Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 5

Patofisiologi

Menurut Min (2010), berikut adalah patofisiologi dari rhinitis alergi.


a. Sensitasi terhadap Alergen
Antigen presenting cells (APCs), seperti sel dendritik pada permukaan mukosa,
memproses alergen dan mempresentasikan peptide dari alergen ke molekul major
histocompatibility complex (MHC) kelas II. Molekul MHC kelas II dan kompleks antigen
bekerja sebagai ligan pada reseptor sel T di sel CD4+, yang menyebabkan diferensiasi sel
CD4+ Naif menjadi sel Th2 spesifik-alergen. Sel Th2 yang teraktivasi mensekresi
beberapa sitokin, yang menginduksi sel B untuk memproduksi IgE spesifik dan proliferasi
eosinofil, sel mast, dan neutrofil. IgE spesifik kemudian terikat kepada reseptor IgE
berafinitas tinggi pada sel mast atau basofil.

b. Reaksi Cepat dan Lambat


Saat pasien rhinitis alergi terpapar pada alergi, reaksi alergi terbentuk melalui dua pola
berbeda berdasarkan urutan waktu. Yang pertama adalaah reaksi cepat, yakni bersin dan
rinorea yang terjadi dalam 30 menit dan menghilang. Reaksi awal merupakan respons dari
sel mast terhadap alergen (hipersensitivitas tipe I). Sel mast yang terstimulasi menginduksi
gejala hidung dengan mensekresi mediator kimiawi seperti histamin, prostaglandin, dan
leukotrien.
Selanjutnya adalah reaksi lambat, yang menyebabkan obstruksi hidung sekitar 6 jam
setelah paparan terhadap alergen, dan menghilang perlahan. Kemotaksis eosionofil adalah
mekanisme utamanya, yang disebabkan akibat mediator kimiawi yang diproduksi pada
reaksi awal. Beberapa sel inflamasi, eosinofil, sel mast, dan sel T bermigrasi ke mukosa
hidung, merusak dan me-remodel jaringan hidung normal, dan proses ini menyebabkan
obstruksi nasal yang menjadi salah satu keluhan utama dari pasien rhinitis alergi.
c. Inflamasi Neurogenik
Saat epitel saluran nafas dirusak dan ujung saraf terpapar oleh protein sitotoksik dari
eosinofil, serabut saraf sensori tereksitasi oleh stimulasi non-spesifik dan menstimulasi
baik saraf aferen dan eferen di sekitarnya, disebut sebagai reflex aksonal retrograde
(mundur). Hal ini menyebabkan serabut saraf sensori mensekresi neuropeptide seperti
substance P dan neurokinin A, yang menginduksi kontraksi otot polos, sekresi mucus dari
sel goblet, dan eksudasi plasma dari kapiler. Proses ini disebut sebagai inflamasi
neurogenic.
d. Hiperresponsivitas Non-Spesifik
Hiperresponsivitas non-spesifik merupakan salah satu karakterstik klinis dari inflamasi
alergi. Akibat infiltrasi eosinofil dan destruksi dari mukosa hidung, mukosa menjadi
hiperaktif terhadap stimulasi normal dan menyebabkan gejala hidung seperti bersin,
rinorea, hidung gatal, dan obstruksi. Hal ini merupakan reaksi non-imun yang tidak
berkorelasi dengan IgE. Hipersensitivitas terhadap stimulasi non-spesifik seperti rokok,
udara dingin, udara kering, mau pun alergen spesifik, meningkat pada pasien rhinitis
alergi.

Faktor Risiko
Rhinitis alergi biasa disebabkan oleh paparan alergen tahunan atau musiman yang ada di
lingkungan dalam atau luar ruangan. Menurut Wang (2005), kejadian rhinitis alergi
dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan.
a. Karakter Genetik dari Rhinitis Alergi
Latar belakang genetik dari riwayat keluarga yang memiliki atopi adalah faktor risiko
terbesar untuk perkembangan dari gejala alergi. Atopi merupakan kondisi kunci,
merupakan kondisi yang diturunkan, yang dimediasi oleh IgE. Gejala biasanya
berkembang saat anak-anak atau remaja, saat pasien tersensitasi dan memproduksi
antibody IgE sebagai respons terhadap alergen biasa. Mekanisme kompleks bagaimana
hal tersebut dapat diturunkan masih belum diketahui sepenuhnya. Penelitian genom
menunjukkan terdapat 14 pasang kromosom yang berhubungan dengan atopi (seperti
kromosom 1, 2, 3, 5, 6, 7, 9, 11, 12, 13, 14, 16, 17, dan banyak lagi).
b. Faktor Lingkungan
1. Polusi Udara
Selain alergen, paparan terhadap polutan yang tinggi, seperti oksida dari nitrogen,
ozone, sulfur dioksida, asap hitam (partikel besar atau kecil, karbon monoksida, dsb)
juga dapat menyebabkan eksaserbasi. Polusi udara memiliki peran penting pada
pathogenesis alergi dan penyakit pernapasan. Polutan dapat menurunkan mekanisme
pertahanan, sehingga menyebabkan pernapasan lebih rentan terhadap infeksi
virus/bakteri, atau menyebabkan toksisitas imunologis di saluran napas. Terdapat
interaksi kimiawi, molecular, dan seluler yang terjadi pada reaksi alergi yang dipicu
oleh polusi udara.
2. Kontrol Alergen Dalam Ruangan
Paparan terhadap alergen dalam rumah adalah penyebab utama dari rhinitis
alergi. Terutama pada anak-anak yang banyak menghabiskan waktu di dalam rumah.
Jika banyak alergen di dalam rumah, maka risiko terjadinya sensitasi alergenik pada
tahap awal hidup akan meningkat pula.
a) Debu rumah
Debu rumah mengandung zat-zat alergenik yang bermacam-macam, yakni
alergen metabolik dan somatik dari tungau, atau alergen dari hewan domestik,
serpihan kulit manusia, serangga domestik (seperti kecoak), dan endotoksin dari
bakteri gram-negatif. Sebagai tambahan, spora atau miselia jamur dan produk
lainnya dari hewan atau tanaman seperti bulu, wol, dan serat natural bisa juga
menjadi sumber debu alergen.
b) Endotoksin
Endotoksin merupakan komponen dari bakteri gram-negatif, yang merupakan
agen proinflamasi poten yang biasa ditemukan pada debu rumah. Paparan
terhadap endotoksin akan menyebabkan inflamasi saluran nafas, ditandai dengan
invasi neutrofil, iritasi membrane mukosa, dan diameter saluran nafas yang
menyempit.
c) Tungau
Tungau debu rumah adalah alergen paling umum pada penyakit rhinitis alergi
dan asma, yang didominasi oleh Dermatophagoides pteronyssinus dan
Dermatohpagoides farina di seluruh dunia, serta Blomia tropicalis pada area-area
tropis. Tungau debu rumah biasanya ditemukan pada tempat tidur, karpet,
kelambu, dan produk kain.
Pada area tropis, sebagian besar rhinitis alergi persisten terjadi. Hal ini
mungkin berhubungan dengan cuaca hangat dan lembab yang terjadi sepanjang
tahun, mendukung proliferasi tungau debu dan jamur, dua aeroalergen paling
umum dari rhinitis alergi. Pasien menjadi simptomatis sepanjang tahun, sehingga
diperlukan adanya kontrol tungau debu yang baik.
d) Hewan peliharaan
Prevalensi asma, rhinitis, dan alergi pada kulit secara signifikan umum terjadi
pada keluarga yang memiliki hewan peliharaan. Protein dari secret hewan
memiliki alergen kuat yang mampu menyebabkan reaksi hipersensitivitas yang
hebat. Kucing dan anjing adalah penyebab utama apabila diperbolehkan untuk
masuk ke dalam kamar. Glikoprotein dari kucing mampu bertahan sebagai
partikel airborne untuk jangka waktu yang panjang, dan mudah menempel pada
barang-barang.
e) Lain-lain
Penyakit alergi dapat terjadi akibat faktor lain, seperti perubahan gaya hidup,
perubahan makan, variasi geografis, iklim, kondisi sosioekonomik, dan merokok.

Daftar Pustaka
Min Y. G. (2010). The pathophysiology, diagnosis and treatment of allergic rhinitis. Allergy,
asthma & immunology research, 2(2), 65–76. https://doi.org/10.4168/aair.2010.2.2.65
Wang D. Y. (2005). Risk factors of allergic rhinitis: genetic or environmental?. Therapeutics
and clinical risk management, 1(2), 115–123.
https://doi.org/10.2147/tcrm.1.2.115.62907

You might also like