NYAI22

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 77

NYAI

(Jejak Matahari Dari Timur)

Fahma Lucky NWS

CV. J-MAESTRO
NYAI
(Jejak Matahari Dari Timur)

Penulis : Fahma Lucky NWS


ISBN :
Editor : Editor

Tata Letak:
Tim JM

Desain Sampul:
Tim JM

Penerbit:
CV. J-MAESTRO

Website : https://j-maestro.com/
Email J-Maestro : mail@j-maestro.com
admin@j-maestro.com
Link Katalog Online : https://j-maestro.com/katalog/
Alamat Administrasi : Kantor Penerbit J-Maestro
Jl. Delima V gg.8 No.147
RT/RW : 016/05 Prumnas Klender,
Jakarta timur 13460
Telp. 0812-1447-5087
Link Profil Penerbit : https://j-maestro.com/profil/

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang


Dilarang memperbanyak buku ini dalam bentuk dan cara apapun
tanpa izin tertulis dari Penerbit.

|2
Sinopsis

‘Apakah hidup memang seperti ini? Seperti


kendaraan yang berhenti sejenak kemudian melanjutkan
perjalanan kembali. Lantas, ke mana sebenarnya tujuan
hidup?,’ bisiknya pada angin bercampur asap knalpot yang
menerpa wajahnya.

3|
KATA PENGANTAR

Tulis kata pengantar

|4
Daftar Isi

5|
Prolog

“Ingatlah! Anak pertamamu akan aku ambil!”

Seorang gadis desa mendongak, melihat langit.

Bibirnya masih bergerak-gerak mengucapkan kata

tanpa suara. Sinar matanya tajam, campuran antara

marah, kecewa, sedih, dan menyesal.

Hujan tiba-tiba tumpah begitu saja dari langit.

Tidak ada mendung atau apapun yang menandai akan

turun hujan. Matahari masih bersinar cerah di atas

sana. Tidak deras memang, tapi alam seolah

mengamini kata-kata yang telah terlontar. Sepasang

muda mudi yang sedang bercengkrama di bangku

taman kota bergegas lari mencari tempat berteduh.

Tidak biasanya hujan turun sedangkan matahari

tetap bersinar cerah. Ada apakah gerangan?

Gadis itu beranjak pergi meninggalkan Alun-

alun Kota. Beberapa kali matanya mendongak

melihat langit, matahari, dan hujan yang tumpah.


|6
Samar terlihat air mata leleh di pipinya yang tirus

bercampur air hujan yang perlahan membasahi

wajah dan pakaiannya.

7|
BAB 1

Perjalanan

“Mbak, kamu dicari, Pak Dosen.”

Suara itu tiba-tiba menusuk telingaku, seperti

piring pecah ketika Ibu bertengkar dengan Bapak.

Cempreng! Aku menutup buku yang sedang aku baca,

mendongak dan menatap wajah yang masih

belepotan bumbu pecel dan sisa krupuk. Cengar

cengir tanpa dosa.

“Ada apah?”

“Nilai ulangan kamu jelek sekali. Hari ini kamu

tidak masuk dan idak ada keterangan...”

“Bosan. Biar dah...”

Minat belajarku sudah hilang. Bergegas

kutemui penjaga perpus, menyodorkan buku yang

sempat menarik minatku.

“Pinjam seminggu, Pak.”

|8
Sebentar dia melihatku, kemudian mengambil

buku yang aku sodorkan. Setelah selesai

disodorkannya kembali padaku.

“Mbak... mbak... kamu mau kemana?”

Aku menoleh sebentar dan melanjutkan

langkahku sambil menunjuk ke arah barat. “Ke

Kayangan Api Pak....’’

“Aduh... nanti kamu makin gila. Kerjanya nyepi

di petilasan!”

Pelataran kecil atau tepatnya sebuah destinasi

wisata yang entah mengapa berada di dalam hutan.

Beberapa tahun lalu aku terheran-heran dengan

keberadaan tempat ini. Awalnya aku menyangka

tempat ini hanya sekedar tempat wisata biasa,

tetapi dugaanku salah. Di tengah tempat ini ada

sebuah api yang tidak pernah bisa mati, entah

mengapa, wYoga menyebutnya api abadi dengan

9|
beberapa ornamen candi disekeliling api abadi itu.

Beberapa bagian candinya sudah mulai gigir

diterjang musim dan cuaca. Masih jelas bisa dibaca

sejarah penggunaan api abadi di tempat ini, banyak

lekukan-lekukan candi yang ditumbuhi lumut.

Tidak jauh dari api itu ternyata aku menjumpai

sumber air blukutuk yang anehnya jarak antara

sumber air blukutuk dengan api abadi berdekatan,

seperti dua unsur dalam satu wadah. Ada sekitar 15

meter.

Tidak ada pohon cempaka atau kamboja di

tempat ini, hanya pohon wringin yang tidak begitu

besar tetapi cukup rindang menaungi pelataran di

tempat ini. Selain itu, dikelilingi pohon jati yang

kokoh yang terbaik, yang ada di sini. Tanahnya

tanah padas dan keras. Kadang aku berusaha

menduga-duga bahkan berimajinasi tentang hal-hal

aneh yang mungkin saja terjadi di tempat ini, tetapi

| 10
imajinasi itu tidak cukup untuk menghentikanku

agar tidak kembali ke tempat ini.

…waktu tomat masih muda warnanya hijau,

ketika sudah masak warnanya berubah merah.

Kemana warna hijaunya?

Aku menghela nafas membaca kalimat itu.

Berkali-kali aku bolak balik lembar demi lembar

buku yang aku pinjam tadi di perpustakaan. Satu

kalimat ini yang membuatku bingung. Pertanyaan

sederhana yang baru sekarang aku merasakan ada

sesuatu di dalamnya. Tetapi apa? Otakku benar-

benar tidak bisa mencerna maksud dan maknanya.

Sejak sekolah dasar aku belajar ilmu

pengetahuan alam, dan dijelaskan bahwa perubahan

warna pada buah-buahan disebabkan oleh proses

berubahnya pigmen warna karena reaksi kimia

seiring dengan bertambah besar dan tuanya buah

11 |
tersebut. Tetapi tetap saja aku tidak menemukan

jawaban utama. Seolah-olah jawaban pertanyaan itu

hanya sekedar untuk memuaskan pikiranku tetapi

tidak memuaskan batinku.

Buku yang covernya sudah berganti dengan

kertas karton dan disampul dengan kertas sampul

buku tulis. Tulisannya memang menggunakan huruf

latin tetapi masih ejaan lama. Tidak ada tahun

cetak, apalagi nama pengarangnya. Sudah berkali-

kali aku melihat buku ini, sejak tahun pertama aku

masuk Uniersitas. Aku menganggap buku ini sama

dengan buku-buku lainnya, bahkan aku menganggap

buku ini seperti buku pelajaran. Jelas saja aku tidak

pernah tertarik untuk meminjamnya. Jangankan

meminjam, membuka lembar pertamanya saja aku

tidak tertarik.

Teng...! Teng...! Teng...!

| 12
Suara bel istirahat kedua terdengar dari

ruang dosen. Sementara lamat-lamat terdengar

suara adzan Dhuhur dari masjid perumahan yang

bersebelahan dengan sekolah. Bergegas kumasukkan

buku ke dalam tas. Sebentar aku menoleh ke arah

makam paling besar, kemudian beranjak pergi

menuju masjid.

“Nduk... bangun, lihat aku!”

Laki-laki itu mengusap kepalaku dan meniup

ubun-ubunku. Aku tidak mampu bertanya siapa dia?

Apa maksudnya?

Aku masih merasakan usapan dan tiupan laki-

laki itu di kepalaku sampai sekarang. Apakah tadi

mimpi atau kenyataan? Kalau mimpi kenapa usapan

tangannya dan tiupannya masih terasa di kepalaku?

13 |
Suara laki-laki itu terus mengiang-ngiang di

telingaku. Laki-laki yang anehnya memiliki wajah

sangat mirip dengan wajahku. Aku seperti melihat

wajahku sendiri ketika dia berbicara.

KeluYogaku tidak pernah menyimpan foto-foto

keluYoga besar sebagaimana yang para keturunan

darah biru yang memiliki arsip lengkap. Wajah dan

nama anggota keluYoga hanya ada di dalam ingatan

yang kemudian diwariskan secara lisan kepada anak

keturunannya. Bapak hanya mengingat nama

kakeknya atau buyutku saja. Ibu juga sama. Tidak

ada arsip yang jelas tentang leluhur-leluhur kami,

apalagi foto seperti yang pernah aku lihat di

pendopo Kabupaten maupun di rumah R.

Nawanggono, guruku ketika sekolah dasar.

Ketika aku bercerita kepada Bapak, dia

terdiam dan melihatku dengan seksama. Tidak ada

kata atau kalimat yang keluar dari bibirnya yang

menghitam oleh asap tembakau yang sudah


| 14
bertahun-tahun dihisapnya. Aku ingin memaksa

tetapi sinar mata Bapak memberi isyarat agar aku

tidak melanjutkan pertanyaanku.

“Bu, siapa laki-laki yang wajahnya mirip

denganku?”

Kutemui ibu yang sedang mengupas bawang di

dapur. Ibu menoleh sebentar, kemudian

melanjutkan pekerjaannya.

“Bantuin ibu saja, jangan bertanya yang aneh-

aneh”

Setengah enggan aku mengambil pisau dan

mulai membantu ibu mengupas bawang. Aku

berharap ibu memberiku jawaban untuk

pertanyaanku. Tetapi ibu tidak berbicara apa-apa.

Matanya menatap tumpukan bawang yang masih

harus dikupas. Aku mulai jengkel karena aku tahu

ibu tahu jawaban dari pertanyaanku.

“Bu...”

15 |
“Selesaikan dulu kerjanya, baru cerita yang

benar”

Aku terdiam. Kulanjutkan membantu ibu

mengupas bawang dengan harapan akan

mendapatkan jawaban tentang laki-laki yang

memiliki wajah mirip denganku dan datang dalam

mimpiku.

“Ma... aku butuh bantuanmu. Kita sudah

diijinkan mengadakan acara kejuaraan di UNUGIRI.

Aku ingin kamu yang jadi ketua bidang dekorasi.”

“Kapan?”

“September besok. Masih lima bulan lagi.”

“Berikan sama yang lain. Anak semester tiga

atau lima. Aku bukan anggota BEM.”

“Aku percaya sama kamu. Aku tidak ingin orang

lain yang mendesain dekoasi acaranya. Temanya

BELAJAR PADA MASA SEJARAH LALU.”

| 16
Aku menoleh dan menatap wajah Yoga dengan

tajam. Ada sesuatu yang menggeliat di dalam

hatiku.

“Eh, ada apa? Ada yang salah?”

“Siapa yang memilih tema itu?”

“Aku. Kemarin waktu rapat panitia, semuanya

mengusulkan tema kegiatan dan tidak ada satu pun

yang mau mengalah. Aku jengkel dan memutuskan

memilih tema itu. Tentu saja aku sampaikan

alasanku kepada anggota panita lainnya. Akhirnya

disepakati tema itu yang dipilih.”

Hhh...!

Aku menghela nafas panjang, menatap papan

tulis yang masih dipenuhi materi filsafat sisa

pelajaran tadi. Sekali lagi aku lihat wajah Yoga,

mencari kejujuran dari telaga matanya.

“Besok aku jawab, sanggup atau tidaknya.

Sekarang traktir aku nasi pecel di Bu Met.”

17 |
“Oke... desain acara besok aku tunggu, dan aku

berharap desainnya seperti yang sudah-sudah.

Sesuatu yang megah, baru, dan memanfaatkan

barang-barang yang tidak terpakai lagi. Paling tidak

bahannya tidak susah didapatkan.”

“Aku masih belum memutuskan sanggup atau

tidak.”

“Hahaha...”

Bagus tertawa nyaring sambil menyeretku ke

warung Bu Met. Satu-satunya warung di universitas

ini.

| 18
BAB 2

Bathara Kathong

Malam begitu pekat, Bulan sabit terengah-

engah merayap di langit. Pepohonan seperti pasukan

yang berbaris tidak teratur dalam bentuk bayang-

bayang hitam. Beberapa daunnya pucat dan

menggigil disepuh cahaya bulan. Suara jengkrik dan

binatang malam lainnya serupa mantra yang

diucapkan perlahan-lahan. Samar dan ritmis.

Gadis itu melirik jam tangan yang melingkar di

lengan kirinya. Subuh masih lama, mungkin tiga

empat lagi. Diambilnya sebuah permen dari saku

jaket yang tergantung.

Jika ini adalah satu-satunya cara untuk

menemuimu, aku akan menjalani dengan rela , lirih

terdengar dari bibir gadis itu. Berkali-kali

dihelanya nafas panjang sambil mempermainkan

permen dalam mulutnya.


19 |
Sepeminum teh, diambilnya ransel dari atas

meja dan ditaruh di punggungnya. Setelah

menghabiskan permen, gadis itu melangkah

menyusuri kegelapan malam. Srak! Srek! Srak! Srek!

Suara sandal jepitnya bergesekan dengan aspal

jalanan. Sesekali beradu dengan bebatuan yang

mencuat dari lubang jalanan.

“Bu, susu jahe satu. Jangan terlalu manis ya.”

“Inggih, Ning...”

Gadis itu menaruh ransel di bangku kayu.

Sebentar dia menggeliat, melemaskan pinggang, dan

duduk di samping ransel.

“Niki susu jahene, Ning...”

“Terima kasih, Bu...”

Perempuan tua itu tersenyum ramah. Dia

memperhatikan gadis itu dengan seksama. Dia

merasa gadis itu bukan orang daerah itu. Sekilas

| 20
curiga berkelebat di matanya, tetapi ditepisnya

dengan senyum ramah. Mungkin pendatang

sangkanya.

“Bade tindak pundi, Ning?”

Akhirnya terlontar juga pertanyaan itu dari

bibirnya yang sudah mulai keriput. Gadis itu

mendongak, memastikan pertanyaan itu untuk

dirinya.

“Tidak mau ke mana-mana, Bu. Sekedar lewat

saja.”

Gadis itu tersenyum melihat reaksi pemilik

warung. Sebenarnya dia malas untuk menjawab

pertanyaan itu.

“Kalau mau ke makamnya Bathara Kathong

lewat mana ya, Bu?”

“O, arep tindak teng cungkup to? Nglakoni

nggeh, Ning?”

Bukannya menjawab pertanyaan, perempuan

pemilik warung itu malah balik bertanya. Gadis itu


21 |
hanya tersenyum mendengar pertanyaan pemilik

warung.

“Panjenengan lurus mawon, nderek margi dugi

ngajeng terminal, lajeng mendet kanan teng

kecamatan Kadipaten. Sedoyo mangertos

makamipun Bathara Kathong.”

Gadis itu mendengarkan dengan seksama

sambil memperhatikan arah yang ditunjuk oleh

pemilik warung.

“Berapa semuanya, Bu? Susu jahe tambah

tempe goreng dua.”

“Susu jahe kalih ewu gangsal atus, tempe

goreng setunggal ewu. Sedaya tigang ewu gangsal

atus, Ning.”

Gadis itu menyodorkan uang lima ribuan.

Sambil menunggu uang kembalian, dia mengambil

ransel dan menyampirkannya di punggung.

“Terima kasih, Bu.”

| 22
Perempuan pemilik warung mengangguk.

Matanya memperhatikan gadis itu sampai

menghilang di telan keramaian pasar.

Matahari sudah terik, panasnya menggigit-

gigit kulit. Gadis itu termangu di perempatan depan

terminal Seloaji. Matanya mengawasi lalu lalang

kendaraan yang berganti-ganti berhenti dan

berjalan.

‘Apakah hidup memang seperti ini? Seperti

kendaraan yang berhenti sejenak kemudian

melanjutkan perjalanan kembali. Lantas, ke mana

sebenarnya tujuan hidup?,’ bisiknya pada angin

bercampur asap knalpot yang menerpa wajahnya.

“Katanya mau bertamu, setelah ditunggu oleh

tuan rumah, kok malah ngomel di sini. Tamu macam

apa itu?”

23 |
Gadis itu tertegun. Dicarinya siapa yang

menegurnya. Di bawah lampu lalu lintas, berjarak

tiga meter dari tempatnya berdiri, tampak orang

tua berpakaian kumal sedang duduk dan berbicara

sendiri. Setengah ragu dilangkahkan kakinya

mendekati orang tua itu. Tiba-tiba orang tua

berpakaian kumal itu menoleh. Tatapan matanya

tajam menusuk, seolah-olah menerobos,

menjelajahi, dan menjenguk hati gadis yang hendak

menghampirinya.

Gadis itu tertunduk. Tak kuasa dia melawan

sinar mata orang tua berpakaian kumal itu. Orang

tua, sekitar enam puluhan, rambut, kulit, dan

pakaiannya kumal seperti orang yang tidak pernah

menyentuh air selama berbulan-bulan. ‘Orang gila,’

kata itu yang terlintas di benak gadis itu.

Seperti mengerti dengan apa yang

dipikirkannya, orang tua berpakaian kumal itu

| 24
berdiri dan perlahan berjalan meninggalkan lalu

lintas sambil berbicara sendiri. Seolah-olah orang

tua itu membenarkan apa yang ada di pikiran si

gadis.

“Maaf, Pak. Numpang tanya. Makamnya

Bathara Kathong di mana ya?”

“Njenengan lurus mawon. Niku gapura makam

sampun ketingal, Ning”

“Terima kasih, Pak.”

“Injih sami-sami.”

Gadis itu meneruskan langkahnya menuju ke

makam Bathara Kathong. Pikirannya masih dipenuhi

pertanyaan tentang orang gila yang ditemuinya di

lampu lintas tadi. Apa maksud ucapannya? Apakah

ditujukan kepadanya atau bagaimana? Apakah itu

petunjuk, teguran atau bagaimana? Gadis itu tidak

menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan

tersebut.

25 |
***

Sebuah bangunan dari batu bata dengan

lengkungan di bagian atasnya. Ada tulisan huruf

Arab dan Jawa di bagian dinding lengkungannya. Di

bagian kanan kiri itu terukir angka penanda

pembuatan gapura tersebut. Pada puncak

lengkungan terdapat hiasan bunga teratai yang

sudah berguguran catnya.

Sejarak dua ratus meter dari gerbang itu

tampak sebuah tanah yang cukup luas. Sebuah

paseban berdiri kokoh di tengah tanah tersebut.

Gadis itu bergegas menyusuri gerbang, matahari

tepat di atas kepalanya. Teriknya menikam ubun-

ubun.

‘Di mana juru kunci makam? Kenapa tidak ada

orang sama sekali?,’ gumam gadis itu sembari terus

menuju paseban. Ditaruhnya ransel di lantai

paseban yang terbuat dari papan kayu jati. Gadis itu

kemudian menuju ke kamar mandi yang berdekatan


| 26
denan paseban itu. Sudah dua hari tubuhnya tidak

tersentuh air sama sekali, begitu juga dengan

pakaian yang dikenakannya.

“Monggo, Nduk... sampeyan sampun ditenggo

ket wau”

Sontak gadis itu mendongak dan didapatinya

seorang laki-laki tua berdiri di dekat ranselnya.

Usianya kurang lebih tujuh puluh tahunan, keriput

sudah menghiasi wajahnya, tetapi matanya begitu

bening, meneduhkan namun tajam. Laki-laki tua itu

mengangguk dan tersenyum ramah.

“Eee...”

“Monggo, Nduk..”14

Laki-laki tua itu melangkah menuju bangunan

berbentuk gapura. Sebuah pintu yang terbuat dari

papan kayu jati berdiri kokoh di tengah gapura itu.

Laki-laki tua yang mengaku bernama Supriyadi dan

telah menjadi Juru Kunci makam Bathara Kathong

sejak berusia 25 tahun. Pekerjaan sebagai Juru


27 |
Kunci diwarisinya secara turun temurun dari

buyutnya. Konon canggahnya merupakan abdi

kepercayaan Bathara Kathong.

Pak Supriyadi itu mengeluarkan serenceng

kunci dari saku celananya. Sebentar dipilihnya anak

kunci pintu gerbang, setelah membuka gembok yang

jelas sudah sangat tua, perlahan didorongnya pintu

gerbang itu. Perlahan dan dengan penuh

penghormatan, dia melangkah memasuki komplek

makam.

“Ini batu tempat Kanjeng Bathara Kathong

tirakat memohon petunjuk dari Sang Maha Kuasa...”

Pak Supriyadi berhenti dan mempersilahkan

tamunya untuk melihat batu yang ditunjukkannya.

Sebuah batu hitam sebesar kerbau, permukaannya

rata, dan ada cekungan seperti bekas didudiki.

“Bertapanya berapa lama, Pak? Kok sampai

membekas di batu?”

| 28
Pak Supriyadi itu tersenyum. Pertanyaan yang

sama yang telah berulang kali didengarnya dari para

pengunjung yang datang ke tempat itu.

“Kurang paham, Nduk. Konon menurut cerita,

Beliau tirakat di atas batu itu selama tujuh hari

tujuh malam...”

Pak Supriyadi kemudian melanjutkan memasuki

bagian dalam komplek makam. Ada lima gerbang di

bagian dalam. Jadi ada tujuh gerbang jika dihitung

dari pintu gerbang utama.

“Silahkan, Nduk. Tugas saya hanya

mengantarkan sampai di sini saja. Terserah

sampeyan mau berapa lama di sini. Saya permisi mau

melanjutkan membersihkan pelataran.”

Tanpa menunggu jawaban gadis itu, Pak

Supriadi berbalik meninggalkan gadis itu sendiri.

***

29 |
BAB 3

Kejuaraan, Permen Karet, dan Wajahmu

Langit mulai dihiasi mendung, angin berembus


semakin kencang. Dingin. Aku mulai mengenyam
sebutir permen karet untuk mengusir kejengkelan
yang perlahan tumbuh di kepalaku.
Ke mana anak-anak ini? Persiapan acara masih
belum selesai, mereka malah belum muncul juga.
Ingin aku memaki mereka jika sudah muncul. Aku
sudah hampir satu jam lamanya menunggu dan
mereka belum muncul juga. Mau melanjutkan
nyetting panggung, matras dan banner kegiatan
malah nggak jelas ditaruh di mana. Ruang serba
guna lantai 3 semrawut oleh barang-barang
persiapan kejuaraan besok malam. Tidak ada
sebatang hidungpun yang menjaganya. Jancuk…!
“Sudah tadi, Ma? Maaf, aku baru datang
ngambil perlengkapan di bawah. Aku kira anak-anak
masih di sini…”
Suara cempreng Ziyut menyerbu gendang
telingaku. Lamunan yang berisi caci maki buyar

| 30
seperti leburan permen karet dalam mulutku. Aku
hanya melirik sekilas tanpa menjawab.
Hujan akhirnya tumpah dengan derasnya, aku
beranjak masuk ke ruangan. Kulihat Ziyut sedang
mencari-cari sesuatu. Aku yakin dia juga mencari
barang untuk melanjutkan nyetting acara besok.
Waktunya makin mendesak.
“Nyari berkas? Aku sudah sejam nyari, hampir
gila, nggak ketemu. Jancuk ancene!”
Ziyut menghentikan usahanya, dan berbalik
menatapku.
“Opo’o kon? Tumben misuh?”
“Harusnya setting acara ini sudah selesai
kemarin. Mosok nyetting kejuaraan ae telung dino
ra mari-mari! Wes ngono, awa’e dewe isih kudu
turun tangan! Bah! Kapan mereka mau benar-benar
belajar?”
“Hahahaha…”
Ziyut malah tertawa keras mendengar
makianku.
“Ayo nggolek teh anget…”
***
“Ada banyak hal yang kita lupakan dalam
proses kita selama ini. Kita hanya mengedepankan
diskusi dan segala macamnya, tetapi lupa
mewariskan tentang bagaimana melakukan proses
itu sendiri.”

31 |
Aku mendengarkan saja omongannya tanpa
berusaha menyela. Kusesap permen yang masih
menggumpal dengan separuh kejengkelan yang
masih bergemuruh di dadaku.
“Jancuk…!”
Lidahku mati rasa terkena teh panas. Ziyut
kemudian melirikku dan melanjutkan perkataannya.
“Aku tahu kenapa kau ingin merubah semua itu,
tapi kalau kau muring-muring, opo yo dadi?”
“Aku tahu! Semua itu harus disampaikan
dengan perlahan dan pada waktu yang pas. Tapi iki
wes darurat, wes mendesak! Sesuk wes acara,
setting sik durung mari! Mosok kate dijarno?”
Ziyut menghela nafas panjang. Terdiam dan
merenung. Kebisuan meraja di antara kami.
Kebisuan yang serupa tali gaib dan mencekik leher
kami berdua.
“Ayo balek nang ndukur. Aku kate ngumpulno
arek-arek!”
***
“Maaf, Dek… ini persiapannya sudah sampai
mana ya? Tamu undangan sudah beres semua?”
Aku tergagap mendengar pertanyaan itu.
Keasyikanku menata surat menyurat, perangkat
pertandingan, dan susunan pembukaan jadi
berantakan. Sial! Aku menoleh, dan hampir saja
menumpahkan air mineral ke laptpku.

| 32
Tuhanku…!
Ingin aku berteriak sekuat yang aku mampu.
Wajah itu, wajah yang mengingatkan aku pada
wajah yang Tujuh Tahun lalu aku pendam di ruang
rahasia batinku. Wajah tegas dengan senyum manis
yang tegas. Tuhanku…!
“Dek…?”
Suara bernada heran itu mengembalikanku ke
alam nyata. Jelas aku salah tingkah dan aku yakin
laki-laki di depanku sekarang setengah tersenyum
setengah ingin tertawa melihat sikapku.
“Mbok ya dijawab to? Jo mung di lamuni tok!
Engkok blayu lho, ngiro awakmu kesurupan utowo
edan…”
Ziyut tiba-tiba nyletuk dari balik keber. Dia
menepuk punggungku dengan senyum menggoda dan
wajah tanpa dosa. Jancuk…! Aku benar-benar
jengkel. Kerongkonganku tercekat tak mampu
bersuara.
“Acaranya kan besok malam, Mas sudah siap
semua kok. Surat undangannya… sudah diantar
semua.”
“Jancuk…! Cangkemmu, Cok…!”
“Hahahaha… lha awakmu ra wani ngomong e?
Aku ae wes sing wakili. Hahaha…”
Kuperhatikan laki-laki itu hanya tersenyum
mendengar ocehan kami. Sepertinya dia merasa

33 |
aneh dengan percakapan kami yang ngelantur.
Walaupun dia ketua pelaksana dan kami sudah
sering bekerja bersama karena aku merangkap
sebagai sekretaris juga.
“Sudah beres semua ya, Dek? Atau… masih ada
yang kurang?
“Nah, ndang dijawab. Aku ra melu-melu wes…. ”
Bukannya meladeni pertanyaan itu, Ziyut malah
ngluyur pergi ke dalam ruang kejuaraan. Aku jadi
makin salah tingkah dan glagapan dibuatnya.
“Eeee… sudah selesai semua kok, Mas…”
Aku tak mampu melanjutkan kalimatku. Wajah
tegas itu memperhatikanku dan aku kehilangan
konsentrasi. Pikiranku jadi ‘blank’, semakin jengkel
dan kosong melompong.
“Ooo… oke sip”
Jawaban disertai senyum setengah tertawa itu
makin membuatku gugup.
“Iyya… kalau mau bantuin yang disini juga
boleh.”
Entah keberanian dari mana sehingga aku
memberanikan diri membalas senyum setengah
tertawa itu. Kulihat wajah tegas itu terbelalak. Aku
jadi makin berani untuk bergurau dengannya. Aku
tidak perduli akan dianggap kurang ajar dan sok
akrap. Biar saja! Siapa suruh dia membuatku
mengerjakan begitu banyak hal?

| 34
“Tapi… sekalian kerjain semua saja
bagaimana?”
Wajah tegas itu makin membelalak, rautnya
sedikit kesal tapi tiba-tiba tertawa lepas.
Tuhanku…!
“Hahaha… apa anak penulis itu memang suka
ngerjai orang ya?”
“Maksudnya?”
“Tadi sampeyan kelihatan jengkel, gugup, dan
diem. Eh, tiba-tiba malah berani ngomong seperti
itu”
Aku tidak menyahut. Aku malah tertawa
menyembunyikan perasaanku yang berkecamuk di
dalam dada. Andai saja kau tahu apa yang aku
rasakan sekarang ketika pertama kali melihat
wajahmu, aku tidak yakin kamu akan mau ngobrol
denganku. Andai kamu tahu apa yang ada di
pikiranku sekarang, aku yakin kamu akan
menganggap aku perempuan aneh. Ah…
“Ya, nggak tentu. Kalau di atas kertas memang
harus pandai membual. Ketika menghadap dosen
yang lumayan killer, ya harus bias acting. Nah, kalau
sama orang tegas ya susah…”
“Kok susah?”
“Iya, susah banget. Mau ngerjai pasti langsung
ketahuan. Nggak ngerja jadinya ya kayak tadi itu,
gugup dan diam. Susah kan?”

35 |
“Hahaha… iya wes sak kareppe sampeyan .
Makasih ya, Dek. Silahkan dilanjutkan lagi untuk
persiapannya.”
Tanpa menunggu jawabanku, wajah tegasnya
dengan senyum khasnya berjalan ke motornya.
Pergi. Aku melongo. Ada sesuatu yang menggeliat di
dalam hatiku. Perih!
***
“Kon ra patek kenal? Dadi sekretaris sak munu
suwine, ora pendekatan blas? Lha terus mek opo
ae? Jan…”
Ziya geleng-geleng kepala mendengar ceritaku
bahwa aku tidak memiliki hubungan dekat dengan
ketua pelaksana itu. Aku tidak menjawabnya. Mau
menjawab bagaimana? Kenyataannya memang begitu
kok!
“Yo wes, dungo ae. Mugo-mugo arek kuwi sesok
iso luwih parek pas nok acarane awak dewe. Awakmu
lak wes suwi ra tau dungo! Hahaha…”
Aku tidak tahu harus bagaimana menjawab
semua ucapan Ziyut. Aku benar-benar menjadi
makhluk paling goblok saat ini. Diam salah, jawab
malah akan tambah diejek oleh bajingan jelek satu
ini.
“Kalau dia benar-benar semakin akrab, aku mau
baca sajak. Aku mau ngobrol dengannya ketika nanti
kejuaraan berlangsung.”

| 36
“Serius? Beneran?”
“Iya…”
“Wani tenanan yo? Taruhane opo?”
“Taruhan apanya?”
“Ya untuk memastikan kamu benar-benar
berani ngobrol sama dia lah…”
“Kalau aku nggak berani, aku yang nanggung
konsumsinya anak-anak panitia. Tapi kalau aku
berani piye?”
“Es Krim, Aice sak box. Deal?”
“Deeal…!”
***
“Piye? Keto’e arek kuwi sibuk banget. Acara
kate dimulai, paling limang menit ngkas…”
Aku tak mengacuhkan omongannya Ziyut.
Mataku terlalu fokus pada kegiatan. Aku yakin
walaupun disibukkan dengan kegiatan, laki-laki itu
pasti akan datang. Entah apa yang membuatku
memiliki keyakinan itu. Sebenarnya aku juga gelisah,
bolak-balik kulirik jam tanganku. Dia pasti akan
mengecek kembali kesini/
“Sudah dimulai acara pembukaannya, Dek?”
Deg! Suara ini yang aku tunggu sejak tadi.
Suara dari wajah tegas dengan senyum khas. Lampu
yang temaram menyembunyikan rona merah dan
kegembiraanku melihat kehadirannya.
“Belumlah… kan nunggu ketua pelaksana?”

37 |
“Maksudnya?”
“Ya iyalah kan harus sambutan…”
Aku tidak melanjutkan omonganku, takut
keceplosan dan efeknya malah tidak mengenakkan.
“Ayo masuk. Jangan lupa isi daftar hadir
dulu…”
“Sini, Mas… isi nama, fakultas, dan dari
kontingen mana, tanda tangan, kalau perlu sekalian
nomer WA. Iya kan, Ma?”
Aku mendelik sama Indah yang ngoceh
seenaknya. Aku nggak nyangka dia akan ngomong
seperti itu. Aku tahu dia berniat baik, bantuin aku,
tapi bukan begitu caranya. Jangan-jangan aku
disangka memanfaatkan situasi.
“Wes, jo dirungukno omongane. Isi sak ene’e
ae…”
“Ciiieeee? Tumben baik banget? Jangan-
jangan…”
Kulihat wajah tegas itu hanya tersenyum
mendengar ocehan Indah. Selesai mengisi daftar
hadir, dia sudah mau beranjak masuk ke ruangan
untuk memberikan sambutan, suara Indah
mencegahnya.
“Lho, Mas… nomer WA-nya mana? Kan tadi
saya minta ngisi yang lengkap? Kalau nggak diisi, ya
berarti nggak usah didokumentasikan.”

| 38
Aku mendelik, ingin kuremas mulutnya yang usil
itu.
“Beneran harus lengkap dengan nomer WA?
Lainnya nggak ada kok?”
“Lho mas ini spesial, khusus gitu…”
Wajah tegas itu mengerutkan kening, heran.
Sedetik kemudian dia benar-benar menuliskan
nomer WAnya di kolom keterangan. Indah aku lihat
senyam senyum menjengkelkan. Dia cepat-cepat
menyembunyikan daftar hadir itu dari hadapanku.
“Selamat pak ketua pelaksana…”
Aku berjalan di belakangnya, menjadi MC di
acara pembukaan. Peserta sudah dikumpulkan dan
tamu undangan sudah datng. Pemandangan tegang
dan sunyi. Aku membawanya ke tempat yang sudah
panitia siapkan sore harinya. Tepat di tengah
disamping tamu undangan, jadi pemandangan dari
arah itu menjadi lengkap dan luas.
“Mas… saya tinggal dulu ya. Saya mau siap siap
untuk menjadi MC…”
“Oke, Dek…”
***
Acara pembukaan berhasil dilaksanakan
dengan lancar. Dan pertandingan sesi pertama atau
babak penyisihan segera dimulai, para atlit beserta
official bergegas mempersiapkan diri untuk
bertanding.

39 |
“Rek… aku jaluk waktune sepuluh menit yo. Aku
kate ngobrol nang ngisor sek.”
“Lho, Ma… kan tas mulai acara?”
“Ya, sebentar saja. Aparat pertandingan kan
sudah ada. Lagipula tugasku sebagai sekretaris kan
sudah tuntas…”
“Oke, Ma… sampeyan sampaikan duluan saja
nanti aku sampaikan ke yang lain.”
Aku segera mencari dimana laki-laki tegas itu
berada. Sejak dimulai acara dia memang mondar
mandir untuk memastikan bahwa kegiatan lancar
tanpa halangan.
“Rek… sebelum pertandingan sesi kedua aku
njaluk waktu istirahat gawe ngobrol ambek ketua
pelaksana…”
Ziyut dan Indah saling berpandangan
sebentar. Mereka kebingungan karena di kegiatan
ini sangat padat. Aku tersenyum pada mereka untuk
meyakinkan mereka.
“Aku wes ngomong sama yang lain juga. Tenang
saja aku nggak kira ngerusuh…”
Mereka mengangguk walau menyimpan seribu
pertanyaan di dalam benaknya. Tidak biasanya aku
melakukan sesuatu di luar susunan acara yang sudah
disepakati. Mereka pasti bertanya-tanya ada apa
denganku? Aku cuek saja. Aku harus benar-benar
memberanikan diri kali ini.

| 40
Ruang kejuaran bergemuruh oleh dukungan
penonton. Ada juga suitan dan celoteh di sela tepuk
tangan itu. Sementara aku memberanikan diri
menemui laki-laki wajah tegas itu diruang bawah
tempat istirahat.
“Terima kasih. Sekarang, sambil menunggu
persiapan pementasan naskah kedua, ijinkan saya
membacakan sajak…”
Beberapa peserta kulihat ada yang
memperhatikanku
.
Aku mengobrol secara perlahan dan
membicarakan banyak hal dengannya. Walaupun ada
kejengkelan yang tersisa. Aku mengambil nafas dan
berkonstrasi sebelum memulai membaca sajak yang
aku tulis khusus kepada pemilik wajah tegas dan
senyum khas itu.
“Sebuah sajak yang saya khususkan kepada
kamu. Seseorang yang kemarin membuat saya
sangat jengkel dan berdecik, gugup, dan merasa
menjadi makhluk paling bodoh sedunia…”
Aku menghela nafas sebentar, mataku melihat
ke arahnya.
SESEORANG YANG KUPANGGIL

siapakah kau yang tancapkan gelisah


yang hunjamkan khayal dan resah

41 |
ataukah ini hanya ingatan sejenak
berenang menyusuri sekian ratus jarak

siapakah engkau yang tetaskan rindu


di ritmis nyanyian hujan
juga di embus angin
malam ini

lantas ke mana kunyalakan harapan


atau kutunggu saja sampai kau
datang bawa pelita
semesta

O…

Aku terdiam meresapi kata perkata yang aku


ucapkan dari untaian sajak yang aku baca. Aku tidak
peduli reaksi ia akan seperti apa. Aku hanya ingin
menyampaikan perasaanku kepada pemilik wajah itu.
Aku tidak peduli apakah sajakku itu layak dan
pantas disebut sajak. Aku juga tidak perduli apakah
suaraku jelek atau tidak menarik. Aku hanya ingin
benar-benar menyampaikan kegelisahanku kepada
pemilik wajah tegas dengan senyum khasnya. Aku
ingin dia tahu bahwa ia sungguh menyibak luka
lamaku.
“ehm..…”

| 42
Kesenyapan berganti dengan suasana yang
canggung.
“Maafkan aku.... mungkin suatu saat kau akan
tahu p maksudku”
“Terima kasih… terima kasih… selanjutnya
mungkin bisa kita bicarakan hal yang mengganggumu
itu selesai kegiatan ini berlangsung…”
“Iya, terima kasih banyak, mas?” Tak elak air
mata menetes membasahi pipiku. Namun segera aku
seka, sebab kau tak mau ia mengkhawatirkaku.

***

“Tujuh Tahun lalu, aku dekat dengan seorang


lelaki. Sangat dekat bahkan, ya walaupun nggak ada
hubungan spesial yang jelas tapi aku peduli padanya.
Kami teman satu tempat mengaji. Selepas SMA, dia
kuliah di Malang dan aku disini. Sebelum kuliah,
hubungan kami kandas bukan karena kehendak kami
sendiri. Dia berasal dari keluYoga campuran. Ibunya
Jawa, dan ayahnya, maaf, Cina. Dia ditunangkan dan
kemudian dinikahkan atas paksaan ayahnya.
Kuliahnya terbengkalai dan putus ditengah jalan.
Amma berhenti sejenak, menghela nafas.
“Terus…?”
“Aku boleh sambil makan permen?”

43 |
“Kalau aku nggak ngijinin?”
“Kalau nggak boleh, ya nggak. Tapi…”
“Iya, boleh…”
Ama mengambil permen karet dari tas kecil
yang dicangklongnya. Mengenyam dan menyesapnya
perlahan. Memainkannya menjadi bulatan-bulatan
kecil.
“Ketika mengetahui dia dipaksa menikah, aku
tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak berani
mengajaknya nikah lari seperti dalam cerita
sinetron atau film. Hidupku saja masih morat-marit.
Aku merelakannya dengan terpaksa, dan sejak itu
aku hampir tidak peduli dengan kuliahku. Aku
melampiaskan kepedihanku di teater, menulis
naskah drama, sajak, dan nyepi…”
“Nyepi?”
“Iya… Aku nyepi hampir setiap hari.”
“Sekarang?”
“Kalau aku bilang sudah berhenti, aku memang
sudah berhenti. Kalau dibilang belum, aku masih
sering pergi ke tempat-tempat sunyi. Sekedar
duduk-duduk kadang juga mempelajari sejarahnya…”
“Terus, kenapa cerita semuanya sama aku?”
Yoga memandang Ama dengan tajam. Dia
mencari kebenaran di telaga matanya. Ada
kerapuhan yang coba disembunyikan di sana. Ada
kesunyian yang teramat sangat di sana.

| 44
“Entahlah…. Hanya Ziyut dan Indah yang tahu
kisahku. Mereka berdua yang mengerti keadaanku,
dan merekalah yang selalu mengingatkanku…”
Ama menoleh, melihat Yoga yang menatapnya.
Ama tersenyum, sesuatu yang sudah hampir dia lupa
caranya.
“Jadi, sajak itu sebenarnya kau tujukan sama
kekasihmu yang dulu?”
Ama kaget bukan kepalang. Dia seperti
dihantam dengan batu yang sangat besar. Dia tidak
menyangka Yoga akan bertanya seperti itu.
“Sajak itu benar-benar aku tulis malam hari
setelah aku bertemu kamu sore harinya. Sajak itu
benar-benar ungkapan perasaanku kepadamu,
walaupun mungkin didasari oleh kenanganku pada
dia…”
“Kau kan nggak begitu akrab denganku?
Bagaimana bisa kau memiliki perasaan seperti isi
sajakmu?”
Ama terdiam. Tuhanku…!
“Ga… aku nggak perduli kau akan menganggapku
pembohong atau apapun. Dan jika aku ini perempuan.
Tetapi aku benar-benar suka sama kamu.”
“Aku suka sajaknya, tetapi tidak dengan
ceritamu!”
“Terima kasih. Aku juga tidak berharap banyak
kok…”

45 |
“Maksudmu?”
“Aku tahu, sangat sulit mempercayai ceritaku.
Apalagi sikapku kemarin makin memberikan kesan
buruk padamu. Tidak apa-apa. Aku paham kok! Aku
sudah senang bisa ngobrol denganmu seperti
sekarang ini. Aku sudah gembira kau mau
mendengarkan ceritaku.”
“Beneran?”
“Iya. Buatku, mengenalmu saja sudah
anugerah. Apalagi bisa ngobrol dan jadi temanmu,
itu sudah luar biasa. Tentang isi sajakku, itu benar-
benar jujur. Aku mengerti bahwa semuanya tidak
bisa dipaksakan. Aku ingin belajar jujur kepada
hatiku sendiri, dan menikmati perasaanku kepadamu
dengan gembira…”
Ama tersenyum dan membuang permen karet
yang sudah tidak berasa ke bawah kakinya.
“Kau mau membalas atau tidak itu urusanmu,
dan sepenuhnya menjadi hakmu. Yang pasti aku
menempatkan mu di dalam ruang khusus hatiku…”
“Maafkan aku…”
“Tidak perlu, karena kamu nggak bersalah.
Biarkan waktu yang mengajarkan kepada kita,
apakah kita memang diperkenankan menjalin
hubungan atau tidak…”
“Iya…”

| 46
Mereka berdua terdiam menikmati bahasa
tanpa kata yang bermain di dalam hati dan perasaan
mereka masing-masing. Sementara dari sebuah
warung lesehan terdengar Once
melantunkan ‘Risalah Hati’…

Aku bisa membuatmu,
Jatuh cinta kepadaku,
Meski kau tak cinta kepadaku,
Beri sedikit waktu,
Biar cinta datang,
Karena telah terbiasa

Ya, biarkan cinta datang karena telah terbiasa.


Biarkan waktu yang menuntun dan mengajarkan
kepada hati tentang segalanya.

47 |
BAB 4
Usai

“Anak pertamamu akan aku ambil! Anak


keturunanmu pasti akan mengalami dan menjalani
seperti apa yang aku alami.Camkan itu!”
Gadis itu meremas lengan bangku taman kota
yang di dudukinya. Wajahnya dipenuhi amarah,
kekecewaan, duka, dan kepedihan yang dalam.Alun-
alun Bojonegoro telah disiram cahaya lampu. Malam
telah memeluk bumi dengan riuh pedagang asongan
dan warung-warung lesehan. Gadis itu bergegas
melangkah melanjutkan perjalanannya yang
ternyata dipenuhi duka lara.
***
“Kamu yakin mau ke rumahku? Yakin mau untuk
bertemu orang tuaku?”
Suara Syahdan dipenuhi ketidakpercayaan dan
keraguan. Aku hanya diam saja sambil terus
menghisap permen yang sisa sekeping. Sesekali aku
melirik wajahnya yang campur aduk antara bingung,
tidak percaya, dan ragu.
“Mending kau ajak aku beli teh. Aku di sini dari
jam lima pagi tadi. Apa di Solo memang nggak ada
warung?”

| 48
Aku lihat senyum samar menghiasai wajahnya.
Perlahan wajah yang tadinya dipenuhi perasaan yang
campur aduk kembali seperti biasanya—ceria. Dia
memang tidak menjawab ucapanku dengan kata, tapi
langsung beranjak setengah menyeret tanganku ke
luar dari ruang tunggu penumpang terminal
Tirtonadi.
Jam masih cukup pagi, jam tujuh kurang
seperempat tepatnya. Warung-warung di luar
terminal masih banyak yang tutup. Hanya beberapa
kios rokok saja yang tampak terus jaga. Aku ikut
saja di ajak ke manapun.Aku jelas tidak paham
dengan daerah ini. Beda dengan Syahdan yang
hampir lima tahun menempuh pendidikan di kota ini.
“Aku sebenarnya sama denganmu, nggak begitu
paham daerah ini. Entah apa ada warung yang buka
sepagi ini dan rasa tehnya sesuai dengan seleramu
yang jelas-jelas penikmat teh.”
“Terus?”
“Ya berdoa saja semoga ada warung yang
sudah buka. Hahaha…”
Tawanya terlontar begitu saja tanpa ditutup-
tutupi. Dia adalah laki-laki yang jujur dengan
perasaannya tanpa memanipulasinya, setidaknya
menurut penilaianku.
“Kalau nggak ada?”
“Kamu ngeteh di rumahku…”

49 |
Tiba-tiba dia tidak melanjutkan ucapannya.
Diam dengan sangat kejam menyelimuti kami
berdua. Kebungkaman serupa dengan jaman es yang
menyelubungi bumi. Kesenyapan itu menuntun
pikiranku dan aku rasa pikirannya juga, pada topik
awal yang kami bicarakan di dalam terminal.

“Solo-Purwodadi berapa jam?”


Aku menatap wajahnya dengan serius.
Mencermati dan berusaha mengira-ngira apa
jawabannya. Apakah dia tetap dalam keraguannya
atau ada pikiran lainnya?
“Enam jam… Itupun kalau lancar.”
“Sekarang sudah ada bus jurusan Solo-
Purwodadi?”
Dia diam saja. Aku liriknya dari sudut mataku.
Dia seperti sedang berpikir mempertimbangkan
jawaban bagi pertanyaanku. Aku yakin dia paham ke
mana arah pertanyaanku. Aku pun diam memberinya
kesempatan untuk memutuskan apakah akan
mengijinkan aku pergi nyabang ke rumahnya atau
tidak.
“Ayolah…”
***

| 50
Daun-daun jati telah menumbuhkan tunas-
tunas baru. Sejauh mata memandang warna hijau
mendominasi. Rerumputan dan semak-semak juga
sudah mulai meninggi. Di beberapa tempat tampak
bunga ilalang berayun ditiup angin. Jalanan yang
berliku serupa dengan ular yang melenggak lenggok
dengan tenang. Aroma tanah masih bersisa di
tengah udara. Mungkin sisa hujan kemarin sore atau
bahkan malam tadi.
Matahari tak kelihatan wajahnya. Sinarnya
saja yang menerobos sela dedaunan serupa
selendang para bidadari di dalam dongeng atau
selendang sutra milik para putri di cerita-cerita
klasik China. Panasnya teredam bebukitan sehingga
melahirkan kesejukan yang menggoda.
Aku menikmati perjalanan Solo-Purwodadi
dengan penuh ketakjuban. Bus yang kami tumpangi
tak seperti yang aku bayangkan. Kursi-kursinya
sudah banyak berlubang, dan juga kondisi
interiornya menyiratkan usianya yang sudah tua.
Aku senyum-senyum sendiri menyadari keadaan itu.
Syahdan yang duduk di sampingku dekat jendela,
sesekali kulihat memandangku. Ada senyum, ragu,
tidak percaya dan mungkin perasaan-perasaan
lainnya yang aku rasa berkecamuk di dalam
pikirannya.
“Berapa jam lagi?”

51 |
“Kenapa?Bosan?”
“Nggak… ngantuk, pengen es dan jajan.”
“Hmm… kenapa nggak makan permen saja?”
“Aku nggak makan permen kalau naik
kendaraan umum. Iya… walaupun aku ini suka, takut
ketelen.”
“Lima menit lagi kita turun.”
“Sudah sampai?”
Tak ada jawaban. Syahdan hanya melihatku
sekilas sambil mengambil tas kecil dan kresek yang
dibawanya.
***
“Selamat datang di Poh Ijo…”
Senyum mengiringi suaranya yang terdengar
begitu gembira. Aku terdiam melihat sekeliling.
Rumah-rumah khas Jawa Tengah yang masih
terawat, sawah-sawah yang menghampar dengan
padi-padi yang mulai berbunga, jalan tanah yang
dipagari dengan tanaman hidup—bluntas, ketu,
pohon pisang, ketela—dan halaman yang teduh
dengan tanaman buah-buahan. Betapa damai dan
tenangnya daerah ini. Suasana pedesaan yang tidak
jauh berbeda dengan daerahku sendiri. Sesekali aku
temukan rumah tembok yang jumlahnya bisa
dihitung dengan jari.
Aku menghirup udara segar itu, berusaha
mengenali dan menikmati sentuhannya di dalam

| 52
batinku. Ada banyak hal yang tiba-tiba mengisi
kepalaku.Apa yang akan aku lakukan di rumah
Syahdan? Apa yang harus aku sampaikan kepada
kedua orang tuanya? Apakah aku harus langsung
blak-blakan mengiyakan bahwa aku dan putranya
berniat seriu? Ataukah aku harus basa-basi sebagai
bagian dari sopan santun? Ah, aku pasrah saja pada
apa yang terjadi. Aku percaya ketika aku benar-
benar berniat baik, pasti seluruh alam akan
membantuku.
“Maaf Nduk… tempatnya sederhana. Biasa
desa ya seperti ini suasananya. Pasti tidak sama
dengan tempatnya Nak Ama…”
Aku tersenyum mendengar sambutan yang
hangat dari perempuan baya, yang dikenalkan
sebagai ibunya Syahdan.
“Sama saja, Bu. Saya juga orang desa kok.
Saya menikmati suasana yang tidak terlalu ramai
seperti di kota,” sahutku sambil melirik Syahdan
yang duduk di seberangku.
“Anggap saja di rumah sendiri. Syah… suruh
mandi Nduk Ama, terus makan. Agak sorean kalau
mau jalan-jalan, kebetulan di Balai Desa sedang ada
persiapan Bersih Desa. Nduk… ibu ke belakang
dulu.”
Aku mengangguk sambil tersenyum menjawab
ucapannya.

53 |
“Aku pengen teh…”
“Yo adus disik to. Kan barusan sudah diomongi
sama Ibuk, suruh mandi, makan, dan jalan-jalan.
Eh… tapi aneh ya? Ibuku itu nggak pernah lho
langsung akrab dengan teman-temanku, apalagi
teman cewek, baru pertama kali ke sini lagi.”
Hampir saja aku tertawa keras mendengarnya,
untungnya aku masih sempat menutup mulutkku.
Syahdan mendelik ke arahku, dan aku makin tidak
kuat menahan tawa.
“Ayahmu ke mana? Kok aku belum dikenalkan
dengan Beliau?” tanyaku.
“Bapak sedang mengawasi persiapan Bersih
Desa di balai desa. Sore mungkin baru pulang. Ayo
kamu mandi dulu, kemudian makan, baru setelah itu
aku bawakan teh.”
***
“Mohon maaf sebelumnya, Pak. Saya Ama dari
Jawa Timur. Tujuan saya berkunjung ke sini, yang
pertama niat bersilaturrahmi kepada panjenengan
dan ibu.Yang kedua, saya ingin menyampaikan bahwa
Syahdan ingin mengenalkan saya kepada njenengan
sebagai calonnya. Sekali lagi saya mohon maaf
karena telah lancang berbicara langsung kepada
panjenengan tanpa melalui pembicaraan sebelumnya,
mungkin Syahdan sudah menceritakan semuanya.”

| 54
Sungguh kalimat itu adalah kalimat yang paling
sulit aku ucapkan. Butuh waktu berpuluh-puluh
tahun rasanya untuk menyelesaikan kalimat itu.
Mulut dan lidahku sepertinya sudah berada di luar
kendaliku sendiri. Walaupun akhirnya aku berhasil
mengucapkannya, tentu saja dengan keringat yang
menghiasi seluruh tubuhku.
Laki-laki setengah baya di depanku ini
tersenyum mendengar kalimat-kalimat yang aku
ucapkan. Wajahnya sedikit membuatku bernafas
lega untuk sementara.
“Kenal di mana dengan Syahdan? Sudah berapa
lama?” tanyanya mengejutkanku.
“Kami kenal di sebuah acara kepenulisan dua
tahun lalu. Kebetulan saya dan Syahdan menjadi
peserta dan karyanya dibukukan dalam satu buku.
Baru awal tahun kemarin kami intens saling
berkumunikasi.”
“Keluarga sudah tahu kalau Nduk Ama ke
mari?”
“Saya sudah pamit kepada ibu dan ayah, untuk
sementara belum bisa ikut dikarenakan masih
nyambang untuk berkenalan.”
“Oh… maafkan pertanyaan saya, Nduk… Terus
apa yang Genduk harapkan? Apakah kejelasan
hubungan atau bagaimana?”

55 |
Aku terdiam, berusaha mengumpulkan
kekuatan batin dan ketenangan. Pertanyaan itu
begitu luar biasa. Langsung menuju titik
permasalahan dan tanpa tedeng aling-aling!
“Saya sudah siap menerima jawaban apapun,
Pak. Karena niat saya bukan untuk main-main. Saya
juga datang atas permintaan Syahdan. Jika
panjenengan dan ibu merestui, saya akan sangat
berterima kasih. Jika memang panjenengan dan ibu
belum merestuinya, saya juga sangat berterima
kasih karena saya sudah diterima di keluarga ini
dengan sangt baik sebagai seorang teman, sahabat,
bahkan saya sudah menganggap panjenengan dan ibu
seperti orang tua saya sendiri. Sebagai perempuan
saya hanya tidak ingin terjadi fitnah dan
sebagainya. Sehingga selain memastikan juga saya
niatkan sebagai menambah saudara”
Entah kekekuatan dari mana yang membuatku
sanggup mengatakan semua itu. Aku pun tidak
percaya dengan ketenanganku sendiri ketika
menyampaikannya. Ada semacam kelegaan dan
kepuasaan—jika boleh aku gambarkan demikian—
yang aku rasakan di dalam hatiku. Tidak ada
keinginan apa-apa di dalam hatiku saat ini. Aku
memasrahkannya saja kepada apa yang akan terjadi.
Aku melirik sekilas dan aku lihat senyumnya
menghiasai bibirnya. Aku kaget dan menatap

| 56
wajahnya langsung. Aku ingin tahu apa yang
sebenarnya dia inginkan dari pertanyaannya
kepadaku. Kejujuranku? Keterusteranganku? Atau
hanya sekedar mencari tahu alasanku telah berani
diajak datang langsung?
“Nduk… saya ini bukan orang yang suka 
memaksakan kehendak kepada orang lain, apalagi
kepada anak-anak saya. Saya menerima dan
berterima kasih kepada kejujuran dan ketulusan
Syahdan dengan Nduk Ama yang telah
menyampaikan langsung keinginan dan membawa
Nduk Ama kesini. Saya pribadi saya menerimanya
Genduk sepenuh hati, tetapi yang mau menjalani dan
melaksanakannya kan kalian berdua to? Maka saya
menyerahkan sepenuhnya kepada kalian berdua.
Jika kalian memang berjodoh, Tuhan pasti akan
memberikan jalan yang terbaik dan paling baik bagi
kalian berdua.”
***
Malam sudah menyapa bumi. Rembulan
setengah bundar telah menghias langit di atas sana.
Alun-alun Bandung dipenuhi cahaya lampu terang
benderang. Wajah-wajah yang dipenuhi berbagai
macam perasaan, pikiran, dan keinginan memadati
alun-alun yang berumput sintetis. Tempat yang
sangat nyaman dan aman bagi siapa saja untuk

57 |
refreshing melepaskan penat setelah seharian
bekerja maupun belajar di ruang kelas.
Seorang perempuan duduk di bangku taman di
sisi selatan alun-alun, dekat pertigaan yang disesaki
oleh kendaraan roda dua yang diparkir. Dua bungkus
coklat tergeletak di sampingnya. Jarum panjang jam
di depan masjid agung Baiturrahman sudah
menunjukkan angka delapan. Sesekali perempuan itu
menghela nafas panjang sambil melihat sekeliling.
Mencari sesuatu—wajah seseorang atau mungkin
sekedar mengamati keadaan. Sinar matanya
meredup seperti dipenuhi oleh beban duka
berkepanjangan.
“Maafkan aku… Sebenarnya…”
Suara itu masih sama dengan tiga yang lalu.
Tegas, walaupun ada kepedihan yang bergetar di
dalamnya. Angin seperti berhenti, dan benak
menyebrangi lautan yang sangat luas yang dipenuhi
segala macam adegan.Kenangan.
“Tiga tahun lalu, tepat pada hari yang sama
dengan hari ini, seorang perempuan duduk di bangku
ini menunggu seorang laki-laki dari jam tiga sore.
Duduk seperti orang asing bahkan gila dengan
dipenuhi berbagai harapan. Tidak berbicara dengan
siapapun karena dia memang tidak kenal dengan
siapapun di tempat ini. Menghabiskan berbungkus-
bungkus permen, dan ternyata…”

| 58
“Sudah!Jangan kau ulang lagi cerita itu. Aku…
aku…” suaranya terbata-bata bercampur isak dan
airmata yang mulai tumpah di pipinya.
“Perempuan itu terus dan tetap harap pesan
yang dikirimkannya dibalas. Perempuan itu terus
berusaha menjaga harapan yang serupa nyala lilin di
tengah tiupan angin agar terus menyala. Di
tunggunya sampai Maghrib datang menyapa seluruh
pengunjung. Hatinya terus saja memberinya
kekuatan agar perempuan itu terus menuggu. Isya’,
laki-laki yang ditunggunya belum juga memberi
kabar. Kejengkelan, kemarahan, dan kekhawatiran
perlahan tumbuh di sela-sela pikirannya.”
“Aku tahu! Aku tahu, tapi…!”
“Lima jam dia duduk sendiri di tempat ini,
taman kota Bandung. Hatinya berperang dengan
logika dan pikiran yang semakin kuat merongrong
kesadarannya. Cintanya seperti seekor kelinci di
tengah kawanan anjing liar yang kelaparan—
menggigil ketakutan!”
“Anak pertamaku sudah kau ambil! Anak
pertamaku mati seperti kutukan yang kau ucapkan
dulu! Dan kau lihat aku! Lihat…!”
Laki-laki itu menatap perempuan di depannya.
Di biarkannya airmata mengalir di pipinya. Dia tidak
peduli dengan para pengunjung lainnya yang menatap
penuh tanya pada mereka berdua. Dia tahu, semua

59 |
yang di ucapkan perempuan di depannya adalah
kebenaran yang tak dapat disangkalnya. Dia pun
tahu bahwa dia telah menerima hukuman dari apa
yang telah dilakukannya tiga tahun yang lalu. Dan
perempuan itu masih juga tidak mau memaafkannya.
“Aku tahu bahwa apa yang aku ucapkan dulu, di
tempat ini pada hari yang sama dengan hari ini telah
terjadi. Dan itu pula yang menuntun langkahku
kembali tempat ini. Aku berhutang banyak hal
kepadamu. Aku benar-benar menyesal dengan apa
yang telah aku ucapkan dahulu. Sungguh aku tidak
pernah berniat membuatmu menumpahkan airmata,
dahulu maupun saat ini.”
Helaan nafasnya menjadikan udara seperti
disesaki ribuan kabut dan kedukaan yang tiada
batasnya. Nasib atau mungkin takdir yang tidak
berpihak kepadanya. Dan perempuan itu tahu bahwa
laki-laki di sampingnya ini telah mengalami dan
menjalani kehidupannya dengan genangan airmata.
“Di mana istrimu? Kenapa kau datang sendiri?
Aku ingin bertemu dengan istrimu dan meminta
maaf padanya.”
Laki-laki itu terkejut bukan mendengarnya.
Emosinya yang sudah mulai reda kembali terguncang
dan meledak kembali. Tapi dia sudah capek denngan
semua ini. Dia merasa dia memang pantas
menerimanya. Dan sekarang dia berharap kehidupan

| 60
akan berpihak kepadanya walaupun hanya setetes
saja kebahagiaan di tengah gersang kerontangnya
nasib yang dijalaninya.
“Sudah dua tahum aku bercerai darinya. Aku
tidak tahu bagaimana kabarnya sekarang. Aku juga
tidak pernah pulang ke kampung.”
Begitu datar suaranya menjawab pertanyaan
perempuan itu. Keputusasaan jelas telah
menggerogoti hatinya yang dulu begitu tegar
menghadapi berbagai macam ujian. Mungkin waktu
telah memberinya banyak sudut pandang sehingga
dia memilih untuk berdiri di pojok gelap harapannya
sendiri.
“Maafkan aku, Syah…” perempuan itu
menyebut nama laki-laki itu sambil menggenggam
tangannya.
“Tidak Ma… aku yang harusnya meminta maaf
kepadamu. Aku yang telah menghancurkan impian
dan janjiku sendiri kepadamu. Saat ini aku sudah
pasrah. Aku sudah belajar menerima semua ini
sebagai bagian dari hukuman yang harus aku
terima.”
Syahdan menghentikan perkataannya dan balas
menatap wajah Ama. Wajah yang tidak berubah
sejak dahulu dia mengenalnya—beberapa tahun lalu.
“Kau sudah menikah, Ma?”

61 |
Pertanyaan itu begitu menghunjam ke dalam
relung hati. Ama terdongak menatap langit,
menatap rembulan, dan menatap ke dalam jiwanya
sendiri.
“Sejak kejadian itu, perempuan penunggang
elang itu memilih untuk bertapa di keramaian hiruk
pikuk dunia. Dia mengembara seorang diri, tanpa
rumah, tanpa kawan, apalagi teman hidup. Separuh
hatinya telah dia kubur di dalam tebing di atas
gunung bernama Syahdan.”
“Ma…”
Syahdan tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya
dalam pelukan Ama. Airmatanya berderai di pundak
Ama yang terlihat begitu rapuh itu. Pundak yang
telah mengembara menjelajahi kepahitan demi
kepahitan, telah berkawan dengan kesakitan demi
kesakitan. Pundak yang begitu tegar menerima
warna warni kehidupan.
Angin berembus semilir membawa aroma bunga
tanjung yang berguguran di trotoar jalan. Bulan
setengah bundar tetap bergulir di langit. Menulis
huruf demi huruf dari sajak-sajak malam. Nasib,
apakah benar ia akan berpihak kepada para
pejuang? Takdir, apakah memang diperuntukkan
bagi manusia yang tidak berputus asa? Atau
memang nasib dan takdir ditentukan oleh manusia

| 62
sendiri? Hanya hati yang mampu menjawab segala
tanya.

63 |
BAB 5
Laku Prihatin (Sebuah Catatan Perjalanan)

Ajaran kebatinan kejawen pada dasarnnya adalah

pemahaman dan penghayatan kepercayaan orang

Jawa terhadap Tuhan dan ke-Tuhan-an. Kejawen

atau ke-Jawa-an dalam arti yang umum berisi

kesenian, budaya, tradisi, ritual, sikap hati serta

filosofi hidup orang-orang Jawa. Ajaran kejawen

tidak terpaku pada aturan formal, tetapi

menekankan “keseimbangan dan keharmonisan

hidup”. Kebatinan Jawa merupakan tradisi dan

warisan budaya leluhur sejak jaman kerajaan purba,

jauh sebelum datangnya pengertian beragama. Yang

pada prakteknya, selain berisi ajaran-ajaran budi

pekerti, juga diwarnai kemistikan. Kebatinan adalah

mengenai segala sesuatu yang dirasakan manusia

pada batinnya yang paling dalam.

| 64
Kebatinan terutama berisi penghayatan seseorang

terhadap apa yang dirsakannya didalam batinnya

atas segala sesuatu aspek hidupnya, segala bidang

yang dilakukannya. Apa saja yang dihayatinya itu

selanjutnya akan menjadi bersifat pribadi, akan

mengisi sikap batinnya dalam kehidupannya sehari-

hari, dan menjadi bagian kepribadiannya.

Seseorang yang banyak menghayati isi hatinya,

atau isi pikirannya, akan lebih banyak “masuk” ke

dalam dirinya sendiri, menjadikan dirinya lebih

“sepuh” dibandingkan jika ia mengabaikannya.

Selebihnya itu akan menjadi sikap batinnya dalam

kehidupannya sehari-hari, akan menjadi bagian yang

sepuh dari kepribadiannya.

Secara kebatinan dan spiritual dipahami bahwa

kehidupan manusia di alam ini hanyalah sementara

saja yang pada akhirnya nanti semua orang akan


65 |
kembali lagi kepada Sang Pencipta. Manusia, bila

hanya sendiri, adalah bukan apa-apa, bukan siapa-

siapa, lemah dan fana. Karena itulah manusia harus

bersandar kepada kekuatan dan kekuasaan yang

lebih tinggi (Tuhan), serta beradaptasi dengan

lingkungan alam dan memeliharanya bukan

melawannya, apalagi merusaknya. Lebih baik untuk

menjaga sikap dan tidak merusak. Memiliki sedikit

lebih baik daripada berambisi menimbun ‘lebih’.

Dengan demikian idealisme Kebatinan Jawa

menuntun manusia pada sikap menerima, sabar,

rendah hati, sikap tahu diri, sikap hidup sederhana,

suka menolong, tidak serakah, tidak berfoya-foya

atau berhura-hura, dan lain sebagainya. Idealisme

inilah yang menjadikan manusia hidup tenteram dan

penuh rasa syukur kepada Tuhan.

| 66
Mereka terbiasa hidup sederhana dan apapun yang

mereka miliki akan mereka syukuri sebagai karunia

Allah.

Mereka percaya adanya ‘berkah’ dari roh-roh

(yang merupakan sesepuh manusia), alam, dan

Tuhan. Semuanya menjadi indah bila ada

keberkahan dari seluruh intisari alam semesta.

Karena itu dalam budaya jawa dikenal adanya upaya

untuk selalu menjaga perilaku, kebersihan hati dan

batin, ditambah laku prihatin dan tirakat supaya

hidup diliputi keberkahan. Mereka tekun

menjalankan “laku” untuk pencerahan Cipta, Rasa,

Budi dan Karsa.

Orang Jawa bilang intinya kita harus selalu eling

lan waspada. Selalu ingat Tuhan. Tapi biasanya

orang hanya menginginkan kesuksesan saja,

keberhasilan dan keberuntungan saja, tapi tidak

tahu pengapesannya (eling tapi tidak waspada).

67 |
Sering dikatakan orang-orang yang selalu ingat

Tuhan dan menjaga moralitas, seringkali hidupnya

banyak godaan dan kesusahan.

Kalau eling ya harus tulus, jangan ada rasa

sombong, jangan merasa lebih baik atau lebih benar

dibanding orang lain, karena kalau tertanam benih

sifat demikian dalam diri kita sama saja kita

berlaku negatif dan menumbuhkan aura negatif

pada diri kita. Aura negatif akan menarik hal-hal

negatif pula, sehingga kehidupan kita akan semakin

banyak berisi hal-hal yang negatif. Disisi lain kita

juga harus sadar bahwa orang-orang yang banyak

menahan diri, membatasi perbuatan-perbuatannya,

seringkali menjadi kurang greget, kurang kreatif

dan yang diperolehnya juga akan lebih sedikit

dibandingkan orang-orang yang tidak menahan diri.

Tetapi mereka yang sadar akan potensi dirinya,

peluang-peluanng dan lain sebaginya serta dapat

secara positif memanfaatkannya dengan perbuatan


| 68
nyata, tidak kendo, dan tidak kebanyakan

menghayal dapat juga menghasilkan banyak tanpa

harus lupa Tuhan dan merusak moralitasnya.

Sering juga dikatakan orang-orang yang tidak

ingat Tuhan atau tidak menjaga moralitas kelihatan

hidupnya lebih enak. Bisa terjadi seperti itu karena

mereka tidak banyak menahan diri, tidak banyak

beban, apa saja dilakukan walaupun maaf mungkin

sedikit kurang baik. Beban hidupnya lebih ringan

daripada yang menahan diri. Mereka bisa

mendapatkan banyak karena mereka tidak banyak

menahan diri.

Diluar pandangan-pandangan di atas, mengenai

sejauh mana kesuksesan dan kebendaan yang mampu

diraih oleh seseorang dalam hidupnya, sebenarnya,

jalan kehidupan masing-masing makhluk, termasuk

manusia, sudah ada garis-garis besarnya. Sehingga

tinggal masing-masing dalam menjalankan

kehidupannya apakah akan banyak eling dan


69 |
menahan diri, ataukah akan mengumbar

keduniawiaanya.

Menjalani laku prihatin tidak sama dengan

terpaksa menahan diri karena kondisi hidup yang

kekurangan.

Laku prihatin pada prinsipnya adalah perbuatan

sengaja untuk menahan diri terhadap kesenangan-

kesenangan, keinginan-keinginan dan hasrat atau

nafsu yang tidak baik, tidak pantas dan tidak

bijaksana dalam kehidupan. Laku prihatin juga

dimaksudkan sebagai upaya menggembleng diri

untuk membangun ‘ketahanan’ jiwa dan raga dalam

menghadapi gejolak dan kesulitan hidup. Orang yang

tidak biasa menahan diri akan merasakan beratnya

menjalankan laku prihatin.

Sikap berlaku prihatin dapat dilihat dari sikap

seseorang yang menjalani hidup ini secara tidak

berlebih-lebihan. Walaupun kepemilikan kebendaan

sering dianggap sebagai ukuran kualitas dan


| 70
keberhasilan hidup seseorang, sekalipun seseorang

sudah jaya dan berkecukupan, laku prihatin dirinya

dapat dilihat dari sikapnya yang menahan diri dari

perbuatan-perbuatan yang tidak baik, tidak pantas,

tidak bijaksana, dan menahan diri dari perilaku

konsumtif yang berlebihan, hanya ingin memiliki apa

yang benar-benar menjadi kebutuhan hidup saja,

tidak melebihi batas nilai kepantasan dan kewajaran

(tidak berlebihan dan tidak pamer).

Prihatinnya orang miskin harta (orang umum).

Walaupun seseorang tidak berlebihan harta, atau

bahkan kekurangan harta, tetapi ia tidak mengisi

hidupnya dengan kesedihan, iri dan dengki serta

tidak mengejar kekayaan dengan cara tercela.

Tetap hidup sederhana sesuai kebutuhannya dan

tidak menginginkan sesuatu yang bukan miliknya.

Walaupun tidak dapat memenuhi keinginan

kebendaan duniawi secara berlebihan, tetapi tetap

menjalani hidup dengan rasa menerima dan


71 |
bersyukur. Dalam menolong atau membantu orang

lain, pasti dilakukannya tanpa pamrih kebendaan.

Filosofinya ‘makan untuk hidup, bukan hidup untuk

makan (hewan)’. “urip iku mung mampir ngombe tok” .

Hidup seperlunya saja sesuai kebutuhan, bukannya

mengejar atau menumpuk harta dan apapun

sebutannya, toh tidak akan menjadi bekal di alam

kubur. Sekalipun mereka miskin harta, tetapi kaya

di hati “sugih tanpo bondho”. Berbeda dengan orang

yang berjiwa miskin, yang sekalipun sudah

berkecukupan harta atau bahkan berlebihan, tapi

selalu saja merasa takut miskin, selalu takut

hartanya berkurang, dan akan melakukan apa saja,

termasuk perbuatan-perbuatan tercela, untuk terus

menimbun kekayaan.

Prihatinnya orang kaya harta. Walaupun seseorang

sudah berlebihan harta, tetapi ia tidak mengisi

kehidupannya dengan kesombongan ataupun hidup

bermewah-mewahan. Tetap hidup sederhana sesuai


| 72
kebutuhannya dan tidak melebihi apa yang memang

diperlukan. Orang kaya harta yang sellau

mensyukuri kesejahterannya akan tampak dari sikap

hatinya yang selalu rela member ‘lebih’ kepada

orang-orang yang membutuhkan pemberiannya,

bukan sekedar member, walaupun perbuatannya itu

tidak ada yang melihat. Dan semua kewajibannya,

kewajiban duniawi maupun keagamaan, yang

berhubungan dengan hartanya, akan dipenuhinya

seperti seharusnya, tidak ada yang dikurangkan.

Prihatinnya orang kaya ilmu. Orang kaya ilmu, baik

ilmu pengetahuan maupun ilmu spiritual, menjalani

laku prihatin dengan cara memanfaatkan ilmunya

tidak untuk kesombongan dankejayaan dan

kepentingan dirinya sendiri. Tidak untuk pamer dan

tidak untuk membodohi atau menipu orang lain,

tetapi dimanfaatkan juga untuk menolong orang lain

dan membaginya kepada siapa saja yang layak

73 |
menerimanya, tanpa pamrih kehormatan ataupun

upah.

Prihatinnya orang berkuasa. Seorang penguasa

hidup prihatin dengan menahan kesombongannya,

menahan hawa nafsu sok kuasa, tidak

memanfaatkan kekuasaannya untuk kejayaan diri

sendiri dan keluarganya atau golongannya saja.

Kekuasaan dijadikan sarana untuk menciptakan

kesejahteraan masyarakat yang dipimpinnya.

Mewujudkan negeri yang makmur, “gemah ripah loh

jinawi, tata titi tentrem kerta raharja”

sebagaimana layaknya negarawan sejati.

| 74
Epilog
Bahwasanya manusia membutuhkan jarak untuk

mengetahui dan mengerti bahwa dirinya hanya

serpihan kaca di tengah rimba. Manusia

membutuhkan jeda untuk memahami dan meresapi

hangat matahari.

Dengan adanya jarak dan jeda, akan menjadi

bahan evaluasi bagi diri kita. Menjadi cermin,

mengingat hakikat kita sebagai manusia. Melahirkan

cinta kasih yang akan dibawa dalam kehidupan.

Karena hidup ini hanya sebatas ci-luk-ba.

Terkadang manusia diberi anugerah untuk

memahami jalan hidup-garis nasib-dan tugasnya

ketika di dunia, tetapi dunia tidak selalu seiring

sejalan dalam memberikan kesempatan kepada

jasad-akal-keinginan-dan hati manusia. Masyarakat

tidak pernah mau mendengar apalagi memperdulikan


75 |
kehidupan orang lain karena dianggapnya kehidupan

orang lain adalah tanggung jawab pribadi dan

sifatnya privasi.

Di sisi lain, waktu semakin menyeret manusia

untuk mengembalikan repih ingatan manusia yang

sangat lampau yang pernah dijalani ratusan bahkan

ribuan tahun lalu, baik di alam nyata maupun di alam

azali. Menyeimbangkan antara akal-hati-keinginan

agar bisa sesuai dengan kehendakNya sungguh

merupakan sebuah perjuangan yang tidak akan

selesai walau seluruh usia dihabiskan untuk

melaksanakannya.

| 76
TENTANG PENULIS

Fahma Lucky NWS, mengembara dan menafsiri ayat-ayat


semesta sejak tahun 2017. Berharap catatan perjalanannya
dapat memberikan pencerahan pada pembaca. Sedikit ataupun
banyak.

77 |

You might also like