Professional Documents
Culture Documents
102-Article Text-327-3-10-20190219
102-Article Text-327-3-10-20190219
102-Article Text-327-3-10-20190219
Alim Roswantoro
UIN Sunan Kalijaga – Yogyakarta
alimroswa@yahoo.com
Abstract
Indonesia, as the plural nation in religion, has already
performed a positive and peaceful life of the religious
people who are different in faith and understanding. In
general, the life of religious people in Indonesia is lasting
well and peacefully. It does not mean that there never be
religious conflicts of the different religious people in
Indonesia. The conflicts had ever occurred and will
probably emerge in the future. The conflicts were often
seen as threat, or negativity, of religious life among
different-religious people in Indonesia. The writing does
not deny that indeed the conflicts are not wanted and have
to be overcome. But since the conflicts cannot be avoided
from the life of different-religious people of Indonesia, the
writing philosophically intend to see and understand the
conflicts in a different way. The religious conflicts can be
positively seen and understood, that is, as part of
communication among different-religious people
interacting in public sphere. Conflict-resolution that gives
the win-win solution for those who are involved in the
conflict has to be principle that should be made to be
tradition. Conflict resolution will be successful if the
transcendently moral principles, such as mutual respect,
Pendahuluan
Perbedaan antar agama, kepercayaan keagamaan, dan
pemahaman keagamaan, berpotensi memunculkan konflik. Namun
dalam beberapa hal perbedaan keagamaan mampu menjadi medium
bagi orang-orang yang berbeda agama, kepercayaan keagamaan,
dan pemahaman keagamaan untuk mendewasakan keberagamaan
masing-masing.
Bagaimana mereka yang berbeda dalam religiusitas tidak
meninggikan martabat agama dan keberagamaannya dengan cara
pemaksaan kehendak dan kekerasan fisik. Hal ini merupakan
1
Jonathan Sacks, Not in God’s Name: Confronting Religious Violence (Edinburg:
Hodder & Stoughton, An Hachette UK Company, 2015), 265.
2
Lihat Oliver McTernan, terutama pada bagian “Religion and the Legitimation
of Violence” dalam bukunya Violence in God’s Name (London: Darton,
Longman Todd Ltd., 2003), 45-76.
3
Graham E. Fuller, A World Without Islam (New York: Little, Brown and
Company, 2010), 348.
4
M. Amin Abdullah, “Peran Pemimpin Politik dan Agama dalam Mengurai dan
Resolusi Konflik dan Kekerasan” dalam Alim Roswantoro dan Abdul Mustaqim
(ed.), Antologi Isu-isu Global dalam Kajian Agama dan Filsafat (Yogyakarta:
Prodi Agama dan Filsafat Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dan Penerbit Idea
Press, 2010), 1.
5
Henry Murray, Explorations in Personality (New York: Oxford University,
1938), 77-79.
6
Jean Poitras and Pierre Renaud, “Introduction,” dalam Mediation and
Reconciliation of Interest in Public Disputes (Ontario: Carswell Thomson
Professional Publishing, 1997), 1.
9
Robby I. Chandra, Konflik dalam Hidup Sehari-hari (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1992), 20-21.
BAGAIMANA BAGAIMANA
13
Brett R Noel, Ann Torfin Shoemake, and Claudia L. Hale, “Conflict
Resolution in a Non-Western Context: Conversations with Indonesian Scholars
and Practitioners” dalam Conflict Resolution Quarterly, vol. 23, no. 4, Summer
(2006): 430-431.
Morisson,14 ada lima prinsip mediasi yang harus ada, yaitu sebagai
berikut:
1. Mediasi adalah proses pemecahan masalah; parameter
ditentukan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik (Problem
solving process: parameters defined by parties).
2. Pendekatan berbasis kepentingan dengan fokus pada masa
depan (Interest based approaches with ‘future’ focus).
3. Penciptaan sesering mungkin pihak-pihak yang berkonflik
saling berbicara secara langsung (Parties often speak directly
to each other).
4. Fakta-fakta dan penalaran adalah penting (Facts and reasoning
are important).
5. Kesepakatan yang didasarkan pada hasil saling memuaskan
(Agreement based on mutual satisfaction).
18
Nigel Dower, An Introduction to Global Citizenship (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 2003), 69.
19
Ibid. Lihat J. Macquarrie, The Concept of Peace (New York: Harper and Row,
1973) dan A. Curle, True Justice (London: Quaker Home Service, 1981).
20
J.E. Rash, Islam and Democracy: A Foundation for ending extrimsm and
preventing conflict (Wingspan, 2006),31.
21
Alim Roswantoro, “Islam dan Pembangunan Perdamaian: Mengenal
Pemikiran J.E. Rash” dalam Teologia Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, Fakultas
Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, vol 20, Nomor 1( Januari 2009) : 189.
Penutup
Resolusi konflik-konflik religius yang terbaik adalah resolusi
yang dibangun dari dalam umat beragama itu sendiri. Apa yang kita
ketahui dari Islam, Kristen, dan agama-agama lainnya adalah orang
harus bertanggungjawab terhadap diri mereka sendiri dan melalui
pengalaman-pengalaman hidup mempertahankan kehidupan yang
damai, aman, dan nyaman. Perasaan damai, saling menghargai,
saling memberdayakan dari suatu masyarakat religius yang
beragam akan lebih bertahan lama dan fundamental sifatnya jika
datang dari dalam masyarakat religius yang beragam itu sendiri,
daripada dari luar mereka. Tentu saja mengondisikan perdamaian
religius dari luar bukan hal yang buruk malah memang tidak bisa
dihindari untuk dilakukan. Namun hanya berhenti di sini tidaklah
cukup dan harus diikuti dengan proses penanaman nilai-nilai moral
kemanusiaan secara terus-menerus yang dipandang sebagai inti sari
Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin. “Peran Pemimpin Politik dan Agama dalam
Mengurai dan Resolusi Konflik dan Kekerasan.” Dalam Alim
Roswantoro dan Abdul Mustaqim (ed.). Antologi Isu-isu
Global dalam Kajian Agama dan Filsafat. Yogyakarta: Prodi
Agama dan Filsafat Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dan
Penerbit Idea Press, 2010.
Chandra, Robby I. Konflik dalam Hidup Sehari-hari. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 1992.
Coward, Harold and Smith, Gordon S.. (eds.). Religion and
Peacebuilding. Albany, New York: State University of New
York Press, 2004.
Curle, A. True Justice.London: Quaker Home Service, 1981.
Dower, Nigel. An Introduction to Global Citizenship. Edinburgh:
Edinburgh University Press, 2003.
Fiadjoe, Albert. Alternative Dispute Resolution: A Developing
World Perspective. London. Sydney, Portland, Oregon:
Cavendish Publishing Limited, 2004.
Fuller, Graham E.. A World Without Islam. New York: Little,
Brown and Company, 2010.
Litte, David and Appleby, Scott. “A Moment of Oppurtunity? The
Promise of Religious Peacebuilding in an Era of Religious and
Ethnic Conflict.” Dalam Harold Coward and Gordon S. Smith
(eds.). Religion and Peacebuilding. Albany, New York: State
University of New York Press, 2004.
Macquarrie, J. The Concept of Peace. New York: Harper and Row,
1973.
McCartney, Clem. “Approaches To Ethnic And Religious Conflict
Resolution: Managing, Resolving Or Transforming.” Dalam
Taryono (ed.). The Making of Ethnic and Religious Conflicts in
Southeast Asia: Cases and Resolutions. Yogyakarta, Penang:
Center for Security and Peace Studies (CSPS) Universitas
Gadjah Mada & Southeast Asian Conflict Studies Network
(SEACSN) Universiti Sains Malaysia, 2004.
McTernan, Oliver. Violence in God’s Name. London: Darton,
Longman Todd Ltd., 2003.
Akhmad Siddiq
shidiq987@yahoo.com
Fatimah Husein
fatimahhusein@yahoo.com
Leonard C. Epafras
leonard.epafras@mail.ugm.ac.id
Abstract
Introduction
When I visited Jakarta for the first time in 1998, a friend of mine
from the city asked me curiously, “Are you Madurese? I didn’t hear
22
He is a Madurese poet who wrote many issues relating to Madura and
Madurese culture. Among his writing are Semerbak Mayang (1977), Celurit
Emas (1980), Bulan Tertusuk Ilalang (1982), Raden Sagoro (1984), Madura
Akulah Darahmu (1999), and Mata Badik Mata Puisi (2012). He achieved many
awards, e.g. The S.E.A Write Award.
28
He is a prominent figure, politician, lecture and lawyer. He was the chief
justice of the Constitutional Court of Indonesia, the Minister of Defense (2000)
and the Minister of Justice and Human Rights (2001).
29
Roger Brubaker, Ethnicity Without Groups (Harvard: Harvard University
Press, 2004), 72.
30
Joshua Aronson and Matthew S. McGlone, “Stereotypes and Social Identity
Threat” in Nelson, Todd D, Handbook of Prejudice, Stereotypes, and
Discrimination (New York: Psychology Press, 2009), 154.
31
Isnani, “Kehidupan Orang-Orang Madura di Kota-kota Perantauan,”
Lokakarya Laporan Penelitian Sementara, 4-6 Juli, published in proceeding
book, Madura II, published by Department of Education and Culture, Republic
of Indonesia, (1978), 154-176.
32
Thomas Hylland Eriksen, Ethnicity and Nationalism: Anthropological
Perspectives (New York: Pluto Press, 2010), 11.
33
Gerry van Klinken, Communal Violence and Democratization in Indonesia:
Small Town Wars (New York: Routledge, 2007), 65.
34
This is compared with Javanese or Sundanese people who are stereotyped as
relatively white, calm and quiet.
35
Read Ladislav Holy and Milan Stuchlik, Actions, Norms and Representations:
Foundation of Anthropological Inquiry (Cambridge: Cambridge University
Press, 1983).
Craig Prentiss assumes that religion has a subtle but significant role
in making and preserving the social construction of race and
ethnicity. In the fundamental argument, he insists that race and
ethnicity are the product of human imagination: they did not exist
from the beginning of time, but a result of complex interplay of
human construction. Within this connection, religion originates
from playing its role.41 This idea follows what Berger elucidates in
his Social Construction of Reality that reality was socially
constructed through the sociological transformation of human life.42
43
Mien A Rifa’i, Manusia Madura, (Yogyakarta: Pilar Media. 2007), 30.
44
Interview with D. Zawawi Imron, 26/10/2017.
45
Thomas Hylland Eriksen, Ethnicity and Nationalism: Anthropological
Perspectives (New York: Pluto Press, 2010), 4-5.
46
Fredrick Barth, Ethnic Group and Boundaries (Boston: Little Brown and
Company, 1969), 10-11.
Self-Perpetuating
52
Based on Madurese mythology, traditional Madurese perceived the north as a
threat of the past from which their ascendant came and avoided to remember that
memory.
53
Pudji Pratitis Wismantara, “Struktur Pemukiman Taneyan Lanjheng Berbasis
Budaya Santri dan Non-Santri di Madura” in Argo Twikromo et.al, Pencitraan
Adat Menyikapi Globalisasi (Yogyakarta: PSAP UGM, 2010), 174-211.
54
Wolfgang Mieder, Proverbs: A Handbook (London: Greenwood Press, 2004),
1.
55
Misnadin, “Nilai-nilai Luhur Budaya dalam Pepatah-pepatah Madura (Positive
Cultural Values of Madurese Proverbs)” Atavisme Jurnal Ilmiah Kajian Sastra,
Vol. 15, No. 1. (2012), pp. 75-84.
56
Iqbal Nurul Azhar, “Karakter Masyarakat Madura dalam Syair-syair Lagu
Daerah Madura” Jurnal Atavisme, Vol 12, No 2, Desember (2009): 217-227.
57
Read Benjamin Lee Whorf, Language, Thought and Reality: Selected Writings
of Benjamin Lee Whorf (Massachusetts: The MIT press, 1962), 207-219; Julia M
Penn, Linguistic Relativity versus Innate Ideas (Paris, Mouton, 1972), 53-56.
58
Mien A Rifa’i, Lintasan Sejarah Madura. (Surabaya: Yayasan Lebbar Legga,
1993), 49.
59
Based on my interview with several priests in four municipalities (Bangkalan,
Sampang, Pamekasan, and Sumenep) in Madura, it is proven that more than 30
Madurese individuals embraced Christianity and Catholicism in our times.
60
Read Asy’ari, Melintasi Batas-Batas Beragama: Studi Atas Konstruksi Sosial
Keagamaan dalam Membangun Kerukunan Antar Umat Islam dan Kristen di
Desa Sumberpakem Kecamatan Sumberjambe Kabupaten Jember Jawa Timur
(Thesis--State Islamic University of Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2016); Edy
Sumartono, Kidung di Kaki Gunung Raung (Bandung: Bina Media Informasi,
2009).
61
Interview with Latief Wiyata, 17/11/2017.
62
Iik Arifin Mansurnoor, Islam in an Indonesian World: Ulama of Madura
(Yogyakarta: Gadjah Mada University, 1990), 335.
63
To understand the relationship between kiai and blater on competing social
power in Madura, read Abdul Rozaki, Menabur Kharisma Menuai
Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater Sebagai Rezim Kembar di Madura (Yogyakarta:
Pustaka Marwa, 2004).
64
For further reading of klebun and its relation with the kiai, read Endy Saputra,
Kiai Langgar and Kalebun: A Contestation between Cultural Broker in a Non-
Pesantren Village in Madura, Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2009).
65
Yanwar Pribadi, Islam and Politics in Madura: Ulama and Other Local
Leaders in Search of Influence (1990-2010) (Doctoral thesis--Leiden University,
Leiden, 2013), 9.
66
Latief Wiyata, Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura
(Yogyakarta: LKiS, 2002).
69
Lawrence Husson, “Eigth Centuries of Madurese Migration to East Java,”
Asian and Pacific Migration Journal, Vol 6, No 1, (1997), 77-102.
70
Muhammad Djakfar, “Tradisi Toron Etnis Madura: Memahami Pertautan
Agama, Budaya, dan Etos Bisnis,” Jurnal el Harakah, Vol 14, No 1, (2012), 34-
50.
71
Take an example of the case of Suramadu Bridge plan where Madurese ulama
—representing Madurese society—rejected the plan in the name of religious
idealism, cultural values of the Madurese, and social sustainability. The
resistance brings the issue of out-group expansion into Madura as a threat toward
in-group existence of the Madurese. Read Yanwar Pribadi, “The Suramadu
Bridge Affairs: Un-Bridging the State and the Kyai in New Order Madura,”
Studia Islamika, Vol 22, No 2, (2015), 233-268.
72
Interview with Hermawan (4/12/2017).
73
Interview with Bing, Eko, Erni, Frans, Ana, and Sumardi.
74
Isnani, “Kehidupan Orang-orang Madura di Kota-Kota Perantauan,” Research
paper presented in in Lokakarya, Batu, 4-6 July, (1978).
75
Richard Jenkins, Rethinking Ethnicity: Arguments and Explorations (Los
Angeles: Sage Publication, 2008), 10.
76
Max Weber, Economy and Society (Berkeley: University of California Press,
1978), 389.
77
Eriksen, Thomas Hylland. Ethnicity and Nationalism: Anthropological
Perspectives (New York: Pluto Press. 2010), 2.
78
Anselm Strauss, The Social Psychology of George Herbert Mead (Chicago:
The University of Chicago Press, 1956), xiii.
79
Randal Collins, Interaction Ritual Chains (Princeton: Princeton University
Press, 2004), 5-6.
84
Christanto P Raharjo, “Pendhalungan: Sebuah Periuk Besar Masyarakat
Multikultural,” paper presented in the conference of Jelajah Budaya, 13 August,
(2006).
85
Read Lawrence Husson, “Eigth Centuries of Madurese Migration to East
Java,” Asian and Pacific Migration Journal, Vol 6, No 1, (1997), 77-102.
86
Richard Jenkins, Social Identity (London: Routledge, 2004), 5.
87
Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life (Edinburgh:
University of Edinburgh, 1956), 132-151.
88
Randal Collins, Interaction Ritual Chains (Princeton: Princeton University
Press, 2004),4.
89
Interview with Emma, 9/11/2017.
90
Mario Apostolov, The Christian–Muslim Frontier: A Zone of Contact, Conflict
or Cooperation (London: Routledge-Curzon, 2004), 105.
Conclusion
91
Ibid., 1.
92
Interview with Sumardi, 25/1/2017.
93
Richard Jenkins, Rethinking Ethnicity: Arguments and Explorations (Los
Angeles: Sage Publication, 2008), 14.
References
96
Clifford Geertz, Peddlers ad Princes: Social Development and Economic
Change in Two Indonesia Towns (Chicago: University of Chicago Press, 1963),
150.
Jonge, Huub de, et. al. (ed.). Across Madura Strait. Leiden: KITLV
Press. 1995.
Jonge, Huub de. “Why the Madurese? Ethnic Conflicts in West and
East Kalimantan Compared,” Asian Journal of Social
Science,Volume 34, Issue 3. 2006.
atjaturr@gmail.com
Abstract:
dan berakhir pada gesekan dan konflik horisontal berdasarkan suku dan
agama. Artikel ini ditulis dengan menggunakan metode komparatif, yakni
dilakukan dengan menggali gaya kepemimpinan religius pemuka agama
Katolik, khususnya dua orang Paus Gereja Katolik di masa Perang Dunia
pertama dan kedua, yakni Benediktus XV dan Yohanes XXIII. Kedua
Paus itu tampil sebagai bapa yang mencintai dan merangkul semua orang
dan bangsa, menjadi juru-damai, serta mengajak para pemimpin bangsa
untuk membangun cohabitation yang damai, yang menghormati hak dan
martabat pribadi manusia, serta menegakkan keadilan bagi semua orang.
Kedua Paus itu telah menjadi man of communion dan sign of peace yang
efektif dalam situasi konflik mondial. Dari studi komparatif dapat
ditemukan bahwa untuk bisa menjadi man of communion dan sign of
peace dalam situasi konflik para pemimpin ormas keagamaan di
Indonesia perlu menahan diri agar tidak terkooptasi dan menjadi
sektarian, partisan atau parsialistik di hadapan dan di dalam kelompok
yang dipimpinnya sendiri. Dalam konflik karena faktor apapun, para
pemimpin ormas keagamaan sejatinya hanya mengawasi apakah terjadi
pelanggaran terhadap hak asasi manusia, keadilan, atau bonum
commune.]
any factors, the religious mass organization leaders might only observe
whether there is a violation of human right, justice or bonum commune. If
there is any, regardless from which race, religion, and class the victims are,
they should fight for the justice, invoke human right, and generate bonum
commune based on the legal law, by encouraging peace and harmony in the
society.
Pendahuluan
98
John N.D. Kelly, Grande Dizionario Illustrato dei Papi, terj. A. Riccio (Casale
Monferrato: Piemme,1995), 744.
99
Erminio Lora dan Rita Simionati, eds., Enchiridion delle Encicliche, vol. 4,
Pio X e Benedetto XV (1903-1922) (Bologna: Dehoniano, 1998), 455.
106
John XXIII, Journal of a Soul, terj. Dorothy White (London: Geoffrey
Chapman, 2000), 190.
107
John XXIII, Journal of a Soul, 192.
108
. Allegri, Il Papa Buono: La Storia di Giovanni XXIII (Milano: Oscar
Mondadori, 2000), 182; A. Tjatur Raharso, Pernak-Pernik Ajaran dan
Keutamaan San Giovanni XXIII (Malang: Widya Sasana Publication, 2014), 154.
pada saat ini. Itu keliru besar. Bagi seorang imam, semua orang
adalah saudara dan saudari”.111
111
Allegri, Papa Buono, 183.
112
Benediktus XV, Ensiklik Ad Beatissimi Apostolorum Principis, 1 November
1914, dalam Enchiridion delle Encicliche, vol. 4, Pio X e Benedetto XV (1903-
1922), ed. Erminio Lora dan Rita Simionati (Bologna: Dehoniano, 1998), 467.
113
Yohanes XXIII, Litt. Enc. Pacem in Terris, 11 April 1963, dalam Enchiridion
delle Encicliche, Vol. 7, Giovanni XXIII e Paolo VI, ed. Erminio Lora dan Rita
Simionati (Bologna: Dehoniano, 1994), 433.
115
Ibid. 403-407.
116
Yohanes XXIII, Pacem in Terris, 407-409.
117
Ibid. 431-433.
119
Yang dimaksud dengan klerikus (clerics) ialah pemimpin umat Katolik yang
telah ditahbiskan menjadi diakon, imam, atau Uskup. KHK adalah singkatan dari
Kitab Hukum Kanonik (Latin: Codex Iuris Canonici), sebuah kitab UU yang
dikeluarkan oleh kuasa legislatif tertinggi Gereja Katolik dan diberlakukan di
seluruh Gereja Katolik di dunia. Yang berlaku sekarang ialah yang diundangkan
pada tanggal 25 Januari 1983 (KHK 1983), untuk menggantikan yang
dikeluarkan pada tahun 1917 (KHK 1917). Pasal-pasal dalam UU ini disebut
dengan istilah “kanon” (disingkat kan.).
pada umat Katolik saja, melainkan dengan semua orang dari semua
golongan SARA. Norma tersebut merumuskan secara positif apa
yang ditetapkan secara negatif oleh UU lama: “Para klerikus juga
dilarang berpartisipasi dengan cara apapun dalam perang saudara
atau huru-hara publik” (KHK 1917, kan. 141).120
120
John P. Beal, James A. Coriden, dan Thomas J. Green, eds., New Commentary
on the Code of Canon Law (New York: Paulist Press, 2000), 379. Dalam bahasa
Latin norma lama itu berbunyi: “Neve intestinis bellis et ordinis publici
perturbationibus opem quoquo modo ferant (clerici)”.
121
Konsili Vatikan II, Dekret Presbyterorum Ordinis, 7 Desember 1965, dalam
Dokumen Konsili Vatikan II, terj. Robertus Hardawiryana (Jakarta: Dokpen KWI
126
Jorge De Otaduy, Exegetical Commentary on the Code of Canon Law, Vol.
II/1, ed. Angel Marzoa, Jorge Miras, dan Rafael Rodríguez-Ocaña (Canada /
Chicago: Wilson&Lafleur / Midwest Theological Forum, 2004), 385-87.
127
Konsili Vatikan II, Presbyterorum Ordinis, 473.
Penutup
Daftar Pustaka
Beal, John P., James A. Coriden, dan Thomas J. Green, eds. New
Commentary on the Code of Canon Law. New York: Paulist Press,
2000.
ahmad_salehudin@yahoo.co.id
Abstract
Pendahuluan
149
Lihat Badrus Saleh, Conflict, Jihad, and Religious Identity in Maluku,
Eastern Indonesia, dalam al-Jamiah Journal of Islamic Studies UIN Sunan
Kalijaga,Volume 46, No. 1/2008, hlm. 72.
150
Muhammad Harfin Zuhdi, “Radicalism and Effort De-Radicalization of
Religious Understanding”, dalam The Strategic Role of Religious Education in
the Development of Culture of Peace, (Jakarta: Center for Research and
Development of Religious Education and Religion Ministry of Religious Affairs
of the Republic of Indonesia, 2012), hlm. 252.
151
Menurut Mead sebagaimana dikutip oleh Deddy Mulyana, identitas sosial
yang dikaitkan dengan etnisitas bertolak dari konsep diri individu dalam
berkelompok itu bersumber dari partisipasinya dalam budaya dimana ia
dilahirkan dan diterima. Budaya diperoleh individu melalui simbol-simbol yang
memberikan makna dengan cara eksprimentasi terus menerus sehingga
membentuk ikatan kekeluargaan (familiarity), Lihat, Deddy Mulyana,
Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hlm.
231
Tulisan lain yang terfokus pada sejarah juga dapat dilihat dari
Masmedia Pinem dengan judul Masjid Pulo Kameng Akulturasi
dan toleransi Masyarakat Aceh. Hasil penelitian Masmedia
mengatakan bahwa sejarah berdirinya masjid Pulo Kameng
merupakan hasil dari akulturasi budaya Cina, Hindu-Budha dan
kebudayaan setempat. Pendirian masjid Pulo Kameng dilaksanakan
pada masa kerajaan Teuku Kejruen Amansyah, pada tanggal 28
Ramadan 1285 H/12 Januari 1869 M dengan melibatkan
masyarakat sekitar dari berbagai wilayah dari Kampung Paya,
Kampung Purut, Kampung Kluet, Kampung Krueng Batu,
Kampung Ruwak, dan Kampung Tinggi.
Tulisan lain yang mengkaji tentang masjid adalah tulisan Yulia Eka
Putri yang berjudul Kontradiksi Simbol dan Substansi Nilai Islam
dalam Arsitek Masjid. Penelitian ini melibatkan beberapa masjid
yaitu Masjid Agung Semarang, Masjid An-Nur Pare, Kediri, Masjid
At-Tin TMII dan Masjid Dian al-Mahri, Depok. Penelitian tersebut
Dari beberapa penelitian tersebut, ada tiga fokus yang menjadi ciri
khusus dari penelitian tentang masjid yaitu: sejarah berdirinya
masjid, peran dan manfaat masjid dalam menegakkan ajaran dan
syari’at Islam serta kajian arsitektur, dan simbol dari bangunan
masjid. Pada kasus komunitas tiga masjid, yaitu Masji Saka
Seorang komunitas Islam aboge (alif rabo wage) yang hidup dan
berkembang dengan berpusat di Masjid Saka Tunggal Cikakak
Banyumas misalnya, dapat menjadi contoh baik bagaimana
individu (penganut Islam Aboge) dan komunitasnya (kelompok
Islam Aboge) berkembang dan berproses dengan cara yang
berbeda. Identitas sebagai penganut Islam Aboge hanyalah satu dari
sekian identitas yang melekat dirinya. Identitas sebagai penganut
Islam aboge melekat pada individu sebagaimana identitas-identitas
lainnya melekat, misalnya sebagai ayah, menantu, petani, dan lain
sebaginya. Identitas-identitas tersebut menjadi sumber referensi
bagaimana individu melakukan konseptualisasi dan sekaligus
memaknai hidup dan kehidupannya. Dalam konteks ini keberadaan
komunitas Islam Aboge menjadi sangat penting bagi penganut
Islam Aboge, yakni sebagai collective awareness untuk merespon
dan menjalani kehidupannya.
153
Idham Putra, “Teori Identitas Sosial”, dalam
http://idhamputra.wordpress.com. Diunduh 4 April 2015.
154
Idham Putra, “Teori Identitas Sosial”, Diunduh 4 April 2015
162
A.A. Ngurah Ketut Jelantik Tjelagie memiliki peran besar dalam
menyebarkan Islam dan membangun kehidupan yang harmoni antara Islam dan
tradisi Bali, salah satunya adalah menulis ulang al-Quran dengan hiasan motif
khas Bali di bagian pinggirnya. Al-Quran tulisan tangan A.A. Ngurah Ketut
Jelantik Tjelagie saat ini tersimpan di masjid Agung Jami’ Singaraja dalam
kondisi tidak terawat. Al-Quran bersejarah tersebut diletakkan dalam kotak kaca
terkunci dibagian belakang mimbar tanpa mendapat perawatan yang layak,
kelihatan kumal dan lusuh. Hanya diletakkan dalam kotak kaca yang dikunci
dengan kunci gembok.
163
Masjid tua atau masjid keramat ditemukan oleh masyarakat Muslim yang
pindah dari pelabuhan Buleleng ke pinggiran Sungai Tukad Mungga pada tahun
1654. Jarak pelabuhan Buleleng ke Sungai Tukad Mungga sekitar 500 meter.
Pada saat ditemukan, bangunan segi empat berukuran 15 kali 15 meter persegi
tersebut dipenuhi semak belukar dan di dalamnya terdapat sebuah mimbar
masjid yang diukir dari ornamen khas Bali. Warga berkesimpulan bangunan ini
adalah masjid. Sayangnya, tidak diketahui siapa yang telah membangunnya.
Namun demikian, warga terus berupaya menjaga keaslian bangunan tersebut.
Tiga pintu masjid masih terlihat ukiran ormanem khas Bali. Dindingnya berasal
dari kapur yang dicampur bebatuan. Terlepas dari siapa saja yang telah
membangunnya, keberadaan masjid kuno atau masjid keramat tersebut
menunjukkan bahwa kawasan pelabuhan Buleleng merupakan daerah
persinggahan para saudagar Muslim. Selain itu, keberadaan masjid tersebut
menjadi bukti bahwa di daerah Buleleng pada tahun 1654 telah disinggahi
(ditinggali) oleh orang-orang Islam.
164
Alasan serupa terjadi pada pembangunan Masjid Raya Al Fatah Ambon. Lebih
lanjut pembahasan tentang Masjid Raya Al Fatah akan dibahas tersendiri.
165
Penulis sempat terkejut dengan pembacaan qunut tersebut, namun ternyata
pembacaannya bukan sebuah kebetulan, tetapi memang dilakukan dengan
Hari Jumat menjadi salah satu hari yang menarik. Suara speaker
yang memperdengarkan pembacaan ayat-ayat suci al-Quran
terdengar beberapa saat sebelumnya pelaksananaan salat Jumat.
Takmir menyalakan perangkat elektronik untuk menunjang
kelancaran salat, seperti microphone dan video shooting. Video
digunakan untuk menshooting khotib yang sedang membaca
khutbah Jumat dan Imam yang sedang memimpin salat. Salat Jumat
dilakukan dengan adzan dua kali, khutbah dengan bahasa
Indonesia, dan setelah selesai diawali dengan dua kali. Menurut
penuturan salah seorang responden, salat tarawih dan witir 23
rakaat, walau ada juga yang hanya sebelas.
166
Fungsi Antropologi Masjid Saka Tunggal,. Hlm . 5.
dan hu’. Setelah selesai wiridan, pak imam memimpin para jamaah
untuk melaksanakan salat sunnah yang jumlahnya sekitar 10 salam,
dimana masing-masing salam berjumlah dua rakaat. Setelah selesai
melaksanakan salat sunnah tersebut, dilanjutkan dengan
pelaksanaan salat Isya’ secara berjamaah. Rangkaiannyapun dan
ritual yang dilakukan sama dengan pelaksanaan salat maghrib. Ada
kejadian unik dan mendebarkan pada saat dzikiir setelah salat Isya’,
tiba-tiba salah satu jamaah mematikan semua lampu dan pintu
masjid juga ditutup. Setelah selesai dzikir baru dihidupkan dan
dibuka lagi.
Penutup
Daftar Pustaka
gustigarnis@gmail.com
Hermanu Joebagio
hermanu.joebagio@gmail.com
Sariyatun
sari_fkip_uns@yahoo.co.id
Abstract
Pendahuluan
169
Yusita Kusumarini, Teori Semiotik (Surabaya: Universitas Kristen Petra,
2006), 31.
170
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika Tafsir Cultural Studie Atas Matinya
Makna (Yogyakarta: Jalasutra, 2003), 54.
171
Endraswara,Memayu Hayuning Bawana (Jakarta: Narasi, 2013), 16-17.
173
Sasmita, G, “Serat Jangka Jayabaya: Relasi Sastra, Sejarah dan
Nasionalisme”, Historica Volume 6 Nomor 2 (2018), 391-402.
Keadilan (Equity)
rakyat sudah tidak mampu membayar pajak berupa emas atau uang,
sehingga apapun yang dimilikinya digunakan untuk membayar
pajak.
177
Suyami, Kajian Budi Pekerti, 134.
Kesederajatan (equality)
178
Suyami, Kajian Budi Pekerti, 135.
179
Soewarno, Ramalan Joyoboyo versi Sabdopalon (Kediri: Cagar Budaya,
2004), 65.
180
Endraswara,Memayu, 16-17.
181
Herusatoto, Simbolisme Jawa (Yogyakarta: Ombak, 2008), 46.
Nilai moral dan budi pekerti yang ditampilkan dalam Serat Jangka
Jayabaya merupakan pencerminan nilai humanis yang diungkapkan
pengarang melalui pencitraan tokoh Jayabaya dalam jangka tujuh
zaman. Menurut yasmiran serat jayabaya merupakan gubahan
Raden Ngabei Ranggawarsita.185 Dalam kepenulisan, seorang
pujangga memiliki konsepsi yang sama dengan budaya literasi
masa kini. Hal ini tampak dalam kajian intertekstualitas serat yang
memiliki hubungan dengan serat lainnya. Seorang pujangga dalam
karyanya seringkali memuat kutipan karya lain yang berkenaan
dengan konsep pedoman yang di pegang teguh. Sarat Jangka
Jayabaya merupakan karya gubahan atau tedhakan yang senantiasa
dilestarikan karena dianggap memiliki nilai luhur dan relevan pada
zaman Ranggawarsita.
183
E. M. Setiadi, Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala
Sosial: Teori, Aplikasi dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana Prenada Group,
2018), 187.
184
Ibid., 188.
185
Wawancara dengan Yasmiran, 17/02/2018
Kesimpulan
Referensi
Niaulfia5544@gmail.com
Warto
warto_file@yahoo.com
Nunuk Suryani
nunuksuryani@staff.uns.ac.id
Abstract
Pendahuluan
202
Bradbury,Pengantar Teori-Teori Sosial (Edisi Revisi) (Jakarta: Obor, 2016),
118.
yang hidup pada saat peristiwa terjadi dan studi pustaka terhadap
penelitian terdahulu mengenai budaya ponorogo, eksistensi warok
dan gemblak, dan agama mayoritas masyarakat. Kritik sumber
dilakukan untuk menguji kebenaran informasi melalui penyelidikan
latar belakang informan dan melakukan perbandingan serta
pencocokan antara sumber satu dengan lainnya. Penelitian ini
berusaha menganalisis eksistensi warok dan gemblak dalam
struktur sosial masyarakat Ponorogo, modal sosial yang berhasil
digunakan dalam melanggengkan ideologi kanuragan di tengah
masyarakat muslim, dan pengaruhnya bagi masyarakat luas yang
membuktikan tingginya eksistensi warok sebagai elit strategis di
abad ke-20.
203
Taufiq, “Perilaku Ritual Warok Ponorogo”, 118.
204
NeilMulder, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa, Kelangsungan
dan Perubahan Kulturil (Jakarta: PT Gramedia, 1984), 19.
205
Kodiran,“Akulturasi Sebagai Mekanisme Perubahan Kebudayaan”,Jurnal
Humaniora, No.8, Agustus 1998, 87.
206
H.K.Romli, “Akulturasi dan Asimilasi dalam Konteks Interaksi Antar
Etnik”,Jurnal Ijtimaiyya, Vol. 8, No. 1, Februari 2015, 1.
Budaya pada prinsipnya mencakup dua dimensi yakni fisik dan non
fisik seperti agama, kesenian, kepercayaan dan lain sebagainya.
Adanya dimensi budaya tersebut turut mempengaruhi pola hidup
suatu kelompok masyarakat. Budaya digambarkan sebagai sebuah
tatanan yang sengaja disosialisasikan secara turun temurun yang
mengandung norma dan nilai yang telah disepakati oleh
masyarakat. Budaya sebagai bentuk perilaku suatu kelompok
masyarakat yang terlokalisasi atau disebut sebagai budaya lokal
memang tidak dapat dibatasi oleh dimensi budaya saja melainkan
terbatas pada garis wilayah yang didiami oleh suatu kelompok.209
Sebagai contoh budaya yang berlaku dalam masyarakat Ponorogo
hanya dianut dan hanya ada di wilayah tersebut, meskipun tidak
207
Ibid.
208
HamzahJunaid, “Kajian Kritis Akulturasi Islam dengan Budaya Lokal”Jurnal
Sulasena, Vol. 8, No. 1, 2013, 1. [DOI: https://doi.org?10.24252?.v8i1.1271].
209
Kodiran,“Akulturasi”, 2.
dengan tujuan menahan hawa nafsu pada suatu hal yang bersifat
buruk merupakan ajaran Islam. Sementara itu, perilaku atau lelakon
warok dalam mendapatkan kesaktian dan kesempurnaan ilmu turut
menggambarkan adanya proses dialektika antara agama dan budaya
yang eksis dalam masyarakat.
215
PeterBurke, Sejarah dan Teori Sosial, (Jakarta: Obor, 2015), 102.
216
Moelyadi,Ungkapan Sejarah,106-107.
217
Khoirurrosyidin,“Dinamika Peran Warok”, 26.
[http://ejournal.umm.ac.id.index.php/humanity/article/view/2389].
218
Ibid., 41.
219
S Yuwana, Homoseksual Di Kalangan Warok, Warokan, Sinoman, Gemblak Di
Desa Sumoroto, Kecamatan Kauman, Kabupaten Ponorogo (Jakarta: Universitas
Indonesia, 1994). 121.
220
DaniCavallaro, Teori Kritis dan Teori Budaya (Yogyakarta: Futuh Printika,
2004). 36.
sistem kultural yang dihargai oleh kelompok atas. Citra warok yang
dianggap sebagai sesepuh terhormat, membuat masyarakat
perlahan menerima gemblak sebagai bagian dari tatanan alamiah.
Praktek menggemblak yang dianggap sebagai tipe normal ini
menjadi salah satu alasan berkembang dan bertahannya tradisi
tersebut. Menurut Durkheim, fakta sosial memiliki tiga sifat yaitu
(1) ekternal, fakta berada diluar pertimbangan manusia, (2) koersif
(memaksa), fakta yang memiliki kekuatan menekan dan memaksa
individu dalam menerima dan melaksanakannya, dan (3) menyebar
(general), fakta sosial merupakan milik bersama, bukan sifat
individu perseorang. Fakta sosial terkait praktek menggemblak
mendorong terciptanya mentalitas kolektif sehingga menjadi
collective memory masyarakat. Memori kolektif akan adanya
gemblak, dijadikan sebagai modal sosial dalam melanggengkan
praktek hegemoni kelompok tertentu. Dalam hal ini, kelompok
yang dimaksud adalah kelompok warok, warokan, dan masyarakat
yang menjadikan gemblak sebagai simbol status sosial.
221
Mbah Tobroni (Warok), wawancara (2 Februari 2016).
222
S.M. Harahap, “Islam dan Budaya Lokal, Studi terhadap Pemahaman,
Keyakinan, dan Praktik Keberagamaan Masyarakat Batak Angkola di
Padangsidimpuan Perspektif Antropologi”, Jurnal Toleransi: Media Komunikasi
Umat Beragama, Vol.7, No.2, Juli-Desember 2015, 155.
224
Rofiq, “Dakwah Kultural”, 309.
Kesimpulan
Daftar Pustaka
Burke, Peter. Sejarah dan Teori Sosia, Edisi Kedua. Jakarta: Obor,
2015.
Reni Dikawati
renydika77@gmail.com
Sariyatun
sari_fkip_uns@yahoo.co.id
Warto
warto_file@yahoo.com
Abstract:
Pendahuluan
228
Damar Sasangka. Dharmogandhul: Kisah Kehancuran Jawa dan Ajaran-
Ajaran Rahasia. (Jakarta: Dolphin, 2011), 311.
229
Dinamikadari proses transformasi wacana di lingkungan sosial mengalami
penyesuaian konteks, kepentingan, dan tujuan. Diskursus ini memiliki power
untuk menguatkan, mengukuhkan, atau menggoyahkan tatanan yang telah ada.
Kebenaran dalam wacana bersifat dinamis. MichaelFoucaulth. Archeology of
Knowledge. (London: Routhledge, 2004), 44.
230
Ricci. New Direction in The Study of Javanesse Literature: Reasoning, Ideas,
Method, and Theories in The Study of The Literature of Java Indonesia.
(Jerusalem: Literacy Studies Hebrew University of Jerussalem, 2018), 3.
235
Salah satu ciri sastra di Nusantara bersifat anonim, pengarangnya biasa
menggunakan nama samara atau bahkan tidak menuliskan sama sekali
identifikasi dirinya. Biasanya isi dari serat mengacu pada sifat-sifat historis,
didaktis, dan religious. Damar Sasangka, Dharmogandhul, 421.
236
Peminggiran Islam secara berulang dalam teks menunjukkan adanya
keinginan melawan tatanan mapan Islam,mempertanyakan ulang, dan
menghidupkan harapan baru dengan menyebut Kristen. Hal yang harus dipahami
kecenderungan ini menunjukkan bahwa daya tarik agama dalam kehidupan
sosial menunjukkan realitas sosial yang terbangun saat itu, maka hal ini
menunjukkan bagaimana individu yang kalah, patah, dan tertindas menyuarakan
narasi pinggirannya sebagai perlawana.ibid,.
“Pitane Lata wal Ngujya/ bab agami binage tri pakawis/wit Budi
kang rumuhun/ woh kawruh kalihira/wit kuldi punika ping
tiganipun/ woh budi nama kelingan/ woh kawruh wigya mangerti.
Woh wit kuldi iku pangan/ yen wong Jawa tedhane woh wit Budi/
wong Indi nedha woh kawruh/ woh kuldi tiyang Ngarab/ trima
sugih dagangan daging alemu/ sadhiyan pakaning rayap/ kawruhe
tan dados wiji.... yang nedha woh kawruh wreksa/ anyungkemi
agama srana-srani/ nebut ngisa rohollahu/ tangia rahsaning tyas/
amangeran kawigyan lan kawruhipun/ mung ngauwr bacik lan ala/
kang bener lawan kang sisip.”240
241
R M Freener. “Religious Competition and Conflict the longue duree:
Christianity and Islam In The Indonesia Archipelago”. Asian Journal of Religion
and Society , Vol. 5, No.1. 1-22.
242
Said menegaskan bahwa orientalisme adalah suatu gaya berpikir yang dibuat
antara Timur sebagai (The Orient), dan Barat (the accident). Pola berpikir inilah
yang saat itu melingkupo kondisi saat itu, dimana yang ideal adalah Barat,
sehingga untuk menjadi sama atau modern individu harus mengikuti gaya Barat.
Lebih jauh lihat Edward Said. Orietalisme. (Bandung: Penerbit Pustaka, 2001),
12.
243
Konsep hegemonik yang dipaparkan oleh Gramci merujuk ada intelektual dan
moral. Hal ini akan mendukung sutu persetujuan dari kelas bawah atas dominasi
kelas atas, karena keberhasilan emnanamkan ideology kelompoknya.
Internalisasi ideology ini dilakukan dengan membangun sostem dan lembaga
seerti Negara, common sense, kebudyaan, pendidikan, domestifikjasi gagasan,
yang dapat emperkuat hegemoni tersebut. Andi Ariez & Nezar Patria. Antonio
Gramchi: Negara dan Hegemoni. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 171.
244
David Swartz. Cultural and Power: The Sociology of Piere Bordieu.
(Chicago: The University Of Chichago Press, 1997), 4.
248
Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi I. (Jakarta: UI Press, 2004), 51.
249
Kedigdayaan akan diperoleh individu ketika masyarakat melihat dalam
dirinya terdapat virtues. Virtues dinilai sebagai keutamaan/kebajikan utama “etis
filosofis” kebaikan (merit) penampakan ilahi (self declaration on the part of the
Gods), keberanian, kepahlawanan, dan kekestarian (martial variour). Tunggul
Wulung dalam komunitas Tegalombo menjadi virtues yang dinilai memiliki
kekuatan ilahi, sebagai ratu adil, dan pengukuhan diri dengan kekuatan-kekuatan
adikodrati (pulung) menjadi bentuk kharisma keunggulan pribadi. E Ferquson.
Background of early Chriatianity. (Grand Rapid, W.B Eerdmans, 1987), 135.
250
Patmono. “Gerakan Ratu Adil di Jawa”. Majalah Peninjau, Vol. 1, No. VI,
1979,. P. 59.
251
Bambang Noorsena. Menyongsong Sang Ratu Adil: Perjumpaan Iman
Kristen dan Kejawen. (Yogyakarta: Yayasan Andi, 2003), 21.
252
Damar Sasangka, Dharmogandhul, 327.
253
Hoekema. Kristus dan Kebudayaan: Suatu Panduan Teologi Mennonite
dalam Pangabean. Penabur Benih Mahzab Teologi: Menuju Manusia Baru.
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 177.
254
Ariarajah. Alkitab dan Orang-Orang yang Berkepercayaan Lain. (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2000),183.
255
Tunggul Wulung menilai dominasi kolonial merugikan pribumi dalam
berbagai kehidupan, bahkan untuk akses perbaikan nasib. Sistem hegemonik dan
dominasi kekuasaa mudah memancing pola perilaku hegemonik, otoriter, dan
tak-toleran. Oleh karena Tunggul Wulung menghendaki adanya kebebasan dari
ikatan kolonial, dan melahirkan counter culture terhadap hegemonik kolonial.
Taufik Abdullah. “Disekitar Masalah Agama dan Kohesi Sosial: Pengalaman dan
Tantangan”. Jurnal Masyarakat dan Budaya Vol. 1, No. 1, 2009, 21.
256
M.C Ricklef. Religious Reform and Polarization in Java. (Singapore: ISIM
REVIES 21 SPRING, 2008), 4-5.
257
Scherer Savitri Prastiti. “Harmony and Dissonance: Early Nationalist Thought
in Java”. Penerjemah. Jiman S Rimbo. Keselarasan dan Kejanggalan:
Pemikiran-Pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Abad XX. (Jakarta: PT Sinar
Agape Press, 1985), 22.
258
Anthony Reid. Religious Pluralism as an Asian Tradition dalam Risakotta.
Dealing with Diversity: Religion, Globalization, Gender, and Disaster in
Indonesia. (Yogyakarta: Indonesia consorioum for Religious Studies, 2014), 46.
259
Imam Suprayogo. Metodologi Penelitian Sosial Agama. (Bandung:
Rosdakarya, 2013), 122.
260
Pradjarta Dirjosanjoto, Pudjaprijatma, Josien Folbert. Menyimak Tuturan
Umat: Upaya Berteologi Lokal. (Salatiga: Percik, 2010), 40.
261
Akkeren P W. Dewi Sri dan Kristus: Sebuah Kajian tentang Gereja Pribumi
di Jawa Timur. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 23.
262
Agama mendukuing sub sistem lain dalam struktur sosial. Sebaliknya sosial,
politik, ekonomi memungkinkan agama mengembangkan ajarannya. Taufik
Abdulah. Agama, etos Kerja, dan Perkembangan Ekonomi. (Jakarta: LP3ES,
1978). p. 23.
263
Tobing D I. Kristologi Non Apologetis: Kristologis Hermeneutis di dalam
Konteks Postmodern dalam Y. A.A. Kontekstualisasi Pemikiran Dogmatika di
Indonesia Buku Penghormatan Prof. Dr. Sularso Sopater. (Jakarta: BPK Gunung
271
R. W Hefner. Of Faith and Commitmen: Christian Conversation in Muslim
Java. (London; University Of California Press, 1993),111.
272
Modernitas dalam hal ini tidak hanya diartikan sebagai pengunaan teknologi,
maupun embukaan pasar bebas. Karena sejatinya modernitas merupakan pola
pikir, sehingga dalam hal ini system mentalitas modern menjadi sanat penting.
Pemerintah sejalan dengan semboyannya gold glory dan gospel menhendaki
agama Kristen yang akan menjadi bagian dari system mentalitas modern, bukan
agama lainnya. Bahkan dalam struktur social terjadi perbenturan antara
pemerintah kolonial dengan entitas komunitas muslim yang disebabkan karena
sensitifitas sebagai ancaman terhadap keberadaannya. Semakin mudah untuk
dipahami mengingat dalam sejarahnya di Barat perbenturan antara islam dan
kekuatan Eropa termasuk di dalamnya Kristen. Wilfred Canwell Smith. Islam In
Modern History. (Canada: The New American Library, 1959),100.
275
Borrong, R. P. Teologi dan Ekologi Buku Pegangan.(Jakarta: Gunung Mulia,
2001),44.
276
Pendekatan sosial kultural menyebabkan transfer pengetahuan yang
dilakukan Tunggul Wulung pada komunitasnya mampu bertahan karena
menampilkan suara nyaman bahkan saat keabsahan etikanya dipertanyakan.
Relogious mindness akan berganti menjadi religiousness.
277
A Jonathan. “19th Century Christianity in Java; Kristen Jowo as a New
Dimension for Javanese Identity”. En Arche: Indonesian Journal of Inter-
Religious Studies, Vol. 1, No.1, 2011,35.
278
Seperti pilihan cara yang digunakan oleh zending kolonial dalam mewartakan
Kristen dalam konsepsi Tunggul Wulung pendidikan juga menjadi entry point
utama. Hal ini mebuktikan bahwa keterbukaan diri Tungul Wulung dalam
mengkontruksi Kristen dalam mentalitas masyarakat tegalombo tidak sekedar
menunjukkan keterputusasaan terhadap situasi dan kondisi, melainkan sebagai
jalan baru mengukuhkan eksistensi setiap individu di bawah represi kolonial.
Borrong, R. P. Teologi dan Ekologi, 45.
279
Kebebsan pada konteks ini tidak hanya mengarah pada politik. Kebebasan
juga diartikan dalam menyuarakan pendapat mempertahankan eksistensi,
memenuhi kebutuhan perekonomian. Benih kesatuan tidak akan terbentuk tanpa
upaya memenuhi kebutuhan lahiriah individu, karena dalam kondisi kekurangan,
individu akan disibukkan dengan pribadinya, tidak bergabung, berkumpul
membicarakkan kepentingan bersama. Kartiko,Pokok-Pokok,40.
Kesimpulan
280
M Kruithof. Shouting in a Dessert: Dutch Misionary Encounters With
Javanesse Islam 1850-1910. (Netherlands: Erasmus University Rotterdam,
2014), 206.
281
Ibid.,108
282
C Gulliot. Sadrach: Riwayat kristenisasi di Jawa. (Jakarta, Grafiti, 1960), 20.
lapisan tipis dalam kesadaran kultural masyrakat Jawa. Hal ini juga
menunjukkan bahwa situasi saat itu tampak dalam peralihan dari
Hindhu-Budha yang mulai bergeser dengan corak pembaharuan
dengan keyakinan Islam dan Kristen.
Daftar Pustaka
Andi Ariez & Nezar Patria. (1999), Antonio Gramchi: Negara dan
Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
luthfirahman@walisongo.ac.id
Abstract: This paper engages with the theological discourse on the state of
al-Mahdi in Shi‘Shi‘iî’
Introduction
îî{îShi‘îâî}{îhîl{îîâ}îShi‘îêShi‘î}îî
îShi‘î
“
”“”
Shi‘îîîShi‘îShi‘î
The State of aî
îîîwîî
î{âîîîh
îShi‘îî‘Mas‘ûd“î””
î{{îShi‘î{
îShi‘îShi‘îal{îal{â}âîalû
“Allah has promised, to those among you who believe and work
righteous deeds, that He will, of a surety, grant them in the land,
inheritance (of power), as He granted it to those before them; that He will
establish in authority their religion-the one which He has chosen for
them; and that He will change (their state), after the fear in which they
(lived), to one of security and peace: ‘‘”
Shaykh T{{î“’îâ’”
{â}â’îmujtama‘}â}
{â}âî“”
{î“Shi‘îî”””âââ{â{â}âîîîîShi‘î
{â}â’î——î
{î”îâûû}â┓”î“â”âh“”a{â“”aâ“”{â}â’î{î
îî
{â}â{î“
“””
}}âî
{â}â’î
’îââhMahdîMahdî”{â}â’i——î
-ââî-{îââîîîîShi‘îîîâhîâîîdîââî{î
283
He prophesied in Jerusalem from the death of Uzziah until the middle of
Hezekiah's reign (741-701 BCE). Of noble family, he was closely connected with
the royal court and, especially under Hezekiah, was prominent in public affairs.
According to legend, he was put to death by Manasseh. The prophet protests
strongly against moral laxity; kindness, pity, and justice to the poor and
underprivileged are more significant to God than offering sacrifice. The hand of
God is predominant in all historical events, even Assyria serving only as an
instrument of Divine anger. He opposes all treaties with neighboring states;
Israel as the people of God must trust solely in Him. The people of Israel will be
punished for its sins but not exterminated; a remnant will return and renew the
link between God and the Land of Israel. Isaiah is the seer of eternal peace at the
end of days when the Lord’'s Anointed shall judge the nations. See Cecil
Roth, The Standard Jewish Encyclopedia (Garden City, N.Y.: Doubleday, 1962),
971.
284
There are three types of Messianism in Israel. First, centering around the king
and the nation, expressed hope for a glorious national future under the house of
David. The second type has been apocalyptic and frequently catastrophic,
implying a divine warrior who should overthrow the heathen and establish the
kingdom of Israel. The third type of Messianism has been ethical, spiritual and
universal, almost the antithesis of the first. It has portrayed an ideal state in
which love and service actuate ruler and ruled, and the will of Jahweh is realized.
See Wilson D. Wallis, Messiahs: Their Role in Civilization (Washington:
American Council on Publ. Affairs, 1943), 5.
with justice, he will give decisions for the poor of the earth.
and the young child will put its hand into the viper’s nest.
for the earth will be filled with the knowledge of the LORD
“”-
——}
“”
—i’
îShi‘î——îîî“”“”
îShi‘î“”
î“”
î-Shi‘î
Shi‘îîîShi‘i“”
“”“”
“”
Shi‘i’’
h-
Closing Remarks
Bibliography