari 1993, bertepatan dengan tanggal 14 Sya’ban 1413
H, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dalam usia 85 tahun.
Berita wafatnya menjadi berita utama diberbagai media cetak dan
elektronik. Berbagai komentar muncul, baik dari kalangan kawan
seperjuangan maupun lawan politiknya. Ada yang bersifat pro terhadap
kepemimpinannya dan ada pula yang bersifat kontra. Mantan Perdana
Menteri Jepang yang diwakili oleh Nakadjima, menyampaikan bela
sungkawa atas kepergian M. Natsir dengan ungkapan, “Berita wafatnya M.
Natsir terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom di Hirosima(Thohir Luth,
1999: 28).
Karena jauhnya jarak Solok dan tempat Natsir sekolah, maka Natsir
dititipkan di rumah Pak Haji Musa, memiliki anak yang sekolah di HIS kelas
satu, sedang Natsir langsung masuk ke kelas dua, karena lowongan yang ada
cuma kelas dua. Akan tetapi Natsir diberi kesempatan untuk mencoba di
kelas dua selama beberapa hari. Ternyata Natsir berhasil, sehingga diterima
di sekolah tersebut secara resmi.
Setelah menamatkan HIS di Padang, Natsir remaja meneruskan
pendidikannya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang
pada tahun 1923. Karena prestasinya, Natsir remaja dapat sekolah MULO
gratis. Ia mendapatkan beasiswa dari pemerintahan Belanda. (Badiatul
Roziqin, Badiatul Mukhlisin Junaidi dan Abdul Munif, 2009: 222). Di
MULO, Natsir mulai berkenalan dengan organisasi kepemudaan, seperti
Jong Sumatra (Pemuda Sumatra), Jong Islamieteten Bond(Perserikatan
Pemuda Islam. Beliau melanjutkan studinya di AMS (Algemeene Midel
School) di Bandung. Natsir remaja mengambil jurusan Sastra Barat Klasik.
Pendidikannya di AMS juga dibiyayai oleh Pemerintahan Belanda. Saat
study di AMS, Natsir remaja berkanalan dengan ustadz A. Hasan, Tokoh
PERSIS (Persatuan Islam) garis keras, yang membimbing dirinya
melakukan studi tentang Islam. Dengan ustadz ini ia mengelola majalah
“Pembela Islam” sampai tahun 1932. Pendidikan AMS diselesaikan pada
tahun 1930 saat usianya 22 tahun. (Badiatul Roziqin, Badiatul Mukhlisin
Junaidi dan Abdul Munif, 2009: 222).
Meskipun Natsir melanjutkan pendidikannya di sekolah Belanda,
yaitu dari A.M.S. Bandung. Tetapi dalam hidupnya sehari-hari, hidup secara
orang santrilah yang banyak tertonjol. Kalau berbicara di hadapan umum,
tidak bersifat agitatif, menggeledek dan mengguntur. Tetapi dengarkanlah
ucapannya dengan tenang, kian lama kian mendalam dan tidak akan
membosankan. Karena semua berisi dan terarah (Ajib Rosyidi, 1990: 194).
menjadi muslim yang tahu harga diri dan kukuh tegak dalam menghadapi
tantangan di dunia modern dan tidak hanya menjadi korban bangsa asing.
Natsir mengomentari pendidikan di Taman Siswa yang didirikan
oleh Ki Hadjar Dewantara, cabangnya yang ada di Bandung, yang
menanamkan rasa cinta tanah air dan bangsa, tetapi dia mendapat kesan
paham ajarannya terlalu bersifat Jawa. Mereka terlalu memuja-muja dan
membesar-besarkan kebudayaan Jawa, yang tidak pula dikaitkan dengan
agama Islam, kendati raja-raja Jawa digelari Sultan, tetapi lebih banyak
dihubungkan dengan ke- Hinduan. Hubungannya yang mesra terhadap
“Kaum Kebangsaan” menyebabkan sering juga timbulnya sikap yang
merendahkan dan menyinggung perasaan orang Islam. Di sekolah itu ajaran
Islam memang tidak diajarkan, melainkan ada didikan budi pekerti yang
bersumber kepada etika Jawa dan ke-Hinduan (Ajib Rosyidi, 1990: 159-
160)
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library
Research).Penelitian ini dilakukan dengan bertumpu pada data kepustakaan
tanpa diikuti dengan uji empirik. Jadi, studi pustaka disini adalah studi teks
yang seluruh substansinya diolah secara filosofis dan teoritis.(Noeng
Muhajir, 1996: 158-159). Karena penelitian disini sifatnya adalah kajian
pustaka atau literer, maka penulis dalam mengkaji Konsep Pemikiran
Mohammad Natsir dengan bantuan buku-buku, yang kami ambil dari tulisan
beliau dan juga tulisan orang lain yang menceritakan tentang kehidupan
maupun pemikiran Mohammad Natsir.
Pembahasan
A. Peran dan Fungsi Pendidikan Islam
Jika natsir mengatakan bahwa Pendidikan harus berperan sebagai
sarana untuk memimpin dan membimbing agar manusia yang dikenakan
sasaran pendidikan tersebut dalam mencapai pertumbuhan dan
pendidikan tidak menjadikan anak didik jadi kurang baik akan tetapi agar
anak didik menjadi lebih baik dalam segala hal. Karena Pendidikan Islam
maka yang pasti fungsinya agar manusia dapat mencapai tujuannya yaitu
menghambakan diri kepada Allah sepenuhnya.
sesame mahluk. Menurut Mohammad Natsir, sisi pertama dari tauhid adalah
memperkokoh kesadaran batin manusia, menumbuhkan spiritualitas yang
mendalam dan juga menjadi basis etika pribadi. Sedangkan sisi kedua dari
tauhid adalah beriswikan penekanan kepada kesatuan yang universal umat
manusia sebagai umat yang satu, berdasarkan persamaan, keadilan, kasih
saying, toleransi dan kesabaran. Jadi dalam konteks kemanusian tauhid
menegaskan prinsip humanism universal yang tanpa batas, serta sumber atau
rujukan dalam penyajian materi pendidikan kepada anggota keluarga yaitu
ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW.
Segaimana yang diterangkan dalam Al-Qur’an, Hadist dan dalam
kehidupan Rasululloh Saw, setidaknya ada lima sikap dasar dalam dimensi
iman, yaitu pertama, menyakini; kedua, mengikrarkan dengan lisan; ketiga,
yang berfikrah Islami; keempat, apa yang dipikirkan secara islami; kelima,
iman juga berdimensi dakwah (amar ma’ruf nahi munkar). Apa yang
dipikirkan secara islami harus diamalkan secara benar-benar dengan
berakhlak islami. Karena belum beriman seseorang jika belum teruji dalam
kenyataan (empirik) dan berhasil dalam menghadapi ujian, cobaan dan
tantangan dengan tidak tergeser keyakinannya, fitrahnya, sikapnya dan
amalnya. Karena keimanan merupakan pengondisian dalam pengamalan
empirik di tengah-tengah kehidupan sosial. Bahkan dapat dikatakan bahwa
iman dan amal shaleh adalah ikatan yang tidak dapat di pisahkan satu sama
lainnya. Karena keduanya menjadi barometer jatuh bangunnya kemanusian
dan peradaban. Amar ma’ruf nahi munkar adalah berjuang untuk
merealisasikan ajaran islam menjadi tata kehidupan yang adil dalam Ridha-
Nya.
Dari kelima dimensi iman di atas, maka jelaslah bahwa tauhid
menyatukan aktivitas manusia sehari-hari dalam ketundukannya kepada
Allah SWT. Sedangkan pengalaman empirik-rasional-intuitif, terikat pada
ke-Esa-an Allah SWT, atau dengan kata lain bersatunya iman, ilmu dan
amal shaleh sebagai system kehidupan dalam diri seseorang muslim yang
tidak terpisahkan. Munculnya dikotomi antara pendidikan agama dan
pendidikan umum, tidak saja menggoyahkan integritas konsepsi pendidikan
islam, tetapi juga memperluhatkan wajah pendidikan yang terkotak-kotak.
Diakui atau tidak dampak social dikotomi pendidikan tersebut dapat
dijadikan tingkat pengetahuan masyarakat terbelah dan tidak utuh, yang
padanya dapat terjadi penilaian yang berbeda terhadap pendidikan sesuai
dengan nilai yang mereka pandang ideal dan sempurna.
Natsir juga membicarakan tentang sekuler, yang memisahkan
antara dunia dan agama. Yang mana sekuler telah mengglobal dan
mencengram dunia islam, puncak keberhasi;an sekularisme barat adalah
runtuhnya khilafah di Turki tahun 1924, Kemal Attaturk meruntuhkan
khilafah Islam di Turki dan mengubah menjadi Turki yang sekuler. Namun
saat ini barat harus kembali berhadapan dengan proyek kebangkitan Islam
yang mulai berhembus diseluruh penjuru dunia. Anis Matta menyebutkan
indikatornya sebagai berikut :
1. Hanya empat tahun setelah runtuhnya khilafah islam tepatnya tahun
1928 berdirilah gerakan yang saat ini menjadi gerakan Islam terbesar
dan tersebar di seluruh Negara dunia, yaitu Ikhwanul Muslimin di
Mesir, beberapa tokohnya yaitu Hasan Al Banna, Sayyid Qutb, Yusuf
Al Qardhawi, Muhammad Qutb, Mustafa Assyibai dan lain-lain, telah
menjadi ikon perlawanan.
2. Gerakan islamisasi kampus yang terjadi hampir diseluruh dunia islam
menjadi agent of change bagi masa depan Islam. Kampus-kampus yang
sebelumnya menjadi pusat-pusat sekularisme berubah menjadi agent
perubahan.
2. Mencerdaskan akal
Salah satu dari tiang-tiang ajaran junjungan kita Muhammad Saw.
Yang penting ialah : menghargai akal manusia dan melindunginya daripada
tindakan-tindakan yang mungkin dilakukan orang atas nikmat Tuhan yang
tak ternilai itu. Junjungan kita meletakkan akal pada tempat yang terhormat,
menjadikan akal itu sebagai salah satu alat untuk mengetahui Tuhan.
Bertebaran di dalam Al-Qur’an beberapa pertanyaan-pertanyaan untuk
memikat perhatian menyuruh mempergunakan pikiran, mendorong manusia
supaya menjalankan akalnya : “Kenapa mereka tidak berfikir ? Kenapa
mereka tidak Ingat? Kenapa mereka tidak mempergnakan akal?”. Dan
demikianlah seterusnya (M Natsir, 1988; 1-2).
Manusia memiliki potensi akal, dengan potensi akal manusia dapat
mencari kebenaran, walaupun akal bukan satu-satunya sumber kebenaran.
Kebenaran itu dapat dicapai melalui pendekatan ilmiah dan filosofis. Dan
untuk memandunya diperlukan wahyu yang sebelumnya telah diimani
kebenarannya. Agama Islam amat mencela orang yang tidak menggunakan
akalnya, orang yang terikat pkirannya dengan kepercayaan-kepercayaan dan
fahamfaham manusia yang tidak berdasar yang benar, mereka yang tidak
mau memeriksa, apakah kepercayaan dan faham-faham yang disuruh orang
terima itu betul dan berdasar kepada kebenaran, atau tidak. Tegasnya,
Agama Islam melarang kita bertaklid buta kapada faham dan I’tikad yang
tak berdasar kepada wahyu Ilahi yang nyata, menurut faham-faham lama
(pikiran-pikiran tradisional) yang turun temurun dengan tidak mengetahui
dan memeriksa terlebih dahulu, apakah faham itu berguna dan berfaidah dan
suci, atau tidak (M. Natsir, 1947: 5).
3. Koordinasi Perguruan-perguruan Islam
Natsir menekankan koordinasi antar perguruan-perguruan Islam
disini dibedakan menjadi dua, yaitu: Pertama, koordinasi dilakukan antara
dating dari barat dan eropa. Pentingnya bahasa asing sampai sekarang untuk
memudahkan orangorang Indonesia yang akan menggali ilmu dari Negara-
negara di dunia yang mungkin dan pastinya ilmu itu akan semakin
bertambah dan berkembang.
Kesimpulan
Dari uraian banyak tentang “Konsep Pendidikan Islam Menurut
Mohammad Natsir”, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Pendidikan harus dapat membawa manusia mencapai tujuan
hidupnya, yaitu menghambakan diri kepada Allah, berakhlakul
karimah dan mendapat kehidupan yang layak di dunia.
2. Landasan pendidikan Islam adalah mengenal Tuhan, mentauhidkan
Tuhan dan tidak menyekutukan sedikitpun Allah kepada siapapun.
Selain itu akhlakul karimah juga dijadikan sebagai landasan
pendidikan Islam.
3. Relevansi Pemikiran Mohammad Natsir terhadap pendidikan di
Indonesia sekarang ini, dengan bukti adalah telah adanya sekolah-
sekolah dan perguruan tinggi Islam yang telah mengintegrasikan
antara pendidikan agama dan pendidikan umum, juga telah adanya
koordinasi dari sekolah-sekolah dengan adanya ujian secara bersam,
baik itu Ujian Nasional maupun Ujian Sekolah.
Daftar Pustaka
Achmadi, 1992, Islam Sebagai Paradigma Pendidikan, Yogyakarta: Aditya
Media.
Antoni, Muhammad Syafii. 2009, Muhammad Saw The Super Leader Super
Manager, Jakarta: ProLM dan Tazkia Publishing.
Badiatul Roziqin, Badiatul Mukhlisin Junaidi dan Abdul Munif, 101 Jejak
Tokoh Islam, e-Nusantara, Yogyakarta, 2009, Hlm.221
Bakker, Anton. 1990, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta : Kanisius
Abstract
Noble character is a reflection of one's personality, in addition to the
superior morality will be able to bring someone to the high dignity. Lately, a
good manner is costly and hard to find. The lack of understanding of moral
values contained in the Qur'an and Hadith will further aggravate the
condition of a person's personality, even life seemed to feel less meaningful.
To form a noble personal, moral cultivation against children should be
encouraged from an early age, since its formation will be easier than after
the child's adulthood. Al Akhlaq Lil Banat book discusses some manners to
apply in life, good family environment, school or community. It will create
private-mannered accordance with the guidance of the Qur'an. It is a kind of
literature review. To obtain representative data in the discussion, it is used
library research to find, collect, read, and analyze the books with no
relevance to the research problem. The relevant references then is compiled,
analyzed, so as obtained as conclusion. To achieve success in the
educational process, the material in the book Al Akhlaq Lil Banat can be
used as a reference in order to achieve educational success. The material
presented in this book is not only refers to the relationship between man and
God (transcendental), but also on the relationship between humans
(anthropocentric), such as morality to parents, relatives, neighbors, peers and
also to the adab or ordinances, such manners visit, walking, traveling, and
so forth.
Pendahuluan
Sesungguhnya anak adalah amanah Allah yang perlu kita syukuri,
“Jika amanah itu disia-siakan, maka tunggulah saat kehancuran” (Jamal
Abdurrahman, Terj. Ardianingsih, 2003: v). Pengertian anak bukan sekedar
yang terlahir dari tulang sulbi kita atau anak cucu keturunan kita saja, namun
termasuk juga anak seluruh orang muslim di manapun mereka berada, atau
berasal dari bangsa manapun kesemuanya adalah termasuk generasi umat,
yang menjadi tumpuan harapan kita, untuk dapat mengembalikan kesatuan
umat seutuhnya, sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat al-Mukminun
:52)
ِ َُربُّ ُك ْم فَاتَّق
﴾١٤:ون ﴿المؤمنون َوأَن َ۠ا ٰوحِ َدة ا ُٰ ِذ ِهۦٓ أ ُ َّمت ُ ُك ْم أ ُ َّمةا َو ِإ َّن
Artinya: ” Dan sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama
kamu semua, agama yang satu”(www.al qur’an_word.com)
Permasalahan
Sehubungan dengan judul dan uraian dalam latar belakang
permasalahan di atas, maka ada beberapa rumusan permasalahan, antara
lain:
1. Bagaimana konsep akhlaq menurut Umar bin Ahmad Baradja dalam
kitab Al Akhlaq Lil Banat?
2. Apakah relevansi pemikiran Umar bin Ahmad Baradja dalam kitab
Al Akhlaq Lil Banat dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia?
Tinjauan Pustaka
A. Riwayat Hidup Umar Bin Ahmad Baradja
Umar bin Ahmad Baradja merupakan seorang ulama besar. Beliau
lahir di kampung Ampel Magfur kota Surabaya pada tanggal 10 Jumadil
Akhir 1331 H, yang bertepatan dengan 17 Mei 1913 M. Sejak dari waktu
kecil beliau diasuh dan dididik oleh kakeknya dari pihak ibu, kakek beliau
bernama Syaikh Hasan bin Muhammad Baradja, yang merupakan seorang
ulama ahli ilmu dan fiqih. Silsilah nasab beliau yang berasal dan berpusat di
kota Saiwoon Hadromaut di Negeri Yaman, nama nenek moyang beliau
yang ke-18 yang bernama Syaikh Sa’ad, yang dijuluki (laqob) Abi Roja’
(yang selalu berharap), maka silsilah keturunan tersebut bertemu kepada
Nabi Muhammad SAW yang ke-5 yang bernama Kilab bin Murroh. Umar
bin Ahmad Baradja wafat dalam usia 77 tahun, pada hari Sabtu malam Ahad
tepatnya pada tanggal 16 Robiul Tsani 1414 H atau 3 November 1990 M
pada pukul 23.10 WIB di Rumah Sakit Islam Surabaya. Jenazah beliau
dimakamkan keesokan harinya, yaitu pada hari Ahad sekitar jam setengah 4.
Jenazah beliau disholatkan di Masjid Agung Sunan Ampel dan diimami oleh
putranya sendiri yang menjadi khalifah (penggantinya) yaitu Al Ustadz
Ahmad bin Umar Baradja. Jenazah beliau dimakamkan di Pemakaman Islam
2. Kiprah Dakwah
Sebagai awal karirnya beliau mengamalkan ilmunya dengan
mengabdi di Madrasah Al Khairiyah Surabaya pada tahun 1935 sampai
1945, beliau berhasil mencetak beberapa ulama/asatidz yang telah menyebar
ke berbagai pelosok tanah air. Murid beliau yang mengabdi dan
mengamalkan ilmu yang diperoleh dari Umar bin Ahmad Baradja di
antaranya; Almarhum Al Ustadz Ahmad bin Hasan Assegaf, Almarhum Al
Habib Umar bin Idrus Al masyhur, Almarhum Al Ustadz Ahmad bin Ali
Bebgei, Al Habib Idrus bin Hud Assegaf, Al Habib Hasan bin Hasim Al
Habsyi, Al Habib Hasan bin abdul Kadir Assegaf, Al Ustadz Ahmad Dzaki
Ghufron dan Al Ustadz Ja’far bin Agil Assegaf.
Setelah beliau mengabdi di Madrasah Al Khairiyah Bondowoso,
beliau lalu pindah mengajar di madrasah Al Arabiyyah Al Islamiyyah
Gresik setelah itu pada tahun 1951–1957 beliau memperluas serta
membangun lahan baru bersama dengan Al Habib Zein bin Abdullah Alkaff,
sehingga wujudlah Gedung Yayasan Badan Wakaf yang diberi nama
Yayasan Perguruan Islam Malik Ibrahim. Selain mengajar di lembaga
pondok beliau juga mengajar di rumah pribadinya, di waktu pagi hari dan
sore hari, juga majlis taklim/pengajian rutin malam hari. Karena sempitnya
tempat dan banyaknya murid, maka beliau berusaha mengembangkan
pendidikan itu dengan mendirikan Yayasan Perguruan Islam atas nama
beliau Al Ustadz Ahmad Baradja, Hal ini sebagai wujud nyata dari hasil
pendidikan dan pengalaman yang telah beliau dapat selama 50 tahun, dan
berjalan sampai sekarang ini di bawah asuhan putranya yaitu Al Ustadz
Ahmad bin Umar Baradja.
3. Kepribadian
Penampilan Umar bin Ahmad Baradja sangat bersahaja, juga dihiasi
sifat -sifat ketulusan niat yang disertai keikhlasan dalam segala amal
perbuatan duniawi dan ukhrawi. Beliau juga menjabarkan akhlak ahlul bait,
keluarga Nabi dan para sahabat, yang mencontoh baginda Nabi Muhammad
SAW. Beliau tidak suka membangga-banggakan diri, baik tentang ilmu,
amal, maupun ibadah. Ini karena sifat tawadhu’ dan rendah hatinya sangat
tinggi. Dalam beribadah, beliau selalu istiqamah baik sholat fardhu maupun
sholat sunnah qabliyah dan ba’diyah. Sholat dhuha dan tahajud hampir
tidak pernah dia tinggalkan walaupan dalam bepergian. Kehidupannya
beliau usahakan untuk benar-benar sesuai dengan yang digariskan agama.
Cintanya kepada keluarga Nabi Muhammad SAW dan dzuriyah atau
keturunannya sangat kental tak tergoyahkan. Juga kepada para sahabat anak
didik Rasulullah SAW. Itulah pertanda keimanan yang teguh dan sempurna.
Dalam buku Kunjungan Habib Alwi Solo kepada Habib Abu Bakar
Gresik, catatan Habib Abdul Kadir bin Hussein Assegaf, penerbit Putra
Riyadi tahun 2003 halaman 93, disebutkan, “… kami (rombongan Habib
Alwi Al-Habsyi) berkunjung ke rumah Syeikh Umar bin Ahmad Baradja (di
Surabaya). Kami dengar saking senangnya, ia sujud syukur di kamar
khususnya. Ia meminta Sayyidi Alwi untuk membacakan doa dan fatihah”
(Al Kisah, 2007: 85-89). Sifat wara’nya sangat tinggi. Perkara yang
meragukan dan subhat beliau tinggalkan, sebagaimana meninggalkan
perkara-perkara yang haram. Beliau juga selalu berusaha berpenampilan
sederhana. Sifat Ghirah Islamiyah (semangat membela Islam) dan iri dalam
beragama sangat kuat dalam jiwanya. Konsistensinya dalam menegakkan
amar ma’ruf nahi munkar, misalnya dalam menutup aurat, khususnya aurat
wanita, dia sangat keras dan tak kenal kompromi. Dalam membina anak
didiknya, pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan beliau tolak keras.
Juga bercampurnya murid
Dengan semua itu maka hidup kita akan beruntung dan bahagia
dunia dan akhirat.
g. Mencintai Malaikat-Malaikat Allah, para Rasul dan Nabi Allah, dan
orang-orang shalih dari hamba-hamba Allah, karena sesungguhnya
Allah SWT juga mencintai mereka. (Umar Baradja, 1987 : 5-6)
Metode Penelitian
Dalam penulisan metode skripsi ini, penulis mengunakan beberapa
metode penelitian, baik untuk memperoleh data maupun untuk menganalisis
data-data yang ada, antara lain dengan Library Research. Yaitu salah satu
research atau penelitian kepustakaan (Hadi, 1991: 9). Dalam penyusunan
skripsi ini menggunakan jenis studi kepustakaan atau library research.
Dalam arti bahwa bahan-bahan atau data-data penulisan skripsi ini diperoleh
dari penelitian buku-buku dan literatur-literatur yang berkenaan dengan
topik yang sedang dibahas. Maka sumber data yang dipakai dalam
penyusunan skripsi ini dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu:
1. Sumber data primer
Pembahasan
A. Signifikansi Pemikiran Umar Bin Ahmad Baradja Dalam Kitab Al
Akhlaq Lil Banat dalam Pendidikan di Indonesia
Seorang anak tak ubahnya benih kecil yang membutuhkan
perawatan secara ekstra, mulai dari air, suhu, udara dan sinar matahari
sehingga benih itu menjadi tumbuh besar dan berkekuatan, begitu pula
seorang anak pada fase pertamanya juga membutuhkan perhatian,
pengawasan dan arahan secara simultan sampai pada akhirnya mereka
tumbuh besar menjadi kebiasaanya semenjak kecil dengan izin Allah.
Mereka kelak menjadi orang yang cinta dengan kebaikan setelah dewasa.
Namun manakala pertumbuhan mereka diabaikan dengan tanpa ada
perhatian sama sekali tentunya kelak mereka akan tumbuh besar menjadi
orang yang sulit untuk diarahkan dan diperbaiki. Oleh karena itu hendaknya
mereka perlu dididik dengan manhaj Allah yang tercantum dalam Al-Qur’an
dan yang sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad SAW, dan hendaknya
mereka diberi perhatian secara khusus dalam masalah pendidikan sejak
tumbuhnya jari-jemari mereka pada masa perkembangannya sampai dewasa.
Meski dilihat pada perkembangan selanjutnya pendidikan Islam telah
mengalami proses dinamika pemikiran yang sangat luas, unsur pendidikan
moral pun tak luput dari kajian pembahasan para pemikir pendidikan Islam.
Pendidikan moral sendiri kemudian menjadi semacam unsur permanen
dalam sistem pendidikan Islam, setidaknya dalam penetapan kurikulum
maupun pemantapan visi dan misi kependidikannya. Harun Nasution
berpendapat, pendidikan moral merupakan titik tekan yang sangat signifikan
dalam pendidikan Islam, karena ia merupakan salah satu inti dari ajaran
agama Islam itu sendiri, selain juga pendidikan ke-teologis-an dan keibadah-
an. (Nasution, Harun, 1998:87)
Hal terpenting yang menjadi sorotan para pakar pendidikan Islam
saat ini adalah tentang fenomena gejala dekadensi moral masyarakat, baik
orang dewasa maupun anak-anak pelajar, seperti penyelewengan, penipuan,
perampokan penindasan, saling menjegal dan saling merugikan dan masih
banyak perbuatan tercela lainnya. Maka Pendidikan Islam mempunyai tugas
pokok, tugas tersebut adalah membantu dan membina individu agar
bertakwa dan berakhlaqul karimah, bermanfaat bagi keluarga dan
masyarakat. Sebagaimana pengertian Pendidikan Islam yang dikemukakan
oleh D. Marimba yaitu bimbingan atau pimpinan sadar oleh pendidikan
terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju
terbentuknya kepribadian yang utama (Insan kamil) (D. Marimba, 1989: 19).
Agar proses pendidikan berjalan sesuai dengan yang diharapkan
maka pendidikan, pengajaran dan metodenya harus diambil dari aturan dan
nilainilai agama Islam. Demikian juga, kita harus mempersiapkan seorang
pengajar mukmin yang memiliki nilai-nilai tersebut, sehingga dia dapat
menjadi pemandu program Pendidikan Islam yang sukses, dapat
menciptakan generasi muda yang berpotensi dan mempunyai kepribadian
yang Islami. Untuk mencapai itu semua, maka materi yang ada dalam kitab
Al Akhlaq Lil Banat sangat signifikan jika dipakai sebagai acuan dalam
upaya mencapai keberhasilan pendidikan. Materi yang disajikan dalam kitab
ini tidak hanya mengacu pada hubungan antara manusia dengan Allah
(hablumminallah), melainkan juga pada hubungan antara manusia satu
dengan manusia lain (hablumminannas), seperti akhlaq terhadap orang tua,
kerabat, tetangga, sesama teman dan juga sampai pada adab-adab berjalan,
bepergian, dan lain sebagainya, telah penulis deskripsikan pada bab
sebelumnya.
Metode yang di pakai oleh Umar bin Ahmad Baradja dalam kitab Al
Akhlaq Lil Banat antara lain: melalui teladan, nasehat, cerita atau hikayat,
kebiasaan, melalui syair, dan melalui dalil naqli. Misalnya saja pendidikan
melalui teladan. Keteladanan yang baik merupakan suatu keharusan dalam
pendidikan, karena bagaimana mungkin seorang anak akan memiliki
antusiasme untuk menjalankan sholat sedangkan dia melihat orang tuanya
adalah orang yang tidak memperhatikan sholat. Bagaimana mungkin dia
akan meninggalkan lagu-lagu dan lawakan, sedangkan dia melihat ibunya
senantiasa memperdengarkannya. Itulah dunia anak adalah dunia meniru, ia
akan meniru apa saja yang dapat ditangkap oleh indranya. Kebutuhan-
kebutuhan akan figur teladan selalu ada pada manusia karena karakter
manusia sebenarnya adalah senang untuk meniru. Hal ini bersumber dari
kondisi mental seseorang, yang senantiasa dirinya berada dalam perasaan
orang lain, sehingga dirinya meniru, ada kecenderungan anak akan meniru
perilaku orang dewasa. Dan bawahan akan meniru atasannya. Untuk itu
hendaklah kita mengedepankan keteladanan yang baik bagi anak-anak.
Untuk itu pemilihan metode yang tepat akan sangat penting
diterapkan dalam Pendidikan Islam guna mewujudkan tujuan pendidikan
terciptanya insan kamil yang berkepribadian shalih-shalihah. Dalam proses
pembentukan kepribadian anak, diperlukan strategi dan metode yang tepat.
Dan keberadaan kitab ini sangatlah signifikan dalam upaya pencapaian
terbentuknya generasi muda yang sesuai dengan tujuan umat islam. Tujuan
pendidikan bukanlah suatu benda yang berbentuk tetap dan statis tetapi
tujuan itu merupakan keseluruhan dari kepribadian seseorang yang
berkenaan dengan seluruh aspek kehidupannya. Kata Hasan Langgulung:
“Berbicara tentang tujuan pendidikan tidak terlepas dari pembahasan tentang
tujuan hidup manusia. Oleh karena itu pendidikan hanyalah suatu alat yang
digunakan manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya, baik sebagai
individu atau masyarakat. (Hasan Langgulung, 1995: 55).
Tujuan pendidikan tersebut tidak jauh berbeda dengan tujuan
pendidikan yang ada dalam kitab Al Akhlaq Lil Banat walaupun dalam
penyampaiannya berbeda. Tujuan dalam Al Akhlaq Lil Banat upaya
pembentukan kepribadian individu dan kepribadian sosial yang baik, seperti
contohnya akhlaq minum,makan dan tidur akan mumbentuk kepribadian
individu yang baek, sedang kepribadian sosial dengan menanamkan akhlaq
terhadap orang tua, guru, saudara, tetangga, dan terhadap teman, sehingga
kitab Al Akhlaq Lil Banat sangatlah signifikan dipakai dalam proses
pendidikan di Indonesia.
maka dia akan tumbuh dengan baik dan tentu akan menjadi orang yang
bahagia di dunia dan akhirat. Begitu juga sebaliknya, jika dibiasakan dan
diajari hal-hal yang buruk, diabaikan layaknya binatang tentu dia akan
menderita dan rusak, untuk itu membimbing dan menanamkan akhlaq yang
terpuji kepada anak merupakan cara pendidikan akhlaq yang berhasil,
dengan kata lain yaitu: “Adab bisa berguna selagi anak dalam kedinian dan
tiada lagi berguna baginya setelah itu, ibarat ranting kecil akan lurus jika
diluruskan, tiada lagi lurus jika ia menjadi batang yang kaku”.
Pendidikan akhlaq untuk generasi sekarang ini juga dihadapkan pada
persoalan-persoalan yang cukup kompleks, yakni persoalan reformasi dan
globalisasi menuju masyarakat Indonesia baru. Tantangan yang dihadapi
sekarang adalah bagaimana upaya untuk membangun paradigma baru
Pendidikan Islam, visi, misi, dan tujuan, yang didukung dengan sistem
kurikulum atau materi pendidikan, manajemen dan organisasi, metode
pembelajaran untuk dapat mempersiapkan manusia yang berkualitas,
bermoral tinggi dalam menghadapi perubahan masyarakat global yang
begitu cepat, sehingga produk Pendidikan Islam tidak hanya melayani dunia
modern, tetapi mempunyai pasar baru atau mampu bersaing secara
kompetitif dan proaktif dalam dunia masyarakat modern, global dan
informasi. Perubahan yang perlu dilakukan Pendidikan Islam, yaitu:
1. Membangun sistem Pendidikan Islam yang mampu mengembangkan
sumber daya manusia yang berkualitas agar mampu mengantisipasi
kemajuan iptek untuk menghadapi tantangan dunia global menuju
masyarakat Indonesia baru yang dilandasi dengan nilai-nilai ilahiyah,
kemanusiaan (insaniyah), dan masyarakat, serta budaya.
2. Menata manajemen Pendidikan Islam dengan berorientasi pada
manajemen berbasis sekolah agar mampu menyerap aspirasi
harus memberikan keteladanan yang tepat serta harus kita tunjukkan tentang
bagaimana kita harus bersikap, bagaimana kita harus menghormati dan
seterusnya. Kalau kita ingin dihormati oleh orang lain, tentulah harus kita
awali dari kita sendiri untuk berbuat baik kepada sesama dan berbakti
kepada kedua orang tua kita. Maka dengan mengawalinya demikian, niscaya
orang lain pun akan menghormati kita dan anak-anak pun berbakti kepada
kita. Jadi pembelajaran kitab akhlaq ini tidak hanya dalam kelas saja, yaitu
dengan metode ceramah namun juga perlu diterapkan metode keteladanan,
nasehat dan kebiasaan.
Maka dengan usaha pembiasaan pada diri secara dini dan konsisten,
lebih bisa diharapkan akhlaqul karimah akan benar-benar tumbuh pada diri
anak sehingga apa yang diharapkan oleh kita akan terwujud yakni harapan
yang nantinya mempunyai sebuah keluarga yaitu keluarga yang dipimpin
oleh seorang kepala keluarga yang shalih didampingi oleh seorang istri yang
shalihah dan dihiasi pula putra-putri yang shalih dan shalihah.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam bab-bab yang telah lalu, maka penulis
dapat mengemukakan kesimpulan sebagai berikut:
1. Materi akhlaq dalam kitab Al Akhlaq Lil Banat meliputi hubungan
transedental antara menusia dengan Sang Khalik, sesuai penciptaan
manusia sebagai Abdullah, dan hubungan antroposentris antar sesama
manusia, sesuai dengan fungsinya sebagai kholifah fil ard. Dalam
mensukseskan proses pendidikan akhlaq untuk membentuk pribadi anak
perlu penerapan metode, diantaranya melalui teladan, nasehat, kisah
atau cerita, kebiasaan, menggunakan dalil naqli, dan menggunakan
syair. Metode-metode tersebut sangat efektif dan lazim untuk
diterapkan dalam proses pendidikan akhlaq di indonesia.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Jamal. 2003. Atfal Al Muslim, Kaifa Rabaahum Al Nabiy Al
Amin?, terjemah oleh Jujuk Najibah Ardianingsih, Pendidikan Ala
Kanjeng Nabi. Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Al Habaib.Blog Spot.com.
Baradja, Umar. 1987. Al Akhlaq Lil Banat, Surabaya: CV. Ahmad Nabhan,
Jilid I, II & III.
www.alquran_word@yahoo.com
Muhammad Solehan
Instansi
Abstract
This study has the formulation of the problem as follows: How is biography
Ahmad Rifa'I Rif'an? How are the values of moral education in the book of
Tuhan, Maaf Kami Sedang Sibuk? How is the application of moral education
methodology in the book? How to implement the values of moral education
in the book? This research use literature study which examines in depth
about the book. Source of data come from primary data and secondary data.
To analyze the existing data, the author organize, select and sort to find
patterns and synthesize then conclude. The method of analysis use inductive
and deductive. The findings show that Ahmad Rifa'I Rif'an born in
Lamongan 3 Oktiber 1987. He is a young writer and businessman Marsua
Media Owner. Patterns of thought in his book include personal
development, motivation, religion and business. The concept of moral
education in the book of Tuhan, Maaf Kami Sedang Sibuk is a balance in the
vertical relationship (Hablumminallah) as a servant of God and the
horizontal relationship (hablumminannas) as individual beings and social
beings to achieve the degree of piety. Implementation in moral education in
schools include: a) Implementation of materials: In connection with the
development dimension in the vertical and horizontal dimensions. Besides,
the implementation of direct practice of the student in daily life. b)
Implementation methods: as method above moral education. c)
Implementation of interest: the highest goal (taqwa), general purpose (to
achieve self-realization), and special purpose (vision and mission of the
school).
Pendahuluan
Semakin merosotnya akhlak warga negara telah menjadi salah satu
keprihatinan para pejabat negara. Hal itu juga menjadi keprihatinan para
pemerhati pendidikan, terutama para pemerhati pendidikan Islam.
Globalisasi kebudayaan sering dianggap sebagai salah satu penyebab
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Rachman, 2003: 6).
Langkah pemerintah memang strategis, alasannya iman dan takwa
yang kuat yang akan mampu mengendalikan diri seseorang sehingga
sanggup melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Berdasarkan
inilah orang tua mempercayakan seratus persen pendidikan agama bagi
anaknya ke sekolah. Dengan cara itu mereka mengira bahwa anak-anak
mereka akan menjadi orang yang beriman dan bertakwa (Tafsir, 2002: 4).
Padahal semua itu belumlah cukup, karena di sekolah hanyalah bersifat
penyampaian pengetahuan, yaitu pengajaran (kognitif) saja. membutuhkan
penanaman karakter melalui kebiasaan-kebiasaan yang ditanamkan dalam
lingkungan keluarga maupun masyarakat.
Pendidikan akhlak (yang bersumber dari agama) yang seharusnya
memiliki peran besar dalam mengatasi persoalan dekadensi moral seperti
kehilangan gigi taringnya, tak berdaya dan kurang memberikan kontribusi
yang cukup untuk mengatasinya atau paling tidak menetralisir keadaan. Itu
semua disebabkan kurang adanya keseimbangan dalam penanaman akhlak
yang baik dari lingkungan keluarga, pergaulan (Sekolah, kantor), dan
masyarakat.
Amin Rais (1998: 103) berpendapat bahwasanya banyak orang
beragama menjadikan agamanya sebagai topeng belaka. Banyak orang
beragama yang menjadikan agamanya sebagai rutinisme belaka yang kosong
melompong dari jiwa keagamaanya. Demikianlah yang terjadi jika agama
hanya menjadi sekedar pengisi kepala atau pengetahuan tanpa ada
pengamalan terhadap nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Begitu
banyak contoh yang dapat kita amati, bahwasanya kebanyakan agama hanya
penghias kehidupan belaka, padahal ia adalah sentral yang seharusnya
Buku Tuhan, Maaf Kami Sedang Sibuk karya Ahmad Rifa’i Rif’an,
merupakan buku yang menjelaskan tentang konsep pendidikan akhlak
sesuai pada ajaran Islam. Penulis harapkan mampu memberikan gambaran
mengenai pendidikan akhlak yang ideal, yang mampu memberikan solusi
praktis sehingga memberikan kontribusi yang nyata bagi permasalahan
sosial yang terjadi saat ini.
Berangkat dari latar belakang di atas, penulis berusaha menelaah
konsep pendidikan akhlak yang telah lalu dikomparasikan dengan konsep
pendidikan kontemporer agar dapat memberikan sumbangan pemikiran
terbaru. Dengan harapan mampu menjawab permasalahan kekinian terkait
dekadensi moral berikut beberapa hal yang melingkupinya. Karenanya
penulis tertarik untuk mengangkat sebuah fokus pembahasan mengenai
pendidikan akhlak dengan judul ”NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK
DALAM BUKU TUHAN, MAAF KAMI SEDANG SIBUK KARYA
AHMAD RIFA’I RIF’AN”
Permasalahan
1. Bagaimana biografi Ahmad Rifa’i Rif’an?
2. Bagaimana nilai pendidikan akhlak dalam buku Tuhan, Maaf Kami
Sedang Sibuk karya Ahmad Rifa’i Rif’an?
3. Bagaimana implementasi nilai-nilai pendidikan akhlak dalam buku
Tuhan, Maaf Kami Sedang Sibuk di sekolah
Tinjauan Pustaka
A. Nilai
Bank (1996: 62) berpendapat bahwasanya nilai adalah suatu tipe
kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan yang
dalam seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan , atau
menghindari suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang pantas atau tidak
pantas dikerjakan. Menurut Sidi Gazalba (1996: 62) nilai adalah sesuatu
yang bersifat abstrak, namun ideal, nilai bukan konkrit, bukan fakta, tidak
hanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empirik,
melainkan soal penghayatan yang dikehendaki, disenangi atau tidak
disenangi. Sementara menurut Thoha nilai adalah esensi yang melekat pada
sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan manusia. Kebermaknaan esensi
tersebut semakin meningkat sesuai dengan peningkatan daya tangkap dan
pemaknaan manusia sendiri (Thoha, 1996: 62).
B. Pendidikan Akhlak
Menurut UU No.20 tahun 2003 pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara. Pendidikan secara sederhana diartikan sebagai usaha manusia
untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam
masyarakat dan kebudayaan (Hasbullah, 2009: 1). Pendidikan merupakan
proses perbaikan, penguatan, dan penyempurnaan terhadap semua
kemampuan dan potensi manusia. Pendidikan juga dapat diartikan sebagai
suatu ikhtiar manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-
nilai dan kebudayaan yang ada dalam masyarakat (Rokib, 2009: 15)
Sementara kata akhlak berasal dari bahasa arab akhlaaq, berakar dari
kata khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar dengan kata khaliq
(Pencipta), makhluq (yang diciptakan), dan khaliq (penciptaan). Dari
persamaan kata diatas mengisyaratkan bahwa dalam akhlak tercakup
pengertian terciptanya keterpaduan antara kehendak khaliq (Pencipta)
dengan perilaku makhluk (Manusia). Atau dengan kata lain, tata perilaku
seseorang terhadap orang lain dan lingkunganya baru mengandung nilai
akhlak yang hakiki jika tindakan atau perilaku tersebut didasarkan kepada
kehendak khaliq (Tuhan), sehingga akhlak tidak saja merupakan norma yang
mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, namun juga dengan alam
semesta sekalipun. (Assegaf, 2014: 42)
Akhlak merupakan kelakuan yang timbul dari hasil perpaduan antara
hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan, dan kebiasaan yang menyatu
membentuk suatu kesatuan tindak akhlak yang dihayati dalam kenyataan
hidup keseharian (Drajat, 1995: 10). Akhlak awalnya dapat tumbuh melalui
pengetahuan, jika dapat memahaminya selanjutnya dengan pembiasaan
sebab ilmu dapat diperoleh melalui belajar, dan akhlak dapat diperoleh
melalui pembiasaan (Kastolani, 2009:120).
Nilai pendidikan akhlak adalah suatu esensi yang terkandung dalam
sebuah proses perbaikan, penguatan, dan penyempurnaan perilaku sesuai
dengan kehendak Sang Khaliq (Pencipta) ataupun norma agama sehingga
menjadi seimbang antara Hablum-minallah (Hubungan Vertikal) dan
hablum minan-nas (Hubungan Horisontal). Pendidikan akhlak disini terbatas
pada pendidikan akhlak dalam agama Islam.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi pustaka (library
research), karena objek kajian studi difokuskan pada kajian sebuah buku.
Data-data yang terkait dengan analisis pembahasan penelitian berkaitan
dengan biografi, latar belakang pendidikan penulis, dan berbagai hal yang
mungkin berpengaruh pada kondisi penulis, baik secara langsung atau tidak
langsung. Penelitian Pustaka (library research), yaitu jenis penelitian yang
dilakukan degan menelaah dan menggunakan bahan-bahan pustaka berupa
buku-buku, ensklopedi, jurnal, majalah, dan sumber pustaka lainya yang
relevan dengan topik atau permasalahan yang dikaji sebagai sumber datanya
(Hadi, 1990: 9).
Pembahasan
A. Tinjauan Pendidikan Akhlak Perspektif Islam
Mengkaji pendidikan akhlak, maka tidak akan terlepas dari
pendidikan Islam sebagai landasan perencanaan dan pelaksanaannya.
Karena pendidikan akhlak adalah salah satu bagian dari pendidikan Islam itu
sendiri. Adapun dasar pendidikan akhlak bagi seorang muslim adalah akidah
yang benar terhadap alam dan kehidupan, karena akhlak tersarikan dari
akidah dan pancaran darinya. Oleh karena itu, jika sesorang berakidah
dengan benar, niscaya akhlaknya pun akan benar, baik, dan lurus. Begitu
pula sebaliknya, jika akidahnya salah dan melenceng, maka akhlaknya pun
akan tidak benar (Mahmud, 2004: 84).
kebebasan serta tanggung jawab atas segala apa yang dilakukan sebagai
bentuk konsekuensinya.
Islam sebagai petunjuk dari Allah mengandung implikasi
kependidikan yang mampu membimbing dan mengarahkan manusia menjadi
pribadi yang sempurna melalui tahapan-tahapan sesuai ajarannya. Sehingga
manusia bisa mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Adapun tujuan agama Islam diturunkan di bumi adalah menjadi
rahmat bagi alam semesta. Dan tentu membutuhkan suatu wadah untuk
mewujudkan tujuan tersebut. Diantaranya adalah melalui pendidikan.
Melalui pendidikan Islam maka manusia akan diarahkan untuk
mengembangkan fitrah yang Allah karuniakan sesuai dengan ajaran Islam.
Adapun dimensi pengembangan manusia agar dapat mencapainya adalah
sebagai berikut:
6) Taubat
Ketika orang shaleh ditanya oleh seseorang dengan pertanyaan,
”Mengapa masalah tak kunjung beralih dari hidupku?” Biasanya yang
pertama kali keluar dari lisanya adalah anjuran untuk bertaubat kepada
Allah. Karena ia tahu bahwa dengan bertaubat terhadap dosa-dosa, maka tak
ada yang namanya masalah. Masalah adalah ketika kita berbuat dosa dan tak
kunjung mentaubatinya (Rif’an, 2015: 52)
7) Bersyukur
Jika kita bersyukur, Tuhan akan menambah nikmat-Nya kepada kita.
Jika saya tanya kepada anda, apa yang akan kita lakukan supaya Allah
berkenan menambah nikmat-Nya kepada kita? Ya, jawabanya adalah dengan
bersyukur....Selama ini kebiasaan kita adalah bersyukur setelah nikmat itu
8) Uzlah
Tokoh-tokoh sufi banyak yang sepakat untuk memaknai uzlah
dengan definisi sunyi bersama Allah dalam keramaian dunia, dan ramai
bersama Allah dalam kesunyian dunia. ... Jasad kita boleh jadi melakukan
aktifitas sehari-hari seperti biasa, melakukan pekerjaan kantor di ruang
kerja, berkomunikasi dengan rekan bisnis, berhadapan dengan klien menatap
layar komputer, tapi hati kita tak pernah lepas dari mengingat Allah.
Kebersamaan kita dengan Allah tidak terganggu oleh aktivitas kita sehari-
hari. ... Meski raga kita seolah sendiri, tapi jiwa kita senantiasa ramai
bersama Allah. Semua masalah kita tumpahkan kepada-Nya. Masalah
sebesar apapun tetap kalah oleh kebesaran kuasa Tuhan (Rifan, 2015: 259-
261).
b) Jujur
“Indikasi kesuksesan adalah kebahagiaan. Lalu darimana bisa
memperoleh kebahagiaan itu? Tentu saja salah satunya dilihat dari kejujuran
dalam meraihnya.” (Rif’an, 2015: 206).
mati kapan saja. betapa bodohnya ketika kita tahu bahwa kematian bisa
datang kapan pun, namun masih saja dengan tenang mengerjakan dan
pekerjaan yang sia-sia dalam hidup (Rif’an, 2015: 332).
f) Menjauhi ghosab
Saat ini ghoshab seringkali disepelekan karena memang dirasa
sebagai hal lumrah atau biasa saja. apalagi kepada teman akrab yang sudah
lama saling pinjam, saling pakai, saling bagi, saling minta, dan saling-kasih
barang-barang yang dimiliki. Persahabatan yang begitu akrab menghadirkan
sebuah rasa yang menganggap, milikku adalah milikmu, milikmu adalah
milikku. Keakraban itu kemudian menimbulkan satu kalimat, “Ah, pinjem
bentar gak papa lah. Pasti temenku nggak akan marah kalo barangnya ku
pinjem!” Nah, perasaan itu kemudian merasuk dalam diri menjadi karakter
yang susah dihilangkan. Sikap tak meminta izin saat meminjam hak milik
orang lain akhirnya menjadi kebiasaan yang dianggap wajar (Rif’an, 2015:
266).
Kesetiaan memang tak hanya butuh cinta. Rasa tanggung jawab dan
komitmen terhadap ikatan suci pernikahan adalah engikat yang lebih kuat
ketimbang cinta. Kita kesulitan mengendalikan cinta. Sehingga jika keluarga
dipertahankan atas dasar cinta (yang notabene tidak bisa diatur), ia rentan
pecah. Carilah kata lain yang bisa dikendalikan dan bisa memperkuat jalinan
kasih di rumah tangga, insya Allah komitmen dan tanggung jawab adalah
jawabannya. ... Peliharalah kesetiaan. Ketika ada bersitan jahat yang
menyita perhatian anda, segeralah ber-istighfar, berwudhu dan ingatlah, di
rumah anda ada pasangan yang selalu tersenyum menyambut kehadiran
anda. Yang selalu berdoa tatkala anda bekerja. Yang tak pernah letih
mengabdi. Yang rela bersama anda selama hidup. Dialah istri anda. Dialah
suami anda (Rif’an, 2015: 127-128).
suami serta ibu bagi anak-anak anda, tidaklah apa. Tugas sebagai ibu rumah
tangga tak kalah mulia dari usaha mencari nafkah. Namun bagi anda yang
telah memilih hidup dalam karier, yakinlah bahwa Islam tak pernah
menempatkan perempuan pada derajat rendah kehidupan. Islam tak meminta
perempuan untuk mengunci diri dalam bilik kecil rumahnya. Silahkan
meniti profesi, asalkan profesi yang dipilih tidak menganjurkan pada
pelanggaran etika dan naluri sebagai wanita (ibu dan istri). Namun ada
aturan yang harus dipegang erat agar kaum wanita tetap berada ditempat
tehormat. Pertama, patuhi adab keluarnya wanita dari rumahnya, misalnya
perihal pakaian. Semoga tidak ada lagi perempuan muslim membeber
auratnya dengan alasan, “Maklumlah, tuntutan profesi!” (Rif’an, 2015: 167).
sosok pertama yang dipercaya dan didengar ucapanya oleh anak. ... Untuk
anda wahai para ibu. Jangan terlalu banyak berharap memiliki anak yang
rajin shalat jika anda tak pernah shalat. Jangan bercita memiliki anak yang
pandai membaca Al-Qur’an jika anda menyentuh Al-Qur’an pun tak pernah.
Jangan pernah berharap memiliki buah hati yang hobi membaca, jika anda
tak pernah meneladankan itu sejak dini kepada mereka (Rif’an, 2015: 144).
Kuatkan dulu iman dalam hati putra-putri anda. Jika panduan iman
telah menuntunnya sejak dini, jalan menuju usia-usia berikutnya tak akan
pernah menimbulkan penyesalan bagi anda, para orang tua (Rif’an, 2015:
153).
yang butuh anda. Karena sesungguhnya andalah yang butuh mereka (Rif’an,
2015: 156).
Dunia baru seolah mengajak manusia menjadi pribadi yang makin
cuek dengan lingungan sosialnya. Bahkan kepada orang tuanya. Dunia baru
membawa nuansa persaingan yang sedemikian tajam sehingga mengabaikan
segala yang tak membantu, atau dirasa merepotkan perjalanan karier dalam
hidupnya. Akhirnya, lahirlah Alkomah dan Malin Kundang abad ke-21. ...
Begitu banyak yang telah membuktikan bahwa kedua orang tua sangatlah
mempengaruhi kesuksesan manusia. Bukan hanya sukses akhirat, tetapi juga
terkait erat dengan sukses dunia. Jika anda masih memiliki orang tua,
hormati, kasihi, dan cintai mereka. Merekalah manusia keramat di dunia
yang dikaruniakan Allah kepada anda. Muliakan dia dalam sisa hidupnya.
Jangan harap anda akan sukses dan bahagia dunia akhirat saat mereka anda
telantarkan dan anda durhakai (Rif’an, 2015: 158).
b) Cinta sedekah
Coba kita balik logika bersedekah. Jika dulu urutan yang kita anut
adalah: Meminta -> Dapat Rizki -> Sedekah, kini mari balik urutanya
menjadi: Sedekah -> Meminta -> Dapat rezeki. Insya Allah kesuksesan
hidup semakin cepat tergapai (Rif’an, 2015: 308).
d) Ikhlas mengabdi
Alangkah indahnya jika pekerjaan kita dilandasi dengan prinsip
pengabdian. Seorang pengabdi bukan tak butuh uang. Seorang pengabdi
bukannya tak minat terhadap kenaikan pangkat. Seorang pengabdi bukannya
orang yang tak tertarik dengan kekuasaan. Seorang pengabdi tetaplah
manusia yang memiliki ketertarikan dengan harta, takhta, serta popularitas.
Tetapi ada satu hal yang membedakan seorang pengabdi dengan yang
bukan. Seorang pengabdi mampu memaknai pekerjaanya sebagai bagian
dari kontribusinya kepada manusia lain. Seorang pengabdi mampu
memaknai pekerjaanya sebagai bentuk pengabdianya kepada Penciptanya.
Hingga ia tak punya banyak waktu untuk memikirkan kenaikan gaji, pangkat
serta popularitas. Sang pengabdi begitu mencintai pekerjaanya, karena
jikapun tak diperolehnya uang, jikapun ia tak memperoleh popularitas, ia tak
merasa rugi sedikitpun. Karena ia senantiasa berpikir bahwa pekerjaannya
dihargai oleh Tuhan dengan butir-butir pahala yang akan dinikmatinya kelak
(Rif’an, 2015: 299-300)
memiliki daya tarik yang sangat kuat pada perasaan. Sifat alamiyah manusia
untuk menyukai sebuah cerita membawa pengaruh besar terhadap perasaan.
Dan melalui perasan itulah, sebuah cerita mempengaruhi perilaku secara
temporer atau jika dilakukan secara terus menerus akan menempel kuat
sehingga membentuk sebuah karakter dalam dirinya. Cerita faktual yang
menampilkan suatu contoh kehidupan manusia secara riil akan memberikan
makna dan pengaruh lebih kuat yang pada akhirnya mempengaruhi perilaku
pembacanya. Begitulah cerita-cerita yang ada dalam al-Qur’an berfungsi
mempengaruhi akhlak pembacanya (Nata, 1997: 97).
Bahkan dalam sebuah ayat dalam al-Qur’an menegaskan bahwa
salah satu sebab diturunkannya al-Qur’an adalah Allah ingin menceritakan
suatu hal untuk kemudian diambil hikmah (i’tibar) untuk diterapkan dalam
dirinya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Yusuf3:
ُٰذَا ٓ ص بِ َما ٓ أ َ ْو َح ْينَا
َإِلَيْك ِ صَ َْالق َسنَ ْأَح َعلَيْك
َ صُّ ُنَق ُنَحْ ن
﴾٤:ْال ٰغ ِفلِينَ ﴿يوسف َُكنتَ مِ ن قَ ْب ِل ِهۦ لَمِ ن ْالقُ ْر َءانَ َو ِإن
Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan
mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan Sesungguhnya kamu
sebelum (kami mewahyukan) nya adalah Termasuk orang-orang
yang belum mengetahui. (Q.S. Yusuf: 3)
Muhammad, surah Luqman, surah Ali Imran dll. Bisa pula menukil cerita-
cerita inspiratif dari orang-orang besar yang sukses, bahkan pengalaman
berkesan dari pendidik itu sendiri, dikemas dengan bahasa yang mudah
dimengerti oleh siswa.
hati mereka, hati anak-anak yang masih berupa lahan subur untuk berbagai
tanaman kehidupan. Jika salah tanam, di akhir panen anda hanya akan
menggigit jari sambil turut mendendangkan nyanyian para penghuni neraka,
َم َع ُات َّ ََ ْذت ٰيلَ ْيتَنِى
علَ ٰى
َ َّ
يَقُو ُل
الظا ِل ُم يَ َد ْي ِه
ض
ُّ َيَع َويَ ْو َم
ا
﴾٤٧:سبِيَل ﴿الفرقان َ سو ِل
ُ الر َّ
“Aduhai kiranya dahulu aku mengambil jalan bersama-sama
Rasul.” (Q.S Al-Furqan: 27).
Kuatkan dulu iman dalam hati putra-putri anda. Jika panduan iman
telah menuntunnya sejak dini, jalan menuju usia-usia berikutnya tak akan
pernah menimbulkan penyesalan bagi anda, para orang tua (Rif’an, 2015:
153).
Dalam penerapannya di dunia pendidikan, metode ini digunakan
untuk menarik simpati peserta didik diawal pembelajaran, atau disebut
apersepsi. Dimana seorang guru mengajak siswa untuk menyatukan persepsi
mereka saat memasuki pelajaran di awal. Dengan memberikan kata kunci
diawal berupa perumpamaan, peserta didik akan terbantu dalam mendalami
materi yang akan disampaikan oleh pendidik.
Tujuan akhir dari dari pendidikan Islam itu terletak dalam realisasi
sikap penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah, baik secara perorangan,
masyarakat, maupun sebagai umat manusia secara keseluruhan (Arifin,
2011: 28). Jika dilihat dari pendekatan dimensi pengembangan manusia,
yang mencangkup manusia sebagai makhluk individu, makhluk sosial dan
sebagai hamba Allah (‘abdullah), maka tujuan pendidikan Islam (dalam hal
ini pendidikan akhlak) bisa diklasifikasikan beberapa tujuan berikut:
a. Tujuan Tertinggi/Terakhir
Tujuan ini bersifat mutlak, tidak mengalami perubahan karena sesuai
dengan konsep ilahi yang mengandung kebenaran mutlak dan universal.
Pada dasarnya tujuan ini sesuai dengan tujuan hidup manusia sebagai
ciptaan Allah. Yaitu:
1) Menjadi hamba Allah yang bertakwa
2) Mengantarkan peserta didik menjadi khalifatullah fil ‘ard yang mampu
memakmurkanya
3) Memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia sampai akhirat
(Achmadi, 2005: 99).
b. Tujuan Umum
Tujuan umum lebih bersifat empirik dan realistik. Tujuan ini
berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya dapat diukur karena
menyangkut perubahan sikap, perilaku dan kepribadian peserta didik,
sehingga mampu menghadirkan dirinya sebagai sebuah pribadi yang utuh.
Itulah yang disebut realisasi diri (self realization) (Achmadi, 2005: 98).
Tercapainya self realization sebagai muslim yang utuh ditandai dengan
semakin tampaknya aktualisasi diri dalam konteks dalam upaya
pendekatannya pada Tuhan (taqarrub ilallah), dimulai dari melakukan
c. Tujuan Khusus
Tujuan khusus adalah pengkhususan tujuan tertinggi dan tujuan
umum pendidikan Islam (dalam hal ini pendidikan akhlak). Bersifat relatif
sehingga dimungkinkan untuk diadakan perubahan sesuai tuntutan dan
kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka tujuan tertinggi dan tujuan
umum. Pengkususan tersebut dapat didasarkan kultur atau cita-cita suatu
bangsa, minat dan bakat sesuai kemampuan peserta didik, serta tuntutan
situasi dan kondisi pada kurun waktu tertentu. (Achmadi, 2005: 103).
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan pengkajian yang telah penulis
lakukan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Ahmad Rifa’i Rif’an yang biasa dipanggil dengan ‘Fai’ lahir di
Lamongan 3 Oktober 1987. Beliau adalah penulis muda yang banyak
menulis buku tentang motivasi Islam (spiritual), pengembangan diri dan
bisnis. Ia telah menulis puluhan buku sekaligus pengusaha yang
menjadi owner Marsua Media (Penerbit).
Daftar Pustaka
Achmadi. 2005. Idiologi Pendidikan Islam.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hafidz, Muh, dan Kastolani. 2009. Pendidikan Islam Antara Tradisi dan
Modernita
Nur Hasanah
STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) Salatiga
Abstract
The study are aimed to determine the students’ character education
of Islamic Primary Teacher Education (PGMI) department, the
implementation also the factors inhibiting and supporting the
implementation of character education in the learning morals (akhlak) of
PGMI students. This study focuses on the implementation of students’
character education in Islamic Primary Teacher Education (PGMI)
department. The subjects of this research are the lecturers of moral (akhlak)
subject and the fourths semester students of Islamic Primary Teacher
Education (PGMI) department STAIN Salatiga. The data is collected by
observation, interviews, and documentation.
Research findings show that character education of Islamic Primary
Teacher Education (PGMI) department students have been in a good
condition. The only curiosity and care to environment indicators that still
less. The implementation strategy in this research is by example, parable,
habituation and advice or warning. While the inhibiting and supporting
factors are derived from the internal factors of individual students and
families as well as the contributing factors. While the external factors are
instructional methods and media as well as campus and community
environmental factors. Campus and community environmental factors
become the obstacle to implement the character education of Islamic
Primary Teacher Education (PGMI) department students.
Pendahuluan
Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan
bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
Permasalahan
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimana
pendidikan karakter mahasiswa PGMI STAIN Salatiga ?2)Bagaimana
pelaksanaan pendidikan karakter dalam pembelajaran Akhlak pada
mahasiswa PGMI STAIN Salatiga?3)Apa yang menjadi faktor penghambat
dan pendukung pelaksanaan pendidikan karakter dalam pembelajaran
Akhlak pada mahasiswa PGMI STAIN Salatiga?
Tinjauan Pustaka
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang
dilakukan oleh Miftakhurrif’ah (2012) tentang pendidikan karakter di
Madrasah Ibtidaiyah Kota Salatiga yang kesimpulannya adalah 1)
pemahaman siswa terhadap konsep pendidikan karakter di MIN Gamol
Kecandran Salatiga dipahami secara umum sebagai pendidikan akhlak,
akhlaqul karimah atau bagian dari pendidikan akhlak dengan wilayah bahas
yang lebih sedikit. Nilai utama yang ditekankan yaitu religius, disiplin,
tanggung jawab, jujur, dan kreatif. Nilai lain yang menonjol adalah nilai
alasan tersebut akhlak atau perilaku yang baik merupakan misi yang dibawa
nabi Muhammad SAW diutus kedunia.
Selain itu mahasiswa PGMI adalah calon guru PAI di SD atau
Madrasah Ibtidaiyah yang diharapkan memiliki karakter yang menjadi figur
(contoh teladan) peserta didik dalam bersikap dan bertingkah laku. Dimana
sikap dan tingkah laku tersebut adalah akhlak Islam dengan ukuran baik dan
benar yang sumbernya AlQur’an dan Sunnah.Hal ini sebagaimana yang
dikemukakan oleh uzer Usman (1997 ; 15) dalam bukunya profesionalisme
guru bahwa syarat menjadi guru profesional harus memiliki syarat formal
(ijazah keguruan) dan kepribadian (karakter sabar,
jujur,demokratis,adil,bijaksana dan sebagainya).
Metode Penelitian
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan
deskriptif. Karena data yang dikumpulkan berbentuk kata atau gambaran
dari naskah wawancara, cacatan lapangan, dokumen pribadi ( Moleong,
2002 : 11). Bentuk penelitian ini akan mampu menangkap berbagai
informasi kualitatif dengan deskriptif yang penuh nuansa , yang lebih
berharga dari pada sekedar pernyataan jumlah atau frekwensi dalam bentuk
angka (Sutopo, 1990 : 12).
Subyek penelitian
Permasalahan yang akan diungkap dalam penelitian ini adalah
pendidkan karakter mahasiswa PGMI maka yang menjadi key informan
dalam penelitian ini adalah mahasiswa PGMI dan dosen yang mengampu
matakuliah Akhlak dipilih sebagai key informan karena mereka yang lebih
paham tentang kondisi mahasiswa PGMI.
Subyek yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mahasiswa
PGMI STAIN Salatiga semester V. Adapun alasan peneliti mengambil
subyek penelitian tersebut karena mahasiswa PGMI adalah mahasiswa yang
setelah lulus akan menjadi calon guru MI atau guru Pendidikan Agama
Islam SD diharapkan memiliki karakter yang baik.
mereka masih mudah untuk dibimbing dan diarahkan, lebih dari itu
mahasiswa STAIN semuanya umat Islam”.
Pembahasan
1. Pendidikan Karakter Mahasiswa PGMI
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu dosen pengampu
matakuliah Akhlak di PGMI pada hari Rabu tanggal 14 Nopember 2013
dapat dipahami bahwa mayoritas mahasiswa PGMI memiliki karakter yang
baik.
Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan hasil pengamatan karakter
mahasiswa PGMI pada hari Senin tanggal 17 Nopember 2013 yang hasilnya
dari 15 karakter yang diamati religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras,
kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan,
bersahabat, cinta damai, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung
jawab hanya ada 2 karakter yang masih kurang yaitu rasa ingin tahu dan
peduli lingkungan.
Hal ini sebagaimana pendapat ( Usman Uzer, 1999: 27) bahwa
syarat menjadi calon guru harus memenuhi syarat formal dan syarat
kepribadian. Syarat formal adalah memiliki ijazah keguruan. Sedangkan
syarat kepribadian adalah memiliki karakter dan perilaku sabar , ramah,
tanggung jawab, disiplin, mandiri, jujur, demokratis, adil, berwibawa,
fleksibel, kreatif, pemaaf, dan sebagainya. Semuanya itu mencerminkan
seorang guru yang memiliki pribadi yang luhur dan mulia yang nantinya
menjadi contoh bagi peserta didiknya.
Selain itu mahasiswa PGMI sudah memiliki niat atau tujuan menjadi
calon guru maka mereka sudah mempersiapkan diri menata diri baik secara
fisik maupun psikologi untuk berbicara, bersikap maupun berperilaku yang
mencerminkan sosok seorang guru. Hal ini sebagaimana hasil wawancara
peneliti dengan salah satu responden yang berinisial AS yang mengatakan
bahwa :
“Mahasiswa PGMI memang pada umumnya dari awal
sudah kelihatan memiliki karakter keguruan, sehingga
mereka mudah untuk dibimbing dan diarahkan serta mudah
untuk dikondisikan dalam sikap,dan perilaku yang baik atau
“gampang diatur”, contohnya kuliah rajin, disiplin, kalau
20 menit dosennya belum masuk ya langsung di sms atau
ditelpon”.
Kesimpulan
Pendidikan karakter mahasiswa PGMI pada umumnya sudah baik.
Dari 15 karakter yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif,
mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, bersahabat,
cinta damai, peduli limgkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab, hanya
karakter rasa ingin tahu dan peduli lingkungan yang masih kurang.
Pelaksanaan pendidikan karakter mahasiswa PGMI STAIN Salatiga
dalam pembelajaran Akhlak adalah dengan strategi pemberian contoh
keteladanan, pembiasaan, perumpamaan, dan nasehat.Selain Strategi itu
dilakukan juga pengamatan perilaku mahasiswa dalam interaksi
pembelajaran.
Faktor yang menjadi penghambat dan pendukung pelaksanaan
pendidikan karakter dalam pembelajaran Akhlak mahasiswa PGMI adalah
faktor intern yaitu pembawaan masing-masing mahasiswa (individu) dan
lingkungan keluarga yaitu latar belakang karakter anak dalam keluarga dan
metode serta media pembelajaran dosen sebagai faktor pendukung , dan
sedangkan faktor lingkungan kampus seperti pergaulan mahasiswa dan
penggunaan media berbasis teknologi (internet) yang menjadi faktor
penghambat .Pembawaan atau individu mahasiswa inilah faktor pendukung
yang paling dominan terhadap pelaksanaan pendidikan karakter mahasiswa.
Daftar Pustaka
Abstract
This qualitative research was conducted to determine the implementation of
character education in MIN Gamol, Kecandran, Salatiga. The research
problem are how the concept of character education in MI is, how are the
methods and strategies of character education, and what are the factors
supporting and inhibiting the process of maintaining character education.
Research data was collected by interviews which related to the informants,
documentation, and field observations. The result shows that the concept of
character education in MIN Gamol, Kecandran, Salatiga generally
understood as moral education or good moral as a part of character
education is less discussed. The emphasized main values are religious,
discipline, responsibility, patriotism, nationalism spirit, and achievement
appreciation. The method to accustomed character education in MIN Gamol
is integrated in all subjects by performing some strategies with habituation,
exemplary, discipline, observation and home visit. The educational character
is supporting by a young and vibrant teacher, exemplary by school leaders,
and students who are ready to respond the tasks from the teacher. The
completeness of published documents and the attention of the foundation
committee and parents also influence the goals to success. While the
inhibiting factors are limited control power of teachers, lack of teachers
counseling, inactive parenting club, the condition of school environment and
less of parental attention.
Pendahuluan
Dalam Grand Desain Pendidikan Karakter, disebutkan bahwa
pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan peserta/anak didik
agar menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir,
raga, serta rasa dan karsa. (http://pendikar.unnes.ac.id/). Hal ini sejalan
dengan visi pembangunan nasional adalah mewujudkan masyarakat
berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan
falsafah Pancasila. Dalam mewujudkan visi tersebut, maka pendidikan
karakter ditempatkan sebagai landasannya. Hal ini sekaligus menjadi upaya
untuk mendukung perwujudan cita-cita sebagaimana diamanatkan dalam
Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Semangat itu secara implisit
ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)
tahun 2005-2015, di mana Pemerintah menjadikan pembangunan karakter
sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional.
Upaya pembentukan karakter sesuai dengan budaya bangsa ini tentu
tidak semata-mata hanya dilakukan di sekolah melalui serangkaian kegiatan
belajar mengajar dan luar sekolah, akan tetapi juga melalui pembiasaan
(habituasi) dalam kehidupan, seperti: religius, jujur, disiplin, toleran, kerja
keras, cinta damai, tanggung-jawab, dan sebagainya. Pembisaan itu bukan
hanya mengajarkan (aspek kognitif) mana yang benar dan salah, akan tetapi
juga mampu merasakan (aspek afektif) nilai yang baik dan tidak baik serta
bersedia melakukannya (aspek psikomotorik) dari lingkup terkecil seperti
keluarga sampai dengan cakupan yang lebih luas di masyarakat. Nilai-nilai
tersebut perlu ditumbuhkembangkan peserta didik yang pada akhirnya akan
menjadi pencerminan hidup bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sekolah
memiliki peranan yang besar sebagai pusat pembudayaan melalui
pengembangan budaya sekolah atau school culture. (Kemendiknas, 2011:3 )
Arti penting pendidikan karakter bagi bangsa dan negara adalah
pendidikan karakter sangat erat dan dilatar belakangi oleh keinginan
mewujudkan konsensus nasional yang berparadigma Pancasila dan UUD
1945. Konsensus itu selanjutnya diperjelas dalam pasal 3 UU Nomor 20
manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, raga, serta rasa dan
karsa (M Furqon H, 2011:9).
Madrasah Ibtidaiyah adalah bagian dari pendidikan dasar formal
dengan ciri keagamaan. Sebagai bagian pendidikan dasar, MI memiliki
posisi strategis dalam penanaman karakter dasar siswa yang akan dibawanya
kelak hingga menuju dewasa. Teori psikologi menyimpulkan bahwa usia
anak-anak adalah masa paling bagus dalam pembentukan karakter. Oleh
karenanya menjadi penting penelitian untuk mengetahui konsep, metode
dan hambatan serta bagaimana mengatasi hambatan pendidikan karakter di
Madrasah Ibtidaiyah.
Permasalahan
Fokus masalah yang diteliti adalah bagaimana konsep pendidikan
karakter pada Madrasah Ibtidaiyah di kota Salatiga, bagaimana metode dan
strategi pelaksanaannya, dan adakah tantangan dan hambatan yang dihadapi
serta bagaimana menyelesaikan tantangan dan hambatan tersebut.
Tinjauan Pustaka
Kemendiknas (2011) pernah melakukan penelitian partisipasi
tentang pelaksanaan pendidikan karakter yang dilakukan pada berbagai
satuan pendidikan dan sekolah unggulan di beberapa propinsi. Dari satuan
pendidikan anak usia dini,a pendidikan dasar, dan tingkat lanjutan, serta
satuan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Penelitian ini
menghasilkan berbagai cara dan metode pelaksanaan pendidikan karakter
yang disatukan dalam buku berjudul Pedoman Pelaksanaan Pendidikan
Karakter (Berdasarkan Pengalaman di Satuan Pendidikan Rintisan).
Anwar Fatah pernah melakukan penelitian yang membahas tentang
peran manajemen sekolah dalam pelaksanaan pendidikan karakter. Fungsi
budaya dan karakter bangsa merupakan sebuah proses panjang, dimulai dari
awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan. (2)
Melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah,
bahwa proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa
dilakukan melalui setiap mata pelajaran, dan dalam setiap kegiatan kurikuler
dan ekstrakurikuler. (3) Nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan (4) Proses
pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan, prinsip
ini menyatakan bahwa proses pendidikan nilai budaya dan karakter bangsa
dilakukan oleh peserta didik, guru adalah stimulator dengan merencanakan
kegiatan sesuai dimensi karakter yang dibidik sehingga peserta didik
melaksanakannya dengan kesadaran dan kesenangan, bukan indoktrinasi.
Furqon Hidayatullah ( 2011) menyebutkan bahwa strategi
penanaman karakter meliputi lima hal, yaitu 1) keteladanan, 2) penenaman
kedisiplinan. 3) pembiasaan-pembudayaan, 4) menciptakan suasana
kondusif, dan 5) integrasi dan internalisasi. Pendidikan karakter bukan
hanya tanggung jawab guru bidang studi tertentu, tetapi menjadi tugas
seluruh komponen sekolah.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, menurut Bagong
Suyanto, jenis penelitian kualitatif ini bertujuan untuk memahami makna
yang mendasari tingkah laku manusia (2007: 174). Ciri khas penelitian
kualitatif menurut Kaelan (2006:15) yaitu:
1. Berdasarkan keadaan alamiah, dimana peneliti mengumpulkan data
berdasarkan pengamatan situasi yang wajar, alamiah, sebagaimana
adanya tanpa dipengaruhi atau dimanipulasi.
2. Human instrument yakni peneliti sebagai bagian dari instrument dan
bahkan menjadi alat utama penelitian (key instrument). Penelitilah
dua hal penting yang harus dikaitkan dalam proses observasi adalah
informasi dan konteks.
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah pengumpulan data yang bisa diperoleh lewat
fakta yang tersimpan dalam bentuk surat, catatan harian, arsip foto, hasil
rapat, cenderamata, jurnal kegiatan dan sebagainya. Data berupa dokumen
seperti ini bisa dipakai untuk menggali infromasi yang terjadi di masa
sebelumnya. Diperlukan kepekaan teoretik untuk memaknai semua
dokumen tersebut sehingga tidak sekadar barang yang tidak bermakna.
Dalam penelitian ini, peneliti mencari sumber data dari dokumen yang ada
di MI obyek penelitian berkait berbagai bentuk sarana dan prasarana
pendidikan karakter, serta hal lain yang membantu penyusunan analisis hasil
penelitian serta penarikan kesimpulan.
Dalam penelitian ini analisa data adalah proses menyusun data agar
mudah ditafsirkan yang bertujuan agar data yang telah ditemukan dalam
penelitian bisa ditangkap maknanya, tidak sekedar deskripsi semata. Kaelan
(2006: 68) menyebutkan langkah-langkah analisis dalam penelitian kualitatif
adalah:
1. Reduksi data
Reduksi dimaknai sebagai langkah perangkuman, pemilihan hal-hal
pokok yang difokuskan pada hal-hal penting sesuai dengan konteks obyek
penelitian. Dengan melakukan reduksi data, akan mempermudah dalam
mengendalikan dan mengorganisir data.
2. Klasifikasi data
Hasil reduksi data akan mempermudah langkah berikutnya yaitu
klasifikasi data, yaitu mengelompokkan data-dat berdasarkan ciri khas
masing-masing berdasarkan obyek penelitian. Hasil klasifikasi diarahkan
Pembahasan
Memasuki MIN Kecandran, satu-satunya madrasah negeri di kota
Salatiga ini, peneliti disambut gerbang cukup tinggi di tepi jalan lingkar
selatan. Ada musholla di sebelah kanan gerbang, berderet kemudian gedung
kelas sekitar 20 meter dan di ujungnya bersambung dengan gedung lain
berposisi 90ᴼ dengan gedung yang pertama. Saat ini, gedung itu tengah
Kesimpulan
Berdasarkan paparan dalam temuan data dan pembahasan
didapatkan kesimpulan sebagai berikut:
1. Konsep pendidikan karakter di MIN Gamol Kecandran Salatiga
dipahami secara umum sebagai pendidikan akhlak, akhlaqul karimah
atau bagian dari pendidikan akhlak dengan wilayah bahas yang lebih
sedikit. Nilai utama yang ditekankan yaitu religius, disiplin, tanggung
jawab, jujur, dan kreatif. Nilai lain yang menonjol adalah nilai cinta
tanah air, semangat kebangsaan dan menghargai prestasi.
2. Metode pendidikan karakter di MIN Gamol mengikuti kebijakan
Kemendiknas yang mengintegrasikan pendidikan karakter di semua
mata pelajaran dengan penilaiannya dimasukkan dalam raport sebagai
nilai kepribadian. Strategi penanaman pendidikan karakter dilakukan
dengan pembiasaan, keteladanan, kedisiplinan, pengamatan hingga
home visit yang dilakukan berkala.
3. Faktor pendukung dan penghambat pendidikan karakter datang dari
dalam sekolah adalah faktor guru yang muda dan bersemangat, contoh
keteladanan oleh kepala sekolah, dan murid yang siap merespon
dengan bagus atas tugas-tugas dari guru. Faktor pendukung dari luar
adalah lengkapnya dokumen yang telah diterbitkan, dan keberadaan
komite dan wali yang perhatian. Disisi lain, faktor penghambat dari
Daftar Pustaka
Penulis yang artikelnya dimuat akan mendapatkan imbalan berupa nomor bukti
pemuatan sebanyak 3 (lima) eksemplar beserta cetak lepasnya. Artikel yang tidak
dimuat akan dikembalikan.