Professional Documents
Culture Documents
Patofisiologi Rhinitis Allergy
Patofisiologi Rhinitis Allergy
Faktor Risiko
Rhinitis alergi biasa disebabkan oleh paparan alergen tahunan atau musiman yang ada di
lingkungan dalam atau luar ruangan. Menurut Wang (2005), kejadian rhinitis alergi
dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan.
a. Karakter Genetik dari Rhinitis Alergi
Latar belakang genetik dari riwayat keluarga yang memiliki atopi adalah faktor risiko
terbesar untuk perkembangan dari gejala alergi. Atopi merupakan kondisi kunci,
merupakan kondisi yang diturunkan, yang dimediasi oleh IgE. Gejala biasanya
berkembang saat anak-anak atau remaja, saat pasien tersensitasi dan memproduksi
antibody IgE sebagai respons terhadap alergen biasa. Mekanisme kompleks bagaimana
hal tersebut dapat diturunkan masih belum diketahui sepenuhnya. Penelitian genom
menunjukkan terdapat 14 pasang kromosom yang berhubungan dengan atopi (seperti
kromosom 1, 2, 3, 5, 6, 7, 9, 11, 12, 13, 14, 16, 17, dan banyak lagi).
b. Faktor Lingkungan
1. Polusi Udara
Selain alergen, paparan terhadap polutan yang tinggi, seperti oksida dari nitrogen,
ozone, sulfur dioksida, asap hitam (partikel besar atau kecil, karbon monoksida, dsb)
juga dapat menyebabkan eksaserbasi. Polusi udara memiliki peran penting pada
pathogenesis alergi dan penyakit pernapasan. Polutan dapat menurunkan mekanisme
pertahanan, sehingga menyebabkan pernapasan lebih rentan terhadap infeksi
virus/bakteri, atau menyebabkan toksisitas imunologis di saluran napas. Terdapat
interaksi kimiawi, molecular, dan seluler yang terjadi pada reaksi alergi yang dipicu
oleh polusi udara.
2. Kontrol Alergen Dalam Ruangan
Paparan terhadap alergen dalam rumah adalah penyebab utama dari rhinitis
alergi. Terutama pada anak-anak yang banyak menghabiskan waktu di dalam rumah.
Jika banyak alergen di dalam rumah, maka risiko terjadinya sensitasi alergenik pada
tahap awal hidup akan meningkat pula.
a) Debu rumah
Debu rumah mengandung zat-zat alergenik yang bermacam-macam, yakni
alergen metabolik dan somatik dari tungau, atau alergen dari hewan domestik,
serpihan kulit manusia, serangga domestik (seperti kecoak), dan endotoksin dari
bakteri gram-negatif. Sebagai tambahan, spora atau miselia jamur dan produk
lainnya dari hewan atau tanaman seperti bulu, wol, dan serat natural bisa juga
menjadi sumber debu alergen.
b) Endotoksin
Endotoksin merupakan komponen dari bakteri gram-negatif, yang merupakan
agen proinflamasi poten yang biasa ditemukan pada debu rumah. Paparan
terhadap endotoksin akan menyebabkan inflamasi saluran nafas, ditandai dengan
invasi neutrofil, iritasi membrane mukosa, dan diameter saluran nafas yang
menyempit.
c) Tungau
Tungau debu rumah adalah alergen paling umum pada penyakit rhinitis alergi
dan asma, yang didominasi oleh Dermatophagoides pteronyssinus dan
Dermatohpagoides farina di seluruh dunia, serta Blomia tropicalis pada area-area
tropis. Tungau debu rumah biasanya ditemukan pada tempat tidur, karpet,
kelambu, dan produk kain.
Pada area tropis, sebagian besar rhinitis alergi persisten terjadi. Hal ini
mungkin berhubungan dengan cuaca hangat dan lembab yang terjadi sepanjang
tahun, mendukung proliferasi tungau debu dan jamur, dua aeroalergen paling
umum dari rhinitis alergi. Pasien menjadi simptomatis sepanjang tahun, sehingga
diperlukan adanya kontrol tungau debu yang baik.
d) Hewan peliharaan
Prevalensi asma, rhinitis, dan alergi pada kulit secara signifikan umum terjadi
pada keluarga yang memiliki hewan peliharaan. Protein dari secret hewan
memiliki alergen kuat yang mampu menyebabkan reaksi hipersensitivitas yang
hebat. Kucing dan anjing adalah penyebab utama apabila diperbolehkan untuk
masuk ke dalam kamar. Glikoprotein dari kucing mampu bertahan sebagai
partikel airborne untuk jangka waktu yang panjang, dan mudah menempel pada
barang-barang.
e) Lain-lain
Penyakit alergi dapat terjadi akibat faktor lain, seperti perubahan gaya hidup,
perubahan makan, variasi geografis, iklim, kondisi sosioekonomik, dan merokok.
Daftar Pustaka
Min Y. G. (2010). The pathophysiology, diagnosis and treatment of allergic rhinitis. Allergy,
asthma & immunology research, 2(2), 65–76. https://doi.org/10.4168/aair.2010.2.2.65
Wang D. Y. (2005). Risk factors of allergic rhinitis: genetic or environmental?. Therapeutics
and clinical risk management, 1(2), 115–123.
https://doi.org/10.2147/tcrm.1.2.115.62907