Professional Documents
Culture Documents
NYAI22
NYAI22
NYAI22
CV. J-MAESTRO
NYAI
(Jejak Matahari Dari Timur)
Tata Letak:
Tim JM
Desain Sampul:
Tim JM
Penerbit:
CV. J-MAESTRO
Website : https://j-maestro.com/
Email J-Maestro : mail@j-maestro.com
admin@j-maestro.com
Link Katalog Online : https://j-maestro.com/katalog/
Alamat Administrasi : Kantor Penerbit J-Maestro
Jl. Delima V gg.8 No.147
RT/RW : 016/05 Prumnas Klender,
Jakarta timur 13460
Telp. 0812-1447-5087
Link Profil Penerbit : https://j-maestro.com/profil/
|2
Sinopsis
3|
KATA PENGANTAR
|4
Daftar Isi
5|
Prolog
7|
BAB 1
Perjalanan
“Ada apah?”
|8
Sebentar dia melihatku, kemudian mengambil
di petilasan!”
9|
beberapa ornamen candi disekeliling api abadi itu.
meter.
| 10
imajinasi itu tidak cukup untuk menghentikanku
11 |
tersebut. Tetapi tetap saja aku tidak menemukan
tidak tertarik.
| 12
Suara bel istirahat kedua terdengar dari
menuju masjid.
Apa maksudnya?
13 |
Suara laki-laki itu terus mengiang-ngiang di
denganku?”
melanjutkan pekerjaannya.
aneh”
“Bu...”
15 |
“Selesaikan dulu kerjanya, baru cerita yang
benar”
mimpiku.
“Kapan?”
| 16
Aku menoleh dan menatap wajah Yoga dengan
hatiku.
Hhh...!
17 |
“Oke... desain acara besok aku tunggu, dan aku
tidak.”
“Hahaha...”
ini.
| 18
BAB 2
Bathara Kathong
“Inggih, Ning...”
| 20
curiga berkelebat di matanya, tetapi ditepisnya
sangkanya.
dirinya.
saja.”
pertanyaan itu.
nggeh, Ning?”
warung.
pemilik warung.
atus, Ning.”
| 22
Perempuan pemilik warung mengangguk.
berjalan.
apa itu?”
23 |
Gadis itu tertegun. Dicarinya siapa yang
menghampirinya.
| 24
berdiri dan perlahan berjalan meninggalkan lalu
gadis.
“Injih sami-sami.”
tersebut.
25 |
***
ubun.
ket wau”
“Eee...”
“Monggo, Nduk..”14
makam.
membekas di batu?”
| 28
Pak Supriyadi itu tersenyum. Pertanyaan yang
tujuh malam...”
***
29 |
BAB 3
| 30
seperti leburan permen karet dalam mulutku. Aku
hanya melirik sekilas tanpa menjawab.
Hujan akhirnya tumpah dengan derasnya, aku
beranjak masuk ke ruangan. Kulihat Ziyut sedang
mencari-cari sesuatu. Aku yakin dia juga mencari
barang untuk melanjutkan nyetting acara besok.
Waktunya makin mendesak.
“Nyari berkas? Aku sudah sejam nyari, hampir
gila, nggak ketemu. Jancuk ancene!”
Ziyut menghentikan usahanya, dan berbalik
menatapku.
“Opo’o kon? Tumben misuh?”
“Harusnya setting acara ini sudah selesai
kemarin. Mosok nyetting kejuaraan ae telung dino
ra mari-mari! Wes ngono, awa’e dewe isih kudu
turun tangan! Bah! Kapan mereka mau benar-benar
belajar?”
“Hahahaha…”
Ziyut malah tertawa keras mendengar
makianku.
“Ayo nggolek teh anget…”
***
“Ada banyak hal yang kita lupakan dalam
proses kita selama ini. Kita hanya mengedepankan
diskusi dan segala macamnya, tetapi lupa
mewariskan tentang bagaimana melakukan proses
itu sendiri.”
31 |
Aku mendengarkan saja omongannya tanpa
berusaha menyela. Kusesap permen yang masih
menggumpal dengan separuh kejengkelan yang
masih bergemuruh di dadaku.
“Jancuk…!”
Lidahku mati rasa terkena teh panas. Ziyut
kemudian melirikku dan melanjutkan perkataannya.
“Aku tahu kenapa kau ingin merubah semua itu,
tapi kalau kau muring-muring, opo yo dadi?”
“Aku tahu! Semua itu harus disampaikan
dengan perlahan dan pada waktu yang pas. Tapi iki
wes darurat, wes mendesak! Sesuk wes acara,
setting sik durung mari! Mosok kate dijarno?”
Ziyut menghela nafas panjang. Terdiam dan
merenung. Kebisuan meraja di antara kami.
Kebisuan yang serupa tali gaib dan mencekik leher
kami berdua.
“Ayo balek nang ndukur. Aku kate ngumpulno
arek-arek!”
***
“Maaf, Dek… ini persiapannya sudah sampai
mana ya? Tamu undangan sudah beres semua?”
Aku tergagap mendengar pertanyaan itu.
Keasyikanku menata surat menyurat, perangkat
pertandingan, dan susunan pembukaan jadi
berantakan. Sial! Aku menoleh, dan hampir saja
menumpahkan air mineral ke laptpku.
| 32
Tuhanku…!
Ingin aku berteriak sekuat yang aku mampu.
Wajah itu, wajah yang mengingatkan aku pada
wajah yang Tujuh Tahun lalu aku pendam di ruang
rahasia batinku. Wajah tegas dengan senyum manis
yang tegas. Tuhanku…!
“Dek…?”
Suara bernada heran itu mengembalikanku ke
alam nyata. Jelas aku salah tingkah dan aku yakin
laki-laki di depanku sekarang setengah tersenyum
setengah ingin tertawa melihat sikapku.
“Mbok ya dijawab to? Jo mung di lamuni tok!
Engkok blayu lho, ngiro awakmu kesurupan utowo
edan…”
Ziyut tiba-tiba nyletuk dari balik keber. Dia
menepuk punggungku dengan senyum menggoda dan
wajah tanpa dosa. Jancuk…! Aku benar-benar
jengkel. Kerongkonganku tercekat tak mampu
bersuara.
“Acaranya kan besok malam, Mas sudah siap
semua kok. Surat undangannya… sudah diantar
semua.”
“Jancuk…! Cangkemmu, Cok…!”
“Hahahaha… lha awakmu ra wani ngomong e?
Aku ae wes sing wakili. Hahaha…”
Kuperhatikan laki-laki itu hanya tersenyum
mendengar ocehan kami. Sepertinya dia merasa
33 |
aneh dengan percakapan kami yang ngelantur.
Walaupun dia ketua pelaksana dan kami sudah
sering bekerja bersama karena aku merangkap
sebagai sekretaris juga.
“Sudah beres semua ya, Dek? Atau… masih ada
yang kurang?
“Nah, ndang dijawab. Aku ra melu-melu wes…. ”
Bukannya meladeni pertanyaan itu, Ziyut malah
ngluyur pergi ke dalam ruang kejuaraan. Aku jadi
makin salah tingkah dan glagapan dibuatnya.
“Eeee… sudah selesai semua kok, Mas…”
Aku tak mampu melanjutkan kalimatku. Wajah
tegas itu memperhatikanku dan aku kehilangan
konsentrasi. Pikiranku jadi ‘blank’, semakin jengkel
dan kosong melompong.
“Ooo… oke sip”
Jawaban disertai senyum setengah tertawa itu
makin membuatku gugup.
“Iyya… kalau mau bantuin yang disini juga
boleh.”
Entah keberanian dari mana sehingga aku
memberanikan diri membalas senyum setengah
tertawa itu. Kulihat wajah tegas itu terbelalak. Aku
jadi makin berani untuk bergurau dengannya. Aku
tidak perduli akan dianggap kurang ajar dan sok
akrap. Biar saja! Siapa suruh dia membuatku
mengerjakan begitu banyak hal?
| 34
“Tapi… sekalian kerjain semua saja
bagaimana?”
Wajah tegas itu makin membelalak, rautnya
sedikit kesal tapi tiba-tiba tertawa lepas.
Tuhanku…!
“Hahaha… apa anak penulis itu memang suka
ngerjai orang ya?”
“Maksudnya?”
“Tadi sampeyan kelihatan jengkel, gugup, dan
diem. Eh, tiba-tiba malah berani ngomong seperti
itu”
Aku tidak menyahut. Aku malah tertawa
menyembunyikan perasaanku yang berkecamuk di
dalam dada. Andai saja kau tahu apa yang aku
rasakan sekarang ketika pertama kali melihat
wajahmu, aku tidak yakin kamu akan mau ngobrol
denganku. Andai kamu tahu apa yang ada di
pikiranku sekarang, aku yakin kamu akan
menganggap aku perempuan aneh. Ah…
“Ya, nggak tentu. Kalau di atas kertas memang
harus pandai membual. Ketika menghadap dosen
yang lumayan killer, ya harus bias acting. Nah, kalau
sama orang tegas ya susah…”
“Kok susah?”
“Iya, susah banget. Mau ngerjai pasti langsung
ketahuan. Nggak ngerja jadinya ya kayak tadi itu,
gugup dan diam. Susah kan?”
35 |
“Hahaha… iya wes sak kareppe sampeyan .
Makasih ya, Dek. Silahkan dilanjutkan lagi untuk
persiapannya.”
Tanpa menunggu jawabanku, wajah tegasnya
dengan senyum khasnya berjalan ke motornya.
Pergi. Aku melongo. Ada sesuatu yang menggeliat di
dalam hatiku. Perih!
***
“Kon ra patek kenal? Dadi sekretaris sak munu
suwine, ora pendekatan blas? Lha terus mek opo
ae? Jan…”
Ziya geleng-geleng kepala mendengar ceritaku
bahwa aku tidak memiliki hubungan dekat dengan
ketua pelaksana itu. Aku tidak menjawabnya. Mau
menjawab bagaimana? Kenyataannya memang begitu
kok!
“Yo wes, dungo ae. Mugo-mugo arek kuwi sesok
iso luwih parek pas nok acarane awak dewe. Awakmu
lak wes suwi ra tau dungo! Hahaha…”
Aku tidak tahu harus bagaimana menjawab
semua ucapan Ziyut. Aku benar-benar menjadi
makhluk paling goblok saat ini. Diam salah, jawab
malah akan tambah diejek oleh bajingan jelek satu
ini.
“Kalau dia benar-benar semakin akrab, aku mau
baca sajak. Aku mau ngobrol dengannya ketika nanti
kejuaraan berlangsung.”
| 36
“Serius? Beneran?”
“Iya…”
“Wani tenanan yo? Taruhane opo?”
“Taruhan apanya?”
“Ya untuk memastikan kamu benar-benar
berani ngobrol sama dia lah…”
“Kalau aku nggak berani, aku yang nanggung
konsumsinya anak-anak panitia. Tapi kalau aku
berani piye?”
“Es Krim, Aice sak box. Deal?”
“Deeal…!”
***
“Piye? Keto’e arek kuwi sibuk banget. Acara
kate dimulai, paling limang menit ngkas…”
Aku tak mengacuhkan omongannya Ziyut.
Mataku terlalu fokus pada kegiatan. Aku yakin
walaupun disibukkan dengan kegiatan, laki-laki itu
pasti akan datang. Entah apa yang membuatku
memiliki keyakinan itu. Sebenarnya aku juga gelisah,
bolak-balik kulirik jam tanganku. Dia pasti akan
mengecek kembali kesini/
“Sudah dimulai acara pembukaannya, Dek?”
Deg! Suara ini yang aku tunggu sejak tadi.
Suara dari wajah tegas dengan senyum khas. Lampu
yang temaram menyembunyikan rona merah dan
kegembiraanku melihat kehadirannya.
“Belumlah… kan nunggu ketua pelaksana?”
37 |
“Maksudnya?”
“Ya iyalah kan harus sambutan…”
Aku tidak melanjutkan omonganku, takut
keceplosan dan efeknya malah tidak mengenakkan.
“Ayo masuk. Jangan lupa isi daftar hadir
dulu…”
“Sini, Mas… isi nama, fakultas, dan dari
kontingen mana, tanda tangan, kalau perlu sekalian
nomer WA. Iya kan, Ma?”
Aku mendelik sama Indah yang ngoceh
seenaknya. Aku nggak nyangka dia akan ngomong
seperti itu. Aku tahu dia berniat baik, bantuin aku,
tapi bukan begitu caranya. Jangan-jangan aku
disangka memanfaatkan situasi.
“Wes, jo dirungukno omongane. Isi sak ene’e
ae…”
“Ciiieeee? Tumben baik banget? Jangan-
jangan…”
Kulihat wajah tegas itu hanya tersenyum
mendengar ocehan Indah. Selesai mengisi daftar
hadir, dia sudah mau beranjak masuk ke ruangan
untuk memberikan sambutan, suara Indah
mencegahnya.
“Lho, Mas… nomer WA-nya mana? Kan tadi
saya minta ngisi yang lengkap? Kalau nggak diisi, ya
berarti nggak usah didokumentasikan.”
| 38
Aku mendelik, ingin kuremas mulutnya yang usil
itu.
“Beneran harus lengkap dengan nomer WA?
Lainnya nggak ada kok?”
“Lho mas ini spesial, khusus gitu…”
Wajah tegas itu mengerutkan kening, heran.
Sedetik kemudian dia benar-benar menuliskan
nomer WAnya di kolom keterangan. Indah aku lihat
senyam senyum menjengkelkan. Dia cepat-cepat
menyembunyikan daftar hadir itu dari hadapanku.
“Selamat pak ketua pelaksana…”
Aku berjalan di belakangnya, menjadi MC di
acara pembukaan. Peserta sudah dikumpulkan dan
tamu undangan sudah datng. Pemandangan tegang
dan sunyi. Aku membawanya ke tempat yang sudah
panitia siapkan sore harinya. Tepat di tengah
disamping tamu undangan, jadi pemandangan dari
arah itu menjadi lengkap dan luas.
“Mas… saya tinggal dulu ya. Saya mau siap siap
untuk menjadi MC…”
“Oke, Dek…”
***
Acara pembukaan berhasil dilaksanakan
dengan lancar. Dan pertandingan sesi pertama atau
babak penyisihan segera dimulai, para atlit beserta
official bergegas mempersiapkan diri untuk
bertanding.
39 |
“Rek… aku jaluk waktune sepuluh menit yo. Aku
kate ngobrol nang ngisor sek.”
“Lho, Ma… kan tas mulai acara?”
“Ya, sebentar saja. Aparat pertandingan kan
sudah ada. Lagipula tugasku sebagai sekretaris kan
sudah tuntas…”
“Oke, Ma… sampeyan sampaikan duluan saja
nanti aku sampaikan ke yang lain.”
Aku segera mencari dimana laki-laki tegas itu
berada. Sejak dimulai acara dia memang mondar
mandir untuk memastikan bahwa kegiatan lancar
tanpa halangan.
“Rek… sebelum pertandingan sesi kedua aku
njaluk waktu istirahat gawe ngobrol ambek ketua
pelaksana…”
Ziyut dan Indah saling berpandangan
sebentar. Mereka kebingungan karena di kegiatan
ini sangat padat. Aku tersenyum pada mereka untuk
meyakinkan mereka.
“Aku wes ngomong sama yang lain juga. Tenang
saja aku nggak kira ngerusuh…”
Mereka mengangguk walau menyimpan seribu
pertanyaan di dalam benaknya. Tidak biasanya aku
melakukan sesuatu di luar susunan acara yang sudah
disepakati. Mereka pasti bertanya-tanya ada apa
denganku? Aku cuek saja. Aku harus benar-benar
memberanikan diri kali ini.
| 40
Ruang kejuaran bergemuruh oleh dukungan
penonton. Ada juga suitan dan celoteh di sela tepuk
tangan itu. Sementara aku memberanikan diri
menemui laki-laki wajah tegas itu diruang bawah
tempat istirahat.
“Terima kasih. Sekarang, sambil menunggu
persiapan pementasan naskah kedua, ijinkan saya
membacakan sajak…”
Beberapa peserta kulihat ada yang
memperhatikanku
.
Aku mengobrol secara perlahan dan
membicarakan banyak hal dengannya. Walaupun ada
kejengkelan yang tersisa. Aku mengambil nafas dan
berkonstrasi sebelum memulai membaca sajak yang
aku tulis khusus kepada pemilik wajah tegas dan
senyum khas itu.
“Sebuah sajak yang saya khususkan kepada
kamu. Seseorang yang kemarin membuat saya
sangat jengkel dan berdecik, gugup, dan merasa
menjadi makhluk paling bodoh sedunia…”
Aku menghela nafas sebentar, mataku melihat
ke arahnya.
SESEORANG YANG KUPANGGIL
41 |
ataukah ini hanya ingatan sejenak
berenang menyusuri sekian ratus jarak
O…
| 42
Kesenyapan berganti dengan suasana yang
canggung.
“Maafkan aku.... mungkin suatu saat kau akan
tahu p maksudku”
“Terima kasih… terima kasih… selanjutnya
mungkin bisa kita bicarakan hal yang mengganggumu
itu selesai kegiatan ini berlangsung…”
“Iya, terima kasih banyak, mas?” Tak elak air
mata menetes membasahi pipiku. Namun segera aku
seka, sebab kau tak mau ia mengkhawatirkaku.
***
43 |
“Kalau aku nggak ngijinin?”
“Kalau nggak boleh, ya nggak. Tapi…”
“Iya, boleh…”
Ama mengambil permen karet dari tas kecil
yang dicangklongnya. Mengenyam dan menyesapnya
perlahan. Memainkannya menjadi bulatan-bulatan
kecil.
“Ketika mengetahui dia dipaksa menikah, aku
tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak berani
mengajaknya nikah lari seperti dalam cerita
sinetron atau film. Hidupku saja masih morat-marit.
Aku merelakannya dengan terpaksa, dan sejak itu
aku hampir tidak peduli dengan kuliahku. Aku
melampiaskan kepedihanku di teater, menulis
naskah drama, sajak, dan nyepi…”
“Nyepi?”
“Iya… Aku nyepi hampir setiap hari.”
“Sekarang?”
“Kalau aku bilang sudah berhenti, aku memang
sudah berhenti. Kalau dibilang belum, aku masih
sering pergi ke tempat-tempat sunyi. Sekedar
duduk-duduk kadang juga mempelajari sejarahnya…”
“Terus, kenapa cerita semuanya sama aku?”
Yoga memandang Ama dengan tajam. Dia
mencari kebenaran di telaga matanya. Ada
kerapuhan yang coba disembunyikan di sana. Ada
kesunyian yang teramat sangat di sana.
| 44
“Entahlah…. Hanya Ziyut dan Indah yang tahu
kisahku. Mereka berdua yang mengerti keadaanku,
dan merekalah yang selalu mengingatkanku…”
Ama menoleh, melihat Yoga yang menatapnya.
Ama tersenyum, sesuatu yang sudah hampir dia lupa
caranya.
“Jadi, sajak itu sebenarnya kau tujukan sama
kekasihmu yang dulu?”
Ama kaget bukan kepalang. Dia seperti
dihantam dengan batu yang sangat besar. Dia tidak
menyangka Yoga akan bertanya seperti itu.
“Sajak itu benar-benar aku tulis malam hari
setelah aku bertemu kamu sore harinya. Sajak itu
benar-benar ungkapan perasaanku kepadamu,
walaupun mungkin didasari oleh kenanganku pada
dia…”
“Kau kan nggak begitu akrab denganku?
Bagaimana bisa kau memiliki perasaan seperti isi
sajakmu?”
Ama terdiam. Tuhanku…!
“Ga… aku nggak perduli kau akan menganggapku
pembohong atau apapun. Dan jika aku ini perempuan.
Tetapi aku benar-benar suka sama kamu.”
“Aku suka sajaknya, tetapi tidak dengan
ceritamu!”
“Terima kasih. Aku juga tidak berharap banyak
kok…”
45 |
“Maksudmu?”
“Aku tahu, sangat sulit mempercayai ceritaku.
Apalagi sikapku kemarin makin memberikan kesan
buruk padamu. Tidak apa-apa. Aku paham kok! Aku
sudah senang bisa ngobrol denganmu seperti
sekarang ini. Aku sudah gembira kau mau
mendengarkan ceritaku.”
“Beneran?”
“Iya. Buatku, mengenalmu saja sudah
anugerah. Apalagi bisa ngobrol dan jadi temanmu,
itu sudah luar biasa. Tentang isi sajakku, itu benar-
benar jujur. Aku mengerti bahwa semuanya tidak
bisa dipaksakan. Aku ingin belajar jujur kepada
hatiku sendiri, dan menikmati perasaanku kepadamu
dengan gembira…”
Ama tersenyum dan membuang permen karet
yang sudah tidak berasa ke bawah kakinya.
“Kau mau membalas atau tidak itu urusanmu,
dan sepenuhnya menjadi hakmu. Yang pasti aku
menempatkan mu di dalam ruang khusus hatiku…”
“Maafkan aku…”
“Tidak perlu, karena kamu nggak bersalah.
Biarkan waktu yang mengajarkan kepada kita,
apakah kita memang diperkenankan menjalin
hubungan atau tidak…”
“Iya…”
| 46
Mereka berdua terdiam menikmati bahasa
tanpa kata yang bermain di dalam hati dan perasaan
mereka masing-masing. Sementara dari sebuah
warung lesehan terdengar Once
melantunkan ‘Risalah Hati’…
…
Aku bisa membuatmu,
Jatuh cinta kepadaku,
Meski kau tak cinta kepadaku,
Beri sedikit waktu,
Biar cinta datang,
Karena telah terbiasa
…
47 |
BAB 4
Usai
| 48
Aku lihat senyum samar menghiasai wajahnya.
Perlahan wajah yang tadinya dipenuhi perasaan yang
campur aduk kembali seperti biasanya—ceria. Dia
memang tidak menjawab ucapanku dengan kata, tapi
langsung beranjak setengah menyeret tanganku ke
luar dari ruang tunggu penumpang terminal
Tirtonadi.
Jam masih cukup pagi, jam tujuh kurang
seperempat tepatnya. Warung-warung di luar
terminal masih banyak yang tutup. Hanya beberapa
kios rokok saja yang tampak terus jaga. Aku ikut
saja di ajak ke manapun.Aku jelas tidak paham
dengan daerah ini. Beda dengan Syahdan yang
hampir lima tahun menempuh pendidikan di kota ini.
“Aku sebenarnya sama denganmu, nggak begitu
paham daerah ini. Entah apa ada warung yang buka
sepagi ini dan rasa tehnya sesuai dengan seleramu
yang jelas-jelas penikmat teh.”
“Terus?”
“Ya berdoa saja semoga ada warung yang
sudah buka. Hahaha…”
Tawanya terlontar begitu saja tanpa ditutup-
tutupi. Dia adalah laki-laki yang jujur dengan
perasaannya tanpa memanipulasinya, setidaknya
menurut penilaianku.
“Kalau nggak ada?”
“Kamu ngeteh di rumahku…”
49 |
Tiba-tiba dia tidak melanjutkan ucapannya.
Diam dengan sangat kejam menyelimuti kami
berdua. Kebungkaman serupa dengan jaman es yang
menyelubungi bumi. Kesenyapan itu menuntun
pikiranku dan aku rasa pikirannya juga, pada topik
awal yang kami bicarakan di dalam terminal.
| 50
Daun-daun jati telah menumbuhkan tunas-
tunas baru. Sejauh mata memandang warna hijau
mendominasi. Rerumputan dan semak-semak juga
sudah mulai meninggi. Di beberapa tempat tampak
bunga ilalang berayun ditiup angin. Jalanan yang
berliku serupa dengan ular yang melenggak lenggok
dengan tenang. Aroma tanah masih bersisa di
tengah udara. Mungkin sisa hujan kemarin sore atau
bahkan malam tadi.
Matahari tak kelihatan wajahnya. Sinarnya
saja yang menerobos sela dedaunan serupa
selendang para bidadari di dalam dongeng atau
selendang sutra milik para putri di cerita-cerita
klasik China. Panasnya teredam bebukitan sehingga
melahirkan kesejukan yang menggoda.
Aku menikmati perjalanan Solo-Purwodadi
dengan penuh ketakjuban. Bus yang kami tumpangi
tak seperti yang aku bayangkan. Kursi-kursinya
sudah banyak berlubang, dan juga kondisi
interiornya menyiratkan usianya yang sudah tua.
Aku senyum-senyum sendiri menyadari keadaan itu.
Syahdan yang duduk di sampingku dekat jendela,
sesekali kulihat memandangku. Ada senyum, ragu,
tidak percaya dan mungkin perasaan-perasaan
lainnya yang aku rasa berkecamuk di dalam
pikirannya.
“Berapa jam lagi?”
51 |
“Kenapa?Bosan?”
“Nggak… ngantuk, pengen es dan jajan.”
“Hmm… kenapa nggak makan permen saja?”
“Aku nggak makan permen kalau naik
kendaraan umum. Iya… walaupun aku ini suka, takut
ketelen.”
“Lima menit lagi kita turun.”
“Sudah sampai?”
Tak ada jawaban. Syahdan hanya melihatku
sekilas sambil mengambil tas kecil dan kresek yang
dibawanya.
***
“Selamat datang di Poh Ijo…”
Senyum mengiringi suaranya yang terdengar
begitu gembira. Aku terdiam melihat sekeliling.
Rumah-rumah khas Jawa Tengah yang masih
terawat, sawah-sawah yang menghampar dengan
padi-padi yang mulai berbunga, jalan tanah yang
dipagari dengan tanaman hidup—bluntas, ketu,
pohon pisang, ketela—dan halaman yang teduh
dengan tanaman buah-buahan. Betapa damai dan
tenangnya daerah ini. Suasana pedesaan yang tidak
jauh berbeda dengan daerahku sendiri. Sesekali aku
temukan rumah tembok yang jumlahnya bisa
dihitung dengan jari.
Aku menghirup udara segar itu, berusaha
mengenali dan menikmati sentuhannya di dalam
| 52
batinku. Ada banyak hal yang tiba-tiba mengisi
kepalaku.Apa yang akan aku lakukan di rumah
Syahdan? Apa yang harus aku sampaikan kepada
kedua orang tuanya? Apakah aku harus langsung
blak-blakan mengiyakan bahwa aku dan putranya
berniat seriu? Ataukah aku harus basa-basi sebagai
bagian dari sopan santun? Ah, aku pasrah saja pada
apa yang terjadi. Aku percaya ketika aku benar-
benar berniat baik, pasti seluruh alam akan
membantuku.
“Maaf Nduk… tempatnya sederhana. Biasa
desa ya seperti ini suasananya. Pasti tidak sama
dengan tempatnya Nak Ama…”
Aku tersenyum mendengar sambutan yang
hangat dari perempuan baya, yang dikenalkan
sebagai ibunya Syahdan.
“Sama saja, Bu. Saya juga orang desa kok.
Saya menikmati suasana yang tidak terlalu ramai
seperti di kota,” sahutku sambil melirik Syahdan
yang duduk di seberangku.
“Anggap saja di rumah sendiri. Syah… suruh
mandi Nduk Ama, terus makan. Agak sorean kalau
mau jalan-jalan, kebetulan di Balai Desa sedang ada
persiapan Bersih Desa. Nduk… ibu ke belakang
dulu.”
Aku mengangguk sambil tersenyum menjawab
ucapannya.
53 |
“Aku pengen teh…”
“Yo adus disik to. Kan barusan sudah diomongi
sama Ibuk, suruh mandi, makan, dan jalan-jalan.
Eh… tapi aneh ya? Ibuku itu nggak pernah lho
langsung akrab dengan teman-temanku, apalagi
teman cewek, baru pertama kali ke sini lagi.”
Hampir saja aku tertawa keras mendengarnya,
untungnya aku masih sempat menutup mulutkku.
Syahdan mendelik ke arahku, dan aku makin tidak
kuat menahan tawa.
“Ayahmu ke mana? Kok aku belum dikenalkan
dengan Beliau?” tanyaku.
“Bapak sedang mengawasi persiapan Bersih
Desa di balai desa. Sore mungkin baru pulang. Ayo
kamu mandi dulu, kemudian makan, baru setelah itu
aku bawakan teh.”
***
“Mohon maaf sebelumnya, Pak. Saya Ama dari
Jawa Timur. Tujuan saya berkunjung ke sini, yang
pertama niat bersilaturrahmi kepada panjenengan
dan ibu.Yang kedua, saya ingin menyampaikan bahwa
Syahdan ingin mengenalkan saya kepada njenengan
sebagai calonnya. Sekali lagi saya mohon maaf
karena telah lancang berbicara langsung kepada
panjenengan tanpa melalui pembicaraan sebelumnya,
mungkin Syahdan sudah menceritakan semuanya.”
| 54
Sungguh kalimat itu adalah kalimat yang paling
sulit aku ucapkan. Butuh waktu berpuluh-puluh
tahun rasanya untuk menyelesaikan kalimat itu.
Mulut dan lidahku sepertinya sudah berada di luar
kendaliku sendiri. Walaupun akhirnya aku berhasil
mengucapkannya, tentu saja dengan keringat yang
menghiasi seluruh tubuhku.
Laki-laki setengah baya di depanku ini
tersenyum mendengar kalimat-kalimat yang aku
ucapkan. Wajahnya sedikit membuatku bernafas
lega untuk sementara.
“Kenal di mana dengan Syahdan? Sudah berapa
lama?” tanyanya mengejutkanku.
“Kami kenal di sebuah acara kepenulisan dua
tahun lalu. Kebetulan saya dan Syahdan menjadi
peserta dan karyanya dibukukan dalam satu buku.
Baru awal tahun kemarin kami intens saling
berkumunikasi.”
“Keluarga sudah tahu kalau Nduk Ama ke
mari?”
“Saya sudah pamit kepada ibu dan ayah, untuk
sementara belum bisa ikut dikarenakan masih
nyambang untuk berkenalan.”
“Oh… maafkan pertanyaan saya, Nduk… Terus
apa yang Genduk harapkan? Apakah kejelasan
hubungan atau bagaimana?”
55 |
Aku terdiam, berusaha mengumpulkan
kekuatan batin dan ketenangan. Pertanyaan itu
begitu luar biasa. Langsung menuju titik
permasalahan dan tanpa tedeng aling-aling!
“Saya sudah siap menerima jawaban apapun,
Pak. Karena niat saya bukan untuk main-main. Saya
juga datang atas permintaan Syahdan. Jika
panjenengan dan ibu merestui, saya akan sangat
berterima kasih. Jika memang panjenengan dan ibu
belum merestuinya, saya juga sangat berterima
kasih karena saya sudah diterima di keluarga ini
dengan sangt baik sebagai seorang teman, sahabat,
bahkan saya sudah menganggap panjenengan dan ibu
seperti orang tua saya sendiri. Sebagai perempuan
saya hanya tidak ingin terjadi fitnah dan
sebagainya. Sehingga selain memastikan juga saya
niatkan sebagai menambah saudara”
Entah kekekuatan dari mana yang membuatku
sanggup mengatakan semua itu. Aku pun tidak
percaya dengan ketenanganku sendiri ketika
menyampaikannya. Ada semacam kelegaan dan
kepuasaan—jika boleh aku gambarkan demikian—
yang aku rasakan di dalam hatiku. Tidak ada
keinginan apa-apa di dalam hatiku saat ini. Aku
memasrahkannya saja kepada apa yang akan terjadi.
Aku melirik sekilas dan aku lihat senyumnya
menghiasai bibirnya. Aku kaget dan menatap
| 56
wajahnya langsung. Aku ingin tahu apa yang
sebenarnya dia inginkan dari pertanyaannya
kepadaku. Kejujuranku? Keterusteranganku? Atau
hanya sekedar mencari tahu alasanku telah berani
diajak datang langsung?
“Nduk… saya ini bukan orang yang suka
memaksakan kehendak kepada orang lain, apalagi
kepada anak-anak saya. Saya menerima dan
berterima kasih kepada kejujuran dan ketulusan
Syahdan dengan Nduk Ama yang telah
menyampaikan langsung keinginan dan membawa
Nduk Ama kesini. Saya pribadi saya menerimanya
Genduk sepenuh hati, tetapi yang mau menjalani dan
melaksanakannya kan kalian berdua to? Maka saya
menyerahkan sepenuhnya kepada kalian berdua.
Jika kalian memang berjodoh, Tuhan pasti akan
memberikan jalan yang terbaik dan paling baik bagi
kalian berdua.”
***
Malam sudah menyapa bumi. Rembulan
setengah bundar telah menghias langit di atas sana.
Alun-alun Bandung dipenuhi cahaya lampu terang
benderang. Wajah-wajah yang dipenuhi berbagai
macam perasaan, pikiran, dan keinginan memadati
alun-alun yang berumput sintetis. Tempat yang
sangat nyaman dan aman bagi siapa saja untuk
57 |
refreshing melepaskan penat setelah seharian
bekerja maupun belajar di ruang kelas.
Seorang perempuan duduk di bangku taman di
sisi selatan alun-alun, dekat pertigaan yang disesaki
oleh kendaraan roda dua yang diparkir. Dua bungkus
coklat tergeletak di sampingnya. Jarum panjang jam
di depan masjid agung Baiturrahman sudah
menunjukkan angka delapan. Sesekali perempuan itu
menghela nafas panjang sambil melihat sekeliling.
Mencari sesuatu—wajah seseorang atau mungkin
sekedar mengamati keadaan. Sinar matanya
meredup seperti dipenuhi oleh beban duka
berkepanjangan.
“Maafkan aku… Sebenarnya…”
Suara itu masih sama dengan tiga yang lalu.
Tegas, walaupun ada kepedihan yang bergetar di
dalamnya. Angin seperti berhenti, dan benak
menyebrangi lautan yang sangat luas yang dipenuhi
segala macam adegan.Kenangan.
“Tiga tahun lalu, tepat pada hari yang sama
dengan hari ini, seorang perempuan duduk di bangku
ini menunggu seorang laki-laki dari jam tiga sore.
Duduk seperti orang asing bahkan gila dengan
dipenuhi berbagai harapan. Tidak berbicara dengan
siapapun karena dia memang tidak kenal dengan
siapapun di tempat ini. Menghabiskan berbungkus-
bungkus permen, dan ternyata…”
| 58
“Sudah!Jangan kau ulang lagi cerita itu. Aku…
aku…” suaranya terbata-bata bercampur isak dan
airmata yang mulai tumpah di pipinya.
“Perempuan itu terus dan tetap harap pesan
yang dikirimkannya dibalas. Perempuan itu terus
berusaha menjaga harapan yang serupa nyala lilin di
tengah tiupan angin agar terus menyala. Di
tunggunya sampai Maghrib datang menyapa seluruh
pengunjung. Hatinya terus saja memberinya
kekuatan agar perempuan itu terus menuggu. Isya’,
laki-laki yang ditunggunya belum juga memberi
kabar. Kejengkelan, kemarahan, dan kekhawatiran
perlahan tumbuh di sela-sela pikirannya.”
“Aku tahu! Aku tahu, tapi…!”
“Lima jam dia duduk sendiri di tempat ini,
taman kota Bandung. Hatinya berperang dengan
logika dan pikiran yang semakin kuat merongrong
kesadarannya. Cintanya seperti seekor kelinci di
tengah kawanan anjing liar yang kelaparan—
menggigil ketakutan!”
“Anak pertamaku sudah kau ambil! Anak
pertamaku mati seperti kutukan yang kau ucapkan
dulu! Dan kau lihat aku! Lihat…!”
Laki-laki itu menatap perempuan di depannya.
Di biarkannya airmata mengalir di pipinya. Dia tidak
peduli dengan para pengunjung lainnya yang menatap
penuh tanya pada mereka berdua. Dia tahu, semua
59 |
yang di ucapkan perempuan di depannya adalah
kebenaran yang tak dapat disangkalnya. Dia pun
tahu bahwa dia telah menerima hukuman dari apa
yang telah dilakukannya tiga tahun yang lalu. Dan
perempuan itu masih juga tidak mau memaafkannya.
“Aku tahu bahwa apa yang aku ucapkan dulu, di
tempat ini pada hari yang sama dengan hari ini telah
terjadi. Dan itu pula yang menuntun langkahku
kembali tempat ini. Aku berhutang banyak hal
kepadamu. Aku benar-benar menyesal dengan apa
yang telah aku ucapkan dahulu. Sungguh aku tidak
pernah berniat membuatmu menumpahkan airmata,
dahulu maupun saat ini.”
Helaan nafasnya menjadikan udara seperti
disesaki ribuan kabut dan kedukaan yang tiada
batasnya. Nasib atau mungkin takdir yang tidak
berpihak kepadanya. Dan perempuan itu tahu bahwa
laki-laki di sampingnya ini telah mengalami dan
menjalani kehidupannya dengan genangan airmata.
“Di mana istrimu? Kenapa kau datang sendiri?
Aku ingin bertemu dengan istrimu dan meminta
maaf padanya.”
Laki-laki itu terkejut bukan mendengarnya.
Emosinya yang sudah mulai reda kembali terguncang
dan meledak kembali. Tapi dia sudah capek denngan
semua ini. Dia merasa dia memang pantas
menerimanya. Dan sekarang dia berharap kehidupan
| 60
akan berpihak kepadanya walaupun hanya setetes
saja kebahagiaan di tengah gersang kerontangnya
nasib yang dijalaninya.
“Sudah dua tahum aku bercerai darinya. Aku
tidak tahu bagaimana kabarnya sekarang. Aku juga
tidak pernah pulang ke kampung.”
Begitu datar suaranya menjawab pertanyaan
perempuan itu. Keputusasaan jelas telah
menggerogoti hatinya yang dulu begitu tegar
menghadapi berbagai macam ujian. Mungkin waktu
telah memberinya banyak sudut pandang sehingga
dia memilih untuk berdiri di pojok gelap harapannya
sendiri.
“Maafkan aku, Syah…” perempuan itu
menyebut nama laki-laki itu sambil menggenggam
tangannya.
“Tidak Ma… aku yang harusnya meminta maaf
kepadamu. Aku yang telah menghancurkan impian
dan janjiku sendiri kepadamu. Saat ini aku sudah
pasrah. Aku sudah belajar menerima semua ini
sebagai bagian dari hukuman yang harus aku
terima.”
Syahdan menghentikan perkataannya dan balas
menatap wajah Ama. Wajah yang tidak berubah
sejak dahulu dia mengenalnya—beberapa tahun lalu.
“Kau sudah menikah, Ma?”
61 |
Pertanyaan itu begitu menghunjam ke dalam
relung hati. Ama terdongak menatap langit,
menatap rembulan, dan menatap ke dalam jiwanya
sendiri.
“Sejak kejadian itu, perempuan penunggang
elang itu memilih untuk bertapa di keramaian hiruk
pikuk dunia. Dia mengembara seorang diri, tanpa
rumah, tanpa kawan, apalagi teman hidup. Separuh
hatinya telah dia kubur di dalam tebing di atas
gunung bernama Syahdan.”
“Ma…”
Syahdan tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya
dalam pelukan Ama. Airmatanya berderai di pundak
Ama yang terlihat begitu rapuh itu. Pundak yang
telah mengembara menjelajahi kepahitan demi
kepahitan, telah berkawan dengan kesakitan demi
kesakitan. Pundak yang begitu tegar menerima
warna warni kehidupan.
Angin berembus semilir membawa aroma bunga
tanjung yang berguguran di trotoar jalan. Bulan
setengah bundar tetap bergulir di langit. Menulis
huruf demi huruf dari sajak-sajak malam. Nasib,
apakah benar ia akan berpihak kepada para
pejuang? Takdir, apakah memang diperuntukkan
bagi manusia yang tidak berputus asa? Atau
memang nasib dan takdir ditentukan oleh manusia
| 62
sendiri? Hanya hati yang mampu menjawab segala
tanya.
63 |
BAB 5
Laku Prihatin (Sebuah Catatan Perjalanan)
| 64
Kebatinan terutama berisi penghayatan seseorang
| 66
Mereka terbiasa hidup sederhana dan apapun yang
Allah.
67 |
Sering dikatakan orang-orang yang selalu ingat
menahan diri.
keduniawiaanya.
kekurangan.
menimbun kekayaan.
73 |
menerimanya, tanpa pamrih kehormatan ataupun
upah.
| 74
Epilog
Bahwasanya manusia membutuhkan jarak untuk
hangat matahari.
sifatnya privasi.
melaksanakannya.
| 76
TENTANG PENULIS
77 |