Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 16

PEMBATALAN SERTIFIKAT HAK MILIK ATAS TANAH

BEKAS HAK ULAYAT OLEH HAKIM DI PENGADILAN


TATA USAHA NEGARA JAYAPURA

Epifanius Ivan
Email : epifaniusivan@gmail.com
(Mahasiswa S2 Progam MKN FH UNS)
Mohammad Jamin
Email : jamin_mh@yahoo.com
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta)

Abstract
Land ownership of former certified communal rights in the Province of Papua
often lead to dispute, one of which is the conversion of communal land on
coutified land. Dispute over foumerly coutified communal land rights are resolved
through state administrative courts. The settlement of land disputes over certified
communal rights in the state administrative court may end with a verdict of
cancellation of a coutifi cate that has been more than 5 years by the judge. Based
on the above problem this writing is aimed to find out the status of land certificate
of property rights of foumer customary rights the registration of traditional land
rights transfer into individual rights, and the reason for the judge to cancel the
courtificate. The research method used in this research is empirial juridical
method. Technical analysis of data used in this research is a doctrinal approach
that is empirial with descriptive analysis method. Based on the results of the
research and discussion it can be concluded that the registration of land
transitional rights of customary land must be accompanied by customary release,
with the transfer of ownership of communal land into private property rights
accompanied by the release of customary law community no longer have
authority over the former land of coutified. The occurrence of cancellation of the
certificate of land over the rights of customary by the judge is due to legal defect
in the inssuarance.
Keyword: customary land; cancellation; land rights

Abstrak
Kepemilikan tanah bekas hak ulayat bersertifikat di Provinsi Papua seringkali
menimbulkan sengketa, salah satunya peralihan tanah ulayat di atas tanah
bersertifikat.Sengketa terhadap tanah bekas hak ulayat bersertifikat diselesaikan
melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Penyelesaian sengketa tanah bekas hak
ulayat bersertifikat di Pengadilan Tata Usaha Negara dapat berakhir dengan putusan

64
pembatalan sertifikat yang telah lebih dari 5 tahun oleh hakim. Berdasarkan
permasalahan diatas maka penulisan ini bertujuan untuk mengetahui tentangstatus
tanah sertifikat hak milik bekas hak ulayat, pengaturan pendaftaran peralihan hak
atas tanah ulayat menjadi hak perorangan, serta alasan hakim membatalkan
sertifikat.Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
metode yuridis empiris.Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan doktrinal yang bersifat empiris dengan metode analisis
deskriptif.Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa
pendaftaran peralihan tanah hak ulayat harus disertai pelepasan adat, dengan
beralihnya hak milik tanah ulayat menjadi tanah hak milik perorangan yang
disertai pelepasan adat masyarakat hukum adat tidak lagi mempunyai kewenangan
terhadap tanah bekas hak ulayat bersertifikat.Terjadinya pembatalan sertifikat atas
tanah bekas hak ulayat oleh hakim dikarenakan terdapat cacat hukum di dalam
penerbitannya.
Kata kunci:Tanah Adat; Pembatalan; Sertifikat Hak Atas Tanah

A. Pendahuluan
Eksistensi tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti dan juga
memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Sebagai social
asset tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat
untuk hidup dan kehidupan, sedangkan capital asset tanah merupakan faktor
modal dalam pembangunan dan telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat
penting, sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi.(Achmad
Rubaie, 2007:1)
Tanah sebagai benda yang bersifat “konstan” (tidak dapat bertambah)
banyak menimbulkan masalah, permasalahan dibidang pertanahan ini dapat
berupa sengketa atau konflik tentang kepemilikan, penguasaan, penggunaan dan
pemanfaatannya.Sengketa atau konflik tentang kepemilikan, penguasaan,
penggunaan dan pemanfaatan suatu bidang tanah dapat terjadi baik itu antara
orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum atau lembaga.
Di Papua, sengketa di bidang pertanahan sering terjadi dalam hal peralihan
hak atas tanah ulayat menjadi hak milik perorangan melalui jual beli dengan
pelepasan adat. Surat pelepasan tanah adat merupakan tanda bukti atas sebidang
tanah adat yang telah mengalami peralihan atau pelepasan hak atas tanah, yang
dibuat oleh Lembaga Masyarakat Adat sebagai pihak yang berwenang
sebagaimana diatur dalam Ketentuan pasal 43 ayat (4) Undang-Undang nomor 21

65
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.Selain sebagai tanda
bukti beralihnya hak atas tanah ulayat, surat pelepasan tanah adat juga sebagai
salah satu syarat pendaftaran tanah dalam rangka penerbitan sertifikat tanah di
Kantor Pertanahan.(Maria Fanisa Gefilem, 2016:82)
Sengketa peralihan tanah ulayat melalui jual beli dengan pelepasan hak
adat seperti yang terjadi di Jayapura khususnya Suku Jautunyi-Ormu.Peralihan
tanah hak ulayat suku Jautunyi-Ormu dilakukan dibagian-bagian tanah yang telah
bersertifikat. Hal ini menurut suku Jautunyi-Ormu tanah yang telah bersertifikat
tersebut tidak sah karena dilakukan tanpa melalui pelepasan dari adat.(Rita
Yoafifi,2015:75) Terhadap tanah milik perorangan yang telah bersertifikat bukan
lagi kewenangan adat.Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Peraturan Daerah
Khusus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 menyebutkan Kewenangan
pengelolaan hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga
masyarakat hukum adat atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 tidak
berlaku terhadap bidang-bidang tanah yang pada saat ditetapkannya Peraturan
Daerah Khusus ini sudah dipunyai oleh perorangan atau badan hukum dengan
sesuatu hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Peralihan tanah hak ulayat oleh ketua adat diatas tanah bekas hak
ulayatmilik perorangan yang telah bersertifikat akan menimbulkan tumpang tindih
kepemilikan antara pemilik tanahdengan bukti kepemilikan pelepasantanah hak
ulayat dan pemegang sertifikat hakatas tanah, sehingga memberi ketidakpastian
hukum bagi pemegang sertifikat hak atas tanah. Sertifikat hak atas tanah yang
diterbitkan oleh Kantor Pertanahan merupakan hasil akhir dari kegiatan
pendaftaran yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan
hukumbagi pemegang hak atas suatu bidang tanah.
Meskipun sertifikat hak atas tanah bertujuan untuk menjamin kepastian
hukum dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah namun hal
tersebut tidak memberi jaminan bagi pemegang hak atas tanah untuk tidak
mendapatkan gugatan dari pihak lain yang merasa dirugikan atas diterbitkannya
sertifikat hak atas tanah tersebut.Sengketa tanah yang berlanjut hingga terjadinya
gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara(PTUN) terhadap pemegang sertipikat

66
oleh pemegang hak atas tanah adat tidak menutup kemungkinan akan berakhir
dengan putusan pembatalan sertifikat hak atas tanah oleh Hakim. Terjadinya
pembatalan sertifikat oleh Hakim di Pengadilan Tata Usaha Negaramenimbulkan
rasa tidak aman bagi para pemegang sertipikat.
Gugatan sengketa tanah yang berakhir dengan putusan pembatalan
sertifikat hak atas tanah oleh Hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara dapat
dilihat dalam putusan nomor : 30/G/2015/PTUN.JPR. Adapun yang menjadi para
pihak dalam perkara sengketa tanah ini adalah Yuda Yuriansyah selaku penggugat
melawan Kepala Kantor Pertanahan Sorong.Alasan penggugat mengajukan
gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura karena telah diterbitkan
Sertipikat Hak Milik Nomor: 117, Kelurahan Klawuyuk dengan surat ukur
Nomor: 83/KLY/2002 tanggal 25-11-2002 dengan Luas 23.150 M2 atas nama
Agnes Trace Margaret diatas sebagian tanah milik penggugat. Tanah yang
menjadi sertipikat in casu (obyek gugatan) adalah merupakan sebagian dari tanah
milik Yuda Yuriansyah (penggugat) yang dahulu merupakan Tanah adat Keret/
Marga Kalagison yang kemudian di beli oleh orangtuanya penggugat pada tahun
1989 berdasarkan Surat Pernyataan Pelepasan Tanah Adat tertanggal 3 juli 1989
dengan luas 50.000 M2, yang diperkuat dengan Surat Keputusan Hukum Adat
Nomor ; 02/SK.MPA/SRNG/XI-004 tertanggal 04 Nopember 2004. Ketika Yuda
Yuriansyah (penggugat) mengajukan permohonan penerbitan sertifikat, penggugat
baru mengetahui adanya obyek sengketa melalui surat tertangal 11 Nopember
2015, nomor : 544/92.71/XI/2015.Dalam putusannya hakim memutuskan sebagai
berikut :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
2. Menyatakan batal Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan oleh Kepala
Kantor Pertanahan Kota Sorong (Tergugat) berupa Sertipikat Hak Milik
Nomor: 117, Kelurahan Klawuyuk, Sorong tertanggal 16 Desember 2002,
surat ukur No 83/KLY/2002 tanggal 22 November 2002 dengan luas 23.150
m² atas nama Agnes Trace Margaret.
3. Memerintahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kota Sorong untuk
mencabut Keputusan Tata Usaha Negara berupa Sertipikat Hak Milik

67
Nomor : 117, Kelurahan Klawuyuk, Sorong tertanggal 16 Desember 2002,
surat ukur No 83/KLY/2002 tanggal 22 November 2002 dengan luas 23.150
m² atas nama Agnes Trace Margaret, dan mencoret dari daftar buku tanah.
Pembatalan sertifikat hak atas tanah diatas bertentangan dengan pasal 32
ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang menyebutkan dalam
hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang
atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara
nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu
tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima)
tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara
tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang
bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai
penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut.
Sertifikat tanah sejak diterbitkannya sampai jangka waktu 5 (lima) tahun
apabila tidak ada yang mengajukan keberatan baik itu kepada Kepala Kantor
Pertanahan maupun ke Pengadilan, maka dianggap sah/telah mempunyi kepastian
hukum. Tapi pada kenyataannya setelah lima tahun masih dapat dilakukan
gugatan, sehingga sertifikat tanah tidak memberikan kepastian hukum. Oleh
karena itu penulis hendak mengkaji “pembatalan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah
oleh Hakim di Pengadilan Tata Usaha Jayapura, pada putusan nomor :
30/G/2015/PTUN.JPR”

B. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat yuridis empiris,
pendekatan yuridis empiris atau sosiologi hukum adalah pendekatan yang melihat
sesuatu kenyataan hukum di dalam masyarakat.Pendekatan sosiologi hukum
merupakan pendekatan yang digunakan untuk melihat aspek-aspek hukum dalam
interaksi sosial di dalam masyarakat.Pendekatan berfungsi sebagai penunjang
untuk mengidentifikasi atau mengklarifikasi temuan bahan non hukum bagi
keperluan penelitian/penelitian hukum.(Peter Mahmud Marzuki, 2008: 16).

68
Penelitian ini menggunakan data penelitian primer dan data penelitian
sekunder.Data Primer, yaitu data yang diperoleh dan dikumpulkan secara
langsung dari lapangan yang menjadi objek penelitian atau yang diperoleh
langsung dari responden yang berupa keterangan atau fakta-fakta. (Setiono,
2010;3) Data dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara langsung dari
sumbernya yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura, Kantor Pertanahan
Nabire, dan Lembaga Masyarakat Adat di Kabupaten Nabire.Data sekunder, yaitu
data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan
dengan objek penelitian, (H.Halim dan Erlies, 2014: 16).

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan


1. Status Tanah Bersertifikat Hak Milik Bekas Hak Ulayat Menurut
Hukum Adat dan Hukum Positif
Tanah adalah permukaan bumi, demikian dinyatakan dalam Pasal 4
Undang-Undang Pokok Agraria.Bagi masyarakat Papua, tanah mengandung
arti yang sangat penting, tidak hanya sekedar memiliki nilai ekonomis, tetapi
juga memiliki nilai religius. Pandangan filosofis masyarakat. Papua
menganggap tanah sebagai “mama” yang memberikan kehidupan dari tanah
maupun manusia.(I Ngurah Suryawan,2017;164)Hak ulayat dalam hukum
adat Papua adalah hak kepemilikan komunal atas tanah berdasarkan klan
maupun berdasarkan gabungan beberapa klan. Dalam hukum adat Hak Milik
(adat) merupakan hak perseorangan yang paling kuat, Pemegangnya
mempunyai wewenang yang luas terhadap tanahnya,sepanjang menurut
kenyataannya.masih ada, dengan menghormati hak pemilik tanah lain, serta
mengikuti ketentuan adat dan peraturan lain.Kewenangan masyarakat hukum
adat untuk mengatur, menggunakan, dan memanfaatkan tanah yang berdasar
pada hukum adat setempat, di atur lebih lanjut dalam Pasal 8 ayat (1)
Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Provinsi Papua.
Pelaksanaan peralihan tanah hak ulayat di Kabupaten Nabire dilakukan
oleh masyarakat hukum adat melalui musyawarah dengan pihak ketiga di luar
masyarakat hukum adat sebagaimana di atur dalam Pasal 43 ayat (3) Undang-

69
Undang Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Pasal 8 ayat (1) huruf c
Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua. Dengan beralihnya tanah hak ulayat
masyarakat hukum adat tidak lagi berwenang atas tanah bekas hak
ulayat.Terhadap bidang-bidang tanah yang dimiliki perorangan maupun badan
hukumakan diberikan suatu hak atas tanah oleh Badan Pertanahan Nasional
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu jenis hak atas
tanah adalah hak milik, hak milik atas tanah adalah hak atas permukaan bumi,
tepatnya hanya meliputi sebagian tertentu permukaan bumi yang terbatas,
yang di sebut bidang tanah. Hak Milik atas tanah diatur dalam Pasal 20
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang menentukan bahwa Hak Milik
atas tanah merupakan hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah dan mempunyai fungsi sosial.
(Muliawan,2009:60)Menurut hukum adat apabila tanah ulayat telah di
jual/dialihkan kepada pihak di luar masyarakat hukum adat dan telah
bersertifikat maka masyarakat adat tidak lagi mempunyai kewenangan lagi.

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa terhadap tanah bekas hak ulayat


yang telah bersertifikat bukan lagi menjadi kewenangan masyarakat hukum
adat.Namun pada kenyataannya hingga saat ini masih banyak terjadi sengketa
di atas bidang tanah bekas hak ulayat yang telah bersertifikat.Dengan
berlakunya Undang-Undang Otonomi Khusus yang mewajibkan peralihan
tanah hak ulayat disertai pelepasan adat menjadikan celah bagi oknum-oknum
tertentu melakukan perampasan terhadap tanah bekas hak ulayat yang telah
bersertifikat.Perampasan dilakukan pada bidang-bidang tanah bersertifikat
yang tidak memiliki pelepasan adat.
Sengketa di atas bidang tanah bekas hak ulayat yang bersertifikat
dilakukan dengan tindakan perampasan dan menduduki secara paksa tanah
bekas hak ulayat yang telah bersertifikat. Adapun hal-hal yang menyebabkan
terjadinya tindakan perampasan dan menduduki secara paksa tanah bekas hak
ulayat yang telah bersertifikat yaitu :

70
a. Adanya pihak keluarga yang mengklaim tanah tersebut milik mereka hal
ini disebabkan karena pada saat dialihkan tidak semua keluarga
mengetahui tanah tersebut telah dialihkan.
b. Adanya pihak ketiga sebagai provokator dalam hal ini biasanya terjadi
pada letak tanah yang strategis dan telah bersertifikat. Pihak ketiga ini
akan mengiming - imingkan pembayaran besar kepada masyarakat hukum
adat yang pernah mempunyai tanah tersebut.
c. Sertifikat diterbitkan tanpa pelepasan adat. Pelepasan adat telah digunakan
sejak sebelum berlakunya Undang-Undang Otonomi Khusus Provinsi
Papua sebagai alas hak dalam pendaftaran tanah, namun kurangnya
sosialisasi oleh Kantor Pertanahan mengenai fungsi dari pelepasan adat
maka banyak sertifikat diterbitkan tanpa pelepasan adat.
Banyaknya perampasan bidang tanah bersertifikat hal ini
mengakibatkan terjadinya praktek jual beli pelepasan adat terhadap tanah
bekas hak ulayat yang telah bersertifikat.Pembelian pelepasan adat oleh
pemilik tanah bekas hak ulayat yang telah bersertifikat dikarenakan
masyarakat menganggap bahwa pelepasan adat sebagai bukti peralihan tanah
hak ulayat yang dapat memberikan perlindungan hukum bagi pemegang
sertifikat tanah bekas hak ulayat sehingga dapat mencegah terjadinya
perampasan atas bidang tanah yang dimilikinya.
Pembelian pelepasan adat oleh pemegang sertifikat tanah bekas ulayat
seharusnya tidak terjadi, mengingat Undang-Undang Negara ini menganut
asas Undang-Undang tidak berlaku surut.Namun, kurangnya sosialisasi
terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus Provinsi Papua oleh Kantor
Pertanahan mengakibatkan salah penafsiran terhadap Undang-Undang
Otonomi Khusus Provinsi Papua.Oleh karena itu atas tanah bekas hak ulayat
bersertifikat yang diterbitkan sebelum berlakunya Undang-Undang Otonomi
Khusus Provinsi Papua tidak diperlukan pelepasan adat.

2. Pengaturan Pendaftaran Peralihan Tanah Ulayat Menjadi Tanah


Perseorangan Sebelum dan Sesudah Berlakunya Undang-Undang

71
Otonomi Khusus Papua di Kabupaten Nabire
Peralihan hak atas tanah adalah beralihnya atau berpindahnya hak
kepemilikan sebidang tanah atau beberapa bidang tanah dari pemilk semula
kepada pemilik yang baru karena sesuatu atau perbuatan hukum tertentu.
Perbuatan hukum pemindahan hak bertujuan untuk memindahkan hak atas
tanah kepada pihak lain untuk selama-lamanya.(Irene Eka Sihombing,
2005;56)
Peralihan tanah ulayat menjadi tanah hak milik perorangan di Kabupaten
Nabire dilakukan dengan jual beli oleh penguasa adat sebagai pihak yang
berwenang.Kewenangan penguasa adat dalam hal peralihan tanah untuk
keperluan apapun diatur dalam Pasal 43 ayat (3) dan (4) Undang-Undang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2001 yang
mengatakan pelaksanaan hak ulayat, sepanjang menurut kenyataannya masih
ada, dilakukan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan
menurut ketentuan hukum adat setempat.
Peralihan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum
adat untuk keperluan apapundilakukan melalui musyawarah olehBadan
Musyawarah Adat (BMA) untuk menentukan fungsi tanah yang dimohonkan
oleh pemohon, luas tanah, serta harga yang harus dibayarkan sebagai ganti
kerugian atas tanah beserta tumbuh-tumbuhan diatasnya.Setelah terjadi
kesepakatan antara pemohon dengan pemilik tanah atas hasil musyawarah
yang dilakukan oleh Badan Musyawarah Adatseharusnya hasil kesepakatan
tersebut dituangkan dalam akta otentik sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat
(5) Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua.Namun pada kenyataannya hasil
kesepakatan mengenai peralihan tanah hak ulayat menjadi tanah hak milik
perorangan tidak dituangkan dalam akta otentik.Berdasarkan kesepakatan
hasil musyawarah yang dilakukan oleh Badan Musyawarah Adat hanya
dibuatkan surat pelepasan hak atas tanah adat. Tanpa surat pelepasan hak atas
tanah adat maka peralihan atas tanah ulayat melalui jual beli dianggap tidak
sah.

72
Peralihanhak milik atas tanah ulayat harus didaftarkan,atas permohonan
yang bersangkutan akan diberikan hak milik atas tanah oleh Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pengaturan pendaftaran peralihan tanah ulayat sebelum berlakunya Undang-
Undang Otonomi Khusus Provinsi Papua pada dasarnya sama seperti
pendaftaran pada umumnya sebagimana di atur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 24 tahun 1997. Namun terhadap tanah bekas hak ulayat ada
penambahan syarat dalam pendaftaran tanah, yaitu surat pelepasan adat.
Pendaftaran peralihan tanah bekas hak ulayat menjadi tanah hak milik
perorangan melalui jual beli harus disertai surat pelepasan hak atas tanah adat.
Surat pelepasan adat merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam
pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Nabire.Surat pelepasan
adat berfungsi sebagai alas hak untuk diterbitkannya sertifikat hak milik diatas
tanah bekas hak ulayat.Adapun syarat-syarat pendaftaran peralihan tanah hak
ulayat yang harus dilengkapi yaitu :
1. Surat keterangan pelepasan tanah adat.
2. Sket/denah lokasi.
3. Surat keterangan garapan tanah dari kelurahan.
4. Fotocopy KTP dan Kartu Keluarga.
5. Isi Formulir pendaftaran dari Kantor Pertanahan.
Pelepasan adat sebagai syarat pendaftaran peralihan tanah bekas hak
ulayar di Kantor Pertanahan Kabupaten Nabire telah digunakan sejak sebelum
berlakunya Undang-Undang Otonomi Khusus Provinsi Papua sebagai alas hak
dalam pendaftaran tanah, namun kurangnya sosialisasi oleh Kantor Pertanahan
mengenai fungsi dari pelepasan hak atas tanah adat maka banyak sertifikat
diterbitkan tanpa pelepasan adat.Oleh sebab itu sejak berlakunya Otonomi
Khusus Provinsi Papua semua pendaftaran peralihan tanah hak ulayat menjadi
tanah hak milik perseorangan, wajib disertai surat pelepasan adat, tanpa surat
pelepasan hak atas tanah adat tanah tersebut tidak dapat didaftarkan.

73
3. Pembatalan Sertifikat Oleh Hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara
Jayapura
Sertifikat berasal dari bahasa Inggris “certificate” yang berarti ijazah
atau Surat Keterangan yang dibuat oleh Pejabat tertentu. (Iwan
Permadi,2016;122) Sertifikat menurut ketentuan Pasal 1 angka 20 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah adalah surat
tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat untuk hak
atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun,
dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah
yang bersangkutan.
Pada dasarnya sertifikat yang telah diterbitkan lebih dari 5 (lima) tahun
telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sebagaimana diatur dalam ketentuan
Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.Sertifikat
sebagai surat tanda bukti hak atas tanah seseorang yang didalamnya memuat
data fisik dan data yuridis yang telah di daftar dalam buku tanah, merupakan
pegangan kepada pemiliknya akan bukti-bukti haknya yang tertulis.Menurut
pandangan masyarakat awam dengan memiliki sertifikat hak atas tanah secara
sah telah memiliki tanah tersebut sebagai satu-satunya pemilik tanah.Hal ini
dikarenakan sertifikat hak atas tanah yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan
Nasional memberikan jaminan kepastian hukum bagi pemegang
haknya.Kepastian Hukum Sertipikat Hak Atas Tanah, meliputi: Kepastian
hukum status hak atas tanah yang didaftar, Kepastian hukum subyek hak atas
tanah, Kepastian hukum obyek hak atas tanah. (Bronto Susanto,2014;80)
Ketentuan Pasal 32 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997
merupakan penjabaran dari ketentuan Pasal 19 Ayat (2) huruf c, Pasal 23 Ayat
(2), Pasal 32 Ayat (2) dan Pasal 38 Ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria,
yang berisikan bahwa pendaftaran tanah menghasilkan surat tanda bukti yang
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Berdasarkan ketentuan Pasal 32
Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, maka sistem publikasi
pendaftaran tanah yang dianut adalah sistem publikasi negatif yang
bertendensi positif yaitu sertipikat hanya merupakan surat tanda bukti hak

74
yang bersifat kuat dan bukan merupakan surat tanda bukti hak yang bersifat
mutlak. Hal ini berarti bahwa data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam
sertipikat mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima hakim sebagai
keterangan yang benar selama dan sepanjang tidak ada alat bukti lain yang
membuktikan sebaliknya.
Meskipun dalam Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 menyatakan sertifikat hak milik atas tanah yang telah lebih dari 5
tahun tidak dapat lagi mengajukan gugatan, namun hal tersebut tidak menutup
kemungkinan untuk diajukan gugatan dan dibatalkannya sertifikat hak milik
atas tanah oleh hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura. Adapun
dasar hukum pengajuan gugatan yang digunakan adalah Surat Edaran
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1991 yang merupakan
Petunjuk Pelaksana ketentuan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada ayat 3 disebutkan “Bagi mereka
yang tidak di tuju oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara tetapi yang merasa
kepentingannya di rugikan, maka tenggang waktu sebagaimana dimaksud
dalam pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 di hitung secara
kasuistis sejak saat ia merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata
Usaha Negara.
Mengenai masa tenggang pengajuan gugatan dihitung secara kasuistis
hal ini dikarenakan dalam gugatan sengketa tanah di Pengadilan Tata Usaha
Negara yang menjadi obyek gugatan adalah sertifikat hak atas tanah.oleh
sebab itu sejak penggugat menerima atau mengetahui ada Keputusan Tata
Usaha Negara (KTUN) yang merugikan dirinya sejak saat itulah di hitung 90
(Sembilan puluh) hari masa tenggang pengajuan gugatan. Meskipun sertifikat
hak milik atas tanah diterbitkan telah lebih dari 5 tahun, selama tidak melewati
masa tenggang waktu 90 (Sembilan puluh) yang di hitung secara kasuistis
maka gugatan dapat diterima.
Sertifikat sebagai tanda bukti kepemilikan hak atas tanah yang dimiliki
seseorang belum menunjukkan orang tersebut sebagai pemegang hak yang
sebenarnya.Pembatalan sertifikat dapat terjadi apabila ternyata ada pihak lain

75
yang dapat membuktikan secara hukum bahwa sebagai pemilik yang
sebenarnya. Dengan adanya alat bukti lain yang dapat membuktikan sebagai
pemilik tanah yang sah akan berdampak pada pembatalan sertifikat hak atas
tanah. Pembatalan sertifikat hak atas tanah merupakan perbuatan hukum untuk
memutuskan, menghentikan atau menghapus hubungan hukum antara subyek
hak atas tanah dengan obyek hak atas tanah.Dalam hal ada pihak lain yang
dapat membuktikan sebaliknya bahwa suatu bidang tanah yang sudah
diterbitkan Sertipikat adalah secara sah dan nyata adalah miliknya maka hal
tersebut dilakukan melalui proses persidangan di pengadilan yang kemudian
Majelis Hakim memutuskan bahwa pemegang Sertipikat tidak berhak atas
bidang tanah tersebut, dan bidang tanahnya harus diserahkan kepada pihak
yang berhak serta Sertipikat Hak Atas Tanahnya harus dibatalkan.
Pembatalan sertifikat tanah bekas hak ulayat dalam putusan Nomor
30/G/2015/PTUN.JPR, hal ini terjadi karena adanya kesalahan pada obyek
hak, salah menggunakan alas hak dalam pendaftaran tanah, dan kesalahan
telah menerbitkan sertifikat hak milik yang bukan menjadi kewenangan
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.Adanya kesalahan-kesalahan dalam
penerbitan sertifikat hak atas tanah sehingga sertifikat dinyatakan cacat
hukum.Sertifikat Hak Atas Tanah dikatakan cacad hukum administratif
apabila terdapat kesalahan dalam proses penerbitannya. Sebagaimana di atur
dalam Pasal 107 Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 9 tahun 1999, Kesalahan tersebut antara lain sebagai berikut :
a. Kesalahan prosedur;
b. Kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan;
c. Kesalahan subyek hak;
d. Kesalahan obyek hak;
e. Kesalahan jenis hak;
f. Kesalahan perhitungan luas;
g. Terdapat tumpang tindih hak atas tanah;
h. Terdapat ketidakbenaran pada data fisik dan/atau data yuridis; atau
i. Kesalahan lainnya yang bersifat hukum administratif.

76
Apabila terdapat cacat hukum pada sertifikat hak atas tanah yang telah
lebih dari 5 (lima) tahun hal ini menurut hakim bertentangan dengan Asas-
asas Umum Pemerintahan yang Baik, sehingga objek sengketa harus
dinyatakan batal atau tidak sah. Pembatalan sertifikat hak atas tanah
merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa hak atas tanah yang
disebabkan suatu keputusan pemberian hak dan/atau sertifikat hak atas tanah
yang merupakan keputusan yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan
mengandung cacat hukum administratif atau melaksanakan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.(Rozi Aprian Hidayat, 2016;89)
.

D. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut, bahwa:
1. Status tanah bersertifikat hak milik bekas hak ulayat menurut hukum adat
adalah masyarakat hukum adat tidak mempunyai kewenangan lagi atas tanah
bekas ulayat yang telah dialihkan dengan pelepasan adat. Sedangkan status
tanah bersertifikat hak milik bekas hak ulayat menurut hukum positif adalah
masyarakat hukum adat tidak mempunyai kewenangan lagi atas tanahyang
telah dimiliki oleh perorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas
tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Pengaturan pendaftaran peralihan tanah ulayat menjadi tanah perseorangan
sebelumberlakunya Undang-Undang Otonomi Khusus Papua berdasarkan

77
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Setelah berlakunya Undang-
Undang Otonomi Khusus Provinsi Papua di atur bahwa peralihan tanah ulayat
harus dibuatkan akta otentik, sebagaimana di atur dalam pasal 8 ayat (5)
Peraturan Daerah Khusus Papua. Namun dalam prakteknya peralihan tanah
hak ulayat tidak dibuatkan akta otentik.
3. Terjadi pembatalan sertifikat tanah bekas hak ulayat dalam putusan Nomor
30/G/2015/PTUN.JPR oleh Hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara
Jayapura karena terdapat kesalahan pada obyek hak, salah menggunakan alas
hak dalam pendaftaran tanah, dan kesalahan telah menerbitkan sertifikat hak
milik yang bukan menjadi kewenangan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
Sehingga sertifikat dinyatakan cacat hukum dan harus dibatalkan.

E. Saran
1. Pemerintah dalam hal ini Kantor Pertanahan Kabupaten Nabire diharapkan
memberi perhatian lebih kepada masyarakat dengan cara lebih sering
melakukan sosialiasi khususnya mengenai peraturan-peraturan peralihan
terhadap tanah ulayat.
2. Sebaiknya Kantor Pertanahan Kabupaten Nabire menggunakan akta otentik
sebagai alas hak dalam pendaftaran peralihan tanah ulayat menjadi tanah
perorangan.
3. Kantor Pertanahan diharapkan lebih cermat dan berhati-hati dalam penerbitan
sertifikat hak atas tanah, mengingat fungsi sertifikat hakatas tanah yang
memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi pemegang haknya.

F. Daftar Pustaka
Buku
Achmad Rubaie. 2007. Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.
Malang; Bayumedia.
H.Halim HS, Erlies Septiana Nurbani.2014. Penerapan Teori Hukum pada
Penelitian Tesis dan Disertasi.Jakarta;RajaGrafindo Persada.
I Ngurah Suryawan. 2017. Papua Versus Papua.ctk pertama. Yogyakarta;Labirin.

78
Irene Eka Sihombing. 2005.Segi-Segi Hukum Tanah Nasional Dalam Pengadaan
Tanah Untuk Pembangunan. Jakarta; Universitas Trisakti.
Muliawan.2009.Pemberian Hak Milik untuk Rumah Tinggal.Cerdas
Pustaka.Jakarta.
Peter Mahmud Marzuki. 2008. Penelitian Hukum.Jakarta;Kencana.
Rita Yoafifi, 2015.Analisis Pelaksanaan Pengalihan Tanah Hak Ulayat Menjadi
Tanah Perorangan di Suku Jautunyi-Ormu Kota
Jayapura.Tesis.Surakarta; Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Setiono.2010.Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum. Surakarta;
Program Studi Ilmu Hukm Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Surakarta.

Jurnal
Bronto Susanto. 2010. “Kepastian Hukum Sertifikat Hak Atas Tanah Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997”. DIH.Jurnal Ilmu Hukum
Agustus 2014, Vol. 10, No. 20. Alumni Fakultas Hukum Untag Surabaya.
Iwan Permadi. 2016. “Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Tanah
Bersertifikat Ganda Dengan Cara Itikad Baik Demi Kepastian
Hukum”.Yustisia.Vol. 5 No. 2 Mei - Agustus 2016. Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya.
Maria Fanisa Gefilem. 2016. “Pelepasan Tanah Adat Suku Moi Di Kota Sorong
Provinsi Papua Barat Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 Tentang Pendaftaran Tanah”.Lex Crimen Vol. V/No. 3/Mar/2016.
Fakultas Hukum UNSRAT. Manado.
Rozi Aprian Hidayat. 2016. “Analisis Yuridis Proses Pembatalan Sertifikat Hak
Atas Tanah Pada Kawasan Hutan”, Jurnal IUS Vol IV Nomor 2 agustus
2016.Mataram;Magister Kenotariatan Universitas Mataram.

79

You might also like