Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 20

Kesinambungan dan Perubahan Dalam Kajian Filsafat

Islam di Indonesia: Studi Terhadap Pemikiran Harun


Nasution, Mulyadhi Kartanegara, M. AMIN Abdullah,
dan Musa Asy’arie

Dr. M. Zainal Abidin, M.Ag.


Dr. Wardani, M.Ag.
Dr. Rusydi, M.Ag

Fakultas Ushuluddin dan Humaniora IAIN Antasari


As the final part of the study of continuity and change in the study of Islamic philosophy, it can be concluded
some of the following. First, related to some elements of change which have been the characteristic of Islamic
philosophy study in Indonesia, all figures who have been studied from both Ciputat as well as Jogja schools
seek to re-actualize the Islamic philosophy study in Indonesia. The figure of Harun Nasution have been
instrumental in developing the study of rationality in Islamic universities which further brighten the Islamic
philosophy study in Indonesia. Then, The figure of Mulyadhi Kertanegara who has cited numerous pieces of
classical Islam as the foundation of his thinking in answering the problems of modern metaphysics and science
dichotomy issue. Another figure, M. Amin Abdullah has offered a critical dialogue between Islamic philosophy
and Western philosophy and a new reading of the treasures of classical Islamic philosophy which has allowed
the re-actualization in the present context. Finally, the figure of Musa Asy’arie has delivered a new reading to
the Islamic philosophy, not anymore as a philosophy which is influenced by the tradition of Greek philosophy
but seen as the Prophet Muhammad Sunnain thinking. Second, related to the elements developed rationally in
the study of Islamic philosophy in Indonesia, the figure of Musa Asy’arie has given a new style in the study
of Islamic philosophy. However, his ignorance of the historical study of Islamic philosophy is not entirely
appropriate. Other figures such as Harun Nasution, Mulyadhi Kertanegara, and M. Amin Abdullah have
utilized the treasures of Islamic philosophy to make the leap of thought in the present context.
Keywords: Contuinity and change, the study of Islamic philosophy

Sebagai akhir dari kajian kesinambungan dan perubahan dalam kajian filsafat Islam, maka dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut: Pertama, berkenaan dengan unsur yang merupakan perubahan yang menjadi
karakteristik kajian filsafat Islam di Indonesia bahwa semua tokoh yang yang dikaji baikdari mazhab Ciputat
ataupun Jogja berupaya melakukan reaktualisasi terhadap kajian filsafat Islam di Indonesia. Figur Harun
Nasution berjasa dalam hal mengembangkan kajian rasionalitas di perguruan tinggi Islam yang pada
gilirannya memarakkan kajian filsafat Islam di Indonesia. Figur Mulyadhi Kertanegera banyak mengutip
serpihan pemikiran Islam klasik sebagai basis pemikiran dia untuk menjawab problema metafisika modern dan
persoalan dikotomi ilmu. Figur M. Amin Abdullah banyak menawarkan dialog kritis antara filsafat Islam dan
filsafat Barat serta menawarkan pembacaan baru terhadap khazanah filsafat Islam klasik yang memungkinkan
reaktualisasi pada konteks masa kini. Terakhir figur Musa Asy’arie menawarkan pembacaan baru terhadap
filsafat Islam, bukan lagi sebagai filsafat yang dipengaruhi oleh tradisi filsafat Yunani tetapi dipandang
sebagai sunnah nabi dalam berpikir.Kedua, berkaitan dengan unsur yang dikembangkan secara orisinal pada
kajian filsafat Islam di Indonesia, maka figur Musa Asy’arie memberikan warna baru dalam kajian filsafat
Islam. Tetapi pengabaiannya terhadap kajian kesejarahan filsafat Islam juga tidak sepenuhnya tepat. Figur
lainnya seperti Harun Nasution, Mulyadhi Kertanagera, dan M. Amin Abdullah banyak memanfaatkan
khazanah filsafat Islam untuk melakukan lompatan pemikiran pada konteks kekinian.
Kata Kunci : Kesinambungan dan Perubahan, Kajian Filsafat Islam.

Tashwir Vol. 3 No. 6, April – Juni 2015 131


A. Pendahuluan ke-tauhid-an rasional, karena pengaruh
Umat Islam, sebagaimana dikemuka- sistem nilai dan sistem berpikir anjuran
kan banyak ahli sejarah, pernah Alquran yang menjelma dalam kata dan
menorehkan kegemilangan peradaban pada pribadi Nabi, yakni sunnah kenabian.
sekitar kurun ke-7 sampai dengan ke-13 Kedua, berupa pengambilalihan ilmu-ilmu
Masehi, bahkan beberapa abad setelahnya sains dan filsafat dari peradaban-peradaban
pun pengaruh itu masih sangat terasa kuat bertetangga yang sudah matang tahap
di Eropa. Pada abad-abad yang disebut keilmuannya, seperti Yunani di Syams dan
sebagai masa keemasan Islam(the golden age Mesir yang ditakluki, Persia, dan India.2
of Islam)ini, peradaban muslim menjadi Semangat umat yang sangat meng-
mercusuar peradaban dunia dan pelopor hargai ilmu pada masa kejayaan Islam dapat
kecemerlangan di bidang ilmu, dengan diamati pada masa kekuasaan Bani
jumlah perpustakaan beserta koleksinya ‘Abbasiyah, khususnya pada waktu Khalifah
yang sangat banyak.1 al-Ma’mun (berkuasa sejak 813-833 M).
Pada masa kejayaan itu, dunia Islam Penerjemahan buku-buku non-Arab ke
dikenal dengan para ilmuwan yang dalam bahasa Arab terjadi secara besar-
menguasai beragam displin keilmuan. Di besaran dari awal abad kedua hingga akhir
bidang teologi terdapat nama al-Asy’ari (w. abad keempat hijriyah.Perpustakaan besar
935) dan al-Maturidi (w. 944); di bidang Bait al-Hikmah didirikan oleh Khalifah al-
sastra ada nama al-Jahiz (w. 780) dan Ibn Ma’mun di Baghdad yang kemudian men-
Qutaybah (w. 828); di bidang sejarah dan jadi pusat penerjemahan dan intelektualitas.
geografi muncul nama al-Baladhuri (w. 820) Dalam persoalan penerjemahan ini
dan al-Ya’kubi (w. 897); di bidang sufisme sebagaimana dikemukakan oleh Jamil
dikenal sosok al-Muhasibi (w. 857), Abu Saliba, ada dua motivasi yang mendorong
Yazid al-Bisthami (w. 875), dan al-Hallaj (w. gerakan penerjemahan yang sudah dimulai
922); di bidang kedokteran mengemuka sejak zaman Bani Umayah dan kemudian
nama-nama seperti al-Razi (w. 923-32) dan menemukan puncaknya pada dinasti Bani
Ibn Sina ( w. 1037); di bidang matematika ‘Abbasiyah, yakni motivasi praktis dan
dan astronomi tampil al-Khawarizmi (w. motivasi kultural. Pada motivasi praktis, ada
setelah 846) dan Ibn Haitsam (w. 1039); dan kebutuhan pada bangsa Arab saat itu untuk
di bidang filsafat ada al-Kindi, al-Farabi mempelajari ilmu-ilmu yang berasal dari
(870), dan Ibn Sina (980). Merekalah luar Islam seperti kimia, kedokteran, fisika,
sebagian para ilmuwan yang menandai matematika, dan falak (astronomi), yang
kecemerlangan dan supremasi ilmu secara praktis dianggap dapat membantu
peradaban muslim. meringankan urusan-urusan yang ber-
Lahirnya tradisi keilmuan di dunia Is- kenaan dengan hajat hidup umat Islam
lam sebagaimana disinyalir Adi Setia dapat ketika itu. Ilmu-ilmu ini secara praktis
dilihat pada dua perkembangan utama. memang langsung berhubungan dengan
Pertama, perkembangan internal berupa hajat hidup umat Islam dalam menyelesai-
proses peralihan bangsa Arab dari kan masalah-masalah seperti penentuan
pandangan hidup (worldview) keberhalaan waktu shalat, hukum faraidh (pembagian
tak rasional kepada akidah atau pandangan harta waris), masalah kesehatan, dan lain
sebagainya.3

1 2
Lihat Philip K. Khitti, History of the Arab from the Lihat Adia Setia, “Melacak Ulang Asal-Usul Filsafat
Earliest Times to the Present (New York: St. Martin dan Sains Yunani”, dalam Majalah Pemikiran dan
Press, 1968), h. 365-406; Seyyed Hossein Nasr and Peradaban Islam ISLAMIA, Vol. III, No. 1, 2006, h.
Oliver Leaman (eds.), History of Islamic Philosophy 112-113.
3
(London and New York: Routledge, 1996), h. 165- Lihat Jamil Shaliba, al-Falsafah al-‘Arabiyah (Beirut:
364. Dâr al-Kitâb al-Lubnani, 1973), h. 107.

132 Tashwir Vol. 3 No. 6, April – Juni 2015


Pada motivasi kultural, ada kebutuhan dari itu, sintesa ini juga meliputi proses
pada masyarakat Islam untuk mempelajari reproduksi yang banyak dilakukan oleh
kebudayaan-kebudayaan Persia dan Yunani para ilmuwan muslim saat itu.
untuk menguatkan sistem hukum Islam Pada masa kejayaannya, umat Islam
dan menangkal akidah yang datang dari luar senantiasa bersikap terbuka terhadap
Islam.Ketika terjadi gelombang kebudayaan pemikiran dan tradisi yang berbeda di
luar dalam dunia Islam yang meliputi luarnya, bahkan tak jarang memberikan
akidah kaum Majusi dan kaum Dahriah, apresiasi yang sangat bagus, dengan
Kekhalifahan ‘Abbasiyah mengangap perlu mengadopsi dan menjadikannya sebagai
bagi kaum muslim untuk mempelajari bagian yang integral dari Islam itu sendiri.
ilmu-ilmu logika serta sistem berpikir Refleksi dan manifestasi kosmopolitanisme
rasionalis lainnya untuk menangkal akidah Islam ini bahkan bisa dilacak dari sejarah
yang datang dari luar itu.Umat Islam paling awal kebudayaan Islam pada masa
dianjurkan untuk mempelajari logika kehidupan Rasulullah saw. hingga generasi-
Aristoteles, agar dapat berdebat dengan generasi sesudahnya, baik dalam format non
keyakinan yang datang dari luar.4 material seperti konsep-konsep pemikiran,
Proses penerjemahan yang berlangsung maupun yang material seperti seni arsitektur
sekitar dua abad ini telah membawa bangunan dan sebagainya.5
pengaruh yang besar bagi umat Islam saat Selain itu, yang lebih mencengangkan
itu. Hal ini karena proses penerjemahan lagi, meski harus diakui bahwa unsur Arab
menjadi mediator dalam dialog antara memiliki keistimewaan di dalam Islam, 6
kebudayaan pengetahuan pra-Islam dengan akan tetapi sebagaimana dinyatakan Ibnu
umat Islam yang sedang haus ilmu. Khaldun, bahwa mayoritas ulama dan
Khazanah kebudayaan besar Yunani, Persia, cendekiawan dalam agama Islam adalam
dan India yang mulai ditinggalkan di ‘ajam (non Arab), baik dalam ilmu-ilmu
negerinya sendiri, mendapatkan sambutan syari’at maupun ilmu-ilmu akal. Kalaupun
yang sangat luar biasa di dunia Islam. di antara mereka orang Arab secara nasab,
Sampai-sampai seorang khalifah bersedia tetapi mereka ‘ajam dalam bahasa,
membayar sebuah buku yang sudah lingkungan pendidikan, dan gurunya.7
diterjemahkan dengan nilai emas seberat
Para sarjana muslim pada masa
buku tersebut.Selain itu, motivasi ini juga
kejayaan itu dengan leluasa menyerap,
dilatarbelakangi oleh keyakinan umat Islam
kemudian memodifikasi tradisi filsafat sains
saat itu bahwa peradaban hanya dapat
yang berangkat dari postulat-postulat
dibangun dengan ilmu yang kuat. Untuk
Alquran dengan mengetengahkan tradisi
melakukan proses tersebut, Islam yang baru
berpikir empirikal-eksperimental. Usaha
saja berdiri tidak dapat melakukan tugas itu
tersebut dilakukan dengan mendayaguna-
sendirian, melainkan harus dibantu dengan
kan perangkat-perangkat intelektual sebagai
khazanah kebudayaan besar yang telah ada
jalan mencari jawab tentang hakikat realitas,
sebelumnya.
Perpaduan antara semangat umat Islam
5
dengan kebudayaan pra-Islam melahirkan Lihat Yusuf al-Qardhawi, Madkhal li al-Dirâsah al-
Islâmiyyah (Beirut: Dâr al-Fikr, 1993), h. 253; Badri
sebuah sintesa yang tidak sederhana. Sintesa
Yatim, “Dari Mekah ke Madinah”, dalam Taufik
yang dihasilkan tentunya bukan hanya Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta:
sekadar penjiplakan ilmu sebelumnya, yang PT. Ichtiar baru Van Hoeve, 2002), h. 29-30.
kemudian diberi label Islam karena telah 6
Tentang keistimewaan hubungan Islam dengan
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Lebih unsur Arab, lihat Muhammad Imarah, al-Islâm wa
al-’Urûbah (Kahirah: al-Haihal al-Mashriyyah al-
’Ammah li al-Kitab, 1996), h. 11-12.
7
Lihat Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun
4
Jamil Shaliba, al-Falsafah al-‘Arabiyah, h. 107. (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), h. 543.

Tashwir Vol. 3 No. 6, April – Juni 2015 133


baik yang nyata maupun yang gaib.Dari Secara ajaran, Islam sarat dengan
revolusi filsafat di tangan kaum muslimin semangat yang menggugah ilmu. Ke-
itu, lahirlah konsep ilmu atau sains yang tertinggalan umat Islam, adalah lebih
tegak di atas postulat-postulat Qur’ani.8 karena sikap mereka yang statis (jumud).
Seolah mengikuti hukum sejarah, Agama selalu berjalan berdampingan
setelah beberapa abad berada di puncak dengan akal untuk mengarungi lautan ilmu,
memimpin peradaban dunia, umat Islam menjelajahi permukaan bumi dan naik ke
memasuki fase kemunduran. Bahkan lapisan langit tinggi, untuk menyelidiki
berikutnya, nasib tragis menimpa umat tanda-tanda kekuasaan Allah dan rahasia
yang peradabannya pernah menjadi ciptaan-Nya.Manakala paham keagamaan
mercusuar dunia dengan supremasi dan membeku dan penuntut-penuntut ilmu
superioritas mereka di bidang ilmu. Mereka sudah tidak giat lagi, maka itupun turut
mengalami kehinaan dan ketertindasan membeku pula.10
dalam penjajahan. Kemiskinan dan Secara lebih mendasar, ikhtiar untuk
kebodohan menjadi karakteristik yang memajukan dunia muslim dalam beberapa
sering dilekatkan padanya. dekade terakhir ini telah melahirkan apa
Kondisi aktual umat Islam inilah yang yang disebut dengan kebangkitan kembali
dipandang oleh Shabbir Akhtar disebut dunia Islam. Kebangkitan kembali Islam (Is-
sebagai bukti utama dari kelumpuhan lamic resurgence) yang bersamaan dengan
intelektual umat Islam. Menurutnya, umat datangnya momentum abad ke-15 Hijriyah
muslim modern, sebagai sekelompok merupakan suatu gerakan yang mengacu
masyarakat, secara memalukan tidak me- pada pandangan dari kaum muslim sendiri
renungkan tantangan-tantangan modernitas bahwa Islam menjadi penting kembali. Is-
sekuler tersebut, seakan-akan berpikir lam dikaitkan dengan masa lalunya yang
bahwa Allah telah memikirkan segala- gemilang, sehingga masa lalu tersebut
galanya untuk hamba-hamba-Nya. Meski- mempengaruhi pemikiran kaum muslim
pun Islam tidak kekurangan para apologis sekarang; Islam dipandang sebagai alternatif,
(pembela agama) atau teoritikus agama, dan karena itu dianggap ancaman bagi
secara bersama-sama mereka telah gagal pandangan hidup atau ideologi lain yang
memberikan respons yang bernas dan sudah mapan, khususnya ideologi-ideologi
mendasar terhadap modernitas.9 Barat.11
Fakta keterpurukan umat Islam
diberbagai bidang ini sebenarnya sudah
lama menjadi perhatian dari para 10
Lihat Syekh Muhammad Abduh, Ilmu dan Peradaban
intelektual muslim dan mereka berupaya Menurut Islam dan Kristen, terj. Mahyiddin Syaf &
mencari akar permasalahannya. Muham- A. Bakar Usman (Bandung: CV Diponegoro, 1978),
h. 121.
mad Abduh misalnya sebagai salah satu ikon 11
Lihat Chandra Muzaffar,”Kebangkitan Islam:
pembaru Islam di abad modern, menyata- Suatu Pandangan Global dengan Ilustrasi dari
kan dengan tegas bahwa ketertinggalan Asia Tenggara”, dalam Saiful Muzani (ed.),
umat Islam di bidang ilmu adalah akibat Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara
(Jakarta: LP3ES, 1993), h. 58. Kebangkitan Islam
sikap statis pada diri mereka:
bukanlah semata ‘kemarahan’ terhadap
imperalisme Barat, sebab yang jauh lebih
mendalam adalah ketidakpuasan terhadap cita-
8
Lihat Syamsul Arifin dkk.,Spritualisasi Islam dan cita dan nilai, lembaga dan sistem pemerintahan
Peradaban Masa Depan (Yogyakarta: SIPRESS, yang diimpor dari Barat dan dipaksakan atas
1996), h. 108. mereka. Paparan terkait persoalan kebangkitan
9
Lihat Shabbir Akhtar, Islam Agama Semua Zaman Islam dan upaya pencarian jati diri, lihat M. Zainal
(Faith for All Seasons: Islam and western Modernity), Abidin, Tafsir Filsafat atas Kehidupan: Risalah Seputar
Penerjemah Rusdi Djana (Jakarta: Pustaka Zahra, Wacana Filsafat dan Keislaman (Yogyakarta: Pondok
2002), h. 7 UII, 2007), h. 137-150.

134 Tashwir Vol. 3 No. 6, April – Juni 2015


Salah satu bentuk paling mendasar dari termasuk yang menaruh perhatian terhadap
kebangkitan kembali Islam adalah semakin filsafat Barat. Lembaga filsafat seperti All
diminatinya kajian intelektual klasik yang India Philosophical Congress maupun In-
salah satu bentuknya adalah semakin dian dan Pakistani Philosophical Congress
maraknya kajian filsafat Islam yang me- telah aktif sejak dekade terakhir masa
rupakan representasi dari tradisi keilmuan kemerdekaan. Perhatian mereka terutama
Islam klasik. Kajian filsafat Islam mulai kepada filsafat Barat, khususnya Inggris dan
kembali hidup dan berkembang terutama Amerika. Sementara figur yang paling
di pusat-pusat kebudayaan dan filsafat menaruh perhatian dalam filsafat Islam
seperti Mesir, Iran dan anak benua Indo- adalah M.M. Sharif, seorang tokoh
Pakistan.12 intelektual Pakistan, yang telah mengedit
Di Mesir, lembaga penting bagi aktifitas karya monumental A History of Muslim Phi-
filsafat di awal dekade abad ke-20 adalah losophy. 15
Universitas al Azhar, ‘Ayn al-Syams, dan Al- Di akhir abad ke-20 sejumlah tulisan
exandria. Beberapa figur yang cukup dikenal oleh sarjana muslim tentang filsafat Islam
konsern pada bidang ini adalah figur Abdul dengan bahasa Eropa semakin meningkat.
Halim Mahmud, Utsman Amin, Ibrahim Figur seperti Muhsin Mahdi, Fazlur
Madkour, A.A. Anawati, ‘Abd Rahman Rahman, Jawad Falturi, Ha’iri Yazdi, Nasr
Badawi, Ahmad Fuad al-Ahwani, Sulayman telah mengajar di universitas-universitas
Dunya, Muhammad Abu Rayyan, dan Abu Barat dan melatih banyak murid, baik
al A’la al-Afifi.13 muslim maupun non muslim. Banyak
Di Dunia Syi’ah, filsafat Islam tetap website kemudian juga didedikasikan bagi
bertahan melalui karya Sadr al-Din al- mereka yang gandrung kepada filsafat Is-
Syirazi (w. 1641) yang juga dikenal dengan lam. Salah satunya yang sangat terkenal
Mulla Sadra. Pengikut Sadra inilah yang adalah www.muslimphilosophy.com, yang
sampai sekarang tetap mempertahankan mencoba menghimpun karya-karya tentang
tradisi filsafat secara turun temurun di Iran. filsafat Islam baik yang klasik maupun
Di antara figur tradisional yang aktif dalam kontemporer.Di samping itu pula, sejumlah
kebangkitan filsafat Islam di Iran adalah sarjana Barat juga mendatangi dunia Islam
Sayyid Abu al Hassan al Qaznawi, Sayyid untuk belajar filsafat Islam dan subyek yang
Muhammad Kazim, Ilahi Qumsyai, Allamah terkait seperti Herman Landolt, James Mor-
Sayyid Muhammad Hussayn Tabataba’i, ris, William Chittick, dan John Cooper.
Murtadha Mutahhari, Mahdi Ha’iri Yazdi, Mereka kemudian menjadi tokoh dimana
Sayyid Jalal al-Din Asystiyani, Jawad banyak pelajar dari dunia Islam yang
Muslih.14 mempelajari tradisi filsafat Islam melalui
mereka. 16
Di Anak benua India yang berada di
bawah dominasi Inggris, berbagai aliran Adapun di Indonesia hingar bingarnya
filsafat anglo-saxon memiliki pengaruh besar pemikiran Islam tahun 70an dan 80an di-
terhadap universitas-universitas sampai tandai dengan kehadiran tokoh-tokoh
sekarang. Figur seperti Seyyed Ahmad Khan seperti Harun Nasution, Mukti Ali,
dan ‘Allamah Muhammad Iqbal adalah Nurcholish Madjid, Amien Rais,
Abdurrahman Wahid, Jalaluddin Rakhmat,

12 15
Lihat Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in Lihat Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in
the Modern World (London: Kegan Paul Interna- the Modern World, h. 195.
16
tional, 1987), h. 184-5. Lihat Aan Rukmana dan Sahrul Mauludi, “Peta
13
Lihat Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in Falsafat islam di Indonesia”, dalam Ilmu
the Modern World, h. 186. Ushuluddin: Jurnal Himpunan Peminat Ilmu-ilmu
14
Lihat Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in Ushuluddin (HIPIUS) Vol. 1, Nomor 6, Juli 2013, h.
the Modern World, h. 193. 578.

Tashwir Vol. 3 No. 6, April – Juni 2015 135


Dawam Rahardjo, Kuntowijoyo dan ada reorientasi dalam kajian Islam yang
seterusnya yang meramaikan dinamika berorientasi kepada ketuhanan kepada
pemikiran tanah air.17 masalah kemanusiaan. 19 Selanjutnya,
Kajian filsafat Islam bukanlahsuatu apabila perkembangan ilmu meniscayakan
bidang yang stagnan, yang tidak mengenal perubahan (change) berupa aspek kebaruan
perubahan.Apabila filsafat Islam diyakini (orisinalitas) dari sebuah kajian, maka apa
memiliki keterkaitan erat dengan filsafat saja hal baru dalam kajian filsafat Islam yang
Yunani, maka bidang kajian ini juga tidak menjadi perhatian dari intelektual muslim
persis sama dengan yang dibahas di Yunani. di Indonesia.
Ia mengalami yang dalam istilah per-
kembangan ilmu disebut dengan ke- B. Metode Penelitian
sinambungan (continuity) dan perubahan Penelitian ini merupakan kajian
(change). Murtadha Muthahhari misalnya literatur (library research) yang mengangkat
telah menginventarisir problem-problem percikan pemikiran filsafat Islam yang
filsafat klasik yunani apabila dibandingkan dilakukan oleh pemikir muslim Indonesia,
dengan filsafat pada masa Islam pada empat yakni: Harun Nasution, Mulyadhi
kateogori: 1) isu-isu yang tetap mem- Kartanegara, M. Amin Abdullah, dan Musa
pertahankan bentuk dan karakter aslinya Asy’arie. Penelitian ini merupakan kajian
serta belum pernah mengalami perubahan pemikiran yang terkait dengan akar-akar
atau perkembangan apapun; 2) Isu-isu yang kesejarahan.Oleh karena itu, ada ke-
dikembangkan lebih jauh oleh para filosof sinambungan (continuity), perubahan
muslim; 3) problem-problem yang masih (change), dan perkembangan lebih lanjut
memiliki nama dan deskripsi sebelumnya, (development).Perkembangan historis (his-
namun telah mengalami perubahan isi torical development)memiliki asumsi bahwa
menyeluruh; dan 4) problem-problem yang karya-karya pemikiran adalah bagian dari
tidak mempunyai preseden dalam era pra- perkembangan sejarah sehingga ada
Islam dan hanya dilontarkan oleh para elemen-elemen yang dipertahankan
filosof muslim.18 (kontinuitas) dan dimodifikasi (perubahan).
Pertanyaannya yang serupa juga patut Asal, perubahan, dan perkembangan
diajukan, apakah ada hubungan kajian merupakan rentetan yang saling terkait dan
filsafat Islam pada masa klasik dengan kajian menuju ke suatu bentuk. Oleh karena itu,
Islam yang berkembang di Indonesia masa sebagaimana ilmu lain, filsafat Islam sebagai
kini. Dengan kata lain apasaja ke- ilmu juga mengalami proses adopsi
sinambungan dalam kajian tersebut, baik (menerima unsur pemikiran terdahulu) dan
dari segi pengertian, objek pembahasan, adaptasi (penyesuaian dan perubahan).
maupun pendekatan yang dilakukan. Hal Adapun tahapan yang dilakukan dalam
ini juga menjadi penting karena, filsafat Is- penelitian ini menggunakan langkah-
lam pada masa lampau dikenal sangat intens langkah sebagai berikut: Pertama,
dalam membahas persoalan metafisika pengumpulan data, yaitu kegiatan untuk
ketuhanan, yang juga disebut sebagai filsafat menemukan dan menghimpun sumber-
pertama, padahal realitas kekinian sumber informasi yang relevan dengan
sebagaimana disebut Hassan Hanafi mesti penelitian. Kedua, interpretasi data, yaitu
tahap penyusunan fakta dalam kerangka
logis dan harmonis, sehingga menjadi
17
Lihat Dedy Djamaluddin Malik dan idi Subandy kesatuan yang utuh. Kegiatan penyusunan
Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Abdurrahman
Wahid, M. Amien Rais, Nurcholish Madjid, Jalaluddin
19
Rakhmat (Bandung: Zaman, 1998). Hassan Hanafi, “Mengkaji Tradisi Untuk
18
Murtadha Muthahhari, Pengantar Pemikiran Shadra: Transformasi dan Revolusi,” dalam Tashwirul
Filsafat Hikmah (Bandung: Mizan, 2002), h. 63-64. Afkar, edisi No. 10. Tahun 2001

136 Tashwir Vol. 3 No. 6, April – Juni 2015


ini disebut juga dengan proses sintesis atau perkembangan ini bisa dilihat sebagai
interpretasi. Ketiga, penulisan, yaitu tahap berikut:
ketika hasil interpretasi ditulis secara
sistematis, logis, harmonis dan konsisten,
baik dari segi kata maupun alur
pembahasan.
Dalam menganalisis data, peneliti
menginventarisasi data agar mudah
ditafsirkan. Catatan informal yang memuat
1. Origin (asal) adalah kondisi awal ketika
data-data hasil dari eksplorasi terhadap
filsafat Islam ditulis berdasarkan
pemikiran sang tokoh akandigolongkan ke
pemahaman filosof klasik.
dalam sub-sub permasalahan. Data-data
mentah tersebut diseleksi, dirangkum dan 2. Change (perubahan) adalah ketika
disusun kembali dalam bentuk deskripsi munculnya karya dan pemikiran yang
yang lebih sistematis dalam laporan hasil baru karena berbagai latar belakang,
penelitian. Hasil penelitian yang memuat baik secara intelektual maupun sosio-
berbagai data dan informasi tentang objek historis.
kajian selanjutnya akan dianalisis dalam 3. Development (perkembangan) adalah
bentuk analisis kualitatif dengan pendekatan keadaan terakhir, di mana keadaan
historis-kritis. setelah bersentuhan dengan konteks,
maka terjadi perubahan atau ber-
C. Kerangka Teori metamorfosis, yaitu tumbuh dan
Penelitian ini merupakan survei berkembang menjadi wujud sendiri.
terhadap perkembangan historis (historical Asal, perubahan, dan perkembangan
development) kajian filsafat Islam di merupakan rentetan yang saling terkait dan
Indonesia.Setiap perkembangan tidak menuju ke suatu bentuk. Oleh karena itu,
“dilahirkan” (born)dalam sejarah begitu saja, sebagaimana ilmu lain, filsafat Islam sebagai
melainkan memiliki akar-akar kesejarahan. ilmu juga mengalami proses adopsi
Oleh karena itu, ada kesinambungan (con- (menerima unsur pemikiran terdahulu) dan
tinuity), perubahan (change), dan per- adaftasi (penyesuaian dan perubahan).
kembangan lebih lanjut (development).
Perkembangan historis (historical D. Hasil Penelitian
development)memiliki asumsi bahwa karya- 1. Pemikiran Filsafat Islam Harun
karya tersebut adalah bagian dari per- Nasution
kembangan sejarah sehingga ada elemen-
Upaya pembaruan yang dilakukan oleh
elemen yang dipertahankan (kontinuitas)
Harun Nasution dalam kajian filsafat Islam
dan dimodifikasi (perubahan). 20 Urutan
di Indonesia adalah sebagai berikut.
Pertama, menanamkan sikap rasionalitas
dalam berpikir umat Islam di Indonesia
20
Kesinambungan dan perubahan(continuity and dengan menyatakan bahwa akal tidak
change) sebagai kerangka teoritis pernah bertentangan dengan wahyu. Upaya ini
diterapkan dalam sebuah penelitian antropologi menjadi titik-tolak dari seluruh penerimaan
oleh Franz von Benda Becmann, Property in Social
filsafat di kalangan Muslim, karena memang
Continuity: Continuity and Change in the Maintenance
of Property Relationships Through Time in dari periode awal, isu ini menjadi krusial,
Minangkabau, West Sumatra (The Hague-Martinus: seperti tampak dari tulisan semisal Ibn
Nijhoff, 1979), dan penelitian tentang kontinuitas Rusyd, Fashl al-Maqâl fî Mâ Bayn al-
dan perubahan pada pesantren oleh Hikmah wa al-Syarî’ah min al-Ittishâl.
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta:
LP3ES, 1994).
Memang, rasionalitas yang ditawaran oleh

Tashwir Vol. 3 No. 6, April – Juni 2015 137


Harun adalah “rasionalitas profetik”, yaitu makalah di forum ilmiah, memiliki alur
rasionalitas yang diupayakannya ditarik dari yang kurang lebih sama, yaitu menanamkan
kesesuaian dengan wahyu, “rasionalitas pemikiran rasional di Indonesia. Ke-
teologis (Mu’tazilah)”, yaitu rasionalitas yang tertarikannya dengan pemikiran rasional
berkembang dalam pemikiran teologi Islam, dimulai dari disertasi yang ditulisnya ten-
terutama Mu’tazilah, dan paling jauh, tang tentang teologi rasional Muhammad
“rasionalitas Abduhis”, yaitu rasional versi ‘Abduh. Disertasi Harun, The Place of Rea-
pemikiran Muhammad ‘Abduh. Dikatakan son in ‘Abduh’s Theology: Its Impact on His
sebagai rasionalitas yang bergerak semakin Theological Systems and Views, mengkaji
jauh, karena dalam teologi ‘Abduh yang kedudukan akal dalam teologi Muhammad
diadopsi itu—meski dengan justifikasi ‘Abduh, seorang pembaru Islam rasional,
bagaimana untuk membuktikan tidak dan pengaruhnya terhadap sistem dan
bertentangan dengan wahyu—teori pandangan teologisnya. Persoalan akal,
kenabian tokoh modernis ini berbeda jauh terutama dihadapkan dengan wahyu, adalah
dengan teori mainstream. Namun, persoalan sentral sejak awal perkembangan
rasionalitas yang ditawarkannya, tentu saja, filsafat Islam. Sebagaimana dikutipnya dari
bukan rasionalitas murni, karena Harun, pendapat A.J. Arberry, persoalan ini, meski
sebagaimana tampak dalam buku ini, selalu telah dibahas dalam sepanjang sejarah
menggali rasionalitas dari pengakuan pemikiran Islam hingga da ribu tahun, tetap
wahyu.Dalam karyanya, Teologi Islam, menarik dan segar untuk dibicarakan. 22
Harun mengajukan tesis bahwa semua Perhatian Harun terhadap persoalan ini
aliran teologi, seperti halnya aliran fiqh, tidak kembali dituangkannya dalam bukunya,
keluar dari Islam. Teologi liberal dan teologi Akal dan Wahyu dalam Islam yang semula
tradisional tidak seharusnya dipertentang- merupakan bahan orasi ilmiah di IAIN
kan, karena kedua menjadi “suplai” bagi Syarif Hidayatullah pada 23 September
“permintaan” masyarakat sendiri yang 1978 dan, dengan sedikit perubahan, di
terdiri dari dua lapisan, yaitu kalangan Gedung Kebangkitan Nasional pada 13
intelektual dan kalangan awam. Kedua Januari 1979. Hasil ceramah di tempat
aliran itu, seperti layaknya pasar bebas terakhir kemudian diterbitkan oleh Yayasan
pemikiran (free market of ideas), merupakan Idayu, selanjutnya diterbitkan secara
tawaran yang diserahkan kepada keperluan lengkap oleh UI-Press pada 1980.Bab 3 dari
masyarakat.Perbedaan itu adalah rahmat buku ini adalah artikel Harun di Studia
bagi kaum Muslimin.21 Islamika, Th.I, No. 1, Juli-September 1976.23
Kedua, menulis buku-buku tentang Di samping buku-buku yang disebutkan di
pemikiran Islam, yaitu teologi Islam atas, ia juga menulis: Falsafat Agama,
(kalâm), filsafat Islam, dan mistisisme Pembaharuan dalam Islam: Sejarah
(sufisme, mistisisme).Ketiga cabang kajian Pemikiran dan Gerakan, Muhammad ‘Abduh
ini, menurut Harun, sebenarnya kajian dan Teologi Rasional Mu’tazilah, dan Islam
filsafat Islam.Jadi, filsafat Islam mencakup Rasional.
teologi dan mistisisme di samping filsafat itu Perkembangan pengkajian filsafat Is-
sendiri. Karya-karya Harun, baik dalam lam di Indonesia memasuki momentum
bentuk buku maupun artikel di jurnal dan penting ketika pada tahun 1970-an Harun
Nasution menulis beberapa buku penting,
21
Lihat bagian kesimpulan dalam Harun Nasution, yaitu Falsafat dan Mistisisme dalam Islam dan
Teologi Islam, h. 150-152.Bagi sebagian pengkaji Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya.
pemikirannya, ide sentral pembaruan yang
ditawarkannya adalah Islam (teologi) rasional.
22
Lihat, misalnya, Nurisman, Pemikiran Filsafat Islam Harun Nasution, Akal dan Wahyu, h. 1.
23
Harun Nasution: Pengembangan Pemikiran Islam di Harun Nasution, “Pendahuluan”, dalam Akal dan
Indonesia (Yogyakarta: Teras, 2012). Wahyu, h. v.

138 Tashwir Vol. 3 No. 6, April – Juni 2015


Filsafat Islam secara intensif mulai diajarkan Perbandingan Agama dan segi silabi yang
di IAIN Syarif Hidayatullah, meski Jurusan hanya ditekankan pada pengenalan
Aqidah Filsafat dibuka baru pada Islam. 28 Namun, dari upaya pioneer ini,
1982.24Buku pertama diterbitkan pertama mulailah kajian filsafat Islam berkembang
kali pada 1973, dan buku ini menguraikan secara perlahan dengan dibukanya Jurusan
kontak pertama dunia Islam dengan sains AF di Fakultas IAIN se-Indonesia.
dan filsafat Yunani, dan pemikiran filsafat
Islam dari al-Kindî hingga Ibn Rusyd. 2. Pemikiran Filsafat Islam Mulyadhi
Sebagaimana ditulis Harun Nasution dalam Kertanegara
pengantar, bahwa buku ini adalah Kesinambungan dan perubahan dari
kumpulan ceramah yang disampaikan di gagasan Mulyadhi khususnya pada
Kelompok Diskusi tentang Agama Islam di formulasi epistemologi Islam tampaknya
kampus IKIP di Rawamangun, Jakarta, pada memiliki korelasi kuat dengan semangat
1970, dan kuliah-kuliah yang disampaikan zamannya, di mana gagasan pembangunan
di IAIN Syarif Hidayatullah, dan Universi- ilmu yang integralistik dirasa sebagai suatu
tas Nasional sejak 1970. 25 Setelah terbit kebutuhan untuk mengatasi berbagai
pertama (1973), buku ini ternyata juga persoalan yang menyangkut nasib manusia
dijadikan rujukan, tidak hanya di perguruan secara umum, dan realitas umat Islam secara
tinggi tersebut, melainkan juga di Fakultas khusus. Problem utama keilmuan di dunia
Sastra Universitas Indonesia (UI).26 Meski muslim adalah adanya disparitas antara
tampak berhati-hati dengan menyebut ilmu-ilmu yang berkembang di dunia Islam
“falsafat dalam Islam”, bukan falsafat atau dengan tantangan yang dihadapi oleh umat
filsafat Islam, yang tampak dari perdebatan Islam secara khusus dan umat manusia pada
era ini di kalangan orientalis tentang umumnya. Kesenjangan tersebut di-
keberadaan filsafat Islam atau filsafat Arab, perkokoh lagi dengan adanya dualisme
bagi Harun, cakupan filsafat Islam meliputi ilmu; ilmu agama dan ilmu umum, yang
juga teologi dan mistisisme, di samping masing-masing berjalan sendiri-sendiri
filsafat sendiri.27 tanpa saling menyapa.
Ketiga, membuka jurusan Aqidah Kesadaran adanya kesenjangan tersebut
Filsafat di Fakultas Ushuluddin.Pada tahun melahirkan berbagai gagasan untuk
1970-an, filsafat Islam telah diajarkan di mewujudkan ilmu yang integralistik, yakni
Fakultas Ushuluddin di IAIN Syarif ilmu-ilmu Islam yang relevan dengan
Hidayatullah melalui buku-buku Harun, kebutuhan dan tantangan modernitas.
namun tidak secara mendalam. Baru pada Paradigma keilmuan integralistik berangkat
tahun 1982, atas prakarsa Harun, Jurusan dari pemahaman terhadap konsep tauhid
Aqidah Falsafah (AF) dibuka, meski meng- yang memiliki implikasi pada tuntutan
alami kendala, seperti dari segi tenaga keharusan adanya kesatuan ilmu, yakni
pengajar yang berasal dari lulusan Jurusan semua ilmu berasal dari Allah yang
menghamparkan tanda-tanda (ayat-ayat)
kuasa (hukum-hukum/aturan main) yang
24
Nanang Tahqiq, “Kajian dan Pustaka Falsafat Is- harus dicari dan ditelaah oleh manusia
lam di Indonesia”, dalam Ilmu Ushuluddin: Jurnal untuk kemudian dikembangkan dalam
Himpunan Peminat Ilmu-ilmu Ushuluddin (HIPIUS),
Vol. 1, No. 6, Juli 2013, h. 517-518. berbagai bidang ilmu.
25
Harun Nasution, “Pendahuluan”, dalam Falsafat Ada tiga tanda jenis ayat Allah yang
dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, sangat ditekankan untuk dieksplorasi secara
1995), h. 5.
26
Harun Nasution, “Pendahuluan” cetakan kedua,
mendalam, yakni: ayat-ayat Allah yang
dalam Falsafat dan Mistisisme, h. 6.
27
Harun Nasution, “Pendahuluan”, dalam Falsafat
28
dan Mistisisme, h. 5. Nanang Tahqiq, “Kajian…”, h. 510-511.

Tashwir Vol. 3 No. 6, April – Juni 2015 139


termuat dalam firman-Nya atau biasa dan disinilah nilai penting dari reformulasi
disebut ayat-ayat qauliyyah; ayat-ayat Allah epistemologi Islam sebagaimana yang
yang terhampar di alam semesta atau lazim dikemukakan oleh Mulyadhi.
dinamakan ayat-ayat kauniyyah; dan ayat- Pada level ontologi, pembicaraan Islam
ayat Allah yang terdapat pada diri manusia tentang yang ada (wujud), meliputi tidak
atau dikenal juga dengan ayat-ayat saja yang dapat ditangkap dengan panca
insâniyyah.29 Ketiganya meski terlihat seolah indra, tetapi juga mencakup hal-hal yang
seperti terpisah, namun pada prinsip adalah tidak tampak (metafisika). Bahkan, filosof
sama dan saling melengkapi, karena berasal muslim seperti al-Farabi menyebut rentang
dari sumber yang sama. status ontologis maujudat secara hierarkis
Paradigma keilmuan modern (Barat) bermula dari yang metafisika, yakni Tuhan,
yang dominan saat ini, karena hanya malaikat, benda-benda langit, dan terakhir
berpusat pada kajian terhadap alam dan benda-benda bumi. 32 Ternyata, status
manusia secara parsial, dan mengabaikan ontologis sesuatu yang tampak oleh indra
keberadaan wahyu Tuhan, dipandang telah menempati posisi lebih rendah dibanding-
mengalami kebuntuan dalam memecahkan kan yang metafisika (gaib), dengan Tuhan
berbagai persoalan modernitas, dan bahkan berada pada peringkat pertama. Buah dari
turut andil dalam memberikan kontribusi pemahaman ini, maka umat Islam
besar pada lahirnya proses dehumanisasi kemudian meyakini bahwa yang lebih riil
manusia modern.30 Sementara itu, di sisi lain dan lebih prinsipil adalah yang lebih tinggi
umat Islam yang secara parsial lebih status ontologisnya.Makanya wajar apabila
perhatian pada pengembangan kajian orientasi umat Islam lebih cenderung
terhadap wahyu Tuhan yang dilepaskan dari terarah kepada yang gaib (Tuhan/akhirat),
dua ayat lainnya, menjadikan ilmu-ilmu Is- dibandingkan kehidupan materiil duniawi.
lam tidak relevan dengan tuntutan realitas Definisi dan pemahaman tentang ilmu
yang berkembang. Meminjam istilah Kuhn, dalam tradisi pemikiran Islam klasik hampir
paradigma keilmuan yang berlaku saat ini serupa dengan pengertian sains dalam
telah menjadi normal science yang khazanah epistemologi Barat. Sains
problematik, sehingga perlu revolusi ilmu,31 sebagaimana dimengerti pada masa-masa
awal abad ke-19 sering diartikan sebagai
29
Lihat Yudian Wahyudi, Maqashid Syariah dalam sembarang pengetahuan yang terorganisir
Pergumulan Politik (Yogyakarta: Pesantren (any organized knowledge). 33 Definisi ini
Nawasea Press, 2007), hlm. 23-24.
30
Hilangnya wawasan tentang Yang Kudus telah
mengakibatkan kompartementalisme dan keganjilan tersebut dan memunculkan paradigma
fragmentalisme dalam kehidupan manusia. baru. Pergeseran paradigma inilah yang
Manusia modern menderita perasaan teralienasi dinamakan Kuhn sebagai revolusi. Jika kemudian
dan anomi yang gawat.Ada kekacauan dan paradigma baru ini telah diterima oleh komunitas
ketidak-seimbangan.Roh manusia telah menjadi ilmuwan, dan mereka bekerja dengan dalam
korban sizofreni spiritual yang tidak dapat paradigma baru tersebut, maka proses pertama
disembuhkan kecuali apabila manusia kembali akan terulang lagi, yaitu terciptanya normal sci-
kepada sumber dan wawasan tentang yang Ku- ence yang baru. Proses ini akan terus berulang
dus dihidupkan kembali. Lihat C.A. Qadir, Filsafat terus-menerus dari paradigma, normal science,
dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, terj. Hasan Basari revolusi, paradigma baru lagi dan seterusnya.
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), hlm. 5. Lihat Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
31
Normal science oleh Kuhn diartikansebagai riset Revolutions (Chicago: The University of Chicago
yang didasarkan pada satu atau lebih hasil ilmiah Press, 1970), hlm. 10-11.
32
sebelumnya.Hasil-hasil ini diakui komunitas Lihat Osman Bakar, Hierarki Ilmu: Membangun
keilmuan tertentu sebagai pemberi dasar bagi Rangka Pikir Islamisasi Ilmu Menurut al-Farabi, al-
kegiatan selanjutnya.Inilah yang disebut sebagai Ghazali, Quthb al-Din al-Syirazi, terj. Purwanto
paradigma. Apabila kemudian banyak keganjilan (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 118.
33
yang tidak dapat masuk dalam paradigma Lihat Karier, The Scientist of Mind (Chicago: Uni-
tersebut, para ilmuwan akan mempertanyakan versity of Illinois Press, 1986), hlm. 7.

140 Tashwir Vol. 3 No. 6, April – Juni 2015


membawa konsekuensi bahwa tidak semua tidak lantas menafikan keberadaan bidang
pengetahuan termasuk kategori sains, hanya yang lain. Pendukung dari satu bidang ilmu
pengetahuan yang tersusun secara tertentu tidak bisa mengklaim sebagai satu-
sistematis. Namun, dalam perkembangan satunya sumber ilmu yang benar dan yang
selanjutnya, sains secara spesifik dibatasi lain keliru. Sains yang empirik tidak boleh
pada kawasan pengetahuan yang dapat mengatakan bahwa hanya yang riil itulah
diobservasi secara fisikal. 34 Konsekuensi yang logis, sebagaimana juga filsafat yang
pandangan ini, jenis pengetahuan lain yang rasional tidak bisa menyatakan bahwa hanya
tidak dapat diobservasi seperti filsafat dan yang logis itulah yang riil.Begitu juga agama
agama, harus dikeluarkan dari kategori sains tidak boleh menafikan peran dan ke-
dan dipandang tidak ilmiah. beradaan pengetahuan yang empirik dan
Pemahaman yang membatasi hal rasional, dan menyatakan bahwa hanya
ilmiah hanya pada objek yang dapat wahyu ilahi atau intuisi sebagai satu-satunya
diobservasi dengan indra seperti ini tentu sumber otoritas kebenaran yang diterima.
tidak dapat diterima dalam kajian Ketiga bidang ilmu ini adalah kesatupaduan
epistemologi Islam. Berangkat dari pe- yang saling melengkapi dan menyempurna-
mahaman dan definisi tentang ilmu oleh kan satu sama lainnya.
para pemikir muslim, jelas terlihat bahwa
kawasan yang dapat diketahui menurut Is- 3. Pemiran Filsafat Islam Musa Asy’arie
lam tidak saja pada objek yang diamati
Paparan Musa Asy’arie tentang definisi
secara fisikal, tetapi juga yang metafisika.
filsafat Islam berangkat dari akar kata, yaitu
Tidak saja melingkupi apa yang menjadi
filsafat dan Islam. Filsafat adalah berpikir
pembahasan dalam sains modern, yaitu hal-
bebas, radikal, dan berada dalam dataran
hal yang dapat diobservasi, melainkan juga
makna. Berpikir bebas maksudnya tidak
bidang-bidang lain yang keberadaannya
ada yang menghalangi pikiran bekerja.
ditolak oleh sains modern sebagai kerja
Berpikir radikal artinya sampai ke akara
ilmiah seperti filsafat dan teologi.
suatu masalah. Berpikir dalam tahap makna,
Selanjutnya, secara sederhana dapat ia mencari makna dari sesuatu.35 Sedangkan
dikemukakan bahwa ada tiga aspek kata Islam yang mengikuti filsafat artinya
pengembangan ilmu dalam Islam.Pertama, menyerah, tunduk, dan selamat. Islam
bidang yang lahir dari proses pengamatan artinya menyerahkan diri kepada Allah, dan
terhadap suatu objek tertentu yang dapat dengan menyerahkan diri kepada-Nya,
diindraseperti sains kealaman yang maka ia memperoleh keselamatan dan
menjadikan alam raya dan kehidupan di kedamaian.
dalamnya sebagai basis pengembangan
Jadi, filsafat Islam menurut Musa
ilmu. Kedua, bidang yang menggunakan
Asy’arie adalah filsafat yang bercorak Islami.
kemampuan logika nalar atau akal seperti
Islam menempati posisi sebagai sifat, corak,
filsafat.Ketiga, bidang yang menjadikan teks
dan karekter dari filsafat. Filsafat Islam
wahyu Ilahi atau intuisi sebagai sumber data
bukanlah filsafat tentang Islam (the philoso-
atau informasi, umumnya ilmu-ilmu agama
phy of Islam). Filsafat Islam artinya berpikir
masuk dalam kategori ini.
yang bebas, radikal, dan berada pada taraf
Ketiga bidang ilmu ini diposisikan makna yang mempunyai sifat, corak, dan
secara bersamaan dan integratif dalam karakter yang menyelamatkan dan
kajian epistemologi Islam, karena masing- memberikan kedamaian hati.36
masing bidang ini saling melengkapi dan
mendukung. Keberadaan satu bidang ilmu
35
Musa Asy’arie, Filsafat Islam Sunnah Nabi Dalam
34
Lihat juga Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Berpikir(Yoyakarta: LESFI, 2001), h. 1-4.
36
Kejahilan, hlm. 2. Musa Asy’arie, Filsafat Islam Sunnah,h. 6.

Tashwir Vol. 3 No. 6, April – Juni 2015 141


Berangkat dari definisi di atas, bagi waktu, tetapi objek formalnya berupa corak
Musa Asy’arie filsafat Islam tidak netral dan dan sifat dimensi yang menjadi tekanan atau
menyatakan keberpihakannya, yaitu pada fokus kajian harus berubah dan menyesuai-
keselamatan dan kedamaian. Di sini kan dengan perubahan serta konteks
eksistensi filsafat Islam hadir dan bekerja kehidupan manusia dan semangat baru
untuk keselamatan dan kedamaian. Filsafat yang muncul dalam setiap perkembangan
Islam tidaklah semata-mata bersifat rasional, zaman. Dalam kajian keilmuan Islam, posisi
yang hanya bersandar pada analisis logis filsafat Islam adalah landasan integrasi
terhadap suatu peristiwa, tetapi juga jejak berbagai disiplin dan pendekatan yang
spiritual untuk memasuki dimensi makin beragam, hal ini karena metode
kegaiban.37 rasional transendetal filsafat Islam dapat
Lebih dari itu, Musa juga menyatakan menjadi dasar pijakan.
bahwa filsafat Islam bukanlah filsafat yang Persoalan ontologi dapat disebut
dibangun dari tradisi Yunani yang sebagai persoalan filsafat yang paling tua.
rasionalistik, tetapi dibangun dari tradisi Ontologi dalam lingkup kajian filsafat ilmu
sunnah nabi dalam berpikir yang rasional mencakup hakikat ilmu, sifat dasar, dan
transendental. Rujukan filsafat Islam bukan kebenaran atau kenyataan yang inheren di
tradisi intelektual Yunani, tetapi sunnah dalamnya. Ilmu dalam Islam didefinisikan
nabi dalam berpikir, yang akan menjadi sebagai pengetahuan sebagaimana apa
tuntutan dan suri tauladan bagi kegiatan adanya. 41 Berbicara tentang yang ada
berpikir umatnya.38 (wujud), dalam Islam meliputi tidak saja
Selanjutnya, Musa Asy’arie menyata- yang dapat ditangkap dengan panca indra,
kan bahwa filsafat Islam mempunyai tetapi juga mencakup hal-hal yang tidak
metode yang jelas, yaitu rasional tampak (metafisika). Bahkan, filosof muslim
transendental, dan berbasis pada kitab dan seperti al-Farabi menyebut rentang status
hikmah, pada dialektika fungsional ontologis maujudat secara hierarkis bermula
Alqur ’an dan aqal untuk memahami dari yang metafisika, yakni Tuhan, malaikat,
hukum realitas. Secara operasional, ia benda-benda langit, dan terakhir benda-
bekerja melalui kesatuan organik fikr dan benda bumi.42
qalb, yang menjadi bagian utuh kesatuan Epistemologi sebagai sebuah teori
diri atau nafs.39 pengetahuan berbicara pada dua persoalan
Filsafat Islam membahas hakikat semua penting dan mendasar, yakni dari mana
yang ada, sejak dari tahapan ontologis, sumber pengetahuan itu datang dan
hingga menjangkau dataran yang metafisis. bagaimana cara untuk mengetahuinya.
Filsafat Islam juga membahas mengenai Kedua persoalan ini saling berkaitan erat
nilai-nilai yang meliputi bidang ketika dibicarakan. Pembicaraan tentang
epistemologis, estetika, dan etika. Di dari mana sumber pengetahuan diperoleh
samping itu, filsafat Islam juga membahas akan melahirkan uraian tentang bagaimana
tema-tema fundamental dalam kehidupan cara dan strategi untuk menggali sumber
manusia, yaitu tuhan, manusia, alam, dan ilmu tersebut.
kebudayaan yang disesuaikan dengan Pertama, berkenaan dengan sumber
perkembangan dan semangat zaman.40 atau objek ilmu. Dalam filsafat Islam
Objek material kajian filsafat Islam
41
mungkin tidak berubah dariw aktu ke Lihat kembali Franz Rosenthal, Knowledge Trium-
phant: the Concept of Knowledge in Medieval Islam
(Leiden: E.J. Brill, 1970), hlm. 222.
37 42
Musa Asy’arie, Filsafat Islam Sunnah,h. 8. Lihat Osman Bakar, Hierarki Ilmu: Membangun
38
Musa Asy’arie, Filsafat Islam Sunnah,h. 31. Rangka Pikir Islamisasi Ilmu Menurut al-Farabi, al-
39
Musa Asy’arie, Filsafat Islam Sunnah,h. 31-32. Ghazali, Quthb al-Din al-Syirazi, terj. Purwanto
40
Musa Asy’arie, Filsafat Islam Sunnah,h. 33. (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 118.

142 Tashwir Vol. 3 No. 6, April – Juni 2015


sebagaimana penjelasan Musa Asy’arie dan bertahap melalui proses pengamatan,
bahwa obyek kajian ilmu adalah ayat-ayat penelitian, percobaan, dan penemuan.
Tuhan yang meliputi ayat-ayat yang tersurat Sedangkan jalan laduni, tidak melalui proses
dalam kitab suci yang berisi firman-firman- ilmu pada umumnya, tetapi oleh proses
Nya, dan ayat-ayat Tuhan yang tersirat dan pencerahan oleh hadirnya cahaya ilahi
terkandung dalam ciptaan-Nya, yaitu alam dalam qalb, dengan hadirnya cahaya ilahi
semesta dan diri manusia sendiri. Wawasan itu semua pintu ilmu terbuka menerangi
epistemologi Islam pada hakikatnya kebenaran, terbaca dengan jelas dan terserap
bercorak tauhid, dan tauhid dalam konsep oleh kesadaarn inetelek, sekaan-akan orang
Islam tidak hanya berkaitan dengan konsep tersebut memperoleh ilmu dari Tuhan
teologi saja, tetapi juga dalam konsep secara langsung.
antropologi dan epistemologi. Epistemologi Ketiga, kebenaran ilmu. Kebenaran
Islam tidak mengenal dikotomi ilmu. dalam wacana ilmu adalah ketepatan
Kedua, berkaitan dengan cara metode dan kesesuaian antara pemikiran
memperoleh ilmu. Setiap obyek kajian ilmu dengan hukum-hukum internal dari obyek
menuntut suatu metode yang sesuai dengan kajiannya. Masing-masing ilmu memiliki
obyek kajiannya itu. Metode kajian adalah tingkat kebenarannya sendiri-sendiri, yang
jalan dan cara yang ditempuh untuk masing-masing kebenaran itu tidak saling
menemukan prinsip-prinsip kebenaran meniadakan. Kebenaran ilmu alam bersifat
yang terkandung pada obyek kajiannya, lebih obyektif daripada kebenaran filsafat
dan kemudian dirumuskan dalam konsep dan agama. Kebenaran ilmu pada hakikat-
teoritik, dengan menyesuaikan dengan nya bersifat relatif dan sementara, karena
obyek kajian. setiap kajian ilmu selalu dipengaruhi oleh
Secara umum, konsep teoritik tidak pilihan atau fokus yang bersifat parsial,
bisa dilepaskan dari suatu metode yang selalu tidak menyeluruh yang meliputi
menjadi bagian penting dari proses ilmu. berbagai dimensinya, dan dipengaruhi oleh
Dalam ilmu alam, proses ini berlangsung realitas ruang dan waktu yang selalu
melalui kegiatan pengamatan untuk berubah.
menyusun hipotesis, kemudian diikuti Dalam konsep filsafat Islam, kebenaran
percobaan-percobaan empirik, untuk sesuangguhnya dari Tuhan, melalui hukum-
menjadi dasar perumusan dan penentuan hukum yang sudah ada dan ditetapkan pada
suatu teori, dari susunan hukum-hukum setiap ciptaan-Nya, yaitu dalam alam
ilmiah. Pada ilmu sosial humaniora, karena semesta, manusia, dan Al Qur’an.Ilmu pada
obyek kajiannya adalah manusia yang hakikatnya merupakan perpanjangan dan
bersifat manusia yang komplek dan multi pengembangan ayat-ayat Allah, dan ayat-
dimensi, dan subjek ilmunya juga manusia, ayat Allah merupakan eksistensi kebesaran-
maka tidak cukup proses ilmu dijelaskan nya dan manusia diwajibkan untuk berpikir
dengan hukum sebab akibat, sehingga tentang ayat-ayat Allah itu, untuk tujuan
hermeneutika juga diperlukan. Sedangkan yang tidak bertentangan dengan ajaran-
cara kerja filsafat, sulit dirumuskan, karena ajaran_nya tidak untuk merusak dan
masing-masing filosof mempunyai melahirkan kerusakan dalam kehidupan
metodenya sendiri. Filsafat pada dasarnya bersama, karena akibat buruknya akan juga
bekerja mulai dengan pertanyaan dan menimpa dirinya sendiri.
berakhir dengan pertanyaan.
Dalam filsafat Islam, ilmu bisa 4. Pemikiran Filsafat Islam M. Amin
diperoleh melalui dua jalan, yaitu jalan kasbi Abdullah
atau hushuli dan jalan laduni atau hudhuri. Definisi Amin tentang filsafat Islam
Jalan kasbi adalah cara berpikir sistemik dan sebagai cara “berpikir, mentalitas, perilaku”
metodik yang dilakukan secara konsisten atau “hasil produk sejarah budaya manusia

Tashwir Vol. 3 No. 6, April – Juni 2015 143


Muslim” adalah sesuatu yang tampak baru rial, tampak tidak ada sesuatu yang baru
dari segi cakupannya yang luas. Karena para dalam pandangan Amin.Sedangkan, logika
pengkaji filsafat Islam, yang nama-namanya memang sejak awal dianggap sebagai
disebutkan di atas hingga Musa Asy’arie perangkat berpikir dalam filsafat.Sementara,
yang concern pada kaitan budaya dengan estetika idealnya, menurut Amin, dikaji
filsafat Islam, tidak menyebut filsafat Islam dalam filsafat Islam, karena keindahan
dengan kebudayaan atau peradaban Islam, menyentuh tidak hanya kebenaran,
meski tentu menjadi bagian darinya. Amin melainkan melampauinya, karena banyak
mengakui definisinya keluar dari main- aspek yang dilibatkan.Dari segi obyek
stream. Namun, penyamaan begitu saja formalnya, yang menyangkut corak, sifat,
antara filsafat Islam dengan kebudayaan atau atau dimensi yang menjadi tekanan atau
peradaban Islam menjadi rancu, karena fokus kajian, beberapa aspek mengalami
sebagaimana digarisbawahi oleh Musa, pergeseran.
diskursus filsafat adalah diskursus Definisi Amin tentang filsafat Islam
pemikiran, bukan mentalitas atau tindakan. sebagai filsafat yang ditimba dari sumber
Ciri berpikir filsafat adalah bersifat “radikal”, Islam sendiri (al-Qur‘an dan hadîts) berakar
yaitu sampai menyentuh “akar ” (radix) kuat dari pemikiran para pengkaji Muslim
suatu masalah, bahkan melampaui batas- sendiri, seperti disebutkan di atas. Karya-
batas fisika yang ada, ke pengembaraan karya mereka, baik karya Ibrâhîm Madkûr,
yang bersifat metafisis. Berpikir dan Muhammad Yûsuf Mûsâ, dan Seyyed
bertindak adalah dua hal yang berbeda, Hossein Nasr dijadikan rujukan di
meskipun bisa menyatu.43 Ketika berbicara perguruan tinggi Islam di Indonesia,
tentang ide pembaruan dalam filsafat Is- khususnya di UIN Sunan Kalijaga, tempat
lam,44 Amin menggeser filsafat Islam sebagai Amin mengajar.
kebudayaan atau peradaban Islam ke filsafat
Sesuai dengan definisi filsafat Islam
Islam sebagai pemikiran Islam (Islamic
secara longgar yang diterapkannya, ketika
though) yang meliputi pemikiran tentang
mengemukakan ide pembaruan dalam
penafsiran al-Qur`an, pemaknaan hadîts,
filsafat Islam, wilayah pembaruan yang ia
pemikiran kalâm, fiqh, tashawuf, dan
maksud adalah “pembaruan pemikiran Is-
filsafat. Padahal, disiplin-disiplin ilmu ini,
lam” mencakup dari pembaruan pemikiran
sebagaimana disadari oleh Amin, sendiri
tentang penafsiran al-Qur`an, pemaknaan
memiliki pijakan epistemologi keilmuan
hadîts, pemikiran tentang kalâm, fiqh,
sendiri, atau dalam istilahnya sendiri
tashawuf, dan filsafat, serta pembaruan
“klarifikasi keilmuan” yang terkait dengan
ilmu-ilmu keagamaan dengan menerapkan
aturan-aturan di dalam ilmu-ilmu itu.
filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Ruang-lingkup
Diskursus filsafat Islam harus clear and dis-
isu filsafat Islam yang ingin diperbarui ini
tinct (jelas dan berbeda), tegasnya. Jadi,
sangat luas.
definisi filsafat Islam yang dikemukakan
oleh Amin mengandung banyak kerancuan, Sebelum kandungan pembaruan ini
tidak seperti definisi Musa yang, meski kita lihat, kita akan melihat cakupan isu
dalam tesisnya tentang orisinalitas tampak yang ingin diperbarui oleh Amin. Dalam
apologetik dan a-historis, memiliki batasan perkembangan pemikiran filsafat Islam,
yang jelas. memang ditemukan sejumlah pemikir
Muslim yang memasukkan isu-isu kajian
Dalam pembidangan kajian filsafat,
secara lebih luas.Sebagaimana dikemuka-
yang meliputi wilayah epistemologi,
kan, kajian filsafat Islam semula
metafisika, dan etika sebagai obyek mate-
berkembang dari kajian ilmu kalâm, dan
salah satu persoalan yang dikaji adalah
43
Musa Asy’arie, Filsafat Islam, h. 3-4. thabî’iyyât (fisika).Dalam perkembangan
44
M. Amin Abdullah, Islamic Studies, h. 133-148.

144 Tashwir Vol. 3 No. 6, April – Juni 2015


awal, memang persinggungan kalâm dan Perluasan kajan filsafat ini tampak rancu,
filsafat dan tumpang-tindih tidak bisa tidak hanya karena perlu batasan yang jelas
dihindari, sehingga kalangan teolog awal antara ilmu-ilmu yang basisnya normatif
dari kalangan Mu’tazilah disebut sebagai (teks, nash) tanpa disertai oleh nalar yang
“filosof Islam generasi awal” (falâsifat al- mendalam (radikal, sampai ke akar
Islâm al-asbaqûn). Namun, apa yang persoalan), seperti halnya menjadi ciri
didiskusikan dalam literatur-literatur awal, penelusuran filosofis, melainkan juga
seperti dalam Tahâfut al-Falâsifah karya al- karena tumpang-tindih, misalnya: di bawah
Ghazâlî dan Tahâfut al-Tahâfut karya Ibn “payung” pembaruan “filsafat Islam”,
Rusyd, kajian thabî’iyyât memang ditemukan “filsafat”, sehingga perlu
membahas tentang dunia fisik, tapi bukan klarifikasi antara dua filsafat ini.
seperti dalam fisika sekarang, melainkan Terkait dengan kandungan pembaruan
bahasannya mengerucut ke persoalan kajian filsafat Islam yang dikemukakan, kita
tentang metafisis. Ibn Sînâ lah filosof Islam akan melihat satu persatu. Pertama, dalam
pertama yang meletakkan pembahasan konteks pembaruan penafsiran al-Qur‘an,
filsafat Islam dalam tiga wilayah kajian, yaitu: titik-tolak Amin yang mempersoalkan
logika (mantiq), fisika (thabî’ah), dan tentang keabadian (qidam) dan keterciptaan
metafisika (ilâhiyah atau mâ ba’d ath- (khalq) al-Qur‘an yang ia tengarai sebagai
thabî’ah). Kedua, di antara pengkaji mod- penyebab hilangnya kesadaran dimensi
ern, ada yang memasukkan disiplin-disiplin historitas (meskipun ini tidak benar, karena
ilmu normatif yang titik-tolaknya umumnya tidak ada kaitan langsung antara isu itu
adalah nash (teks keagamaan), seperti fiqh. dengan penolakan asbâb al-nuzûl di
Mushthafâ ‘Abd al-Râziq dalam Tamhîd li kalangan ulama), ide ini mengakar dari isu
Târîkh al-Falsafat al-Islâmiyah, misalnya, klasik dalam literatur-literatur kalâm, dan
memasukkan fiqh dan ushûl al-fiqh 45 dan disegarkan kembali oleh Nashr Hâmid Abû
Ibrâhîm Madkûr dalam Fî al-Falsafat al- Zayd melalui karyanya, Mafhûm al-Nash:
Islâmiyah memasukkan ushûl al-fiqh dan Dirâsah fî ‘Ulûm al-Qur‘ân. Pendapat Amin
târîkh al-tasyrî’ (sejarah pembentukan yang cenderung ke pendapat bahwa teks al-
hukum Islam) sebagai bahasan filsafat Qur‘an tidaklah sakral, tampak berakar dari
Islam.Khususnya tentang dua bahasan yang pandangan ini. Alasan yang dikemukakan
terakhir ini, Ibrâhîm Madkûr berargumen Amin bahwa desakralisasi itu berkaitan
karena dalam kedua ilmu tersebut dengan berbagai latar belakang historis
digunakan analisis logika dan perangkat- turunnya al-Qur‘an (asbâb al-nuzûl) hampir
perangkat metodologis.46Definisi filsafat Is- sama dengan alasan yang mendasari Abû
lam dalam pengertian luas seperti ini adalah Zayd bahwa al-Qur‘an adalah “produk bu-
seperti yang berkembang dalam pengkajian daya” (muntaj tsaqâfî) karena ia turun ber-
di Barat, yang mencakup tafsîr, prinsip- interaksi dengan budaya manusia (melalui
prinsip keyakinan (ushûl ad-dîn), prinsip- proses “pemanusiaan”) selama dua puluh
prinsip jurisprudensi (ushûl al-fiqh), tahun lebih. Sedangkan, ide Amin tentang
sufisme, ilmu-ilmu alam, dan bahasa. 47 perlunya penafsiran yang “produktif” (is-
tilah dari Abû Zayd, al-qirâ‘ah al-muntijah)
45
Sebagaimana dikutip oleh A. Hanafi, Pengantar melalui apa yang disebutnya “proses
Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 10. negosiasi” teks, pengarang, dan pembaca
46
Ibrâhîm Madkûr, Fî al-Falsafat al-Islâmiyah, Manhaj
wa Tathbîquh (Cairo: Dâr al-Ma’ârif, t.th.), cet,ke-3, jelas berakar dari teori hermeneutika. Hal
jilid 1, h. 24-25. ini pernah ia kemukakan ketika membedah
47
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its buku Khaled Abou El Fadl, Atas Nama
Origin to the Present: Philosophy in the Land of Proph- Tuhan: dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif
ecy (New York: State University of New York Press,
(judul asli: Speaking in God’s Name: Islamic
2006), h. 13. Sebagai contoh, lihat History of Islamic
Philosophy karya Henry Corbin. Law, Authority, and Women).

Tashwir Vol. 3 No. 6, April – Juni 2015 145


Dalam konteks pembaruan ilmu-ilmu tidak lagi normatif dalam agama, tetapi
keislaman dengan pendekatan filsafat dan mereka lebih tertarik pada pemahaman
ilmu sosial, ide ini telah lama diserukan oleh keislaman yang berdasarkan pendekatan-
banyak pemikir Islam kontemporer, baik pendekatan empiris dan historis. Hadirnya
Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, perguruan tinggi agama Islam di Indonesia
maupun Hasan Hanafî. Nama terakhir membawa angin perubahan terhadap
menjadi inspirasi Amin bagi idenya tentang perkembangan kajian filsafat Islam. Salah
pembaruan filsafat Islam modern.Alasan satu tokoh yang dipandang berkontribusi
yang mendasarinya adalah bahwa jika pada aktif dalam perkembangan filsafat Islam
zaman dahulu, ilmu-ilmu keislaman adalah Harun Nasution. Dialah
bergumul langsung secara intensif dengan sebagaimana disebut Budhy Munawar-
filsafat Yunani, seharusnya pada zaman Rachman yang memperjuangkan filsafat
sekarang ilmu-ilmu keislaman (termasuk Islam sebagai bagian dari tradisi IAIN, dan
filsafat Islam) harus bergumul, berdialog, memperkenalkan rasionalisme Mu’tazilah.
dan merespon isu-isu yang diangkat ke Tokoh lain yang dapat disebut adalah M.
permukaan oleh filsafat Barat.48 Orisinalitas Rasjidi dan Mukti Ali. Belakangan,
pemikiran Amin tampak ketika ia meng- Nurcholish Madjid juga harus disebut
usulkan apa yang disebut sebagai “filsafat sebagai intelektual yang berusaha mencari
ilmu-ilmu keagamaan Islam” (philosophy of relevansi tradisi filsafat Islam klasik dalam
Islamic religious sciences), 49 meski serupa mengembangkan pemikiran filsafat modern
pernah diusung oleh Anwar Ibrahim dengan Islam.51
sebuah tulisan, “Towards A Contemporary Secara umum ada dua kampus besar
Philosophy of Islamic Science”, key-note di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri di
speech yang disampaikannya di seminar Indonesia yang memiliki perhatian cukup
internasional “Filsafat Islam dan Sains” di serius terhadap kajian filsafat Islam, yaitu
University of Science, Penang, Malaysa, 30 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN
Mei 1989. 50 Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tokoh-tokoh
dari kedua kampus tersebut sudah terlibat
E. Penutup dari awal tahun 70an sampai sekarang
Perkembangan yang signifikan dalam menghangatkan wacana diskusi
terhadap kajian filsafat Islam di Indonesia terkait persoalan filsafat Islam. Figur seperti
tidak bisa dilepaskan dari pertumbuhan Harun Nasution dari kampus UIN Jakarta
pemikiran Islam yang terjadi sepanjang adaalah generasi awal yang terlibat intens
tahun 1970-80an. Trend global dunia dalam merintis kajian filsafat Islam di Indo-
muslim sepanjang kurun waktu itu nesia. Sejak ia mengajar di IAIN, kepada
memang lagi dalam gairah kebangkitan Is- mahasiswa telah diajarkan pengantar ilmu
lam memasuki awal abad ke-15 H, tidak agama, falsafat, tasawuf, ilmu kalam, tauhid,
terkecuali di Indonesia. Di Tahun 1970an, sosiologi dan metologi riset. Dalam
wacana pembaharuan pemikiran keislaman menyuguhkan diskusi penting mengenai
semakin marak. Generasi muda dari falsafat Islam, Harun Nasution
kalangan terpelajar muslim pada masa itu mendiskusikan masalah kesesuaian antara
akal dan wahyu. Menurut Deliar Noer
kedudukan Harun Nasution dalam gerakan
48
M. Amin Abdullah, Islamic Studies, h. 3. pembaruan di Indonesia adalah sebagai
49
Lihat pembahasan sebelumnya tentang hal ini. pengkaji Islam secara akademik. Generasi
Lihat juga M. Amin Abdullah, “Studi-studi Islam: masa kini dari kampus Ciputat yang
Sudut Pandang Filsafat”, dalam bukunya, Studi
Agama, h. 101-120.
50 51
Tulisan ini kemudian diterbitkan di The American Lihat Aan Rukmana dan Sahrul Mauludi, “Peta
Journal of Islamic Sciences, Vol. 7, No. 1, 1990, h. 1-7. Falsafat islam di Indonesia”, h. 573.

146 Tashwir Vol. 3 No. 6, April – Juni 2015


memiliki perhatian sangat serius terhadap para filosof klasik. Pada Mulyadhi sesuai
kajian filsafat Islam adalah sosok Mulyadhi dengan latar pendidikannya akrab dengan
Kartanegera. Ia sering dianggap sebagai tokoh-tokoh pada bidang filsafat Islam dan
pemikir yang paling serius dan sistematis tasawuf, sedangkan Harun Nasution banyak
mengenai filsafat Islam. Karya-karyanya mengutip para pemikir kalam
dengan jelas menunjukkan sebuah sistem (mutakallimîn). Figur M. Amin Abdullah
pemikiran mengenai pokok-pokok juga termasuk akrab dengan khazanah
persoalan filsafat Islam seperti ontologi, tokoh-tokoh filsafat klasik tetapi dengan
epistemologi, dan aksiologi. semangat rekonstruksi sedangkan Musa
Dari kampus UIN Yogyakarta, figur M. As’yarie bisa disebut sebagai figur yang
Amin Abdulllah adalah sosok yang cukup relatif tidak banyak melakukan analisis
banyak terlibat dalam diskusi seputar kajian kesejarahan dalam kajian filsafat Islamnya,
filsafat Islam terutama di Fakultas sehingga kesinambungan dari pemikiran
Ushuluddin dan Program Pascasarjana. Ia terdahulu nyaris tidak ada.
secara formal mengambil program doktor Kedua, berkenaan dengan unsur yang
bidang filsafat Islam di Departement of Phi- merupakan perubahan yang menjadi
losophy, Faculty of Art and Sciences, Middle karakteristik kajian filsafat Islam di Indone-
East Technical University (METU) Ankara sia bahwa semua tokoh yang yang dikaji
Turki (1990). Figur lainnya dari UIN baikd ari mazhab Ciputat ataupun Jogja
Yogyakarta adalah Musa Asy’arie yang berupaya melakukan reaktualisasi terjadap
dianggap memiliki pengalaman hidup mul- kajian filsafat Islam di Indonesia. Figur
tidimensional sebagai seorang pemikir, Harun Nasution berjasa dalam hal
cendekiawan, budayawan, dan sekaligus mengembangkan kajian rasionalitas di
penguasaha. Ia adalah pencetus gagasan perguruan tinggi Islam yang pada gilirannya
Revolusi Kebudayaan tanpa Kekerasan. Ia memarakkan kajian filsafat Islam di Indo-
berpandangan bahwa manusia adalah nesia. Figur Mulyadhi Kertanegera banyak
pribadi yang bebas dan berpikir yang bebas mengutip serpihan pemikiran Islam klasik
sebebasnya bukanlah suatu kesalahan. sebagai basis pemikiran dia untuk
Dalam konteks filsafat Islam dia me- menjawab problema metafisika modern dan
nyatakan bahwa itu adalah Sunnah Nabi persoalan dikotomi ilmu. Figur M. Amin
dalam Berpikir, dan bukan produk luar Abdullah banyak menawarkan dialog kritis
yang diimpor ke dalam Islam. antara filsafat Islam dan filsafat Barat serta
Sebagai akhir dari kajian ke- menawarkan pembacaan baru terhadap
sinambungan dan perubahan dalam kajian khazanah filsafat Islam klasik yang
filsafat Islam, maka dapat disimpulkan memungkinkan reaktualisasi pada konteks
beberapa hal sebagai berikut: Pertama, masa kini. Terakhir figur Musa Asy’arie
berkaitan dengan unsur apa saja yang menawarkan pembacaan baru terhadap
merupakan kesinambungan dari kajian filsafat Islam, bukan lagi sebagai filsafat yang
filsafat klasik yang masih dipertahankan dipengaruhi oleh tradisi filsafat Yunani tetapi
pada kajian filsafat Islam di Indonesia dapat dipandang sebagai sunnah nabi dalam
dikemukakan bahwa ada proporsi yang berpikir.
berbeda dalam mengacu kepada tradisi Ketiga, berkaitan dengan unsur yang
kajian filsafat Islam klasik pada masing- dikembangkan secara orisinal pada kajian
masing pemikir yang dikaji dalam penelitian filsafat Islam di Indonesia, maka figur Musa
ini. Ini tentunya sangat terkait dengan Asy’arie memberikan warna baru dalam
latarbelakang pendidikan dan keilmuan kajian filsafat Islam. Tetapi pengabaiannya
yang digeluti oleh sang tokoh. Figur terhadap kajian kesejarahan filsafat Islam
Mulyadhi Kertanegara dan Harun Nasution juga tidak sepenuhnya tepat. Figur lainnya
termasuk yang akrab dengan pemikiran seperti Harun Nasution, Mulyadhi

Tashwir Vol. 3 No. 6, April – Juni 2015 147


Kertanagera, dan M. Amin Abdullah banyak western Modernity), Penerjemah Rusdi
memanfaatkan khazanah filsafat Islam Djana (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002).
untuk melakukan lompatan pemikiran
Arifin, Syamsul dkk.,Spritualisasi Islam dan
pada konteks kekinian. Pendekatan Harun
Peradaban Masa Depan (Yogyakarta:
Nasution dengan tawaran neo-muktazilah-
SIPRESS, 1996).
nya bisa dikatakan itulah orisinalitas
pemikiran dia. Model pembacaan kritis M. Asy’arie, Musa, Filsafat Islam tentang
Amin Abdullah terhadap khazanah filsafat Kebudayaan (Yogyakarta: LESFI-
Islam klasik serta pendekatan apresiatif Institut Logam, 1997).
Mulydhi dalam reaktualiasasi pemikiran Is- _____, Filsafat Islam: Sunnah Nabi untuk
lam klasik bisa dikatakan sebagai Berpikir (Yogyakarta: LESFI, 1999).
sumbangan intelektual yang diberikan oleh
masing-masing figur. _____, Menyelami Kebebasan Manusia
(Yogyakarta: INHIS dan Pustaka
Pelajar, 1993).
Hanafi, Hassan, “Mengkaji Tradisi Untuk
Referensi
Transformasi dan Revolusi,” dalam
Abduh, Syekh Muhammad, Ilmu dan Tashwirul Afkar, edisi No. 10. Tahun
Peradaban Menurut Islam dan Kristen, 2001
terj. Mahyiddin Syaf & A. Bakar
Usman (Bandung: CV Diponegoro, Imarah, Muhammad, al-Islâm wa al-
1978). ’Urûbah (Kahirah: al-Haihal al-
Mashriyyah al-’Ammah li al-Kitab,
Abdullah, M. Amin, Antara al Ghazali dan 1996).
Kant: Filsafat Etika Islam (Bandung:
Mizan, 2002). Kartanegara, Mulyadhi, Gerbang Kearifan:
Sebuah Pengantar Filsafat Islam
_____, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan (Jakarta: Lentera Hati, 2006).
atas Wacana Keislaman Kontemporer
(Bandung: Mizan, 2000). _____, Integrasi Ilmu sebuah Rekonstruksi
Holistik (Bandung: Mizan, 2005).
_____, Filsafat Kalam di Era Postmodernisme
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995). _____, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon
Terhadap Modernitas ( Jakarta:
_____, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Erlangga, 2007).
Pendekatan Integratif-Interkonektif
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006). _____, Menyelami Lubuk Tasawuf (Jakarta:
Erlangga, 2006; ).
_____, Pendidikan Agama Era Multikultural
dan Religius ( Jakarta: PSAP _____, Mozaik Khazanah Islam ( Jakarta:
Muhammadiyah, 2005). Paramadina, 2000).

_____, Studi Agama: Normativitas atau _____, Nalar Religius: Memahami Hakikat
Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Tuhan, Alam, dan Manusia (Jakarta:
Pelajar, 1996). Erlangga, 2007).

Abidin, M. Zainal, Tafsir Filsafat atas _____, Panorama Filsafat Islam (Bandung:
Kehidupan: Risalah Seputar Wacana Mizan, 2002)
Filsafat dan Keislaman (Yogyakarta: _____, Pengantar Epistemologi (Bandung:
Pondok UII, 2007). Mizan, 2003).
Akhtar, Shabbir, Islam Agama Semua Kasule, Umar A.M., “Revolusi Ilmu
Zaman (Faith for All Seasons: Islam and Pengetahuan: Kenapa Terjadi di Eropa

148 Tashwir Vol. 3 No. 6, April – Juni 2015


Bukan di Dunia Muslim?”, dalam _____, Falsafat Agama ( Jakarta: Bulan
Majalah Pemikiran dan Peradaban Is- Bintang, 1973).
lam ISLAMIA,Tahun I No. 3/Septem-
_____, Falsafat dan Mistisme dalam Islam
ber-Nopember 2004.
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973).
Khaldun, Ibnu, Muqaddimah Ibnu Khaldun
_____, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1989).
(Jakarta: UI Press, 1985).
Khitti, Philip K., History of the Arab from the
_____, Islam Rasional (Bandung: Mizan,
Earliest Times to the Present (New York:
1996).
St. Martin Press, 1968)
_____, Muhammad Abduh dan Teologi
Malik, Dedy Djamaluddin dan Idi Subandy
Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI Press,
Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia:
1978).
Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais,
Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat _____, Pembaruan dalam Islam ( Jakarta:
(Bandung: Zaman, 1998). Bulan Bintang, 1975).
Muthahhari, Murtadha, Pengantar Qardhawi, Yusuf al-, Madkhal li al-Dirâsah
Pemikiran Shadra: Filsafat Hikmah al-Islâmiyyah (Beirut: Dâr al-Fikr,
(Bandung: Mizan, 2002). 1993).
Muzaffar, Chandra,”Kebangkitan Islam: Rukmana, Aan dan Sahrul Mauludi, “Peta
Suatu Pandangan Global dengan Falsafat islam di Indonesia”, dalam
Ilustrasi dari Asia Tenggara”, dalam Ilmu Ushuluddin: Jurnal Himpunan
Saiful Muzani (ed.), Pembangunan dan Peminat Ilmu-ilmu Ushuluddin
Kebangkitan Islam di Asia Tenggara (HIPIUS) Vol. 1, Nomor 6, Juli 2013.
(Jakarta: LP3ES, 1993). Setia, Adi, “Melacak Ulang Asal-Usul Filsafat
Nasr, Seyyed Hossein, and Oliver Leaman dan Sains Yunani”, dalam Majalah
(eds.), History of Islamic Philosophy Pemikiran dan Peradaban Islam
(London and New York: Routledge, ISLAMIA, Vol. III, No. 1, 2006.
1996) Shaliba, Jamil, al-Falsafah al-‘Arabiyah
_____, Traditional Islam in the Modern (Beirut: Dâr al-Kitâb al-Lubnani,
World (London: Kegan Paul Interna- 1973).
tional, 1987). Yatim, Badri, “Dari Mekah ke Madinah”,
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam dalam Taufik Abdullah, Ensiklopedi
Islam (Jakarta: UI Press, 1981). Tematis Dunia Islam ( Jakarta: PT.
Ichtiar baru Van Hoeve, 2002).

Tashwir Vol. 3 No. 6, April – Juni 2015 149


150 Tashwir Vol. 3 No. 6, April – Juni 2015

You might also like