Professional Documents
Culture Documents
Jurnal 2020 HK Adi Nurma
Jurnal 2020 HK Adi Nurma
PENDAHULUAN
Kodrat yang pasti dihadapi oleh manusia di dunia adalah suatu kepastian bahwasanya
setiap mahluk hidup suatu saat akan mati. Semasa ia masih hidup sebagai mahluk sosial
yang terikat hak dan kewajiban terhadap lingkungan sosial, misalnya terhadap sanak
saudara yang ditinggalkan.1 Hukum kewarisan Islam mengatur perpindahan harta dari
seseorang yang sudah meninggal kepada orang yang masih hidup. Aturan tentang
perpindahan harta ini disebut dengan berbagai nama. Dalam literatur hukum Islam
diketahui beberapa istilah untuk menamakan hukum kewarisan seperti: fara>id, fiqih
mawaris dan Hukm al-Waris.2
Fara>id jamak dari fari>dhah. Kata ini diambil dari fardhu. Fardhu dalam
istilah ulama ahli fikih mawaris ialah bagian yang telah ditetapkan oleh hukum syara’.
Ahli fikih telah mendalami masalah-masalah yang berpautan dengan warisan dan
menjadikan suatu ilmu yang berdiri sendiri dan menamakannya ilmu mawaris atau ilmu
fara>id.3
Ilmu mirats juga dinamakan Ilmu fara>id, artinya masalah-masalah pembagian
warisan. Sebab, fara>id adalah bentuk jamak dari fai>dhah, yang diambil dari kata
fardhu yang berarti penentuan, dan fai>dhah yang bermakna yang ditetapkan. Al-
Fara>id adalah bagian-bagian yang ditentukan.4 Waris menurut hukum Islam yang
berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits, dimana setelah orang meninggal dunia harta
peninggalannya dapat dibagikan pembagiannya kepada ahli waris baik laki-laki maupun
perempuan. Firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa> /3: 7 yang berbunyi:
يب مِم َّا َتَر َك الْ َوالِ َد ِان َواَأْل ْقَربُو َن مِم َّا قَ َّل ِمْنهُ َْأو ِ ِ صيب مِم َّا َتر َك الْوالِ َد ِان واَأْل ْقربو َن ولِلن
ٌ ِّساء نَص
َ َ َُ َ َ َ ٌ َل ِّلر َجال ن
ِ ِ ِ
۷﴿ وضا ِ َ﴾ َكثُر ن
ً صيبًا َم ْف ُر َ
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bagian yang telah ditetapkan” (QS. An-Nisa> /3: 7)5
Islam sangat menjunjung tinggi apapun yang bermanfaat bagi manusia, termasuk
dalam urusan harta. Harta adalah finansial bagi setiap manusia untuk memenuhi setiap
kebutuhan guna kelangsungan hidupnya di dunia. Sehingga harta juga dapat bisa
dikatakan sebagai amanat dari Allah SWT untuk menjaganya dan mengelolanya dengan
baik.
Hukum kewarisan menurut syariat Islam berfungsi sebagai pengganti atas
kepemilikan harta orang yang sudah meninggal kepada para ahli waris yang berhak
menerimanya.
Pembagian harta warisan juga dapat dilakukan dengan cara bagi rata,
sebagaimana yang telah ditentukan di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 183 bahwa:
1
Djamanat Samosir, Hukum Adat Indonesia, Cet Ke-I (Bandung: Nuansa Aulia, 2013), 303.
2
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), 5.
3
Tengku M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqih Mawaris, Edisi Ke 3, (Semarang: PT Puspita Rizki
Putra, 2010), 5.
4
Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuhu, Jilid 10, (Depok: Gema Insani, 2017),
340.
5
Tim Penerjemah Departemen RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung, CV Penerbit
Diponegoro, 2005), 61-62.
“Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta
warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.”6
Meskipun penjelasan tetang waris Islam/fara>id sudah di paparkan dengan
jelas dalam al-Qur’an , Hadits, ijma dan Kitab-kitab Fikih, namun di Indonesia sebagai
negara yang mayoritas warga negaranya Islam dan bermacam-macam atau beragam
adat, budaya serta latar belakang yang melandasi kehidupan masyarakatnya. Begitupula
dalam hukum waris berdasarkan adat sangatlah beragam bergantung pada sifat
kedaerahan. Banyaknya jumlah suku bangsa di Indonesia, banyak pula jumlah hukum
waris adat yang ada.
Hal inipun yang terjadi pada masyarakat Desa Tanjungsiang Kecamatan
Tanjungsiang Kabupaten Subang, yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama
Islam maka mereka harus menuruti syariat Islam begitu pula dengan pembagian harta
warisan yang seharusnya menggunakan pembagian waris Islam/fara>id, sebagian besar
dari mereka cenderung menggunakan sistem kewarisan adat yang dimana
pembagiannya di sama ratakan.
Pelaksanaan atau penerapan di masyarakat sendiri terkadang masih banyak
konflik antara keluarga para ahli waris terlebih di Desa Tanjungsiang Kecamatan
Tanjungsiang Kabupaten Subang yang mayoritas masyarakatnya beragama Muslim,
konsekuensinya masyarakat tersebut harus mentaati aturan pembagian warisannya
sesuai syariat Islam, akan tetapi karena adanya rasa ketidak puasan dan dianggap tidak
adanya nilai keadilan yang dirasakan masyarakat sehingga menimbulkan konflik satu
sama lain dalam keluarga ahli waris. Sehingga pembagian harta waris yang dilakukan
tidak merujuk kepada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Islam, maka dari
itu penulis ingin meneliti faktor apa-apa saja yang melatar belakanginya.
Melihat permasalahan seperti itu menurut penulis dirasa perlu dilakukan
penelitian untuk menemukan permasalahan sebenarnya yang terjadi di Desa
Tanjungsiang Kecamatan Tanjungsiang Kabupaten Subang, maka penulis hendak
mengangkat masalah tersebut, sebagai dasar dalam menyusun skripsi yang berjudul
“Efektivitas Pembagian Harta Waris Waris Untuk Menghindari Konflik Keluarga (Studi
Kasus di Desa Tanjungsiang Kecamatan Tanjungsiang Kabupaten Subang Tahun
2019)”.
KERANGKA PEMIKIRAN
Penelitian Daryono, NIM 1410210005, Jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah, Fakultas
Syariah IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Tahun 2014, Dengan Skripsi yang berjudul
”Pendapat Ulama Desa Mekarjaya Kecamatan Compreng Kabupaten Subang terhadap
Pembagian Waris” dalam skripsi Daryono dengan skripsi ini perbedaannya adalah
pembahasannya hanya membahas waris yang merujuk kepada waris adat tanpa
menghubungkan dengan ilmu fara>id, persamaannya sama-sama membahas waris.7
6
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan & Kompilasi
Hukum Islam, (Grahamedia Press, tt), 385.
7
Daryono, “Pendapat Ulama Desa Mekarjaya Kecamatan Compreng Kabupaten Subang
terhadap Pembagian Waris” (Cirebon: Iain Syekh Nurjati, 2013) Tidak di terbitkan.
Penelitian Rahadyan Setiawan, NIM B4B0011179, Jurusan Magister kenotarisan,
Tahun 2003, Dengan tesis yang berjudul “Pelaksanaan Pembagian Warisan Menurut
Hukum Islam (Studi pada Pengadilan Agama Sleman)” Dalam Tesis Rahadyan
Setiawan pembagiannya sesuai hukum Islam yang diangkat ke Pengadilan Agama
terhadap sengketa waris makin nampak dengan berlakunya Undang-undang No.7 Tahun
1989 tentang peradilan agama dalam KHI serta hubungannya dengan pembagian waris
menurut ilmu fara>id.
Penelitian Abdulloh, NIM B4B002059, Magister Kenotarisan, Tahun 2005, Dengan
tesis yang berjudul “Pembagian Harta Waris pada Masyarakat Adat di Kabupaten
Tegal” Dalam tesis ini perbedaannya hanya meliputi pembahasan tentang waris adat
tanpa menggabungkan pembahasannya dengan ilmu fara>id, dalam tesis ini hanya
menjelaskan penerapan pembagian waris yang berlaku pada masyarakat adat Kabupaten
Tegal saja tanpa ditinjau penerapan dalam konsepsi waris Islam.8
METODOLOGI PEMIKIRAN
Dalam Metode penelitian ini terbagi dalam beberapa bagian, yakni :
1. Jenis Penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dimana data dan fakta yang
diperoleh dari lapangan akan dianalisa dan dijabarkan secara runtut dan terperinci
sehingga dapat ditarik kesimpulan yang valid.9
2. Pengumpulan data yang digunakan untuk mendapatkan data yang tepat dan akurat
ialah berupa wawancara dan dokumentasi.10
3. Teknik analisis data yaitu teknik pengolahan data dan melakukan uraian dan
penafsiran pada suatu dokumen. Analisis data dapat digambarkan dalam tahapan
reduksi data, pengorganisasian data dan interpretasi data. Setelah data terkumpul,
maka akan dimanfaatkan sesuai dengan kegunaan masing-masing dan dianalisis
sesuai dengan kenyataan yang ada dan pengolahan berikutnya digunakan analisis
kualitatif.
KONSEP DASAR WARIS
1. Pengertian
Kata waris berasal dari bahasa Arab yaitu waras\a-yaris\u-waris\an yang berarti
berpindahnya harta seseorang kepada seseorang setelah meninggal dunia. Adapun
dalam al-Qur’an ditemukan kata waras\a yang berarti menggantikan kedudukan,
memberi atau menganugrahkan, dan menerima warisan.
Kewarisan (al-miras|) yang disebut sebagai fara>id berarti bagian tertentu dari
harta warisan sebagai mana telah diatur dalam nash al-Qur’an dan al-Hadits. Jadi,
kewarisan adalah perpindahan hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang
telah meninggal dunia terhadap orang-orang yang masih hidup dengan bagian-bagian
yang ditetapkan dalam nash-nash baik al-Qur’an dan al-Hadits.11
8
Abdulloh, “Pembagian Harta Waris pada Masyarakat Adat Kabupaten Tegal”, (Semarang,
Universitas Diponegoro, 2005), Tidak Diterbitkan.
9
Widodo, Cerdik Menyusun Proposal Penelitian (Jakarta: Magnascript Publishing, 2012), 55
10
Widodo, Cerdik Menyusun Proposal Penelitian, 59
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan pula mengenai pengertian
hukum kewarisan yang di jelaskan pada pasal 71 yang menyatakan bahwa hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan bagiannya masing-
masing.12
2. Rukun Kewarisan
Dalam pembagian waris terdapat tiga unsur yang harus diperhatikan, tiap-tiap unsur
tersebut harus memenuhi berbagai persyaratan. Unsur-unsur ini dalam kitab fiqih
dinamakan rukun dan persyaratan ini dinamakan syarat untuk tiap-tiap rukun. 13 Juka
ketiganya ada, maka pewarisan dapat dilangsungkan. Namun apabila salah satu dari
rukun tersebut tidak ada, maka pewarisan pun tidak dapat berlangsung. 14 Rukun-rukun
warisan ada tiga antara lain:
Al-wa>ris\ (ahli waris) yaitu orang yang berhak mendapat bagian dari tirkah
(warisan) mayat yang dikarnakan ada salah satu sebab yang tiga yaitu ikatan
nasab (darah/kekerabatan/keturunan), ikatan perkawinan ataupun ikatan wala’
(memerdekakan hamba sahaya), walaupun pada kenyataannya ada ahli waris yang
tidak mendapat bagian dikarnakan terhijab (terhalang) atau sebab yang
melarangnya.16 Diartikan juga bahwa ahli waris adalah orang yang pada saat
meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris,
beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.17
11
Habiburrahman, Rekontrusi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011),
17-18.
12
Kompilasi Hukum Islam, Grahamedia Press, 382 dan melihat di bukunya Cik Hasan Bisri,
Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam sistem hukum Nasional, (Jakarta: Wacana Ilmu,
1999), 195.
13
Mohammad Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan
Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta: Grafik, 2009), 56.
14
Abu Malik Kamal, Tuntutan Praktis Hukum Waris, (Jakarta: Pustaka Ibnu Umar, 2009), 10.
15
M. Juhdi, “Problematika Penulisan dan Pembagian Warisan pada Dunia Muslim,” Nurani,
no. 1 (Juni 2007), 117.
16
Mohammad Athoillah, Fikih Mawaris, (Bandung: Yrama Widya, 2013), 18.
17
Amin Husen Nasution, Hukum Kewarisan. 35.
18
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, 25.
3. Sebab Menerima Warisan
Seseorang tidak berhak menerima warisan dari orang lain, kecuali karena memiliki
sebab-sebab tertentu. Adapun sebab-sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan
warisan ada tiga antara lain:
a. Hubungan kekeluargaan/Nasab (Keturunan)
Hubungan kekeluargaan dibagi dua, yaitu kekeluargaan yang sebenarnya (hakiki)
dan hubungan kekeluargaan yang bersifat hukmi (yang kekeluargaan yang
disebabkan oleh pembebasan budak).19
Al-Ra>gib al-Asfaha>ni menjelaskan bahwa nasab adalah isytira>k min jihhah
ahad al-abawain (Persekutuan, hubungan, keterkaitan antara anak dengan salah
satu orang tuanya).20
Adapun orang-orang yang mengambil pusaka dengan jalan kekerabatan ada 3,
yaitu: (a) Ashabul Furud (ahli waris yang menerima bagian tertentu dari harta
warisan), (b) Ashabah Nasabiyah (waris-waris yang tidak mempunyai bagian
tertentu), (c) Dzawil arham (waris-waris yang tidak masuk ke dalam golongan
Ashabul Furud dan Ashabah).21
b. Pernikahan
Pernikahan terjadi karena terjadinya akad nikah secara legal (Syar’i) antara
seorang laki-laki dengan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan
intim (bersenggama) antara keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak,
tidak menjadi sebab untuk mendapat hak waris.22
Dalilnya dalam firman Allah SWT yang berbunyi
۞ اج ُك ْم ِ
ُ ف َما َتَر َك اَْز َو
ُ ص
ْ َولَ ُك ْم ن
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
istriistrimu...” (Q.S An-Nisa> /4:12)23
c. Wala’
Wala’ adalah seorang yang memerdekakan budak laki-laki atau budak perempuan.
Dengan memerdekakannya, maka ia berhak atas wala’nya (pemerdekaannya). Ia
dapat menjadi walinya kalau yang dimerdekakannya tidak mempunyai wali
(karena keturunan). Jadi jika budak yang dimerdekakannya itu meninggal dunia
serta tidak meninggalkan ahli waris, maka hartanya diwarisi oleh orang yang
memerdekakannya.
19
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, 27.
20
Al-Ra>gib al-Asfaha>lani, Mu’jam Mufrada>t al-fa>d} Al-qur’a>n, (Bairut: Da>r Al-qur’an,
2013), 545.
21
Jaenal Arifin dan Azharudin Lathif, Filsafat Hukum Islam: Tasyri dan Syarʻi, (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2006), 16.
22
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, 109.
23
Tim Penerjemah Departemen RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 63.
Hubungan ini sudah tidak berlaku lagi, karena seletah datangnya Islam,
perbudakan sudah dihapus dalam Islam, karena perbudakan bertentangan dengan
syariat Islam.24
d. Hubungan Agama (sesama Muslim)
Dalam agama Islam terkait masalah warisan bahwasanya Islam membagi warisan
keluarganya hanya untuk ahli waris yang memeluk agama Islam saja yang
dijelaskan dalam dalilnya Hadits Nabi Muhammad Saw yang berbunyi:
Bila seseorang meninggal dunia tidak mempunyai ahli waris, maka harta
peninggalannya diserahkan kepada baitul mal untuk umat Islam, sebagai
warisan.26
4. Sebab-sebab Penghalang Menerima Warisan
Halangan untuk menerima warisan disebut (ِارث ِ ) َم َوا ِن ُع ْال َوadalah hal-hal yang
menyebabkan gugurnya hak ahli waris untuk menerima warisan dari harta
peninggalan muwarris\ \. Dalam literatur kewarisan Islam, sebab-sebab yang
menghalangi untuk mendapatkan waris yang telah disepakati oleh para Fuqaha ada
tiga yaitu: sebab membunuh, sebab perbedaan Agama dan sebab hamba sahaya.27
a. Sebab Membunuh
Para Ulama Fiqih (para fuqaha) sepakat bahwa pembunuhan merupakan sebab
penghalang mendapatkan warisan. Menurut pendapatnya kalangan Syafi’iyyah
orang yang membunuh tidak mewarisi orang yang dibunuh secara mutlak, baik
langsung atau karena sebab, karena suatu kemaslahatan seperti pukulan si ayah,
suami, guru atau bukan suatu kemaslahatan, baik terpaksa ataupun tidak, dengan
hak atau tidak, baik oleh orang mukallaf atau bukan mukallaf.28
b. Sebab Perbedaan Agama
Perbedaan agama antara muwarris\ dan orang yang mewarisi karena Islam dan
lainnya menghalangi warisan sebagaimana kesepakatan ulama madzhab
empat.29Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama
mengatakan bahwa ahli waris muslim tetap mendapat harta warisan dari pewaris
yang kafir. Mereka mengaku bersandar pada pendapat Mu'adz bin Jabal ra, yang
24
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, 29.
25
Muhammad bin Fattah al-Hamidi, al-jam’u baina as-Shah{ih{in al-Bukhari wa Muslim Bairut:
Dar al-Fikr, tt) 257.
26
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, 28.
27
Nasuha Faqih, Belajar Ilmu Waris Praktis, Cepat dan Tepat, 16.
28
Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuhu, Jilid 10, 357.
29
Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuhu, Jilid 10, 358.
mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi harta orang kafir, tetapi
tidak boleh mewariskan hartanya kepada orang kafir.30
c. Sebab Hamba Sahaya (Perbudakan)
۞٧٥ ب اللَّهُ َمثَاًل َعْب ًدا مَّمْلُو ًكا اَّل َي ْق ِد ُر َعلَ ٰى َش ْي ٍء
َ ضَر
َ
“Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang
dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun…” (QS. An-
Nahl /16:75).32
d. Perbedaan Dua Negara
a. ‘Ashabul furudh
34
Munir Subarman, Fiqih Mawaris dan Implementasi Kompilasi Hukum Islam dan Tata Hukum
Indonesia, (Cirebon, Nurjati Press, 2011), 37.
35
M. Ma’shum Zein, Fiqh Mawaris Metodologi Studi Hukum Waris Islam, (Jombang, Darul-
Hikmah, 2008), 19.
36
Munir Subarman, Fiqih Mawaris dan Implementasi Kompilasi Hukum Islam dan Tata Hukum
Indonesia, 63.
37
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam Lengkap & Praktis, 48.
b. ‘Ashabul nasabiyah
c. ‘Ashabul sababiyah
e. Zhawul arham.
f. maulal muwalah
i. Baitul mal.
Beberapa orang yang disebutkan diatas yakni orang-orang baik ada hubungan
darah (nasab) maupun dengan sebab perkawinan dan dengan sebab-sebab
hukum. Akan tetapi, jika pewaris tidak meninggalkan ahli waris, maka harta
peninggalannya itu dapat disimpan di Baitul Mal untuk dimanfaat bagi
kepentingan umum.
7. Pengertian Efektivitas
Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti berhasil atau
sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah populer
mendefinisikan efetivitas sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna atau
menunjang tujuan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektif adalah
sesuatu yang ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya) sejak dimulai
berlakunya suatu Undang-Undang atau peraturan.38
Menurut Hans Kelsen dalam teori validitas dan efektivitas hukum. Agar
hukum tersebut dapat menjadi valid, hukum tersebut haruslah dapat diterima
oleh masyarakat. Demikian pula sebaliknya, bahwa agar dapat diperlakukan
terhadap masyarakat, maka suatu kaidah hukum haruslah merupakan hukum
valid atau legitimate. Dari kaidah hukum yang valid tersebutlah baru kemudian
timbul konsep-konsep tentang “perintah (command), larangan (for-bidden),
kewenangan (authorized), paksaan (force), hak (right), dan kewajiban
(obligation).
Sedangkan Menurut Soerjono Soekanto Salah satu fungsi hukum, baik
sebagai kaidah maupun sebagai sikap atau perilaku adalah membimbing perilaku
manusia. Masalah pengaruh hukum tidak hanya terbatas pada timbulnya ketaatan
atau kepatuhan pada hukum, tapi mencakup efek total dari hukum terhadap sikap
tindak atau perilaku baik yang bersifat positif maupun negatif. Efektivitas
penegakan hukum sangat berkaitan erat dengan efektivitas hukum. Agar hukum
itu efektif, maka diperlukan aparat penegak hukum untuk menegakkan sanksi
tersebut. Suatu sanksi dapat diaktualisasikan kepada masyarakat dalam bentuk
ketaatan (compliance), dengan kondisi tersebut menunjukkan adanya indikator
38
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), 284.
bahwa hukum tersebut adalah efektif. Faktor-faktor yang memengaruhi
efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto antara lain sebagai berikut.39
PEMBAHASAN DAN DISKUSI
Ilmu fara>id termasuk ilmu yang tinggi tingkat bahayanya, paling tinggi kedudukannya,
paling besar ganjarannya. Oleh karena pentingnya, bahkan Allah SWT sendiri yang
menentukan sendiri takarannya, Allah SWT menerangkan jatah harta warisan yang
didapat oleh setiap ahli waris banyak di jabarkan di dalam ayat al-Qur’an dengan jelas,
karena harta dan pembagiannya merupakan sember ketamakan bagi manusia. Sebagian
besar dari harta warisan adalah untuk laki-laki dan perempuan, besar dan kecil, mereka
yang lemah dan kuat sehingga tidak terdapat padanya kesempatan untuk berpendapat
atau berbicara dengan hawa nafsu. Oleh karena itu, Allah-lah yang mengatur sendiri
pembagian serta rinciannya dalam kitab-nya, meratakannya diantara paraa ahli waris
sesuai dengan keadilan serta maslahat yang Dia ketahui.40
Sejak dulu hingga sekarang di Desa Tanjungsiang Kecamatan Tanjungsiang
Kabupaten Subang dalam hal pembagian warisan, kebiasaan masyarakat dalam hal
pembagian warisnya dengan cara membagi rata antara ahli waris laki-laki dan ahli waris
perempuannya, meskipun masyarakat di Desa Tanjungsiang bermayoritaskan agamanya
Muslim, masyarakat di sana enggan melaksanakan pembagian warisannya sesuai
dengan pembagian fara>id, mereka menganggap pembagian yang demikian rumit dan
bisa menimbulkan rasa kecemburuan atau bahkan perpecahan antara keluarga, sehingga
masyarakat tersebut melakukan pembagian warisannya disama ratakan antara ahli waris
laki-laki dan ahli waris perempuan.
Hal tersebut sudah menjadi adat kebiasaan yang melekat pada masyarakat,
padahal Allah SWT telah mengatur dengan jelas pembagian harta waris islam di dalam
al-Qur’an yang di dalamnya mengatur tentang siapa saja yang berhak mendapatkan
harta waris dan berapa bagian-bagian yang di terima oleh muarris, hal ini bertujuan agar
orang-orang Muslim melaksanakan pembagian harta waris sesuai ketentuan syariat
Islam, maka kita bisa membagikan harta waris yang ada tanpa muncul perselisihan dan
menghindari fitnah dengan Islam bagi orang yang beriman yang menerapkan ajran
Islam akan merasakan manfaatnya yang besar dan tidak merasa dirugikan sedikitpun
oleh aturan yang telah Allah SWT berikan.
Akan tetapi dari penelitian yang dilakukan penulis maka dapat disimpulkan
bahwa pembagian waris yang demikian cukup efektf, karena dilihat dari hasil
wawancara dengan masyarakat Desa Tanjungsiang Kecamatan Tanjungsiang Kabupaten
Subang sendiri melakukan pembagian warisan yang demikian bertujuan untuk
menghindari perpecahan antara keluarga dan tidak melanggar aturan fara>id, karena
pembagian warisan yang dilakukan dengan sama rata itu terjadi setelah masyarakat
melakukan pembagian warisan fara>id. Sesungguhnya pembagian waris sama rata yang
demikian merupakan hibbah, akan tetapi anggapan masyarakat tersebut masih dalam
pembagian warisan. Hal tersebut juga sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 183
39
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2007), 110.
40
Yosep Septiana, Dede Kurniadi, Asri Mulyani, “Perancangan Program Aplikasi sebagai
Sistem Pendukung Keputusan Pembagian Harta Waris Berorientasi Solver”, Jurnal Algoritma, Vol 14,
No. 2, (2017), 474.
Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian warisan,
setelah masing-masing menyadari bagiannya.41
Dari latar belakang pembagian waris yang demikian penulis menemukan
beberapa Faktor pendukung akan pembagian warisan yang dilakukan masyaraakat Desa
Tanjungsiang yang paling dominan yaitu pertama adanya kebijaksanaan dari ahli waris
laki-laki untuk memberi sebagian harta yang didapatkan dari hasil pembagian warisan
yang telah dilakukan utuk diberikan kepada ahli waris perempuan, hal tersebut bertujuan
agar terhindar dari kecemburuan sosial dari pihak ahli waris perempuan dan
menghindari perpecahan antara para saudara ahli waris, kedua masyarakat de Desa
Tanjungsiang tidak lepas berkonsultasi Kepada orang-orang yang ahli dalam bidang
ilmu fara>id sehingga mereka tidak salah dalam mengambil keputusan, ketiga melihat
dari perekonomian masing-masing para ahli waris.
Selain dari pemaparan masyarakat tentang faktor apa sajaa yang melatar
belakangi pembagian waris yang demikian penulis juga mengkomparasikan dengan
teori-teori yang di paparkan oleh para ahli yang mendukung tentang pembagian warisan
sama rata antara lain:
Menurut Aminah Wudud pendekatan bahwa ketentuan pembagian waris 2:1
bukan merupakan suatu ketentuan yang mutlak, melainkan hanya varian pembagian
saja. Menurutnya, pembagian waris hendaknya dilakukan dengan beragam
pertimbangan antara lain kondisi keluarga yang ditinggalkan, asas kemanfaatan dan
kebutuhan ahli waris serta manfaat harta warisan itu sendiri. Sehingga menurut Aminah,
bahwa pembagian waris bisa menjadi sangat fleksibel dan mempunyai banyak
kemungkinan pebagian, tergantung dari manfaat harta bagi tiap-tiap ahli waris.42
Munawir Syadzali, pembagian waris 2:1 tidak mencerminkan semangat keadilan
bagi masyarakat Indonesia saat ini. Hal ini terbukti dengan banyaknya penyimpangan
dari ketentuan waris tersebut, baik dilakukan oleh orang awam maupun ulama. Selain
itu, pembagian waris adalah ajaran Islam yang bersifat gradual. Artinya, ketika wanita
pada masa jahiliyah mulai diberikan hak waris oleh Islam (meskipun hanya separuh
bagian laki-laki), wanita diangkat derajatnya. Pengangkatan derajat wanita ini tidak
dilakukan secara langsung, melainkan bertahap. Hal ini sesuai dengan sifat gradual
ajaran Islam sebagaimana kasus pengharaman khamr. Alasan lain, adalah bahwa pada
masa modern, wanita memiliki peran yang sama dengan laki-laki di masyarakat.
Merupakan suatu yang logis bila kemudian wanita memiliki hak waris yang sama
dengan laki-laki.43
Selain adanya faktor pendukung di sisi lain ada faktor penghambat dari
pembagian waris sama rata yang yang di lakukan di Desa Tanjungsiang sehingga dalam
pembagiannya menimbulkan tarik ulur antara ahli waris yang terlibat. Adapun faktor
penghambatnya yang paling dominan yaitu pertama rasa serakah atau ketidak sadaran
41
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan & Kompilasi
Hukum Islam, Grahamedia Press, 385.
42
Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan:Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir,
(Jakarta: Serambi 2001), 156.
43
Abdul Azis, “Pembagian Waris Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan Ekonomi Ahli Waris
Dalam Tinjawan Maqa>s}id syari>’ah”,De Jure: Jurnal Hukum dan Syariah ,Vol 8, No. 1 (Juni 2016),
48-36.
dari pihak ahli waris laki-laki untuk memberi sebagian harta waris kedua masyarakat
Desa tanjungsiang dalam hal ilmu agama kurang begitu mendalami ketiga tidak
meminta bantuan para ahli dalam menyelesaikan masalahnya keempat adanya dorongan
dari pihak lain, yang dimaksud disini istri dari ahli waris laki-laki yang menyuruh
suaminya supaya tidak memberikan harta waris yang sudah dimilikinya. Tanggapan-
tanggapan demikian merupakan faktor penghambat dan bisa menimbulkan perpecahan
antara keluarga ahli waris.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana telah diuraikan diatas, maka
dapat disimpulkan bahwa:
Dalam hal keefektivitasan pembagian harta waris Islam di Desa Tanjungsiang, pada
dasarnya sudah efektif, karena mayoritas masyarakat Desa Tanjungsiang dalam hal
membagi warisnya sudah menjalankan pelaksanaan pembagian waris sesuai prosedur
waris fara>id, akan tetapi sesudah melaksanakan pembagian waris fara>id mereka
membagi kembali hasil pembagian warisnya dan kemudian membagi rata harta warisan
tersebut.
Faktor penghambat dalam pembagian waris islam di Desa Tanjungsiang yaitu adanya
ego atau keserakahan dari ahli waris laki-laki, kurangnya dasar ilmu agama, tidak
mengajak ahli dalam menyelesaikan masalah waris, adanya dorongan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulloh. “Pembagian Harta Waris pada Masyarakat Adat Kabupaten Tegal”,
(Semarang, Universitas Diponegoro, 2005).
Ahmad, Abul Fadhl bin Ali bin Muhammad. Athraf al-Musnid al-Mutali Bi Athraf al-
Musnad al-Hanbali (Bairut,Dar Ibn Katheer, tt).
al-Asfaha>lani, Al-Ra>gib. Mu’jam Mufrada>t al-fa>d} Al-qur’a>n, (Bairut: Da>r Al-
qur’an, 2013)
Arifin, Jaenal dan Azharudin Lathif. Filsafat Hukum Islam: Tasyri dan Syarʻi, (Jakarta:
UIN Jakarta Press, 2006),
Ash-Shiddieqy, Tengku M. Hasbi. Fiqih Mawaris, Edisi Ke 3, (Semarang: PT Puspita
Rizki Putra, 2010).
Athoillah, Mohammad. Fikih Mawaris, (Bandung: Yrama Widya, 2013).
Azis, Abdul. “Pembagian Waris Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan Ekonomi Ahli
Waris Dalam Tinjawan Maqa>s}id syari>’ah”,De Jure: Jurnal Hukum dan
Syariah ,Vol 8, No. 1 (Juni 2016), 48-36.
Az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Isla>mi> Wa Adillatuhu, Jilid 10, (Depok: Gema
Insani, 2017).
Bisri, Cik Hasan. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam sistem hukum
Nasional, (Jakarta: Wacana Ilmu, 1999).
Daryono. “Pendapat Ulama Desa Mekarjaya Kecamatan Compreng Kabupaten Subang
terhadap Pembagian Waris” (Cirebon: Iain Syekh Nurjati, 2013).
Habiburrahman. Rekontrusi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2011).
K. Lubis, Suhrawardi dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam Lengkap & Praktis,
Cet Ke-2 (Jakarta, Sinar Grafika, 2008).
Kamal, Abu Malik. Tuntutan Praktis Hukum Waris, (Jakarta: Pustaka Ibnu Umar,
2009).
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002)
Muhammad bin Fattah al-Hamidi. al-jam’u baina as-Shah{ih{in al-Bukhari wa Muslim
Bairut: Dar al-Fikr, tt).
Muhammad, Juhdi, “Problematika Penulisan dan Pembagian Warisan pada Dunia
Muslim,” Nurani, no. 1 (Juni 2007).
Muhibbin, Mohammad dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai
Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta: Grafik, 2009).
Samosir, Djamanat. Hukum Adat Indonesia, Cet Ke-I (Bandung: Nuansa Aulia, 2013).
Septiana, Yosep. Dede Kurniadi dan Asri Mulyani. “Perancangan Program Aplikasi
sebagai Sistem Pendukung Keputusan Pembagian Harta Waris Berorientasi
Solver”, Jurnal Algoritma, Vol 14, No. 2, (2017).
Soekanto, Soerjono. Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2007),
Subarman, Munir. Fiqih Mawaris dan Implementasi Kompilasi Hukum Islam dan Tata
Hukum Indonesia, (Cirebon, Nurjati Press, 2011).
Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004).
Tim Penerjemah Departemen RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung, CV Penerbit
Diponegoro, 2005).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan &
Kompilasi Hukum Islam, (Grahamedia Press, tt)
Wadud, Amina. Qur’an Menurut Perempuan:Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi
Tafsir, (Jakarta: Serambi 2001), 156.
Widodo. Cerdik Menyusun Proposal Penelitian (Jakarta: Magnascript Publishing,
2012).
Zein, M. Ma’shum. Fiqh Mawaris Metodologi Studi Hukum Waris Islam, (Jombang,
Darul-Hikmah, 2008).