Vol 3 Edisi 1 Tahun 2020-Artikel 2-2

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 23

Jurnal Adhyasta Pemilu

ISSN XXXX-XXXX

Vol. 3 No. 1 2020, Hal 17-39

PELINDUNGAN HAK PILIH


PENYANDANG DISABILITAS MENTAL
DALAM PENDEKATAN RANGKAIAN PROSES PASCA PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 135/PUU-VIII/2015

PERSONS WITH MENTAL DISABILITIES RIGHTS TO VOTE


PROTECTION WITH CONTINUUM APPROACH POST OF
CONSTITUTIONAL COURT DECISION NUMBER 135/PUU-VIII/2015

Fajri Nursyamsi
Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera; Puri Imperium, Office Plaza, Lantai UG
11. Kuningan Madya, Jakarta, 12980
fajri.nursyamsi@jentera.ac.id)

Muhammad Nur Ramadhan


Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia (Bawaslu RI); Jl.
M.H.Thamrin Nomor 14, Gondangdia, Menteng
mnr.mnuramadhan@gmail.com)

Abstract
The Constitutional Court Decision Number 135 / PUU-XIII / 2015 stated that the
requirement for "not being mentally / memory disturbed" to be registered as a
voter in Law Number 8 of 2015 is unconstitutional. The decision opens a new
perspective on the protection of suffrage for persons with mental disabilities,
and acknowledges that mental / memory impairment conditions are not the
same between one person and another. The decision is in accordance with the
development of thoughts on the legal capacity of persons with disabilities using
a continuum approach, which recognizing that everyone is a legal subject, but
practically it is necessary to look at the person's ability to exercise their rights,
especially in decision making. The Constitutional Court decision has been applied
in various regulations related to elections, which cannot be separated from the
efforts of disabled people organizations to implement it. However, the changes
are still at the administrative level, have not resulted in a change in perspective
on the recognition of the legal capacity of persons with mental disabilities. In
Fajri Nursyamsi & M. Nur Ramadhan 17
practice, there are still cases of persons with mental disabilities who were not
registered as voters so that they are forced to be unable to exercise their voting
rights. Based on this explanation, it is important to analyze how the legal capacity
approach for persons with mental disabilities is used in the Constitutional Court
decisions Number 135 / PUU-XIII / 2015, and how this approach should be
applied to ensure the protection of the suffrage rights of persons with disabilities.
This legal research was conducted using a qualitative approach, using primary
sources of law in the form of statutory regulations and other forms of policy, as
well as secondary sources of law in the form of literature and other valid and
relevant information. This study presents a discussion of the suffrage rights of
persons with mental disabilities using a continuum approach that has not been
discussed in previous studies, so that it is expected to be able to sharpen the
implementation.
Keywords: Persons with Mental Disabilities, rights to vote, general election, local
election, continuum approach.

Abstrak
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa
syarat “tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya” untuk didaftar menjadi pemilih
dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 adalah inkostitusional. Putusan
ini membuka perspektif baru terhadap pelindungan hak pilih bagi penyandang
disabilitas mental, dan mengakui bahwa kondisi terganggu jiwa/ingatan tidaklah
sama antara satu orang dengan orang lainnya. Putusan Mahkamah Konstitusi
sesuai dengan perkembangan pemikiran tentang kapasitas hukum penyandang
disabilitas dengan pendekatan continuum, yaitu mengakui bahwa setiap
orang adalah subyek hukum, tetapi secara praktis tetap perlu melihat kepada
kemampuan orang tersebut untuk menggunakan haknya, terutama dalam
pengambilan keputusan. Putusan Mahkamah Konstitusi itu sudah diterapkan
dalam berbagai regulasi terkait dengan Pemilu, yang tidak dapat dilepaskan
dari upaya organisasi penyandang disabilitas untuk mengimplementasikannya.
Namun perubahan yang terjadi masih berada dalam level administratif, belum
berdampak pada perubahan cara pandang terhadap pengakuan kapasitas
hukum penyandang disabilitas mental. Dalam praktiknya masih ditemukan kasus
penyandang disabilitas mental yang tidak didaftar sebagai pemilih sehingga
terpaksa tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Bedasarkan penjelasan itu
penting untuk menganalisa bagaimana pendekatan kapasitas hukum bagi
penyandang disabilitas mental yang digunakan dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi, dan bagaimana pendekatan itu harus diterapkan untuk menjamin
pelindungan hak pilih penyandang disabilitas. Penelitian hukum ini dilakukan
dengan pendekatan kualitatif, dengan menggunakan sumber hukum primer
berupa peraturan perundang-undangan dan bentuk kebijakan lainnya, serta

18 Jurnal Adhyasta Pemilu


sumber hukum sekunder berupa literatur dan informasi lain yang valid dan
relevan. Penelitian ini menyajikan pembahasan mengenai hak pilih penyandang
disabilitas mental dengan pendekatan continuum yang belum dibahas dalam
penelitian sebelumnya, sehingga diharapkan mampu mempertajam upaya
implementasinya di lapangan.
Kata Kunci: Penyandang Disabilitas Mental, Hak Pilih, Pemilu, Pilkada,
Pendekatan Continuum.
1. Pendahuluan mental (derogable rights). Namun
setelah pengesahan Konvensi Hak
Putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) Nomor 135/PUU-VIII/2015 Penyandang Disabilitas (Convention on
(Putusan MK 135) membawa The Rights of Persons with Disabilities –
perspektif baru dalam pelindungan CRPD), maka hak pilih bagi penyandang
hak pilih penyandang disabilitas disabilitas menjadi tidak dapat
mental di Indonesia. Putusan ini dibatasi. Bahkan negara wajib untuk
mengakui bahwa kondisi terganggu menghilangkan sejumlah hambatan
jiwa/ingatannya adalah tidak dapat pelaksanaan hak pilih penyandang
disamakan antara satu orang dengan disabilitas, yang berpotensi membatasi
orang lainnya, sehingga tidak dapat atau menghilangkan hak pilih bagi
menjadi syarat untuk mendaftar penyandang disabilitas. Dalam
seseorang menjadi pemilih dalam konteks hak pilih bagi penyandang
Pemilihan Umum (Pemilu) dan disabilitas mental, kewajiban negara
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). adalah mengakui kapasitas hukum,
Putusan MK 135 memberikan peran dan berupaya mendukung agar
besar dalam upaya negara memberikan penyandang disabilitas mental mampu
pengakuan terhadap kapasitas hukum untuk mengambil keputusan sendiri
orang dengan disabilitas mental, secara mandiri.
sekaligus melindung hak pilihnya. Selain hal tersebut, Putusan MK
Perubahan yang dibawa oleh 135 juga selaras dengan pendekatan
Putusan MK 135 selaras dengan continuum (rangkaian proses) dalam
perubahan yang juga terjadi pada menilai kapasistas hukum seorang
instrumen hukum internasional dalam penyandang disabilitas. Dalam
memaknai hak pilih bagi penyandang pendekatan ini penyandang disabilitas
disabilitas mental. Dalam konsep diakui sebagai subyek hukum, atau
Hak Asasi Manusia (HAM), hak pilih pihak yang memiliki hak, tetapi untuk
merupakan bagian dari hak sipil politik penggunaan haknya perlu dilakukan
yang tercantum dalam Konvensi penilaian, terutama terkait dengan
Internasional Hak Sipil dan Politik kemampuan pengambilan keputusan.
(International Convention of Civil and Putusan MK 135 menjadi contoh peran
Politic Rights – ICCPR). Pada awalnya, aktif negara dalam menghilangkan
ICCPR memasukan kondisi gangguan hambatan bagi penyandang
jiwa sebagai alasan untuk membatasi disabilitas mental untuk memiliki dan
hak pilih penyandang disabilitas menggunakan hak pilihnya, terutama

Fajri Nursyamsi & M. Nur Ramadhan 19


dalam aspek regulasi. Putusan MK Presiden yang diselenggarakan pada
135 menyatakan syarat “tidak sedang 2020 saat ini. Selain itu, praktik baik
terganggu jiwa/ingatannya” untuk lainnya adalah menyediakan layanan
terdaftar sebagai pemilih dalam asistensi bagi penyandang disabilitas,
Pemilu/Pilkada, yang tercantum dalam termasuk penyandang disabilitas
Pasal 57 ayat (3) huruf a Undang- mental, apabila memerlukan
Undang Nomor 8 Tahun 2015 sebagai dukungan secara spesifik sesuai
suatu norma yang inkonstitusional. kebutuhan untuk menggunakan hak
Putusan MK 135 itu kemudian menjadi pilihnya. Keseluruhan layanan itu
rujukan dalam pembentukan UU diinformasikan melalui website yang
maupun Peraturan Komisi Pemilihan mudah diakses, yaitu di North Carolina
Umum (KPU) untuk menghilangkan (https://www.ncsbe.gov/voting/help-
syarat “tidak sedang terganggu jiwa/ voters-disabilities, diakses pada 5
ingatannya” dalam mendaftar Pemilih November 2020), di Alabama (https://
pada Pemilu/Pilkada. www.sos.alabama.gov/alabama-
Namun begitu, dalam praktiknya votes/voter/assistance-disability,
masih ada penyandang disabilitas diakses pada 5 November 2020),
mental yang tidak didaftar sebagai dan di Washington (https://www.
pemilih dalam Pilkada 2017 dan disabilityrightswa.org/publications/
2018, serta Pemilu 2019. Hal itu assisting-voters-disabilities/,
terjadi karena penyandang disabilitas diakses pada 5 November 2020).
mental masih dianggap bukan subyek Sementara itu di Australia, layanan
hukum sekaligus tidak mampu untuk pendampingan juga tersedia untuk
mengambil keputusan secara mandiri, Pemilu yang akan diselenggarakan
terutama dalam melaksanakan hak pada 2021. Pendamping yang akan
pilihnya. Praktik itu tidak selaras memberikan informasi terkait
dengan pendekatan rangkaian proses kepemiluan atau kebutuhan lain
yang sudah digunakan dalam Putusan yang diperlukan untuk mendukung
MK 135, karena dalam praktik tersebut penggunaan hak pilih dapat berasal
pendekatan yang dilakukan lebih tepat dari petugas penyelenggara Pemilu
dikatakan sebagai pendekatan “All atau kandidat lain yang dipilih sendiri
or Nothing”, yaitu menyeragamkan oleh penyandang disabilitas, sehingga
penyandang disabilitas sebagai pihak dapat memberikan kenyamanan dalam
yang tidak memiliki hak, sehingga memberikan pelayanan (https://www.
secara otomatis dianggap tidak dapat aec.gov.au/assistance, diakses pada 5
melaksanakan atau menggunakan November 2020).
haknya tersebut, termasuk hak pilih Berdasarkan penjelasan tersebut,
dalam Pemilu/Pilkada. Penulis bermaksud menulis artikel
Apabila mengambil contoh dari yang menjelaskan bagaimana
negara lain misalnya di Amerika Putusan MK 135 menjamin hak
Serikat, di setiap negara bagiannya memilih bagi penyandang disabilitas
memastikan setiap penduduk dengan dan advokasi apa saja yang telah
disabilitas dapat mendaftarkan diri dilakukan agar penyandang disabilitas
sebagai pemilih dalam Pemilu dapat menggunakan hak memilihnya,
20 Jurnal Adhyasta Pemilu
serta untuk mengetahui bagaimana Psikososial” (LBHM, 2020) ; dan Ketiga,
upaya yang harus dilakukan oleh penelitian ini tidak hanya melihat
penyelenggara Pemilu/Pilkada, teks perubahan regulasi seperti pada
dalam rangka menjalankan Putusan penelitian berjudul “Hak Pilih Bagi
MK 135 sesuai dengan pendekatan Penyandang Disabilitas Mental Ditinjau
yang digunakan dalam memandang dari Perspektif Hak Asasi Manusia”
kapasitas hukum bagi penyandang (Rahmanto, 2019), tetap akan disertai
disabilitas mental. dengan konteks advokasi yang
Dari hasil pembacaan dan dilakukan oleh organisasi penyandang
perbandingan, ada 3 poin kebaruan disabilitas, yang berdampak terhadap
dari penelitian ini dibandingkan dengan perubahan-perubahan tersebut.
penelitian-penelitian yang sudah 2. Metode Penelitian
ada. Pertama, Penelitian-penelitian Penelitian ini merupakan
yang sudah ada mendasarkan hak penelitian hukum normatif (yuridis
pilih penyandang disabilitas hanya normative) atau doktrinal, yakni
kepada ketentuan dalam Konvensi penelitian yang diterapkan khusus
Internasional Hak Sipil Politik pada ilmu hukum (Istanto, 2007).
(International Convention on Civil and Penelitian ini dilakukan dengan cara
Political Rights – ICCPR) dan CRPD menguji dan mengkaji data sekunder
seperti misalnya penelitian berjudul berupa hukum positif, asas-asas
“Peran Progresif Mahkamah Konstitusi teori hukum, serta kaidah-kaidah
dalam Melindungi Hak Pilih Disabilitas hukum yang berhubungan dengan
Kategori Orang Dengan Gangguan Kepemiluan, Hak Asasi Manusia dan
Jiwa dan Pengaruhnya Terhadap bidang ilmu lain yang berkaitan dengan
Peningkatan Partisipasi Pemilih dalam hak pilih penyandang disabilitas
Pemilu” (Anggono dan tim penyusun, mental. Penelitian ini juga bersifat
2019), sedangkan penelitian ini akan deskriptif analitis yang bertujuan untuk
merujuk juga kepada prinsip-prinsip menggambarkan dan menganalisis
dalam komentar umum, baik ICCPR temuan-temuan penelitian secara
maupun CRPD, serta menjabarkan sistematis, faktual, dan akurat
dinamika diantara keduanya; Kedua, dengan teori-teori hukum positif
penelitian ini akan membahas prinsip yang menyangkut permasalahan yang
pengakuan terhadap kapasitas diteliti (Sumardjono, 1989, hlm. 23).
hukum penyandang disabilitas dan Obyek penelitian akan dianalisa
pendekatan supported decision making dengan menggunakan peraturan
dalam konteks Pemilu/Pilkada di perundang-undangan dan putusan
Indonesia, sedangkan penelitian yang pengadilan, serta akan dilengkapi
ada sebelumnya hanya menjabarkan dengan pendekatan konseptual yang
perihal prinsip supported decision berangkat dari suatu konsep hukum
making tetapi belum dikaitkan dengan yang diajukan baik secara filsafat,
hak pilih dalam Pemilu, seperti dalam asas ataupun teori hukum yang ada
penelitian berjudul “Asesmen Hukum (Marzuki, 2006, hlm. 133).
Pengampuan Indonesia: Perlindungan
Hak Orang dengan Disabilitas
Fajri Nursyamsi & M. Nur Ramadhan 21
Penelitian ini mendapatkan data yang menganalisa Putusan MK 135.
dan informasi berdasarkan teknik Penelitian-penelitian itu menganalisa
studi kepustakaan (library research), secara mendalam Putusan MK dari
studi internet (online research) dan berbagai perspektif, baik yang bernada
studi lapangan (field research). Jenis pro atau kontra.
data yang digunakan dalam penelitian 3. Perspektif Teori Tentang
ini adalah data primer yang berasal Kapasitas Hukum
dari wawancara dan data sekunder Kapasitas hukum atau legal
berupa literatur yang relevan. capacity dapat dipahami sebagai
Wawancara dilakukan terhadap kemampuan atau kemungkinan
penyelenggara Pemilu/Pilkada di
seseorang untuk bertindak
tingkat nasional dan daerah untuk dalam kerangka sistem hukum
mendapatkan informasi terkait dengan (Commissioner for Human Right,
kebijakan teknis dan pelaksanaan 2012, hlm. 7). Kapasitas hukum
penghormatan pelindungan hak pilih juga dapat dimaknai sebagai kondisi
penyandang disabilitas mental di dimana setiap manusia memiliki hak
lapangan, terutama pasca Putusan untuk menentukan pilihannya sendiri,
MK 135. Wawancara juga dilakukan dan pilihan itu diakui secara hukum
terhadap Ketua dari Organisasi (Glen, 2015, hlm. 4). Sedangkan
Penyandang Disabilitas mental yang dalam pendekatan personal, menurut
aktif dalam advokasi isu hak pilih Quinn, kapasitas hukum juga dianggap
penyandang disabilitas mental, mampu membangun konsep martabat
untuk mendapatkan informasi diri (personhood) seseorang (2010),
dan pengalaman mereka dalam sehingga kapasitas hukum dalam
melaksanakan advokasi, sekaligus penggunaannya dapat diibaratkan
sebagai bentuk partisipasi langsung sebagai pedang sekaligus tameng
penyandang disabilitas dalam atau pelindung. Kapasitas hukum
penelitian ini sebagai perwujudan diibaratkan sebagai pedang ketika
dari prinsip nothing about us without dapat merefleksikan hak seseorang
us yang diusung dalam CRPD. Data untuk membuat keputusan sendiri,
sekunder terdiri dari bahan hukum dan keputusan itu diakui oleh orang
primer, yaitu data utama dan autentik lain; sedangkan kapasitas hukum
seperti peraturan perundang- diibaratkan sebagai tameng adalah
undangan dan putusan pengadilan; Ketika digunakan sebagai kekuatan
dan bahan hukum sekunder, yaitu bagi seseorang untuk menghentikan
data yang mengutip dari sumber atau menolak orang lain agar tidak
lain sehingga tidak bersifat autentik mengambil keputusan atas nama
lagi, seperti literatur hukum dan dirinya (McSherry, 2012, hlm. 23).
pemberitaan di media. Dalam rujukan hukum
Dalam penelitian ini juga dilakukan internasional, konsep kapasitas
studi terhadap penelitian-penelitian hukum sudah tercantum dalam
terdahulu dengan lingkup tema yang Universal Declaration of Human Rights
serupa. Berdasarkan penelusuran, (UDHR) yang diadopsi sejak 1948.
terdapat berbagai publikasi penelitian
22 Jurnal Adhyasta Pemilu
Pengadopsian konsep pelindungan kepercayaan, pendapat politik
terhadap kapasitas hukum dalam atau hal lainnya, kepemilikan,
UDHR dilakukan sebagai akibat dari kelahiran, dan status lainnya”
pengalaman buruk yang terjadi pada (ICCPR, 1966, Artikel 2 paragraf
perang dunia kedua, yaitu pembunuhan 1).
masal terhadap 60.000 orang dengan Sama halnya dengan UDHR, dalam
disabilitas intelektual dan mental ICCPR penyandang disabilitas tidak
(Glen, 2015, hlm. 4). Hampir 40 tahun disebut secara spesifik sebagai subyek
berselang, konsep penghormatan pelindungan. Khusus terkait dengan
dan pelindungan terhadap kapasitas hak pilih, dalam Artikel 25 huruf b
hukum penyandang disabilitas
ICCPR disebutkan bahwa,
mental diperkuat dalam CRPD.
Penghormatan dan pelindungan “Setiap masyarakat harus
terhadap kapasitas hukum dalam memiliki hak dan kesempatan,
CRPD dianggap membawa perubahan tanpa pembedaan yang telah
paradigma yang radikal, berbasis pada dijelaskan dalam Artikel 2 dan
perubahan cara pandang medical pembatasan yang tidak masuk
model menuju social model dalam akal dalam menggunakan hak
pengambilan keputusan (Richardson, memilih dan dipilih dalam
2012, hlm. 351). Pemilu yang berkala dengan
Artikel 21 UDHR menyatakan hak pilih yang universal dan
bahwa, “hak pilih yang universal dan setara, harus dilakukan dengan
sama rata” (United Nations, 2015, hak suara yang rahasia,
Artikel 21). Prinsip itu menjamin jaminan terhadap kebebasan
semua orang memiliki hak untuk berekspresi dari keinginan
berpartisipasi dalam pemerintahan. para pemilih” (ICCPR, 1966,
Konvensi Internasional itu masih Artikel 25 huruf b).
menggunakan subyek “setiap Pada 1996, Office of the High
orang”, belum khusus menyebutkan Commissioner for Human Rights
penyandang disabilitas. Delapan (OHCHR) mengeluarkan Komentar
belas Tahun berselang, pelindungan Umum yang memberikan penjelasan
terhadap hak pilih dikuatan dengan terhadap makna dan jangkauan dari
diadposinya ICCPR. Dalam Artikel 2 Artikel 25 ICCPR tersebut. Paragraf 4
paragraf 1 ICCPR disebutkan bahwa, dari Komentar Umum itu menyatakan
“setiap negara pihak dalam bahwa:
Konvenan ini mengambil
langkah untuk menghormati “Setiap kondisi yang berlaku
dan memastikan semua untuk pelaksanaan hak yang
individu di wilayahnya dan dilindungi oleh pasal 25 harus
merujuk kepada yurisdiksinya didasarkan pada kriteria
untuk mengakui hak-hak yang yang obyektif dan masuk
tercantum dalam Konvensi ini, akal. Misalnya, mewajibkan
tanpa ada pembedaan, seperta usia yang lebih tinggi untuk
ras, warna kulit, gender, bahasa, pemilihan atau pengangkatan

Fajri Nursyamsi & M. Nur Ramadhan 23


jabatan tertentu daripada lainnya, dengan memastikan
dilaksanakan untuk setiap penyandang disabilitas dalam
warga negara dewasa. secara efektif dan partisipasi
Pelaksanaan hak-hak ini tidak penuh dalam kehicupan
boleh ditangguhkan atau politik dan publik dalam
dikecualikan kecuali atas dasar basis persamaan dengan
yang ditetapkan oleh hukum yang lainnya, secara langsung
dan yang obyektif dan wajar. dan bebas dalam memilih
Misalnya, ketidakmampuan representasi, termasuk
mental yang sudah mapan hak dan kesempatan untuk
mungkin menjadi dasar untuk penyandang disabilitas untuk
menolak hak seseorang untuk memilih dan dipilih” (CRPD,
memilih atau memegang 2006, Artikel 29 huruf a).
jabatan” (OHCHR, 1996, Lahirnya Artikel 29 CRPD merupakan
paragraf 4). koreksi terhadap batasan-batasan
bagi penyandang disabilitas mental
Berdasarkan penjelasan
mendapatkan dan menggunakan hak
tersebut, kondisi disabilitas mental
pilihnya yang muncul berdaarkan
dapat dijadikan alasan untuk
Komentar Umum Artikel 25 ICCPR.
menghilangkan hak memilih dan
Pada 2011, Office of The High
dipilih pada seseorang. Walaupun
Commissioner for Human Rights
Komentar Umum itu juga sudah
(OHCHR) melakukan studi tematis
mencantumkan perlunya penetapan
tentang partisipasi dalam kehidupan
secara hukum serta dengan alasan
berpolitik dan bermayarakat bagi
yang obyektif dan wajar, tetapi dalam
penyandang disabilitas, yang
pelaksanaannya pembatasan hak pilih
kemudian ditandai dengan nomor PBB
bagi penyandang disabilitas mental
A/HRC/19/36. Pada Paragraf 68 dan
dilakukan secara diskriminatif.
69 studi tematis menegaskan bahwa
Sepuluh tahun pasca Komentar
Umum terhadap Artikel 25 ICCPR, CRPD menjamin hak penyandang
disabilitas untuk memilih dalam
Majelis Umum PBB memberlakukan
Pemilu tanpa pengecualian sama
CRPD yang secara khusus memberikan
sekali. Paragraf 70 menegaskan
penghormatan dan pelindungan
pentingnya studi tematis ini karena
terhadap hak pilih penyandang
masih banyak negara-negara yang
disabilitas, termasuk penyandang
menolak hak penyandang disabilitas
disabilitas mental. Penghormatan dan
mental untuk memilih dalam Pemilu.
pelindungan hak pilih penyandang
Sedangkan pada paragraf 71 studi
disabilitas mental tercantum dalam
tematis ini merekomendasikan Dewan
Artikel 29, yang menyebutkan bahwa,
HAM merevisi Komentar Umum terkait
“Negara pihak harus menjamin
dengan artikel 25 ICCPR (Human Rights
hak politik penyandang
Council, 2011, hlm. 15)
disabilitas dan kesempatan
untuk menikmatinya dalam Dewan HAM membahas studi
tematis tersebut pada sidang ke-19.
basis persamaan dengan yang
Pada laporannya, PBB A/HRC/19/2,
24 Jurnal Adhyasta Pemilu
khususnya pada paragraph 3 keputusan sosial, sehingga apabila ada hambatan
19/11 menyebutkan bahwa Dewan dalam aspek kapasitas mental maka
HAM mengajak negara-negara untuk yang harus diubah adalah pola
menelaah penemuan-penemuan dan interaksi individu dan lingkungan
rekomendasi tersebut. Pada paragraf sosialnya, bukan fokus kepada
7 keputusan 19/11, Dewan HAM memperbaiki atau menyembuhkan
mengajak negara peserta konvensi orangnya (Series, 2015, hlm. 80).
meninjau kembali pengucilan atau Perubahan itu harus dilakukan tanpa
larangan yang ada pada hak berpolitik mengurangi sedikitpun pengakuan
penyandang disabilitas mental atau terhadap kapasitas hukum orang
intelektual, dan untuk mengambil tersebut. Dalam paragraf 28
tindakan-tindakan yang layak (Human Komentar Umum CRPD, Komite CRPD
Rights Council, 2013, hlm. 38). menegaskan bahwa setiap orang,
Dari penjabaran tersebut terlepas dari kondisi disabilitas atau
terlihat bahwa dinamika jaminan kemampuannya dalam mengambil
penghormatan dan pelindungan keputusan, memiliki Kapasitas Hukum
hak pilih penyandang disabilitas (Committee on the Rights of Persons
mental diwarnai dengan perubahan with Disabilities 2014, par. 28).
pemaknaan kapasitas hukum Penjelasan dalam paragraf 28 inilah
penyandang disabilitas mental. yang menegaskan bahwa pelaksanaan
Dalam Komentar Umum Artikel 25 kapasitas hukum bukanlah hasil
ICCPR terlihat penyusunnya ingin dari penentuan kapasitas mental,
menggunakan pendekatan rangkaian sehingga kedua konsep ini tidak boleh
proses, dengan mempertimbangkan digabungkan (Barton-Hanson, 2018,
legal agency dari penyandang hlm. 282).
disabilitas mental. Namun hal itu Dalam Komentar Umum pasal
tidak berhasil dipahami dalam 12 CRPD, Komite CRPD memegaskan
implementasinya yang masih bahwa Kapasitas Hukum terdiri dari
dominan menggunakan pendekatan dua aspek, yaitu legal standing dan
Semua atau Tidak Sama Sekali (All or legal agency. Legal standing fokus pada
Nothing). Hal itu kemudian berubah aspek formil, yatu melihat penyandang
ketika Artikel 29 CRPD diberlakukan, disabilitas sebagai subyek hukum
yang secara jelas menggunakan atau pemegang hak secara hukum;
pendekatan Universal. sedangkan legal agency melihat pada
Pasal 12 paragraf 2 CRPD aspek materiil, yaitu kemampuan
menyebutkan bahwa setiap negara penyandang disabilitas untuk
pihak harus mengakui bahwa menlaksanakan haknya (Committee on
seluruh penyandang disabilitas dapat the Rights of Persons with Disabilities
menikmati kapasitas hukumnya secara 2014, par. 13). Bobot dalam melihat
setara dalam seluruh aspek kehidupan masing-masing aspek inilah yang
(United Nations, 2006, Pasal 12 mempengaruhi variasi pendekatan
paragraf 2). CRPD menempatkan yang berkembang di berbagai literatur
kapasitas mental sebagai suatu hasil dalam memahami konsep kapasitas
dari interaksi individu dan lingkungan hukum. Ada tiga pendekatan dalam
Fajri Nursyamsi & M. Nur Ramadhan 25
memahami kapasitas hukum keputusan, tetapi lebih kepada
berbasis pada legal standing dan merepresentasikan untuk menjadi
legal agency, yaitu pendekatan manusia seutuhnya (Commissioner
Seluruhnya atau Tidak Sama Sekali (All for Human Rights, 2012). Pendekatan
or Nothing), pendekatan Universal, Universal banyak dipengaruhi oleh
dan pendekatan Rangkaian Kesatuan sudut pandang filosofis, dibandingkan
(Continuum) (Browning et al, 2014, praktis, dimana kapasitas mental
hlm. 4). tidak dianggap sebagai kondisi diri
Pendekatan “Seluruhnya atau seseorang, tetapi hasil dari interaksi
Tidak Sama Sekali” (All or Nothing) sosial dan bersifat kontekstual,
merupakan pendekatan klasik yang yang kemudian berdampak kepada
berbasis kepada asumsi atau praduga kemampuan seseorang dalam
bahwa setiap orang dengan disabilitas mengambil keputusan (Browning et al,
mental pasti tidak memiliki kapasitas 2014, hlm. 7). Pendekatan Universal
hukum. Dalam pendekatan ini tidak lebih banyak digunakan dalam prinsip-
sama sekali mempertimbangkan prinsip umum, baik secara internsional
bobot dalam legal standing atau legal seperti dalam UDHR, ICCPR, dan
agency, karena anggapan dasarnya CRPD; maupun dalam konstitusi suatu
adalah semua penyandang disabilitas, negara.
terutama penyandang disabilitas Pendekatan Rangkaian
mental, adalah sama (Browning, Bigby Kesatuan atau rangkaian proses
and Douglas, 2014, hlm. 4). Dampak berupaya menguatkan kembali
dari pandangan ini adalah penyandang pertimbangan terhadap legal agency
disabilitas tidak diakui kapasitas dibandingkan dengan hanya melihat
hukumnya, dan dalam mengambil pada legal standing. Pendekatan
keputusan atas dirinya dapat diambil ini tetap mengakui bahwa setiap
alih oleh orang lain. orang adalah subyek hukum, tetapi
Pendekatan Universal lebih tidak berhenti disitu karena dalam
banyak melihat kepada legal standing aspek praktis perlu melihat kepada
dibandingkan legal agency, sehingga kemampuan orang tersebut untuk
argumentasi utamanya lebih melihat menggunakan haknya, terutama
pada aspek formil, yaitu setiap dalam pengambilan keputusan.
orang adalah subyek hukum yang Pendekatan ini mengakui bahwa
memiliki hak atas kapasitas hukum. kemampuan seseorang dalam
Pendekatan ini tidak menekankan melakukan tindakan hukum tidaklah
kepada kemampuan individu untuk tetap atau statis, tetapi dapat
membuat keputusan, tetapi lebih berubah seiring waktu. Hal itu terjadi
menekankan kepada hak individu karena pengaruh dari lingkungan dan
untuk membuat keputusan dan pengalaman individu (Browning et
dihormati atas keputusannya tersebut al, 2014, hlm. 7). Oleh karena itu,
(Bach & Kerzner, 2010, hlm. 18). Cara dalam pendekatan ini sangat relevan
pandang ini menempatkan kapasitas untuk melakukan penilaian terhadap
hukum lebih dari sekadar pengambilan kapasitas mental seseorang dengan

26 Jurnal Adhyasta Pemilu


mempertimbangkan aspek sosial terutama pasca disahkannya CRPD
dan faktor kontekstual lainnya, yang pada 2006. CRPD membuka pandangan
sangat mungkin ada perbedaan antara banyak pihak bahwa masih ada
penilaian terhadap satu orang dengan kelompok masyarakat yang mengalami
orang lainnya (Browning et al, 2014, hambatan dalam memiliki dan
hlm. 7). Hal itu juga yang membedakan menggunakan hak pilihnya. Berbagai
dengan jelas pendekatan rangkaian upaya dilakukan untuk memberikan
proses dengan pendekatan Semua jaminan pelindungan hak pilih
atau Tidak Sama Sekali (All or Nothing) penyandang disabilitas di Indonesia.
yang hanya berbasis kepada praduga Namun upaya yang dilakukan masih
terhadap status atau label seseorang banyak fokus pada disabilitas dengan
sebagai seorang penyandang hambatan mobilitas dan sensorik,
disabilitas, dan menyeragamkan baik penglihatan atau pendengaran,
kondisi satu penyandang disabilitas dengan penyediaan aksesibilitas
dengan yang lainnya. berupa fasilitas atau pelayanan.
Sedangkan bagi penyandang
Dalam pendekatan rangkaian
disabilitas mental, permasalahan yang
proses memungkinkan seseorang
dihadapi lebih mendalam dari sekadar
dinyatakan tidak memiliki kapasitas
penyediaan fasilitas atau pelayanan,
hukum (Browning et al, 2014, hlm.
tetapi harus dimulai dari mengubah
7). Namun begitu, untuk sampai
cara pandang terhadap kapasitas
menyatakan seseorang tidak
hukum penyandang disabilitas mental.
memiliki kapasitas hukum, bahkan
berdampak kepada pembatasan hak Dinamika jaminan pelindungan
orang tersebut, proses yang dilalui hak pilih penyandang disabilitas mental
tidak mudah. Selain tidak mudah, sudah terjadi di tingkat internasional,
proses penilaian juga harus didahului nasional, sampai regional. Dalam
dengan serangkaian aktivitas untuk bagian ini akan dianalisa bagaimana
mendukung orang tersebut dapat dinamika penguatan pelindungan hak
mengambil keputusan secara mandiri, pilih penyandang disabilitas mental
yang dikenal dengan Supported di Indonesia dengan menganalisa
Decision Making. Hal itu juga yang pendekatan kapasitas hukum yang
membedakan dengan pendekatan digunakan dalam Putusan MK 135.
Semua atau Tidak Sama Sekali, yang Pembahasan itu akan menjadi
langsung mengambilalih pengambilan basis dalam menjawab bagaimana
keputusan atas diri seorang seharusnya Putusan MK 135 diadaptasi
penyandang disabilitas atau dikenal dalam berbagai peraturan pelaksanaan
dengan substituted decision making dalam mengatur tahapan-tahapan
(Browning et al, 2014, hlm. 7). dalam Pemilu/Pilkada.
Analisa yang dilakukan
4. Hasil Pembahasan
juga akan mempertimbangkan
Pelindungan hak pilih
permasalahan-permasalahan yang
penyandang disabilitas menjadi salah
masih timbul terkait dengan jaminan
satu isu kepemiluan yang mengemuka
pelindungan hak pilih penyandang
dalam beberapa tahun terakhir,
Fajri Nursyamsi & M. Nur Ramadhan 27
disabilitas mental di lapangan setelah diperlakukan secara sama. … “
4 tahun keberlakuan Putusan MK 135, Selain itu, dalam pertimbangan hukum
dan sudah melewati dua kali Pilkada 3.21 angka 4, MK juga menyebutkan
pada 2017 dan 2018, serta satu kali bahwa,
Pemilu pada 2019.
“tidak semua orang yang
sedang mengalami gangguan
4.1
Analisa Pendekatan Kapasitas jiwa dan/atau gangguan
Hukum Penyandang Disabilitas ingatan akan kehilangan
Mental dalam Putusan MK 135 kemampuan untuk menjadi
pemilih dalam pemilihan
Putusan MK 135 membawa
umum.”
kemajuan terhadap upaya pelindungan
hak pilih bagi penyandang disabilitas. Dari kedua pertimbangan
Dengan menyatakan bahwa syarat hukum tersebut terlihat bahwa MK
“tidak sedang terganggu jiwa/ sepakat bahwa setiap orang memiliki
ingatannya” untuk terdaftar sebagai kemampuan yang berbeda dalam
pemilih dalam Pilkada inkonstitusional, membuat pilihan atau mengambil
maka secara tidak langsung MK keputusan, termasuk orang-orang yang
juga mengakui bahwa penyandang sedang terganggu jiwa/ingatannya.
disabilitas mental memiliki legal Pengakuan terhadap adanya
standing sebagai pemegang hak pilih, perbedaan kemampuan tersebut
sehingga harus dapat tercatat dalam menunjukan bahwa MK tidak menganut
daftar pemilih. Selain legal standing, pendekatan “Semua atau Tidak Sama
Putusan MK 135 juga menilai kapasitas Sekali” dalam memandang kapasitas
hukun dari aspek legal agency, hukum penyandang disabilitas. Hal itu
yaitu kemampuan pemilih dalam sudah sejalan dengan prinsip-prinsip
menggunakan hak pilihnya. HAM, baik yang tercantum dalam
Artikel 25 ICCPR maupun Artikel 29
Pada Pertimbangan Hukum
CRPD, yaitu jaminan pelindungan hak
paragraf 3.17 Putusan MK 135
pilih penyandang disabilitas mental.
disebutkan bahwa,
Selain itu, ada hal lain yang perlu
“Menimbang bahwa di dianalisa dalam pertimbangan hukum
hadapan hukum terutama Putusan MK 135, khususnya dalam
dalam kaitannya dengan menerapkan penilaian pada aspek
hak untuk memilih dan legal agency. Dalam pertimbangan
hak untuk terdaftar dalam hukum 3.17.1, MK menyatakan bahwa,
daftar pemilihan, yang “… Dibutuhkan keahlian (profesi)
mengasumsikan adanya tertentu untuk dapat dengan tepat
kemampuan membuat pilihan, menilai seseorang sedang terganggu
masing-masing kategori jiwa dan/atau ingatannya.”, dan “…
gangguan jiwa dan/atau Ketiadaan pedoman serta lembaga
gangguan ingatan sebagaimana yang tepat untuk menjalankan
diuraikan di atas tidak boleh ketentuan Pasal 57 ayat (3) huruf a

28 Jurnal Adhyasta Pemilu


berpotensi menimbulkan pelanggaran penyandang disabilitas dalam
terhadap hak konstitusional calon penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada,
pemilih untuk terdaftar sebagai calon dengan harapan kedepan sudah
pemilih.”. Di satu sisi pertimbangan tidak ada lagi yang mempersoalkan
dalam Putusan MK ini menegaskan keikutsertaan penyandang disabilitas
bahwa MK sejalan dengan pendekatan menjadi pemilih dalam Pemilu dan
“Continuum”, yaitu dalam pelaksanaan Pilkada.
hak tetap memerlukan penilaian
akan kemampuan dari pemegang
hak. Namun, di sisi lain kedua 4.2 Advokasi Implementasi Putusan
pertimbangan itu tidaklah kontekstual MK 135 dalam Penyelenggaraan
dengan lingkup norma yang sedang Pilkada dan Pemilu
diuji. Terlepas dari kritik tersebut,
Putusan MK 135 disusun atas Putusan MK 135 tetap bermanfaat
permohonan uji materiil terhadap sebagai pintu masuk untuk
Pasal yang mengatur terkait dengan membentuk kebijakan lanjutan
pendaftaran pemilih dalam Pilkada. terkait dengan pelindungan hak
Untuk masuk dalam daftar pemilih pilih penyandang disabilitas mental.
Pilkada belumlah perlu untuk Pasca Putusan MK 135 terjadi
mempertimbangkan apakah orang sejumlah perubahan regulasi untuk
yang terdaftar itu memiliki kemampuan menyesuaikan dengan Putusan MK
mengambil keputusan (legal agency) tersebut. Namun perubahan itu tidak
atau tidak karena masih adanya jarak terjadi begitu saja, tetapi ada andil
waktu antara pendaftaran pemilih dari perjuangan advokasi organisasi
dengan pemungutan suara, yang masih penyandang disabilitas, terutama
memungkinkan segala hal terjadi, dalam memberikan pemahaman
termasuk kesembuhan bagi yang dan menjabarkan situasi yang terjadi
sebelumnya dianggap tidak mampu di lapangan. Perubahan regulasi
mengambil keputusan, atau justru tidak langsung terjadi, bahkan
sakit atau kecelakaan yang membuat ada beberapa diantaranya yang
seseorang kehilangan kemampuannya baru berubah setelah didesak oleh
untuk mengambil keputusan. Selain organisasi penyandang disabilitas.
itu, keberadaan pedoman untuk Putusan MK 135 terbukti
menilai seseorang mampu mengambil membawa hal positif dalam
keputusan atau tidak oleh ahli, untuk pelaksanaan Pilkada dan Pemilu,
masuk dalam daftar pemilih, hanya yang terkonfirmasi langsung oleh
akan memperpanjang birokrasi, dan para penyelenggara Pemilu/Pilkada.
menambah beban kerja KPU, tetapi Menurut Anggota KPU RI, I Dewa Kade
hasil pekerjaannya masih berpotensi Wiarsa Raka Sandi menyampaikan
tinggi untuk berubah, baik disengaja bahwa, “Putusan MK 135 juga
atau tidak disengaja. memperkuat pelaksanaan kedaulatan
Sehingga kehadiran Putusan rakyat melalui praktik Pemilu/Pilkada,
MK 135 menjadi sumbangsih dimana dalam pelaksanaannya
penting bagi pengakuan hak memilih
Fajri Nursyamsi & M. Nur Ramadhan 29
termanifestasikan dalam hak pilih sikap responsif dari KPU RI dan
warga negara” (Sandi, 2020). Bawaslu RI tidak dapat dipisahkan
Nur Kholis Madjid, Anggota dari aktifnya organisasi penyandang
Bawaslu Kalimantan Selatan, disabilitas mental dalam melakukan
menyampaikan bahwa Putusan MK advokasi, terutama mendesak KPU
135 membuat pemahaman lebih RI dan Bawaslu RI untuk segera
jelas mengenai kondisi gangguan mengeluarkan sejumlah peraturan
jiwa dan hak memilih (Madjid, 2020). pelaksanaan merespon Putusan MK
Sedangkan menurut Nurul Amalia, 135 tersebut.
Anggota KPU Provinsi Jawa Timur, Dampak positif Putusan MK
berpendapat bahwa, “Putusan MK 135 tidak terlepas dari advokasi yang
135 membantu dalam menjustifikasi dilakukan oleh jaringan organisasi
syarat-syarat bagi pemilih dari penyandang disabilitas, khususnya
penyandang disabilitas mental, organisasi penyandang disabilitas
karena pada awalnya bingung mana mental. Yeni Rosa Damayanti, Ketua
yang harus pakai surat dokter dan Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS),
mana yang tidak, yang berdampak menyampaikan bahwa upaya advokasi
kepada perdebatan di lapangan” sudah dilakukan seiring dengan
(Amalia, 2020). Kedua pendapat proses uji materi terhadap Pasal 57
itu menggambarkan bahwa ada ayat (3) huruf a UU 8/2015 (2020).
kesulitan ketika syarat itu masih ada Pada saat itu hasil dari advokasi
berdasarkan ketentuan dalam pasal organisasi penyandang disabilitas,
57 ayat (3) huruf a UU 8/2015, yaitu KPU RI mengeluarkan Surat Edaran
menjustifikasi kondisi jiwa/ingatan KPU RI Nomor 7 tahun 2016 tentang
seseorang, yang dapat berdampak Penyampaian Formulir Alat Bantu
kepada tidak terdaftar sebagai pemilih, Periksa Pelaksanaan Pemilih Akses
yang menurut MK dalam Putusan 135 bagi Pemilih Penyandang Disabilitas
dapat berdampak kepada hilangnya (selanjutnya disebut SE 7/2016). SE
hak pilih orang tersebut. 7/2016 dibentuk berdasarkan UU
Purnomo S. Pringgodigdo, 8/2016, dan pada saat itu Putusan MK
Anggota Bawalu Provinsi Jawa Timur, 135 belum keluar.
dalam wawancara dengan penulis Dalam SE 7/2016 tertulis
menyampaikan bahwa, “Di tingkat keharusan melakukan identifikasi
daerah Putusan MK 135 berpengaruh pemilih penyandang disabilitas
karena ada perintah dari pusat” dalam daftar pemilih tetap, dan
(Pringgodigdo, 2020). Hal itu juga pemutakhiran data dan daftar pemilih,
diakui oleh narasumber lain yang yang kemudian menjadi pintu masuk
berasal dari lembaga penyelenggara bagi organisasi penyandang disabilitas
Pemilu/Pilkada di tingkat daerah, memastikan penyandang disabilitas
sehingga membuktikan bahwa sikap mental masuk atau terdaftar dalam
dari KPU RI dan Bawaslu RI akan daftar pemilih tetap. Pelaksanaan SE
sangat menentukan implementasi 7/2016 tidak dapat maksimal karena
dari suatu Putusan MK yang terkait disahkan ditengah proses yang
dengan kepemiluan. Namun begitu, sedang berjalan, dan ada temuan
30 Jurnal Adhyasta Pemilu
bahwa tidak semua KPUD membaca Pasca pergantian Anggota
dan memahami isi SE 7/2016 itu, KPU RI untuk periode 2017-2022,
sehingga ditemukan rumah sakit jiwa advokasi terkait dengan pelindungan
dan panti yang tidak mendaftarkan hak pilih penyandang disabilitas
penghuninya sebagai pemilih dalam mental berdasarkan Putusan MK
Pilkada 2017 (Damayanti, 2020). 135 mengalami kemunduran. Hal itu
Putusan MK 135 diadopsi dapat terlihat dari substansi Peraturan
dalam Undang-Undang Nomor 7 KPU Nomor 11 Tahun 2018 tentang
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Penyusunan Daftar Pemilih di Dalam
(UU 7/2017). Dalam UU itu sudah tidak Negeri dalam Penyelenggaraan
ada lagi syarat tidak sedang terganggu Pemilihan Umum (PKPU 11/2018).
jiwa/ingatannya untuk menjadi Dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b, ayat
pemilih, dan penyandang disabilitas (3), dan ayat (4) PKPU 11/2018
dijamin sebagai pemilih dalam Pasal 5 mencantumkan kembali syarat “tidak
yang menyebutkan bahwa: sedang terganggu jiwa/ingatannya”
“Penyandang disabilitas yang untuk terdaftar sebagai pemilih.
memenuhi syarat mempunyai PKPU 11/2018 mendapat
kesempatan yang sama tentangan keras dari PJS yang
sebagai Pemilih, sebagai calon mewakili organisasi penyandang
anggota DPR, sebagai calonn disabilitas mental, dan mendesak KPU
anggota DPD, sebagai calon untuk melakukan revisi. Desakan itu
Presiden/Wakil Presiden, direspon positif oleh KPU, dan untuk
sebagai calon anggota DPRD, merealisasikannya PJS dan koalisi
dan sebagai penyelenggara organisasi penyandang disabilitas
Pemilu.” melakukan lobi kepada fraksi-fraksi
di DPR untuk menyetujui juga usulan
Pada Pasal 198 UU 7/2017 yang
revisi tersebut (Damayanti, 2020). KPU
khusus mengatur perihal hak pilih
RI akhirnya membentuk PKPU Nomor
tidak menyinggung terkait dengan
syarat “tidak sedang terganggu jiwa/ 37 Tahun 2018 tentang Perubahan
atas Peraturan Komisi Pemilihan
ingatannya” untuk masuk dalam
Umum Nomor 11 Tahun 2018 tentang
daftar pemilih, karena syarat hanya
Penyusunan Daftar Pemilih di Dalam
mencakup warga negara Indonesia
Negeri dalam Penyelenggaraan
yang pada hari pemungutan suara
Pemilihan Umum (PKPU 37/2018).
sudah genap 17 tahun atau lebih,
PKPU 37/2018 menghapus beberapa
sudah kawin, atau sudah pernah
ketentuan termasuk menghapus
kawin (Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017).
ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf b dan
Begitupun dalam ketentuan di Bab
ayat (3) PKPU 11/2018.
V UU 7/2017 tentang penyusunan
Dalam konteks Pilkada,
daftar pemilih disebutkan bahwa
pengaturan terkait hak memilih
daftar pemilih disusun berdasarkan
penyandang disabilitas mental
data administrasi kependudukan yang
dimutakhirkan, yang pelaksanaannya memiliki dinamika tersendiri. Pasca
hadirnya Putusan MK 135, KPU tidak
terbuka atas masukan dari masyarakat.
langsung menerapkannya kepada
Fajri Nursyamsi & M. Nur Ramadhan 31
peraturan pelaksanaan Pilkada muncul tuduhan keberpihakan dari
yang dibentuk. Pada PKPU Nomor 2 penyelenggara Pemilu/Pilkada, apalagi
Tahun 2017 tentang Pemutakhiran jika hasil penghitungan suara berselisih
Data dan Penyusunan Daftar Pemilih tipis (Sandi, 2020). Nurul Amalia,
dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Anggota KPU Jawa Timur, menyepakati
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, hal itu, tetapi menyampaikan
dan/atau Walikota dan Wakil Walikota bahwa kritik atau tuduhan itu tidak
(PKPU 2/2017) masih menempatkan pernah dapat dibuktikan dan dalam
syarat “tidak sedang terganggu jiwa pelaksanaannya, penghitungan suara
dan/atau ingatannya” untuk terdaftar selalu dihadiri oleh saksi dari masing-
sebagai Pemilih. Penyesuaian masing peserta Pemilu/Pilkada.
terhadap Putusan MK 135 baru Kondisi itu menunjukan bahwa
dilakukan pada saat membentuk stigma negatif terhadap penyandang
PKPU Nomor 19 Tahun 2019 tentang disabilitas mental masih menjadi basis
Perubahan atas Peraturan KPU Nomor untuk menkritik kebijakan memasukan
2 Tahun 2017 tentang Pemutakhiran penyandang disabilitas mental sebagai
Data dan Penyusunan Daftar Pemilih pemilih.
dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Selain hal tersebut,
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, permasalahan lain yang terjadi dalam
dan/atau Walikota dan Wakil Walikota pemenuhan hak pilih penyandang
(PKPU 19/2019), yang menghapus disabilitas mental adalah belum
syarat “tidak sedang terganggu jiwa tercatatnya dalam administrasi
dan/atau ingatannya” tersebut. Hal kependudukan, atau perbedaan antara
itu memberi andil belum maksimalnya lokasi tinggal dengan domisili dari
pelaksanaan Putusan MK 135 dalam KTP yang bersangkutan (Damayanti,
konteks Pilkada. 2020). Kondisi itu banyak ditemukan
di rumah sakit jiwa atau panti-panti
yang menampung penyandang
4.3 Permasalahan Implementasi
Pelindungan Hak Pilih Penyandang disabilitas mental. Secara teknis,
permasalahan itu dapat diselesaikan
Disabilitas Mental Pasca Putusan
dengan menghubungi KPUD dan
MK Nomor 135/PUU-VIII/2015
dinas kependudukan dan catatan sipil
Dampak positif Putusan MK setempat, tetapi karena kondisi para
135 terhadap perubahan perspektif penyandang disabilitas mental yang
pembentuk kebijakan dalam melihat kerap terisolir di rumah sakit jiwa atau
hak pilih penyandang disabilitas panti, maka sulit untuk melakukannya.
mental, ternyata belum diikuti Dilain pihak, petugas rumah sakit dan
implementasinya di lapangan. panti tidak memberikan dukungan
Menurut Anggota KPU RI, I Dewa dalam mengurusi hal tersebut.
Kade Wiarsa Raka Sandi, kebijakan Permasalahan lainnya adalah
memasukan penyandang disabilitas adanya keengganan dari keluarga,
mental dalam daftar pemilih juga kerabat, atau masyarakat sekitar
banyak dipertanyakan oleh kelompok untuk mengupayakan pelindungan
masyarakat, bahkan sampai hak pilih bagi penyandang disabilitas
32 Jurnal Adhyasta Pemilu
mental. Nur Kholis Madjid, Anggota karena itu, status pengampuan atau
Bawaslu Kalimantan Selatan, bahkan sampai kehilangan kapasitas
menyampaikan bahwa ada upaya hukum tidak dapat dilakukan secara
dari keluarga untuk menyembunyikan sembarangan dan sepihak.
anggota keluarganya yang merupakan
penyandang disabilitas mental (2020). 4.4 Jaminan Pelindungan Hak
Rasa malu dan khawatir melakukan Pilih Penyandang Disabilitas
Tindakan yang tidak terkontrol dalam Pemilu/Pilkada dengan
menjadi alasan utama dari keluarga Pendekatan Rangkaian Proses
tersebut. Selain itu, penyandang
disabilitas mental kerap tidak terdaftar Putusan MK 135 sudah
dan kemudian tidak menggunakan menyatakan bahwa syarat “tidak sedang
hak pilihanya adalah karena terisolasi terganggu jiwa/ingatannya”, untuk
di rumah sakit jiwa atau panti. Kondisi masuk dalam daftar pemilih dalam
itu dilakukan biasanya berbasis Pilkada, inkonstitusional. Putusan
kepada keputusan petugas panti, atau itu disusun dengan membangun dan
surat hasil pemeriksaan dari dokter memperkenalkan pemahaman baru
atau psikiater, tetapi tidak dilakukan akan kapasitas hukum penyandang
secara maksimal dan orang per orang disabilitas mental. Putusan MK 135
(Damayanti, 2020). menggunakan pendekatan rangkaian
Kebijakan mengisolasi proses dalam menganalisa kapasitas
penyandang disabilitas mental dalam hukum penyandang disabilitas
rumah sakit jiwa atau panti berdasar mental. Dengan pendekatan itu, MK
kepada pemahaman bahwa seorang tidak hanya mempertimbangkan
dengan disabilitas mental tidak legal standing penyandang disabilitas
memiliki kapasitas hukum. Fenomena mental sebagai seorang manusia yang
itu menkonfirmasi pendekatan harus diakui kapasitas hukumnya, MK
“Semua atau Tidak Sama Sekali” untuk juga melihat kepada aspek legal agency
menilai kapasitas hukum seorang dalam menentukan kapasitas hukum
penyandang disabilitas mental. penyandang disabilitas mental, yaitu
Dalam pendekatan ini, status atau melihat kemampuan untuk memiliki
label sebagai penyandang disabilitas dan menggunakan hak pilihnya.
mental menjadi dasar untuk orang Dalam pendekatan rangkaian
lain mengambil alih pengambilan proses, seorang penyandang
keputusan atas dirinya, atau dikenal disabilitas satu dengan yang lainnya
sebagai substitute decision making. memliki kemampuan pengambilan
Padahal dalam Pasal 436-446 Kitab keputusan yang berbeda, sehingga
Undang-Undang Hukum Perdata perlu ada penilaian orang per orang
menyebutkan bahwa seseorang untuk menentukan kemampuan
berada dalam pengampuan adalah pengambilan keputusannya. Dalam
hasil dari penetapan pengadilan konteks hak pilih, maka orang dengan
yang bersifat individual, untuk tujuan disabilitas mental dapat dinilai
tertentu, dan dengan hukum acara seberapa mampu untuk memiliki atau
yang jelas (Susanti, 2016). Oleh menggunakan hak pilihnya.
Fajri Nursyamsi & M. Nur Ramadhan 33
Walaupun begitu, berbeda memahami situasi dan kondisi,
dengan pendekatan “Semua atau informasi, atau hanya sekadar teman
Tidak Sama Sekali”, yang lebih mudah diskusi, sampai akhirnya dapat
menentukan seseorang dengan mengambil keputusan sendiri secara
disabilitas mental tidak memiliki mandiri. Namun tidak sampai kepada
kapasitas hukum sehingga tidak pengarahan kepada salah satu calon
mempunyai hak pilih. Misalnya setiap tertentu.
orang yang berada dalam panti, rumah Pendekatan tersebut
sakit jiwa, atau tempat pengobatan harus diadaptasikan kepada teknis
gangguan jiwa lainnya dianggap tidak pelaksanaan dalam tahapan di
memiliki kapasitas hukum, sehingga Pemilu/Pilkada, khususnya dalam
tidak perlu didaftar sebagai pemilih. tahap pendaftaran pemilih sampai
Terlebih dengan statusnya itu segala pemungutan suara. Pada tahap
keputusan yang menyangkut dirinya pendaftaran pemilih, sesuai dengan
dapat diambilalih oleh orang lain Putusan MK 135, dilarang untuk
(substitute decision making). menerapkan syarat “tidak terganggu
Dalam pendekatan rangkaian jiwa/ingatannya”. Oleh karena itu,
proses, penilaian kapasitas hukum KPU dan KPUD harus mendaftar
orang dengan disabilitas mental setiap orang yang memenuhi syarat,
harus berdasar kepada pengakuan yaitu warga negara Indonesia
atas statusnya sebagai pemegang yang pada hari pemungutan suara
hak pilih. Selanjutnya, perlu penilaian sudah genap 17 tahun atau lebih,
dari ahli untuk menentukan tingkat sudah kawin, atau sudah pernah
kemampuan orang dengan disabilitas kawin, termasuk penyandang
mental dalam mengambil keputusan disabilitas mental dimanapun dan
atas hak pilihnya. Penilaian ini harus bagaimanapun kondisinya pada saat
dilakukan orang per orang dengan pendaftaran pemilih dilakukan. Dalam
tetap mengutamakan persetujuan dan tahap pendaftaran pemilih belum
preferensi pribadi dari penyandang perlu untuk menilai legal agency
disabilitas mental tersebut. Penilaian atau kemampuan seseorang untuk
yang dilakukan akan menghasilkan menggunakan hak pilihnya, karena
informasi dukungan apa yang dalam tahap ini pemilih belum akan
diperlukan agar orang tersebut dapat menentukan pilihannya.
mengambil keputusannya sendiri atas Setelah masuk dalam daftar
hak pilihnya. pemilih, KPU dan KPUD perlu
Dukungan dalam pengambilan melakukan identifikasi awal calon
keputusan (Supported Decision pemilih yang merupakan penyandang
Making) ini harus berdasar kepada disabilitas mental. Proses identifikasi
persetujuan atau bahkan permintaan ini pada dasarnya tidak mudah
dari orang yang akan didukung, dilakukan mengingat disabilitas mental
sehingga tidak dapat dipaksakan. tidak terlihat secara fisik. Dalam
Bentuk dukungan dalam hal tersebut praktiknya penyandang disabilitas
diperlukan untuk membantu mental yang teridentifikasi adalah
penyandang disabilitas mental mereka yang sedang berada di panti,
34 Jurnal Adhyasta Pemilu
rumah sakit jiwa, atau tempat-tempat penguatan pemahaman dan fasilitas
pengobatan gangguan jiwa lainnya. pendukung, agar konsep supported
Terhadap para penyandang disabilitas decision making dapat dilaksanakan.
mental itu dilakukan penilaian secara Selain itu, KPU dan KPUD juga perlu
orang per orang, dengan tujuan untuk mengalokasikan anggaran
untuk mengetahui dukungan apa untuk memberikan dukungan-
saja yang diperlukan agar pada saat dukungan, seperti penyediaan ahli
pemungutan suara dapat mengambil yang melakukan penilaian kebutuhan
keputusan secara mandiri, bukan dukungan, pemberian dukungan
untuk menghakimi bahwa yang pendampingan, pelaksanaan
bersangkutan penyandang disabilitas sosialisasi dan edukasi terkait dengan
mental sehingga tidak memiliki hak kepemiluan kepada para penyandang
pilih. Apabila penyandang disabilitas disabilitas mental.
mental yang bersangkutan sudah
setuju untuk mendapatkan dukungan 5. Kesimpulan
tersebut, maka pemberian dukungan
dilakukan dalam periode waktu Penghormatan dan
sebelum pemungutan suara. pelindungan terhadap hak pilih
Untuk dapat menjalankan penyandang disabilitas mental
pendekatan rangkaian proses dalam ditentukan oleh bagaimana kapasitas
pelaksanaan Pemilu/Pilkada, KPU hukum dari penyandang disabilitas
harus menyusun pedoman yang terkait mental diakui, baik dalam aspek legal
dengan mengidentifikasi pemilih standing maupun legal agency. Putusan
penyandang disabilitas mental, proses MK 135 sudah membuka pandangan
penilaian penentuan kebutuhan baru dalam mengakui kapasitas
dukungan secara perorangan, hukum penyandang disabilitas
dan proses pemberian dukungan mental, yaitu dengan menggunakan
secara perorangan. Selain itu, demi pendekatan rangkaian proses, yang
menghadirkan kepastian hukum, maka tidak hanya mempertimbangkan
kepada pihak-pihak yang menghambat bahwa seseorang memiliki hak
pelaksanaan tugas KPU dalam pilih (legal standing), tetapi juga
menjalankan pedoman itu masuk mempertimbangkan kemampuan
dalam kategori menghalang-halangi orang itu dalam mengambil
seseorang yang akan melakukan keputusan dalam menggunakan hak
haknya untuk memilih, sesuai dengan pilihnya (legal agency). Pendekatan
Pasal 531 Undang-Undang Nomor 7 rangkaian proses ini juga sudah harus
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, diadaptasi dalam praktik kepemiluan
dengan ancaman hukuman pidana di Indonesia, terutama sebagai
penjara paling lama 2 tahun dan denda pelaksanaan dari Putusan MK 135.
paling banyak Rp 24.000.000,00. Penyesuaian harus dilakukan pada
Tentu dalam pelaksanannya tidak tahapan pendaftaran, kampanye,
mengedepankan penghukuman sampai kepada pemungutan suara.
terhadap penyelenggara Pemilu/ Adapun 3 hal yang harus
Pilkada tetapi mendahulukan kepada dilakukan oleh KPU dan KPUD dalam
Fajri Nursyamsi & M. Nur Ramadhan 35
mengadaptasi pendekatan rangkaian
proses ini, yaitu pertama tetap
melakukan pendaftaran kepada
setiap penduduk yang memenuhi
syarat sebagai pemilih, termasuk para
penyandang disabilitas mental. Kedua,
melakukan penilaian terhadap orang
per orang penyandang disabilitas
mental yang terdaftar, untuk
mengetahui dukungan apa yang perlu
diberikan oleh penyelenggara Pemilu/
Pilkada agar orang tersebut tetap
dapat menggunakan hak pilihnya
pada waktu pengambilan suara.
Bentuk dukungan ini diberikan atas
persetujuan penyandang disabilitas
mental yang bersangkutan dan
tetap memasukan opsi untuk yang
bersangkutan tidak menggunakan
hak pilihnya atas pikilannya sendiri.
Ketiga, menindak setiap orang yang
tidak melaksanakan dukungan kepada
penyandang disabilitas mental untuk
mengambil keputusan secara mandiri
sebagai bentuk dari menghalang-
halangi seseorang yang akan
melakukan haknya untuk memilih.
Selain itu, perlu ada alokasi anggaran
untuk pelaksanaan dukungan-
dukungan yang dibutuhkan oleh
penyandang disabilitas mental dalam
melaksanakan hak pilihnya.

36 Jurnal Adhyasta Pemilu


DAFTAR PUSTAKA

Artikel, Buku dan Jurnal


Anggono, Bayu Dwi dkk. (2019). Peran Progresif Mahkamah Konstitusi dalam
Melindungi Hak Pilih Disabilitas Kategori Orang Dengan Gangguan
Jiwa dan Pengaruhnya Terhadap Peningkatan Partisipasi Pemilih dalam
Pemilu. Diakses dari: https://www.mkri.id/index.php?page=download.
Penelitian&id=105
Bach, M. & Kerzner, L. (2010). A new paradigm for protecting autonomy and
the right to legal capacity. Diakses dari : http://www.lco-cdo.org/en/
disabilities-call-for-papers-bach-kerzner.
Barton-Hanson, Renu. (2018). Reforming Best Interests: The Road Towards
Supported Decision Making. Journal of Social Welfare and Family Law,
40 (3). hlm. 277-298.
Browning, M., Bigby, C., & Douglas, J., (2014). Supported Decision Making:
Understanding How its Conceptual Link to Legal Capacity is Influencing
the Development of Practice. http://dx.doi.org/10.1080/23297018.201
4.902726
Commissioner for Human Rights. 2012. Who Gets to Decide? Right to Legal
Capacity for Persons with Intellectual and Psychosocial Disabilities.
Strasbourg, Perancis: Council of Europe.
Committee on the Rights of Persons with Disabilities. (2014). General Comment
Number 1 Article 12: Equal Recognition Before the Law. Diakses dari:
https://www.ohchr.org/ en/hrbodies/crpd/pages/gc.aspx
Glen, Kristin Booth. (2015). Supported Decision-Making and the Human Right of
Legal Capacity. Inclusion, Vol. 3 No. 1, hlm. 2-16. DOI: 10.1352/2326-
6988-3.1.2
Human Rights Council. (2013). Report of the Human Rights Council on its
nineteenth session. Diakses dari : https://www.ohchr.org/EN/HRBodies/
HRC/RegularSessions/Session19/Pages/ 19RegularSession.aspx
Human Rights Council. (2011). Thematic study by the Office of the United Nations
High Commissioner for Human Rights on participation in political and
public life by persons with disabilities. Diakses dari: https://www.ohchr.
org/Documents/HRBodies/HRCouncil/ RegularSession/Session19/A-
HRC-19-36_en.pdf
Istanto, F. Sugeng. (2007). Penelitian Hukum. Yogyakarta, Indonesia: CV Ganda.

Fajri Nursyamsi & M. Nur Ramadhan 37


Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat. (2020). Asesmen Hukum Pengampuan
Indonesia: Perlindungan Hak Orang dengan Disabilitas Psikososial.
Diakses dari : https://lbhmasyarakat.org/wp-content/uploads/2020/10/
Asesmen-Hukum-Pengampuan-Indonesia_LBHM.pdf
Marzuki, P.M. (2006). Penelitian Hukum. Jakarta. Kencana.
McSherry, Bernadette. (2012). Legal Capacity Under the Convention on the
Rights of Persons with Disabilities. Journal pf Law and Medicine,
September 2012. Diakses dari : https://www.researchgate.net/
publication/266798062_Legal_Capacity_Under_the_Convention_on_
the_Rights_of_Persons_with_Disabilities
Rahmanto, Tony Yuri. (2019). Hak Pilih Bagi Penyandang Disabilitas Mental
Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia. Diakses dari : file:///D:/
MyDocu/Downloads/570-3052-3-PB.pdf
Series, Lucy. (2015). Relationships, Autonomy and Legal Capacity: Mental Capacity
and Support Paradigms. International Journal of Law and Psychiatry, Vol.
40, hlm. 80-91. https://doi.org/10.1016/j.ijlp.2015.04.010
Quinn, G. (2010, Februari). Personhood & legal capacity: Perspectives on the
paradigm shift of Article 12. Diakses dari http://www.nuigalway.ie/cdlp/
documents/publications/Harvard% 20Legal%20Capacity%20gq%20
draft%202.doc
Richardson, G.. (2012). Mental Disabilities and the Law: From Substitute to
Supported. Current Legal Problems, Vol. 65, hlm. 333–354. doi:10.1093/
clp/cus010
Sumardjono, Maria S.W. (1989). Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian.
Yogyakarta, Indonesia: Fakultas Hukum UGM. Yogyakarta.
Susanti, Bivitri. (2016). Hak Memilih Untuk Warga Negara Penyandang Disabilitas
Mental dan Intelektual. Disampaikan pada Sidang Pengujian Pasal 57
ayat (3) huruf a UU 8/2015, 4 April 2016.
United Nations. (1966). International Convenant on Civil and Political Rights.
Diakses dari https://treaties.un.org/doc/publication/unts/volume%20
999/volume-999-i-14668-english.pdf
United Nations. (2015). Universal Declaration of Humarn Rights. Diakses dari
https://www.un.org/en/udhrbook/pdf/udhr_booklet_en_web.pdf
United Nations. 2006. Convention on the Rights of Persons with Disabilities.
Diakses dari : https://www.un.org/disabilities/documents/convention/
convoptprot-e.pdf

38 Jurnal Adhyasta Pemilu


Wawancara
Amalia, Nurul. 2020. Wawancara diselenggarakan pada 20 Juli 2020 secara
online.
Damayanti, Yeni Rosa. 2020. Wawancara diselenggarakan pada 31 Juli 2020
secara online.
Madjid, Nur Kholis. 2020. Wawancara diselenggarakan pada 16 Juli 2020 secara
online.
Pringgodigdo, Purnomo S. Wawancara diselenggarakan pada 20 Juli 2020 secara
online.
Sandi, I Dewa Kade Wiarsa Raka. 2020. Wawancara diselenggarakan pada 22 Juli
2020 secara online.

Putusan Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Retifikasi Konvensi Hak
Penyandang Disabilitas.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Sipil dan
Politik.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-VIII/2015.

Website
https://www.ncsbe.gov/voting/help-voters-disabilities, diakses pada 5
November 2020.
https://www.sos.alabama.gov/alabama-votes/voter/assistance-disability,
diakses pada 5 November 2020.
https://www.disabilityrightswa.org/publications/assisting-voters-disabilities/,
diakses pada 5 November 2020.
https://www.aec.gov.au/assistance, diakses pada 5 November 2020.

Fajri Nursyamsi & M. Nur Ramadhan 39

You might also like