B021211074 - Tri Indriati - Tugas HTN Pilkada

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 12

PEMILUKADA: APAKAH DIKEMBALIKAN KEPADA DPRD ATAU DIPILIH

LANGSUNG OLEH RAKYAT


Tri Indriati
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Email: triindriatimunawar@gmail.com @unhas.ac.id

Abstract

The highest sovereignty is in the hands of the people, as stipulated in the Constitution of the Republic of Indonesia
1945. In the event of the exercise of the rights of the people in the sovereign it is appropriate that these rights are
not deprived by the officials of the current authorized state. One of them is the right to choose the Regional Head as
a representation of the people's representatives who will convey all aspirations and represent the people in decision
making for the implementation of the state in accordance with the Constitution of the Republic of Indonesia. Instead
of these rights wanting to be protected by the state, even the elections are still the pros and cons among the state
apparatus, some agree with the return of the election to the DPRD with some considerations, but on the other hand
it actually opens up space for the arbitrariness of DPRD officials in choosing the representatives of the people
themselves. Therefore, this paper will explore more deeply related to the effectiveness of the implementation of the
Regional Election which is carried out directly. This research is juridical-normative using qualitative descriptive
methods. The data in this study was taken with library materials or secondary materials. And the results of this
study will show the effectiveness of the elections carried out directly by the people by upholding the basic principles
of democracy and sovereignty that have been given to the people. There are several explanations related to several
aspects of the review. Do not forget to adjust it to the legislation that is currently in force in Indonesia.

Keywords: Regional head election, Publik, Democracy

Abstrak

Kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat, sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945. Dalam hal terlaksananya hak rakyat dalam berdaulat sudah sepatutnya hak tersebut tidak
dirampas oleh pejabat negara yang berwenang sekarang ini. Salah satunya adalah hak dalam memilih Kepala
Daerah sebagai representasi dari perwakilan rakyat yang akan menyampaikan seluruh aspirasi dan mewakili
rakyat dalam pengambilan keputusan demi berjalannya penyelenggaraan negara yang selaras dengan konstitusi
negara Indonesia. Alih-alih hak tersebut ingin dilindungi oleh negara malah Pilkada masih menjadi pro dan kontra
dikalangan aparatur negara, ada yang setuju dengan dikembalikannya Pilkada kepada DPRD dengan beberapa
pertimbangan, namun disisi lain hal tersebut justru membuka ruang bagi timbulnya kesewenang-wenangan pejabat
DPRD dalam memilih perwakilan rakyat itu sendiri. Oleh karena itu tulisan ini akan mengulik lebih dalam terkait
efektivitas implementasi Pilkada yang dilaksanakan secara langsung. Penelitan ini berbentuk yuridis-normatif
dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Data dalam penelitian ini diambil dengan bahan Pustaka atau
bahan sekunder. Dan hasil dari penelitian ini akan menunjukkan keefektivitasan dari Pilkada yang dilakukan
secara langsung oleh rakyat dengan menjunjung tinggi asas pokok demokrasi dan kedaulatan yang telah diberikan
kepada rakyat. Terdapat beberapa penjelasan terkait tinjauan yuridis. Tidak lupa dengan menyesuaikannya pada
Perundang-undangan yang berlaku sekarang ini di Indonesia.

Kata Kunci: Pemilihan Kepala Daerah, rakyat, Demokrasi


1. Pendahuluan

Pemilu merupakan salah satu wujud keterlibatan rakyat dalam proses politik,
rakyat mempunyai hak dalam menentukan figur dan arah kepemimpinannya nanti dalam
waktu tertentu dan yang mampu melayani dan mengabdi untuk kepentingan seluruh
rakyatnya. Ide demokrasi yang menyebutkan dasar penyelenggaraan Negara adalah
kehendak rakyat (Kedaulatan rakyat) yang merupakan dasar bagi penyelenggara pemilu.
Penyelenggaraan pemilu yang demokratis menjadi alat ukur dalam mencapai
kepemimpinan yang ideal bagi suatu Negara1. Kepemimpinan yang tanpa dibatasi waktu
tertentu akan cenderung korup dan sewenang-wenang, oleh sebab itu perlu pergantian elit
yang teratur, berkesinambungan dan dipilih oleh rakyat secara langsung demi
menghindari kekuasaan yang sewenang-wenang tersebut. Dalam negara demokrasi,
setiap warga negara memiliki hak untuk turut andil dalam proses pemerintahan. Selain
itu, rakyat juga memiliki hak untuk mengawasi jalannya sistem pemerintahan. Partisipasi
rakyat ini digunakan pada berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, pendidikan, sosial
dan budaya. Contoh nyata dari asas pokok demokrasi ini adalah kesempatan rakyat untuk
memilih wakil rakyatnya, misalnya pemilihan anggota DPR sebagai representasi
perwakilan dari rakyat sebagaimana telah diatur dalam konstitusi kita. Namun disini
bukan hanya pada hak dalam pemilihan anggota DPR saja tetapi juga Kepala Daerah
yang paling dekat dengan masyarakat itu sendiri. Sebagaimana dalam Pasal 18 ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa;

“Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah


Daerah Provinsi, Kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.
Hal ini sesuai Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Dalam proses pembahasan ketentuan pemilihan kepala daerah
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, masih menjadi
perbincangan bahwa ada dua pandangan berbeda terkait pelaksanaan Pemilihan Kepala
Daerah. Pendapat pertama mengusulkan agar pemilihan kepala daerah dilakukan secara
langsung oleh rakyat, tidak melalui sistem perwakilan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Sedangkan pendapat kedua menghendaki pemilihan kepala daerah tetap
dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.2 Perdebatan tersebut masih menjadi
pro dan kontra sampai saat ini, hingga akhirnya Presiden sampai mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota, di mana pemilihan kepala daerah dikembalikan menjadi
pemilihan secara langsung.

1
Deni Andreansyah, 2015, EFEKTIFITAS PENERAPAN PASAL 73 NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN
KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015, Jalan Mayjen. Haryono 193 Malang 65144 Indonesia
2
Janedjri M. Gaffar, Politik Hukum Pemilu, (Jakarta: Konstitusi Press, 2012), hlm. 93
Melihat permasalahan diatas maka tulisan ini akan memberikan gambaran terkait
bagaimana keefektivitasan dari pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh
masyarakat yang berlandaskan kepada asas demokrasi sebagai negara yang menjunjung
tinggi kedaulatan rakyat dan gambaran dari Pemilihan Kepala Daerah Ketika
dikembalikan kepada DPRD. Untuk memperoleh data serta penjelasan mengenai segala
sesuatu yang berkaitan dengan pokok permasalahan diperlukan suatu pedoman penelitian
atau metode penelitian, hal ini dikarenakan dengan menggunakan metode penelitian yang
benar akan diperoleh validitas data serta dapat mempermudah dalam melakukan
penelitian terhadap suatu masalah. Tulisan ini dilakukan dengan metode penelitian
yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang
dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka yang ada. 3Penelitian Normatif ini menggunakan pendekatan peraturan
perundang undangan (Yurisdis). Pendekatan ini dipilih untuk mengetahui bagaimana
pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan semua peraturan perundangundangan yang
mengaturnya.

2. Metode

Metode penetitian dilakukan dengan pendekatan yuridis normative (Legal


Research) dan Library research yaitu penelitian keperpustakaan dengan cara membaca,
menelaah dan mencatat berbagai literatur yang sesuai dengan pokok bahasan penulisan
ini. Jenis data menggunakan data sekunder yang terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum
diantaranya, primer (UUD RI 1945, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi undang-undang, Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dan Undang–
Undang No. 7 tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pemilu, Tugas dan wewenang
KPU(D) ), sekunder (Jurnal), dan tartier (Internet). Analisis data menggunakan analisis
logika deduktif yaitu menjelaskan suatu hal yang bersifat umum kemudian meneriknya
menjadi kesimpulan yang lebih khusus.

3. Pembahasan (Analisis)

3.1. Sejarah Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia

Salah satu wujud dan mekanisme demokrasi di daerah adalah pelaksanaan pemilihan
kepala daerah. Pemilihan kepala daerah merupakan sarana manifestasi kedaulatan dan
3
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke – 11.
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 13–14.
pengukuhan bahwa pemilih adalah masyarakat di daerah. Pemilihan Kepala daerah
memilik 3 (tiga) fungsi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pertama,
memilih kepala daerah sesuai dengan kehendak masyarakat di daerah sehingga ia
diharapkan dapat memahami dan mewujudkan kehendak masyarakat di daerah. Kedua,
melalui pemilihan kepala daerah diharapkan pilihan masyarakat di daerah didasarkan
pada visi, misi, program serta kualitas dan integritas calon kepala daerah, yang sangat
menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Ketiga, pemilihan
kepala daerah merupakan sarana pertanggungjawaban sekaligus sarana evaluasi dan
kontrol public secara politik terhadap seorang kepala daerah dan kekuatan politik yang
menopangnya.
Selain itu, fungsi pilkada juga dikemukakan oleh Sartono Sahlan dan Awaludin
Marwan yaitu, Pertama, pilkada merupakan institusi pelembagaan konflik. Di mana,
pilkada didesain untuk meredam konflik-konflik apalagi yang berbau kekerasan, guna
mencapai tujuan demokrasi dan pengisian jabatan politik di daerah Kedua, pilkada
sebagai sarana pencerdasan dan penyadaran politik warga. Ketiga, mencari sosok
pemimpin yang kompeten dan komunikatif dan keempat, menyusun kontrak sosial baru.
Di mana hasil dari pilkada tersebut bukan hanya lahirnya pemimpin baru, juga sirkulasi
komunikasi yang membuat perjanjian-perjanjian sang kandidat sebelum menjadi
pemenang dituntut untuk merealisasikannya secara riil. Sejarah politik mencatat, Adapun
penjelasan terkait dengan pemilihan kepala daerah telah dilakukan dalam 5 (lima) system
yakni:

1. Sistem penunjukan atau pengangkatan oleh pusat (masa pemerintahan kolonial


Belanda, penjajahan Jepang, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1902). Kemudian
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957,
ketika berlakunya sistem parlementer yang liberal. Pada masa itu, baik sebelum dan
sesudah pemilihan umum 1955 tidak ada partai politik yang mayoritas tunggal.
Akibatnya pemerintah pusat yang dipimpin oleh Perdana Menteri sebagai hasil koalisi
partai, mendapat jabatan biasanya sampai ke bawah;
2. Sistem penunjukan (Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 jo Penetapan Presiden
Nomor 5 Tahun 1960, UndangUndang Nomor 6 Tahun 1956 dan UndangUndang
Nomor 18 Tahun 1956), yang lebih dikenal dengan era Dekrit Presiden ketika
ditetapkannya demokrasi terpimpin. Penerapan Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun
1959 jo Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960 disertai alasan “situasi yang
memaksa”;
3. Sistem pemilihan perwakilan (UndangUndang Nomor 5 Tahun 1974), di era
demokrasi Pancasila. Pemilihan kepala daerah dipilih secara murni oleh Lembaga
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan kemudian calon yang dipilih itu akan
ditentukan kepala daerahnya oleh Presiden;
4. Sistem pemilihan perwakilan (UndangUndang Nomor 18 Tahun 1965 dan
UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999), di mana kepala daerah dipilih secara murni
oleh Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tanpa intervensi pemerintah pusat;
5. Sistem pemilihan langsung (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004), di mana kepala
daerah dipilih langsung oleh rakyat.
Sedangkan menurut Rahmat Hollyson MZ dan Sri Sundari, sistem pemilihan kepala
daerah di Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga) periode yaitu:
1. Periode penunjukan Gubernur oleh Presiden atas pengusulan beberapa calon oleh
DPRD Provinsi sedangkan Bupati ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri melalui
pengusulan beberapa calon oleh DPRD Kabupaten/Kota. Periode ini ditandai
dengan dikeluarkannya beberapa dasar hukum yaitu UndangUndang Nomor 1
Tahun 1945, UndangUndang Nomor 22 Tahun 1948, UndangUndang Nomor 1
Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor
18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.
2. Pemilihan Gubernur/Bupati/Walikota melalui pemilihan di DPRD Provinsi/
Kabupaten/Kota. Pengaturan ini dapat ditemukan di dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
3. Pemilihan Gubernur/Bupati/Walikota secara langsung, yang diatur dalam
beberapa undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, UU Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi undang-undang dan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang.

3.2. Pengertian Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6


Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengankatan dan Pemberhentian Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah juncto Peraturan Pemerintah Nomor 49 tahun 2008
Tentang Perubahan atas PP Nomor 6 Tahun 2005 adalah: “Sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan/atau Kabupaten/Kota berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sedangkan
memurut salah satu ahli yakni Joko J. Prihantoro menyatakan bahwa : “Pemilihan Kepala
Daerah merupakan rekrutmen politik yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh
yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, baik sebagai Gubernur/ Wakil Gubernur,
Bupati/ Wakil Bupati maupun Walikota/ Wakil Walikota”. Pilkada sendiri merupakan
suatu kegiatan yang bersifat Equivalen, yang dalam hal ini menunjukkan kesejajarannya
antara Kepala Daerah dan DPRD.
Adapun beberaapa syarat untuk bisa mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah,
sebagaimana dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik
Indonesia Nomor 1 tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Dan/Atau Walikota/Wakil Walikota, menyatakan:

“(1) Warga Negara Indonesia dapat menjadi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati dan Wakil Bupati, atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota dengan memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, citacita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
c. berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat;
d. berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur
dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali
Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon;
e. mampu secara jasmani, rohani dan bebas penyalahgunaan narkotika berdasarkan hasil
pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter yang terdiri dari dokter, ahli psikologi
dan Badan Narkotika Nasional (BNN);
f. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak
pidana kealpaan atau tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang
dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya
mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa;
f1. bagi terpidana yang tidak menjalani pidana di dalam penjara meliputi:
1. terpidana karena kealpaan; atau
2. terpidana karena alasan politik;
3. dihapus,
wajib secara jujur atau terbuka mengemukakan kepada publik;
g. bagi Mantan Terpidana yang telah selesai menjalani masa pemidanaannya wajib secara
jujur atau terbuka mengemukakan kepada publik;
g1. bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulangulang;
h. bukan Mantan Terpidana bandar narkoba atau bukan Mantan Terpidana kejahatan
seksual terhadap anak;
i. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap;
j. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
k. menyerahkan daftar kekayaan pribadi kepada instansi yang berwenang memeriksa
laporan harta kekayaan penyelenggara negara;
l. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan
hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;
m. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap;
n. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan memiliki laporan pajak pribadi;…….”

3.3. Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung

Pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat sebagaimana diketahui


pertama kali dilaksanakan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan jalan
keluar yang baik untuk mencairkan kebekuan demokrasi pun menggambarkan
ketidakmundurannya demokrasi Indonesia. Ketentuan pemilihan kepala daerah secara
langsung terletak pada pembentukan dan implikasi legitimasinya. Kepala daerah
membutuhkan legitimasi yang terpisah dari DPRD, sehingga harus dipilih sendiri oleh
rakyat. Dengan pemilihan terpisah, kepala daerah memiliki kekuatan yang seimbang
dengan DPRD, sehingga mekanisme cheks and balances niscaya akan dapat berjalan
dengan baik. Semangat dilaksanakannya pemilihan kepala daerah secara langsung adalah
koreksi terhadap sistem demokrasi tidak langsung (perwakilan) di era sebelumnya, di
mana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD, menjadi demokrasi yang
berakar langsung pada pilihan rakyat (pemilih). Selain semangat itu, sejumlah
argumentasi dan asumsi yang memperkuat pentingnya pemilihan kepala daerah langsung
adalah Pertama, pemilihan kepala daerah diperlukan untuk meningkatkan akuntabilitas
para elit politik lokal, termasuk kepala daerah. Kedua, pemilihan kepala daerah
diperlukan untuk menciptakan stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan di tingkat
lokal, Ketiga, Pemilihan kepala daerah akan memperkuat dan meningkatkan kualitas
seleksi kepemimpin nasional karena makin terbuka peluang bagi munculnya pemimpin-
pemimpin nasional yang berasal dari bawah dan/atau daerah.

Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintah daerah marupakan


salah satu manifestasi pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi dan Negara hukum yang
salah satu cirinya pengakuan terhadap hak asasi manusia (Andryan, 2019). Adanya
supremasi konstitusi yang meletakkan rakyat sebagai pelaksanaan kedaulatan tertinggi
melahirkan konsekuensi bahwa setiap warga negara berhak ikut aktif dalam setiap proses
pengambilan keputusan kenegaraan. Sehingga, adanya pemilihan umum sebenarnya
merupakan suatu kewajiban konstitusional bagi negara untuk kemudian memberikan
ruang bagi masyarakat untuk dapat menyalurkan hak pilihnya dalam pelaksanaan
pemilihan umum. Betapapun pemilihan kepala daerah oleh DPRD dimaksudkan sebagai
mekanisme politik untuk mengejar efisiensi baik efisiensi waktu maupun anggaran,
namun perlu dipahami pula bahwa agar pemerintahan nantinya dapat berlangsung secara
efektif dan efisien, pemilihan kepala daerah harus pula melihat dari sisi penerimaan
masyarakat.

Pun pemilihan secara langsung ini merupakan salah satu bentuk dari kemajuan
demokrasi di Indonesia. Namun muncul pula resistensi dengan anggapan antara lain: (1)
anggapan bahwa sistem pemilihan kepala daerah secara langsung akan melemahkan
kedudukan DPRD; (2) Sistem pemilihan kepala daerah secara langsung akan menelan
biaya yang sangat besar, karena tidak sedikit anggaran daerah (APBD) yang akan
dikonsentrasikan pada KPUD di tiap tingkatan. (3) Munculnya persaingan khusus antara
calon independen dan calon dari partai politik dan (4) adanya pandangan bahwa
masyarakat belum siap untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung.

Oleh karena itu menurut saya untuk bisa menciptakan negara demokrasi yang
benar-benar bersih dari segala tindakan dan kesewenang-wenangan perlu rombakan
penegakan hukum yang lebih nyata, pemberian sanksi yang mampu membuat para calon
Kepala Daerah takut untuk melakukan kecurangan dikemudian hari, dan yang paling
penting adalah harus ada kerja sama yang baik antara pemerintah, badan yang bertugas
dalam pengawasan pemilihan umum, dalam hal ini KPU dan Bawaslu serta dari partai
politik itu sendiri. Contohnya saja Ketika dalam partai politik ada pasangan calon yang
memberi mahar kepada partai politik, dan partai politik tersebut menerima mahar itu,
maka akan diberi sanksi oleh badan pengawas pemilihan umum yakni berupa pasangan
calon yang ada di partai tersebut tidak diizinkan untuk ikut serta dalam pencalonan
sebagai Kepala Daerah.

Berdasarkan Undang–Undang No. 7 tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pemilu,


Tugas dan wewenang KPU(D) secara umum meliputi:
1. Merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan pemiliha umum.
2. menerima, meneliti dan menetapkan partai-partai politik yang berhak sebagai peserta
pemilihan umum.
3. membentuk panitia pemilihan indonesia yang selanjutnya disebut PPI dan
mengkordinasikan kegiatan pemilihan umum mulai dari tingkat pusat sampai di tempat
pemungutan suara yang selanjutnya disebut TPS.
4. menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPD, DPRD I, dan DPRD II, Pemilihan presiden
dan wakil presiden, serta pilkada untuk setiap daerah pemilihan.
5. menetapkan keseluruhan hasil pemilihan umum di semua daerah serta untuk pemilihan
DPR, DPRD I, dan DPRD II, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pilkada.
6. mengumpulkan dan mensistematiskan bahan – bahan serta data hasil Pemilihan Umum.
7. pemimpin tahapan kegiatan Pemilihan umum termasuk pemilihan presiden dan wakil
presiden, DPR, DPRD Provinsi DPD, Peserta pilkada.
Berdasarkan Undang-Undang No. 7 tahun 2017 telah diatur tentang pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah, kepala dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu
pasangan calon yang dipilih secara pasangan demokratis berdasarkan asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil yang di ajukan oleh partai politik atau gabungan
partai politik. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang bertanggung jawab kepada DPRD.
Dalam melaksanakan tugasnya KPUD menyampaikan laporan penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada DPRD, dalam mengawasi
penyelenggaraan kepala daerah dan wakil kepala daerah mebentuk panitia pengawas
pemiliha kepala daerah dan wakil kepala daerah yang keanggotaannya terdiri atas unsur
kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pres, dan tokoh masyarakat, anggota panitia
panitia pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah 5 orang untuk provinsi,
5 orang untuk kabupaten/kota dan 3 orang untuk kecamatan.Panitia pengawas pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah dibentuk oleh dan bertnggung jawab kepada
DPRD dan berkewajiban menyampaikan laporannya.

3.4. Pemilihan Kepala Daerah Melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Terkait pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD, ada beberapa pertimbangan


yang menjadi alasan sehingga banyak juga yang pro terkait hal ini, diantaranya pertama,
banyak beranggapan bahwa Ketika pemilihan kepala daerah itu melalui DPRD maka
pengeluaran dari pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah itu tidak terlalu
tinggi, karena dalam pelaksanaan pemilukada membutuhkan biaya sangat besar, baik
biaya yang dikeluarkan oleh negara melalui penyelenggara pemilukada, maupun biaya
yang dikeluarkan oleh pasangan calon. Kedua, praktik pemilukada selalu diwarnai
dengan politik uang, mulai dari yang besifat sporadis hingga yang bersifat masif,
terstruktur dan sistematis dan upaya untuk meminimalkannya hanya dapat dilakukan
dengan cara mengubah pemilihan oleh rakyat secara langsung menjadi pemilihan oleh
DPRD.

Hal ini juga didukung dengan adanya kasus di tahun 2018, pemilihan kepala
daerah secara langsung di 171 daerah membutuhkan biaya Rp20 triliun. Sayangnya,
biaya besar tak kunjung mendekatkan pemilihan kepala daerah kepada esensinya, yakni
memperoleh kepala daerah yang terbaik. Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
mencatat telah terdapat 29 kepala daerah yang terjerat dugaan kasus korupsi sepanjang
tahun 2018. Hal ini akan berbeda jika pemilihan kepala daerah dilakukan melalui DPRD.
Dengan pemilihan kepala daerah oleh DPRD, hanya akan melibatkan para anggota
DPRD yang jumlahnya hanya sebanyak 20-55 orang untuk DPRD kabupaten/kota dan
35-120 orang untuk DPRD provinsi. Berkaca pada hal tersebut, tentu Pemerintah tidak
perlu mengeluarkan biaya sebesar yang dikeluarkan jika pemilihan kepala daerah
dilakukan secara langsung. Bahkan, dalam pemilihan umum kepala daerah tahun 2018,
Polri berhasil memproses 25 kasus politik uang selama pemilihan kepala daerah serentak
tahun 2018 ini. Politik uang tersebut juga dilakukan dalam membeli dukungan partai-
partai pendukung hingga jelas dicalonkan dari partai.

Namun disisi lain rakyat dikecewakan dengan perilaku wakil rakyat yang tidak
aspiratif dan responsif, dalam beberapa hal hal bekerja untuk kepentingan sendiri. partai
politik mempunyai peran yang sangat menentukan, tetapi tidak bertanggung jawab,
apalagi mampu menyelesaikan perilaku menyimpang anggota DPRD itu sendiri. Oleh
karna itu perlu pengembalian hak atas kedaulatan dalam hal menentukan wakil rakyat,
dengan menggunakan system distrik. di dalam distrik murni mengakibatkan terlibat
langsung kepentingan kelompok kecil atau minoritas. Dan menurut Janedjri M. Gaffar,
apabila pemilihan kepada daerah dilaksanakan oleh DPRD, maka akan berpengaruh
kepada derajat demokrasi di daerah. Ada dua hal penting kenapa pemilukada oleh DPRD
akan mengurangi derajat demokrasi. Pertama, hal itu akan menghilangkan satu ruang
partisipasi masyarakat secara langsung dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
melalui pemilihan kepala daerah. Kedua, hilangnya ruang partisipasi langsung akan
berakibat menjauhnya hubungan antara kepala daerah dengan masyarakat di daerah.4

4. Kesimpulan

Berdasarkan kesimpulan di atas dapat bahwa model pemilihan kepala daerah


langsung oleh rakyat ataupun dikembalikan kepada DPRD, secara konstitusi, Mahmud
menilai kedua sistem itu tidak masalah. Namun menurut penulis disarankan jika
pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung, dengan kata lain saya setuju jika
pelaksanaan dilakukan secara langsung, dimana masyarakat pemilih dapat langsung
memilih kepala daerah yang sesuai dengan aspirasi dan dapat melaksanakan aspirasi
tersebut. Tetapi, walaupun pemilihan kepala daerah dilaksanakan melalui perwakilan
anggota Dewan Perwakilan Daerah, maka yang dilakukan masyarakat pemilih adalah
memilih calon wakil rakyat yang dapat menyalurkan aspirasinya dalam menentukan
kepala daerah. Karena wakil rakyat adalah cerminan dari rakyat itu sendiri.

Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung sebagai
instrument demokrasi. Dalam rangka menjaring kepemimpinan nasional tingkat
daerah, walaupun tidak dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia seperti
pemilihan umum legislatif pada umumnya, tetapi hal ini merupakan sebuah
kemajuan politik demokrasi di Indonesia khususnya dalam hal memilih

4
Janedjri M. Gaffar, Politik Hukum......, Op. Cit., hlm. 136 – 137
pemimpinnya di daerah secara langsung oleh rakyat, yang selama kurun waktu
lebih 50 tahun belum pernah terjadi di Indonesia, bahkan selama itu pula selama
itu pula keberadaan kepala daerah tidak lebih dari boneka pemerntah pusat untuk
menjalankan kepentingannya di daerah dengan alasan kepentingan nasional, tetapi
di satu sisi demkokrasi dibelenggu dan tidak dijalankan secara optimal.

Namun setelah terjadinya reformasi, seperti membalikkan telapak tangan,


situasi politik demokrasi berubah seratus delapan puluh derajat, dari mulai
perubahan UndangUndang politik, Undang-Undang Pemilihan Umum, Undang-
Undang Dasar 1945 juga Undang-Undang Pemerintah Daerah termasuk di
dalamnya mengatur tentang pemilihan kepala daerah secara langsung. Pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung pada dasarnya merupakan
suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih demokrasi (kedaulatan
rakyat), serta transparan dan bertanggungjawab, selain itu pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah secara langsung tersebut menandakan adanya
perubahan dalam demokrasi lokal, yakni tidak sekedar distribusi kekuasaan antar
tingkat pemerintah secara vertikal, tetapi juga merupakan sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat di wilayah provinsi maupun kabupaten dan kota berdasarkan
Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945.

Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung jika
ditinjau dari sudut pandang ketatanegaraan dan pemerintah akan membuahkan
suatu kondisi pertama: pemilihan kepala daerah akan menghasilkan pemerintahan
daerah yang mempunyai legitimasi langsung dari masyarakat dimana pemerintah
daerah mempunyai pertanggung jawaban politik dan akuntabilitas yang tidak akan
semana-mena menyeleweng, kedua: iklim menumbuhkan kondisi daerah
menemui moment, dalam arti bahwa peran kepala daerah yang didukung
peraturan mampu membawa katalisator konstruktif bagi kemajuan masyarakat;
ketiga: pemilihan kepala daerah, secara esensial akan mendukung demokrasi
lokal, yaitu masa depan kehidupan masyarakat di daerah menjadi cerah akibat
terbukanya ruang publik melalui partisipasi proaktif masyarakat.

DAFTAR ISI
Deni Andreansyah, 2015, Efektivitas Penerapan Pasal 73 Nomor 10 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, Jalan Mayjen. Haryono 193
Malang 65144 Indonesia.
Janedjri M. Gaffar, Politik Hukum Pemilu, (Jakarta: Konstitusi Press, 2012), hlm. 93
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Cetakan ke – 11. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 13–14.
Janedjri M. Gaffar, Politik Hukum......, Op. Cit., hlm. 136 – 137
R. Nazriyah, 2015, Penyelesaian Sengketa PilkadaSetelah Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 97/PUU-XI/2013.
Abdul RahmanDaulay, Dr. Surya Nita, S.H., M.Hum, Dr. Ismaidar, SH. MH, 2015, Tinjauan
Yuridis Tindak Pidana Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Dalam Pemilihan Kepala
Daerah Secara Serentak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015.
Davit Rahmadan, Tinjauan Yuridis Sosiologis Partisipasi Politik Dalam Pemilihan Umum
Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah.
Dessy Agustina Harahap, Tinjauan Yuridis Terhadap Pengawasan Pilkada Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Dalam Mewujudkan Demokrasi Di Daerah.
Ali Marwan, Pemilihan Kepala Daerah Ynag Demokratis Berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 97/PUU-IX/2013 (THE DEMOCRATIC OF REGIONAL ELECTION BASED
ON CONSTITUTIONAL COURT DECISIONS NUMBER 97/PUU-IX/2013).

You might also like