Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 199

PENGENDALIAN DEGRADASI SUMBERDAYA

ALAM PESISIR MELALUI PEMBERDAYAAN


MASYARAKAT PESISIR
(Studi kasus di komunitas nelayan dan petambak
Kota Bengkulu)

HENNY APRIANTY

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul :

Pengendalian Degradasi Sumberdaya Pesisir melalui Pemberdayaan


Masyarakat Pesisir (Studi kasus di komunitas nelayan dan petambak Kota
Bengkulu)

adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di
bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2008

Henny Aprianty
NRP 995233
ABSTRACT
HENNY APRIANTY. Degradation Control of Coastal Resources through the
Empowerment of the Coastal Community (A Case Study of Fishermen and pond
owners in Bengkulu City). Under the guidance of HADI S. ALIKODRA,
KOOSWARDHONO,M., ENDRIATMO SOETARTO and LALA M.
KOLOPAKING.

There are two phenomena regarding the coastal areas of Bengkulu City.
First, in general coastal resources have not been optimally managed. Second,
partially the condition of the coastal areas in Bengkulu City has been marked by
abrasion, destruction of mangrove trees, destruction of coral riffs, and high
volume of sedimentation, unorganized and poor dwelling areas on the coast, not to
mention the socio-economic condition of the people which is still below the
poverty line.
This research was aimed at studying the condition of natural resources on
the coastal area, community structure and institutional structure that marginalize
fishing community with the destruction of coastal resources and formulating a
strategy to control the degradation of coastal resources through the empowerment
of coastal community.
The study used qualitative approach, quantitative approach and Multi-
criteria Decision Analysis (MCDA) approach. Qualitative approach primarily
used emik approach through a case study. Quantitative approach used a survey
method and Multi-criteria Decision Analysis (MCDA) approach with A’WOT
technique. The condition of coastal resources was analyzed by analytical method
of production surplus for the potential fishery resources, ecological analysis, and
correlation analysis of spatial data for the condition of mangrove resources.
Community structure of fishermen used the framework of sustainable livelihood.
Community institution of fishermen was analyzed with descriptive analysis. The
strategy for community empowerment used the analysis of integrated concept,
SWOT and AHP.
The research result showed that the condition of coastal resources in
Bengkulu City, especially marine fishery resources to have been “over-fishing”,
where the actual potential had exceeded conservation potential. It was caused by
the increase in production input; at the same time, the catch effort was going
down. The mangrove forest in the research area had been degradated while had
decreased in size from 2002 until 2007 by 174.94 ha or on the average of 35
ha/year. The destruction of mangrove forest in Teluk Sepang village was due to
the change of function from mangrove forest to palm oil plantation, holticulture
plantation and the collection area of coal. In the meantime, in Sumberjaya village
and Kandang village, the destruction was caused by the opening of coastal ponds
and dwelling areas.
In the structure of fishing community, it was revealed that physical capital,
human capital, financial capital, natural capital and social capital of the fishermen
in Teluk Sepang, Kandang and Sumberjaya were considered low. Social structure
was stratified based on the difference in economic condition and kinds of job
which places an employer (toke) on the highest social stratification. Employers
control production asset and capital. The second layer was occupied by tekong,
pond owners and cingkau. The lowest layer was occupied by pelacak fishermen
and pond labourer. The domination of the upper layer on production asset and
capital had brought about the dependence on them, creating a patron-client
structure and influencing the production method of coastal community towards
natural resources.
The institutional structure of work relationship, institution of result
sharing, institution of marketing and capitalization in the research area showed
different patterns. Fishermen in Teluk Sepang and Kandang with traditional catch
patterns, patron-client structure in the work relationship did not exit. Meanwhile
Sumberjaya fishermen with modern fishing patterns (having more variations in
catching equipment and catching fleet), the institution of work relationship
showed the existence of patron-client relationship. The institution of profit loss
sharing among fishermen in Teluk Sepang consisted of divided-into-two and
divided-into-three patterns, in Kandang consisted of divided-into-two and
divided-into-six pattern, while Sumberjaya fishermen divided the result based on
catching tools used. Long fishing net, floating net, fishing tool, and fish trap used
divided-into-two pattern. Purse seine used divided-into-four pattern. The
marketing system and capitalization of coastal community in the reseach area
were controlled by toke,juragan and fish seller (cingkau) as owner capital and
production asset. With this description, each structure was controlled by the power
which owned the production asset and capital that made it asymmetrical between
those who played a role and who didn’t in the production process, which finally
created an income gap. The income gap between potential fishermen acted as a
trigger for the destruction of coastal resources.
Controlling strategy of coastal resource degradation through the
empowerment of coastal community in Bengkulu City is supporting program of
the lowest layer coastal community with done communities intervention with step
as (a) by creating of institution economic (a family cooperation) based on of
relationship social; (b) by activity of conservation and rehabilitation of mangrove
forest with developing partisipative community; (c) by the improvement in
catching technology based on environmental-friendly principle through a
profesion grouping and (d) by improvement silvofishery system in management of
pond with developing butoum up.

Keywords: degradation of coastal resources, community structure, community


institution, community empowerment.
RINGKASAN

HENNY APRIANTY. Pengendalian Degradasi Sumberdaya Pesisir melalui


Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (Studi kasus pada nelayan dan petambak Kota
Bengkulu). Dibimbing oleh HADI S. ALIKODRA, KOOSWARDHONO,M.,
ENDRIATMO SOETARTO dan LALA M. KOLOPAKING.

Ada dua fenomena yang tergambar di wilayah pesisir Kota Bengkulu,


pertama pada umumnya pengelolaan sumberdaya pesisir belum dilakukan secara
optimal, kedua secara parsial kondisi sebagian wilayah pesisir Kota Bengkulu
mengalami kerusakan seperti abrasi pantai, rusaknya hutan mangrove, rusaknya
terumbu karang, serta tingginya sedimentasi, penataan pemukiman di pinggir
pantai yang kurang rapi dan kumuh, sementara itu kondisi sosial ekonomi tetap
berada dibawah garis kemiskinan, tingginya konflik di wilayah pesisir dan banyak
pemakaian alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Penelitian ini bertujuan
mengkaji kondisi sumberdaya alam wilayah pesisir, struktur masyarakat dan
struktur kelembagaan yang memarginalkan masyarakat pesisir dengan tindakan
kerusakan sumberdaya pesisir dan merumuskan strategi pengendalian degradasi
sumberdaya pesisir melalui pemberdayaan masyarakat pesisir.
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif, pendekatan kuantitatif dan
pendekatan Multicriteria Decision Analysis (MCDA). Pendekatan kualitatif lebih
mengutamakan pendekatan emik dengan metode studi kasus. Pendekatan
kuantitatif dengan metode survei dan pendekatan multicriteria decision analysis
(MCDA) dengan teknik A’WOT. Kondisi sumberdaya alam wilayah pesisir
dianalisis menggunakan analisis ekologis dan analisis korelasi data spatial.
Struktur masyarakat pesisir menggunakan kerangka sustainable livelihood.
Kelembagaan masyarakat pesisir dianalisis menggunakan analisis deskriptif.
Strategi pemberdayaan masyarakat menggunakan analisis konsep keterpaduan
SWOT dan AHP.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi sumberdaya alam pesisir
Kota Bengkulu diantaranya sumberdaya perikanan laut telah terjadi tangkap lebih
(overfishing) dikarenakan potensi aktual melebihi potensi lestari. Hal ini
dikarenakan adanya peningkatan input produksi, tetapi upaya tangkap mengalami
penurunan. Hutan mangrove di daerah penelitian mengalami degradasi, dimana
terjadi penurunan luas dari tahun 2002 sampai tahun 2007 sebesar 174,94 ha atau
rata-rata 35 ha/tahun. Penyebab kerusakan hutan mangrove di Kelurahan Teluk
Sepang dikarenakan berubahnya fungsi hutan mangrove menjadi perkebunan
sawit, perkebunan hortikultura dan tempat penampungan batu bara. Di Kelurahan
Kandang dikarenakan pembukaan tambak. Sedangkan di Kelurahan Sumberjaya,
dikarenakan pembukaan tambak dan permukiman.
Dalam struktur masyarakat pesisir terungkap bahwa modal fisik, modal
manusia, modal finansial, modal alamiah dan modal sosial yang dimiliki di Teluk
Sepang, Kandang dan Sumberjaya terkategori rendah. Struktur sosial
terstratifikasi berdasarkan perbedaan ekonomi dan jenis pekerjaan yang
menempatkan juragan/toke pada lapisan sosial teratas. Juragan/toke menguasai
aset produksi dan modal. Lapisan kedua ditempati oleh tekong, petambak dan
cingkau. Lapisan paling bawah adalah nelayan pelacak dan buruh tambak.
Dominasi lapisan atas terhadap aset produksi dan modal menimbulkan
ketergantungan relatif tinggi sehingga menciptkan struktur patron klien yang
mempengaruhi cara produksi (made of production) masyarakat pesisir terhadap
sumberdaya alam.
Struktur kelembagaan hubungan kerja, kelembagaan bagi hasil,
kelembagaan pemasaran dan permodalan di daerah penelitian menunjukkan pola
yang berbeda. Nelayan Teluk Sepang dan Nelayan Kandang dengan pola nelayan
tangkap tradisional, kelembagaan hubungan kerja tidak menunjukkan ada struktur
patron klien. Sedangkan nelayan Sumberjaya dengan pola nelayan modern (lebih
beragam alat tangkap dan armada penangkapan), kelembagaan hubungan kerja
menunjukkan adanya hubungan patron klien. Kelembagaan bagi hasil nelayan
Teluk Sepang dengan pola bagi dua dan bagi tiga. Pola bagi hasil Nelayan
Kandang bagi dua dan bagi enam. Nelayan Sumberjaya, bagi hasilnya
berdasarkan alat tangkap. Alat tangkap jaring payang (gillnet), jaring insang
hanyut/udang, pancing, dan bagan perahu mempuyai pola bagi dua. Alat tangkap
jaring pukat cincin (purse seine) mempuyai pola bagi empat. Sistem pemasaran
dan permodalan nelayan Teluk Sepang di kendalikan oleh bagian pemasaran dari
kelompok nelayan, sedangkan pemasaran hasil di Nelayan Kandang dikendalikan
toke/juragan/keluarga. Sementara itu sistem pemasaran dan permodalan Nelayan
Sumberjaya di kendalikan juragan/toke dan cingkau (pedagang ikan). Dengan
gambaran tersebut ternyata masing-masing struktur digerakkan kekuatan yang
memiliki asset produksi dan modal sehingga menimbulkan hubungan asimetris
antara yang berperan dan yang tidak berperan dalam proses produksi, yang
akhirnya menciptakan ketimpangan pendapatan. Ketimpangan pendapatan antar
nelayan berpotensi sebagai pemicu kerusakan sumberdaya alam pesisir.
Hubungan kerja, bagi hasil dan pemasaran serta permodalan dalam
komunitas petambak sebagian besar digerakkan oleh pemilik modal
(juragan/toke/perusahaan ikan) sehingga terbentuk pola hubungan patron klien
yang selain merupakan hubungan kerja secara ekonomi juga terjadi hubungan
sosial. Semakin menguatnya sistem patron klien dikalangan petambak
menciptakan ketidak merataan distribusi pendapatan sehingga menyebabkan
kemiskinan yang berpotensi mendorong tindakan merusak sumberdaya alam
pesisir.
Strategi pengendalian degradasi sumberdaya pesisir melalui pemberdayaan
masyarakat pesisir adalah program pendampingan dengan melakukan intervensi
komunitas dengan langkah-langkah pemberdayaan yang bertujuan (a)
pembentukan kelembagaan ekonomi (koperasi keluarga) berbasiskan kekerabatan,
(b) kegiatan konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove dengan pendekatan
partisipatif; (c) pengembangan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan
melalui kelompok-kelompok profesi, dan (d) mengembangkan sistem silvofishery
dalam pengelolaan tambak dengan pendekatanm buttom up.

Kata Kunci : degradasi sumberdaya alam pesisir, struktur masyarakat,


kelembagaan masyarakat, pemberdayaan masyarakat.
© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tampa


mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENGENDALIAN DEGRADASI SUMBERDAYA ALAM PESISIR
MELALUI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR
(Studi kasus di komunitas nelayan dan petambak
Kota Bengkulu)

HENNY APRIANTY

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
Penguji Luar Komisi pada :
Ujian Tertutup : DR. IR. Etty Riani, MS
Ujian Terbuka : 1. Prof. DR. IR. Cecep Kusmana, MS
2. Prof. DR. IR. Abdullah Syarief M., MS
Judul Disertasi : Pengendalian Degradasi Sumberdaya Pesisir
melalui Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (Studi
kasus di komunitas nelayan dan petambak Kota
Bengkulu)
Nama : Henny Aprianty
NRP : 995233
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra,MS Prof. Dr. Ir. Kooswardhono M, M.Sc
Ketua Anggota

Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS


Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana,


Pengelolaan Sumberdaya Alam Dekan
dan Lingkungan

Prof.Dr. Ir. Surjono H. Sutjahtjo,MS Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar N, MS

Tanggal Ujian : 25 Agustus 2008 Tanggal Lulus : 09 September 2008


KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.
Alhamdulillahirrabil’aalamin. Puji dan syukur penulis panjatkan ke
hadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat yang telah dilimpahkan sehingga
penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Penulisan disertasi dengan judul:
Pengendalian Degradasi Sumberdaya Alam Pesisir melalui Pemberdayaan
Masyarakat Pesisir (Studi kasus di komunitas nelayan dan petambak Kota
Bengkulu). Pengendalian degradasi sumberdaya alam pesisir Kota Bengkulu
dalam bentuk kelembagaan partisipatif yang mengintegrasikan kepentingan
ekonomi dan kepentingan lingkungan yang berbasiskan kekerabatan.
Ucapan terima kasih yang tidak terhingga disampaikan kepada Prof. DR.
Ir. Hadi S. Alikodra, MS selaku ketua komisi pembimbing, Prof. DR. Ir.
Kooswardhono M, MSc, Prof. DR. Endriatmo Soetarto, MA dan DR. Ir. Lala M.
Kolopaking, MS selaku anggota komisi pembimbing, atas bimbingan, dorongan
semangat dan moril serta nasehat, sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi
ini.
Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada :
1. Rektor Universitas Prof. DR. Hazairin, SH Bengkulu yang telah memberikan
izin tugas belajar di sekolah pascasarjana IPB.
2. Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)
Sekolah Pascasarjana IPB yang telah mengarahkan dan memfasilitasi penulis
selama mengikuti pendidikan.
3. Penguji luar komisi pada ujian tertutup DR. IR. Etty Riany, MS. Prof. DR.
IR. Cecep Kusmana, MS (Guru Besar Departemen Silvikultur, Fakultas
kehutanan IPB) dan Prof. DR. IR. Abdulllah Syarief.M, MS. (Peneliti Utama
Biologi Satwa Liar pada Puslitbang Hutan dan Konservasi, Departemen
Kehutanan) sebagai penguji luas komisi pada ujian terbuka serta seluruh
rekan-rekan yang secara langsung maupun tidak langsung telah memotivasi
dalam penyelesaian disertasi.
Do’a yang tulus dan ucapan terima kasih penulis sampaikan, khusus untuk
suamiku tercinta Zurqani Ridwan, S.Sos, ananda Aurora Hega Ramadhanty,
Muhammad Adha Ridwan, Ayahnda Drs. Nurdin Kulana, Ibunda Halimah
Djapiloes, Kakanda Win Heryati, adinda Nopetri Elmanto dan Ahmad Yani serta
keluarga besar yang senantiasa telah memberikan do’a, kesabaran, dorongan,
harapan, pengertian dan bantuan yang diberikan selama menempuh pendidikan.
Penulis menyadari bahwa disertasi ini tidak terlepas dari kelemahan dan
kekurangan karena kesempurnaan hanyalah milik Allah. Semoga disertasi ini
dapat memberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan ilmu pengetahuan
yang bermanfaat.

Bogor, Agustus 2008

Henny Aprianty
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Manna, Bengkulu Selatan pada tanggal 11 April


1971 sebagai anak kedua dari pasangan H. Drs. Nurdin Kulana dan Hj. Halimah
Djapiloes. Pendidikan sarjana (S1) di tempuh di Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan
Politik (FISIP) Universitas Bengkulu, lulus pada tahun 1994. Pada tahun 1995,
penulis diterima di Program Studi Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD)
Program Pascasarjana (S2) Universitas Andalas Padang dan menamatkannya pada
tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis menjadi staf pengajar di Fakultas Ilmu-
Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH Bengkulu.
Selanjutnya pada tahun 1999/2000 melanjutkan ke program doktor (S3) pada
program studi ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)
Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis menikah pada tahun 1999 dengan Zurqani
Ridwan, S.Sos dan telah dikarunia dua orang anak, yaitu putri pertama Aurora
Hega Ramadhanty dan putra kedua Muhammad Adha Ridwan.
DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR TABEL iii


DAFTAR GAMBAR v
DAFTAR LAMPIRAN vii

I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan Penelitian 3
1.3. Kerangka Pemikiran 3
1.4. Perumusan Masalah Penelitian 5
1.5. Novelty 6

II TINJAUAN PUSTAKA 7
2.1. Kerusakan Sumberdaya Alam Wilayah Pesisir 7
2.2. Sumberdaya Perikanan Laut 7
2.3. Hutan Mangrove 8
2.4. Struktur Masyarakat Pesisir 16
2.41. Masyarakat nelayan 16
2.4.2. Petambak 19
2.5. Kelembagaan Masyarakat Pesisir 20
2.5.1. Konsep Kelembagaan 20
2.5.2. Sistem Kelembagaan Masyarakat Pesisir 21
2.4. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir 27

III. METODE PENELITIAN 33


3.1. Pemilihan Wilayah Studi dan Waktu Penelitian 33
3.2. Metode Penelitian 34
3.2.1. Pendekatan Penelitian 34
3.2.2. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data 35
3.2.3. Unit Penelitian dan Jumlah Responden 37
3.2.4. Metode Analisis data 39

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 48


4.1. Eksploitasi Sumberdaya Alam Pesisir di Lokasi Penelitian 48
4.1.1. Usaha Perikanan Tangkap 48
4.1.2. Usaha Budidaya Tambak 54
4.2. Kondisi Sumberdaya Alam Pesisir Kota Bengkulu 58
4.2.1. Sumberdaya Perikanan Laut 58
4.2.2. Mangrove 62

i
4.3. Struktur Masyarakat Pesisir Kota Bengkulu 74
4.3.1. Keragaan Modal Struktur Masyarakat Pesisir 77
4.3.2. Pelapisan Sosial 98
4.4. Kelembagaan Masyarakat Pesisir Kota Bengkulu 103
4.4.1. Kelembagaan Perikanan Tangkap 103
4.4.2. Kelembagaan Budidaya Tambak 123
4.5. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir 129
4.5.1. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
Kota Bengkulu 129
4.5.2. Perencanaan Pengendalian Degradasi Sumberdaya 139
Alam Pesisir melalui Intervensi Komunitas
Masyarakat Pesisir Lapisan Bawah

V. KESIMPULAN DAN SARAN 144


5.1. Simpulan 144
5.2. Saran 145

DAFTAR PUSTAKA 146


LAMPIRAN 155

ii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Karakter sumberdaya yang dihadapi masyarakat nelayan- petani 17


2. Jumlah populasi responden di Kelurahan Sumberjaya 38
3. Daftar 15 informan yang diwawancarai 39
4. Indikator dan parameter kerangka Sustainable livelihood (SL) 42
5. Standar matriks kombinasi SWOT 46
6. Armada penangkapan nelayan di lokasi penelitian tahun 2006 48
7. Perkembangan armada penangkapan berdasarkan jenis mesin motor
tahun 2004 dan tahun 2006 49
8. Pendapat responden tentang peningkatan usaha perikanan tangkap 51
9. Jumlah dan jenis produksi perikanan laut di daerah penelitian
tahun 2004 dan tahun 2006 51
10. Jenis alat tangkap nelayan di daerah penelitian 53
11. Perkembangan luas tambak di daerah penelitian tahun 2002 dan
tahun 2006 55
12. Analisis kualitas air di Kelurahan Kandang 55
13. Pendapat responden tentang berkembangnya usaha budidaya tambak
di daerah penelitian 56
14. Perkembangan luas dan produksi tambak di Kota Bengkulu
tahun 2002-2006 57
15. Jenis alat tangkap nelayan Kota Bengkulu 58
16. Upaya tangkap dan produksi perikanan laut Kota Bengkulu 59
17. Lokasi mangrove di Propinsi Bengkulu tahun 2002 62
18. Lokasi mangrove di Kota Bengkulu tahun 2002 63
19. Penurunan luas hutan mangrove di daerah penelitian pada
tahun 2002 dan tahun 2006 64
20. Luas penutupan lahan (Landcover) di daerah penelitian 73
21. Etnis masyarakat pesisir di daerah penelitian 76
22. Modal fisikal nelayan di daerah penelitian 77
23. Kelompok usia di Teluk Sepang berdasarkan tingkat pendidikan 81
24. Kelompok usia di Sumberjaya berdasarkan tingkat pendidikan 81
25. Kelompok usia di Kandang berdasarkan tingkat pendidikan 82
26. Masalah kesehatan yang dialami masyarakat pesisir
di daerah penelitian 83
27. Pendapatan nelayan di daerah penelitian 85
28. Pendapatan petambak di daerah penelitian 86
29. Sumber modal usaha masyarakat pesisir di daerah penelitian 87
30. Penguasaan armada penangkapan berdasarkan etnis di Teluk Sepang 89
31. Penguasaan armada penangkapan berdasarkan etnis di Sumberjaya 89

iii
32. Penguasaan armada penangkapan berdasarkan etnis di Kandang 89
33. Kondisi sanitasi lingkungan masyarakat pesisir di daerah penelitian 90
34. Dua pilihan masyarakat pesisir Teluk Sepang menghadapi
musim paceklik 92
35. Dua pilihan masyarakat pesisir Sumberjaya menghadapi
musim paceklik 93
36. Dua pilihan masyarakat pesisir Kandang menghadapi musim paceklik 93
37. Perbandingan tingkat kepercayaan dalam komunitas 94
38. Perbandingan tingkat kepercayaan dengan komunitas lain 94
39. Pendapat masyarakat pesisir berdasarkan prinsip kerjasama 96
40. Stratifikasi sosial masyarakat pesisir Kota Bengkulu dalam
pandangan nelayan dan petambak 102
41. Pola hubungan kerja nelayan di daerah penelitian 104
42. Pola bagi hasil Nelayan Teluk Sepang 113
43. Pola bagi hasil Nelayan Kandang 114
44. Pola bagi hasil Nelayan Sumberjaya pada jaring pukat cincin 115
45. Pola bagi hasil Nelayan Sumberjaya pada jaring insang hanyut/udang 115
46. Pola bagi hasil Nelayan Sumberjaya pada jaring payang 116
47. Pola bagi hasil Nelayan Sumberjaya pada bagan perahu 116
48. Pola bagi hasil Nelayan Sumberjaya pada kapal pancing 116
49. Pola hubungan kerja petambak di daerah penelitian 124
50. Pola bagi hasil petambak di daerah penelitian 125
51. Tempat pemasaran hasil panen tambak di daerah penelitian 126
52. Sumber pinjaman modal bagi petambak di daerah penelitian 128
53. Hasil analisis dan akumulasi pendapat responden untuk komponen
internal SWOT 130
54. Hasil analisis dan akumulasi pendapat responden untuk komponen
eksternal SWOT 131
55. Matriks SWOT untuk penentuan strategi pemberdayaan masyarakat
pesisir dalam pengendalian degradasi sumberdaya Pesisir
Kota Bengkulu 133

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka pemikiran pengendalian degradasi sumberdaya pesisir Kota


Bengkulu melalui pemberdayaan masyarakat pesisir 5
2. Lokasi penelitian di Kota Bengkulu 33
3. Rangkaian kerja analisis SWOT 46
4. Proses hirarki penentuan prioritas strategi pengendalian degradasi
sumberdaya pesisir melalui pemberdayaan masyarakat pesisir 47
5. Perkembangan armada penangkapan Nelayan Teluk Sepang
menurut jenis mesin di Kota Bengkulu tahun 2004 dan tahun 2006 49
6. Perkembangan armada penangkapan Nelayan Sumberjaya menurut
jenis mesin di Kota Bengkulu tahun 2004 dan tahun 2006 49
7. Perkembangan armada penangkapan nelayan Kandang menurut jenis
mesin di Kota Bengkulu tahun 2004 dan tahun 2004 50
8. Perkembangan produksi perikanan Laut di daerah penelitian
tahun 2004 dan tahun 2006 51
9. Perkembangan jenis alat tangkap nelayan di daerah penelitian
tahun 2004 dan tahun 2006 53
10. Perkembangan luas tambak di daerah penelitian tahun 2004 dan
tahun 2006 55
11. Perkembangan luas dan produksi tambak di daerah penelitian 57
12. Produksi aktual, potensi lestari dan upaya tangkap sumberdaya
perikanan laut Kota Bengkulu tahun 1990-2006 60
13. Perkembangan armada tangkap di Kota Bengkulu tahun 1990-2006 61
14. Penurunan luas mangrove di daerah penelitian 64
15. Sebaran mangrove di Kelurahan Sumberjaya tahun 2002 66
16. Sebaran mangrove di Kelurahan Sumberjaya tahun 2007 67
17. Sebaran mangrove di Kelurahan Teluk Sepang tahun 2002 68
18. Sebaran mangrove di Kelurahan Teluk Sepang tahun 2007 69
19. Sebaran mangrove di Kelurahan Kandang tahun 2002 70
20. Sebaran mangrove di Kelurahan Kandang tahun 2007 71
21. Pola I hubungan kerja Nelayan Teluk Sepang 106
22. Pola II hubungan kerja Nelayan Teluk Sepang 106
23. Pola I hubungan kerja nelayan sampan di Kandang 106
24. Pola II hubungan kerja Nelayan Kandang 107
25. Pola hubungan kerja tekong dan pelacak di Sumberjaya 108
26. Pola hubungan kerja juragan/toke dan nelayan di Sumberjaya 110
27. Distribusi pemasaran ikan pada komunitas Nelayan Teluk Sepang 117

v
28. Distribusi pemasaran udang pada komunitas Nelayan Teluk Sepang 118
29. Distribusi pemasaran hasil tangkapan Nelayan Kandang 119
30. Distribusi pemasaran ikan nelayan jaring payang/bagan perahu/pancing 120
31. Distribusi pemasaran ikan nelayan jaring hanyut/udang 120
32. Distribusi pemasaran ikan nelayan pikat cincin 121
33. Pola hubungan kerja kegiatan pertambakan di daerah penelitian 124
34. Rantai perdagangan hasil panen tambak di daerah penelitian 127
35. Hasil analisis matrik SWOT dengan kombinasi faktor internal dan
eksternal 132
36. Strategi pemberdayaan masyarakat pesisir dengan komponen
prioritas SWOT 135
37. Prioritas komponen kekuatan (Strength) 135
38. Prioritas komponen kelemahan (Weaknesses) 136
39. Prioritas komponen peluang (Opportunity) 137
40. Prioritas komponen ancaman (Treaths) 138
41. Prioritas kriteria pemberdayaan masyarakat pesisir Kota Bengkulu 139
42. Prioritas strategi pemberdayaan masyarakat pesisir Kota Bengkulu 139

vi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran hal

1. Pedoman wawancara pokok penelitian struktur sosial 155


2. Kuesioner penentuan strategi pemberdayaan masyarakat pesisir
alam pengendalian degradasi sumberdaya pesisir Kota Bengkulu 156
3. Tabel keragaan modal struktur masyarakat pesisir
di daerah penelitian 157
4. Gambaran umum daerah penelitian 158

Vii
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi
perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak
dilakukan; bahkan menurut MacDonald (2005), sekitar 70% penduduk dunia
tinggal di wilayah pesisir, sehingga menjadikan kawasan ini terkonsentrasi
berbagai pusat kegiatan ekonomi seperti perikanan, pariwisata, perhubungan,
perindustrian, pemukiman, pertahanan dan keamanan (Clark, 1998; Supriharyono,
2000; MacDonald, 2005). Begitu beragamnya aktivitas di wilayah pesisir,
menjadikan wilayah pesisir sebagai sumber konflik dari berbagai kepentingan,
sehingga sangat rentan dari berbagai dampak kegiatan seperti pencemaran, pantai
yang terabrasi, banjir rob, kerusakan hutan mangrove, kerusakan padang lamun
dan kerusakan terumbu karang (Dahuri, 2001; Bengen, 2002). Di beberapa
wilayah pesisir Indonesia, seperti pesisir Pantai Utara Jawa, Teluk Jakarta, Selat
Malaka, Pesisir Kepulauan Riau, Pantai Utara Kalimantan Barat dan lain-lain,
telah mengalami eksploitasi berlebihan terhadap mangrove dan terumbu karang,
tangkap lebih (overfishing), abrasi pantai dan pencemaran (Cincin-Sain, 1998).
Bahkan Angka-angka kerusakan sumberdaya alam pesisir menunjukan tingkat
sangat mengkhawatirkan seperti 72% terumbu karang rusak (22% baik dan 6%
sangat baik) dan 40% hutan mangrove rusak (Alikodra, 2005).
Kota Bengkulu merupakan salah satu wilayah pesisir di Propinsi
Bengkulu yang terletak di kawasan Pantai Barat Sumatera, secara geografis, Kota
Bengkulu memiliki garis pantai ±60 km dengan 60% masyarakatnya
terkonsentrasi di wilayah pesisir dan memanfaatkan sumberdaya alam pesisir
sebagai sumber mata pencaharian. Ada dua fenomena bertolak belakang yang
tergambar dari wilayah pesisir Kota Bengkulu, yaitu pertama, pada umumnya
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir belum dilakukan secara optimal, dan
kedua, secara parsial kondisi sebagian wilayah pesisir Kota Bengkulu mengalami
kerusakan seperti terjadinya abrasi pantai yang menyebabkan kemunduran garis
pantai 1-5 m/tahun. Selain itu juga telah terjadi pengikisan daerah pemukiman
nelayan sebesar 50 meter ke dalam di beberapa kelurahan Kota Bengkulu (Dinas
Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain
disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir laut.
Hal lain yang juga cukup mengkhawatirkan adalah terjadinya alih fungsi lahan di
wilayah pesisir Kota Bengkulu menjadi sawah, perkebunan rakyat dan
perkebunan besar sehingga terjadi penyusutan hutan mangrove di wilayah pesisir
(Laporan Fakultas Kehutanan IPB, 2000), serta tingginya sedimentasi sehingga
terjadi pendangkalan alur pelabuhan (Perum Pelindo II Pulau Baai, 1993).
Sementara itu, kondisi sosial ekonomi masyarakatnya tetap berada
dibawah garis kemiskinan, dari 162.960 jiwa penduduk di wilayah pesisir 70%
masih tergolong miskin (BPS Kota Bengkulu, 2003). Permasalahan kemiskinan
ini terlihat dari rendahnya tingkat pendapatan masyarakat pesisir serta tingginya
konflik di wilayah pesisir, masih banyaknya pemakaian alat tangkap yang tidak
ramah lingkungan (trawl), penangkapan menggunakan bom serta pembangunan
fasilitas sumberdaya pesisir dan laut seperti Tempat Pelelangan Ikan (TPI) banyak
tidak berfungsi (Dinas perikanan dan kelautan, 2000).
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi
di wilayah pesisir Kota Bengkulu tidak terlepas dari pemanfaatan wilayah pesisir
yang hanya berorientasi ekonomi dari pihak pemerintah daerah selaku
penanggung jawab kegiatan pembangunan dan penentu kebijakan serta
masyarakat pesisir yang memanfaatkan sumberdaya pesisir secara langsung.
Berbagai macam dampak negatif yang diakibatkan oleh kerusakan lingkungan
tersebut harus ditanggung oleh masyarakat pesisir. Dengan hilangnya mangrove,
masyarakat pesisirlah yang terutama harus merasakan intrusi air laut ke dalam
sumber-sumber air tawar, berkurangnya hasil tangkapan ikan dan udang, pengaruh
abrasi pantai, serta lingkungan pantai yang gersang. Kondisi ini memunculkan
ketidakberdayaan masyarakat pesisir mengatasi tekanan hidup yang semakin
tinggi, sehingga memaksa mereka mengeksploitasi sumberdaya perikanan laut
secara berlebihan sehingga terjadi kerusakan pada biota laut, terancamnya
pemukiman masyarakat pesisir, terancamnya mata pencaharian masyarakat
pesisir. Jika keadaan tersebut berlanjut, maka ekosistem wilayah pesisir akan
mengalami kerusakan yang tidak mudah untuk segera dipulihkan.
Dalam rangka mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas, gagasan
tentang pengendalian degradasi sumberdaya alam pesisir yang masih tersisa perlu
terus dilakukan. Pengendalian wilayah pesisir memerlukan upaya yang efektif
dari masyarakat pesisir dalam mengatasi masalah lingkungan, menghasilkan
perubahan ekonomi dan dapat diterima oleh masyarakat. Selama ini strategi
pengendalian degradasi sumberdaya alam wilayah Kota Bengkulu belum secara
holistik dan menyeluruh dilakukan, terutama pada masyarakat pesisir sebagai
pelaku utama dalam memanfaatkan sumberdaya alam pesisir. Untuk itu
diperlukan penelitian yang mengkaji sumberdaya alam pesisir dan karakteristik
masyarakat pesisir untuk menentukan strategi yang efektif dan sesuai bagi
pembangunan wilayah pesisir.

1.2. Tujuan Penelitian


1. Mengkaji kondisi sumberdaya perikanan laut, sumberdaya mangrove
di wilayah pesisir Kota Bengkulu
2. Mengkaji struktur masyarakat dan struktur kelembagaan yang
memarginalkan masyarakat pesisir dengan tindakan kerusakan
sumberdaya pesisir
3. Merumuskan strategi pengendalian degradasi sumberdaya pesisir
melalui pemberdayaan masyarakat pesisir

1.3. Kerangka Pemikiran


Degradasi sumberdaya alam pesisir terjadi akibat adanya aktivitas manusia
dan pembangunan sektor perikanan, pertanian, perkebunan, perindustrian dan
permukiman. Semakin tinggi pertumbuhan dan pesatnya pembangunan di wilayah
pesisir maka tekanan ekologis terhadap sumberdaya pesisir semakin meningkat.
Meningkatnya tekanan ini tentu dapat mengancam keberadaan dan
keberlangsungan sumberdaya pesisir. Jika tekanan tersebut dibiarkan terus
menerus, maka hasilnya akan menyebabkan penyusutan dan habisnya sumberdaya
alam pesisir (Soemarwoto, 1997). Kerusakan sumberdaya pesisir tersebut
berdampak pada terancamnya mata pencaharian masyarakat pesisir sehingga
memunculkan permasalahan pemiskinan. Proses pemiskinan yang dialami
masyarakat pesisir berdampak pada keseimbangan antara sistem alam dan sistem
sosial di wilayah pesisir.
Keseimbangan secara sosial, ekonomi dan ekologi pada tingkat
sumberdaya alam dan lingkungan mampu menciptakan kelestarian sumberdaya
alam (Odum, 1971; FAO, 2004). Apabila terjadi sebaliknya, maka tingkat
degradasi sumberdaya perikanan laut, sumberdaya mangrove akan semakin parah.
Di tingkat masyarakat nelayan, adanya keseimbangan tersebut diharapkan mampu
meningkatkan kualitas hidup, kesejahteraan hidup, kualitas pendidikan,
peningkatan akses terhadap sumberdaya, berkembangnya kapasitas dan
kelembagaan nelayan, dan jika sebaliknya akan menyebabkan kemiskinan itu
menjadi permanen.
Sebagai sebuah komunitas di wilayah pesisir, masyarakat pesisir
mempuyai struktur masyarakat dan struktur kelembagaan yang menggerakan
kehidupan mereka menghadapi sumberdaya pesisir. Struktur masyarakat pesisir
dikaji dari modal fisik, modal manusia, modal sosial, modal finansial, dan modal
alamiah. Struktur kelembagaan masyarakat pesisir dikaji dari struktur
kelembagaan kerja, kelembagaan bagi hasil dan kelembagaan pemasaran dan
permodalan. Diduga ada sistem dalam struktur masyarakat dan struktur
kelembagaan masyarakat pesisir yang menjadi faktor penyumbang terjadinya
tindakan kerusakan lingkungan.
Dalam rangka mencegah kerusakan sumberdaya tersebut, perlu
keterlibatan masyarakat pesisir yang melembaga, yang secara sadar dan
bertanggung jawab melibatkan diri dalam pelestarian sumberdaya alam dan
lingkungan. Untuk itu perlu pemberdayaan masyarakat yang mampu
meningkatkan pendapatan dan status sosial ekonomi. Kerangka pemikiran dalam
penelitian pengendalian degradasi sumberdaya melalui pemberdayaan masyarakat
pesisir dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.
Wilayah pesisir

Struktur masyarakat Struktur kelembagaan Status sumberdaya Alam

rusak
Tindakan merusak Degradasi
Sumberdaya
Pesisir

SWOT

Alternatif Strategi

MAHP

Prioritas Pemberdayaan

Gambar 1. Kerangka pikir pengendalian degradasi sumberdaya pesisir Kota Bengkulu melalui
pemberdayaan masyarakat pesisir (Sumber: dimodifikasi dari Masyhudzulhak, 2004
dan M. Karim, 2005)

1.4. Perumusan Masalah Penelitian


Masyarakat pesisir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan
pembangunan di wilayah pesisir. Masyarakat pesisir memanfaatkan sumberdaya
alam di wilayah pesisir sebagai sumber mata pencaharian. Pemanfaatan
sumberdaya alam di wilayah pesisir yang tidak terkendali dan tidak
memperhatikan aspek keberlanjutan dapat menyebabkan terjadinya abrasi pantai,
pencemaran pantai, overfishing, kerusakan ekosistem mangrove, terumbu karang
dan ekosistem laut lainnya.
Abrasi pantai terjadi disebabkan tidak optimalnya penahan gelombang dan
banyaknya aktivitas manusia yang tidak bertanggung jawab, seperti pengrusakan
karang pantai, penebangan bakau, penambangan pasir, serta bangunan yang
melewati garis pantai. Pencemaran pantai bersumber dari kegiatan industri
(pertambangan timah dan minyak, angkutan laut dan pariwisata bahari), kegiatan
rumah tangga, dan kegiatan pertanian. Overfishing dipicu beberapa hal, seperti
banyaknya kegiatan penangkapan ikan yang berukuran belum layak tangkap serta
lajunya penangkapan yang melebihi nilai maximum sustainable yield (MSY).
Penangkapan ikan yang menggunakan cara-cara merusak seperti
penggunaan bom dan potassium, terutama di sekitar terumbu karang,
mengakibatkan kerusakan ekosistem terumbu karang untuk jangka panjang, tanpa
terkecuali ikan-ikan yang bukan merupakan tujuan penangkapan. Kerusakan
mangrove sebagian besar disebabkan konversi lahan, penebangan kayu dan
pencemaran oleh berbagai kegiatan pembangunan.
Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan dapat disimpulkan bahwa
menurunnya sumberdaya alam di wilayah pesisir diakibatkan oleh aktivitas
manusia terutama masyarakat pesisir. Oleh sebab itu, pokok permasalahan dalam
penelitian dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi sumberdaya perikanan laut, sumberdaya mangrove di
wilayah pesisir Kota Bengkulu ?
2. Bagaimana struktural masyarakat pesisir Kota Bengkulu ? Adakah
struktur kelembagaan masyarakat pesisir menjadi faktor penyumbang
terjadinya degradasi sumberdaya pesisir ?
3. Bagaimana strategi pengendalian degradasi sumberdaya pesisir melalui
pemberdayaan masyarakat pesisir yang efektif dalam meningkatkan
kesejahteraan dan lingkungan secara berkelanjutan?

1.5. Novelty
Penelitian-penelitian mengenai masyarakat pesisir di Propinsi Bengkulu
selama ini masih bersifat sporadik dan bersifat parsial, sedangkan dalam
penelitian ini sifat dasarnya adalah bersandarkan pada pendekatan secara holistik
dan mendalam dengan memfokuskan apa yang dimiliki oleh masyarakat pesisir.
Konsep ini digunakan sebagai tolak ukur dalam pemberdayaan masyarakat pesisir
yang karakteristiknya berbeda secara sosiologis dan ekologis karena
penyeragaman cara pemberdayaan akan menimbulkan kegagalan dalam
implementasi program, seperti yang sering terjadi sampai saat ini. Output dari
penelitian ini adalah pembentukan kelembagaan ekonomi partisipatif berbasiskan
kekerabatan dalam pelestarian sumberdaya pesisir Kota Bengkulu.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kerusakan Sumberdaya Alam Wilayah Pesisir


Ekosistem wilayah pesisir dan laut merupakan suatu himpunan integral
komponen hayati dan nir-hayati, mutlak dibutuhkan oleh manusia untuk hidup
dan meningkatkan mutu kehidupan. Komponen hayati dan nir-hayati secara
fungsional berhubungan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu
ekosistem (Odum, 1983). Ekosistem wilayah pesisir terdiri dari hutan mangrove,
terumbu karang, padang lamun, estuaria, ekosistem pantai dan ekosistem pulau-
pulau kecil (Dahuri et.al., 2001; Bengen, 2002). Dengan adanya tekanan
pertumbuhan penduduk dan banyaknya aktivitas pembangunan di pesisir untuk
berbagai kegiatan (permukiman, pertanian, industri, perkebunan), maka tekanan
ekologis terhadap ekosistem dan sumberdaya pesisir semakin meningkat pula
(Bengen, 2002).
Permasalahan penting di wilayah pesisir adalah kerusakan hutan
mangrove, kerusakan terumbu karang, pencemaran, akumulasi limbah dan abrasi
pantai. Menurut Budhisantoso (1998), permasalahan utama yang dihadapi dalam
pengembangan pengelolaan kawasan pesisir, adalah menyusutnya persediaan
sumberdaya, khususnya hutan mangrove, dan merosotnya mutu lingkungan.

2.2. Sumberdaya Perikanan Laut


Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya alam yang didukung oleh
sumberdaya manusia, modal, teknologi dan informasi, yang mencakup seluruh
potensi lautan maupun perairan daratan yang dapat didayagunakan untuk kegiatan
usaha perikanan (Setyohadi, 1997). Indonesia memiliki potensi sumberdaya
perikanan yang relatif besar, akan tetapi sumberdaya ini belum dimanfaatkan
secara optimal. Menurut Aziz et al. (1998), potensi lestari sumberdaya perikanan
laut Indonesia adalah sebesar 6,18 juta ton pertahun, yang terdiri dari potensi ikan
pelagis besar 975,05 ribu ton, ikan pelagis kecil 3,23 juta ton, ikan demersal 1,78
juta ton, ikan karang konsumsi 75 ribu ton, udang penaid 74,00 ribu ton, lobster
4,80 ribu ton, dan cumi-cumi 28,25 ribu ton.
Meskipun secara keseluruhan pemanfaatan sumberdaya perikanan baru
mencapai 58%, namun beberapa jenis ikan telah mengalami gejala tangkap lebih
(over fishing) di beberapa perairan nusantara. Hal ini disebabkan adanya
ketimpangan struktur armada penangkapan yang didominasi oleh perahu kapal
tanpa motor. Dengan komposisi ini, maka kawasan perairan yang mengalami
tekanan eksploitasi yang besar adalah perairan pantai (Dahuri et. al, 2001).
Secara umum sumberdaya perikanan dapat dikelompokkan kedalam empat
kelompok yaitu sumberdaya ikan demersal, sumberdaya pelagis kecil,
sumberdaya pelagis besar dan sumberdaya biota laut (Naamin, 1987).
Sumberdaya ini apabila dalam eksploitasinya tidak mematuhi aturan atau
melampaui produksi tahunan bersih, maka kehancuran sumberdaya menjadi
tinggi. Hal ini berarti bahwa sumberdaya tersebut akan menipis atau terkuras
dengan berjalannya waktu (Baskoro et al., 2004).

2.3. Hutan Mangrove


Asal kata mangrove tidak diketahui pasti dan terdapat beberapa pendapat
mengenai hal tersebut. MacNae (1968) menyebutkan, kata mangrove merupakan
perpaduan antara Bahasa Portugis mangue dan Bahasa Inggris grove. Sementara
menurut Mastaller (1997), kata mangrove berasal dari Bahasa Melayu Kuno
mangi-mangi yang digunakan untuk menerangkan marga Avicennia dan
digunakan sampai saat ini di Indonesia bagian timur. Kata mangrove menurut
Odum (1983), berasal dari kata mangal yang menunjukkan komunitas suatu
tumbuhan.
Beberapa ahli mengemukakan defenisi hutan mangrove, seperti Steenis
(1978), yang dimaksud dengan mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh
diantara garis pasang surut. Soerianegara dan Indrawan (1982), menyatakan
bahwa hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya
terdapat di daerah teluk dan dimuara sungai oleh : (1) tidak terpengaruh iklim; (2)
dipengaruhi pasang surut; (3) tanag tergenang air laut; (4) tanah rendah pantai; (5)
hutan tidak mempuyai struktur tajuk; (6) jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri atas
api-api (Avicennia sp.), pedada (Sonneratia sp.), bakau (Rhizophora sp.), lacang
(Bruguiera sp.), nyirih (Xylocarpus sp.), nipah (Nypah sp.) dan lain-lain. Saenger
et al. (1983) menyebutkan bahwa mangrove merupakan formasi tumbuhan daerah
litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis.
Pengertian hutan mangrove, menurut Alikodra (1998), adalah suatu
formasi hutan yang dipengaruhi pasang surut air laut dengan keadaan tanah yang
anaerobik. Walaupun tidak tergantung pada iklim, tetapi umumnya hutan
mangrove tumbuh dengan baik di daerah tropika pada daerah pesisir yang
terlindung, seperti delta dan estuaria. Menurut Bengen (2002), hutan mangrove
sendiri merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis yang terdiri
yang terdiri atas beberapa jenis spesies yang mampu tumbuh dan berkembang
pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Fungsi dan Manfaat Mangrove


Soewito (1984), Marsoedi (1997), Khazali (1999), Alikodra (2000) dan
Bengen (2002) menyatakan bahwa secara umum fungsi hutan mangrove, baik
bagi manusia, organisme lain dan lingkungan abiotik adalah :
1. Fungsi fisik, yaitu sebagai pencegahan terjadinya intrusi air laut, penahan
abrasi, penahan angina, pengendali banjir dan perendam pencemaran.
2. Fungsi biologis, yaitu sebagai sumber kesuburan perairan, tempat berkembang
biak, perlindungan dan asuhan biota laut, seperti ikan, udang, kerang dan
burung serta berbagai penghasil sumber makanan penting bagi kehidupan
sekitarnya.
3. Fungsi kimia, yaitu sebagai tempat terjadinya proses dekomposisi bahan
organik dan proses kimia lainnya yang berkaitan dengan tanah hutan
mangrove.
4. Fungsi ekonomi, yaitu sebagai sumber bahan bakar dan bangunan, bahan baku
industri, lahan pertanian, tempat berburu, bahan dasar obat-obatan, bahan
penyamak dan tempat pariwisata. Fungsi ekonomi hutan mangrove juga
terkait dengan tingkat produksi perikanan Indonesia. Hal ini dilihat dari
daerah perikanan potensial seperti perairan sebelah timur Sumatera, pantai
selatan dan timur Kalimantan, pantai Cilacap dan pantai selatan Irian Jaya.
5. Fungsi sosial, yaitu proses interaksi antara masyarakat sekitar dengan hutan
mangrove dimana masyarakat melakukan pemanfaatan secara
berkesinambungan terhadap hutan mangrove tersebut. Hal ini secara implisit
terkait dengan sistem hukum adat yang berlaku dalam masyarakat.
Dari fungsi tersebut, ekosistem hutan mangrove melahirkan manfaat ganda
bagi manusia ditinjau dari dua segi, menurut Marsoedi (1997), Alikodra (1998),
Rewana et al. ( 2001) dan Dahuri (2004), yaitu :
1. Manfaat ekologi, yang lebih ditekankan pada kemampuannya dalam
mendukung lingkungan pantai, yaitu sebagai hutan di kawasan air payau,
penahan angin, penahan ombak, menyaring bahan-bahan pencemar, tempat
persembunyian ikan dan binatang perairan lainnya, seperti udang, ikan dan
kepiting. Kontribusi yang penting dari hutan mangrove dengan ekosistem
pantai adalah serasah daunnya. Diperkirakan hutan mangrove mampu
menghasilkan bahan organisk dari serasah daun sebanyak 7-8
ton/hektar/tahun. Tingginya produktivitas ini disebabkan karena hanya 7%
dari dedaunan yang dihasilkan, dikonsumsi langsung oleh hewan di dalamnya,
sedangkan sisanya oleh mikroorganisme (terutama kepiting) dan
mikroorganisme pengurai diubah sebagai detritus atau bahan organik mati dan
memasuki sistem energi.
2. Manfaat ekonomi, dimana hutan mangrove berkemampuan dalam penyediaan
produk yang dapat diukur dengan uang. Beberapa produk dari hutan
mangrove yang bernilai ekonomi adalah ikan dan kayu.

Jenis dan Penyebaran


Jenis utama mangrove yang umumnya dijumpai di Indonesia terdiri dari
delapan famili dan duabelas genus, menurut Rewana et al. (2001) di dominasi
oleh bakau (Rhizophora sp.), api-api ( Avicennia alba), tancang (Bruguiera sp.),
dan nipah (Nypah fructicans).
Hutan mangrove tersebar di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria,
delta dan daerah pantai yang terlindung (Bengen, 2002). Berdasarkan jenis pohon
penyusun formasi hutan mangrove dari arah laut ke daratan, maka hutan
mangrove dapat dibedakan mejadi beberapa zonasi, yaitu :
1. Zona Avicennia sp.
Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering
ditumbuhi oleh Avicennia sp. Pada zona ini biasa berasosiasi dengan
Sonneratia sp., yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan
organik.
2. Zona Rhizophora sp.
Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora
sp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera sp. dan Xylocarpus sp.
3. Zona Bruguiera sp
Di dominasi oleh Bruguiera sp.
4. Zona Nypah sp.
Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah yang biasa
di tumbuhi oleh Nypah fructicans dan beberapa spesies palem lainnya.
Menurut Alikodra (1998), terdapat tiga faktor utama yang menentukan
tumbuh dan menyebarnya jenis-jenis mangrove tersebut, yaitu :
1. Kondisi dan tipe tanah, seperti keras atau lembek, berpasir atau berlumpur.
2. Salinitas, seperti variasi rata-rata harian maupun tahunan, frekuensi,
kedalaman dan lamanya penggenangan
3. Ketahan jenis-jenis mangrove terhadap arus ombak.
Ketergantungan terhadap jenis tanah, ditambahkan Alikodra (1998),
ditunjukkan oleh genus Rhizophora, di mana R. Mucronata merupakan ciri umum
untuk tanah yang berlumpur dalam, R. Apiculata untuk tanah berlumpur dangkal,
dan R. Stylosa yang erat hubungannya dengan pantai berpasir atau berkarang yang
sudah memiliki lapisan lumpur atau pasir. Ketergantungan ini terhadap kadar
garam ditunjukkan apabila hubungan antara muara sungai maupun danau dengan
laut bebas terpisah, sehingga salinitas menurun akibat kurangnya pengaruh pasang
surut, sehingga jenis yang dominan adalah Lumnitzera sp. dan Xylocarpus
granatum.

Penyebab Kerusakan Mangrove


Secara garis besar ada dua faktor penyebab kerusakan hutan mangrove,
yaitu : (1) Faktor manusia yang merupakan faktor dominan penyebab kerusakan
hutan mangrove dalam hal pemanfaatan lahan yang berlebihan; (2) Faktor alam,
seperti banjir, kekeringan dan hama penyakit, yang merupakan faktor penyebab
yang relatif kecil (Tirtakusumah, 1994). Menurut Supriharyono (2000), kerusakan
hutan mangrove terutama di sebabkan banyaknya konversi hutan mangrove untuk
dijadikan tambak. Faktor-faktor yang mendorong aktivitas manusia untuk
memanfaatkan hutan mangrove dalam rangka mencukupi kebutuhannya sehingga
berakibat rusaknya hutan (Perum Perhutani, 1994), antara lain :
a. Keinginan untuk membuat pertambakan dengan lahan yang terbuka
dengan harapan ekonomis dan menguntungkan, karena mudah dan
murah.
b. Kebutuhan kayu bakar yang sangat mendesak untuk rumah tangga,
karena tidak ada pohon lain di sekitarnya yang bisa di tebang.
c. Rendahnya pengetahuan masyarakat akan berbagai fungsi hutan
mangrove.
d. Adanya kesenjangan sosial antara petambak tradisional dengan
pengusaha tambak modern, sehingga terjadi proses jual beli lahan yang
sudah tidak rasional.
Tekanan pada ekosistem mangrove yang berasal dari dalam, disebabkan
karena pertumbuhan penduduk dan yang diluar sistem karena reklamasi lahan dan
eksploitasi mangrove yang makin meningkat telah menyebabkan perusakan
menyeluruh atau sampai tingkat-tingkat kerusakan yang berbeda-beda. Di
beberapa tempat ekosistem mangrove telah diubah sama sekali menjadi ekosistem
lain. Terdapat ancaman yang semakin besar terhadap daerah mangrove yang
belum diganggu dan terjadi degradasi lebih lanjut dari daerah yang mengalami
tekanan baik oleh sebab alami maupun oleh perbuatan manusia
(UNDP/UNESCO, 1984).
Menurut Soesanto dan Sudomo (1994), kerusakan ekosistem mangrove
dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain : (1) Kurang dipahaminya
kegunaan ekosistem mangrove; (2) Tekanan ekonomi masyarakat miskin yang
bertempat tinggal dekat atau sebagai bagian dari ekosistem mangrove; (3) Karena
pertimbangan ekonomi lebih dominan daripada pertimbangan lingkungan hidup.
Menurut Sugandhy (1994), beberapa permasalahan yang terdapat di
kawasan hutan mangrove berkaitan dengan upaya kelestarian fungsinya adalah :
1. Pemanfaatan ganda yang tidak terkendali. Pemanfaatan ganda antar berbagai
sektor dan penggunaan sumberdaya yang berlebihan telah menyebabkan
terjadinya pengikisan pantai oleh air laut. Sesuai dengan fungsi hutan
mangrove sebagai penahan ombak. Di beberapa daerah, kawasan pantai hutan
mangrove sudah bnayak yang hilang sehingga lahan pantai terkikis oleh
ombak. Di wilayah Teluk Jakarta pemanfaatan yang ada sekarang saling
berkompetisi, seperti perluasan areal pelabuhan, industri, transportasi laut,
permukiman dan kehutanan. Demikian juga di Bali, khususnya di kawasan
hutan mangrove Suwung, pembangunan landasan udara Ngurah Rai Bali
menyebabkan pantai Kuta terabrasi. Pemanfaatan demikian yang kurang
menguntungkan ditinjau dari aspek keseimbangan lingkungan wilayah pesisir.
Di samping itu, pengelolaan hutan mangrove belum berkembang, baik dalam
hal silvikultur, sumberdaya manusia, kelembagaan, perencanaan, pelaksanaan
maupun pengawasannya. Akibatnya banyak yang terjadi perusakan hutan
mangrove seperti penebangan yang tidak terkendali, sehingga pemanfaatannya
melampaui kemampuan sumberdaya alam untuk meregenerasi.
2. Permasalahan tanah timbul akibat sedimentasi yang berkelanjutan. Di daerah
muara sungai banyak dijumpai tanah timbul karena endapan lumpur yang
terus menerus terbawa dari daerah hulu sungai. Permasalahan utama yang
muncul adalah tentang status tanah timbul tersebut. Karena lokasinya
berdekatan dengan lahan kehutanan, maka sering terjadi status penguasaannya
langsung menjadi kawasan hutan, walaupun oleh masyarakat setempat
dimanfaatkan untuk kepentingan mereka, tanpa mengindahkan status
tanahnya. Hal ini sering menimbulkan konflik penguasaan. Contoh : kasus
kawasan di Segara Anakan, dan kawasan Pantura Jawa, kawasan Sulawesi
Selatan dan lain-lain.
3. Konversi hutan mangrove. Hampir semua bentuk pemanfaatan lahan di
wilayah pesisir berasal dari konversi hutan mangrove. Hutan mangrove
sepanjang pantai utara Jawa, Bali Selatan dan Sulawesi Selatan bagian barat
telah dikonversi menjadi kawasan pemukiman, tambak, kawasan industri,
pelabuhan, ladang garam dan lain-lain. Kebanyakan konversi hutan mangrove
menjadi bentuk pemanfaatan lain belum banyak ditata berdasarkan
kemampuan dan peruntukkan pembangunan, sehingga menimbulkan kondisi
yang kurang menguntungkan dilihat dari manfaat regional dan nasional. Oleh
karena itu pemanfaatan hutan mangrove yang tersisa atau upaya
rehabilitasinya harus sesuai dengan potensi dan rencana pemanfaatan yang
lainnya dengan mempertimbangkan kelestarian ekosistem, manfaat ekonomi
dan penguasaan teknologi.
4. Permasalahan sosial ekonomi. Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan laju
pembangunan di wilayah pesisir, khususnya Jawa, Bali, Sulawesi dan
Lampung menyebabkan timbulnya ketidak seimbangan antara permintaan
kebutuhan hidup, kesempatan dengan persediaan sumberdaya alam pesisir
yang ada. Upaya pengembangan pertanian intensif (coastal agriculture), dan
kegiatan serta kesempatan yang berorientasi kelautan masih terbatas
dikembangkan. Di pantai utara Jawa, hampir semua hutan mangrove telah
habis dirombak menjadi kawasan permukiman, perhotelan, tambak dan sawah
yang berorientasi kepada ekosistem daratan. Pemanfaatan sumberdaya alam
wilayah pesisir mestinya tidak hanya terbatas pada hutan mangrove atau
tambak saja tapi juga eksploitasi terumbu karang yang telah melampaui batas,
sehingga sulit dapat dipulihkan kem bali. Hal ini terjadi di Bali Selatan,
pantai utara Jawa Tengah.
5. Permasalahan kelembagaan dan pengaturan hukum kawasan pesisir dan
lautan. Sering terjadi tumpang tindih, konflik dan ketidak jelasan kewenangan
antara instansi sektoral pusat dan daerah. Hal tersebut menyebabkan simpang
siur tanggung jawab dan prosedur perizinan untuk kegiatan pembangunan
pesisir dan lautan. Contohnya seperti pembukaan lahan di kawasan pesisir,
usaha penggalian pasir, reklamasi, penangkapan ikan dan pengambilan
terumbu karang dan lain-lain. Akibat tersebut menyebabkan terus
meningkatnya perusakan ekosistem kawasan pesisir dan lautan khususnya
kawasan hutan mangrove.
6. Permasalahan informasi kawasan pesisir. Keberadaan data dan informasi
serta ilmu pengetahuan teknologi yang berkaitan dengan tipologi ekosistem
pesisir, keanekaragaman hayati, lingkungan sosial budaya, peluang ekonomi
dan peran serta keluarga, sumberdaya hutan mangrove masih terbatas
sehingga belum dapat mendukung penataan ruang kawasan pesisir, pembinaan
dalam pemanfaatan secara lestari, perlindungan kawasan serta rehabilitasi.
Menurut Alikodra (1998), beberapa masalah yang perlu segera diatasi agar
kerusakan hutan mangrove tidak berkelanjutan adalah :
1. Data dan informasi serta ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan
dengan sumberdaya hutan mangrove masih terbatas sehingga belum
mendukung tata ruang, pembinaan, pemanfaatan yang lestari dan perlindungan
serta rehabilitasinya.
2. Belum berkembangnya pengelolaan hutan mangrove, baik dalam hal
silvikultur, sumberdaya manusia, perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan
maupun pengawasannya, hal ini mengakibatkan terjadinya degradasi hutan
mangrove yang tidak terkendali
3. Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di sekitar hutan mangrove
belum sepenuhnya mendukung pengelolaan hutan mangrove secara lestari,
terutama dalam hal pendidikan, pengetahuan, kesadaran, keterbatasan dan
kesempatan berusaha
4. Pengelolaan kawasan hutan mangrove merupakan tanggung jawab bersama
antara pemerintah dan masyarakat, namun keikutsertaan secara aktif dari
masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan sampai dengan
pemanfaatannya masih terbatas, sehingga persepsi dan keperdulian antara
pengelola dan pengguna hutan mangove berbeda-beda.
5. Mekanisme pendanaan yang belum memadai untuk program-program
pengelolaan hutan mangrove yang meliputi perlindungan, pelestarian,
penelitian dan pemanfaatan yang lestari dengan melibatkan berbagai unsur
pokok seperti sarana dan prasarana.
2.4. Struktur Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir merupakan kelompok orang yang tinggal di daerah
pesisir dan sumber penghidupan ekonominya bergantung secara langsung pada
pemanfaatan sumberdaya pesisir (Nikijuluw, 2001). Dengan demikian, terdapat
masyarakat pesisir yang bergantung pada pemanfaatan sumberdaya perikanan dan
non perikanan. Pemanfaatan sumberdaya perikanan antara lain terdiri dari
nelayan, pembudidaya ikan dan biota laut lainnya, pengolah dan pemasaran.
Pemanfaatan sumberdaya pesisir non perikanan diantaranya penyedia jasa
lingkungan, dan pemanfaat energi tremal dan bahan tambang. Departemen
Kelautan dan Perikanan (2002) menyebutkan masyarakat pesisir meliputi nelayan
yaitu orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan,
pembudidaya ikan di laut, petambak, wanita nelayan dan pengolah ikan, dan
lembaga pemasaran hasil perikanan. Penelitian ini difokuskan pada pemanfaat
sumberdaya pesisir yaitu masyarakat nelayan dan petambak.

2.4.1. Masyarakat Nelayan


Satria (2002) menyebutkan bahwa karakteristik masyarakat nelayan
berbeda dengan masyarakat petani. Masyarakat nelayan memiliki karakter yang
lebih keras, tegas dan terbuka, dikarenakan masyarakat pesisir menghadapi
sumberdaya yang bersifat open access. Sifat sumberdaya semacam ini
memungkinkan semua orang dapat mengeksploitasinya, sehingga beban resiko
yang harus ditanggung oleh nelayan menjadi sangat tinggi. Sebaliknya
masyarakat petani berhadapan dengan sumberdaya yang relatif terkontrol.
Menurut Bahri (1995), lingkungan fisik nelayan sifatnya sulit diramalkan serta
target operasi penangkapannya hidup dan liar. Hal ini membuat usaha perikanan
mempuyai resiko kerusakan dan kerugian yang tinggi serta pola pendapatan yang
besarannya fluktuatif.
Tabel 1. Karakter sumberdaya yang dihadapi masyarakat nelayan-petani
Sektor Nelayan Petani
Sumberdaya alam yang • Ketergantungan pada • Ketergantungan pada
dihadapi produktivas laut lahan
• Sulit untuk diperkirakan • Dapat diperkirakan
• Resiko tinggi • Resiko kecil
• Common property • Sifatnya permanen
• Privat proverty
Mobilitas Tinggi karena mengarungi laut Rendah karena sumberdaya
dari satu daerah ke daerah lain alam yang dihadapi permanen
untuk mendapatkan hasil
tangkapan yang maksimal
Sumber : diadopsi dari Satria, 2002

Berkaitan dengan perbedaan karakteristik tersebut, kehidupan keluarga


nelayan menghadapi aktivitas ekonomi yang tidak pasti, dimana pendapatan yang
bersifat harian dan tidak bisa ditentukan jumlahnya. Selain itu pendapatan juga
sangat tergantung oleh musim maupun status nelayan itu sendiri (pemilik atau
anak buah kapal). Seafdec (1978) membuat pengelompokan aktivitas perikanan
untuk Indonesia berdasarkan perbedaan ukuran kapal dan perbedaan antara perahu
tanpa motor dengan kapal. Di Filipina nelayan yang menggunakan perahu untuk
menangkap ikan yang berukuran lebih dari tiga ton dikategorikan sebagai nelayan
komersil, sedangkan perahu yang berukuran kurang dari tiga ton atau tanpa
menggunakan perahu disebut nelayan desa. Sedangkan di Hongkong dan di
Singapura dibedakan antara usaha perikanan daerah pantai dan lepas pantai. Di
Thailand perbedaan itu atas dasar tipe peralatan penangkapan yang dipakai
(Smith, 1979). Di Malaysia klasifikasi nelayan ditentukan berdasarkan tingkat
pendapatan bulanan. Nelayan yang mempuyai penghasilan Rp. 744.000
dikategorikan sebagai nelayan susah atau miskin, sedangkan nelayan yang
mempuyai penghasilan antara Rp.1.800.000-3.600.000 sebulan dikategorikan
kedalam nelayan senang (Hasyim dan Wan, 1980).
Firth (1975) menggambarkan struktur masyarakat nelayan dengan
menghubungkan alat tangkap yang digunakan. Sedangkan Kusnadi (2002)
menggolongkan masyarakat nelayan dapat dilihat dari tiga sudut pandang.
Pertama, dari segi penguasaan alat produksi, terbagi menjadi pemilik (yang
memiliki) dan buruh (yang tidak memiliki alat produksi dan memberikan
tenaganya untuk memperoleh imbalan dengan hak-hak yang terbatas). Kedua, dari
tingkat skala investasi modal usahanya, terbagi menjadi nelayan besar dan nelayan
kecil. Nelayan besar yang menanamkan modalnya dalam jumlah besar dan
sebaliknya untuk nelayan kecil. Ketiga, dari tingkat penggunaan teknologi
penangkapan yang digunakan, terbagi menjadi nelayan modern dan nelayan
tradisional.
Kusnadi (2000) menyatakan bahwa nelayan tradisional disamakan dengan
nelayan subsistensi, pra industri, berskala kecil dan beroperasi di perairan pantai,
sedangkan nelayan modern diasosiasikan dengan ciri-ciri usaha yang bersifat
komersial, industri, berskala besar, dan beroperasi di daerah lepas pantai. UU No
9 tahun 1985 berdasarkan status pengusahaannya nelayan dibedakan antara
nelayan pemilik dan nelayan pekerja (buruh). Nelayan pemilik adalah orang atau
badan hukum yang dengan hak apapun berkuasa atas sesuatu kapal atau perahu
yang digunakan dalam usaha penagkapan ikan. Sedangkan nelayan pekerja
adalah semua orang yang sebagai kesatuan dengan menyediakan tenaga kerjanya
turut serta dalam usaha penangkapan ikan di laut.
Manurung (1978) menyatakan bahwa atas dasar aspek ekonomi dan
tingkat inovasi nelayan yang saling berinteraksi, maka nelayan kecil mempuyai
kriteria sebagai berikut :
1. Pendapatan perkapita lebih rendah dari garis kemiskinan yakni tingkat
pendapatan dibawah 240 kg nilai tukar beras/orang/tahun seperti yang
dikemukakan dalam konsep Sayogjo;
2. Nelayan pemilik usaha kecil dengan anak buah perahu motor atau layar
sama atau lebih kecil tiga orang;
3. Nelayan yang tidak memiliki alat produksi seperti perahu dan alat
tangkap, nelayan ini bisa disebut nelayan buruh (pandega);
4. Nelayan kecil umumnya memiliki tenaga kerja keluarga yang
dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan keluarga;
5. Modal usaha yang relatif kecil, antara lain untuk satu unit alat tangkap
yang sederhana diperkirakan seharga Rp. 25.000 sampai dengan harga
Rp. 150.000 dan kadang-kadang dilengkapi dengan sebuah perahu tanpa
motor seharga kira-kira Rp. 150.000 sampai dengan Rp. 250.000
sehingga kemampuan mereka untuk melakukan usaha penangkapan
terbatas hanya di pesisir pantai dan di muara-muara sungai; dan
6. Tingkat pendidikan, keterampilan dan inovasi nelayan dan anggota
keluarga nelayan relatif rendah

2.4.2. Petambak
Petambak adalah masyarakat yang kegiatan utamanya membudidayakan
ikan atau sumberdaya laut lainnya yang berbasis pada daratan dan perairan
dangkal di wilayah pantai. Pollnac (1988) mengemukakan bahwa nelayan
membentuk masyarakatnya sendiri dengan karakter sosio-budaya yang khas,
sebagai hasil adaptasi mereka pada habitat pantai dan laut dimana pemenuhan
kebutuhan hidup diperoleh. Nelayan tergantung pada kemudahan bersama dan
memiliki hak yang sama terhadap sumberdaya dan hanya perlu menangkap apa
yang berkembang secara alamiah. Berbeda dengan petambak yang dalam pola
kerjanya lebih menyerupai pertanian atau peternakan.
Aksesibilitas petambak terhadap sumberdaya alam relatif lebih baik
dibanding nelayan penangkap ikan. Ketergantungan mereka tidak terbatas pada
sektor kegiatan yang berbasis pada laut tetapi juga pada daratan. Kondisi ini selain
memberikan alternatif lebih banyak bagi pengembangan ekonomi masyarakat.
Petambak umumnya membudidayakan tambak, mengusahakan kerang-kerangan,
rumput laut, dan ikan di perairan dangkal. Selain itu, petambak juga mempuyai
akses terhadap lahan yang dapat mereka manfaatkan untuk sumber penghasilan
alternatif.
Petambak memiliki kegiatan produksi agak berbeda dengan nelayan
tangkap. Jika nelayan tangkap menggantungkan nasibnya sepenuhnya pada hasil
laut yang sifatnya open access (setiap individu/kelompok nelayan mempuyai hak
yang sama untuk memanfaatkan sumberdaya laut), maka petambak
menggantungkan usahanya dengan mengelola lahan tambak. Oleh karena itu
lahan tambak menjadi salah satu faktor produksi pembatas disertai teknik
pemeliharaan yang spesifik (tradisional, semi intensif atau intensif) agar dapat
menghasilkan komoditi perikanan yang diharapkan.
Dalam struktur masyarakat petambak ditemui berbagai status, fungsi dan
peran dari individu-individu yang saling berinteraksi, membentuk suatu jaringan
sosial dalam melaksanakan kegiatan pertambakan. Kegiatan tersebut meliputi
hubungan kerja dan pemasaran hasil produksi. Status, fungsi dan peran dari
masing-masing individu menjadi dasar terbentuknya pelapisan sosial, yaitu
kelompok pemilik modal yang mengumpulkan dan membeli hasil produksi
perikanan dan petambak yang melakukan usaha budidaya tambak terdiri dari
petambak pemilik, buruh tambak, para eksportir perusahaan perikanan dan
seterusnya (Purnamasari, 2002).

2.5. Kelembagaan Masyarakat Pesisir


2.5.1. Konsep Kelembagaan
Kelembagaan adalah suatu perangkat aturan-aturan yang dikukuhkan
dengan sanksi oleh anggota komunitas pendukung kelembagaan tersebut. Aturan-
aturan tersebut memudahkan koordinasi dan kerjasama diantara masyarakat
pemakai sumberdaya, yang membantu mereka membentuk harapan-harapan yang
sewajarnya dimiliki setiap orang dalam hubungannya dengan orang lain (Hayami
dan Kikuchi, 1981). Sedangkan Koentjaraningrat (1985), menyatakan bahwa
kelembagaan adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat
kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks kebutuhan khusus dalam
kehidupan masyarakat.
Menurut Poloma (2000), yang dimaksud dengan kelembagaan adalah
organisasi atau kaidah-kaidah baik formal maupun informal, yang mengatur
perilaku dan tindakan anggota masyaraklat tertentu, baik dalam kegiatan rutin
sehari-hari maupun dalam usahanya untuk mencapai tujuan tertentu. Lembaga-
lembaga dalam masyarakat ada yang bersifat asli berasal dari adat kebiasaan yang
turun temurun, tetapi ada pula yang baru diciptakan baik dari dalam maupun dari
luar masyarakat desa tersebut. Menurut Pakpahan (1991), kelembagaan dicirikan
oleh tiga hal yaitu: hak-hak kepemilikan (property right), yang berupa hak atas
benda materi atau non materi, batas yuridiksi, aturan representasi (rule of
representation).
Menurut Soedjatmoko (1980), suatu institusi atau lembaga adalah suatu
rangkaian hubungan antar manusia yang teratur dan yang disahkan secara sosial,
yang menentukan hak, kewajiban dan sifat hukum dengan orang lain. Lembaga-
lembaga ini terwujud di berbagai aspek kehidupan bermasyarakat seperti kontrak
sewa atau kontrak kerja, pola bagi hasil di bidang pertanian atau bidang
perikanan, pola pewarisan tanah dan sebagainya. Lembaga-lembaga ini penting
karena lembaga dapat menjamin kemantapan, kepastian dalam interaksi sosial dan
pada tata tertib masyarakat terjamin, tanpa ini hubungan sosial bisa menjadi
kacau. Pola hirarki dalam suatu masyarakat, pola diskriminasi, sifat dualistik
dalam suatu masyarakat, pola-pola asimetris, pola-pola ketergantungan yang
timpang dalam pembagian keuntungan dan yang bersifat eksploitatif juga
merupakan pola-pola struktural.
Davis dan Nort dalam Hayami dan Kikuchi (1981) mengklasifikasikan
kelembagaan dalam dua sub kategori, yaitu :
1. Lingkungkan pranata dasar (the basic institusional environment) yakni
seperangkat aturan-aturan keputusan dasar dan hak-hak pemilikan yang
dapat dispesifikasikan ke dalam hukum formal, atau prinsip-prinsip adat
kebiasaan yang dianggap suci oleh tradisi.
2. Susunan pranata sekunder (the secondary institusional arrangement), yakni
bentuk-bentuk persetujuan khusus yang mengatur cara-cara bagaimana
unit-unit ekonomi dapat berkompetisi atau bekerjasama dalam pemanfaatan
sumberdaya.
Di dalam masyarakat, lingkungan pranata dasar merupakan prinsip-prinsip
tradisional seperti tolong menolong dan pemerataan pendapatan diantara anggota
masyarakat. Adapun contoh susunan pranata sekunder antara lain adalah bentuk-
bentuk perjanjian khusus untuk memperkerjakan tenaga kerja.

2.5.2. Sistem Kelembagaan Masyarakat Pesisir


Menurut Anwar (2002), masyarakat pesisir yang bermukim di wilayah
pesisir mempuyai institusi tradisional yang telah lama dianut dan dipegang secara
turun temurun hingga sekarang dalam hal pengelolaan sumberdaya perikanan.
Institusi ini bertanggung jawab terhadap manajemen lingkungan menurut keahlian
orang-orang yang terlibat dalam kegiatan produksi tradisional tersebut.

Kelembagaan Hubungan Kerja


Dalam kehidupan masyarakat pesisir terdapat kelembagaan hubungan
kerja. Di beberapa wilayah pesisir di Indonesia, sistem kelembagaan ini memiliki
karakteristik tersendiri seperti di Sulawesi Selatan di kenal hubungan antara
punggawa-sawi (Salman dan Taryoto, 1992), di pantai utara Jawa dikenal
hubungan antara juragan-pandega (Mubyarto dkk, 1984), sedangkan di Sumatera
Utara terdapat hubungan antara tauke-nelayan (Mintoro et al., 1993).
Adanya kelembagaan hubungan kerja dalam masyarakat nelayan tidak
terlepas dari kondisi sumberdaya laut yang bersifat open access, dengan sifat ini
semua individu baik nelayan maupun pengusaha perikanan laut merasa mempuyai
hak untuk mengeksploitasi sumberdaya laut sesuai dengan kemampuan masing-
masing. Hal itu mengakibatkan sumberdaya tersebut relatif dapat dikuasai oleh
anggota masyarakat yang mampu menguasai teknologi maju, baik teknologi alat
tangkap maupun sarana penunjang lainnya. Kelompok ini menjadi lapisan
masyarakat yang secara finansial mampu membeli peralatan tangkap yang lebih
besar. Untuk mengatasi resiko fisik dan akibatnya dalam pengoperasian jenis alat
tangkap cukup besar dilakukan dalam suatu organisasi kerja. Pada penggunaan
cara ini diharapkan resiko fisik yang dihadapi saat pengoperasian alat tangkap
dapat dikurangi dan keselamatan serta hasil penangkapan dapat lebih ditingkatkan
(Pollnac, 1988).
Dari berbagai hasil penelitian, dapat dikatakan bahwa setiap unit alat
tangkap merupakan unit organisasi kecil. Pada setiap unit organisasi kecil itu
terdapat pemimpin dan pengikut (Salattang, 1982). Oleh Susilawati (1986)
dikatakan bahwa organisasi kerja tersebut menunjukkan hubungan seperti relasi
antara kepala rumah tangga (juragan) dan anggota rumah tangga (pendega).
Adapun jumlah anggota setiap unit alat tangkap tergantung kepada jenis alat
tangkap dan teknologi yang digunakan, yakni untuk purse seine 37 orang, jaring
insang hanyut 10 orang, jaring payang 17 orang dan otter trawl 67 orang
(Lembaga Penelitian IPB, 1983).
Kelembagaan masyarakat petambak terdapat struktur yang terdiri dari
status dan peranan tertentu dari anggotanya, yang terbentuk berdasarkan
kepemilikan aset produksi (lahan, sarana produksi maupun modal keuangan).
Hasil kajian Salman dan Taryoto (1992) di desa Manakku, Sulawesi Selatan
menunjukkan bahwa pada kelompok petambak terdapat lapisan sosial yang terdiri
dari lapisan atas (petambak pemilik), lapisan menengah (petambak penyewa dan
petambak penggarap). Sedangkan jaringan relasi sosial yang berlangsung
berporos pada penyerahan hak garap tambak dari pemiliknya kepada orang lain
melalui hubungan persewaan berdasarkan kontrak yang bersifat formal, hubungan
penggarapan yang berdasarkan perjanjian bagi hasil dan hubungan berpola patron
klien yang lebih informal tidak semata-mata hubungan ekonomi tetapi meluas
kearah hubungan sosial. Pola hubungan yang terjadi antara petambak pemilik
dengan petambak penyewa walaupun mirip transaksi jual beli nemun secara tidak
langsung mengandung unsur hubungan bantu membantu. Antara petambak
pemilik dengan penyakap walaupun tersamar potensi sub-ordinasi eksploitasi
namun masih terdapat mekanisme bantu membantu, sementara antara petambak
pemilik dengan sawi terbentuk pola hubungan patron klien yang selain merupakan
hubungan kerja secara ekonomis juga terjadi hubungan sosial secara lebih luas.

Kelembagaan Bagi Hasil


Sistem bagi hasil perikanan lebih merupakan ikatan antara nelayan pemilik
dengan nelayan buruh yang bersifat lokal dan sangat berbeda antar daerah maupun
peralatan yang digunakan. Sistem bagi hasil merupakan suatu kelembagaan
ekonomi yang terdapat di masyarakat nelayan sering kali masih bersifat asli dan
merupakan adat kebiasaan masyarakat nelayan secara turun temurun. Menurut
Taryoto et.al (1993), umumnya sistem bagi hasil yang berlaku adalah (1)
pembagian hasil antara pemilik modal dengan nelayan yang kelaut (nahkoda
dengan anak buah kapal), (2) pembagian antara nahkoda dengan anak buah kapal.
Besarnya bagian untuk masing-masing golongan nelayan dapat berbeda,
tergantung pada teknologi yang diterapkan dan komponen biaya yang ditanggung
masing-masing pihak.
Di Sulawesi Selatan dalam pengoperasian suatu jenis alat tangkap yang
membentuk kelompok kerja, dikenal peran sebagai juragan (punggawa) dan
pekerja (sawi). Bagi hasil yang diterima punggawa sebagai pemilik alat tangkap
dan modal lebih besar dibandingkan dengan hasil yang diterima sawi. Sedangkan
bagi hasil dikalangan sawi sendiri diatur sesuai dengan tugas dan fungsi dari sawi
tersebut dalam organisasi kerja (Salman dan Taryoto, 1992). Hasil Penelitian
Mubyarto dkk (1984) di daerah Jepara (Jawa Tengah) menunjukkan bahwa
besarnya bagi hasil yang diterima setiap anggota alat tangkap jaring dogol (jaring
untuk menangkap ikan teri yang terbuat dari serat goni dan ditarik dengan kapal
motor) berbeda dengan bagi hasil yang diterima oleh setiap anggota kelompok
kerja alat tangkap payang (jaring yang digunakan untuk menangkap ikan layang
atau lemuru yang terbuat dari serat nilon dan ditarik dengan kapal motor).
Kelembagaan bagi hasil masyarakat petambak umumnya berlaku sistem
bagi hasil 3:1, artinya tiga bagian hasil penen untuk pemilik tambak dan satu
bagian untuk penjaga empang setelah dikurangi biaya produksi. Namun ada pula
yang menggunakan sistem bagi hasil 75% untuk pemilik tambak dan 25% untuk
penjaga empang yang memenuhi sendiri kebutuhan hidupnya, itupun setelah
dipotong biaya produksi atau 80% untuk pemilik empang dan 20% untuk penjaga
empang yang kebutuhan hidupnya diprnuhi oleh pemilik tambak, setelah dipotong
biaya produksi. Pemenuhan kebutuhan hidup penjaga empang biasanya dicukupi
oleh pemilik tambak, sedangkan kebutuhan modal operasional akan dipenuhi oleh
penggawa yang menjadi patronnya; seorang ponggawa akan meminta bantuan
pada ponggawa yang lebih besar atau pada perusahaan eksportir dengan sebuah
kesepakatan yang berujung pada penyerahan sepenuhnya hasil tambak kepada
pemberi pinjaman modal. Dalam banyak kasus; seorang petambak yang memiliki
hubungan baik dengan perusahaan eksportir, dapat langsung mendapatkan
bantuan modal bagi kegiatan usahanya dan mendapat selisih keuntungan yang
lebih baik karena menjual hasil produksi tambaknya langsung pada perusahaan
tersebut dibandingkan melalui perantara ponggawa.
Kelembagaan Pemasaran dan Permodalan
Lembaga pemasaran yang dimaksud adalah badan-badan yang
menyelenggarakan kegiatan atau fungsi pemasaran dimana barang-barang
bergerak dari pihak produsen sampai ke konsumen. Termasuk dalam kelembagaan
ini adalah produsen, pedagang perantara dan lembaga pemberi jasa lainnya.
Pemilihan bentuk saluran pemasaran yang panjang tentunya akan melibatkan
berbagai stakeholder dalam saluran tersebut. Semakin panjang suatu rantai
pemasaran, semakin tinggi harga akhir yang ditanggung konsumen dibandingkan
harga jual pertama dari tangan produsen. Kelebihan ini mencerminkan insentif
yang dikehendaki oleh pelaku rantai pemasaran sebagai pengganti dari fungsi
pengangkutan, pergudangan, grading, dan lain-lain yang mereka keluarkan
(Karsyono dan Syafat, 2000).
Menurut Kusnadi (2001), di negara berkembang pekerjaan nelayan tidak
selalu menyenangkan karena rasionalisasi dari hubungan kredit dan pemasaran
(proses ekonomi), keadaan ini disebabkan oleh lima hal yaitu (1) kondisi pasar
tidak bersifat bersaing sempurna, sehingga usaha ini mengarah pada monopoli, (2)
hubungan nelayan kecil dengan para trader dalam bentruk kontrak cenderung
menguntungkan trader, (3) berkaitan dengan permintaan dan penawaran ikan
melalui penjualan ikan oleh nelayan kecil yang diikat dengan bunga yang tinggi
sebagai imbalan kredit yang diterimanya dari pedagang, sehingga pedagang bebas
melakukan proteksi melalui struktur pasar monopsonistik. Adanya kredit tersebut,
mengharuskan nelayan untuk menjual hasil tangkapannya kepada pedagang
dengan harga yang relatif rendah, sebagai angsuran pembayaran hutang, (4) tidak
adanya organisasi nelayan yang solid, sehingga lebih menguntungkan pedagang
dan pabrik pengolahan ikan (5) adanya hubungan kumulatif antara pemberi kredit
dengan penerima kredit dalam pemasaran hasil-hasil perikanan mengikuti
mekanisme yang dikembangkan sepanjang waktu.
Sikap nelayan yang serba tergantung, maka sumber kredit yang paling
penting bagi nelayan adalah pedagang pengumpul. Pedagang tidak hanya
memberikan kredit dalam bentuk uang tetapi juga dalam bentuk alat produksi alat
produksi dan kebutuhan lainnya dengan jaminan adalah nelayan harus menjual
hasil tangkapannya dengan harga yang telah disepakati sebelumnya, yang
tentunya relatif rendah dari harga pasar, hal ini mencerminkan semakin lemahnya
posisi tawar menawar nelayan (Sidik et. al, 2000).
Menurut hasil studi komunitas nelayan di Desa Karang Agung (Tuban), di
Desa Kedung Malang (Jepara) yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan
Pengembangan Ekonomi dan Pembangunan LIPI (1997), struktur sosial ekonomi
masyarakat nelayan yang ada pada saat ini menempatkan sebagian besar nelayan
khususnya nelayan tradisional pada posisi pinggiran. Posisi ini menyebabkan
mereka kurang memiliki akses modal dan akses dalam memasarkan hasil
tangkapan ikan. Selain itu struktur ekonomi yang ada menyebabkan terjadinya
ketergantungan sekelompok nelayan pada pihak lain dalam pemenuhan kebutuhan
sub sistem (Masyhuri, 1999).
Struktur ekonomi nelayan tampaknya lebih cenderung berpihak kepada
kelompok nelayan yang menguasai sarana produksi, lebih mendorong terjadinya
ketimpangan pendapatan di kalangan nelayan dan memberi kemungkinan
terjadinya eksploitasi terhadap nelayan oleh nelayan lain. Pola pendapatan pada
sektor penangkapan ikan yang tidak teratur dapat mempengaruhi pola konsumsi
para nelayan. Apabila pendapatan sedang melimpah, mereka akan berkecukupan,
tetapi apabila mereka tidak berhasil menangkap ikan, apalagi dalam waktu yang
cukup lama, mereka perlu bantuan, khususnya nelayan buruh atau anak buah
kapal. Pemilik sarana produksi atau juragan memanfaatkan saat-saat seperti ini
untuk mengikat mereka tetap bekerja sebagai anak buah kapal miliknya. Memang
tidak semua juragan bersikap eksploitatif terhadap nelayan, tetapi tidak jarang dari
mereka memanfaatkan kesulitan yang dihadapi nelayan anak buah kapal untuk
kepentingan pribadi. Karenanya pranata sosial yang sangat menonjol di kalangan
masyarakat nelayan adalah pranata sosial hubungan patron klien berdasarkan
hutang piutang (Masyhuri, 1999)
Hubungan patron klien menurut Legg (1983) adalah tata hubungan patron
klien umumnya berkenaan dengan (1) hubungan diantara pelaku yang menguasai
sumber yang tidak sama, (2) hubungan yang bersifat khusus yang merupakan
hubungan pribadi yang mengandung keakraban, (3) hubungan yang didasarkan
pada asas saling menguntungkan yaitu saling memberi dan saling menerima.
Dalam hubungan kerja yang bersifat patron klien dalam masyarakat nelayan
sebagai akibat adanya golongan yang menguasai modal disatu pihak dan dipihak
lain adanya golongan yang kekurangan modal. Hubungan yang terjadi seperti ini
lebih bersifat berkelanjutan atau turun temurun, karena antara golongan yang
berhubungan menunjukkan perbedaan kelas dan status dalam operasi
penangkapan ikan.
Dengan sifat ini, ada kecenderungan dikalangan masyarakat nelayan
hubungan patron klien yang terjadi didasarkan pada asas untuk saling memberi
dan saling menerima antara patron dan kliennya. Pola hubungan patron klien ini
lebih didasarkan pada pola pendapatan ekonomi masyarakat nelayan tidak pernah
teratur, yang berakibat pada kehidupan sehari-hari. Pengaruh ketidak pastian
pendapatan merupakan fenomena sosial yang cukup dominan diantara masyarakat
nelayan adalah hubungan sosial yang terjadi berdasarkan terjadinya hutang
piutang untuk pemenuhan kebutuhan di saat mengalami krisis.
Pola hubungan patron klien tersebut telah menciptakan terjadinya
kemiskinan diantara masyarakat nelayan. Adapun struktur patron berupa toke dan
juragan serta klien yang terdiri dari nelayan dalam komunitas nelayan di Jepara
telah mengakibatkan nelayan sebagai klien tetap hidup dalam kemiskinan. Di lain
pihak menurut Masyhuri et al. (1998) kemiskinan nelayan lebih disebabkan oleh
struktur sosial ekonomi dan budaya masyarakat yang dipengaruhi oleh pola-pola
tangkapan yang hasilnya serba tidak pasti.
Kelembagaan pemasaran dan permodalan masyarakat petambak
dipengaruhi pola hubungan patron klien. Menurut Vadya dan Sahur (1996)
masyarakat petambak Bugis menggunakan hubungan pemimpin-pengikut (patron
klien), bertindak tidak sebagai majikan yang berhadapan dengan para pegawai
yang digaji seperti dijabarkan dalam sistem kapitalis karena mereka lebih bersikap
sebagai kepala keluarga tradisional yang terus menolong menutupi kebutuhan para
pekerja, seperti membayar biaya keperluan darurat dan beberapa biaya lain untuk
memenuhi kewajiban upacara adat.

2.6. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir


Pemberdayaan masyarakat menurut Friedmann (1992), dimaknai sebagai
mendapat kekuatan dan mengkaitkannya dengan kemampuan golongan miskin
untuk mendapatkan akses ke sumber-sumber seperti : jaringan sosial, organisasi
sosial, informasi, surplus waktu, alat produksi, pengetahuan dan keterampilan,
ruang hidup yang dapat dipertahankan, sumberdaya keuangan yang menjadi dasar
dari kekuasaan dalam suatu sistem. Akses tersebut digunakan untuk mencapai
kemandirian dalam pengambilan keputusan.
Mengacu pada pendapat Friedmann (1992), konsep pemberdayaan dapat
didefenisikan sebagai upaya (berupa proses, strategi, program atau metode) yang
ditujukan untuk membantu masyarakat miskin menuju pada kemandirian melalui
pendistribusian kembali kekuatan yang dibutuhkan, yang dapat diwujudkan
melalui: gotong royong, kerjasama, kegiatan kelompok, kemitraan dan aktivitas
sejenisnya yang disepakati dan didukung bersama yang ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan individu-individu anggota masyarakat. Pemahaman
tentang pemberdayaan tersebut menunjukkan bahwa pemberdayaan merupakan
suatu proses tepat jika diaplikasikan untuk mengembangkan komunitas-komunitas
tertentu yang mengalami ketertinggalan.
Pemberdayaan sebagaimana dikemukakan Ife (1995) memiliki dua konsep
berbeda yaitu kekuasaan dan kekurang beruntungan. Pertama, pemberdayaan
dilihat dari pemberian kekuasaan pada individu atau kelompok. Mengijinkan
mereka menentukan kekuatan di tangan mereka sendiri. Kedua pemberdayaan
dilihat dari kekurang beruntungan, ini lebih dilatar belakangi pada struktur sosial
yang mengakibatkan masyarakat tidak memiliki ruang yang memadai untuk
berpartisipasi dalam proses pembangunan wilayahnya. Pemberdayaan adalah
salah satu tujuan dari pengembangan masyarakat, dengan cara memberikan
sumber daya, kesempatan, pengetahuan, dan keterampilan untuk meningkatkan
kapasitas atau kemampuan untuk menentukan masa depan sendiri dan untuk
berpartisipasi dalam mempengaruhi kehidupan kamunitasnya.
Selanjutnya Ife (1995) menyatakan bahwa dalam membicarakan konsep
pemberdayaan, tidak dapat dipisahkan dengan dua konsep sentral, yaitu konsep
daya dan konsep ketimpangan. Pengertian pemberdayaan yang terkait dengan
konsep daya dapat ditelusuri dari beberapa perspektif, yaitu perspektif pluralis,
elitis, strukturalis dan post-strukturalis.
1. Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif pluralis, adalah suatu
proses untuk menolong kelompok-kelompok masyarakat dan individu
yang kurang beruntung untuk bersaing secara lebih efektif dengan
kepentingan-kepentingan lain dengan jalan menolong mereka untuk
belajar, dan menggunakan keahlian dalam melobi, menggunakan media
yang berhubungan dengan tindakan politik, dan memahami bagaimana
bekerjanya sistem;
2. Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif elistis adalah suatu
upaya untuk bergabung dan mempengaruhi para elitis, membentuk aliansi
dengan elistis, melakukan konfrontasi dan mencari perubahan pada elistis.
Masyarakat menjadi tak berdaya adanya power dan kontrol yang besar
sekali dari para elistis terhadap media, pendidikan, partai politik,
kebijakan publik, birokrasi, parlemen, dan sebagainya;
3. Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif strukturalis adalah
suatu agenda yang lebih menantang dan dapat dicapai apabila bentuk-
bentuk ketimpangan struktural dieliminir. Masyarakat tak berdaya suatu
bentuk struktur dominan yang menindas masyarakat seperti masalah kelas,
gender, ras atau etnik; dan
4. Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif post-strukturalis adalah
suatu proses yang menantang dan mengubah diskursus. Pemberdayaan
lebih ditekankan pertama-tama pada aspek intelektualitas ketimbang aksi.
Pemberdayaan masyarakat adalah upaya pengembangan pengertian
terhadap pengembangan pemikiran baru, analistis, dan pendidikan
daripada suatu usaha aksi.
Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu
dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan.
Pada dasarnya, pemberdayaan diletakkan pada kekuatan individu dan sosial.
Menurut Hikmat (2001) pemberdayaan mengesankan arti adanya sikap mental
yang tangguh dan kuat. Pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan
oleh orang-orang yang secara konsekuen melaksanakan keputusan tersebut.
Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui
kemandiriannya bahkan merupakan suatu keharusan untuk lebih diberdayakan
melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, keterampilan serta
sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan mereka (Hikmat, 2001).
Slamet (2003) memberikan pengertian pemberdayaan adalah kemampuan,
berdaya, mengerti, paham, termotivasi, berkesempatan, dapat memanfaatkan
peluang, berenergi, mampu bekerja sama, tahu berbagai alternatif, mampu
mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap
informasi dan mampu bertindak sesuai situasi. Pemberdayaan masyarakat
merupakan upaya untuk memberikan motivasi dan dorongan kepada masyarakat
agar mampu menggali potensinya dan berani bertindak mengembangkan diri,
sehingga terbentuk kemandirian dan tidak tergantung dengan pihak lain.
Dari konsep pemberdayaan tersebut, dapat dikatakan bahwa
pemberdayaan masyarakat pesisir merupakan pemberdayaan sosial masyarakat
pesisir untuk memanfaatkan dan mengelola sumberdaya perikanan dan kelautan
secara optimal dan lestari sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan mereka yang
berpijak pada sistem nilai yang ada dan tumbuh dalam masyarakat. Nilai-nilai
masyarakat yang dimaksud antara lain nilai-nilai dalam pandangan sosial budaya
(sosio cultural), pandangan ekonomi (economic) dan pandangan lingkungan
(enviroment). Secara defenisi sistem nilai masyarakat lokal merupakan perangkap
konsep-konsep abstrak yang ada dalam pikiran sebagian besar warga suatu
masyarakat mencerminkan apa yang dianggap penting dan berharga dalam hidup
sehingga dapat berfungsi sebagai pedoman yang memberi arah dan orientasi
kepada masyarakat tersebut (Koencoroningrat, 1985).
Menurut Nikijuluw (2002) menjelaskan tiga bentuk pengelolaan
sumberdaya alam dan lautan, yaitu pengelolaan berbasiskan masyarakat
(PSPBM), pengelolaan oleh pemerintah dan ko-manajemen (integrasi PSPBM dan
pengelolaan oleh pemerintah).
Pengelolaan berbasiskan masyarakat (PSPBM) dapat didefenisikan
sebagai suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan
kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya alamdan lautan sendiri dengan
terlebih dahulu mendefenisikan kebutuhan dan keinginan, tujuan, aspirasi dan
mengambil keputusan untuk menentukan dan berpengaruh pada kesejahteraan
hidup mereka. Beberapa keunggulan PSPBM adalah sesuai aspirasi dan budaya
lokal, dapat diterima masyarakat lokal dan pengawasan dilakukan dengan mudah.
Sedangkan kelemahan PSPBM adalah tidak mengatasi masalah interkomunitas,
bersifat lokal, mudah dipengaruhi oleh eksternal, sulit mencapai skala ekonomi
dan tingginya biaya institusional.
Pengelolaan sumberdaya alam dan lautan oleh pemerintah berarti semua
tahapan dan pengelolaan mulai dari pengumpulan informasi, perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian, pemantauan dan evaluasi dilakukan oleh pemerintah.
Pemerintah sebagai pemegang kuasa dan wewenang dalam memanfaatkan
sumberdaya perikanan. Keunggulan pengelolaan sumberdaya alan dan lautan oleh
pemerintah adalah dari sisi aspek legal, yang sangat didukung oleh aturan-aturan
formal dan tertulis sehingga apabila setiap pihak dapat menjalankan dan
mematuhi seluruh aturan dengan baik maka hasilnya akan baik pula. Sedangkan
kelemahan pengelolaan sumberdaya alan dan lautan oleh pemerintah menurut
Nikijuluw (2002) adalah kegagalan dalam mencegah kelebihan eksploitasi
sumberdaya perikanan, kesulitan dalam penegakan hukum, kemampuan dan
keberhasilan masyarakat untuk menghindar dari peraturan, kebijakan yang tidak
tepat dan tidak jelas atau saling bertentangan, administrasi dalam bentuk biaya
yang tinggi, wewenag yang terbagi-bagi kepada beberapa departemen atau
lembaga, dan dan informasi kurang benar dan akurat serta kegagalan dalam
merumuskan keputusan manajemen.
PSPBM dan pengelolaan sumberdaya alan dan lautan oleh pemerintah
masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan. Kedua bentuk pengelolaaan
tersebut bisa dipadukan atau diintergrasikan sehingga kelemahan yang satu bisa
ditutupi oleh keunggulan yang lain. Pengintegrasian kedua bentuk pengelolaan
ini dikenal dengan nama kolaborasi manajemen atau kooperatif manajemen atau
ko-manajemen. Ko-manajemen menyiratkan bahwa kerjasama antara pemerintah
dan masyarakat merupakan intik dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lautan.
Ko-manajemen didefenisikan sebagai pembagian atau pendistribusian
tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam
mengelola sumberdaya alam dan lautan (Pomeroy dan William, 1994; Nikijuluw,
2002; Bengen, 2002). Definisi ini menyiratkan bahwa kerjasama antara
pemerintah dan masyarakat merupakan inti dari ko-manajemen dimana seluruh
pihak bertanggung jawab secara bersama-sama dalam melakukan seluruh tahapan
pengelolaan lingkungan, dalam hal ini adalah sumberdaya perikanan laut dan
hutan mangrove.
Menurut Nasdian (2003), ko-manajemen adalah partisipasi aktif dalam
pengelolaan sumberdaya oleh semua anggota masyarakat dan kelompok yang
mempuyai keterkaitan dengan sumberdaya tersebut. Selain itu, terdapat tiga
elemen pokok yang perlu diperhatikan dalam ko-manajemen :
1. Pembagian tanggung jawab dan wewenang dalam pengelolaan
sumberdaya, meliputi persetujuan yang dipahami dan disetujui semua
pihak;
2. Tujuan sosial, budaya dan ekonomi yang merupakan sebuah bagian
integral dari pengelolaan strategi; dan
3. Pengelolaan sumberdaya berkelanjutan.
III. METODE PENELITIAN

3.1. Pemilihan Wilayah Studi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di kawasan pesisir Kota Bengkulu, wilayah


administrasi Kecamatan Kampung Melayu (Gambar 3). Selanjutnya, dipilih tiga
kelurahan yaitu Kelurahan Teluk Sepang, Kelurahan Sumberjaya dan Kelurahan
Kandang sebagai kelurahan studi, setelah mempertimbangkan dua hal. Pertama,
di tiga wilayah tersebut mempuyai karakter dimana sektor perikanan sebagai
kegiatan ekonomi mereka, meskipun masing-masing kelurahan mempuyai pola
perikanan yang khas dan berbeda. Kedua, adalah potensi pantai di ketiga wilayah
studi relatif lebih besar dibandingkan dengan kelurahan lain yang ada di Kota
Bengkulu dan kehidupan nelayan sebagian besar masih miskin.

Waktu pelaksanaan penelitian dan pengambilan data dengan alokasi waktu


selama 12 bulan, dari Maret 2005 sampai dengan Februari 2006. Penelusuran
data yang diambil dilakukan di tiga kelurahan studi yaitu komunitas nelayan
Kelurahan Teluk Sepang, Kelurahan Sumberjaya dan Kelurahan Kandang.

Lokasi Penelitian

Gambar 2. Lokasi penelitian di Kota Bengkulu


3.2. Metode Penelitian

3.2.1. Pendekatan Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan menggunakan beberapa pendekatan


sekaligus, yaitu (a) pendekatan kualitatif, (b) pendekatan kuantitatif, (c)
pendekatan multicriteria decision analysis (MCDA) melalui penggunaan teknik
A’WOT. Penggunaan kombinasi pendekatan ini dimungkinkan dalam suatu
peneliti.
Pada pendekatan kualitatif lebih mengutamakan pendekatan emik (emic
approach) (Sayer 1994; Muhadjir 1996; Mulayana 2001) dengan menggunakan
metodologi studi kasus. Metode studi kasus diterapkan pada rumah tangga
nelayan dan komunitas nelayan yang beroperasi di Kelurahan Teluk Sepang,
Kelurahan Kandang dan Kelurahan Sumberjaya. Studi kasus dapat memberikan
informasi penting mengenai hubungan antar variabel, serta proses-proses yang
memerlukan penjelasan dan pemahaman yang lebih luas. Selain itu, studi kasus
dapat menyajikan data-data dan temuan-temuan yang sangat berguna sebagai
dasar membangun latar permasalahan bagi perencanaan ilmu (Yin, 1997).
Menurut Kusumastanto (1998), tujuan studi kasus tidak hanya mempelajari apa
yang terjadi dalam permasalahan yang dihadapi, tetapi juga menerangkan
hubungan yang berlaku antara sebab dan akibat. Proses menerangkan hubungan
ini dimungkinkan bila yang dipelajari itu lebih dari satu kasus, yang menunjukkan
perbedaan yang menyolok sehingga memberikan kemudahan bagi peneliti untuk
menentukan faktor-faktor penting yang menyebabkan kejadian yang diamati.
Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan metode survei, yaitu suatu
pendekatan untuk memahami masalah sosial melalui penjaringan pendapat dan
aspirasi masyarakat atau entitas penduduk, melalui pendekatan sampel populasi.
Melalui survei dapat diketahui gambaran kondisi internal masyarakat pesisir
dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan sebagai sumber mata pencaharian.
Metode survei merupakan suatu teknik penelitian dengan mengajukan pertanyaan
kepada sekelompok orang atau sampel mengenai topik atau isu tertentu dengan
menggunakan kuesioner atau melalui wawancara (Chadwick dkk.,1991; Neuman,
1997; Singarimbun dan Effendi, 1995; Black dan Champion, 1999; Vredenbregt,
1978). Umumnya pengertian survei dibatasi pada pengertian survei sampel
dimana informasi dikumpulkan dari sebagian populasi untuk mewakili seluruh
populasi. Dari sudut ruang lingkup, secara kasar dapat dibedakan empat aspek
yang dicakup oleh penelitian survei (Moser, 1969), yaitu pertama, ciri demografis
dari masyarakat; kedua, lingkungan sosial mereka; ketiga, aktivitas mereka; serta
keempat, pendapat dan sikap mereka.
Pendekatan multicriteria decision analysis (MCDA) dengan menggunakan
teknik A’WOT. Metode ini mengkombinasikan teknik SWOT untuk melihat
kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan (Rangkuti, 2000) dalam menentukan
strategi pemberdayaan masyarakat pesisir dan teknik modifikasi AHP (MAHP)
digunakan untuk menjaring pendapat dari pakar dan stakeholder dengan lebih
sistematis (Marimin, 2004).

3.2.2. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data

Jenis data dan informasi yang dikumpulkan dalam penelitian ini


dikelompokkan menjadi data primer dan data sekunder. Data primer dan data
sekunder yang dikumpulkan meliputi data mengenai kondisi sumberdaya
perikanan laut, kondisi mangrove, struktur masyarakat dan struktur kelembagaan
masyarakat pesisir. Instansi yang terkait dengan pengumpulan data sekunder
adalah dinas kehutanan, dinas perikanan dan kelautan, bappedalda, kantor
kecamatan Kampung Melayu. Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh
informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Adapun
pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui pengamatan lapangan,
wawancara individual mendalam dengan informan, wawancara kuesioner dengan
responden, diskusi informal kelompok dan kajian literatur. Menurut Sitorus
(1998), teknik ini disebut teknik triangulasi, yaitu memadukan sedikitnya tiga
teknik pengumpulan data misalnya pengamatan lapangan, wawancara, dan diskusi
kelompok fokus, maka satu dan lain metode akan saling menutupi kelemahan
yang mungkin terjadi sehingga realitas sosial yang ditangkap menjadi lebih valid.
Pengamatan Lapangan

Pelaksanaan pengamatan lapangan dilakukan dengan membuat catatan


harian lapangan dan pengambilan foto atau gambar. Pengamatan lapangan
difokuskan pada masyarakat dalam menerapkan cara produksi dan mekanisme
bagi hasil, pola penguasaan aset produksi, pemasaran hasil tangkapan, serta sejauh
mana peran kelembagaan, modernisasi nelayan dalam mengatasi permasalahan-
permasalahan yang dihadapi nelayan. Informasi pengamatan di lapangan didapat
dari 85 responden, 20 informan, 3 tokoh masyarakat dan monografi desa.

Wawancara
Wawancara individual secara mendalam dilakukan terhadap 20
stakeholder menggunakan pedoman wawancara mendalam (in-depth interview)
untuk menggali data tentang (1) aktivitas-aktivitas apa saja yang berpengaruh
terhadap kondisi sumberdaya alam pesisir dan sosial ekonomi budaya masyarakat
pesisir Kota Bengkulu; (2) struktur kelembagaan bagi hasil, kelembagaan
hubungan kerja dan kelembagaan pemasaran serta permodalan masyarakat pesisir
Kota Bengkulu. Stakeholder dalam penelitian dipilih dengan persyaratan tertentu
yakni orang-orang yang terkait langsung dan memahami secara mendalam dengan
kegiatan penangkapan ikan sebanyak 20 stakeholder yang terdiri dari nelayan
lancang, nelayan kapal cincin, nelayan kapal pancing, nelayan kapal bagan,
nelayan kapal jaring hijau, petambak, pemilik kapal/toke/juragan, pedagang
pengumpul, pedagang eceran, tokoh masyarakat nelayan, ketua kelompok
nelayan, LSM, pemerintah daerah dan dinas terkait (lihat Tabel 3).
Disamping wawancara mendalam, juga dilakukan wawancara
menggunakan kuesioner dengan 85 responden ditiga kelurahan studi untuk
mendapatkan data meliputi variabel modal fisikal, modal sosial, modal finansial,
modal alamiah dan modal manusia.

Diskusi Informal Kelompok

Diskusi Informal kelompok digunakan untuk mengungkap pemaknaan dari


suatu temuan menurut pemahaman sebuah kelompok, berdasarkan hasil diskusi
yang terpusat pada permasalahan tertentu. Kegiatan diskusi informal kelompok
terbatas dilakukan sebanyak tiga kali. Hal ini dilakukan untuk (i) konfirmasi hasil
wawancara mendalam dari informan dan (ii) mengetahui permasalahan yang
sebenarnya menjadi masalah kolektif mereka. Pertemuan pertama dilakukan di
tangkahan milik kelompok nelayan Sepang Serumpun di Kelurahan Teluk
Sepang, yang dihadiri 15 nelayan yang merupakan anggota kelompok dan bukan
anggota kelompok. Pertemuan kedua dilaksanakan di rumah salah satu nelayan
yang sekaligus pemilik kapal di Kelurahan Sumberjaya yang dihadiri 10 nelayan
yang terdiri dari nelayan pemilik kapal, ABK dan petambak, dan pertemuan ketiga
dilaksanakan di rumah ketua kelompok nelayan Kandang yang dihadiri 13 terdiri
dari nelayan dan petambak.

Kajian Literatur

Kajian literur digunakan untuk memperoleh data sekunder yang


mendukung penelitian, dilakukan dengan mencari data-data dan dokumen ke
instansi-instansi terkait, BPS, dan laporan hasil penelitian, arsip tertulis maupun
laporan yang terkait dengan tema sebagai sumber literatur data. Jenis data yang
dikaji dalam pengumpulan data sekunder adalah letak, luas, topografi, pola
pemukiman, ketersediaan sarana, pasar, sekolah, bank, koperasi, pelabuhan,
puskesmas, air bersih, pembuangan sampah, sosial budaya dan kegiatan agama,
penduduk, mata pencaharian, perkembangan jumlah dan jenis kapal atau perahu,
perkembangan jumlah dan jenis alat penangkapan ikan, dan lain-lain.

3.2.3. Unit Penelitian dan Jumlah Responden

Unit dalam penelitian ini adalah nelayan tangkap dan petambak di daerah
studi yaitu Kelurahan Teluk Sepang, Kelurahan Sumberjaya dan Kelurahan
Kandang. Jenis usaha masyarakat di daerah kelurahan studi merupakan kerangka
sampel, guna memudahkan penentuan sampel sasaran yang akan dijadikan
responden penelitian. Jumlah sampel 85, yaitu 29 di kelurahan Teluk Sepang, 41
di Kelurahan Sumberjaya dan 15 di Kelurahan Kandang. Pengambilan sampel di
Kelurahan Teluk Sepang dan Kandang kemudian ditetapkan dengan
menggunakan metode purposive sampling, yaitu dengan memilih atau
menentukan dengan sengaja contoh yang akan diteliti. Responden yang akan
dipilih dalam penelitian ini, terdiri dari nelayan lancang yaitu perahu motor
tempel berkekuatan < 5- 10 GT dan petambak.

Untuk responden di kelurahan Sumberjaya dipilih dengan menggunakan


metode pengambilan sampel acak distratifikasi (stratified random sampling).
Adapun dasar menstratifikasi populasi ini adalah berdasarkan jenis usaha
(Singarimbun dan Sofian,1981). Di kelurahan Sumberjaya jenis usahanya
meliputi nelayan jaring hijau, nelayan pukat cincin, nelayan lancang, nelayan
jaring bagan, nelayan pancing dan petambak.

Tabel 2. Jumlah populasi responden di Kelurahan Sumberjaya

Jenis Usaha Jumlah populasi Jumlah sampel Keterangan

Nelayan jaring 163 16 Teknik sampling stratified


hijau random

Nelayan pukat 85 8 (10%)


cincin

Nelayan bagan 105 10

Nelayan lancang 24 2

Nelayan pancing 32 3

Petambak 15 2

Total populasi 424 41

Jumlah responden di kelurahan Sumberjaya adalah 41 orang. Disamping


itu peneliti juga melakukan wawancara dengan 20 stakeholder yang terdiri dari
nelayan tangkap, petambak, tokoh masyarakat nelayan, LSM dan dinas terkait.
Tabel 3. Daftar informan yang diwawancarai

No Nama Kelurahan Pekerjaan

1 Junaidi Teluk Sepang Ketua kelompok nelayan Sepang


Serumpun
2 Efendi Teluk Sepang
Tekong sekaligus pemilik lancang
3 Sarazan Teluk Sepang
Tokoh masyarakat nelayan
4 Atro Sumberjaya
Pemilik sekaligus tekong kapal pancing
5 Pardede S. Sumberjaya
Nelayan jaring pukat cincin
6 M. Arifin Sumberjaya
Anal buah kapal bagan
7 Jumrian Sumberjaya
Nelayan jaring udang
8 Rianto Sumberjaya
Anak buah kapal jaring hijau
9 Ujang Teteng Sumberjaya
Tokoh masyarakat nelayan
10 Azmi Sumberjaya
Juragan sekaligus pedagang besar
11 John Teluk Sepang
Pedagang pengumpul
12 Husnan Thaib Sumberjaya
Tokoh masyarakat nelayan
13 Babulhaerin LSM
SNEB- Bengkulu
14 Zainal Kandang
Tokoh masyarakat nelayan
15 Firman Kandang
Buruh tambak
16 Muchtar Zaimi Kandang
Nelayan Sampan
17 Buyung Kandang
Ketua kelompok nelayan Bina Bahari
18 Nofrizal Kandang
Pedagang emberan
19 Beddu Sumberjaya
Petambak sekaligus toke
20 Ir. Azwari D. Dinas perikanan dan
kelautan Kota Kadis Perikanan dan Kelautan Kota
Bengkulu Bengkulu

3.2.4. Metode Analisis Data

Untuk menjawab tujuan dalam penelitian ini, maka analisis yang


digunakan adalah :
1. Analisis data untuk kondisi sumberdaya alam pesisir.
Dalam penelitian ini sumberdaya alam pesisir akan dibatasi pada
sumberdaya perikanan laut dan sumberdaya mangrove.
a. Analisis potensi sumberdaya perikanan laut
Analisis data sumberdaya perikanan laut meliputi potensi lestari dan
tingkat pemanfaatannya. Data yang diperlukan berupa data fishing ground,
jumlah ikan yang didaratkan dan alat tangkap pada suatu kawasan
penangkapan yang digunakan. Metode yang dilakukan dalam pendugaan
potensi lestari dan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan laut dengan
menggunakan metode surplus produksi yaitu menghubungkan upaya
penangkapan (effort) dan CPUE (catch per unit effort) alat tangkap.
Model surplus produksi (Fauzi, 2000) persamaannya dapat ditulis
sebagai berikut: Biomas pada t+1 = biomas pda t + produksi - mortalitas
alami maka laju perubahan biomas yaitu:
dx
=f (x)............................................................................... (1)
dt
Fungsi f (x) adalah fungsi pertumbuhaan. Fungsi pertumbuhaan logistik ditulis
sebagai berikut:
dx
.= rx(1- x/K.)................................................................... ( 2)
dt
Dengan memasukan penangkapan H kedalam model dan penangkap
berkorelasi linear terhadap biomas (x) dan input produksi E (effort). H = qxE.
dimana q adalah koeifisien tangkap maka laju pertumbuhaan biomas menjadi.
dx ⎛ x⎞
= rx ⎜1 − ⎟ − qxE .............................................................. (3)
dt ⎝ K⎠
Untuk mengetahui potensi lestari sumberdaya perikanan dilakukan
dengan pendekatan Gompertz (Fauzi,2000).
⎛ − qE ⎞
⎜ ⎟
ht = q K Et exp ⎝ r ⎠
................................................................... (4)
Untuk mendapatkan nilai parameter r q dan K dilakukan dengan teknik
yang dikembangkan oleh Clarke, Yoshimoto dan Pooley (Fauzi, 2000)

ln U t +1 =
2r
ln (qK ) +
(2 − r ) ln(U ) − q (E + E ) ......... (5)
(2 + r ) (2 + r ) t
(2 + r ) t t +1
Untuk menganalisis nilai degradasi sumberdaya perikanan
mengunakan pendekatan analisis model Amman dan Durraipah (Fauzi, 2000).
1
Nilai degradasi: = ha .......................................................... (6)
1+ e hs

b. Untuk mendapatkan data kondisi mangrove digunakan :


• Analisis ekologis meliputi identifikasi kondisi, penyebaran, luas dan
persentase ekosistem mangrove.

• Analisis komparatif yaitu membandingkan antar data spasial yang diperoleh


sehingga menghasilkan keterkaitan antar data spasial.

2. a. Analisis struktur masyarakat menggunakan kerangka sustainable livelihood


(Farrington et al., 1999) yang diidentifikasikan ke dalam lima bentuk modal
yaitu modal manusia, modal alamiah, modal finansial, modal fisikal dan
modal sosial yang dianalisis dengan menjustifikasi ke kategori-kategori,
kemudian diberikan skor, seperti disajikan pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4. Indikator dan Parameter Kerangka Sustainable Livelihood (SL)

No Variabel Indikator Pa

1. Modal Fisikal (Physical a. Sarana produksi • alat produksi/ armada penangkapan/lahan


capital)
• alat tangkap/bibit

b. Sarana pendidikan • Adanya gedung sekolah

• Ketersediaan kelayakan sekolah

• Ketersediaan tenaga pengajar

c. Sarana kesehatan • Keberadaan gedung puskesmas, klinik da

• Kelayakan gedung puskemas, klinik dan la

• Ketersediaan tenaga paramedis

d. Sarana sarana ekonomi


• Adanya ketersediaan lembaga penyedia m

• Adanya kelayakan lembaga penyedia mod

• Adanya ketersediaan fasilitas pasar

• Kelayakan fasilitas pasar

• Ketersediaan gedung telkom, wartel, dan


e. Sarana komunikasi
• Ketersediaan kantor pos

• Tingkat kelayakan jalan yang ada


f. Sarana transportasi
• Ketersediaan transportasi darat seperti se
a. Tingkat pendidikan • Pendidikan formal yang pernah diikuti

b. Tingkat kesehatan • Frekuensi terjangkitnya penyakit

• Frekuensi mengunjungi tempat berobat

a. Solidaritas • Keterbukaan dalam melakukan jaringan sosial dengan siapapun ke

b. Kepercayaan antar sesama • Tingkat kepercayaan terhadap sesama

c. Kerjasama • Keperdulian terhadap sesama

• Kedekatan dengan orang yang diberi perhatian

• Sumber motivasi untuk memperhatikan dan membantu orang lain

• Tingkat keinginan untuk menumbuhkan dan berbgai pengalaman t

a. Kepemilikan aset • Kepemilikan armada penangkapan

b. Sanitasi Lingkungan • Pembuangan Sampah

• Pembuangan drainase

• Pembuangan Kotoran

a. Pendapatan Utama • Besarnya pendapatan yang diperoleh

b. Sumber Modal • Berasal dari milik sendiri atau berasal dari Lembaga keuangan non
b. Struktur kelembagaan masyarakat dianalisis menggunakan metode analisis
deskriptif yang menggunakan data-data primer maupun sekunder. Data
primer diperoleh melalui wawancara, dan pengamatan lapangan. Data
sekunder diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang relevan dan statistik
potensi desa tahun 2006. Dalam analisis ini kerangka yang digunakakan
adalah kerangka analisis Schmid (Pakpahan,1989), yang mencirikan suatu
kelembagaan :

1. Batas kewenangan (jurisdictional boundary). Konsep batas


jurisdiksi atau batas kewenangan dapat diartikan sebagai batas
wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu
preferensi. Dalam organisasi, batas kewenangan menentukan siapa
saja dan apa yang tercakup dalam organisasi.

2. Hak dan kewajiban (property right). Konsep ini bermakna sosial


yang berimplikasi ekonomi. Konsep hak kepemilikan sendiri dari
hak (right) dan kewajiban (obligation) semua lapisan peserta
didefenisikan/diatur oleh peraturan yang menjadi pegangan, adat
dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota
masyarakat. Oleh karena itu tidak seorangpun dapat mengatakan
hak milik atau hak penguasaan jika tanpa pengesahan masyarakat
sekitarnya dimana dia berada. Implikasinya adalah (a) hak
seseorang adalah kewajiban orang lain; (b) hak yang tercermin oleh
kepemilikan (ownership) adalah sumber kekuasaan untuk
memperoleh sumberdaya tersebut. Hak tersebut dapat diperoleh
melalui berbagai cara seperti melalui pembelian, pemberian bonus
sebagai balas jasa, pengaturan administrasi seperti subsidi
pemerintah terhadap kelompok masyarakat.

3. Aturan representasi (rule of representation). Aturan representasi


mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa
akibatnya terhadap performance akan ditentukan oleh kaidah
representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan.
Dalam proses ini bentuk partisipasi tidak ditentukan oleh besarnya
uang rupiah yang dibagikan,melainkan ditentukan oleh keputusan
kebijaksanaan organisasi dalam membagi beban dan manfaat
anggota yang terlibat.

3. Untuk menentukan bentuk pemberdayaan masyarakat dalam pengendaliaan


degradasi sumberdaya pesisir yang sesuai dengan status sumberdaya alam,
struktur masyarakat pesisir dan kelembagaan masyarakat pesisir dianalisis
menggunakan teknik A’WOT yaitu gabungan teknik SWOT, yaitu analisis
strenght, weaknesses, opportunities, and threats (SWOT) dan AHP (analytical
hierarchy process) dengan menggunakan software MAHP. Adapun prosedur
analisis secara detail dapat diuraikan sebagai berikut :

Tahapan analisis SWOT yang digunakan dalam menganalisis data


yaitu mengumpulkan semua informasi yang mempengaruhi pemberdayaan
masyarakat pesisir, baik secara eksternal maupun secara internal.
Pengumpulan data merupakan suatu kegiatan pengklasifikasian dan pra-
analisis, pada tahap ini data dapat dibagi dua, yaitu pertama, data eksternal dan
kedua, data internal. Data eksternal meliputi peluang (opportunities) dan
ancaman (threaths) dapat diperoleh dari lingkungan luar yang mempengaruhi
pemberdayaan masyarakat pesisir dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan
lingkungan pesisir. Sedangkan data internal meliputi kekuatan (strengths) dan
kelemahan (weaknesses) diperoleh dari lingkungan dalam masyarakat pesisir
dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan pesisir. Tahapan
pengumpulan data sampai pada tahap analisis dapat dirinci pada Gambar 3 di
bawah ini.
Tahapan Pengumpulan data

Evaluasi faktor eksternal Matrik profil kompotitif


Evaluasi faktor internal

Tahap Analisis Data

Matrik SWOT

Gambar 3. Rangkaian kerja analisis SWOT (Rangkuti, 2000)

Tahap analisis data untuk menyusun faktor-faktor strategi, diolah dalam


bentuk matriks SWOT. Matriks ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana
peluang dan ancaman eksternal yang kemungkinan muncul, demikian pula pada
penyesuaian dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Matriks dapat
menghasilkan empat kemungkinan alternatif kriteria strategi secara detail seperti
disajikan pada Tabel 5 berikut.
Tabel 5. Standar matriks kombinasi SWOT

KEKUATAN (S) KELEMAHAN (W)


IFAS Tentukan 2-10 faktor-faktor kekuatan internal Tentukan 2-10 kelemahan
internal
EFAS

PELUANG (O) Strategi SO Strategi WO


Tentukan 2-10 faktor-faktor Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan Ciptakan strategis yang meminimalkan
Peluang untuk memanfaatkan peluang kelemahan untuk memanfaatkan
peluang

ANCAMAN (T) Strategi ST Strategi WT


Tentukan 2-10 faktor-faktor Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan Ciptakan strategi yang meminimalkan
Ancaman ekternal untuk menghindari ancaman kelemahan dan menghindari
ancaman
Sumber : Rangkuti , 2000

Untuk menentukan prioritas terhadap alternatif strategi pemberdayaan


masyarakat dilakukan dengan menggunakan software MAHP (Modification
analytical hierarchy process) yang merupakan perpaduan antara SWOT dan AHP.
Secara skematis, proses pengambilan keputusan dengan MAHP dapat dilihat pada
Gambar 4 berikut.
Menentukan Prioritas Strategi pengendalian degradasi sumberdaya
alam pesisir melalui pemberdayaan nelayan
Level 1
Fokus

Level 2
Komponen SWOT STRENGTHS WEAKNESSES OPPORTUNITIES TRHEATS

Level 3
Faktor SWOT a b c d e f g h j j k l m n o p q

Level 4
Program Pembentukan Peningkatan peran Rehabilitasi
Kriteria pendampingan kelembagaan serta nelayan dalam ekosistem
dengan melakukan
ekonomi dan memanfaatkan pesisir yang
intervensi
pelestarian sumberdaya pesisir telah
Bobot * komunitas sumberdaya dan laut secara mengalami
(0,3864)
pesisir lestari degradasi
(0,1946) (0,0638) (0,3552)

Level 5 Pembentukan Pengembangan Pengembangan Kegiatan


Alternatif kelembagaan system teknologi konservasi dan
Strategi ekonomi (koperasi silvofishery penangkapan yang rehabilitasi
keluarga) berbasis dalam ramah lingkungan hutan
kekerabatan pengelolaan melalui kelompok- mangrove
(0,3017) tambak dengan kelompok profesi dengan
Bobot * pendekatan (0,2157) pendekatan
buttom up partisipatif
(0,2125) (0,2702)
* Konsistensi penilaian 93,34%

Gambar 4.Proses hirarki penentuan prioritas strategi pengendalian degradasi


sumberdaya pesisir melalui pemberdayaan masyarakat pesisir
(Sumber: dimodifikasi dari Budiharsono, 2004)
Keterangan :
a. Panjang garis pantai ± 63 Km mempuyai potensi sumberdaya perikanan 49,195 ton/tahun
dengan tingkat pemanfaatan 67% (0,5880)
b. Jumlah nelayan 4065 orang dengan produktivitas 25 kg/orang/hari (0,4120)
c. Sistem patron klien (0,2469)
d. Kesenjangan teknologi dan modal (0,1086)
e. Rendahnya tingkat pendapatan nelayan/petambak kecil/buruh (0,3793)
f. Rendahnya modal dalam struktur masyarakat nelayan (0,1054)
g. Kultur masyarakat pesisir yang plural (0,1598)
h. Degradasi hutan mangrove (0,3603)
i. Penggunaan teknologi penangkapan yang tidak ramah lingkungan (0,1075)
j. Meningkatnya konflik sosial nelayan (0,1062)
k. Tangkap lebih (overfishing) (0,3201)
l. Pencemaran perairan (0,1059)
m. Perda zonasi pesisir dan laut Kota Bengkulu (0,1103)
n. Sarana transportasi dari dan ke Kota Bengkulu yang membaik (0,1098)
o. Program reboisasi (0,3975)
p. Kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan (0,1087)
q. Peningkatan skala usaha masyarakat (0,2737)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Eksploitasi Sumberdaya Alam Pesisir di Lokasi Penelitian


4.1.1. Usaha Perikanan Tangkap
Armada penangkapan yang digunakan Nelayan Teluk Sepang
menggunakan kapal motor berkekuatan <5 GT sebanyak 8 unit, kapal motor
berkekuatan 5-10 GT sejumlah 14 unit. Nelayan Sumberjaya menggunakan jenis
mesin motor yang lebih beragam, yaitu mesin motor dengan kekuatan <5 GT
sebanyak 16 unit, berkekuatan 5-10 GT sejumlah 33 unit, berkekuatan 10-20 GT
sebanyak 12 unit, mesin motor 20-30 GT sejumlah 10 unit dan mesin motor
berkekuatan >30 GT ada 8 unit. Nelayan Kandang menggunakan perahu tanpa
motor atau sampan sejumlah 37 unit, kapal motor berkekuatan <5 GT sejumlah
28 unit dan kapal motor berkekuatan 5-10 GT sejumlah 3 unit

Tabel 6. Armada penangkapan nelayan di lokasi penelitian tahun 2006


Kekuatan Jenis Lokasi Penelitian Jumlah
Mesin Motor Teluk Sumberjaya/unit Kandang/unit (Persentase)
Sepang/unit
Tanpa motor 0 0 37 37 (17,62%)
< 5 GT 8 16 28 52 (24,76%)
5 – 10 GT 14 47 6 67 (31,90%)
10 – 20 GT 0 21 0 21 (10%)
20 – 30 GT 0 18 0 18 (8,58%)
> 30 GT 0 15 0 15 (7,14%)
Total 22 117 71 210 (100%)
Sumber : Diolah dari data primer, 2006

Berdasarkan data dari Tabel 8, di Kelurahan Teluk Sepang, Kelurahan


Sumberjaya, usaha penangkapan ikan didominasi armada penangkapan
berkekuatan 5–10 GT (43,88%), sedangkan di Kelurahan Kandang didominasi
armada penangkapan perahu tampa motor atau sampan (52,11%). Di daerah
penelitian usaha penangkapan ikan tergolong pada perikanan artisanal atau
perikanan rakyat (small scale fisheries), yang beroperasi di wilayah perairan
teritorial. Kajian ini sesuai dengan Dwiponggo et al. (1988), bahwa sekitar 90%
perikanan tangkap di Indonesia baru berupa perikanan artisanal, sedangkan
sisanya adalah perikanan maju atau perikanan komersil. Bahkan untuk kondisi
sekarang, menurut Dahuri (2003) perikanan artisanal di Indonesia mencapai
sekitar 98,2%.
Dilihat dari jumlah armada penangkapan di daerah penelitian, terutama
bermesin besar yaitu 10 - >30 GT mengalami peningkatan dari tahun ke tahun
seperti terlihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Perkembangan armada penangkapan berdasarkan jenis mesin motor


tahun 2004 dan tahun 2006 di daerah penelitian
Lokasi Kekuatan Jenis Mesin Motor (Gross Ton/GT)
Penelitian 2004 2006
PTM <5 5-10 10-20 20-30 >30 PTM <5 5-10 10-20 20-30 >30
T. Sepang 0 12 3 0 0 0 0 8 14 0 0 0
Sumberjaya 0 30 35 15 10 10 0 16 47 21 18 15
Kandang 37 15 0 0 0 0 27 28 6 0 0 0
Jumlah 37 57 38 15 10 10 27 52 67 21 18 15

Sumber : Diolah dari data primer, 2006

16

14
Jumlaharmada/unit

12

10

8
6

0
Je nis m e s in PTM <5 GT 5-10 GT 10-20 GT 20-30 GT >30 GT

2004 0 12 3 0 0 0
2006 0 8 14 0 0 0

Gambar 5. Perkembangan jumlah armada penangkapan berdasarkan jenis mesin


Nelayan Teluk Sepang tahun 2004 dan tahun 2006

50
45
40
Jumlah armada/unit

35
30
25
20
15
10
5
0
Je nis m e s in PTM <5 GT 5-10 GT 10-20 GT 20-30 GT >30 GT

2004 0 30 35 15 10 10
2006 0 16 47 21 18 15

Gambar 6. Perkembangan jumlah armada penangkapan berdasarkan jenis mesin


Nelayan Sumberjaya tahun 2004 dan tahun 2006
40

35

Jumlah armada/unit
30

25

20

15

10

0
Je nis m e s in PTM <5 GT 5-10 GT 10-20 GT 20-30 GT >30 GT

2004 37 15 0 0 0 0
2006 27 28 6 0 0 0

Gambar 7. Perkembangan jumlah armada penangkapan berdasarkan jenis mesin


Nelayan Kandang tahun 2004 dan tahun 2006

Perkembangan jenis mesin motor yang digunakan Nelayan Teluk Sepang


dan Nelayan Sumberjaya menunjukkan bahwa usaha penangkapan ikan di daerah
penelitian mengalami peningkatan yakni pada tahun 2004 armada penangkapan
bermesin besar (10->30 GT) 35 unit, mengalami peningkatan sebesar 19 unit pada
tahun 2006. Armada penangkapan Nelayan Kandang menggunakan perahu tanpa
motor (sampan) mengalami penurunan dari 37 unit tahun 2004 menjadi 27 unit
tahun 2006, sedangkan armada penangkapan <5GT mengalami peningkatan 28
unit dari 15 unit. Menurut 85 nelayan tangkap yang dijadikan responden,
sebanyak 15 responden di Kelurahan Teluk Sepang berpendapat bahwa terjadinya
peningkatan disebabkan bertambahnya kapasitas/kemampuan tangkap terhadap
hasil laut karena semakin teraturnya permintaan pasar (51,73%) dan semakin
jauhnya wilayah penangkapan (41,37%), dan (6,89%) menjawab tidak tahu. Di
Kelurahan Sumberjaya, 39 nelayan responden (78,04%) berpendapat bahwa
bertambahnya kemampuan tangkap dikarenakan teraturnya permintaan pasar dan
21,95% dikarenakan semakin jauhnya wilayah penangkapan. Di Kelurahan
Kandang 66,67% menjawab disebabkan teraturnya permintaan pasar, 26,67%
jauhnya wilayah penangkapan, dan 6,67% menjawab tidak tahu, seperti yang
disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Pendapat responden tentang peningkatan usaha perikanan tangkap
Apa yang menyebabkan Lokasi Penelitian
terjadinya peningkatan usaha Jumlah
tangkap di daerah anda (persentase)
Teluk Sumberjaya Kandang
Sepang
Teraturnya permintaan pasar 15 32 10 57 (67,06%)
Jauhnya wilayah penangkapan 12 9 4 25 (29,41%)
Tidak Tahu 2 0 1 3 (3,53%)
Total 29 41 15 85 (100%)
Sumber : Diolah dari data primer, 2006

Berdasarkan uraian di atas memperlihatkan bahwa permintaan pasar


terhadap produk perikanan laut mempengaruhi tingkat pemanfaatannya.
Pemanfaatan sumberdaya perikanan laut di daerah penelitian terlihat pada Tabel 9
berikut.

Tabel 9. Jumlah dan jenis produksi perikanan laut di daerah penelitian tahun 2004
dan tahun 2006
Lokasi Penelitian
Kelompok spesies
Tahun 2004 Tahun 2006
Produksi (ton/thn) Produksi (ton/thn)
Pelagis Besar 1.043,33 1.565,00
Pelagis Kecil 3.546,13 5.319,20
Demersal 769,27 1.153,90
Ikan Karang 1.007,97 1.511,95
Udang 681,87 1.022,80
Cumi-cumi 347,67 521,50
Total 7.396,24 11.094,35
Sumber : Di hitung dari laporan tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bengkulu, 2004 dan
data primer, 2006

6.000,00

5.000,00
Nilai produksi (ton)

4.000,00

3.000,00

2.000,00

1.000,00

0,00
Spesies ikan Pelagis besar Pelagis kecil Demersal Ikan karang Udang Cumi-cumi

2004 1.043,33 3.546,13 769,27 1.007,97 681,87 347,67


2006 1.565,00 5.319,20 1.153,90 1.511,95 1.022,80 521,50

Gambar 8. Perkembangan produksi perikanan laut di daerah penelitian tahun 2004


dan tahun 2006
Jenis ikan yang banyak ditangkap nelayan di daerah penelitian adalah
kelompok spesies pelagis kecil seperti ikan kembung, tongkol, kuwe (gebur),
sarden, selar, belanak, terusan, tenggiri, kapas-kapas dan layang. Hal ini
mengandung arti penangkapan ikan masih terbatas pada spesies tertentu, padahal
beberapa jenis ikan lainnya (pelagis besar, demersal, ikan karang, udang dan
cumi-cumi) memiliki nilai ekonomis, masih belum termanfaatkan secara baik.
Kondisi ini karena kemampuan jangkauan armada penangkapan ikan masih
terbatas pada perairan teritorial. Total produksi tahun 2006 sebesar 11.094,35 ton
jika dibandingkan dengan produksi tahun 2004 sebesar 5.547,18 maka terjadi
peningkatan sebesar 33,4%. Peningkatan ini memperlihatkan bahwa sumberdaya
perikanan laut di daerah penelitian berpotensi sangat besar untuk dimanfatkan
secara optimal. Hal ini sesuai dengan pendapat Masyhudzulhak (2004), bahwa
potensi yang besar ini dapat menciptakan investasi yang menguntungkan bagi
penanaman modal di sektor perikanan laut Kota Bengkulu.
Faktor lain yang mempengaruhi peningkatan pemanfaatan sumberdaya
perikanan laut di daerah penelitian adalah alat tangkap. Jenis alat tangkap yang
digunakan Nelayan Teluk Sepang dan Nelayan Sumberjaya terdiri dari alat
tangkap statis dan alat tangkap aktif. Alat tangkap statis berupa bagan tancap
pinggir, dan alat tangkap aktif berupa jaring lobster/udang,jaring insang, payang,
jaring pukat cincin, bagan perahu, mini trawl, pancing rawai. Nelayan Teluk
Sepang lebih banyak menggunakan jaring insang hanyut 24 unit alat tangkap atau
52,17%, jaring lobster/udang 16 unit atau 34,78% dan 3 unit (6,52%)
menggunakan alat tangkap jaring payang. Di samping itu ada 3 unit (6,52%)
masih menggunakan alat tangkap bagan tancap pinggir. Alat tangkap nelayan
Sumberjaya yang menggunakan jaring insang 29,66% atau 35 unit, jaring
lobster/udang 23,73%, jaring payang 18,64%, jaring pukat cincin 12,71%,
pancing rawai 6,78%, bagan perahu 5,08% dan mini trawl 3,39%. Alat tangkap
nelayan Kandang menggunakan bubu (20%), jaring udang 40%, jaring insang
31,43%, dan bagan tancap pinggir 8,57%, seperti pada Tabel 10 di bawah ini.
Tabel 10. Jenis alat tangkap nelayan di daerah penelitian
Lokasi Penelitian Jumlah
Jenis Alat Tangkap (Persentase)
T. Sepang/unit Sumberjaya/unit Kandang/unit
bubu 0 0 7 7 (3,52%)
Bagan tancap pinggir 3 0 3 6 (3,02%)
Jaring lobster/udang 16 28 14 58 (29,15%)
Jaring insang 24 35 11 70 (35,17%)
Payang 3 22 0 25 (12,56%)
Jaring pukat cincin 0 15 0 15 (7,54%)
Jaring mini trawl 0 4 0 4 (2,01%)
Bagan perahu 0 6 0 6 (3,01)
Pancing rawai 0 8 0 8 (4,02%)
Total 46 118 35 199 (100%)
Sumber : Diolah dari data primer, 2006

40
35
Jumlahalat tangkap

30
25
20
15
10
5
0
Bagan jaring jaring payan pukat m ini Bagan Pancin
Bubu
tancap lobs ter ins ang g cincin trawl perahu g

Teluk Sepang 0 3 16 24 3 0 0 0 0
Sum berjaya 0 0 28 35 22 15 4 6 8
Kandang 7 3 14 11 0 0 0 0 0

Gambar 9. Perkembangan alat tangkap nelayan di daerah penelitian tahun 2006

Jenis alat tangkap yang berkembang dan banyak digunakan nelayan di


daerah penelitian adalah jaring insang (35,17%) dan jaring lobster (29,14%).
Tingginya penggunaan alat tangkap jaring insang karena alat tangkap tersebut
relatif mudah dimiliki dan dioperasikan nelayan, serta menghasilkan tangkapan
ikan yang bernilai ekonomis tinggi. Hal itu dapat dipahami karena dasar perairan
pantai Kota Bengkulu menurut kajian Suyedi (2007) mempuyai kedalaman dasar
laut antara 3 meter hingga 24 meter dan disamping itu alat tangkap insang dan
jaring lobster, materialnya tidak mahal dan mudah diperoleh serta mampu dibuat
nelayan.
Berdasarkan kajian diatas, usaha perikanan laut nelayan Kandang
menunjukkan skala usaha peasant fisher, nelayan Teluk Sepang skala usaha post-
peasant fisher, dan skala usaha perikanan laut nelayan Sumberjaya commercial
fisher. Hal ini sesuai dengan penjelasan Satria (2002), bahwa usaha skala peasant
fisher mempuyai ciri berorientasi pemenuhan kebutuhan sendiri, mengunakan alat
tangkap tradisional dayung atau sampan tidak bermotor dan masih melibatkan
anggota keluarga sebagai tenaga kerja utama, post-peasant fisher menggunakan
teknologi penangkapan kapal motor, masih beroperasi di wilayah pesisir pantai
(teritorial), berorientasi pasar, tenaga kerja tidak lagi tergantung pada anggota
keluarga. Sedangkan skala usaha commercial fisher adalah nelayan yang telah
berorientasi pada peningkatan keuntungan, skala usahanya besar bercirikan
banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status yang berbeda dari buruh hingga
manager, teknologi yang digunakan lebih modern dan membutuhkan keahlian
tersendiri dalam pengoperasian kapal ataupun alat tangkap.

4.1.2. Usaha Budidaya Tambak


Pembukaan lokasi tambak di daerah penelitian baru dimulai tahun
1978/1980, awalnya dipergunakan untuk lahan sawah tadah hujan. Tahun 1989
mulai dikembangkan pertambakan yang mengkonversi hutan mangrove menjadi
tambak dengan komoditi udang windu dan ikan mujair. Tahun 2000-an
perkembangan tambak di wilayah pesisir Kota Bengkulu. Luas tambak di
Kelurahan Teluk Sepang pada tahun 2002 seluas 5,85 ha, di Kelurahan
Sumberjaya seluas 17,33 ha dan di Kelurahan Kandang seluas (Dinas Kelautan
dan Perikanan Kota Bengkulu, 2002). Luas tambak telah berkembang menjadi
9,75 ha di Kelurahan Teluk Sepang, di Kelurahan Sumberjaya 52,45 ha dan di
Kelurahan Kandang 161,06 ha pada tahun 2006, yang disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Perkembangan luas tambak di daerah penelitian tahun 2002 dan tahun
2006
Kelurahan Kecamatan Luas kelurahan Luas Tambak (ha) Jumlah
(ha) Petambak
2002 2006 (KK)

Teluk Sepang Kampung 1936 5,85 9,75 7


Kandang Melayu 473 51,49 161,06 23
Sumberjaya 462 17,33 52,45 15

Jumlah 2871 74,67 170,82 45

Sumber : Diolah dari data primer, 2006

180
160
Luaslahan (ha)

140
120
100
80
60
40
20
0
Tahun 2004 2006

Teluk Sepang 5,85 9,75


Sumberjaya 17,33 52,45
Kandang 51,49 161,06

Gambar 10. Perkembangan luas tambak di daerah penelitian tahun 2002 dan
tahun 2006

Peningkatan luas tambak di daerah penelitian terutama di Kandang dan


Sumberjaya sebesar 161,06 ha dan 52,45 ha menunjukkan perkembangan yang
cepat dalam kurun waktu lima tahun. Meluasnya lahan pertambakan di Kelurahan
Kandang menurut Dinas perikanan dan kelautan Kota Bengkulu (2000)
disebabkan kualitas air yang meliputi pH, salinitas dan suhu sesuai dengan habitat
kepiting bakau, masih adanya pengaruh pasang surut serta terbebas dari sumber
pencemaran menjadikan Kelurahan Kandang sebagai percontohan budidaya
kepiting bakau. Hal ini di perkuat dari hasil kualitas perairan yang dilakukan
disajikan dalam Tabel 12. dibawah ini.
Parameter kualitas air Baku Mutu Kandungan yang terdapat
Suhu 5-320C 28-33 0 C
pH 7,5 – 8,3 7,25 – 7,45
Kadar garam (salinitas) 30 – 32 ppt 23 – 40 ppt
Oksigen terlarut 4-8 ppm 7 – 8 ppm
Nitrit Nitrogen (N02-N) 0 – 0,05 ppm 0 – 009 ppm
Amoniak (NH3-N) < 0,02 ppm 0,001 – 0,01 ppm
Arus 15 – 30 cm/detik 20 – 30 cm/detik
Sementara itu di Kelurahan Sumberjaya dan Kelurahan Teluk Sepang
disebabkan oleh adanya permintaan produk tambak (udang) yang semakin
meningkat dengan harga yang relatif tinggi yaitu pada tahun 2006 harga udang
mencapai Rp. 55.000/kg. Tingginya harga udang ini, sebagai pemicu pembukaan
hutan mangrove menjadi tambak. Kondisi ini ternyata berlaku sama dengan
komunitas tambak di daerah lain, dan menurut Pringgono (2005), meluasnya
tambak di Delta Mahakam karena tingginya nilai tukar dolar terhadap rupiah
sehingga harga udang tinggi, yaitu Rp. 35.000/Kg saat itu.
Keberadaan tambak di daerah penelitian menurut responden, sebanyak
54,56% dikarenakan permintaan udang meningkat dengan harga yang relatif
tinggi. Disamping itu adanya dukungan lembaga non bank sebagai patron
(31,81%) dan adanya tenaga terampil sebagai client (13,63%), turut memperlancar
konversi hutan mangrove menjadi tambak.

Tabel 13. Pendapat responden tentang berkembangnya usaha budidaya tambak


di daerah penelitian
Menurut pendapat saudara, apa yang menyebabkan Lokasi Penelitian
usaha budidaya tambak berkembang cepat ? TS SJ Kdg Jumlah (%)
Permintaan udang meningkat dengan harga relatif tinggi 4 6 8 18 (58,06%)
Dukungan lembaga non bank (patron) 2 3 5 10 (32,26%)
Banyaknya tenaga terampil 1 0 2 3 (9,68%)

Total 7 9 15 31 (100%)
Sumber : Diolah dari data primer, 2006

Disamping itu, pengelolaan tambak di daerah penelitian masih


menggunakan teknologi tradisional, dan kepadatan tebar benur sampai dengan
50.000 ekor per hektar (atau sekitar 17.000 ekor gelondong). Tebar benur yang
dilakukan dua kali setahun yaitu bulan Januari sampai dengan Oktober.
Pemberian pakan, bagi petambak yang letak tambaknya dengan sisa tegakan
mangrove, maka input pakan mengandalkan pakan alami berupa cacing alam,
kerasan serta lumut. Bagi petambak yang letak tambaknya agak jauh ke darat
(sekitar 500 meter), maka pakan yang diberikan pakan buatan seperti jagung
giling, nasi dan berbagai campuran buatan sendiri. Penggantian air tambak hanya
memanfaatkan pasang surut alami saja.
Peningkatan produksi tambak di daerah penelitian, tidak terlepas dari
peningkatan luas tambak dan hasil produksi tambak di Kota Bengkulu, seperti
terlihat pada Tabel 14 berikut.
Tabel 14. Perkembangan luas dan produksi tambak di Kota Bengkulu tahun
2002-2006
Tahun Usaha Budidaya Tambak
Luas (Ha) Produksi (ton)
2002 112 86,70
2003 168 115,46
2004 164 132,26
2005 164 125,37
2006 195,53 322,61
Jumlah 803,53 782,4

Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Bengkulu, 2006

350

300

250

200
Nilai

150

100

50

0
Tahun 2002 2003 2004 2005 2006

Luas lahan (Ha) 112 168 164 164 195,53


Produksi (ton) 86,7 115,46 132,26 125,37 322,61

Gambar 11. Perkembangan luas dan produksi tambak di Kota Bengkulu

Tabel 14 dan Gambar 11 memperlihatkan bahwa produksi hasil tambak


meningkat pada tahun 2006 sebesar 322,61 ton. Peningkatan ini menunjukkan
bahwa usaha budidaya tambak di Kota Bengkulu potensial untuk dikembangkan.
Hal ini sesuai dengan penjelasan dari Acciaioli (1989) bahwa secara garis besar,
di dalam komunitas petambak ada prinsip yang ingin diwujudkan oleh para
petambak di dalam kegiatan pertambakan, yaitu (1) berusaha mendapatkan hasil
panen yang sebesar-besarnya, (2) berusaha memiliki hamparan tambak seluas-
luasnya; dan (3) ingin cepat berhasil dan sukses dalam bertambak. Keinginan
tersebut berimplikasi pada pola perluasan tambak yang cenderung eksploitatif
terhadap sumberdaya mangrove serta pola pengelolaan tambak yang tidak efisien
dan ramah lingkungan.

4.2. Kondisi Sumberdaya Alam Pesisir Kota Bengkulu


4.2.1. Sumberdaya Perikanan Laut
Berdasarkan hasil pendataan dan pengamatan lapangan di Kota Bengkulu
didapatkan alat tangkap yang beragam. Kondisi tersebut disebabkan sumberdaya
perikanan Kota Bengkulu adalah multi species. Untuk mengukur tingkat upaya
tangkap dengan sumberdaya ikan yang multi species tersebut diperlukan
standarisasi jenis alat tangkap yang dominan di Kota Bengkulu. Jenis alat tangkap
yang terdapat di Kota Bengkulu dapat dilihat pada Tabel 15 berikut.

Tabel 15. Jenis alat tangkap nelayan Kota Bengkulu


No Jenis Kota Bengkulu
Unit
1 Jaring insang hanyut 137
2 Jaring insang tetap 71
3 Tramel Net 104
4. Payang 35
5. Dogol 102
6. Pukat Pantai 16
7. Pancing Tonda 80
8. Pancing tetap 63
9. Pukat cincin 60
10. Bagan 15
Jumlah 719 unit
Sumber: Diolah dari data Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bengkulu, 2006

Dari Tabel 15 menunjukkan bahwa alat tangkap yang dominan digunakan


nelayan Kota Bengkulu adalah jenis gillnet (jaring insang hanyut, jaring insang
tetap, trammel net) dan pukat kantong (payang, dogol, pukat pantai). Dengan
merujuk pada jenis alat tangkap yang efisien dalam jumlah trip, standarisasi upaya
tangkap di Kota Bengkulu tahun 1990-2006 disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16. Upaya tangkap dan produksi perikanan laut Kota Bengkulu
Kota Bengkulu
Tahun Upaya Tangkap Produksi (Ton)
(Stnd,Trip,000)
1990 13,430 6.578,5
1991 9,630 4.499,8
1992 17,120 7.088,4
1993 19,880 7.465,6
1994 11,720 6.622,6
1995 22,040 8.463
1996 18,020 7.377,8
1997 20,390 7.766,3
1998 29,990 8.622,6
1999 35,480 11.196,4
2000 38,770 11.435,1
2001 43,630 14.894,7
2002 47,170 15.180
2003 31,936 15.230,80
2004 33,173 16.200,5
2005 35,067 25.982,70
2006 36,902 27.120
Sumber : Diolah dari data DKP Kota Bengkulu, 2006 dan data primer,2006

Produksi perikanan laut Kota Bengkulu rata-rata tahun 1990-1999 sebesar


7.568,1 ton dan pada Tahun 2000-2006 rata-rata produksi sebesar 16.826,6 ton.
Berdasarkan Tabel 16 menunjukkan bahwa upaya tangkap di Kota Bengkulu
mengalami penurunan, sementara produksinya mengalami peningkatan. Upaya
tangkap yang paling besar terjadi pada tahun 2002 yaitu mencapai 47,17
trip/tahun. Upaya tangkap paling rendah terjadi pada tahun 1991 yaitu mencapai
9,63 trip/tahun.
Pendugaan potensi dan pemanfaatan berguna untuk mengetahui besarnya
kapasitas maksimum sumberdaya perikanan laut yang dapat ditangkap secara
terus menerus tanpa mempengaruhi potensi lestari. Dengan menggunakan
parameter biologi Kota Bengkulu (dimodifikasi dari Masyhudzulhak, 2004),
dimana nilai r = 0,794815644, q = 0,084144096, K = 31.415,52, R2 = 0,793 dan
DW = 1,78, maka pendugaan kapasitas maksimum perikanan laut Kota Bengkulu
dengan menggunakan model Gompertz dapat dilihat dalam Gambar 12 berikut.
50
45
40
35
30

Nilai
25
20
15
10
5
0
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Tahun
Produksi Lestari 9,746 8,25 10,57 10,88 9,164 10,98 10,7 10,9 10,56 9,826 9,302 8,466 7,842 9,035 9,729 9,843 9,787
Produksi Aktual 6,578 4,499 7,088 7,465 6,622 8,463 7,377 7,766 8,622 11,2 11,44 14,89 15,18 15,23 16,20 25,98 27,12
Trip 13,43 9,630 17,12 19,88 11,72 22,04 18,02 20,39 29,99 35,48 38,77 43,63 47,17 31,93 33,17 35,06 36,90

Gambar 12. Produksi Aktual, potensi lestari dan upaya tangkap Kota Bengkulu
Tahun 1990-2006

Gambar 12 memperlihatkan bahwa sumberdaya perikanan laut di Kota


Bengkulu telah mengalami tangkap lebih, dalam hal ini tahun 1990-1998 produksi
aktual belum melampaui potensi lestari namun pada tahun 1999 sampai dengan
tahun 2006 telah terjadi lebih tangkap (overfishing). Pada tahun tersebut produksi
aktual telah melampaui kapasitas produksi lestari. Kondisi ini didukung oleh hasil
penelitian Suyedi (2007) bahwa telah terjadi overfishing pemanfaatan beberapa
jenis sumberdaya perikanan laut Kota Bengkulu seperti ikan pelagis besar dan
ikan demersal, dan telah melewati batas nilai dugaan maksimum lestari (Maximum
Sustainable Yield/MSY). Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya
perikanan laut tidak saja meningkatkan produksi tetapi juga menimbulkan
overfishing sumberdaya perikanan.
Overfishing sumberdaya perikanan laut di Kota Bengkulu disebabkan
meningkatnya input produksi yaitu jumlah dan kapasitas armada penangkapan.
Berdasarkan uraian diatas ternyata bertambahnya input produksi dalam
pemanfaatan sumberdaya perikanan sangat berpengaruh terhadap perubahaan
kualitas dan kuantitas sumberdaya perikanan. Input produksi dalam pemanfaatan
sumberdaya perikanan terdiri dari armada penangkapan di Kota Bengkulu dari
tahun ketahun terjadi peningkatan, seperti terlihat pada Gambar 13 dibawah ini.
350

300

Jumlah armada
250

200

150

100

50

0
Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

PTM 178 184 184 175 166 158 150 148 144 144 139 136 132 108 107 102 85
< 5 GT 190 194 194 202 201 207 207 215 221 221 223 227 231 271 301 295 119
5-10 GT 47 49 49 51 50 53 55 59 63 64 66 69 71 79 89 133 102
10-20 GT 26 28 28 28 29 31 33 36 38 38 39 39 40 39 42 44 62
20-30 GT 20 20 20 20 21 21 20 24 24 24 25 25 29 26 36 36 25
> 30 GT 7 7 7 7 12 12 13 14 14 15 15 17 20 20 40 36 35

Gambar 13. Perkembangan armada penangkapan Kota Bengkulu tahun 1990-2002

Gambar 13 menunjukkan perkembangan armada penangkapan Kota


Bengkulu untuk perahu tanpa motor (PTM) pada tahun 1990-2006 menurun dari
178 menjadi 85 unit. Sedangkan kapal motor < 5 GT menurun dari tahun 1990-
2006 sebanyak 119 unit, kapal motor 5-10GT pada tahun 1990 sebanyak 47 unit
pada tahun 2002 menjadi 102 unit, kapal motor 10-20 GT tahun 1990 sebanyak 26
unit menjadi 62 unit pada tahun 2006, kapal motor 20-30 GT pada tahun 1990
sebanyak 20 unit dan pada tahun 2006 menjadi 25 unit dan kapal motor > 30 GT
meningkat 35 unit dari 7 unit tahun 1990. Hal ini menunjukkan penambahan
armada penangkapan meningkatkan pertumbuhan produksi. Peningkatan armada
penangkapan Kota Bengkulu tersebut menunjukan investasi disektor kelautan
yang cukup potensial untuk dikembangkan sebagai penanaman modal, terutama
jenis dan bobot kapal motor 5 GT- 30 GT. Hal ini menunjukkan penambahan
armada penangkapan meningkatkan pertumbuhan produksi. Pendapat ini
memperkuat penelitian Masyhudzulhak (2004), pertumbuhaan armada
penangkapan di Kota Bengkulu menunjukan perkembangan investasi sektor
wilayah pesisir cukup prospektif dan menguntungkan. Namun jika dalam
pertumbuhaan armada tersebut tanpa ada pengaturan berakibat akan terjadi
degradasi untuk meminimumkan dampak dari pertambahan armada penangkapan
dilakukan pengaturan perizinan kapal motor dan penataan jalur-jalur operasi.
Pengaturan sangat penting dari perkembangan armada penangkapan telah terjadi
penyusutan armada penangkapan perahu tanpa motor akibat persaingan dalam
pemanfaatn sumberaya perikanan..
4.2.2. Mangrove
Hutan mangrove di Propinsi Bengkulu pada umumnya didominasi jenis
Aviciennia officinalis, Bruquiera gymnorrhiza, Rhizophora apiculata, Sonneratia
graffiti, dan Xylocarpus granntum (Fakultas Kehutanan IPB, 2000). Spesies
mangrove yang mendominasi wilayah pesisir Propinsi Bengkulu, tidak berbeda
dengan daerah lain, hanya jenis dan susunan ekosistem yang berbeda. Di
Kabupaten Karawang, jenis hutan mangrove terdiri dari jenis Rhizophora
apiculata, Rhizophora mucrota, Aviciennia marina, Sonneratia alba dan
Lumnitzera recomosa (Karim, 2005). Di Kabupaten Indramayu, komunitas hutan
mangrove didominasi jenis Aviciennia marina, Rhizophora mucrota, Bruquiera
sp., dan Nypa sp (Hasan, 2004).
Hutan mangrove di Propinsi Bengkulu dengan luas 20.644 ha, tersebar di
tiga kabupaten dan satu kota, yaitu Kabupaten Muko-Muko dengan luas 4 ha,
Kabupaten Bengkulu Utara seluas 19600 ha, Kabupaten Bengkulu Selatan seluas
40 ha dan Kota Bengkulu dengan luas 1000 ha (Atlas Sumberdaya Pesisir dan
Laut Propinsi Bengkulu, 2002), seperti disajikan pada Tabel 17 berikut.

Tabel 17. Lokasi mangrove di Propinsi Bengkulu tahun 2002


No Lokasi Ditemukan Mangrove Kabupaten Luas (ha)
1 Muara Sungai Selangan Muko-Muko Utara Muko-Muko 4
2 Pulau Baai Kota Bengkulu 1000
3 Pulau Enggano Bengkulu Utara 19600
4 Pasar Ngalam (Pulau Tengah, Pulau Kandis) Bengkulu Selatan 40
To t a l 20644
Sumber : Atlas Sumberdaya Pesisir dan Laut Propinsi Bengkulu, 2002

Penyebaran ekosistem mangrove di Kota Bengkulu terletak di dua


kecamatan, yaitu Kecamatan Gading Cempaka dan Kecamatan Kampung Melayu
seluas 1000 ha pada tahun 2002 (Atlas Sumberdaya Pesisir dan laut Propinsi
Bengkulu, 2002). Sebaran ekosistem mangrove yang terdapat di Kecamatan
Kampung Melayu relatif luas yaitu 999,63 ha, terletak di tiga kelurahan yaitu
Kelurahan Kandang luasnya 298,68 ha, Kelurahan Teluk Sepang seluas 529,07 ha
dan Kelurahan Sumberjaya seluas 171,88 ha, seperti pada Tabel 18 berikut.
Tabel 18. Lokasi mangrove di Kota Bengkulu tahun 2002
No Lokasi di temukan mangrove Kecamatan Luas (ha)
1. Kelurahan Kandang Kampung Melayu 298,68
Kelurahan Teluk Sepang 529,07
Kelurahan Sumberjaya 171,88
Jumlah 999,63
2. Kelurahan Padang Harapan Gading Cempaka 0,37
Jumlah Total 1000
Sumber : Bappeda Kota Bengkulu, 2002; Dinas Kehutanan Kota Bengkulu, 2002

Penyebaran ekosistem mangrove di Kecamatan Kampung Melayu terletak


di kawasan pesisir Pulau Baai, yang tersusun atas Sonneratia alba, Rhizophora
apiculata, Avicennia marina, Ceriops tagal, Bruguiera gymnorrhiza, Cerbera
manghas, Lumintzera litorea, Hibiscus titiaceus dan Xylocarpus granatum. Jenis
Sonneratia alba dan Avicennia marina menempati daerah pinggiran sungai,
selanjutnya diikuiti oleh Rhizophora apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza,
sedangkan Lumintzera litorea menempati areal lebih ke darat (Atlas Sumberdaya
Pesisir dan Kelautan Kota Bengkulu, 2002).
Dari hasil identifikasi lapangan (2007), susunan ekosistem mangrove yang
dijumpai di Kelurahan Teluk Sepang pada zonasi dekat laut didominasi jenis
Rhizophora apiculata dengan tinggi rata-rata pohon 1,2 meter, diameter rata-rata
5,1 centimeter. Jenis tegakan ini sebagian besar tumbuh di pinggir pantai secara
berkelompok. Jenis Avicennia marina rata-rata tingginya 2,4 meter. Jenis
Bruguiera gymnorrhiza juga ditemukan dengan tinggi rata-rata 3,6 meter dan
berdiameter rata-rata 8,28 centimeter. Di Kelurahan Sumberjaya, ekosistem
mangrove yang ditemui tersusun atas jenis Avicennia marina, menempati daerah
pinggiran sungai atau bagian depan teluk dengan tinggi rata-rata pohon 3,1 meter,
diameter rata-rata 5,4 centimeter dan Rhizophora apiculata dengan tinggi rata-rata
pohonnya 1,3 meter, berdiameter 5,2 centimeter. Di Kelurahan Kandang,
ekosistem mangrove jenis Rhizophora apiculata, yang ditemui lebih ke arah darat.
Tinggi rata-rata pohonnya 3,4 meter dengan diameter 5,3 centimeter, begitu juga
jenis Lumintzera litorea, dengan rata-rata tinggi pohon 1,5 meter, dan berdiameter
5,1 centimeter. Susunan ekosistem mangrove di kelurahan ini menunjukkan telah
berkurangnya keanekaragaman jenis ekosistem mangrove.
Kondisi hutan mangrove di Kelurahan Teluk Sepang, Kelurahan
Sumberjaya, dan Kelurahan Kandang, teridentifikasi telah terdegradasi. Hal ini
terlihat dari penurunan luas hutan mangrove di Kelurahan Teluk Sepang tahun
2002 dari luas 529,07 ha, dan dalam kurun waktu lima tahun (2007) luasan
tertinggal 367,70 ha dalam kondisi baik dan 161,37 ha kondisinya rusak. Di
Kelurahan Sumberjaya, dari luasan mangrove 171,88 ha pada tahun 2002,
mengalami penurunan dalam kurun waktu lima tahun (tahun 2007) seluas 92,5 ha
yang kondisi mangrovenya baik, dan mangrove di Kelurahan Kandang tahun 2007
mengalami penurunan sampai seluas 74,82 ha dari 298,68 ha pada tahun 2002.
Penurunan luas mangrove disajikan pada Tabel 19 berikut.

Tabel 19. Penurunan luas hutan mangrove di daerah penelitian pada tahun 2002
dan tahun 2007
Luas mangrove (ha)
No KECAMATAN Kelurahan 2002 2007
Sumberjaya 171,88 92,5
1 Kampung Melayu Teluk Sepang 529,70 367,70
Kandang 298,68 74,82
T o t a l 999,63 578,77
Sumber : Atlas sumberdaya pesisir dan laut Kota Bengkulu (2002) dan data primer, (2007)

600
Luas lahan (ha)

500

400

300

200

100
0
Tahun 2004 2006

Teluk Sepang 529,07 367,7


Sumberjaya 171,88 92,5
Kandang 298,68 74,82

Gambar 14. Penurunan luas mangrove di daerah penelitian (sumber: atlas


sumberdaya pesisir dan lautan Kota Bengkulu, 2002 dan data
primer, 2007)
Berdasarkan Tabel 19 dan Gambar 14 menunjukan bahwa hutan mangrove
di Kota Bengkulu terdegradasi. Degradasi hutan mangrove di daerah penelitian
disebabkan adanya aktivitas masyarakat yang mengkonversi hutan mangrove
menjadi pertambakan, permukiman, perkebunan sawit, lahan pertanian
hortikultura dan terminal penampungan batu bara. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Masyhudzulhak (2004) bahwa penyebab kerusakan hutan mangrove di
Propinsi Bengkulu akibat adanya konversi hutan mangrove. Hasil ini sejalan
dengan penjelasan Nybakken (1988); Dahuri et al. (2001) dan Bengen (2002),
bahwa kerusakan ekosistem mangrove selain disebabkan faktor alam, juga
dikarenakan akibat campur tangan manusia dengan mengkonversi lahan mangrove
menjadi tambak, permukiman, industri, dan lain-lain, seperti yang disajikan pada
Gambar dari data spasial dibawah ini.
Gambar 15. Sebaran mangrove di Kelurahan Sumberjaya tahun 2002
Gambar 16. Sebaran mangrove di Kelurahan Sumberjaya tahun 2007
Gambar 17. Sebaran mangrove di Kelurahan Teluk Sepang tahun 2002
Gambar 18. Sebaran mangrove di Kelurahan Teluk Sepang tahun 2007
Gambar 19. Sebaran mangrove di Kelurahan Kandang tahun 2002
Gambar 20. Sebaran mangrove di Kelurahan Kandang tahun 2007
Data spasial pada Gambar 15 - 20, menunjukkan bahwa konversi hutan
mangrove tergambar dari penutupan lahan (landcover) dari penggunaan lahan di
daerah penelitian. Di Kelurahan Sumberjaya tahun 2002 penggunan lahan yang di
peruntukkan tambak seluas 17,33 ha, permukiman seluas 73,24 ha, perkebunan
sawit seluas 9,75 ha dan perkebunan campuran seluas 22,98 ha. Dalam kurun
lima tahun (tahun 2007), tidak terjadi peningkatan untuk lahan permukiman,
perkebunan sawit, perkebunan campuran. Hal ini dikarenakan terbatasnya lahan,
justru terjadi penambahan luas tambak sekitas 52,45 ha.
Di Kelurahan Teluk Sepang, penggunaan lahan tahun 2002 untuk
permukiman 46,71 ha, perkebunan campuran seluas 619,89 ha, perkebunan sawit
291,40 ha. Namun pada tahun 2007, penggunaan lahan yang diperuntukkan
perkebunan sawit terjadi peningkatan seluas 411,1 ha. Dan peruntukan lahan
tempat penampungan batu bara seluas 12,68 ha. Peningkatan lahan perkebunan
sawit, dikarenakan adanya kebijakan pemerintah daerah yang menetapkan
Kelurahan Teluk Sepang sebagai daerah perkebunan sawit.
Penutupan lahan di Kelurahan Kandang untuk permukiman 59,45 ha,
perkebunan campuran 39,43 ha, perkebunan sawit 7,22 ha, tambak 51,49 ha,
hutan pantai 94,09 ha, semak belukar 44,14 ha dan hutan mangrove 99,08 pada
Tahun 2002. Luas penutupan lahan Tahun 2007 mengalami perubahan luasnya,
antara lain hutan mangrove menjadi 74,82 ha, tambak 161,06 ha, permukiman
72,79 ha dan hutan pantai 73,36 ha. Sedangkan untuk luas lahan perkebunan
campuran, perkebunan sawit, semak belukar tidak mengalami perubahan.
Perubahan penutupan lahan (land cover) dapat dilihat pada Tabel 20 berikut.
Tabel. 20. Luasan Penutupan Lahan (landcover) Di Daerah Penelitian

Lokasi Luas Penutupan Lahan/Landcover (ha)


Penelitia
n Tah Huta Mangr Penampun Pemuki Perkebu Perkebu Sema Sung Tamb Jumla
un n ove gan Batu man nan nan k ai ak h
Pant bara Sawit Campur Belu
ai an kar

Sumberj 200 166, 142,17 0 73,24 9,75 22,98 0 37,7 17,33 303,2
aya 2 89 5 2

200 166, 92,25 0 73,24 9,75 22,98 5,82 37,7 52,45 461,1
7 89 5 3

Persentase (%) 43,6 30,67 0 19,16 2,55 6,01 0,76 9,88 9,13 100
7

Teluk 200 94,0 496,17 0,04 46,71 291,26 619,89 382,7 19,7 9,75 1960,
Sepang 2 9 9 4 44

200 73,3 367,10 12,68 46,71 710,23 350,16 346,2 19,7 9,75 1935,
7 6 2 4 95

Persentase (%) 4,30 22,16 0,37 2,40 25,70 24,90 18,71 1,01 0,50 100

Kandan 200 94,0 99,08 0 59,45 7,22 39,43 44,14 0 51,49 335,4
g 2 9 6

200 73,3 74,82 0 72,79 7,22 39,43 44,14 0 161,0 472,8


7 6 6 2

Persentase (%) 20,7 21,49 0 16,36 1,76 9,76 10,92 0 26,29 100
2

Sumber : Data spatial penggunaan lahan Kota Bengkulu, 2002 dan data primer,
2007
Berdasarkan luasan penutupan lahan (landcover) pada Tabel 20
menunjukkan bahwa keberadaan ekosistem hutan mangrove di Kota Bengkulu
yang letaknya terpencar-pencar dan tidak begitu luas, secara keseluruhan, ternyata
mangrove sangat penting untuk stabilitas ekosistem wilayah pesisir terutama
sumberdaya perikanan laut. Hal ini sesuai dengan gambaran Sugandy (1993)
bahwa ekosistem mangrove merupakan suatu ekosistem peralihan antara daratan
dan lautan yang menjadi mata rantai yang sangat penting dalam pemeliharaan
keseimbangan siklus biologi di suatu perairan, tempat berlindung dan memijah
berbagai jenis udang, ikan, dan berbagai biota laut lainnya, dan selain itu sesuai
dengan penjelasan Alikodra (2005) bahwa ekosistem mangrove juga tempat
habitat satwa seperti burung, primata, reptilia, insekta, sehingga secara ekologis
maupun ekonomis dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan manusia,
dengan berkurangnya hutan mangrove akan mempengaruhi sumberdaya alam
pesisir.

4.3. Struktur Masyarakat Pesisir Kota Bengkulu


Masyarakat pesisir di Teluk Sepang, Sumberjaya dan Kandang, secara
administratif masuk kedalam wilayah Kecamatan Kampung Melayu, Kota
Bengkulu, Propinsi Bengkulu. Luas wilayah kelurahan Teluk Sepang 2025 ha,
dengan jumlah penduduk sampai tahun 2005 yaitu 2.731 jiwa terdiri dari jumlah
laki-laki 1.476 jiwa dan perempuan 1.255 jiwa. Jumlah penduduk tersebut
meliputi 661 kepala keluarga (KK), 14 rukun tetangga dan 4 rukun warga. Jumlah
penduduk yang mata pencahariannya sebagai nelayan berjumlah 120 KK dengan
rincian 144 jiwa.
Masyarakat pesisir di Kelurahan Teluk Sepang telah ada sejak tahun 1989,
dimana lahan Teluk Sepang dahulu merupakan lahan garapan orang pendatang
dari Bugis. Saat terjadinya gelombang besar di daerah Pasar Bengkulu, Malabero
dan Pondok Besi tahun 1989, oleh pemerintah kota saat itu memindahkan
penduduk di daerah terkena bencana Teluk Sepang sebagai desa binaan dari Dinas
Sosial. Setiap kepala keluarga diberi bantuan satu rumah dengan ukuran 4 x 6 dan
tanah sekitar 2 ha per kepala keluarga. Masyarakat pesisir Teluk Sepang berasal
dari berbagai suku antara lain etnis Minang, Bugis, Serawai, Jawa, Batak dan
Bengkulu Asli (Lembak).
Komunitas nelayan Teluk Sepang merupakan nelayan tradisional yang
kehidupannya sangat tergantung pada hasil laut. Seperti juga masyarakat petani
yang kehidupannya tergantung pada irama musim, pasang surut kelangsungan
hidup keluaarga nelayan tradisonal di Teluk Sepang sangat dipengaruhi musim
panen dan musim paceklik ikan. Ketika laut sedang tidak bersahabat dan ikan-
ikan cenderung bersembunyi di dasar laut, maka pada saat itu pula rejeki terasa
seret dan banyak keluarga-keluarga nelayan tradisional kemudian harus hidup
serba irit, bahkan kekurangan. Satria (2001) mengemukakan nelayan tradisional
mempuyai pola hubungan sosial produksinya cenderung kearah egaliter dan semi
hirarkis, unit produksinya kelompok kecil (antara 1-3 orang), dan sifat non
eksploitatif. Kusnadi (2000) menyatakan bahwa nelayan tradisional disamakan
dengan nelayan subsistensi, pra industri, berskala kecil dan beroperasi di perairan
pantai.
Kelurahan Sumberjaya terbagi menjadi dua daerah, yaitu sebelah timur
sebagai daerah pertanian, sedangkan daerah barat sebagai daerah perikanan.
Meski terbagi menjadi dua wilayah sektor ekonomi, sektor perikanan masih
menjadi sektor yang paling dominan dengan mampu menyerap tenaga kerja tidak
kurang dari 400 orang, sedangkan sektor pertanian hanya mampu menyerap
tenaga kerja tidak lebih dari 25 orang. Menurut data Kelurahan Sumberjaya, luas
wilayah 1500 ha. Jumlah penduduk secara keseluruhan berjumlah 5.226 jiwa,
dengan perincian jumlah laki-laki 2.721 jiwa dan jumlah perempuan 2.505 jiwa.
Sedangkan jumlah kepala keluarga mencapai 1.242 KK. Dengan demikian untuk
kepadatan mencapai mencapai 3,4 jiwa/Km. Masyarakat pesisir di Sumberjaya
telah ada sejak tahun 1977, ketika itu pendatang suku Bugis dan Palembang
membuka dan menggarap lahan yang masih kosong. Semakin meningkatnya
jumlah masyarakat pesisir yang tinggal berasal dari etnis Batak, Aceh, Minang,
Lubuk Linggau, lahat, Bengkulu Selatan bahkan ada dari Madura.
Kondisi geografis perkampungan masyarakat pesisir di kelurahan
Sumberjaya terpusat di sekitar daerah pinggiran pantai, hanya dibatasi dengan
jalan raya. Di sepanjang bibir pantai sudah dibangun dinding pembatas antara
wilayah lautan dan wilayah daratan, membentang dari ujung pelabuhan lokal
sebelah selatan ke utara. Hal ini sangat penting untuk menghindari pengikisan
ombak. Permukiman penduduk memusat di sebelah darat dari jalan yang
menempati lahan dikelilingi juga oleh alur-alur sungai dari laut, yang sebagian
besar oleh komunitas dijadikan sebagai tempat melabuhkan atau menyandarkan
kapal-kapal mereka, yang disebut tangkahan.
Kelurahan Kandang mempuyai jumlah penduduk 9.088 jiwa, dengan
jumlah laki-laki 4.454 jiwa dan perempuan 4.634 jiwa. Jumlah kepala keluarga
2.050 KK. Di Kelurahan Kandang terdapat berbagai macam etnis, yaitu etnis Asli
Bengkulu, Jawa, Sunda, Bugis, Batak, dan Minang. Kondisi masyarakat pesisir di
Kelurahan Kandang sebagian besar adalah nelayan (18,92%) dan petambak
(20,57%). Heterogenitas etnis di komunitas masyarakat pesisir Kota Bengkulu
memberikan keragaman dalam masyarakat yang terkelompok dari berbagai jenis
etnis dan jenis alat tangkap yang ada. Keragaman ini, menurut Satria (2001)
menyebabkan perubahan sosial baik struktural maupun kultural dengan
munculnya berbagai status baru dalam kegiatan menangkap ikan terutama
peningkatan arus modal dan teknologi maupun industrilisasi di berbagai sektor.

Tabel 21. Etnis masyarakat pesisir di daerah penelitian


Etnis Teluk Sepang (%) Sumberjaya (%) Kandang (%)

Bugis 23 (15,95%) 105 (24,8%) 54 (22,22%)


Minang 96 (66,7%) 76 (17,9%) 34 (13,99%)
Batak 15 (10,5%) 126 (29,97%) 30 (12,35%)
Serawai 10 (6,9%) 0 51 (20,98%)
Madura 0 41 (9,6%) 11 (4,53%)
Asli Bengkulu 0 62 (14,7%) 27 (11,12%)
Lahat 0 14 (3,3%) 0
Jawa 0 0 36 (14,81%)

Jumlah 144 (100%) 424 (100%) 243 (100%)

Sumber : Diolah dari data primer, 2006


4.3.1. Keragaan Modal Struktur Masyarakat Pesisir
Modal Fisikal
Modal fisikal yang dimiliki oleh masyarakat pesisir di Teluk Sepang,
Sumberjaya dan Kandang dikaji dari ketersediaan sarana produksi, sarana
pendidikan, sarana kesehatan, sarana ekonomi, sarana transportasi, seperti pada
Tabel 22 berikut.
Tabel 22. Modal fisikal nelayan di daerah penelitian
Lokasi Penelitian
Modal Fisikal Indikator Kandang Teluk Sepang Sumberjaya Jumlah
Sarana Produksi 5 GT, 5-10 GT,
Nelayan Armada Sampan (PTM), < 5 GT , 5-10 GT 10-20 GT, 20-30 GT 139 unit
Penangkapan < 5 GT dan > 30 GT
(Unit) Bagan Tancap Pinggir, Jaring insang, jaring 164 buah
Alat tangkap Bubu, jaring jaring insang, jaring udang/lobster, payang,
udang, jaring udang/lonster, jaring jaring pukat kantong,
insang payang jaring mini trawl,
bagan perahu, pancing
9,75 ha rawai
Petambak Lahan (Ha) Udang, kepiting 52,45 ha 62,2 ha
Produksi (ton) Udang, kepiting Tradisional Udang, Ikan Bandeng 13,27
Teknologi Semi tradisional Cacing alam, kerasan, Tradisional ton
Pakan Jagung giling, dan lumut Jagung giling, nasi,
Berbagai dan berbagai
campuran buatan campuran buatan
sendiri sendiri 10 orang
Tenaga kerja Suku Bugis
- Pemilik Suku Asli
Bengkulu Suku Bugis, Madura, Suku Bugis, Madura 23 orang
- Penjaga Suku Jawa, sunda Jawa
Suku Bugis, Jawa
Sarana Bangunan TK, SD, Sekolah Dasar (SD) Taman Kanak-Kanak 6 Buah
Pendidikan sekolah Madrasah Sekolah Dasar (SD)
Sarana Kesehatan Bangunan Puskesman Puskesmas Pembantu, Puskesmas Pembantu, 15
Pembantu Posyandu Posyandu petugas
Dokter, mantri, Dokter, perawat,
Petugas Dokter, perawat perawat bidan
Sarana Ekonomi Pasar umum Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Toko/warung Bahan kebutuhan Bahan kebutuhan RT, Bahan kebutuhan RT, 8 Buah
RT, Sayur nayur sayur mayur Sayur mayur, Warung
Lembagaekonomi Koperasi Nelayan Nasi,TPI,KUDnelayan 3 Buah
Sarana Jalan Motor, sepeda, Jalan setapak, jalan Jalan aspal 10 jalan
Transportasi Alat transportasi Angkutan umu aspal, Jalan kaki, Sepeda motor, mobil,
Sepeda, Motor, Mobil, angkutan umum
Angkutan umum

Sumber : Diolah dari data primer, 2006


Dari Tabel 22 terlihat, sarana produksi yang dimiliki di daerah penelitian
menunjukkan nelayan di Teluk Sepang dan Kandang merupakan nelayan
tradisional dan nelayan Sumberjaya terkategori nelayan modern. Hal ini sesuai
pendapat Seafdec (1978) yang mengelompokkan aktivitas perikanan berdasarkan
ukuran kapal/perahu dan perbedaan perahu tanpa motor dengan kapal. Pendapat
ini di dukung oleh pendapat Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Bengkulu
(1999) yang menggolongkan nelayan di Propinsi Bengkulu berdasarkan
perbedaan antara perahu/kapal. Dari penggolongan nelayan di Kota Bengkulu,
Nelayan Teluk Sepang mempuyai armada penangkapan dengan kekuatan <5 – 10
GT dengan beranggotakan 1-3 orang, sedangkan Nelayan Sumberjaya mempuyai
armada penangkapan 5- > 30 GT dengan anak buah kapal berjumlah >30 orang.
Kondisi ini sesuai pendapat Satria (2001) bahwa sistem tradisional mempuyai
struktur cenderung kearah egaliter dan semi hirarkis, ukuran unit produksinya
kelompok kecil (antara 1-3 orang), dan bersifat non eksploitatif. Sistem modern,
struktur nelayannya sudah hirarkis dengan unit prosuksi kelompok besar
beranggotakan 17-30 orang serta sifatnya semi eksploitatif dan eksploitatif.
Sarana produksi yang dimiliki petambak di daerah penelitian menunjukkan
usaha pertambakan masih tradisional sehingga adanya kecenderungan pemilik
tambak masih memilih memperkerjakan orang lain dari etnis yang sama, bahkan
lebih memilih mereka yang masih memiliki pertalian saudara untuk menggarap
empang yang tidak sanggup digarapnya sendiri. Kondisi ini menciptakan
hubungan sosial berdasarkan kekerabatan. Hubungan ini sesuai dengan pendapat
Pringgono (2005) bahwa dalam komunitas petambak di Delta Mahakam terdapat
hubungan sosial berdasarkan akar rumput dalam kegiatan pertambakan. Hal ini di
dukung pendapat Bullen dan Onyx (1998) bahwa hubungan ini merupakan salah
satu bentuk hubungan sosial untuk mencapai kepentingan tertentu (Bullen dan
Onyx, 1998).
Dilihat dari sarana pendidikan di daerah penelitian masih kurang, dimana
fasilitas sekolah berupa bangunan Taman Kanak-Kanak (TK) dan Sekolah Dasar
(SD). Kondisi ini menunjukkan bahwa perhatian masyarakat nelayan terhadap
pendidikan umum sangat kurang dan ini salah satu penyebab masyarakat nelayan
di daerah penelitian memiliki tingkat pendidikan yang relatif rendah, yaitu hanya
tamatan Sekolah Dasar. Hal ini menurut Kusnadi (2000) menyebabkan
kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat nelayan. Pendapat ini didukung
dengan hasil penelitian Raymond (1994), bahwa masyarakat nelayan memiliki
karakteristik diantaranya tingkat pendidikan nelayan dan anak-anak pada
umumnya rendah.
Sarana kesehatan yang dimiliki nelayan di daerah penelitian menunjukkan
bahwa kualitas dan kuantitas sarana kesehatan sangat kurang sehingga bagi
nelayan yang sakit harus pergi kerumah sakit yang ada di kota atau puskesmas
yang ada di kecamatan. Keterbatasan fasilitas sarana kesehatan ini menyebabkan
kondisi kesehatan masyarakat juga kurang sehingga mempengaruhi kualitas hidup
nelayan. Kualitas hidup sangat menentukan kualitas sumberdaya manusia. Hal
ini didukung oleh pendapat Sajogyo (1996) bahwa rendahnya kualitas kesehatan
menunjukkan aspek ekonomi berpengaruh paling dominan dalam timbulnya
masalah-masalah kesehatan. Ini diperkuat oleh studi yang dilakukan Mubyarto
(1994) di desa Tuban, diketahui bahwa golongan masyarakat yang selalu
mengalami rawan pangan adalah mereka yang tergolong buruh tani dan buruh
nelayan dengan kualitas hidup rendah karena keterbatasan ekonomi keluarga.
Sarana ekonomi yang sangat terbatas menjadikan kelembagaan ekonomi
di daerah penelitian belum berperan dalam memenuhi kebutuhan permodalan.
Belum berperannya kelembagaan ekonomi ini, lebih banyak dimanfaatkan oleh
jaringan juragan/toke dan koperasi keliling sebagai lembaga peminjam modal bagi
nelayan. Besarnya peran lembaga peminjam modal ini menurut Bagong (2004)
sebagai salah satu penyebab timbulnya kemiskinan nelayan. Pendapat ini
diperkuat oleh penelitian Sutawi dan David Hermawan (2003) di Trenggalek,
bahwa ketika lembaga keuangan seperti KUD, TPI atau lembaga keuangan mikro
tidak berperan, maka keberadaan rentenir, tengkulak, pengijon atau bank thitilan
meningkat.
Sarana transportasi di daerah penelitian sangat terbatas. Keterbatasan alat
transportasi dan jaringan transportasi menyebabkan daerah penelitian tidak dapat
berkembang tingkat perekonomiannya. Terbatasnya sarana transportasi
berdampak akses memasarkan hasil tangkapan ikan. Kondisi ini sangat merugikan
posisi nelayan menurut Kusnadi (2003) karena nelayan menawarkan komoditas
yang sifatnya rentan waktu, maka dengan sadar atau tidak sadar mereka menjadi
objek eksploitasi pedagang perantara atau tengkulak, yang akhirnya melilit
mereka dalam kemiskinan. Hal ini sesuai dengan Damanhuri (1997) bahwa salah
satu penyebab kemiskinan yang dialami nelayan karena golongan tertentu tidak
memiliki akses terhadap kegiatan ekonomi produktif akibat pola institusional
yang diberlakukan.
Berdasarkan hasil analisis, modal fisikal Nelayan Teluk Sepang 53,6%,
Nelayan Kandang 53,8% dan Nelayan Sumberjaya sebesar 66,5% termasuk
kategori rendah. Implikasi hasil penelitian terhadap upaya pengendalian degradasi
sumberdaya pesisir, yaitu perlu meningkatkan sarana usaha yang diperlukan oleh
nelayan dan meningkatkan akses nelayan terhadap kelembagaan pendidikan,
kesehatan, pemasaran dan transportasi.

Modal Manusia
Modal manusia yang dimiliki masyarakat pesisir di Teluk Sepang,
Kandang dan Sumberjaya dikaji dari tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan.

a. Tingkat pendidikan
Masalah pendidikan dikalangan masyarakat pesisir kurang mendapat
perhatian, hal ini menyebabkan masyarakat pesisir di Teluk Sepang memiliki
tingkat pendidikan yang relatif rendah, yaitu sebagian besar (58,62%) hanya
tamatan SD. Nelayan yang berpendidikan tamat SMP sebesar 6 orang (20,67%),
tamat SMA berjumlah 5 orang (17,24%) dan bahkan ada 1 orang (3,45%) buta
huruf, seperti pada Tabel 23 berikut.
Tabel 23. Kelompok usia di Teluk Sepang berdasarkan tingkat pendidikan
Kelompok Usia (tahun)
Tingkat Pendidikan 20-30 31-40 41-50 51-60 61-70 Total
Buta huruf 1 0 0 0 0 1
Baca tulis tidak sekolah 0 0 0 0 0 0
SD tidak tamat 0 0 0 0 0 0
Tamat SD 2 7 7 0 1 17
SMP tidak tamat 0 0 0 0 0 0
Tamat SMP 2 3 1 0 0 6
SMA tidak tamat 0 0 0 0 0 0
Tamat SMA 1 2 1 1 0 5
Tamat Diploma 0 0 0 0 0 0
PT 0 0 0 0 0 0
Total 6 12 9 1 1 29

Sumber : Diolah dari data primer, 2006.

Tingkat pendidikan masyarakat pesisir di Sumberjaya sebagian besar


terkosentrasi pada tingkat tamat Sekolah Dasar (41,46%), tamat Sekolah
Menengah Pertama (39,03%) dan tamat Sekolah Menengah Atas (14,64%),
bahkan ada 2,44% merupakan lulusan perguruan tinggi, seperti pada Tabel 24
berikut.

Tabel 24. Kelompok usia di Sumberjaya berdasarkan tingkat pendidikan


Kelompok Usia (tahun) Jumlah
Tingkat Pendidikan (%)
20-30 31-40 41-50 51-60 61-70
Buta huruf 0 0 0 0 0 0
Baca tulis tidak sekolah 0 0 0 0 0 0
SD tidak tamat 0 1 0 0 0 1 (2,44%)
Tamat SD 3 6 5 2 1 17 (41,46%)
SMP tidak tamat 0 0 0 0 0 0
Tamat SMP 6 7 2 1 0 16 (39,03%)
SMA tidak tamat 0 0 0 0 0 0
Tamat SMA 3 2 1 0 0 6 (14,64%)
Tamat Diploma 0 0 0 0 0 0
PT 1 0 0 0 0 1 (2,44%)
Total 13 16 8 3 1 41 (100%)

Sumber : Diolah dari data primer, 2006.

Tingkat pendidikan masyarakat pesisir di Kelurahan Kandang sebagian


besar terkosentrasi pada tingkat tamat sekolah dasar (SD) 80%, tamat sekolah
menengah pertama (SMP) 13,33% dan tamat sekolah menengah atas (SMA)
6,67%, seperti yang disajikan pada Tabel 25 berikut.

Tabel 25. Kelompok usia di Kandang berdasarkan tingkat pendidikan


Kelompok Usia (tahun) Jumlah
Tingkat Pendidikan (%)
20-30 31-40 41-50 51-60 61-70
Buta huruf 0 0 0 0 0 0
Baca tulis tidak sekolah 0 0 0 0 0 0
SD tidak tamat 0 0 0 0 0 0
Tamat SD 6 5 1 0 0 12 (80%)
SMP tidak tamat 0 0 0 0 0 0
Tamat SMP 0 2 0 0 0 2 (13,33%)
SMA tidak tamat 0 0 0 0 0 0
Tamat SMA 1 0 0 0 0 1 (6,67%)
Tamat Diploma 0 0 0 0 0 0
PT 0 0 0 0 0 0

Total 7 7 1 0 0 15 (100%)

Sumber : Diolah dari data primer, 2006

Tabel 23, 24 dan 25 menunjukkan bahwa masyarakat pesisir di Teluk


Sepang, Kandang dan Sumberjaya memiliki sebaran pendidikan relatif baik mulai
dari tamat sekolah dasar hingga tamat sekolah menengah dalam usia 21-40 tahun
yang merupakan usia produktif dalam kegiatan penangkapan ikan. Hal ini
berkaitan dengan pengetahuan nelayan melalui kelompok usia ini dapat dijajaki
kemungkinan menambah pengetahuan dan menumbuhkan kesadaran manfaat
sumberdaya alam, terutama pengelolaan sumberdaya alam pesisir sangat rentan
terhadap akibat yang ditimbulkannya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Supriharyono (2000) dan Kusnadi (2002) bahwa rendahnya pendidikan dan
kemiskinan yang dialami masyarakat pesisir terutama masyarakat nelayan
tradisional atau nelayan kecil memicu pengrusakan sumberdaya alam di
sekitarnya.

b. Tingkat Kesehatan
Keterbatasan sarana kesehatan di daerah penelitian menyebabkan kondisi
kesehatan masyarakat pesisir di Teluk Sepang juga kurang. Masalah kesehatan
yang relatif sering diderita adalah gangguan penyakit malaria (507%) yang
diderita hampir semua nelayan responden di Teluk Sepang, dikarenakan kondisi
lingkungan yang selalu tergenang air, masih banyak terdapat rawa-rawa serta
kurang memperhatikan kebersihan. Penyakit batuk pilek (12,86%) menjadi
keluhan kedua penyakit yang sering diderita nelayan responden. Hal ini
dikarenakan kondis cuaca yang tidak menentu dan pola hidup yang tidak teratur.
Tekanan darah tinggi (10%) yang diderita karena pola konsumsi makanan laut
yang berlebihan. Rematik (10%) dikarenakan pola kerja yang banyak di air,
bahkan pada malam hari. Penyakit diare (10%), penyakit kulit (4,28%) dan
penyakit asma (1,43%0, penyakit cacingan (1,43%). Kondisi ini dikarenakan
cuaca dan lingkungan tidak menentu, seperti disajikan dalam Tabel 26 dibawah.

Tabel 26. Masalah kesehatan di daerah penelitian


Jenis Penyakit Lokasi Penelitian Jumlah
(%)
T. Sepang Sumberjaya Kandang
Malaria 16 19 7 42 (49,41%)
Rematik 2 5 3 10 (11,76%)
Batuk/pilek 5 4 0 9 (10,58%)
Tekanan daerah tinggi 1 6 2 9 (10,58%)
Diare 2 5 0 7 (8,24%)
Penyakit kulit 1 2 0 3 (3,53%)
Asma 1 0 3 1 (1,43%)
Cacingan 1 0 0 1 (1,43%)

Total 29 41 15 85 (100%)

Sumber : Diolah dari data primer, 2006.

Tabel 26 menunjukkan bahwa rendahnya tingkat kesehatan menyebabkan


produktivitas nelayan juga menjadi rendah. Rendahnya produktivitas nelayan
berakibat pada rendahnya pendapatan yang berimplikasi nelayan mengalami
kemiskinan ekonomi. Hal ini sesuai pendapat Myrdal (1957), bahwa keadaan
miskin bermula dari rendahnya kualitas kesehatan, rendahnya kesehatan
menyebabkan rendahnya produktivitas, sehingga menyebabkan tingkat
pendapatan yang rendah pula, dan pada gilirannya menyebabkan kemiskinan.
Modal manusia yang dimiliki masyarakat pesisir di Teluk Sepang dan
Kandang dari hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar (74,5% dan
75,3%) termasuk kategori tinggi, sedangkan di Sumberjaya relatif berimbang pada
kategori rendah dan tinggi, yaitu masing-masing 50%. Implikasi temuan
penelitian ini dalam upaya pengendalian degradasi sumberdaya alam pesisir,
yaitu: perlu meningkatkan pendidikan dan kesehatan bagi nelayan. Hal sesuai
dengan pendapat Supriharyono (2000), dimana penduduk yang tinggal di desa-
desa pesisir merupakan masyarakat tradisional dengan kondisi sosial ekonomi dan
latar belakang pendidikan sangat rendah. Sekitar 90% hanya berpendidikan
sampai sekolah dasar. Dengan kondisi seperti ini memungkinkan mereka sulit
mengikuti perkembangan di daerahnya, yang umumnya menggunakan teknologi
tinggi. Sehingga mereka cenderung menjadi obyek dan dengan faktor
ketidaktahuan atau karena tekanan ekonomi, maka aktivitas mereka sering
menyebabkan tekanan terhadap ekosistem di daerah pesisir, yang berlanjut dengan
kerusakan ekosistem tersebut.

Modal Finansial
Kriteria dari modal finansial di daerah penelitian dikaji dari tingkat
pendapatan dan sumber modal usaha.

a. Tingkat Pendapatan
Tingkat pendapatan nelayan Teluk Sepang, Kandang dan Sumberjaya
tidak menentu, tergantung dengan hasil tangkapan dan musim. Tingkat
pendapatan nelayan di daearah penelitian cukup tinggi ketika musim ikan, jika
dihitung perhari rata-rata pendapatan mereka Rp 30.000,- hingga Rp. 50.000,-
atau ± Rp. 1.000.000,- dalam satu bulan. Pendapatan tersebut adalah pendapatan
para suami sebagai nelayan, belum kalau anaknya membantu sebagai nelayan dan
istrinya bekerja mengolah hasil tangkapan ikan, tentu pendapatan nelayan bisa
bertambah banyak. Jika ditotal dalam satu keluarga bisa mencapai Rp. 1.500.000,-
dalam satu bulannya. Pendapatan waktu tidak musim ikan per hari rata-rata Rp.
5000,- atau Rp. 10.000,-, bahkan untuk mencari uang Rp. 20.000 sehari saja sulit.
Bahkan ada yang tidak membawa hasil sama sekali karena hanya dapat menutup
biaya perbekalan. Pendapatan nelayan dapat dilihat pada Tabel 27.
Tabel 27. Pendapatan nelayan di daerah penelitian
Pendapatan nelayan/hari Jumlah nelayan Prosentase (%)

Teluk Sumberjaya Kandang


Sepang
Rp. 5000,- Rp. 15.000,- 16 20 7 43 (50,58%)
Rp. 20.000,- Rp. 30.000,- 9 8 5 22 (25,88%)
Rp. 35.000,-Rp. 45.000,- 1 6 2 9 (10,58%)
Rp. 50.000,- Rp. 60.000,- 2 2 1 5 (5,88%)
Rp. 65.000,- Rp. 75.000,- 1 2 0 3 (3,53%)
Rp. 80.000,-Rp. 90.000,- 0 2 0 2 (2,35%)
> Rp. 95.000 0 1 0 1 (1,18%)
Jumlah 29 41 15 85 (100%)

Sumber : Diolah dari data primer, 2006

Tabel 27 memperlihatkan bahwa 29 responden di Kelurahan Teluk


Sepang 55,17% mempuyai penghasilan yang dikategorikan kurang, yaitu >Rp.
50.000 - Rp.550.000 per bulan. Kategori berpenghasilan cukup, Rp 600.000,- -
Rp 950.000,- perbulan, sekitar 31,03% dan terkategori penghasilan lebih > Rp.
1.000.000,- ada 13,79%. Nelayan Sumberjaya mempuyai penghasilan yang relatif
lebih baik dari nelayan Teluk Sepang. Nelayan yang terkategori pendapatan lebih
mencapai 31,71%, mempuyai penghasilan cukup 19,51%, dan 48,78%
berpenghasilan kurang. Nelayan Kandang mempuyai penghasilan terkategori
kurang 46,67%, pendapatan terkategori cukup 33,33%, dan terkategori
penghasilan lebih 20%. Pendapatan berlebih tersebut dikarenakan mereka adalah
pemilik lancang dan tekong, sedangkan tingkat pendapatan kurang terdapat pada
nelayan pelacak (buruh). Berdasarkan konsep Badan Pusat Statistik (2000) yang
digunakan untuk menyalurkan bantuan langsung tunai untuk masyarakat miskin,
yaitu kurang Rp. 480.000 termasuk kategori sangat miskin, 50,58% nelayan Teluk
Sepang, Kandang dan 48,7% nelayan Sumberjaya termasuk rumah tangga miskin.
Tingkat pendapatan 15 responden petambak di daerah penelitian sebagian
besar yaitu 26,67% memiliki tingkat pendapatan Rp 146.100,- Rp. 434.600,- per
bulan. Pendapatan di bawah Rp. 146.100,- per bulan 60%, dan 13,33% memiliki
tingkat pendapatan di atas Rp. 434.600,- per bulan, seperti terlihat pada Tabel 28
berikut.
Tabel 28. Pendapatan petambak di daerah penelitian
Pendapatan petambak /bulan Jumlah petambak Prosentase (%)
< Rp 146.100,- 9 60
Rp 146.100,- - Rp 434.600,- 4 26,67
> Rp 434.600,- 2 13,33
Jumlah 15 100
Sumber : Diolah dari data primer, 2006

Berdasarkan konsep BPS (2000) dari Tabel 28 memperlihatkan bahwa


sebagian besar (86,67%) responden petambak di daerah penelitian termasuk
rumah tangga miskin. Kondisi ini sesuai penjelasan Scott (1994) bahwa keadaan
miskin merupakan konsekuensi hidup yang dekat dengan margin subsisten,
keterbatasan teknik, pengaruh cuaca dan sumberdaya alam serta sedikitnya
kesempatan bekerja diluar pekerjaan yang digeluti sehingga menyebabkan
nelayan mempuyai preferensi tingkah laku yang menekankan pada prinsip safety
first. Implikasi prinsip safety first adalah keengganan untuk memilih teknik atau
cara-cara baru dalam suatu kemungkinan kegagalan yang spekulatif. Selain itu
prinsip ini juga mendorong terbentuknya pola ketergantungan patronase
tradisional yang kuat dan mementingkan keseimbangan dalam masyarakat.

b. Sumber Modal Usaha


Hasil penelitian menunjukkan dari 29 nelayan responden di Kelurahan
Teluk Sepang 34,47 % meminjam modal usaha dari fasilitas kelompok. 27,58 %
sumber modalnya berasal dari juragan/toke/koperasi keliling, dari biaya sendiri
(20,68 %) dan hanya 17,24 % memanfaatkan lembaga keuangan mikro. Modal
usaha nelayan Sumberjaya didapat dari juragan/toke/koperasi keliling 68,29 %,
sumber modal usaha dari biaya sendiri 21,95%. Lembaga keuangan mikro hanya
7,32% yang menggunakannya sebagai sumber modal, dan lembaga perbankan
2,44%. Nelayan di Kandang menggunakan sumber modal usaha dari lembaga
keuangan mikro seperti yang disajikan pada Tabel 29.
Dari uraian tersebut tergambar, di daerah penelitian besarnya sumber
modal dari juragan/toke/koperasi keliling memperlihakan bahwa sampai saat ini
lembaga perbankan resmi masih sulit diakses oleh nelayan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Masyhuri (1999) bahwa pola-pola tangkapan dan pendapatan dari hasil
laut yang tidak menentu, sangat berpengaruh terhadap pendapatan rumah tangga
nelayan, sehingga sulit mengakses modal, salah satu solusinnya adalah berhutang.
Orang yang biasa dijadikan tempat berhutang oleh nelayan adalah majikannya.
Fenomena seperti ini yang melatarbelakangi tumbuhnya hubungan patron client
berdasarkan hutang piutang antara majikan dengan nelayan buruhnya.

Tabel 29. Sumber modal usaha masyarakat pesisir di daerah penelitian


Lokasi Penelitian
Modal Usaha Jumlah (%)
T. Sepang Sumberjaya Kandang
Toke/juragan/koperasi keliling 8 28 3 39(45,88%)
Lembaga keuangan mikro 5 3 8 16 (18,82%)
Biaya sendiri 6 9 4 19 (22,36%)
Bank 0 1 0 1 (1,18%)
Fasilitas kelompok 10 0 0 10 (11,76%)
Total 29 41 15 85 (100%)
Sumber : Diolah dari data primer, 2006

Tabel 29 diatas menunjukkan bahwa masalah ketergantungan pada


toke/juragan merupakan masalah serius yang selama ini dihadapi masyarakat
pesisir. Ternyata adanya ketergantungan tersebut maka pendapatan tidak
maksimal, karena mereka diharuskan menjual hasil tangkapan kepada
toke/juragan dengan harga yang ditentukan secara sepihak. Kondisi ini sesuai
dengan Wahyono, et al. (2001) bahwa hubungan ini menciptakan pola hubungan
yang asimetris yaitu lebih menguntungkan golongan yang punya modal. Hal ini
diperkuat hasil penelitian Kusnadi (2002) dan Mubyarto (1998) bahwa
ketergantungan pada patron menyebabkan lemahnya posisi bargaining nelayan.
Pinjaman modal kepada toke/juragan sebagai patron mengharuskan mereka tetap
bekerja dan mengharuskan menjual semua hasil tangkapan menyebabkan nelayan
ini tidak mampu menangkap nilai tambah yang umumnya diperoleh dari
perolehan margin pemasaran yang tinggi. Sebagai gambaran, saat penelitian,
harga jual udang lobster ke toke/juragan Rp. 195.000 per kilogram, sedangkan
harga pasar lokal saat itu Rp. 215.000 per kilogram, sehingga ada selisih harga
Rp. 20.000 per kilogram.
Berdasarkan hasil analisis, modal finansial yang dimiliki masyarakat
pesisir di Teluk Sepang, Sumberjaya masing-masing sebagian besar (82,7%) dan
(80,5%), di Kandang (80,3%) termasuk kategori rendah. Implikasi hasil
penelitian ini terhadap upaya pengendalian degradasi sumberdaya alam pesisir,
yaitu perlu meningkatkan akses nelayan terhadap sumber permodalan atau
lembaga keuangan alternatif seperti keuangan mikro sehingga dapat mengatasi
kesulitan modal usaha atau keuangan yang selama ini sumber modal usaha mereka
dapat dari tengkulak. Kajian Kusnadi (2002) tentang Badan Usaha Milik Desa di
Trenggalek dan Lembaga Keuangan Mikro di Bojonegoro menemukan bahwa
ketika lembaga kredit baru ini muncul dan menawarkan beban bunga pinjaman
yang lebih rendah, maka keberadaan rentenir, tengkulak, pengijon, atau bank
thithil lain semakin surut.

Modal Alamiah
Modal alamiah dikelurahan Teluk Sepang, Kelurahan Kandang dan
Kelurahan Sumberjaya adalah kepemilikan aset, dan tingkat sanitasi lingkungan.

a. Kepemilikan Aset
Kepemilikan kapal armada penangkapan di Kelurahan Teluk Sepang dan
Kelurahan Sumberjaya di dasarkan pada etnis. Nelayan Teluk Sepang yang
memiliki armada penangkapan 66,66 % didominasi oleh nelayan etnis Minang,
etnis Bugis (15,97%), etnis Batak (9,03%) dari keseluruhan jumlah nelayan Teluk
Sepang. Di Kelurahan Sumberjaya, kepemilikan armada di dominasi etnis Batak
(29,72%), etnis Bugis (25,24%), etnis Minang (16,04%), etnis Bengkulu Asli
(14,62%), etnis Madura (11,04%). Di Kelurahan Kandang, kepemilikan armada di
dominasi etnis seperti terlihat pada Tabel dibawah ini.
Tabel 30. Penguasaan armada penangkapan berdasarkan etnis di Teluk Sepang
Kelurahan Teluk Sepang Jumlah
Etnis
Lancang Kapal ABK
Bugis 10 4 9 23
Minang 16 1 79 96
Serawai 0 0 12 12
Batak 10 0 3 13
Madura 0 0 0 0
Lahat 0 0 0 0
Bengkulu Asli 0 0 0 0
Total 36 5 103 144
Sumber : Diolah dari data primer, 2006

Tabel 31. Penguasaan armada penangkapan berdasarkan etnis di Sumberjaya


Kelurahan Sumberjaya Jumlah
Etnis
Lancang Kapal ABK
Bugis 6 3 98 107
Minang 17 2 49 68
Serawai 0 0 0 0
Batak 0 10 116 126
Madura 0 6 41 47
Lahat 0 0 14 14
Bengkulu Asli 23 0 39 62

Total 46 21 357 424


Sumber : Diolah dari data primer, 2006

Tabel 32. Penguasaan armada penangkapan berdasarkan etnis di Kandang


Kelurahan Kandang Jumlah
Etnis Lancang Sampan Perahu ABK
Bugis 5 0 3 36 107
Minang 7 0 1 19 68
Serawai 0 14 0 28 0
Batak 6 0 2 37 126
Madura 0 0 0 21 47
Lahat 2 4 0 8 14
Bengkulu Asli 8 19 0 23 62
Total 28 37 6 172 243
Sumber : Diolah dari data primer, 2006

Tabel 30, 31 dan 32 memperlihatkan kepemilikan aset berdasarkan etnis


yang menggambarkan heterogenitas interaksi sosial nelayan di daerah penelitian
terutama perubahan stratifikasi sosial nelayan. Hal ini sesuai dengan Sorokin
(1962) bahwa stratifikasi sosial berarti perbedaan populasi berdasarkan kelas
secara hirarkis yang berdasarkan hak dan privilige, kewajiban dan tanggung
jawab, nilai sosial dan privasi serta kekuasaan dan pengaruhnya terhadap
masyarakat.

b. Tingkat Sanitasi Lingkungan


Kondisi sanitasi lingkungan di Kelurahan Teluk Sepang memprihatinkan
dikarenakan kebiasaan membuang sampah, kotoran dan air drainase. Sanitasi
pembuangan sampah yang langsung dibakar dilakukan 65,51% responden,
dibuang ke tanah kosong maupun tanah pribadi 27,57%. Ternyata masih ada yang
membuang kesungai/laut (6,89%). Kebiasaan membuang kotoran relatif baik
karena menggunakan kakus dan jamban sebanyak 89,66%, hanya 10,34% yang
langsung dibuang kotoran langsung ke sungai atau laut. Jaringan pembuangan air
kotor di Kelurahan Teluk Sepang berupa selokan (20,69%). Kondisi ini ditambah
lagi dengan kebiasaan membuang drainase ke tanah dan sembarang tempat
(79,31%), seperti pada Tabel 33 berikut.

Tabel 33. Kondisi sanitasi lingkungan masyarakat pesisir di daerah penelitian


Bentuk Kebiasaan Yang Teluk Sepang Sumberjaya Kandang Jumlah (%)
dilakukan
1. Pembuangan Sampah :
- Sungai/Laut 2 28 9 39 (45,88)
- Dibakar 19 7 1 27 (31,76)
- Tanah kosong 3 2 3 8 (9,42)
- Tanah pribadi 5 4 2 11 (12,94)
Total 29 41 15 85 (100)
2. Pembuangan Kotoran :
- Kakus 16 7 11 34 (40)
- Jamban 10 3 0 13 (15,29)
- Sungai/Laut 3 31 4 38 (44,71)
Total 29 41 15 85 (100)
3. Pembuangan drainase:
- Selokan/got 6 13 12 31 (36,48)
- Tanah 3 22 2 27 (31,76)
- Sembarang Tempat 20 6 1 27 (31,76)
Total 29 41 15 85 (100)

Sumber : Diolah dari data primer, 2006


Tabel 33 memperlihatkan kebiasaan masyarakat pesisir di Sumberjaya
dan Kandang membuang sampah lebih memprihatinkan karena 68,29% dan 69%
membuangnya langsung ke sungai/laut, dibakar (17,03% dan 6,67%), dan
membuang di tanah kosong dan tanah pribadi (14,63% dan 20%). Pembuangan
kotoran langsung kesungai atau kelaut menjadi kebiasaan utama bagi 44,71%
masyarakat pesisir, dan hanya 55,29% yang menyadari pentingya membuang
melalui kakus dan jamban. Kondisi drainase juga memprihatinkan, dimana
63,52% masyarakat di daerah penelitian masih menggunakan tanah dan
membuangnya ke sembarang tempat. 36,48% yang membuang melalui selokan.
Namun selokan ini berukuran 25 cm karena itu kondisi selokan pembuangan air
kotor banyak tersumbat sampah, sehingga ketika hujan, saluran drainase tersebut
tersumbat. Akibatnya lingkungan menjadi becek, banyak sampah dan kotor.
Kondisi sanitasi ini mempengaruhi aktivitas masyarakat nelayan dan
kesehatan nelayan di daerah penelitian. Bila kondisi ini tidak ditanggulangi, maka
sesuai dengan pendapat Putnam (1993), menyatakan bahwa masalah sanitasi
lingkungan nelayan merupakan masalah klasik dari pemukiman nelayan pada
umumnya, sepertinya sudah menjadi kebiasaan dan karakter masyarakat secara
turun temurun. Berdasarkan analisis, modal alamiah yang dimiliki di Teluk
Sepang sebesar 82,7%, di Kandang 58,3% dan di Sumberjaya 55,7% termasuk
kategori rendah. Implikasi hasil penelitian ini terhadap upaya pengendalian
degradasi sumberdaya alam pesisir, yaitu :
1. Meningkatkan akses nelayan terhadap sumberdaya alam melalui
penyediaan teknologi tepat guna sehingga mereka dapat memanfaatkan
sumberdaya alamnya untuk peningkatan kesejahteraan.
2. Perlu menerapkan prinsip kepemilikan masyarakat dalam pengelolaan
sumberdaya alam.
3. Perlu melakukan reorientasi dari orientasi peningkatan pendapatan kepada
peningkatan kemampuan produksi melalui aset yang dimiliki nelayan.
4. Perlu meningkatan sarana dan prasarana sanitasi lingkungan.
Modal Sosial
Modal sosial masyarakat pesisir di daerah penelitian dicermati dari
solidaritas, kepercayaan, dan kerjasama terhadap sesama.

a. Solidaritas
Penggambaran solidaritas sesama pada masyarakat pesisir di Teluk Sepang
dikaji dari dua pilihan jawaban yang diberikan 29 responden, terlihat bahwa
sebagian besar nelayan (62,07%) mengaku meminta bantuan keluarga atau
saudara bila menghadapi kegagalan penangkapan ikan atau musim paceklik
sebagai pilihan pertama. Meski ada sejumlah nelayan meminta bantuan pada
patronnya (20,69%), tetangga atau teman (13,79%) dan tokoh formal (3,45%)
sebagai pilihan pertama bila mereka menghadapi musim paceklik. Selanjutnya
untuk pilihan kedua, sebanyak 41,38 % mengaku meminta bantuan kepada
patronnya, tetangga atau teman (34,45%) dan saudara atau teman (24,14%)
sebagai pilihan kedua yang dapat membantu mengatasi kesulitan tersebut, seperti
pada Tabel 34 berikut.

Tabel 34. Dua pilihan masyarakat Teluk Sepang menghadapi musim paceklik
Bila musim paceklik, siapa Dua Pilihan Nelayan
yang membantu anda ? Pertama Kedua
Tidak Seorangpun 0 0
Keluarga/Saudara 18 (62,07%) 7 (24,14%)
Tetangga/Teman 4 (13,79%) 10 (34,48%)
Patronnya 6 (20,69%) 12 (41,38%)
Tokoh Formal 1 (3,45%) 0
Total 29 (100%) 29 (100%)
Sumber : Diolah dari data primer, 2006

Dua pilihan jawaban yang diberikan 41 nelayan responden di Kelurahan


Sumberjaya tergambar bahwa pilihan pertama untuk meminta bantuan pada saat
musim paceklik adalah patronnya (75,61%), keluarga atau saudara (19,51%) dan
tetangga atau teman (4,88%). Meminta bantuan kepada keluarga atau saudara
sebagai pilihan kedua sebanyak 63,41% dari responden yang menjawabnya.
Meminta bantuan pada tetangga atau teman (24,39%), patron (4,89%), tokoh
formal (4,89%), dan tidak ada seorangpun (2,44%), seperti terlihat pada Tabel 34.
Tabel 35.Dua pilihan masyarakat pesisir Sumberjaya menghadapi musim paceklik
Bila musim paceklik, siapa Dua Pilihan Nelayan
yang membantu anda ? Pertama Kedua
Tidak Seorangpun 0 1 (2,44%)
Keluarga/Saudara 4 (19,51%) 26 (63,41%)
Tetangga/Teman 2 (4,88%) 10 (24,39%)
Patronnya 31 (75,61%) 2 (4,88%)
Tokoh Formal 0 2 (4,88%)
Total 41 (100%) 41(100%)
Sumber : Diolah dari data primer, 2006

Dua pilihan yang diberikan masyarakat pesisir di Kelurahan Kandang


tergambar bahwa pilihan pertama sebagian besar (60%) meminta bantuan pada
patronnya, 26,66% pada keluarga atau saudara, tetanga dan tokoh formal masing-
masing 6,67%. Pilihan kedua untuk meminta bantuan pada keluarga atau saudara
sebesar 46,67%, tetangga 20%, patron dan tokoh formal masing-masing 13,33%,
sedangkan tidak ada seorangpun 6,67%, seperti tersaji pada Tabel 36 berikut.

Tabel 36. Dua pilihan masyarakat pesisir Kandang menghadapi musim paceklik
Bila musim paceklik, siapa Dua Pilihan Nelayan
yang membantu anda ? Pertama Kedua
Tidak Seorangpun 0 1 (6,67%)
Keluarga/Saudara 4 (26,66%) 7 (46,67%)
Tetangga/Teman 1 (6,67%) 3 (20%)
Patronnya 9 (60%) 2 (13,33%)
Tokoh Formal 1 (6,67) 2 (13,33%)
Total 15 (100%) 15(100%)
Sumber : Diolah dari data primer, 2006

Tabel 34, 35 dan 36 memperlihatkan bentuk solidaritas di daerah


penelitian yang kental dengan keterikatan secara kolektivitas, dimana adanya
tindakan sosial yang tidak selalu pamrih karena ada ikatan moral, tetapi juga
bentuk yang mengikat dalam menjalin hubungan sosial. Hal ini sesuai dengan
pendapat Schwab (1992) bahwa beberapa hubungan sosial antar warga, saling
kerjasama, saling percaya, saling peduli terlibat dalam suatu organisasi merupakan
modal sosial yang dapat diandalkan dalam mengatasi masalah.
b. Kepercayaan
Menurut sebagian besar responden di daerah penelitian (84,29%), saat ini
mereka masih memiliki rasa saling percaya dalam pinjam meminjam uang, barang
maupun jasa dengan nelayan lain di dalam komunitas, dengan kadar kepercayaan
yang relatif sama dari tahun sebelumnya. Meskipun juga terdapat 15,71% nelayan
yang menyatakan bahwa tingkat saling percaya diantara masyarakat saat ini sudah
tidak ada lagi, bahkan menurut mereka kondisinya dari tahun ke tahun semakin
memburuk, seperti terlihat pada Tabel 37 dibawah ini.

Tabel 37. Perbandingan tingkat kepercayaan dalam komunitas


Tingkat Kepercayaan Saling Percaya dalam Pinjam Meminjam Total
Pada Komunitas Saat Ini Ya Tidak
Lebih Baik 5 (7,14%) 0 5 (7,15%)
Sama Saja 48 (68,57%) 6 (8,57%) 54 (77,14%)
Lebih Buruk 6 (8,57%) 5 (7,14%) 11 (15,71%)
Total 59 (84,29%) 11 (15,71%) 70 (100%)
Sumber : Diolah dari data primer, 2006.

Lebih jauh lagi ketika dibandingkan dengan tingkat kepercayaan dengan


komunitas atau kelurahan lain, sebanyak 31,44% masyarakat setempat menyakini
bahwa tingkat kepercayaan diantara mereka masih relatif lebih baik dibandingkan
dengan warga komunitas lain atau kelurahan tetangga. Sedangkan sebanyak
64,29% nelayan menyatakan tingkat kepercayaan masyarakat setempat sama saja
dengan tingkat kepercayaan yang dimiliki warga komunitas lain atau kelurahan
tetangga, hanya 4,27% responden yang mengaku tingkat kepercayaan nelayan
setempat relatif lebih buruk bila dibandingkan dengan warga komunitas lain atau
kelurahan tetangga, seperti terlihat pada Tabel 38 berikut.

Tabel. 38. Perbandingan tingkat kepercayaan dengan komunitas lain


Tingkat Kepercayaan Saling Percaya dalam Pinjam Meminjam Total
Pada Komunitas lain Ya Tidak
Lebih Baik 7 (15,40%) 15 (31,25%) 22 (31,43%)
Sama Saja 13 (59,09%) 32 (66,66%) 45 (64,28%)
Lebih Buruk 2 (9,09%) 1 (2,08%) 3 (4,29%)
Total 22 (31,43%) 48 (68,57%) 70 (100%)
Sumber : Diolah dari data primer, 2006.
Masih relatif terjaganya tingkat kepercayaan di antara masyarakat, ternyata
tidak dapat dipisahkan dari pengaruh hubungan patron client yang telah
melembaga dalam komunitas nelayan, dimana kepercayaan menjadi salah satu
pilarnya. Pengaruh positif dari hubungan antara toke/juragan-nelayan yang cukup
mapan tersebut ternyata berimbas pada kepercayaan diantara nelayan dalam
konteks yang terbatas, diantara orang yang sudah saling mengenal dan secara
kebetulan memiliki sumberdaya yang relatif seimbang untuk dipertukarkan. Hal
ini sesuai dengan pendapat Legg (1983) bahwa jaringan yang memiliki tingkat
kepadatan hubungan yang lebih tinggi mempermudah mobilisasi sumberdaya
antara anggota jaringannya.

c. Kerjasama
Gambaran kerjasama di daerah penelitian dikaji melalui pendapat
masyarakat berdasarkan prinsip kerjasama. Sebanyak 55,71% setuju bila warga
di daerah penelitian dikatakan memiliki sifat jujur dan dapat dipercaya dalam
melakukan kerjasama, hanya 20% masyarakat yang tidak setuju dengan pendapat
tersebut. Namun sebanyak 50% masyarakat mengaku setuju bila warga di daerah
penelitian dikatakan hanya mementingkan diri sendiri dan tidak perduli dengan
kesejahteraan bersama, bahkan 12,86% masyarakat sangat setuju dengan pendapat
tersebut. Selanjutnya sebanyak 64,27% masyarakat juga merasa setuju bila
mereka harus selalu waspada bila tidak ingin dimanfaatkan oleh orang lain dalam
bekerjasama, bahkan 17,15% masyarakat mengaku sangat setuju dengan pendapat
tersebut. Pernyataan tersebut mencerminkan kecenderungan sikap pesimis dan
apatisme masyarakat pesisir yang semakin menguat dalam melihat realitas
kerjasama yang dilakukan oleh warga, seperti tersaji pada Tabel 39 berikut ini.
Tabel 39. Pendapat masyarakat pesisir berdasarkan prinsip kerjasama
Prinsip Kerjasama Pendapat Warga
Sangat Setuju Tidak Sangat Tidak
Setuju Setuju Setuju
Warga Disini Jujur dan Dapat 16 39 14 1
Dipercaya (22,86%) (55,71%) (20%) (1,43%)
Warga Hanya Mementingkan Diri 9 35 18 8
Sendiri, Tidak Perduli Dengan (12,86%) (50%) (25,71%) (11,43%)
Kesejahteraan Bersama
Harus Selalu Waspada Atau Seseorang 12 45 7 6
Mengambil Keuntungan Dari Kita (17,15%) (64,27%) (10%) (8,58%)
Bila Punya Masalah Selalu Ada Yang 19 42 8 1
Menolong Saya (27,14%) (60%) (11,43%) (1,43%)
Saya Tidak Menaruh Perhatian Pada 5 14 43 8
Pendapat Orang Lain (7,14%) (20%) (61,43%) (11,43%)
Komunitas Relatif Lebih Sejahtera 2 10 35 23
Dalam Tiga Tahun Terakhir (2,87%) (14,26%) (50%) (32,87%)
Saya Diterima Sebagai Warga 31 30 8 1
Komunitas (44,26%) (42,76%) (11,44%) (1,43%)
Warga Tidak Perduli Dengan 3 24 33 10
Kerusakan Lingkungan Yang Terus (4,29%) (34,28%) (47,14%) (14,29%)
Berlangsung
Sumber : Diolah dari data primer, 2006.

Meskipun demikian, sebanyak 60% masyarakat mengaku setuju bila


menghadapi sebuah permasalahan selalu ada yang menolong mereka, hanya
11,43% masyarakat yang tidak setuju dengan pendapat tersebut. Sebanyak
61,43% masyarakat tidak setuju bila dikatakan tidak pernah menaruh perhatian
pada pendapat orang lain, meskipun sebanyak 20% masyarakat mengaku setuju
bila dikatakan tidak memperhatikan orang lain. Sebanyak 50% masyarakat
menjawab tidak setuju bila dikatakan dalam tiga tahun terakhir kondisi komunitas
relatif lebih sejahtera, bahkan terdapat 32,87% masyarakat yang menjawab sangat
tidak setuju, hanya 14,26% yang menjawab setuju dan 2,87% masyarakat
menjawab sangat setuju dengan pernyataan tersebut. Namun menurut pengakuan
sejumlah masyarakat, tingkat kesejahteraan yang dicapai saat ini cenderung
mengalami penurunan bila dibandingkan dengan apa yang pernah mereka peroleh
dalam kurun waktu 2003-2005, ketika terjadi kenaikan harga ikan. Sehingga
peningkatan kesejahteraan relatif dalam tiga tahun terakhir ini, dilihat nelayan
sebagai pembangunan fisik yang sangat gencar dilakukan pemerintah.
Sedangkan sebanyak 44,26% masyarakat merasa sangat setuju, dan
42,76% lainnya menjawab setuju bila saat ini mereka telah diterima sebagai warga
komunitas masyarakat di daerah penelitian, hanya 11,44% masyarakat yang
menjawab tidak setuju dan 1,43% masyarakat yang menjawab sangat tidak setuju,
karena merasa masih belum diterima sebagai warga di daerah penelitian.
Selanjutnya sebanyak 47,14% masyarakat mengaku tidak setuju bila warga
komunitas di daerah penelitian dikatakan tidak memiliki keperdulian terhadap
kerusakan lingkungan yang terus berlangsung disekitar mereka, namun sebanyak
34,28% masyarakat bersikap sebaliknya, mereka setuju bila warga di daerah
penelitian dikatakan tidak memiliki keperdulian terhadap kerusakan lingkungan
yang terus berlangsung tersebut.
Dari uraian diatas, ternyata kerjasama antara masyarakat pesisir di daerah
penelitian menunjukkan kerjasama yang berdasarkan hubungan sosial yang
berdasarkan kekerabatan (persaudaraan). Hal ini sesuai dengan pendapat Putnam
(1993) bahwa kerjasama sukarela lebih mudah terjadi di dalam suatu komunitas
lokal yang telah mewarisi sejumlah modal sosial yang substansial dalam bentuk
aturan-aturan, pertukaran timbal balik dan jaringan-jaringan kesepakatan antar
warga. Aturan-aturan, pertukaran timbal balik dan jaringan kesepakatan antar
warga yang menjadi basis bagi kerjasama sukarela tercipta, bila tingkat partisipasi
yang setara dan adil (equal participation) di dalam komunitas sudah terwujud.
Hasil analisis menunjukkan bahwa modal sosial yang dimiliki masyarakat
pesisir di Teluk Sepang, Kandang dan Sumberjaya sebagian besar termasuk
kategori rendah, masing-masing 68,2%, 62,3% dan 62,7%. Hal ini bermakna,
bahwa modal sosial nelayan di daerah penelitian belum dimanfaatkan secara baik
dalam rangka mengendalikan degradasi lingkungan. Kondisi ini menurut
Hasbullah (2006) sangat merugikan karena modal sosial merupakan jaring
pengaman dan kekuatan internal bagi nelayan dalam memecahkan berbagai
permasalahan yang berkaitan dengan kemiskinan. Implikasi temuan penelitian ini
dalam upaya pengendalian sumberdaya alam pesisir, yaitu:
1. Perlu melakukan kegiatan yang meningkatkan rasa solidaritas antar
nelayan melalui budaya gotong royong dalam program-program
pengendalian degradasi sumberdaya alam pesisir.
2. Meningkatkan keterbukaan dalam melakukan jaringan sosial dengan
siapapun dalam upaya pengendalian sumberdaya alam pesisir.
3. Meningkatkan motivasi untuk melakukan hubungan jaringan sosial antar
sesama dalam upaya pengendalian sumberdaya alam pesisir.

4.3.2. Pelapisan Sosial


Dalam masyarakat nelayan, terjadinya diferensiasi peranan yang ditandai
dengan semakin meningkatnya kebutuhan spesialisasi pekerjaan. Hal ini menurut
pendapat Satria (2002), disebabkan akibat masuknya alat tangkap modern.
Dengan adanya sistem pembagian kerja semacam ini berimplikasi pada
pembentukan struktur pelapisan sosial pada masyarakat nelayan. Terjadinya
diferensiasi peranan mengakibatkan munculnya perbedaan akses terhadap
sumberdaya dan pembentukan pemilikan sumberdaya. Mengacu pada pernyataan
ini, bahwa masyarakat nelayan Kota Bengkulu menunjukkan adanya pelapisan
sosial.
Pelapisan yang ada pada masyarakat nelayan Kota Bengkulu akibat adanya
stratifikasi ekonomi karena ketidaksetaraan ekonomi antar lapisan dan
berdasarkan spesialisasi pekerjaan. Hal ini sesuai dengan penjelasan dari
Soekanto (1999), menyatakan bahwa dengan mengamati pola-pola penguasaan
aset produksi seperti modal, kapal, dan peralatan tangkap akan mempermudah
untuk mengidentifikasi adanya pelapisan sosial dalam komunitas nelayan Kota
Bengkulu. Sistem pelapisan sosial yang ditemukan digolongkan dalam tiga
lapisan, yaitu :
1. Lapisan atas adalah mereka yang disebut juragan atau pemilik kapal maupun
alat tangkap dan toke (pedagang pengumpul ikan). Lapisan atas di masyarakat
nelayan Kota Bengkulu adalah kalangan juragan yang memiliki modal, kapal
dengan jenis alat tangkap yang berbeda dan dapat dipergunakan dalam
aktivitas penangkapan sampai jarak yang lebih jauh ke laut dan bahkan tidak
tergantung pada musim, gudang-gudang ikan, bangunan rumah bagus,
kepemilikan alat transportasi, barang-barang elektronik dan sebagainya. Di
Teluk Sepang lapisan atas adalah mereka yang memiliki perahu motor yang
jumlahnya >10 unit dengan alat tangkap, yakni jaring insang hanyut, jaring
udang/lobster. Sementara di Sumberjaya lapisan atas datang dari pemilik
kapal/juragan yang memiliki perahu motor dan kapal motor dengan ukuran
bervariasi dengan jenis alat tangkap, yakni jaring pukat kantong, payang,
jjaring insang hanyut, pancing, dan bagan perahu. Selain itu, lapisan atas juga
datang dari juragan yang juga berprofesi sebagai toke. Ukuran kapal yang
dimiliki juragan bervariasi dari < 5 GT sampai >20 GT. Pada tahun 2006,
jumlah kapal/perahu perikanan di Sumberjaya mencapai 117 unit. Jumlah
tersebut terdiri dari perahu motor ukuran <5 GT mencapai 16 unit, 5-10 GT
47 unit, 10-20 GT 21 unit, 20-30 GT 18 unit , >30 GT 15 unit. Karena identik
dengan penguasaan ekonomi yang besar juragan/toke seringkali menjadi
sandaran bagi masyarakat sekitar dan pekerjanya mengalami kesulitan
ekonomi.
2. Lapisan menengah adalah nelayan-nelayan kecil. Lapisan menengah di Teluk
Sepang adalah nelayan yang menangkap ikan dilaut (tekong) dan cingkau.
Cingkau adalah orang yang jual beli ikan dalam skala menengah.
3. Lapisan yang terbawah adalah mereka yang sama sekali tidak memiliki alat
tangkap terutama pelacak. Di Teluk Sepang maupun Sumberjaya, lapisan ini
bekerjapada juragan/pemilik kapal.
Dengan pelapisan seperti ini menciptakan hubungan sosial dan hubungan
ekonomi yang saling berkepentingan dan membutuhkan dalam kegiatan perikanan
tangkap. Juragan ataupun toke sebagai pemilik modal dan alat produksi juga
menguasai jaringan pemasaran ikan secara oligopolistik. Sementara buruh nelayan
yang memiliki tenaga kerja dan hubungan permodalan dengan berbagai lapisan
atas. Hal ini sesuai dengan pendapat Satria (2001) yang menyatakan cara
produksi kapitalis mendominasi non kapitalis, dan menciptakan stratifikasi dalam
masyarakat.
Dalam hubungan kerja terutama armada penangkapan berkekuatan >10
sampai dengan >30 GT menunjukkan klasifikasi lapisan masyarakat nelayan
sebagai berikut :
1. Juragan/toke adalah orang yang menjadi penyandang dana dalam kegiatan
melaut sekaligus sebagai pengumpul ikan hasil tangkapan dari nelayan
lainnya.
2. Tekong adalah nelayan yang bertanggung jawab atas kegiatan operasional
perahu.
3. Apit adalah nelayan yang membantu tekong sebagai juru mudi
kapal/perahu yang bertugas mengatur arah perjalan perahu.
4. Kuanca adalah nelayan yang bertugas mengontak nelayan-nelayan lain
untuk bekerja.
5. Pejabat lampu adalah nelayan yang bertugas merawat, memompa tabung
lampu, serta menghidupkan dan meletakkannya di tempat yang tersedia.
6. Pejabat jaring adalah nelayan yang bertugas memelihara jaring,
menaburkan jaring dan menarik jaring dalam kegiatan penangkapan.
7. Pejabat dapur adalah nelayan yang bertanggung jawab atas perbekalan dan
konsumsi nelayan pada saat penangkapan.
8. Pejabat selam adalah nelayan yang bertugas membuang timah ketika
menaburkan jaring, mengatur posisi jaring pada saat di taburkan kelaut dan
menata posisi jaring sebagaimana mestinya setelah dipakai.
9. Pelacak adalah nelayan yang menyediakan tenaga untuk membantu
pejabat lampu, pejabat jaring, pejabat dapur dan pejabat selam.
Stratifikasi diatas, tergambar jelas dalam kegiatan perikanan tangkap
nelayan Sumberjaya dimana hubungan produksi perikanan tangkap di Kelurahan
Sumberjaya mengalami perubahan formasi sosial yaitu hubungan produksi dan
kekuatan produksi pada cara baru, yang ditunjukkan dengan adanya hubungan
hirarkis, statusnya terdiri dari juragan, tekong, dan anak buah kapal (ABK)
dengan berjenjang jenis pekerjaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Satria
(2002) bahwa ciri-ciri perikanan tangkap yang menggunakan cara produksi baru
terdiri dari pertama, jenis alat produksi diantaranya purse seine, sifat alat produksi
modern, tenaga kerja permanen, unit produksi dalam kelompok besar
beranggotakan 16-20 orang, mempuyai hubungan yang bersifat hirarkis, semi
eksploitatif dan eksploitatif; kedua, jenis alat produksi perahu motor yang sifatnya
semi permanen, mempuyai buruh semi permanen, terdiri dari kelompok kecil (4-6
orang) dengan struktur semi hirarkis serta sifatnya semi eksploitatif; dan ketiga,
jenis alat produksinya perahu tempel yang memuyai buruh bebas, terdiri dari
kelompok kecil (3-04 orang) dengan struktur egaliter yang sifatnya non
eksploitatif.
Masyarakat petambak mempuyai pelapisan sosial yang berdasarkan pada
kepemilikan luas lahan, sehingga dalam komunitas petambak terdapat empat
lapisan sosial yaitu :
1. Lapisan pertama diduduki oleh para pemilik tambak dengan kriteria
mempuyai modal dan tambak yang cukup luas (memiliki lebih dari satu petak
atau ± 5 ha), dan dalam pengelolaannya tidak dilakukan sendiri tetapi dengan
memperkerjakan orang lain. Biasanya mereka tidak tinggal di kawasan
pertambakan, namun tinggal di perkampungan daratan, dan hanya mnegontrol
tambaknya seminggu sekali. Dalam istilah setempat disebut dengan toke
2. Lapisan kedua diduduki oleh para pemilik tambak dengan kriteria mempuyai
modal dengan kepemilikan lahan yang relatif tidak luas (hanya satu petak tang
luasnya 1-4 ha) dan dala pengelolaannya dilakukan sendiri atau tidak
memperkerjakan orang lain. Biasanya mereka tinggal di kawasan
pertambakan berdampingan dengan tambaknya atau kawasan permukiman
yang agak ramai di tepi jalan desa, namun relatif masih dekat dengan
tambaknya.
3. Lapisan ketiga diduduki oleh para penggarap yang mempuyai modal namun
tidak mempuyai lahan sehingga bekerja mengelola tambak milik orang lain
(toke) dengan sistem bagi hasil 1:1. Mereka biasanya tinggal dan menunggui
tambak yang dikelolanya, tempat tinggal yang mereka tempati biasanya
dibuatkan oleh toke namun ada juga yang tinggal dirumah milik sendiri.
Dalam istilah setempat dikenal dengan sebutan petambak numpang.
4. Lapisan keempat diduduki oleh para penggarap tambak yang hanya
bermodalkan tenaga kerja dan tidak mempuyai lahan sehingga bekerja
mengelola tambak milik orang lain (milik toke) denga sistem bagi hasil 1:6.
saat panen sebagai tenaga penangkap udang atau bandeng. Mereka diharuskan
tinggal dan menunggui tambak yang dikelolanya, tempat tinggal yang mereka
tempati dibuatkan oleh toke. Biasanya mereka merangkap menjadi buruh
pada petambak lain saat pengolahan tambak sebelum tebar yaitu mengangkat
lumpur dari dalam tambak dan pada
Selain itu, dalam masyarakat nelayan Kota Bengkulu terdapat juga
stratifikasi berdasarkan pandangan masyarakat pesisir itu sendiri, seperti disajikan
pada Tabel 40 berikut.

Tabel 40. Stratifikasi sosial masyarakat pesisir Kota Bengkulu dalam pandangan
nelayan dan petambak

Lapisan Jenis pekerjaan Jumlah

Atas Juragan 18 orang


Toke 23 orang
Menengah- Atas Petambak 25 orang
Cingkau 47 orang
Tekong 139 orang
Menengah - Bawah Bakulan/emberan 68 orang
Apit 54 orang
Kuanca 15 orang
Bawah- Atas Pejabat lampu 30 orang
Pejabat jaring 43 orang
Pejabat dapur 26 orang
Pejabat selam 32 orang
Penjaga tambak 15 orang
Bawah-Bawah Pelacak 198 0rang

Sumber : dimodifikasi dari Satria (2002)

Berdasarkan uraian di atas, dominasi lapisan atas (juragan/toke) dalam


kepemilikan alat produksi dan modal menunjukkan adanya hubungan patron
client sebagai suatu kelembagaan yang mempengaruhi cara produksi nelayan Kota
Bengkulu. Hal ini sesuai dengan pendapat Masyhuri (1999) bahwa struktur
ekonomi nelayan nampaknya lebih cenderung berpihak kepada kelompok nelayan
yang menguasai sarana produksi, lebih mendorong terjadinya ketimpangan
pendapatan dikalangan nelayan memungkin terjadinya eksploitasi terhadap
nelayan oleh nelayan lain. Pendapat ini mendukung penjelasan dominasi kelas
menurut Marx (Gidden,1989) dimana akan timbul apabila hubungan-hubungan
produksi melibatkan suatu pembagian tenaga kerja yang beragam, yang
memungkinkan terjadinya penumpukan surplus produksi sehingga merupakan
pola hubungan memeras terhadap para perproduksi.
Dari kondisi ini juga terlihat adanya hubungan patron klien dalam
komunitas nelayan dan petambak Kota Bengkulu banyak yang bersifat
kekerabatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Mappawata (1986) bahwa pola
hubungan kerja yang telah mencapai suatu titik ketidak seimbangan yang
maksimal, sehingga seseorang demikian unggul terhadap yang lainnya dalam
kemampuannya memberikan barang-barang dan jasa, maka hubungan tersebut
mendekati titik kritis untuk selanjutnya menuju kearah hubungan patron-client.

4.4. Kelembagaan Masyarakat Pesisir Kota Bengkulu

4.4.1. Kelembagaan Perikanan Tangkap


a. Kelembagaan Hubungan Kerja
Pola hubungan kerja komunitas Nelayan Teluk Sepang menjadikan
kepercayaan sebagai dasar penting dalam kehidupan sosial. Dikarenakan mereka
merupakan anggota kelompok nelayan, sehingga kebersamaan dan kepercayaan
dominan dalam kehidupan sehari-hari Nelayan Teluk Sepang menjadi karakter
sosial budaya masyarakat setempat. Setiap bentuk kegiatan sosial yang dilakukan
merupakan hasil dari rembukan atau musyawarah atau kesepakatan bersama.
Kegiatan untuk mempererat ikatan sosial mereka terletak di sebuah danau, sebutan
untuk tempat mereka merapatkan lancang (tangkahan) sebagai media interaksi
nelayan Teluk Sepang, disamping itu kegiatan melaut yang harian memungkinkan
kegiatan sosial bisa diikuti terutama kegiatan malam hari. Hal ini sesuai dengan
pendapat Marx (Raharjo, 1987) bahwa cara-cara produksi dan hubungan-
hubungan sosial dalam produksi membentuk mata rantai utama antara hubungan
kerja dan masyaraka. Hubungan kerja ini, sesuai dengan penjelasan Mubyarto et
al. (1998) bahwa diantara golongan penduduk baik menurut usia atau jenis
kelamin dan di berbagai lapisan masyarakat yang terlibat di kegiatan perikanan
diibaratkan sebagai suatu jaringan laba-laba yang saling berkaitan.
Sedangkan pola hubungan kerja Nelayan Sumberjaya ditandai dengan
heterogenitas jenis penangkapan dan etnis, sehingga menciptakan pola tersendiri
dalam kelompok-kelompok nelayan. Hubungan kerja tersebut memperlihatkan
adanya hubungan produksi ketergantungan antara atasan dan bawahan (patron
klien), terutama dalam kegiatan penangkapan ikan dengan jenis mesin motor
berkekuatan 10->30 GT. Hubungan ini sesuai dengan pendapat Satria (2002)
bahwa ciri umum hubungan produksi masyarakat pesisir adalah patron klien. Hal
yang berbeda ditemukan di Kelurahan Kandang, pola hubungan kerja tidak
memperlihatkan adanya ketergantungan antara pemilik dan pekerja seperti
Nelayan Sumberjaya. Hubungan kerja nelayan yang ditemukan di daerah
penelitian seperti pada Tabel 41 berikut.

Tabel 41. Pola hubungan kerja nelayan di daerah penelitian


Lokasi Penelitian Bentuk Hubungan
Pola I Pola II
Teluk Sepang Semi patron klien : Non patron klien :
• Struktur atas : nelayan pemilik • Nelayan 1 punya perahu motor dan
sekaligus tekong jaring, nelayan 2 punya jaring, nelayan 3
Struktur bawah: 3-4 ABK dan 4 hanya menumpang kerja dengan
Modal : bahan bakar di tenaga saja
penuhi oleh nelayan Modal disepakati bersama
pemilik Pembagian kerja : tidak ada
Pembagian kerja : tidak • Nelayan 1 hanya punya perahu, nelayan
ada 2 punya jaring, nelayan 3 punya jaring
• Struktur atas : nelayan dan nelayan 4 punya tenaga
Struktur bawah : tekong dan 3-4 Modal disepakati bersama
ABK Pembagian Kerja : tidak ada
Modal : bahan bakar dipenuhi oleh
nelayan pemilik
Pembagian kerja : tidak ada

Sumberjaya Juragan/toke dan nelayan Tekong dan anak buah kapal (ABK)
• Struktur atas : • Struktur atas : tekong
Di darat yaitu juragan/toke • Struktur bawah : pelacak
Di laut yaitu tekong
• Struktur menengah :
Lapisan pertama yaitu apit, kuanca
Lapisan kedua yaitu pejabat lampu,
pejabat jaring, pejabat dapur, pejabat
selam
Lapisan ketiga : pelacak
• Modal dipenuhi oleh juragan/toke
• Ada pembagian kerja :
Juragan/toke bertanggung jawab
penuh dengan urusan di darat
Tekong bertanggung jawab penuh
dengan urusan di laut
Apit dan kuanca bertanggung jawab
dengan mesin dan pembagian kerja
terhadap pejabat lampu, pejabat
selam, pejabat dapur, pejabat jaring
dan pelacak

Kandang • Nelayan sekaligus pemilik sampan • Juragan/toke dan buruh nelayan


• Beranggotakan 3 orang • Juragan : pemilik
• Tidak pakai modal karena • Buruh nelayan : 1-4 ABK
menggunakan sampan tampa motor • Modal : bahan bakar dipenuhi juragan
• Ada pembagian kerja
Sumber : Diolah dari data pengamatan lapangan, 2006
Berdasarkan Tabel 41 ditemukan bahwa pola hubungan kerja nelayan
Teluk Sepang tidak terjadi hubungan patron-clients yang ketat seperti yang terjadi
di daerah Jawa. Juragan/toke tidak memposisikan dirinya menjadi patron yang
memberikan modal pada nelayan sebagai client sehingga terikat padanya serta
memberikan hasil menangkap ikan di laut. Selanjutnya gejala yang muncul,
adalah nelayan pemilik (lancang) mengeluarkan modal bahan bakar (solar) saja.
Bagi pemilik lancang yang merupakan anggota kelompok nelayan biasanya
mengusahakan sendiri dengan cara membeli jika ada uang tunai yang memang
telah disiapkan sebelum ke laut, bila tidak mempuyai uang tunai, mereka bisa
pinjam ke bagian logistik kelompok bagi nelayan yang menjadi anggota
kelompok. Dan bagi nelayan bukan anggota kelompok modal diusahakan sendiri,
tanpa meminjam dengan menyisihkan hasil yang didapat sebelumnya, bila tidak
ada simpanan mereka patungan bersama-sama sesuai kesepakatan. Disamping itu,
gejala lain yang muncul adalah sistem menumpang yang tidak menunjukkan sama
sekali hubungan atasan dan bawahan. Sistem ini dikarenakan keterbatasan alat
produksi (armada dan jenis penangkapan) yang dimiliki. Pola hubungan yang
ditemukan pada Nelayan Teluk Sepang dan Nelayan Kandang memperlihatkan
adanya hubungan kerja yang longgar sebagai akibat sistem hubungan produksi
yang egaliter dan tidak ada unsur eksploitatif. Hal ini didukung oleh hasil
penelitian Anggraini (2002) di Pulau Panggang, dimana hubungan tengkulak dan
nelayan tidak terikat seperti hubungan patron klien pada umumnya. Kondisi ini
ternyata tidak sesuai dengan pendapat Acciaioli (1989) bahwa hubungan seperti
pemimpin-pengikut (patron client) merupakan ikatan-ikatan yang ditujukan untuk
memastikan bahwa mereka yang hidup dibawahnya akan dipenuhi kebutuhan
dasar dan ada unsur eksploitatif.
Meskipun demikian, pola hubungan kerja yang ada tidak selalu sama
antara satu jenis usaha dengan jenis usaha yang lain, namun bisa dipastikan bahwa
pola hubungan kerja nelayan Teluk Sepang menyerupai pola seperti bagan
dibawah ini.
Nelayan Pemilik + Tekong Nelayan Pemilik

Tekong

ABK ABK ABK ABK ABK ABK

Nelayan Pemilik (juragan/toke) tidak memposisikan sebagai patron bagi ABK dikarenakan
Modal yang dikeluarkan oleh juragan/toke hanya bahan bakar sedangkan bekal makanan di
bawa oleh masing-masing ABK dan ABK tidak terikat penuh dengan satu tekong.
Sumber : Diolah dari data primer dan data pengamatan, 2006
Gambar 21. Pola I hubungan kerja Nelayan Teluk Sepang

Nelayan 1 Nelayan 1 yg lain

Nelayan 2 Nelayan 3 Nelayan 4 Nelayan 2 Nelayan 3 Nelayan 4

Nelayan “menumpang” pun bebas menentukan kemana mereka akan menumpang, dan tidak
ada keterikatan yang mengikat sama sekali. Disini kepercayaan dan kerjasama yang dipakai,
dan biasanya yang menumpang masih punya ikatan kekerabatan.
Sumber : Diolah dari data primer dan pengamatan lapangan, 2006

Gambar 22. Pola II hubungan kerja Nelayan Teluk Sepang

Hubungan kerja Nelayan Kandang mempuyai pola tidak jauh berbeda


dengan Nelayan Teluk Sepang, seperti Gambar 21 berikut ini.

Nelayan 1 + Pemilik sampan

Nelayan 2 Nelayan 3

Nelayan 1, 2 dan 3 menumpang dengan pemilik sampan dengan menggunakan alat tangkap
masing-masing. Sedangkan pemilik sampan juga mempuyai alat tangkap sendiri, modal tidak
ada karena menggunakan dayung.
Sumber : Diolah dari data primer dan pengamatan lapangan, 2006

Gambar 23. Pola I hubungan kerja nelayan sampan di Kandang


Pemilik Lancang 1 Pemilik Lancang 2

Tekong ABK ABK ABK Tekong ABK ABK

ABK bebas menentukan kepada siapa mereka bekerja, tetapi pemilik lancang berhak menentukan
siapa yang bekerja padanya karena modal sepenuhnya ditanggung pemilik kapal.
Sumber : Diolah dari data primer dan pengamatan lapangan, 2006

Gambar 24. Pola II hubungan kerja Nelayan Kandang

Berbeda dengan pola yang ditemukan pada nelayan Sumberjaya, dimana


memperlihatkan hubungan patron klien, terlihat pada jenis alat tangkap yang
memperkerjakan ABK antara 15-25 orang, dengan spesialisasi pekerjaan dan
dicirikan munculnya eksplotasi antara nelayan lapisan atas (juragan) dengan
nelayan lapisan bawah (ABK). Hal ini sesuai dengan pendapat Satria (2002)
bahwa hubungan patron klien nampak pada kelompok nelayan besar (17-25
orang), adanya eksploitasi dan semi eksploitasi, hubungan kerjanya bersifat
hirarkis. Selain itu, sesuai dengan pendapat Satria (2001) bahwa pada kelompok
besar ada differensiasi sosial yang dilihat semakin bertambahnya jumlah posisi
sosial atau jenis pekerjaan sekaligus terjadi perubahan stratifikasi karena sejumlah
posisi sosial tidak bersifat harisontal, melainkan vertikal atau berjenjang. Pola
hubungang kerja yang ditemukan pada nelayan Sumberjaya dapat dilihat pada
Gambar 25 dibawah ini.
Tekong 1 Tekong yg lain

Para
pelacak

Keterangan :
Para pelacak ini tidak harus tergantung pada patron (tekong) meskipun patron telah banyak memberi pekerjaan, klien
masih mempuyai keleluasaan sewaktu-waktu untuk tidak terikat dengan patron. Klien juga dapat memilih kapan benrhenti
dan bekerja tidak hanya satu tekong. Pola hubungan dengan adanya banyak pilihan dan jaringan sesama nelayan pelacak
untuk melakukan pekerjaan bersama membuat longgarnya hubungan patron client tersebut.
Sumber: di olah dari pengamatan lapangan, 2006
Gambar 25. Pola hubungan kerja tekong dan pelacak di Sumberjaya

Dari Gambar 25, terlihat bahwa hubungan kerja tekong dan pelacak
ternyata lebih mengarah pada pola hubungan patron client yang longgar, dimana
kedua belah pihak saling membutuhkan, dan keleluasan bagi klien untuk tetap
atau lepas hubungan dengan patron. Apabila salah satu merasa dirugikan, salah
satu pihak akan mundur atau keluar. Kendati seorang pelacak dalam struktur bagi
hasil yang berlaku, secara sepintas menunjukkan ketimpangan dan ketidakadilan.
Mengacu pada investasi masing-masing pihak, sebenarnya menunjukkan pola bagi
hasil yang seimbang. Setidaknya beberapa faktor yang mempengaruhi longgarnya
hubungan patron client nelayan Sumberjaya, adalah :
a) Tidak adanya jaminan subsisten secara tegas dari sang patron, kendati
diberi kesempatan terlibat dalam kelompok kerja patron;
b) Ada banyak instrumen ekonomi yang mau membantu, bila terjadi
kesulitan ekonomi (paceklik), seperti koperasi keliling (rentenir), koperasi
kelompok nelayan dan sebagainya;
c) Tidak ada perlindungan secara pribadi, bila ada ancaman dari musuh, baik
ancaman secara pribadi maupun secara umum;
d) Struktur bagi hasil yang dinilai paling rendah bagi mereka, sehingga
nelayan pelacak merasa tidak terikat secara ketat kepada salah satu tekong
atau pihak-pihak tertentu;
e) Banyaknya kelompok kerja nelayan yang akan bersedia menerima mereka,
bila sewaktu-waktu mereka menginginkan; dan
f) Sumberdaya laut bersifat open accses, tidak dikuasai oleh seseorang atau
kelompok tertentu, sehingga selalu memberi peluang kepada siapapun
untuk memanfaatkan secara bersama. Hal ini tentunya sangat berbeda
dengan masyarakat petani yang terikat dengan lahan, yang sifatnya
dikuasai dan dimiliki oleh seseorang atau kelompok tertentu
Beberapa faktor di atas menjadi faktor penting longgarnya hubungan
tekong dan pelacak, hal ini sesuai pendapat Scott (1993), setidaknya ada empat
faktor terjadinya hubungan patron client secara ketat, yaitu bila arus dari patron
ke client berupa; a) jaminan subsisten, b) jaminan ketentraman, berupa
perlindungan dari berbagai ancaman dan gangguan, c) jaminan dari paceklik,
berupa pinjaman uang atau barang, dan d) jaminan sosial seperti membantu sarana
ibadah, sekolah dan sebagainya. Beberapa fasilitas sebagaimana yang
direkomendasikan Scott tersebut, sulit dipenuhi oleh patron, terlebih lagi
produktivitas ikan dilaut belakangan ini mengalami penurunan.
Sistem pasar yang berlaku di wilayah setempat, dengan
mengikuti mekanisme yang ada, terkait dengan koordinasi
dengan pihak darat.
Toke/juragan

Tekong

Apit Kuanca

Pejabat lampu Pejabat jaring Pejabat dapur


Pejabat selam

Para pelacak

Sumber : Diolah dari data primer dan pengamatani lapangan, 2006

Gambar 26. Pola hubungan kerja juragan/toke dan nelayan Sumberjaya

Pola hubungan juragan/toke dengan nelayan pada Gambar 26


memperlihatkan pola interaksi dalam kegiatan penangkapan yang dilakukan
kelompok besar (10-25 orang). Setiap hubungan melihat pelaku sebagai bagian
dari kegiatan penangkapan, yaitu tekong, apit, kuanca dan pelacak dan pihak-
pihak lain yang terlibat di dalamnya. Pihak di darat, penyediaan barang-barang
bawaan, perantara penjual dan pembeli diatur oleh juragan/toke. Peran tekong
sangat signifikan, yaitu mengendalikan jalannya kegiatan melaut. Tekong
mempuyai andil, bertanggung jawab dan wewenang yang paling tinggi diantara
para anggota lainnya. Penunjukkan tekong sendiri, disamping atas dasar
penguasaan teknologi dan kemampuan menjalankan alat penangkapan juga
dominan karena faktor keahlian mereka dalam mengendalikan kegiatan
penangkapan.
Bila status tekong karena faktor keahlian semata, umumnya di tunjuk
oleh pemilik aset terbesar dalam suatu kelompok kerja tidak ikut melaut, atau
yang dikenal dengan istilah juragan/toke. Status juragan/toke semacam itu,
dikelurahan Sumberjaya, terdiri dari berbagai bentuk, ada juragan/toke merangkap
tekong, ada juga sebagai toke saja, serta ada juga pengusaha ikan juga sebagai
juragan. Umumnya, toke berada di darat adalah mempuyai penguasaan aset
dalam kelompok tersebut, mulai dari armada penangkapan, alat tangkap, modal,
perbekalan, bahkan mempuyai tempat melabuhkan kapal sendiri (tangkahan),
serta mempuyai gundang penyimpanan ikan yang besar. Status toke seperti ini
dikategorikan sebagai juragan. Ada juga, disamping sebagai toke juga merangkap
tekong yang hanya mempuyai aset armada penangkapan, alat tangkap saja. Ada
yang hanya sebagai toke saja, mempuyai armada penangkapan, alat tangkap serta
gudang penyimpanan ikan sebagai tempat pengumpulan hasil penangkapan.
Karena berbagai faktor, seorang juragan/toke, menunjuk seseorang tekong yang
dinilai mampu memimpin dan paling berpengalaman, umumnya masih ada
hubungan keluarga. Biasanya juragan/toke darat tersebut hanya berperan
mendistribusikan atau menjualkan hasil tangkapan, atau segala sesuatu yang
berhubungan dengan darat hingga menjadi uang. Sebaliknya pula pihak darat
sepenuhnya mempercayakan segala kegiatan penangkapan di laut pada tekong,
misalnya pembagian kerja para pelacak, penunjukkan tugas-tugas tertentu,
wilayah penangkapan dan yang lainnya.
Penyebutan kata tekong umumnya dilekatkan dengan penguasaan aset
teknologi dan kemampuan menggunakan teknologi dalam penangkapan ikan, serta
keahlian dalam melihat tanda-tanda alam. Karena kemampuannya tekong
dianggap sebagai seorang yang punya ekonomi yang kuat, baik dalam kegiatan
melaut, maupun dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kesan yang muncul
kemudian adalah kehidupan yang makmur dan pekerjaan yang lebih ringan
dibanding status pekerjaan yang lainnya, namun selama penangkapan
berlangsung, tidak menunjukkan status dan posisi yang melekat dalam diri
masing-masing.
Seorang tekong, tidaklah kemudian pekerjaannya lebih ringan dari anggota
lainnya, seperti pelacak biasa. Tekong dan anggota lainnya secara bersama-sama
tanpa mempertimbangkan posisi dan status dalam kelompok. Bahkan hampir
tidak ada perbedaan signifikan pekerjaan yang dilakukan tekong dengan pekerjaan
yang dilakukan pelacak biasa. Beberapa pekerjaan tertentu saja yang secara
spesifik harus dilakukan seseorang yang ahli, misalnya pelacak penyelam, yaitu
seseorang pelacak yang sangat ahli dalam menyelam, atau kuanca (juru mesin)
yang bertanggung jawab terhadap kamar mesin, karena keahlian tersebut
mendapatkan bagian tersendiri dibanding yang lain.
Berdasarkan uraian di atas, pola patron klien antara juragan/toke dan
nelayan sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat (1990), bahwa hubungan
patron-client dilihat sebagai principle of reciprocity, dimana adanya hubungan
timbal balik, seperti yang terlihat pada hubungan produksi antara tekong dan
pelacak. Pendapat ini diperkuat lagi oleh penjelasan Mappawata (1986) bahwa
pola hubungan kerja yang terjadi adalah hubungan yang bersifat instrumental
telah mencapai suatu titik ketidak seimbangan yang maksimal, sehingga seseorang
demikian unggul terhadap yang lainnya dalam kemampuannya memberikan
barang-barang dan jasa, maka hubungan tersebut mendekati titik kritis untuk
selanjutnya menuju kearah hubungan patron-client.

b. Kelembagaan Bagi Hasil


Salah satu ciri hubungan produksi pada usaha perikanan tangkap adalah
adanya sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil yang ditemukan pada komunitas
nelayan Teluk Sepang ditentukan oleh kepemilikan alat produksi. Hal ini sesuai
dengan pendapat Satria (2002) bahwa sistem bagi hasil sangat beragam seiring
dengan perbedaan karakteristik alat produksi dan karakteristik sosial. Pola bagi
hasil nelayan Teluk Sepang disajikan seperti Tabel 42 berikut.
Tabel 42. Pola bagi hasil Nelayan Teluk Sepang
Uraian Jenis Nelayan
Semi Patron Klien Non Patron Klien
Target penangkapan Ikan gebur, kembung, tenggiri, tongkol, kape-kape, gelamo, beledang, pinang-
pinang, maco kedapang, maco turik, snangi, belanak, udang kelong, lobster
Daerah penangkapan Perairan sebalik Utara, perairan linau
Trip operasional 1 hari 1 hari
Rata-rata trip/bulan 15-20 15-20
Armada penangkapan < 5 GT – 10 GT < 5 GT-10 GT
Jumlah ABK 1-3 orang 1-3 orang
Pola Bagi hasil • Penghasilan kotor dikurangi • Penghasilan kotor dikurangi
biaya operasional kemudian biaya operasional kemudian
dibagi antara pemilik kapal dan dibagi antara pemilik kapal,
ABK pemilik alat tangkap dan
• Satu bagian untuk pemilik dan penumpang
satu bagian untuk ABK • Sepertiga bagian untuk pemilik
kapal, sepertiga bagian untuk
pemilik alat tangkap dan
sepertiga bagian untuk
penumpang

Sumber : Diolah dari data primer dan pengamatan lapangan, 2006

Dari Tabel 42 terlihat ada beberapa pola bagi hasil dalam nelayan Teluk
Sepang. Pola I, yaitu juragan sebagai pemilik kapal yang mempuyai alat produksi
(lancang dan jaring) yaitu dari total penghasilan dikurangi dengan bekal
melaut/bahan bakar adalah penghasilan kotor. Selanjutnya dari penghasilan kotor
tersebut, sistem bagi hasilnya dibagi dua yaitu satu bagian untuk pemilik kapal
dan satu bagian lagi untuk seluruh anak buah kapal (ABK) yang dibagikan secara
proporsional sesuai dengan berat ringannya pekerjaan. Khusus untuk tekong akan
mendapatkan tambahan komisi dari toke diluar sistem bagi hasil tersebut.
Besarnya komisi tergantung dari kemurahan hati toke, biasanya dilihat dari
pendapatan hari itu, semakin besar pendapatan, komisi yang terima juga besar,
atau sebaliknya.
Selain pola bagi hasil diatas, karena keterbatasan akan perahu (lancang),
alat tangkap (jaring) dan modal (biaya solar) telah menciptakan pola hubungan
kerja lain pada komunitas nelayan Teluk Sepang. Bagi nelayan dengan
keterbatasan tersebut menjadikan posisi mereka sebagai pengikut yang mempuyai
perahu (lancang), istilah mereka menumpang, dengan kesepakatan diantara
mereka hasil tangkapan tersebut berdasarkan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil
dalam hubungan kerja tersebut biasanya perbekalan mereka bawa masing-masing,
setelah dikeluarkan untuk modal operasional melaut (solar), sisanya dibagi dengan
ketentuan, yaitu satu per tiga bagian untuk pemilik lancang, satu per tiga bagian
lagi dibagi sama rata dengan anggota perahu yang punya jaring dan satu pertiga
sisanya dibagi rata keseluruhan anggota lancang. Sebagai contoh, sistem bagi
hasil pola I, sebuah lancang (berpenumpang 3-4 orang) berpenghasilan Rp.
400.000. Hasil tersebut terlebih dahulu dikurangi biaya perbekalan sebesar Rp.
70.000,-. Sisanya Rp.330.000,- dibagi dua; satu bagian untuk pemilik lancang
dan satu bagian untuk ABK. Hasilnya pemilik lancang mendapatkan Rp.
165.000,- dan setiap ABK mendapat Rp.41.250.
Berdasarkan pasal 3 undang-undang bagi hasil perikanan (UUBHP) yang
mengelompokkan persentase bagi hasil perikanan laut berdasarkan jenis perahu
layar atau kapal motor, untuk nelayan pandega perahu layar memberikan
persentase pembagian minimum sebesar 75% dan perahu motor minimum 40%
dari hasil bersih. Maka sistem bagi hasil nelayan Teluk Sepang pola semi patron
klien jika dibandingkan dengan UUBHP sudah di atas standar yaitu nelayan buruh
menerima sebesar 50%-50% dari keuntungan. Sementara, sistem bagi hasil yang
berlaku untuk nelayan non patron klien menunjukkan tidak sesuai dengan
UUBHP, yaitu nelayan buruh masih menerima pembagian dibawah 40%. Hal ini
sesuai dengan pendapat Taryoto et al. (1993) bahwa umumnya sistem bagi hasil
yang berlaku adalah pembagian hasil antara pemilik modal dengan nelayan yang
kelaut selalu menguntungkan pemilik modal.

Tabel 43. Pola bagi hasil Nelayan Kandang


Nelayan Sampan Nelayan Lancang
Pola Bagi hasil Pendapatan seluruh Pendapatan dipotong dengan
penumpang sampan disatukan modal merupakan hasil bersih.
kemudian dibagi rata seluruh Hasil bersih dibagi 50% untuk
penumpang pemilik dan 50% untuk seluruh
ABK yang dibagi enam : dua
untuk tekong dan empat untuk
seluruh ABK

Sumber : Diolah dari wawancara, 2006

Berdasarkan Tabel 43 memperlihatkan pola bagi hasil Nelayan Kandang


adalah sistem bagi dua untuk pemilik dan ABK dan sistem bagi enam untuk
tekong dan ABK. Pola ini menunjukkan bahwa bagi hasil memberikan bagian
yang lebih besar bagi pemilik sehingga adanya ketidakmerataan distribusi
pendapatan, yang mengakibatkan ketimpangan dan posisi nelayan buruh (ABK)
yang lemah. Pada akhirnya menyebabkan kemiskinan di kalangan nelayan buruh.
Hal ini sesuai dengan pendapat Hadiwegono dan Pakpahan (1993) bahwa
penyebab kemiskinan antara lain yaitu bagi hasil yang tidak adil. Pendapat ini
diperkuat oleh Baswir (1999) bahwa kemiskinan dapat terjadi karena faktor
struktural yaitu faktor buatan manusia seperti kebijakan perekonomian yang tidak
adil.
Sementara itu, sistem bagi hasil Nelayan Sumberjaya berdasarkan jenis
alat produksi, seperti terlihat pada Tabel 44 dibawah ini.

Tabel 44. Pola bagi hasil Nelayan Sumberjaya pada jaring pukat cincin
Perhitunngan Pola Status Bagian Keterangan
hasil bersih
Hasil penjualan Bagi Pemilik kapal Dua bagian dari Memberikan
dikurangi biaya empat hasil bersih premi asuransi
perbekalan = sebesar 100/kg
penghasilan
bersih Biaya perawatan Satu bagian dari
hasil bersih
ABK Tekong Satu bagian dari - Untuk tekong
(15-25 Apit/kuanca hasil bersih diberi gaji
orang) Pelacak bulanan
- bonus :
>10 ton = Rp. 1
juta
>5 ton = Rp.
200/kg, dibagi
sesuai dengan
jumlah pelacak
Sumber : Diolah dari wawancara, 2006

Tabel 45. Pola bagi hasil Nelayan Sumberjaya pada jaring insang hanyut/udang
Perhitunngan hasil bersih Pola Status Bagian Keterangan
Hasil penjualan dikurangi Bagi dua Pemilik Dua bagian
biaya perawatan, dikurangi kapal dari hasil
biaya es balok, dikurangi bersih
biaya angsuran kredit jaring
= penghasilan bersih
Tekong Satu bagian Dibagi dua : satu
ABK dari hasil bagian untuk
(4-7 orang) bersih tekong dan satu
bagian untuk
semua pelacak
Sumber : Diolah dari wawancara, 2006
Tabel 46. Pola bagi hasil Nelayan Sumberjaya pada jaring payang
Perhitunngan hasil Pola Status Bagian Keterangan
bersih

Hasil penjualan Bagi dua Pemilik kapal 45% - 50%


dikurangi biaya
perbekalan =
penghasilan kotor.
Kemudian dari
penghasilan kotor
dikurangi biaya
perawatan + es balok
= penghasilan bersih
ABK 50% - 55% Dibagikan secara
(15-25 orang) proporrsional
sesuai dengan
jumlah ABK

Sumber : Diolah dari wawancara, 2006

Tabel 47. Pola bagi hasil Nelayan Sumberjaya pada bagan perahu
Perhitunngan hasil Pola Status Bagian Keterangan
bersih
Hasil penjualan Bagi dua Pemilik kapal Dua bagian dari
dikurangi biaya hasil bersih
perbekalan =
penghasilan bersih
Tekong Satu bagian dari Dibagi dua : satu
ABK hasil bersih bagian untuk
(7-15 orang) tekong dan satu
bagian untuk
semua pelacak
Sumber : Diolah dari wawancara, 2006

Tabel 48. Pola bagi hasil Nelayan Sumberjaya pada kapal pancing
Perhitunngan hasil Pola Status Bagian Keterangan
bersih

Hasil penjualan Bagi dua Pemilik Satu bagian dari


dikurangi biaya kapal hasil bersih
perbaikan kapal
sebesar 5%,
kemudian dikurangi
5% untuk ABK,
kemudian dikurangi ABK Satu bagian dari Dibagi pada
modal = (7-15 orang) hasil bersih semua ABK
penghasilan bersih

Sumber : Diolah dari wawancara, 2006

Berdasarkan Tabel 44-48 di atas, menunjukkan bahwa sistem bagi hasil


nelayan Sumberjaya adalah sistem bagi dua dan sistem bagi empat yang porsinya
meskipun sesuai dengan UUBHP, dimana bagian nelayan buruh bermotor
minimum 40% dari hasil bersih, tetapi tetap merugikan tekong dan ABK (apit,
kuanca, pejabat selam, pejabat jaring, pejabat dapur, pejabat lampu dan pelacak).
Hal ini sesuai dengan pendapat Kusumastanto (2005) menyatakan bahwa konsep
bagi hasil (profit-loss sharing) antara juragan dan nelayan (Anak Buah
Kapal/ABK) dalam usaha perikanan tangkap merupakan hal yang menguntungkan
selama masing-masing pihak bertindak benar. Namun, demikian konsep ini masih
banyak mengakibatkan kemiskinan dan kerugian nelayan buruh (ABK).
Penyebabnya adalah adanya aset yang semakin menurun dari aset-aset produksi di
dalam usaha penangkapan, sehingga otomatis menurunkan nilai guna dari aset-
aset tersebut. Kondisi ini menyebabkan ketimpangan pendapatan antara pemilik
perahu dan modal dengan anak buah kapal. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Salman dan Taryanto (1981) bahwa bagi hasil nelayan di Sulawesi dimana bagian
yang diterima punggawa sebagai pemilik alat tangkap dan modal lebih besar
dibandingkan dengan hasil yang diterima sawi.

c. Kelembagaan Pemasaran dan Permodalan


Pemasaran hasil tangkapan nelayan Teluk Sepang dilakukan secara
mandiri dengan memanfaatkan kelompok nelayan dan anggota rumah tangga
mereka. Distribusi pemasaran ikan nelayan Teluk Sepang masih sangat
sederhana. Adapun distribusi pemasaran nelayan Teluk Sepang dapat dilhat pada
Gambar 48 dibawah ini.

Anggota kelompok Bagian pemasaran


Pedagang emberan
Nelayan ikan
Pedagang emberan
non anggota kelompok Konsumen lokal
Anggota keluarga

Pedagang pengumpul
(Toke)

Gambar 27. Distribusi pemasaran ikan pada komunitas Nelayan Teluk Sepang
Pedagang pengumpul
(juragan jaring) Pedagang pengumpul
lokal (toke)
Anggota kelompok
Pedagang pengumpul
regional (Gudang Ikan)
Nelayan Udang

Pedagang besar
non anggota kelompok Nasional (Perusahaan
eksport)
Pedagang pengumpul lokal
(Perusahaan Perikanan)
Konsumen lokal,
regional, nasional,
internasional

Gambar 28. Distribusi pemasaran udang pada komunitas Nelayan Teluk Sepang

Gambar 27 dan Gambar 28 memperlihatkan hasil tangkapan nelayan Teluk


Sepang terdiri dari ikan dan udang. Bagi anggota kelompok nelayan, hasil
tangkapan berupa ikan langsung diambil alih bagian pemasaran dari kelompok
tersebut, ikan ditimbang, dicatat dalam pembukuan pendapatan anggota
kelompok, kemudian bagian pemasaran mematok harga jualnya. Biasanya bagian
pemasaran membeli ikan dari nelayan seperti harga pasar, kemudian ikan tersebut
di lelang ke pedagang-pedagang emberan. Pedagang emberan tersebut adalah
langganan tetap. Harga yang ditawarkan tidak berbeda dari harga ikan di tempat
pelelangan ikan (TPI), selisih Rp. 500,00. Pedagang ember lebih banyak membeli
dengan nelayan Teluk Sepang daripada nelayan di TPI, karena ikannya masih
segar, dikarenakan waktu melaut nelayan Teluk Sepang satu hari.
Sistem pemasaran ini berbeda dengan nelayan bukan anggota kelompok.
Ikan hasil tangkapan langsung dijual pada penyambut , yaitu pedagang ikan yang
punya modal besar (pedagang pengumpul), pedagang pengumpul ini langsung
menjual ke pasar (konsumen lokal). Harga ikan yang diambil pedagang
pengumpul ini lebih tinggi bila dijual ke pedagang emberan. Ada nelayan yang
sistem pemasarannya langsung dijual ke pedagang pengecer atau pedagang
emberan, dipasarkan ke konsumen lokal bahkan ada juga dipasarkan langsung
oleh anggota keluarga dirumah, oleh istri, orang tua atau saudara mereka yang
umumnya perempuan. Atau dijual langsung pada tetangga yang membutuhkan.
Berdasarkan uraian di atas ternyata sistem jaringan distribusi nelayan
Teluk Sepang menunjukkan bahwa hasil tangkapan berupa ikan rantai
pemasarannya tidak terlalu panjang dengan konsumen pasar lokal, berbeda
dengan hasil tangkapan udang (udang kelong atau udang karo/lobster) ternyata
rantai pemasarannya cukup panjang. Ini memungkinkan karena komoditi udang
kelong/lobster adalah komoditi ekspor sehingga konsumennya tidak hanya lokal
tetapi sampai ke luar negeri. Sebagai gambaran, harga udang lobster pada saat
penelitian dilakukan Rp. 195.000/kg dibeli dari nelayan, sedangkan harga pasar
lokal saat itu sebesar Rp. 200.000/kg, sehingga ada selisih harga Rp. 5000/kg.
Harga udang lobster di restoran seafood Jakarta bisa mencapai Rp. 350.000/kg.
Peranan pedagang pengumpul, yang berasal dari bagian pemasaran, juragan
jaring, perusahaan ikan, toke dan gudang ikan lebih dominan dari permodalan
sehingga harga ditentukan oleh mereka. Kondisi ini merugikan nelayan karena
tidak mempuyai kekuatan tawar menawar harga. Hal ini sesuai pendapat
Karsyono dan Safat (2000) bahwa semakin panjang suatu rantai pemasaran,
semakin tinggi harga akhir yang ditanggung konsumen dibandingkan dengan
harga jual pertama dari tangan produsen.
Pemasaran hasil tangkapan Nelayan Kandang berupa ikan dan udang pada
konsumen melalui pasar lokal, antar daerah dan ekspor, seperti yang disajikan
pada Gambar berikut.

Pedagang pengumpul Pedagang pengecer


(Toke) (cingkau)

ikan

Nelayan Konsumen lokal


Konsumen regional
udang Konsumen nasional

keluarga

Gambar 29. Distribusi pemasaran hasil tangkapan Nelayan Kandang


Gambar 29 memperlihatkan jaringan pemasaran hasil tangkapan langsung
dipasarkan. Pemasaran hasil tangkapan Nelayan Kandang langsung ke pedagang
pengumpul (toke) karena telah memberikan pinjaman terlebih dahulu kepada
nelayan, sehingga nelayan tersebut harus menjual hasil tangkapan. Pinjaman
tersebut diberikan tanpa bunga dengan persyaratan hasil tangkapan dijual kepada
toke, dan toke yang menentukan harganya. Kondisi ini melemahkan posisi
nelayan buruh sehingga menyebabkan kemiskinan. Hal ini sesuai dengan
penelitian Mubyarto et al. (1999) bahwa pola hubungan patron klien tersebut telah
menciptakan terjadinya kemiskinan.
Jaringan pemasaran nelayan Sumberjaya lebih beragam berdasarkan jenis
alat penangkapan, seperti yang disajikan pada gambar berikut.

Pedagang pengumpul Pedagang besar


tingkat regional Tingkat regional
Pedagang pengumpul (Gudang Ikan) (Perusahaan Ikan)
(juragan/pemilik kapal)

Pedagan pengecer
Nelayan tingkat regional
(Cingkau)

Pedagang pengumpul
(toke)
Konsumen regional
Konsumen lokal
Pedagang pengecer tingkat lokal
(Cingkau)

Gambar 30. Distribusi pemasaran ikan nelayan jaring payang/bagan


perahu/pancing

Pedagang pengumpul Pedagang pengumpul


Pedagang pengumpul
(juragan/pemilik kapal) Tingkat lokal
tingkat regional
(Gudang Ikan)
(Toke)
Udang

Pedagang pengecer Pedagang besar


Ikan-ikan sedang tingkat lokal Tingkat nasiona
Nelayan (Cingkau) (Perusahaan eksport)

Ikan-ikan kecil Pedagang pengumpul


(toke)
Konsumen regional
Industri pengolaha ikan Konsumen lokal
(istri nelayan)
Pedagang pengecer tingkat lokal
(Cingkau)

Gambar 31. Distribusi pemasaran ikan nelayan jaring hanyut/udang


Pedagang pengumpul Pedagang pengumpul Pedagang pengumpul
(juragan/pemilik kapal) Tingkat lokal tingkat regional
(Gudang Ikan) (Toke)

Ikan ekspor

Pedagang pengecer Pedagang besar


tingkat lokal Tingkat nasiona
Nelayan Ikan-ikan sedang (Perusahaan eksport)
(Cingkau)

Ikan-ikan kecil
Konsumen nasional
Konsumen regional
Industri pengolaha ikan Konsumen lokal
(istri nelayan)

Pedagang pengumpul Pedagang pengecer tingkat lokal


(toke) (Cingkau)

Gambar 32. Distribusi pemasaran ikan nelayan pukat cincin

Gambar 30-32 memperlihatkan bahwa distribusi pemasaran hasil


tangkapan nelayan Sumberjaya berdasarkan alat tangkap yang digunakan. Hasil
tangkapan jaring payang/bagan perahu/pancing yang berupa ikan dijual langsung
ke pedagang pengumpul yang berasal dari juragan sebagai pemilik kapal atau toke
sebagai pemilik modal. Untuk jaringan pemasaran nelayan jaring insang
hanyut/udang/jaring pukat cincin, peranan pedagang pengumpul yang berasal dari
juragan (pemilik kapal) dan toke (pemilik modal) hanya pada komoditi berupa
ikan-ikan ekspor dan udang. Jenis-jenis ikan yang tertangkap oleh nelayan terdiri
dari ikan ekspor (seperti ikan tuna, cakalang, layaran), jenis udang (seperti udang
kelong, lobster), jenis ikan sedang (seperti ikan kembung, selar, sarden, gelamoh,
maco turik, maco ketapang, gebur, tenggiri, jenihin, kakap merah, tongkol) dan
jenis ikan kecil-kecil (seperti ikan teri, beledang, bleberan).
Dari uraian diatas menunjukkan bahwa hasil tangkapan nelayan
Sumberjaya untuk sampai ke konsumen melalui rantai pemasaran lebih panjang
dari rantai pemasaran nelayan Teluk Sepang, karena hasil tangkapan lebih
beragam jenisnya. Panjangnya rantai pemasaran ini merugikan nelayan sehingga
posisinya tetap termarginalkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Satria (2002)
bahwa lemahnya posisi nelayan dalam pemasaran menyebabkan selama ini marjin
keuntungan pemasaran lebih banyak jatuh ke tangan pedagang bukan ke nelayan.
Pendapat ini di dukung oleh Dahuri (2001) bahwa posisi tawar menawar
masyarakat pesisir yang lemah ini disebabkan sedikitnya produksi sehingga
produsen tidak memiliki banyak pilihan untuk menjual hasilnya.
Jaringan permodalan dalam penangkapan ikan nelayan Teluk Sepang lebih
banyak berdasarkan interaksi antara nelayan. Peranan pemilik lancang/toke tidak
memposisikan sebagai patron yang membiaya modal karena nelayan Teluk
Sepang merupakan pemilik kapal sekaligus sebagai tekong sehingga modal
operasional yang dikeluarkan hanya bahan bakar. Bagi nelayan anggota
kelompok Sepang Serumpun, bila tidak punya modal, bahan bakar dapat dipinjam
pada bagian logistik di kelompok, setelah mendapatkan hasil tangkapan, baru
dibayar. Nelayan yang bukan anggota kelompok, modal ke lautpun sangat jarang
mereka pinjam, karena mereka menyisihkan pendapatan untuk membeli bahan
bakar untuk besoknya.
Permodalan dalam kegiatan penangkapan ikan Nelayan Kandang dikuasai
oleh pemilik kapal, juragan dan koperasi keliling. Sumber modal yang berasal
dari juragan dan pemilik kapal ada imbalannya yaitu setiap hasil tangkapan harus
dijual kepada peminjam modal dan harga ditentukan, biasanya lebih murah dari
harga pasar. Sumber modal dari koperasi keliling, dengan prosedur lebih mudah
tapi sangat berat bagi nelayan karena bunganya besar.
Hampir semua nelayan Sumberjaya telah menyerahkan separuh hidupnya
pada juragan/toke yang telah menyediakan pinjaman modal dalam kegiatan
melaut, dikarenakan tidak ada pilihan lebih baik, selain meminjam modal pada
toke/juragan yang telah mereka kenal untuk menutupi besarnya biaya yang harus
dikeluarkan serta resiko yang harus ditanggung dalam kegiatan melaut. Dalam
sistem kegiatan melaut seorang juragan/toke membiayai kegiatan operasional
melaut kien-nya, berupa modal bahan bakar, armada penangkapan, alat tangkap
beserta peralatannya seperti tempat penyimpan ikan, es batu dan lainnya. Sebagai
imbalannya, nelayan harus menjual hasil ikan tangkapannya kepada juragan/toke
yang telah memberikan modal operasional melaut. Seorang nelayan juga dapat
meminjam uang kepada juragan/toke bila mereka mempuyai kebutuhan lainnya
yang mendesak, pinjaman tersebut akan diberikan tanpa angunan dan bunga
maupun prosedur formal lainnya.
Kondisi jaringan pemasaran dan jaringan permodalan nelayan di daerah
poenelitian menunjukkan bahwa semakin lemahnya posisi nelayan dalam tawar
menawar harga sehingga menempatkan nelayan pada posisi pinggiran dan
besarnya ketergantungan mereka pada pemilik alat produksi. Hal ini sesuai
dengan pendapat Masyhuri (1999) bahwa terpinggirkannya nelayan disebabkan
nelayan kurang memiliki akses modal dan akses dalam memasarkan hasil
tangkapan ikan. Selain itu struktur ekonomi seperti ini akan menyebabkan
ketergantungan sekelompok nelayan pada pihak lain dalam pemenuhan kebutuhan
sub sistem. Pendapat ini didukung oleh Sidik et.al (2000) bahwa sikap nelayan
yang serba tergantung pada sumber yang memberikan kredit tidak hanya bentuk
uang, tetapi juga dalam bentuk alat produksi dan kebutuhan lainnya dengan
jaminan nelayan harus menjual hasil tangkapannya dengan harga yang relatif
lebih murah dari harga pasar, hal ini semakin melemahkan posisi tawar menawar
nelayan. Lemahnya posisi nelayan menyebabkan mereka tetap dalam lingkaran
kemiskinan.

4.4.2. Kelembagaan Budidaya Tambak


a. Kelembagaan hubungan kerja
Komunita petambak berbeda dengan komunitas nelayan di daerah
penelitian, dikarena jumlahnya tidak sebanyak nelayan, yaitu 22 petambak dengan
luas tambak 62,2 ha. Di dalam komunitas petambak di Kelurahan Teluk Sepang
dan Kelurahan Sumberjaya memiliki pola hubungan kerja antara toke sebagai
pemilik modal dan petambak. Pemilik modal dikomunitas tambak terdiri dari
toke besar, yaitu pemilik modal yang memiliki lahan tambak seluas 15 ha
berjumlah 3 orang; dan toke yang memiliki tambak seluas 3-5 ha berjumlah 10
orang; dan perusahaan ekspor udang ada 5 buah berbentuk CV dan 2 buah
berbentuk PT (Perseroan Terbatas). Hubungan kerja petambak yang ditemukan di
daerah penelitian seperti Tabel 49 berikut.
Tabel 49. Pola hubungan kerja petambak di daerah penelitian
Bentuk hubungan kerja yang ditemukan

Pola I Pola II Pola III

Toke besar mempuyai Toke besar mempuyai hubungan kerja Perusahaan ekspor mempuyai hubungan
hubungan kerja dengan toke. langsung dengan petambak. Seorang kerja seorang toke. Toke ini memiliki 1-
Seorang toke mempuyai petambak memiliki 2-4 penjaga 2 orang petambak. Setiap petambak ada
hubungan kerja dengan 1-2 tambak yang memperkerjakan 2 penjaga empang,
petambak, dimana setiap ada yang memperkerjakan 3 penjaga
petambak memiliki penjaga tambak
tambak 1-2 orang

Sumber : Diolah dari wawancara, 2006

Dari Tabel 49 diatas menunjukkan pola hubungan kerjaama antara toke


dengan petambak dimana pemenuhan kebutuhan hidup penjaga tambak biasanya
dicukupi oleh pemilik tambak, sedangkan kebutuhan modal operasional akan
dipenuhi oleh toke yang menjadi patronnya, selanjutnya untuk sebuah kebutuhan
yang tidak sanggup dipenuhinya, seorang juragan akan meminta bantuan pada
toke yang lebih besar atau pada perusahaan eksportir dengan sebuah kesepakatan
yang berujung pada penyerahan sepenuhnya hasil tambak kepada pemberi
pinjaman modal. Hubungan seperti ini memperlihatkan hubungan patron client
antara pemilik modal (toke), petambak dan penjaga tambak. Pola-pola hubungan
kerja tersebut disajikan pada Gambar 33 dibawah ini.

Toke besar Perusahaan ekspor udang

Toke
Toke

petambak
petambak petambak petambak petambak

I I I I I I I I I I I I I

Keterangan : I = Penjaga tambak

Gambar 33. Pola hubungan kerja kegiatan pertambakan di daerah penelitian


Berdasarkan Gambar 33 di atas menunjukkan bahwa hubungan patron
klien dalam komunitas petambak di daerah penelitian menggunakan hubungan
pemimpin-pengikut, bertindak sebagai majikan yang memposisikan dirinya
sebagai produsen yang “memaksa” petambak-petambak yang terikat padanya
serta para penjaga tambak miliknya untuk memberikan kepastian pasokan udang
yang dibutuhkan pasar. Hal ini sesuai dengan pendapat Masyhuri (1999) bahwa
pranata sosial yang sangat menonjol di kalangan masyarakat pesisir adalah
hubungan patron klien yang berdasarkan hutang piutang.

b. Kelembagaan Bagi Hasil


Dengan kondisi hubungan patron klien tersebut, sistem bagi hasil yang
berlaku di Kelurahan Teluk Sepang dan Kelurahan Sumberjaya adalah sistem bagi
hasil terdiri dari 75% untuk pemilik tambak dan 25% untuk penjaga tambak yang
memenuhi sendiri kebutuhan hidupnya, itupun setelah dipotong biaya produksi
dan sistem bagi hasil terdiri dari 80% untuk pemilik tambak dan 20% untuk
penjaga tambak yang kebutuhan hidupnya dipenuhi oleh pemilik tambak, setelah
di potong biaya produksi. Pola bagi hasil di daerah penelitian disajikan pada
Tabel 50 berikut.

Tabel 50. Pola bagi hasil petambak di daerah penelitian


Pola bagi hasil Pembagian Yang Diberikan Keterangan
Hasil panen dikurangi biaya produksi Pemilik tambak 75% Penjaga tambak
75% : 25% Penjaga tambak 25% memenuhi sendiri
kebutuhan hidupnya
Hasil panen dikurangi biaya produksi Pemilik tambak 80% Kebutuhan hidup
80% - 20% Penjaga tambak 20% penjaga tambak
dipenuhi oleh
pemilik tambak
Sumber : Hasil wawancara, 2006

Berdasarkan Tabel 50 di atas menunjukkan bahwa sistem bagi hasil di


daerah penelitian sangat menguntungkan pemilik tambak, yaitu antara 75%-80%.
Hal ini merugikan petambak sehingga kehidupan petambak tetap dalam lingkaran
kemiskinan. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian Tindjabate (2001)
membuktikan bahwa petambak cenderung dirugikan dalam kelembagaan bagi
hasil, karena berbagai hal yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan sepenuhnya
ditanggung pemilik modal sehingga perhitungan lebih besar. Hal ini didukung
oleh hasil penelitian Mappawata (1986) bahwa adanya bias keuntungan kepada
punggawa (petambak) dan pappalele (pemilik modal) dalam hubungan produksi
dengan petambak.

c. Kelembagaan pemasaran dan permodalan


Sebagian besar komunitas petambak di daerah penelitian memiliki pola
yang hampir seragam dalam memasarkan hasil tambaknya, yaitu langsung dijual
pada toke yang menjadi patronnya masing-masing. Namun ada juga petambak
yang memasarkan hasil tambaknya langsung pada perusahaan ekspor karena tidak
terikat hutang ke toke ataupun dijual ke pasar lokal melalui cingkau, meskipun
persentase mereka relatif kecil, seperti disajikan pada Tabel 51 berikut.

Tabel 51. Tempat pemasaran hasil panen tambak di daerah penelitian


Tempat Pemasaran Lokasi Penelitian
Teluk Sepang Sumberjaya Persentase

Pasar lokal 0 2 (16,6%) 2 (13,3%)

Toke 2 (66,6%) 8 (66,6%) 10 (66,6%)


Pedagang penyambut/pedagang 1 (33,3%) 1 (8,3%) 2 (13,3%)
pengecer
Perusahaan ekspor 0 1 (8,3%) 1 (6,6%)

Jumlah 3 (20%) 12 (80%) 15 (100%)

Sumber : Diolah dari data primer, 2006

Berdasarkan Tabel 51 menunjukkan bahwa sebanyak 15 responden


sebagian besar yaitu 66,6% menjual hasil panennya kepada toke yang
transaksinya dilakukan dirumah atau digudang pengumpul. Sebesar 13,3% dijual
ke pedagang penyambut atau pedagang pengecer yang transaksinya juga
dilakukan tempat atau digudang ikan, pasar lokal 13,3% transaksinya dilakukan
ditempat, dan ada sebagian kecil (6,6%) menjual langsung kepada perusahaan
eksportir yang transaksinya dilakukan di gudang ikan. Pola-pola ini terlihat pada
Gambar 28 berikut.

Petambak
Pedagang penyambut/cingkau
Toke

Pedagang Besar
Gudang ikan

Perusahaan ekspor Pasar lokal

Alur perdagangan utama


Keterangan : Alur perdagangan menengah
Alur perdagangan kecil

Gambar 34. Rantai perdagangan hasil panen tambak di daerah penelitian

Gambar 34 di atas memperlihatkan distribusi pemasaran didaerah


penelitian terdiri dari beberapa alur perdagangan, yaitu pertama, alur utama,
dimana petambak memasarkan hasil panen ke toke, dari toke ke gudang ikan
kemudian ke perusahaan ekspor. Selain dari jaringan pemasaran utama berasal
dari pedagang penyambut (cingkau) memasarkan hasil tangkapan langsung ke
pasar lokal dan berasal juga dari pedagang besar yang memasarkan hasil panen
langsung ke perusahaan ekspor. Kedua, alur perdagangan menengah dimana
petambak memasarkan hasil panen pada gudang ikan, dan ada juga jaringan
menengah ini berasal dari toke memasarkan hasil panen melalui pedagang besar.
Ketiga, alur perdagangan kecil yaitu berasal dari petambak menjual hasil panen ke
pedagang penyambut (cingkau) lalu pedagang penyambut menjual ke pedagang
besar dan ke perusahaan ekspor; ada yang berasal dari toke yang menjual hasil
panen langsung ke pasar lokal.
Dari uraian diatas ternyata distribusi pemasaran hasil panen petambak di
daerah penelitian menunjukkan pola yang relatif rumit dan hubungan patron klien
tergambar jelas, dimana seorang toke akan membiayai kegiatan operasional
tambak kliennya, berupa modal pembukaan dan perawatan, berikut suplai benih,
pupuk dan racun yang diberikan sampai panen berhasil. Sebagai imbalannya,
petambak harus menjual hasil penen kepada toke. Toke juga akan berperan
sebagai pelindung bagi keamanan dan permodalan usaha tambak dari petambak
yang menjadi bawahannya. Sementara pentambak akan berperan sebagai pelayan
yang menyediakan suplai udang kepada toke yang memodalinya. Seorang
petambak juga dapat meminjam uang ke toke bila mereka mempuyai kebutuhan
lain yang mendesak, pinjaman tersebut diberikan tanpa angunan dan bunga
maupun prosedur formal lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Legg (1983)
bahwa hubungan patron klien adalah tata hubungan Beberapa penyedia modal di
daerah penelitian di sajikan pada Tabel 52 dibawah ini.

Tabel 52. Sumber pinjaman modal bagi petambak di daerah penelitian


Pemberi pinjaman Konsekuensi Permasalahan Keterangan

Toke Terikat dan harus menjual Fluktuasi harga udang Pemberian pinjaman yang
hasil tambak pada toke dikendalikan oleh toke tidak berbelit-belit dengan
yang bersangkutan pola pengembalian yang
tidak mengikat membuat
para petambak lebih
meilih sistem ini
Koperasi keliling Bunga tinggi Pengemballian bisa berlipat- Pemberian tidak berbelit-
lipat bila tidak tepat batas belit dengan pola
pengembalian (ada pengembalian yang
penyitaan) mengikat

Perusahaan Eksportir Terikat dan harus menjual Kualitas dan kuantitas udang Dapat menikmati selisih
hasil tambak pada yang dijual relatif tinggi harga penjualan udang,
eksportir bersangkutan namun hanya bisa
dimanfaatkan petambak
yang tidak terikat hutang
pada toke

Sumber : Diolah dari data primer, 2006


4.5. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir

4.5.1. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Kota Bengkulu


Analisis SWOT
Formulasi strategi pemberdayaan masyarakat pesisir sangat menentukan
arah dan tujuan perencanaan dan pengembangan pemberdayaan dalam
pengendalian degradasi sumberdaya pesisir. Formulasi strategi pemberdayaan
masyarakat pesisir tersebut memerlukan suatu proses analisis secara multidimensi
dengan mengakomodir semua aspek yang terkait dengan perencanaan
pemberdayaan masyarakat pesisir secara strategis. Aspek-aspek yang perlu
diperhatikan dalam memformulasikan strategi pemberdayaan pesisir, yaitu aspek
struktur masyarakat, kelembagaan masyarakat, dan aspek kondisi sumberdaya
alam pesisir. Input data mengenai aspek struktur masyarakat dan kelembagaan
masyarakat merupakan hasil wawancara dan pengamatan lapangan dengan
responden yang ditentukan sebelumya. Input data mengenai aspek kondisi
sumberdaya alam pesisir merupakan hasil identifikasi dan pengamatan yang
dilakukan pada sumberdaya alam di wilayah pesisir selama penelitian, dan input
data sekunder diperoleh dari beberapa instansi terkait.
Berdasarkan input data struktur masyarakat, kelembagaan masyarakat dan
kondisi sumberdaya alam pesisir, maka dilakukan suatu analisis strategis dengan
menggunakan analisis SWOT yang menggunakan elemen kekuatan, kelemahan,
peluang dan ancaman. Dalam analisis SWOT ada dua faktor yang sangat
berpengaruh dalam menentukan arah dan strategi pemberdayaan masyarakat
pesisir, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi
komponen kekuatan dan kelemahan, sedangkan faktor eksternal meliputi peluang
dan ancaman. Kedua faktor tersebut dijabarkan menjadi beberapa elemen yang
terkait dengan pemberdayaan masyarakat pesisir secara terpadu dan berkelanjutan.
Selanjutnya dilakukan penilaian dan pembobotan oleh responden kemudian
dilakukan tabulasi data dari judgement setiap responden. Hasil penilaian para
responden selanjutnya dilakukan verifikasi untuk menganalisis penentuan strategi
pemberdayaan masyarakat pesisir secara terpadu dan berkelanjutan.
Komponen kekuatan menunjukkan nilai yang cukup signifikan terhadap
pemberdayaan masyarakat pesisir dengan nilai +1,253. Sedangkan kelemahan
dalam pemberdayaan masyarakat pesisir menunjukkan nilai –1,946, sehingga
akumulasi nilai dari pengaruh faktor-faktor internal adalah – 0,693, disajikan pada
Tabel 53 berikut.

Tabel 53. Hasil analisis dan akumulasi pendapat responden untuk komponen
internal SWOT
Faktor- Faktor Strategi Internal Bobot Rating BbtX rating

Kekuatan :
• Panjang garis pantai ± 63 km dengan potensi 0,155 3 0,465
perikanan 49.195 ton/tahun dengan tingkat
pemanfaatan 67%.
• Jumlah nelayan 4.065 orang dengan produktivitas 0,197 4 0,788
25 kg/orang/hari
Kelemahan :
• Sistem patron klien 0,198 -4 -0,748
• Rendahnya modal sosial dalam struktur 0,087 -2 -0,174
masyarakat
• Rendahnya tingkat pendapatan nelayan kecil 0,179 -3 -0,537
/petambak buruh 0,098 -2 -0,291
• Kesenjangan teknologi dan modal usaha 0,097 -3 -0,196
• Kultur masyarakat pesisir yang plural
T o t a l 1 -0,693

Selanjutnya hasil analisis komponen peluang menunjukkan nilai yang


signifikan terhadap pemberdayaan masyarakat pesisir dengan nilai +2,207,
sedangkan ancaman dalam pemberdayaan masyarakat pesisir menunjukkan nilai –
0,965 sehingga akumulasi nilai dari pengaruh faktor-faktor eksternal adalah
+1,242, seperti pada Tabel 54 berikut.
Tabel 54. Hasil analisis dan akumulasi pendapat responden untuk komponen
eksternal SWOT
Faktor- Faktor Strategi Eksternal Bbt Rating Bbt X
rating
Peluang :
• Kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan 0,175 4 0,700
• Perda tentang zonasi pesisir dan laut Kota Bengkulu 0,137 4 0,548
• Peningkatan skala usaha masyarakat 0,087 3 0,261
• Program reboisasi 0,098 3 0,294
• Sarana transportasi dari dan ke Kota Bengkulu yang
membaik 0,101 4 0,404
Ancaman :
• Konflik sosial antar nelayan 0,075 -2 -0,150
• Pencemaran perairan 0,101 -1 -0,202
• Tangkap lebih (overfishing) 0,102 -3 -0,315
• Penggunaan teknologi penangkapan tidak ramah 0,062 -1 -0,062
lingkungan
• Degradasi hutan mangrove 0,095 -4 -0,236

T o t a l 1 1,242

Berdasarkan hasil analisis matriks SWOT, yaitu IFAS (internal factor


evaluation strategis) dan EFAS (eksternal factor evaluation strategis) pada Tabel
55, menunjukkan bahwa posisi pemberdayaan masyarakat pesisir di Kota
Bengkulu berada pada posisi kuadrant III dengan nilai –0,693 sampai dengan
1,242, artinya strategi tersebut bertujuan untuk memperbaiki kelemahan internal
dengan memanfaatkan peluang dari lingkungan luar. Posisi pada kuadrant III
tersebut berarti bahwa pemberdayaan masyarakat pesisir dalam pengendalian
degradasi sumberdaya pesisir memiliki peluang tetapi dihambat oleh adanya
kelemahan-kelemahan internal. Dengan demikian, perlu diciptakan suatu strategi
yang dapat meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang seperti pada
Gambar 35.
Peluang

III. Posisi strategi pemberdayaan masyarakat


pesisir -0.693 sampai + 1.242 I. (Mendukung strategi agresif)
(Mendukung strategi trun-around)

Kelemahan Kekuatan

IV. (Mendukung strategi defensive) II. (Mendukung strategi diversifikasi)

Ancaman

Gambar 35. Hasil analisis matriks SWOT dengan kombinasi faktor internal dan
faktor eksternal

Seperti diuraikan sebelumnya, bahwa matraik SWOT menggambarkan


dengan rinci tentang kekuatan dan kelemahan yang dimiliki untuk pemberdayaan
masyarakat pesisir dalam pengendalian degradasi sumberdaya pesisir, yang
dipadukan dengan unsur peluang dan ancaman yang dimilikinya. Matrik SWOT
tersebut memberikan kemungkinan empat alternatif strategi SO (strenght
opportunity) dengan ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk
memanfaatkan peluang, ST (Strenght Treaths) yaitu ciptakan strategi yang
menggunakan kekuatan untuk menghindari ancaman, WO (Weaknesses
Opportunity) dengan ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk
memanfaatkan peluang dan WT (Weaknesses Treaths) dengan ciptakan strategi
yang meminimalkan kelemahan untuk menghindari ancaman, yang dirumuskan
dengan menyesuaikan kekuatan dan kelemahan berdasarkan ancaman dan peluang
yang ada secara lengkap disajikan pada Tabel 55.
Tabel 55. Matriks SWOT untuk penentuan strategi pemberdayaan masyarakat
pesisir dalam pengendalian degradasi sumberdaya pesisir Kota
Bengkulu

INTERNAL KEKUATAN (S) KELEMAHAN (W)


(IFAS) S1 panjang garis pantai ± 63 W1 Sistem patron klien
km mempuyai potensi
perikanan 49,195 W2 Rendahnya tingkat
ton/tahun dengan tingkat pendapatan nelayan
pemanfaatan 67% kecil/petambak buruh
S2 Jumlah nelayan 4,065 W3 Kultur masyarakat
orang dengan pesisir
produktivitas 25 yang plural
kg/orang/hari
EKSTERNAL (EFAS)

PELUANG (O) Strategi SO Strategi WO

01 Program reboisasi Pembentukan kelembagaan Program pendampingan


02 Peningkatan skala ekonomi dan pelestarian dengan melakukan intervensi
usaha masyarakat sumberdaya pesisir komunitas
03 Perda tentang zonasi
pesisir dan laut Kota
Bengkulu

ANCAMAN (T) Strategi ST Strategi WT

T1 Degradasi hutan mangrove Peningkatan peran serta Rehabilitasi ekosistem pesisir


T2 Tangkap lebih nelayan dalam memanfaatkan yang telah mengalami
(overfishing) sumberdaya pesisir dan laut degradasi.
T3 Penggunaan teknologi secara lestari
Penangkapan yang tidak
Ramah lingkungan

Berdasarkan Tabel 55 memperlihatkan bahwa strategi SO yang dapat


diterapkan antara lain, pembentukan kelembagaan ekonomi dan pelestarian
sumberdaya pesisir. Strategi ST, yaitu peningkatan peran serta nelayan dalam
memanfaatkan sumberdaya alam pesisir dan lautan secara lestari. Strategi WO
sebagai berikut : program pendampingan dengan melakukan intervensi komunitas.
strategi WT adalah rehabilitasi ekosistem pesisir yang telah mengalami degradasi.

Analisis AHP
Untuk mengaktualisasikan kegiatan-kegiatan dari kriteria strategi
pemberdayaan tersebut diatas, maka diperlukan suatu bentuk analisis prioritas
alternatif strategi sehingga tidak terjadi konflik kepentingan antar sektor baik
swasata maupun pihak pemerintah. Analisis prioritas alternatif strategi untuk
menentukan pemberdayaan masyarakat pesisir dalam pengendalian degradasi
sumberdaya pesisir ini menggunakan software MAHP. Hasil analisis prioritas
komponen SWOT menunjukkan bahwa komponen peluang (opportunity) dengan
nilai prioritas 0,3112 (31,12%) merupakan prioritas utama dalam mendukung
kebijakan pemberdayaan nelayan, kemudian komponen pada prioritas kedua
kelemahan (weakneses) dengan nilai prioritas 0,2973 (29,73%), lihat gambar 36.
Komponen peluang dan kelemahan dalam analisis prioritas memberikan
gambaran dan prediksi pengembangan pemberdayaan masyarakat pesisir dalam
pengendalian degradasi sumberdaya alam pesisir di Kota Bengkulu karena
ketersediaan potensi sumberdaya alam wilayah pesisir dan daya dukung
lingkungan mengindikasikan adanya peluang pemberdayaan sesuai dengan skala
prioritas kegiatan yang direncanakan. Komponen berikutnya adalah kekuatan dan
ancaman, komponen kekuatan (strength) menunjukkan skala prioritas ketiga
dengan nilai prioritas 0,2362 (23,62%), sedangkan komponen terakhir yaitu
ancaman (treaths) dengan nilai prioritas 0,1553 (15,53%) menunjukkan bahwa
komponen tersebut cukup rendah, artinya bahwa ancaman terhadap pemberdayaan
masyarakat pesisir tidak signifikan jika komponen-komponen lainnya
dioptimalkan untuk menekan semua bentuk ancamanan yang berdampak negatif
terhadap pengembangan pemberdayaan. Dalam analisis SWOT menggambarkan
bahwa untuk mengembangkan suatu usaha diperlukan kontribusi komponen
peluang pada tatanan skala prioritas untuk mengurangi pengaruh dari komponen
kelemahan, komponen ancaman harus ditekan dan dibenahi semaksimal mungkin,
atau dengan kata lain memanfaatkan peluang untuk menutupi kelemahan dan
mengoptimalkan peluang untuk menghindari segala macam ancaman yang dapat
menghambat atau menggagalkan program yang telah direncanakan.

35
31,12
29,73
30

25 23,63
e(%)

20
tas

15,33
n
e

15
e
Prs

10

Streagth 0,2363 P3 Weaknes ses 0,2973 P2


1
Opportunity 0,3112 P1 Treaths 0,1533 P4

Gambar 36. Strategi pemberdayaan masyarakat pesisir dengan komponen prioritas


SWOT
Setiap komponen SWOT yang digunakan dalam AHP pada level kriteria,
masing-masing dilengkapai sub-komponen yang merupakan input atau pendapat
dari responden yang selama ini terlibat dalam pengelolaan sumberdaya alam
wilayah pesisir di Kota Bengkulu. Sub-komponen (sub-kriteria) yang memberikan
kontribusi terhadap setiap alternatif strategi pemberdayaan yang direncanakan.
Komponen kekuatan (strength) yang memungkinkan dapat dikembangkan
dalam pemberdayaan nelayan di Kota Bengkulu, dilengkapi dua sub komponen,
yaitu (1) Panjang garis pantai ± 63 km mempuyai potensi sumberdaya perikanan
49,195 ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan 67%, (2) Jumlah nelayan 4065
orang dengan produktivitas 25 kg/orang/hari perlu dikembangkan untuk
mendukung pemberdayaan. Hasil analisis prioritas komponen strength
menunjukkan bahwa prioritas utama adalah panjang garis pantai ± 63 km
mempuyai potensi sumberdaya perikanan 49,195 ton/tahun dengan tingkat
pemanfaatan 67%, dengan nilai skala prioritas 0,588 (58,8 %), sedangkan skala
prioritas kedua yaitu jumlah nelayan 4065 orang dengan produktivitas 25
kg/orang/hari juga memberikan input yang cukup signifikan dengan nilai berkisar
0,412 (42,2%), lihat pada gambar 37.

70
58,8
60
Persentase (%)

50 41,2
40
30
20
10
0

Jumlah nelayan 4065 orang dengan produktivitas 25 kg/orang/hari 0,4120 P2

Panjang garis pantai ± 63 km mempuyai potensi sumberdaya perikanan 49,195 ton/tahun dengan tingkat pemanf aatan
67% 0,5880 P1

Gambar 37. Prioritas komponen kekuatan (strenght)

Komponen kelemahan (weakneses) yang dikembangkan dalam


pemberdayaan nelayan terdiri dari : (1) Sistem patron klien, (2) Kultur masyarakat
pesisir yang plural, (3) Kesenjangan teknologi dan modal antar nelayan, (4)
Rendahnya tingkat pendapatan nelayan kecil/buruh, (5) Rendahnya modal dalam
struktur masyarakat nelayan. Kelima sub-komponen kelemahan tersebut
memerlukan penekanan khusus dengan memanfaatkan semua peluang yang ada,
agar perencanaan pemberdayaan masyarakat nelayan dapat terealisasi sesuai
dengan harapan stakeholders. Hasil analisis skala prioritas yang harus diatasi dari
kelima komponen tersebut di atas, yaitu komponen rendahnya tingkat pendapatan
nelayan dengan nilai prioritas 0,3793 (37,93%), selanjutnya sistem patron klien
dengan nilai prioritas 0,2469 (24,69%), sedangkan komponen lainnya, kultur
masyarakat pesisir yang plural dengan nilai 0,1598, sub-komponen kesenjangan
teknologi dan modal antar nelayan 0,1086 dan sub-komponen rendahnya modal
dalam struktur masyarakat pesisir dengan skala nilai prioritas 0,1054, lihat pada
gambar 38.

40 37,93
35
Persentase (%)

30
24,69
25
20 15,98
15 10,86 10,54
10
5
0

Sistem patron klien 0,2469 P2


Rendahnya tingkat pendapatan nelayan kecil/buruh tambak 0,3793 P1
Kesenjangan teknologi dan modal usaha 0,1086 P4
Kultur masyarakat pesisir yang plural 0,1598 P3
Rendahnya modal sosial masyarakat pesisir 0,1054 P5"

Gambar 38. Prioritas komponen kelemahan (Weaknesses)

Input dari responden untuk komponen peluang (opportunity)


pemberdayaan nelayan adalah : (1) Program reboisasi, (2) Peningkatan skala
usaha masyarakat, (3) Sarana transportasi dari dan ke Kota Bengkulu yang
membaik, (4) Perda tentang zonasi pesisir dan laut Kota Bengkulu, (5) Kebijakan
pembangunan perikanan dan kelautan. Dari kelima sub-komponen tersebut diatas,
setelah dilakukan analisis prioritas didapatkan prioritas setiap sub-komponen
sebagai berikut : program reboisasi dengan nilai 0,3975, peningkatan skala usaha
masyarakat 0,2737, perda tentang zonasi pesisir dan laut Kota Bengkulu 0,1103,
sarana transportasi dari dan ke Kota Bengkulu yang membaik 0,1098 dan
kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan 0,1087, lihat gambar 39.
45 39,75
40

ersentase(%)
35
30
27,37
25
20
15 10,87 11,03 10,98
P
10
5
0
1 0,1087 P5
Kebijkan pembangunan perikanan dan kelautan
Perda tentang zonasi pesisir dan laut Kota Bengkulu 0,1103 P3
Peningkatan skala usaha masyarakat pesisir 0,2737 P2
Program reboisasi 0,3975 P1
Sarana transportasi dari dan ke Kota Bengkulu yang membaik 0,1098 P4

Gambar 40. Prioritas komponen peluang (Opportunity)

Komponen ancaman (treaths) yang memungkinkan menghambat kegiatan


pemberdayaan nelayan terdiri dari : (1) Degradasi hutan mangrove, (2)
Meningkatnya konflik sosial nelayan, (3) Tangkap lebih (overfishing), (4)
Pencemaran perairan, (5) Penggunaan teknologi penangkap yang tidak ramah
lingkungan. Kelima sub-komponen tersebut merupakan beberapa bentuk
ancaman terhadap pemberdayaan nelayan, oleh karena itu diperlukan optimalisasi
dalam memanfaatkan peluang untuk meminimalisir ancaman yang ada, bentuk
ancaman yang menduduki prioritas utama yang memerlukan penekanan adalah
degradasi hutan mangrove dengan nilai prioritas 0,3603. Selanjutnya tangkap
lebih (overfishing) dengan nilai skala prioritas 0,3201, sedangkan jenis ancaman
lainnya tetap memerlukan penekanan-penekanan tertentu agar tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap semua kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam
pesisir di lokasi studi dengan nilai skala prioritas 0,1075 untuk penggunaan
teknologi yang tidak ramah lingkungan, nilai 0,1062 meningkatnya konflik sosial
nelayan dan nilai 0,1059 untuk pencemaran perairan, seperti yang disajikan pada
Gambar 41.

40 36,03
35 32,01
30
Persentase(%)

25
20
15 10,75 10,59 10,62
10
5
0

Meningkatnya konf lik sosial antara nelayan 0,1062 P4


Pencemaran perairan 0,1059 P5
Tangkap lebih (overf ishing) 0,3201 P2
Penggunaan teknologi penangkapan yang tidak ramah lingkungan 0,1075 P3
Degradasi hutan mangrove 0,3603 P1

Gambar 41. Prioritas komponen ancaman (Treaths)


Dari hasil analisis prioritas komponen SWOT pemberdayaan masyarakat
pesisir di Kota Bengkulu dalam pengendalian degradasi sumberdaya pesisir, maka
dapat disusun beberapa kriteria, yaitu :
1. Pembentukan kelembagaan ekonomi dan pelestarian sumberdaya pesisir.
Kriteria ini diperoleh dari kekuatan (S1, S2) dan peluang (O1,O3).
2. Program pendampingan dengan melakukan intervensi komunitas. Kriteria ini
diperoleh dari kelemahan (W1,W2,W3), kekuatan (S2) dan peluang (O2,O3).
3. Rehabilitasi ekosistem pesisir yang telah mengalami degradasi. Kriteria ini
diperoleh dari kelemahan (W1,W2,W3), kekuatan (S1) dan ancaman (T1,T2).
4. Peningkatan peran serta masyarakat pesisir dalam memanfaatkan sumberdaya
pesisir secara lestari. Kriteria ini diperoleh dari kekuatan (S1,S2), peluang
(O1) dan ancaman (T1,T2,T3).
Dari analisis prioritas kriteria pemberdayaan menunjukkan urutan prioritas
pertama adalah program pendampingan dengan melakukan intervensi komunitas
dengan nilai skala prioritas 0,3864, sedangkan prioritas kedua adalah rehabilitasi
ekosistem pesisir yang telah mengalami degradasi dengan nilai skala prioritas
0,3552. Peningkatan peran serta masyarakat pesisir dalam memanfaatkan
sumberdaya pesisir secara lestari menjadi prioritas ketiga dengan nilai 0,1946, dan
0,0638 pembentukan kelembagaan ekonomi dan pelestarian sumberdaya pesisir
merupakan kriteria prioritas keempat, seperti pada gambar 42.

50
38,64
35,52
Persentase (%)

40
30
19,46
20
6,38
10
0

Rehabilitasi ekosistem pesisir yang telah terdegradasi 0,3552 P2

Peningkatan peran serta masayarakat pesisir dalam memanf aatkan sumberdaya pesisir secara lestari 0,1946 P3"

Program pendampingan dengan melakukan intervensi komunitas 0,3864 P1

Pembentukan kelembagaan ekonomi dan pelestarian sumberdaya pesisiri 0,6380 P4"

Gambar 42. Prioritas kriteria pemberdayaan masyarakat pesisir Kota Bengkulu

Berdasarkan arahan prioritas kriteria memberikan sejumlah alternatif


strategi pengendalian degradasi sumberdaya pesisir melalui pemberdayaan
masyarakat pesisir sebagai berikut : (1) Pembentukan kelembagaan ekonomi
(koperasi keluarga) berbasis kekeluargaan; (2) pengembangan teknologi
penangkapan yang ramah lingkungan melalui kelompok-kelompok profesi
(kekerabatan); (3) pengembangan sistem silvofishery dalam pengelolaan tambak
dengan pendekatan buttom up dan (4) kegiatan konservasi dan rehabilitasi
mangrove dengan pendekatan partisipatif. Dari analisis prioritas strategi
pemberdayaan menunjukkan pembentukan kelembagaan ekonomi (koperasi
keluarga) berbasis kekeluargaan merupakan prioritas pertama dengan nilai 0,3017,
kegiatan konservasi dan rehabilitasi mangrove dengan pendekatan partisipatif
menjadi prioritas kedua dengan nilai 0,2702, dan strategi lainnya dengan nilai
0,2157 pengembangan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan melalui
kelompok-kelompok profesi (kekerabatan) serta nilai 0,2125 peningkatan peran
serta pengembangan sistem silvofishery dalam pengelolaan tambak dengan
pendekatan buttom up sebagai prioritas ke tiga dan ke empat, terlihat pada
Gambar 43 berikut.

35
30,17
30 27,02

25 21,57
Persentase (%)

21,25
20

15

10

Kegiatan konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove dengan pendekatan partisipatif 0,2702 P2
Pengembangan sistem silvofishery dalam pengelolaan tambak dengan pendekatan buttom up 0,2125 P4
Peningkatan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan melalui kelompok-kelompok profesi 0,2157 P3
Pembentukan kelembagaan ekonomi (koperasi keluarga) berbasiskan kekerabatan 0,3017 P1

Gambar 43. Prioritas strategi pemberdayaan masyarakat pesisir Kota Bengkulu

4.5.2. Perencanaan Pengendalian Degradasi Sumberdaya Alam Pesisir melalui


Intervensi Komunitas Masyarakat Pesisir Lapisan Bawah

Menurunnya lingkungan di wilayah pesisir Kota Bengkulu adalah


diakibatkan oleh aktivitas manusia yang tidak bertanggung jawab seperti
penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, lemahnya penegakan
hukum dan tidak adanya keterpaduan pembangunan di wilayah pesisir telah
mengakibatkan berbagai dampak kerugian, diantaranya rusaknya mangrove,
rusaknya biota laut, abrasi pantai, tingginya sedimentasi serta berbagai dampak
turunan lainnya harus ditanggung oleh masyarakat setempat, terutama masyarakat
pesisir lapisan bawah yang permukiman mereka dekat dengan sumberdaya pesisir
tersebut. Masyarakat pesisir lapisan bawahlah yang terutama harus merasakan
intrusi air laut ke dalam sumber-sumber air tawar, berkurangnya hasil tangkapan
ikan dan udang, pengaruh abrasi pantai, serta lingkungan pantai yang gersang
yang berakibat pada terancamnya pemukiman dan mata pencaharian mereka.
Sebagian besar pemilik dan pengusaha perikanan yang merupakan pengusaha atau
orang-orang kota tidak akan merasakan berbagai pengaruh negatif yang
ditimbulkan oleh kondisi kerusakan tersebut.
Oleh sebab itu apabila hal ini tidak secepatnya ditanggulangi dengan
optimal maka dikhawatirkan sumberdaya alam pesisir akan semakin terdegradasi,
selain itu juga aktivitas masyarakat pesisir akan semakin terancam. Untuk itu
diperlukan peran dan partisipasi masyarakat pesisir lapisan bawah dalam
pengendalian degradasi sumberdaya alam pesisir melalui program pendampingan
dengan melakukan intervensi komunitas. Adapun perencanaan pengendalian
degradasi sumberdaya alam pesisir dilakukan melalui tahap-tahap seperti :
1. Melakukan asesmen terhadap permasalahan dan kebutuhan masyarakat pesisir
Kota Bengkulu yang menjadi akar masalah. Berdasarkan hasil SWOT yang
dilakukan, permasalahan-permasalahan yang muncul dalam masyarakat pesisir
Kota Bengkulu adalah
• Rendahnya tingkat pandapatan nelayan kecil/buruh tambak
• Kuatnya sistem patron klien dalam masyarakat pesisir
• Kultur masyarakat pesisir yang plural
• Degradasi hutan mangrove
• Terjadi tangkap lebih (overfishing)
• Penggunaan teknologi penangkapan yang tidak ramah lingkungan
• Kesenjangan teknologi dan modal
• Rendahnya modal sosial masyarakat pesisir
2. Atas dasar permasalahan yang muncul di atas, kegiatan pemberdayaan sosial-
ekonomi-lingkungan sangat diperlukan agar masyarakat pesisir lapisan bawah
memiliki kemampuan dalam mengelola sumberdaya alam pesisir sebagai
sumberdaya ekonomi lokal secara optimal dan berkelanjutan melalui tahapan-
tahapan sebagai berikut :
• Tahap pembentukan kelembagaan sosial ekonomi berbasis kekerabatan
yaitu koperasi keluarga sebagai sebuah pranata yang dimanfaatkan
dan dikelola sebagian besar nelayan berorientasi pada kepentingan
masa depan, dimana
- Dasar pembentukan koperasi keluarga ini adalah persoalan
kemiskinan, kesenjangan sosial dan struktur masyarakat
pesisir dibentuk oleh kelompok-kelompok kekerabatan
- Jenis kegiatannya barang-barang konsumsi dan simpan
pinjam untuk melayani kebutuhan sehari-hari dari sebagian
besar masyarakat pesisir.
- Managemen operasional dilakukan dengan memberikan
kemudahan akses rumah tangga masyarakat pesisir lapisan
bawah ke sumber-sumber pinjaman dengan diimbangi
dengan sejumlah kompensasi yang harus mereka berikan.
Kompensasinya berupa manfaat ganda yaitu pinjaman yang
diterima jika dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan bidang
usaha yang berkaitan dengan kebutuhan hidup, mereka juga
memperoleh sisa hasil usaha. Sebaliknya apabila mereka
tidak dapat memanfaatkan pinjaman dengan baik, maka tidak
mendapatkan pinjaman.
Tujuan dari tahap ini adalah meningkatkan kemampuan dan keberdayaan
masyarakat pesisir lapisan bawah dalam mengelola potensi sumberdaya
alam yang ada untuk mencapai kesejahteraan sosial ekonomi secara
berkelanjutan.
• Tahap transisi yaitu penguatan kelembagaan sosial ekonomi serta
peningkatan wawasan masyarakat pesisir tentang pentingnya menjaga
kelestarian sumberdaya alam pesisir melalui kegiatan :
- penguatan kelembagaan kelembagan sosial ekonomi dengan
pendidikan dan pelatihan keterampilan dalam mengelola hasil
tangkapan, seperti pembuatan abon ikan, keripik ikan, nugget
ikan, bakso ikan dan lain-lain.
- Peningkatan wawasan masyarakat pesisir tentang pentingnya
menjaga kelestarian sumberdaya pesisir dengan kegiatan
pendidikan lingkungan melalui keluarga dan komunitas
Tahap ini bertujuan untuk menggiring kesadaran masyarakat pesisir akan
manfaat jangka panjang dari pelestarian sumberdaya alam pesisir bagi
keberlanjutan sosial ekonomi mereka.
• Tahap penyadaran pentingya pelestarian sumberdaya alam pesisir melalui :
- tahap motivasi dengan kegiatan diskusi-diskusi inensif tentang
permasalahan ekonomi dan lingkungan
- tahap pemberian kemampuan dengan kegiatan studi banding,
mengikuti pertemuan/seminar/lokakarya di luar wilayahnya.
- Pembentukan kelompok partisipatif untuk melestarikan
sumberdaya pesisir
Tujuan tahap ini adalah pengelolaan sumberdaya alam penting secara
lestari harus dilakukan secara bersama-sama (partisipatif)
• Tahap mengembangkan strategi swadaya masyarakat pesisir lapisan bawah
dalam pengendalian degradasi sumberdaya alam pesisir melalui program :
- Konservasi dan rehabilitasi mangrove secara partisipatif
- Mengembangkan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan
melalui kelompok-kelompok profesi (kekerabatan)
- Pengembangan sistem silvofishery dalam pengelolaan tambak
dengan pendekatan buttom up.
• Tahap stabilisasi adalah tahap memelihara upaya pengendalian yang
dilakukan sebagai perubahan yang telah dicapai dengan metode dan teknik
intervensi secara social case work atau social group work, yang meliputi :
- pemantapan sikap dan perilaku masyarakat pesisir yang baru
sebagai hasil pengubahan yang dilakukan terhadap
pengendalian degradasi sumberdaya alam pesisir
- mengintegrasikan kegiatan pengendalian degradasi
sumberdaya alam pesisir ke dalam kehidupan masyarakat
yang normal di lingkungannya
3. Tahap evaluasi adalah tahap untuk :
• melihat hasilnya dapat dijadikan perbaikan atau penyempurnaan
kegiatan pengendalian degradasi sumberdaya alam pesisir . Hal-hal
yang dievaluasi berupa :
- keberhasilan atau kegagalan penanganan kegiatan
pengendalian degradasi sumberdaya alam pesisir yang
dilakukan masyarakat pesisir lapisan bawah
- keberhasilannya dan keefektifan penggunaan metode dan
teknik intervensi
• menyelenggarakan pertemuan pembahasan kasus (case conference)
dengan melibatkan pihak pemerintah daerah, dinas terkait, perguruan
tinggi, lembaga swadaya masyarakat, nelayan pemilik, pemilik tambak,
pekerja sosial.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan
1. Kondisi sumberdaya perikanan laut di Kota Bengkulu telah mengalami
tangkap lebih (overfishing). Kondisi ini akibat adanya penambahan
input produksi, sedangkan upaya tangkap yang dilakukan nelayan
semakin menurun sehingga produksi aktual telah melampaui kapasitas
produksi lestari.
2. Kondisi hutan mangrove di daerah penelitian teridentifikasi dalam
keadaan rusak. Penyebab kerusakan hutan mangrove di daerah
penelitian dikarenakan adanya perubahan fungsi hutan mangrove
menjadi permukiman, perkebunan sawit, perkebunan campuran,
pertambakan dan penampungan batu bara.
3. Struktur masyarakat pesisir di daerah penelitian memiliki modal fisik,
modal manusia, modal finansial, modal alamiah dan modal sosial yang
relatif rendah sehingga menciptakan hubungan ketergantungan yang
relatif tinggi antara juragan/toke sebagai lapisan atas dengan
nelayan/petambak sebagai lapisan bawah dalam cara produksi (made
of production) yang memungkinkan nelayan/petambak kecil/buruh
melakukan kegiatan penangkapan dengan berbagai cara yang bisa
menghasilkan hasil tangkapan secara maksimal, bahkan mendorong
beberapa orang untuk mengeksploitasi sumberdaya meskipun dengan
cara-cara yang merusak (eksploitatif).
4. Kelembagaan hubungan kerja, kelembagaan bagi hasil, kelembagaan
pemasaran dan permodalan masyarakat pesisir di daerah penelitian
digerakkan oleh kekuatan toke/juragan yang menguasai asset produksi
dan modal sehingga menimbulkan hubungan yang asimetris.
Hubungan yang asimetris ini menciptakan stratifikasi yang didasarkan
ketidaksetaraan ekonomi antar lapisan (hubungan dikotomis) dalam
proses produksi sehingga cenderung mengarah kepada ketimpangan
tingkat produksi yang semakin menguatkan posisi sistem patron client.
Keberadaan sistem patron klien erat kaitannya dengan tindakan
kerusakan sumberdaya alam di wilayah pesisir.
5. Strategi pemberdayaan masyarakat pesisir Kota Bengkulu dalam
pengendalian degradasi sumberdaya pesisir melalui program
pendampingan dengan melakukan intervensi komunitas pada
masyarakat pesisir lapisan bawah bertujuan untuk mengembangkan
strategi swadaya masyarakat dengan (1) pembentukan kelembagaan
ekonomi (koperasi keluarga) berbasiskan kekerabatan; (2) kegiatan
konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove dengan pendekatan
partisipatif; (3) pengembangan teknologi yang ramah lingkungan
melalui kelompok-kelompok profesi; dan (4) pengembangan sistem
silvofishery dalam pengelolaan tambak dengan pendekatan buttom up.

5.2. Saran
1. Melaksanakan penyuluhan konservasi hutan mangrove secara
berkelanjutan oleh setiap stakeholder.
2. Memberikan penyuluhan tentang perlindungan mangrove dan
teknologi budidaya tambak ramah lingkungan.
3. Pengembangan teknologi tepat guna untuk memanfaatkan semua
sumberdaya perikanan dan pemberian permodalan yang memberikan
jaminan sosial atau ansuransi sosial.
4. Pengembangan sarana dan prasarana penunjang usaha perikanan
tangkap.
5. Pendidikan lingkungan bagi individu, keluarga, kelompok, komunitas,
masyarakat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya
pesisir secara berkelanjutan.
6. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dalam penerapan tahap
stabilitasi dan tahap evaluasi dalam pengendalian degradasi
sumberdaya alam pesisir melalui pemberdayaan masyarakat pesisir .
7. Diperlukan kolaboratif antara lembaga-lembaga yang terkait dengan
pengendalian degradasi hutan mangrove melalui pemberdayaan
masyarakat lapisan bawah.
DAFTAR PUSTAKA

Acciaioli GL, 1989. Searching for Good Fortune : The Making of Bugis Shore
Community at Lake Lindu. Central Sulawesi. Unpublished Ph.D.
Dissertation, Australian National University.

Alikodra, H.S., 1998. Konsep Perencanaan Pengelolaan Daerah Penyangga dalam


Pengembangan Sistem Integrated Conservation and Development
Program (ICDP), Jakarta.

, 2000. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.


Makalah Disampaikan pada Kursus Amdal Dasar, diselenggarakan
oleh PPLH IPB dan Bina Lingkungan Daerah Industri Pulau Batam
di Batam. 16 November 2000.
,2005. Konsep Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan
Berkelanjutan. Makalah ini disampaikan pada pelatihan IC2PM
angkatan III tahun 2005. Propinsi Nusa Tenggara Barat.

Anwar, A. 2002. Peranan kelembagaan dalam pemanfaatan sumberdaya lokal.


Makalah Seminar Perencanaan Pembangunan Wilayah, IPB.
Bogor.

Anggraini, E. 2002. Analisis Penyusunan Model Pengelolaan Sumberdaya Laut :


Tinjauan Sosiologi dan Kelembagaan di Kelurahan Pulau
Panggang, Kepulauan Seribu. Tesis. Program Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Aziz, K.A., M. Boer,J., Widodo,N., Naamin, Amrullah, M.H Bidawi, A., A.


Djamali, B.E. Priyono. 1998. Potensi Pemanfaatan dan Peluang
Pengembangan Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia.
Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut. Jakarta.

Bahri,R.1995. Pembangunan dan Strategi Memerangi Kemiskinan. Liberty.


Yogyakarta.

Bappeda Kota Bengkulu, 2002. Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut
Kota Bengkulu.

Bappeda Kota Bengkulu, 2005. Atlas Sumberdaya Pesisir dan Laut Propinsi
Bengkulu.

Baskoro M.S., Sudirman, Ari Purbayanto. 2004. Analisis Hasil Yangkap Dan
Keragaman Spesies Setiap Waktu Hauling Pada Bagan Rambo di
Perairan Selat Makasar. Bulletin PSP Vol. XIII No. 1 April.
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Instutut Pertanian Bogor.
Bengen, D.G. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut
serta Prinsip-prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya
Pesisir dan Laut. IPB.

Black, J.A, D.J. Champion. 1999. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. PT.
Eresco. Bandung.

BPS Kota Bengkulu, 2005. Kota Bengkulu dalam Angka 2006. Bengkulu.

Budhisantoso, S., 1998. Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan


Pengelolaan Kawasan Pantai Dalam Prosiding Lokakarya
Kebijakan dan Masalah Sosial Kependudukan dalam Pengelolaan
Sumberdaya Kawasan Pesisir Indonesia. Kerjasama antara Jurusan
Antropologi FISIP Universitas Indonesia dengan Jurusan Biologi
FMIPA Universitas Indonesia, Lembaga Demografi FEUI, dan
Badan Penelitian dan Pengembangan Biologi LIPI. Jakarta.

Bullen, H, and Onyx Chester. 1998. Income diversification and household


strategies in Rural Africa. Cornel University. New York.

Cincin-Sain, B and R.W. Knecht. 1998. Intergrated Coastal and Ocean


Management : Concept and Practices. Island Press. Washington
D.C.

Chadwick, BA, Conyers D, dan Brown K., 1991. Metode Penelitian Ilmu
Pengetahuan Sosial. Sulistia et.al. penerjemah. IKIP Semarang
Press. Terjemahan dari Social Sciences Research Methods.

Chambers, R., 1988. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang. LP3ES. Jakarta.

Clark, J.R. 1998. Coastal Zone Management For New Century. Ocean & Coastal
Management 37(2):191.

Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu, 2001. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradriya
Paramita. Jakarta.

Dahuri, R. 2004. Pendayaguna Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan


Rakyat. Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia
(LISPI). Jakarta.

Damanhuri, DS., 2000. Paradoks Pembangunan Ekonomi Indonesia dan


Perspektif Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di Sektor Pertanian dan
Perikanan (Visi serta Arah Kebijakan Reformasi dan
Restrukturisasi Ekonomi Indonesia). Orasi Ilmiah Guru Besar
Ilmu Ekonomi Pembangunan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan IPB Bogor. Jakarta.
Dinas Perikanan dan Kelautan. 1999. Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan
Kelautan Propinsi Bengkulu.

Dinas Perikanan dan Kelautan. 2000. Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan
Kelautan Kota Bengkulu.

Dinas Kimparswil. 1998. Laporan Tahunan Dinas Kimparswil Propinsi


Bengkulu.

Dwiponggo, A., C. Bailey and F. Maharudin. 1988. The Indonesian marine


fisheries, Structure and Change. ICLARM, DGF, IRMF. Jakarta.

FAO, 2004. Integrated Coastal Area Management and Agricultural, Forestry and
Fisheries. FAO Guidlines. Roma.

Farrington, J. 1999. Sustainable livelihood in practice early applications of


concepts in rural areas. Natural Resources Persfective 42.

Fauzi, A. 2000. Teori Ekonomi Sumberdaya Perikanan. Working Paper.


Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan, IPB.

Food ang Agricultural Organization (FAO). 2004. The State of World Fisheries
ang Aquaculture.

Firth, R. 1975. Malay Fishermen: their peasant economy. WW Norton and


Company Inc. New York.

Freiler, C. 2001. Closing The Distance : Social Inclusion, Vulnerability and The
Wellbeing of Children and Families in Plenary IV :
Marginalization : Inclusion/Exclusion. Conference on Canadian
Welfare.

Friedmann J. 1992. Empowerment: the politics of alternative development.


California. Blackwell.

Hasan, Rosmawi. 2004. Pengembangan Kelembagaan Partisipatif untuk


Melestarikan Ekosistem Hutan Mangrove. Disertasi Jurusan
Kehutan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hasbullah, J., 2006. Social Capital. Menuju Keunggulan Budaya Manusia


Indonesia. MR-United Press. Jakarta.

Hasim, W. 1980. Komuniti Nelayan di Pulau Pangkor. Dewan Bahasa dan


Pustaka. Kuala Lumpur.

Hayami, Y. dan Kukuchi M., 1987. Dilema Ekonomi Desa : Suatu Pendekatan
Ekonomi Terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. Yayasan
Obor Indonesia. Jakarta.
Hikmat, Harry. 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora Utama
Press. Bandung.

Ife J. 1995. Community Development : creating community alternatives-vision,


analisys and practice. Melbourne : Longman.

Karsyono, F. dan N. Syafat. 2000. Strategi pembangunan pertanian yang


berorientasi pemerataan di tingkat petani, sektoral dan wilayah.
Prosiding Perspektif Pembangunan Pertanian dan Pedesaan dalam
Otonomi Daerah. Badan Litbang Departemen Pertanian dan
Kehutanan. Bogor.

Khazali, M. 1999. Kajian Partisipasi Masyarakat dalam Pengolahan Hutan


Mangrove (Studi Kasus di Desa Karangsong, Kecamatan
Indramayu, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat). Tesis.
Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kusnadi, A., 2000. Nelayan, Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Humaniora
Utama Press. Bandung.

, 2002. Konflik Sosial Nelayan: Kemiskinan dan Perebutan


Sumberdaya Perikanan. LkiS. Yogyakarta.

, 2004. Polemik Kemiskinan Nelayan. Pondok Endukasi-Pokja


Pembaharuan. Yogyakarta.

Koentjaraningrat, 1980. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. PT.


Gramedia. Jakarta.

Kusumastanto,T., 2000. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Diktat Kuliah


PS-SPL-IPB. Bogor.

Legg, KR. 1983. Tuan, Hamba dan Politisi. Sinar Harapan dan Lembaga Studi
Pembangunan. Jakarta.

Lenggono, PS., 2004. Modal Sosial Dalam Pengelolaan Tambak Kabupaten


Kutai Kartanegara. Tesis Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.

Lomnitz, LA. 1977. Networks and Marginality Life in a Mexican Shantytown.


New York. San Francisco. Academis Press. Inc. London.

MacDonald, R.B. 2005. Managing Marine Misbehavior: Good Science,Good


Policy, Bad Human. Journal Of International Affairs (59).

MacNae, W. 1968. A General Account of tha Fauna and Flora of Mangrove


Swamps and Forest in the Indo-West-Pacific Region.
Adv.mar.Biol.
Manurung, V. 1978. Pola Pembagian Kerja Petani Tambak. Balai Penelitian
Perikanan. Jakarta.

Mappawata, T., 1986. Hubungan Patron Klien di Kalangan Nelayan : Studi Kasus
Desa Tamalate Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar,
Sulawesi Selatan. Tesis Fakultas Pascasarjana UI. Jakarta.
Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.
Grasindo. Jakarta.

Marsoedi. 1997. Pelestarian dan Pengembangan Ekosistem Mangrove.


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Mastaller, M., 1997. Mangrove : The Forgotten Forest Between Land and Sea.
Kuala Lumpur. Malaysia.

Masyhudzulhak. 2004. Pengelolaan Wilayah Pesisir dalam Perspektif Otonomi


Daerah di Propinsi Bengkulu. Disertasi Program Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Masyhuri. 1999. Ekonomi Nelayan dan Kemiskinan dalam Masyhuri (Editor).


Pemberdayaan Nelayan Tertinggal dalam mengatasi krisis
ekonomi: Telaah terhadap sebuah pendekatan. Pusat Penelitian
Ekonomi dan Pembangunan, LIPI. Jakarta.

Masyhudzulhak, 2004. Pengelolaan Wilayah Pesisir Dalam Perspektif Otonomi


Daerah di Propinsi Bengkulu. Disertasi Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.

Mintoro. L, Darmajanti L., dan Afrianto E., 1993. Keragaan Beberapa Pola
Usaha Penangkapan Ikan di Laut oleh Rakyat Indonesia. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. IPB. Bogor.

Moser, C.A. 1969. Survey Methods in Social Investigation. Heinemann. London.

Mubyarto, L. Soetrisno, M. Dove. 1984. Nelayan dan Kemiskinan : Studi


Ekonomi Antropologi di dua Desa Pantai. Rajawali. Jakarta.

, L., 1984. Strategi Pembangunan Pedesaan. Pusat Penelitian


Pembangunan Pedesaan dan Kawasan. Universitas Gajah Mada.
Yogyakarta.

, L., 1998. Menanggulangi Kemiskinan. Adytia Media. Yogyakarta.

Muhadjir, N., 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Pendekatan Positivistik,


Rasionalistik, Phenomenologik, dan Realisme Metaphisik : Telaah
Studi Teks dan Penelitian Agama. Raka Sarasin. Yogyakarta.
Nasdian, Fredian Tony. 2003. Karakteristik Sumberdaya Alam dan Masyarakat
Pesisir dan Lautan. Laboratorium Ilmu-Ilmu Sosial, Komunikasi
dan Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Naamin, N. 1987. Perikanan Laut di Indonesia : Prospek dan Problema


Pengembangan Sumberdaya Perikanan Laut. Seminar Laut
Nasional II. Jakarta 27-30 Juli 1987.

Neuman, W.L., 1997. Social Research Methods Qualitative and Quantitative


Approach. Allyn and Bacan. Boston, London Toronto Tokyo
Singapura.
Nikijuluw, Viktor PH. 2001. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan.
Kerjasama Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional
dengan PT. Pustaka Cisendo. Jakarta.

Nirarita, CH.E., 1996. Ekosistem Lahan Basah Indonesia. Buku Panduan Untuk
Guru dan Praktisi Pendidikan. IPB Press, Bogor.

Nybakken JW. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis (Terjemahan). PT.
Gramedia. Jakarta.

Odum, E.P., 1971. Fundamentals of Ecology. Third Edition. W.B. Saunders


Company. London.

. 1983. Basic Ecology. Sounders College Publishing.

Pakpahan, A. 1991. Evaluasi Kelembagaan Pedesaan di Tengah Perkembangan


Teknologi Pertanian. Pusat penelitian Agro Ekonomi. IPB. Bogor.

Pemerintah Propinsi Bengkulu, 2002. Atlas Sumberdaya Pesisir dan Laut


Propinsi Bengkulu.

Perum Pelindo II Pulau Baai. 1993. Laporan Tahunan Perum Pelindo II Pulau
Baai .

Perum Perhutani. 1994. Pengelolaan Hutan Mangrove dengan Pendekatan Sosial


Ekonomi pada Masyarakat Desa di Pesisir Pulau Jawa. Dalam
Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove di Jember, 3-6 Agustus
1994.

Purnamasari, Elly. 2002. Pola Hubungan Produksi Ponggawa-Petambak : Suatu


Bentuk Ikatan Patron klien (Kasus Masyarakat Petambak di Desa
Babulu Laut, Kecamatan Babulu, Kabupaten Pasir, Kalimantan
Timur. Tesis Magister, Program Sosiologi Pedesaan. IPB.

Pollnac, RB., 1988. Karakter Sosial dan Budaya dalam Pengembangan Perikanan
Berskala Kecil dalam Michael M. Cernea. Editor. Menggutamakan
Manusia dalam Pembangunan. UI Press. Jakarta.
Poloma, M.M. 2000. Sosiologi Kotemporer. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Raharjo, M.Dawam. 1987. Kapitalisme : dulu dan sekarang. Kumpulan karangan


dari berbagai sumber asing. LP3ES. Jakarta.

Rangkuti, Freddy., 2001. Analisis SWOT : Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Rewana, H. Purwoto, H. Salam, W. Kaliman, A. Prijono, S. Wahyudiono,


Sushardi, S. Hastuti, Priyambada, A.Muin, E. Rahayu, H. Palguna.,
2001. Rehabilitasi Mangrove dengan Pola Wanamina. Pusat
Pengembangan Rehabilitasi Mangrove. STIPER Yogyakarta dan
Departemen Kehutanan. Yogyakarta.

Saaty, Thomas L., 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. PT.
Pustaka Binamen Pressindo. Jakarta.

Saenger, P., E. Hegerl and J. Davie. 1983. Global Status of Mangrove


Ecosystem. Gland, Switzerland : International Union for the
Conservation of Nature and Natural Resources.

Sallatang, M. Arifin. 1982. Desa Pantai di Sulawesi Selatan dan Strategi


Pengembangannya. Jurnal Penelitian Sosial.

Salman D dan Taryoto AH, 1992. Pertukaran Sosial pada Masyarakat Petambak :
Kajian Struktur Sosial Sebuah Desa Kawasan Pertambakan di
Sulawesi Selatan. Jurnal Agro Ekonomi II.

Satria, A., 2001. Dinamika Modernisasi Perikanan: Formasi Sosial dan Mobilitas
Nelayan. Humaniora Utama Press. Bandung.

., 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Cisendo. Jakarta.

Scott, J.C. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

.1994. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia


Tenggara. LP3S. Jakarta.

Seafdec, S. 1978. The Community : A Missing Link of Fisheries Management.


Marine Policy.

Setyohadi, T., 1997. Pemberdayaan Nelayan dan Petani Ikan Dalam Rangka
Konsepsi Benua Maritim. Makalah. Disampaikan pada
Simposium Perikanan II. Hotel Sahid Makasar, Ujung Pandang, 2-
3 Desember 1997. Hal. 38.

Schwab, William,. 1992. The Sosiology of Cities, Prentice Hall, New Jersey.
Scott, JC dan Kerkvliet, BJ. 1977. How Traditional Rural Patron Lose Legimacy
: A Theory with Special Reference to Southeast Asia. In : SW
Schmidt, L Guasti, C Londe, JC. Scoot eds., Friends, Followers
and Faction : A Reader in Political Clientism. University of
California Press. Berkeley.

Sidik, MS, Amartya, S, dan Sugiyanto. 2000. Pengkajian Kelembagaan


Organisasi Ekonomi Tengkulak di Wilayah Samarinda, Balik
Papan, Kutai dan Pasir dalam Rangka Meningkatkan
Perekonomian Masyarakat ppedesaan. Kerjasama Bappeda
Kalimantan Timur dengan Universitas Mulawarman. Samarinda.

Singarimbun, M. dan S. Effendi. 1995. Metode Penelitian Survey, LP3ES.


Jakarta.

Sitorus, MTF., 1994. Peranan Ekonomi dalam Rumah Tangga Nelayan Miskin di
Pedesaan Indonesia. Mimbar Sosek No.8.

, 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Pengantar. Kelompok


Dokumentasi Ilmu Sosial (DokiS), Jurusan Ilmu-ilmu Sosial dan
Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian, IPB. Bogor.

Slamet, M., 2003. dalam Yustina, I., Adjad Sudrajat (ed.). Membentuk Pola
Prilaku Manusia Pembangunan. IPB Press. Bogor.

Soejatmoko, H. 1980. Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman, Sejarah


Differensiasi Sosial di Jawa 1830-1980. Grasindo. Jakarta.

Soemarwoto, Otto. 1997. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan.


Djambatan. Jakarta.

Soerianegara, I. dan A. Indrawan. 1980. Ekologi Hutan Indonesia. Departemen


Manajemen Hutan Fakultas Kehutan IPB, Bogor.

Soesanto, S. S dan M. Sudomo. 1994. Ekosistem Mangrove dan Pembangunan


Lingkungan Hidup. Dalam Prosiding Seminar V Ekosistem
Mangrove di Jember, 3-6 Agustus 1994.

Soewito. 1984. Status Ekosistem Hutan Mangrove dalam Kaitannya dengan


Kepentingan Perikanan di Indonesia dan Kemungkinan
Pengembangannya. Dalam Prosiding Seminar II Ekosistem
Mangrove. Jakarta.

Smith, I.R. 1979. A Research Framework for Tradisional Fisheries. International


Center for Living Aquatic Resources Managemant. Manila.
Philippina.

Steenis, V.C. 1978. Flora. Pradnya Paramita. Jakarta.


Sugandhy, A., 1994. Pendekatan Pembangunan dan Penataan Ruang Wilayah
Pesisir. Dalam Kursus Pelatihan Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan Holistik, Bogor 5-17 Oktober
1992. PPLH, LP-IPB dan Dirjen Dikti, Depdikbud.

Sulistiyo dan Ninik SR., 1994. Potensi dan Prospek Pengembangan Keswadayaan
Masyarakat Desa Jatisari, Kecamatan Sluke Kabupaten Rembang.
Dalam Mubyarto, dkk. 1994. Prospek Pedesaan Edisi ke sembilan
: Keswadayaan Masyarakat Desa Tertinggal. Aditya Media.
Yogyakarta.

Supriharyono, 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah


Pesisir Tropis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Susilawati, Tuti. 1986. Proses Terjalinnya Hubungan Kerja antara Pandega


dengan Majikan dalam Usaha Perikanan : Studi Kasus di Desa
Mertasinga, Kabupaten Cirebon. Jurnal Penelitian Perikanan Laut,
No.42. hlm. 25-31.

Suyedi, R. 2007. Analisis Pengembangan Perikanan Tangkap Di Kota Bengkulu.


Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Taryoto, Andin H., Hermanto, Mat Syukur, Abunawan Mintoro, Tri Pranadji,
Kurnia Suci Indraningsih, Sahyuti. 1993. Analisis Kelembagaan
Bagi Hasil di Perikanan Laut. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian Balitbang Departemen Pertanian. Jakarta.

Tirtakusumah, R. 1994. Pengelolaan Hutan Mangrove Jawa Barat dan Beberapa


Pemikiran untuk Tindak Lanjut. Dalam Prosiding Seminar V
Ekosistem Mangrove di Jember, 3-6 Agustus 1994.

UNDP/UNESCO Regional Project-Research and Training Pilot Programmer on


Mangrove Ecosystems in Asia and The Pasific, Bogor 8-9 Oktober
1984.

Vadya, Andrew P dan Sahur Ahmad. 1996. Pemukim Suku Bugis di Taman
Nasional Kutai, Kalimantan Timur : Dahulu, Sekarang dan
Beberapa Kemungkinan untuk Masa Depan Mereka. CIFOR
Bogor, Rutgers University (New Brunswick, NJ) dan Universitas
Hasanuddin, Ujung Pandang.

Vredenbergt, J. 1983. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. PT. Gramedia.


Jakarta.

Yin, K. R. 2002. Studi Kasus: Desain dan Metode. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Lampiran 1
PEDOMAN WAWANCARAPOKOK PENELITIAN STRUKTUR MASYARAKAT

Nomor : Tanggal : Kode Nelayan :


Kelurahan : Kecamatan : Ctt :

DAFTAR PERTANYAAN RUMAH TANGGA

A. Karakteristik Pribadi :
1. Nama : ........................................
2. Umur : ..........Tahun
3. Jenis Kelamin : (pria/wanita)
4. Pendidikan : Tidak sekolah ( )1
Tidak Tamat SD ( )2
SD ( )3
SLTP ( )4
SLTA ( )5
PT ( )6

5. Penghasilan : Rp. ................


6. Jumlah Tanggungan : ................. orang
7. Lama berusaha : ................. tahun
8. Asal daerah Kelahiran : dalam desa ( )1
luar desa ( )2
9. Motivasi tinggal di daerah
Penelitian : turun temurun ( )1
terikat perkerjaan ( )2
ikut keluarga ( )3
alasan lain ( )4
B. Karakteristik Rumah Tangga
1. Pendidikan anggota keluarga
Umur istri : ......... Tahun
Pendidikan akhir istri : Tidak sekolah ( )1
Tidak Tamat SD ( )2
SD ( )3
SLTP ( )4
SLTA ( )5
PT ( )6
Anak : .......... Tahun
Pendidikan akhir anak : Tidak sekolah ( )1
Tidak Tamat SD ( )2
SD ( )3
SLTP ( )4
SLTA ( )5
PT ( )6
2. Adat dan Budaya :
Aktif melakukan hajatan / Selamatan/ upacara : ya ( )1
Tidak ( )2
Figur yang oleh KK dianggap berpengaruh dimasyarakat :
tokoh agama ( )1
kepala desa ( )2
tokoh pendidikan ( )3
pemuka masyarakat ( )4
lainnya ( )5

3.Kondisi Lingkungan rumah


Luas rumah yang ditempati : ......... meter
Jenis atap rumah terluas : genteng ( )1
Seng ( )2
Sirap ( )3
alang-alang ( )4
Jenis dinding rumah terluas : tembok ( )1
1/2 tembok ( )2
Kayu ( )3
Gedeg/bilik/bambu/tripleks/daun kelapa ( ) 4
Jenis lantai rumah terluas : keramik ( )1
Tegel/ubin ( )2
Tanah ( )3
Kayu ( )4
Luas Pekarangan : luas ( )1
Sedang ( )2
Sempit ( )3
tidak ada ( )4
Penerangan rumah : listrik ( )1
Petromak ( )2
Lampu tempel ( ) 3
lainnya ..... ( )4
Aset keluarga : milik sendiri ( )1
menggunakan milik orang lain/keluarga ( ) 2
tidak memiliki ( ) 3
Penjualan tanah : belum pernah jual ( )1
sudah menjual ( )2
akan menjual ( )3
4. Kondisi perekonomian keluarga
Mata pencaharian utama : Nelayan ( )1
Petani ( )2
lainnya ........ ( ) 3
Mata pencaharian sampingan : ......................................
Keberadaan anggota keluarga yg bekerja : .tidak ada ( )1
Ada ( )2
5. Pendapatan Rumah Tangga/bulan
Pendapatan yang diperoleh KK/bulan : ....................................
Pendapatan yang diperoleh KK dari mata pencaharian sampingan :
.............................../bulan
Pendapatan yang diperoleh anggota keluarga dari mata pencaharian utama dan sampingan :
Istri : .......................................... /bulan
Anak : ......................................../bulan
Pendapatan lainnya : ................................. /bulan
6. Pengeluaran Rumah Tangga/bulan
Total pengeluaran utk konsumsi (makan) sehari-hari : ................................... /bulan
Total pengeluaran kebutuhan konsumsi non pangan
Sandang : ......................... /bulan
Pendidikan : .......................... /bulan
Kesehatan keluarga : .......................... /bulan
Total pengeluaran untuk kebutuhan non konsumsi : ..................................... /bulan
7. Kekayaan Keluarga
Status kepemilikan tanah : milik sendiri ( )1
Sewa ( )2
tidak memiliki ( )3
Status kepemilikan rumah : milik sendiri ( )1
Sewa ( )2
tidak memiliki ( )3
Status kepemilikan perahu : milik sendiri ( )1
Sewa ( )2
tidak memiliki ( )3
Status kepemilikan alat tangkap : milik sendiri ( )1
Sewa ( )2
tidak memiliki ( )3
Status kepemilikan mesin kapal : milik sendiri ( )1
Sewa ( )2
tidak memiliki ( )3
Status alat produksi : milik sendiri ( )1
Sewa ( )2
tidak memiliki ( )3
Status kepemilikan ternak : milik sendiri ( )1
Sewa ( )2
tidak memiliki ( )3
Status kepemilikan alat komunikasi (tv,radio dll) : milik sendiri ( )1
Sewa ( )2
tidak memiliki ( )3
Status kepemilikan kendaraan : milik sendiri ( )1
Sewa ( )2
tidak memiliki ( )3
Apakah memiliki sawah/kebun/ladang : ya ( )1
Tidak ( )2
Status kepemilikannya : milik sendiri ( )1
Sewa ( )2
tidak memiliki ( )3
8. Wawasan tentang lingkungan
Tahu arti pentingnya lingkungan hidup : tahu ( )1
tidak tahu ( )2
Kondisi lingkungan hidup tempat tinggal dan bekerja :
makin baik ( )1
kondisinya tetap/sedikit berubah ( )2
makin jelek ( )3
Pengaruh lingkungan thd pendapatan keluarga : berpengaruh ( )1
tdk menjawab ( )2
tdk berpengaruh ( )3
Kondisi lingkungan pantai : makin baik ( )1
kondisinya tetap/sedikit berubah ( )2
makin jelek ( )3
Jika makin baik, pengaruh terhadap hasil tangkapan : meningkat ( )1
Tetap ( )2
Menurun ( )3
Jika makin jelek, pengaruh terhadap hasil tangkapan : meningkat ( )1
Tetap ( )2
Menurun ( )3
Kondisi lingkungan fishing ground : makin baik ( )1
kondisinya tetap/sedikit berubah ( )2
makin jelek ( )3
Jika makin baik, pengaruh terhadap hasil tangkapan : meningkat ( )1
Tetap ( )2
Menurun ( )3

Jika makin jelek, pengaruh terhadap hasil tangkapan : meningkat ( )1


Tetap ( )2

9. Apa tipe peralatan sanitasi/tempat pembuangan kotoran yang digunakan :


Tersambung ke tangki pembuangan ( )1
kakus tradisional ( )2
jamban ( )3
sungai/laut ( )4
pekarangan ( )5
lainnya ( )6
10. Apakah sumber air utama rumah tangga ini :
Sistem air ledeng ( )1
Pompa ( )2
Sumur ( )3
sumber air ( )4
sungai ( )5
lainnya ………….. ( )6
11. Bagaimana rumah tangga ini membuang sampah secara keseluruhan :
Pembuangan sampah umum ( ) 1
Pembuangan sampah pribadi ( ) 2
Dibakar/dikubur ( )3
Buang ketanah kosong ( )4
Buang ke sungai/laut ( )5
Lainnya ……….. ( )6
12. Apa tipe penenrangan yang digunakan rumah tangga :
Listrik (PLN) ( )1
Listrik genset umum ( )2
Listrik genset pribadi ( )3
Lampu minyak tanah ( )4
Obor/lilin ( )5
Lainnya ........................ ( ) 6

DAFTAR PERTANYAAN KOMUNITAS

A. Karakteristik Komunitas
1. Berapa tahun komunitas nelayan disini telah ada :
Lebih dari 20 tahun ( )1
antara 10 dan 20 tahun ( )2
kurang dari 10 tahun ( )3
2. Berapa banyak rumah tangga komunitas nelayan disini :
Kurang dari 25 ( )1
antara 25 dan 49 ( )2
antara 50 dan 99 ( )3
antara 100 dan 249 ( )4
Lebih dari 250 ( )5
3. Pada tiga tahun terakhir, jumlah nelayan yang tinggal di komunitas ini : naik ( )1
Turun ( )2
Tetap ( )3
Jika naik, kenapa .........................
Jika turun, kenapa ..........................
4. Apa aktivitas ekonomi utama yang dilakukan laki-laki pada komunitas nelayan disini
.............................................................
5. Apa aktivitas ekonomi utama yang dilakukan perempuan pada komunitas nelayan disini
..............................................................
6. Tiga tahun terakhir, ketersediaan lapangan kerja dibidang perikanan tangkap :
Meningkat ( )1
Berkurang ( )2
tetap sama ( )3
7. Jalan utam yang digunakan komunitas nelayan disini
a. musim hujan :
jalan aspal ( )1
jalan tanah ( )2
campuran aspal dan tanah ( )3
jalan setapak ( )4
jalan kayu titian ( )5
sungai dan laut ( )6
lainnya ....... ( )7
b. musim kemarau :
jalan aspal ( )1
jalan tanah ( )2
campuran aspal dan tanah ( ) 3
jalan setapak ( )4
jalan kayu titian ( )5
sungai dan laut ( )6
lainnya ....... ( )7
8. Tiga tahun terakhir, jalanan menuju komunitas nelayan disini :
Menjadi lebih baik ( )1
menjadi kurang baik ( )2
tetap sama ( )3
9. Ketersediaan rumah pada komunitas nelayan : cukup ( )1
Kurang ( )2
10. Tiga tahun terakhir, kualitas rumah pada komunitas nelayan :
Menjadi lebih baik ( )1
menjadi kurang baik ( )2
tetap sama ( )3
11. Dua alasan utama mengapa kualitas perumahan menjadi seperti itu ?
a. .......................................................
b. ............................................................
12. Tiga tahun terakhir, kualitas hidup dari kehidupan warga komunitas nelayan ?
Menjadi lebih baik ( )1
menjadi kurang baik ( )2
tetap sama ( )3
13. Dua alasan utama mengapa kualitas kehidupan nelayan seperti itu
a. ........................................................
b. ........................................................
14. Secara umum, bagaimana tingkat kehidupan komunitas nelayan disini :
Kaya ( )1
cukup kaya ( )2
sederhana ( )3
miskin ( )4
sangat miskin ( )5
15. Warga nelayan disini percaya pada warga lainnya dalam hal meminjamkan atau meminjam :
Ya ( )1
Tidak ( )2
16. Pada tiga tahun terakhir, apakah level kepercayaan itu : meningkat ( )1
Berkurang ( )2
Tetap ( )3
17. Dibandingkan dengan komunitas lain, berapa banyak warga dalam komunitas ini percaya
dalam hal meminjam atau meminjamkan : lebih ( )1
Sama ( )2
Kurang ( )3
18. Orang mencari kesejahteraan untuk keluarganya sendiri dan tidak memperdulikan
kesejahteraan bersama : setuju sekali ( )1
Setuju ( )2
tidak setuju ( )3
sangat tidak setuju ( )4

B. Pelayan Umum
Listrik
1. Warga komunitas nelayan yang mempuyai instalasi listrik ?
Seluruh warga ( )1
sebagian besar warga ( )2
setengah dari warga ( )3
sedikit dari warga ( )4
tidak ada ( )5
2. Pada tiga tahun terakhir, layanan listrik : meningkat ( )1
Berkurang ( )2
Tetap ( )3
3. Sekarang kualitas listrik perumahan warga komunitas nelayan :
Sangat bagus ( )1
Bagus ( )2
rata-rata ( )3
kurang ( )4
sangat kurang ( )5
4. Sebutkan dua masalah uatam dari pelayananan kelistrikan :
a. ...........................................................
b. ...........................................................

Penerangan Umum
1. Apakah komunitas nelayan disini punya fasilitas penerang jalan : ya ( )1
Tidak ( )2
2. Pada tiga tahun terakhir, pelayanan penerangan umum :
Meningkat ( )1
Berkurang ( )2
Tetap ( )3
3. Sekarang kualitas penerangan umum : sangat bagus ( )1
Bagus ( )2
rata-rata ( )3
kurang ( )4
sangat kurang ( )5
4. Dua masalah utama dari penerangan umum di komunitas ini :
a. ...................................................................
b. ...................................................................
Air minum
1. Warga komunitas nelayan yang bisa mengakses saluran air PDAM :
Seluruh warga ( )1
sebagian besar warga ( )2
setengah dari warga ( )3
sedikit dari warga ( )4
tidak satupun ( )5
2. Tiga tahun terakhir, pelayanan air minum : meningkat ( )1
Berkurang ( )2
Tetap ( )3
3. Pelayanan air minum sekarang : Sangat bagus ( )1
Bagus ( )2
rata-rata ( )3
kurang ( )4
sangat kurang ( ) 5
4. Sebutkan dua masalah utama dari pelayanan air minum :
a. ..........................................................
b. ..........................................................
Pasar umum
1. Komunitas nelayan disini mempuyai pasar umum : ya ( )1
Tidak ( ) 2
2. Jarak dari komunitas ke pasar terdekat : .................................. (dalam menit jalan kaki)
3. Aktivitas pasar umum :
setiap hari ( )1
beberapa hari dlm seminggu ( )2
satu hari dalam seminggu ( )3
lainnya ( )4
4. Pada tiga tahun terakhir, kualitas dan pelayang pasar tersebut : meningkat ( ) 1
Berkurang ( )2
Tetap ( )3
5. Berapa banyak warga komunitas nelayan yang menngunakan pasar :
Seluruh warga ( )1
sebagian besar warga ( )2
setengah dari warga ( )3
sedikit dari warga ( )4
Tidak satupun ( )5

Sistem transportasi
1. Komunitas dilayani dengan sistem transportasi umum : ya ( )1
Tidak ( ) 2
2. Jarak perjalanan ke kelurahan terdekat yang mempuyai transportasi umum :
(dalam menit jalan kai) ..............................................
3. Transportasi umum tersedia :
setiap hari ( )1
beberapa hari dalam seminggu ( )2
satu hari dalam seminggu ( )3
lain-lain ......... ( )4
4. Tiga tahun terakhir, kualitas pelayanan transportasi umum : meningkat ( )1
Berkurang ( )2
Tetap ( )3
5. Berapa banyak komunitas nelayan yang menggunakan transportasi umum :
Seluruh warga ( )1
sebagian besar warga ( )2
sedikit dari warga ( )3
tidak satupun ( )4
6. Transportasi yang biasa digunakan warga komunitas nelayan untuk pergi ke tempat lain :
Jalan kaki ( )1
sepeda motor ( )2
mobil ( )3
sampan/perahu ( )4
kapal motor/speed boat ( )5

Migrasi
1. Warga komunitas nelayan disini ada yang bekerja ke tempat lain selama periode tertentu :
Ya ( )1
tidak ( )2
2. Lebih banyak wanita atau pria yang bekerja ketempat lain tersebut :
Lebih banyak wanita ( )1
lebih banyak pria ( )2
sama jumlahnya ( )3
3. Kemana biasanya mereka pergi mencari pekerjaan :
Kekota di daerah ini ( )1
Kekota di tempat lain ( )2
ke kota negara lain ( )3
ke kampung lain di daerah ini ( )4
Ke kampung lain di tempat lain ( )5
ke kampung lain di negara lain ( )6
4. Dua pekerjaan utama wanita yang pergi bekerja ke tempat lain :
a. .................................................
b. .................................................
5. Dua pekerjaan utama pria yang pergi bekerja ke tempat lain :
a. .....................................................
b. .....................................................
6. Ada orang dari daeah lain yang datang bekerja pada komunitas nelayan disini : ya ( )
Tidak ( )
7. Dua pekerjaan utama mereka yang bekerja pada komunitas nelayan disini
a. .........................................................
b. ........................................................

Pendidikan
TK (Taman Kanak-Kanak)
1. Komunitas disini mempuyai taman kanak-kanak : ya ( )1
tidak ( )2
2. Berapa jauh TK paling dekat dari komunitas : ( dalam menit jalan kaki) ..........................
3. Jumlah TK mencukupi jumlah anak-anak usia TK yang ada : ya ( )1
Tidak ( ) 2
4. Jumlah pengajar TK tersebut mencukupi jumlah anak :
Ya ( )1
Tidak ( )2
5. Kondisi fisik TK : sangat baik ( )1
Baik ( )2
cukup baik ( )3
kurang baik ( )4
sangat tidak baik ( )5
6. Persentase anak usia TK yang belajar di Taman kank-kanak :
Semua anak ( )1
sebagian besar anak ( )2
setengah dari jumlah anak ( )3
kurang dari setengah ( )4
tidak ada ( )5

7. Dua alasan utama anak-anak yang tidak mengikuti pendidikan TK :


a. ..............................................
b. ..............................................
Sekolah dasar (SD)
1. Komunitas disini mempuyai Sekolah Dasar umum : ya ( )1
tidak ( ) 2
2. Berapa jauh SD paling dekat dari komunitas : ( dalam menit jalan kaki) ..........................
3. Jumlah SD mencukupi jumlah anak-anak usia SD yang ada : ya ( )1
Tidak ( ) 2
4. Jumlah pengajar SD tersebut mencukupi jumlah anak : ya ( )1
Tidak ( ) 2
5. Kondisi fisik SD : sangat baik ( )1
Baik ( )2
cukup baik ( )3
kurang baik ( )4
sangat tidak baik ( ) 5
6. Persentase anak usia SD yang belajar di Sekolah dasar umum :
Semua anak ( )1
sebagian besar anak ( )2
setengah dari jumlah anak ( )3
kurang dari setengah ( )4
tidak ada ( )5
7. Dua alasan utama anak-anak yang tidak mengikuti pendidikan SD :
a. ..............................................
b. ..............................................
Sekolah Menengah Pertama (SMP)
1. Komunitas disini mempuyai Sekolah Mengah Pertama: ya ( )1
tidak ( )2
2. Berapa jauh SMP paling dekat dari komunitas : ( dalam menit jalan kaki) ..........................
3. Jumlah SMP mencukupi jumlah anak-anak usia SMP yang ada : ya ( )1
Tidak ( ) 2
4. Jumlah pengajar SMP tersebut mencukupi jumlah anak :
Ya ( )1
Tidak ( )2
5. Kondisi fisik SMP : sangat baik ( )1
Baik ( )2
cukup baik ( )3
kurang baik ( )4
sangat tidak baik ( )5
6. Persentase anak usia SMP yang belajar di Sekolah Mengah Pertama:
Semua anak ( )1
sebagian besar anak ( )2
setengah dari jumlah anak ( )3
kurang dari setengah ( )4
tidak ada ( )5
7. Dua alasan utama anak-anak yang tidak mengikuti pendidikan SMP :
a. ..............................................
b. ..............................................
Sekolah Menengah Atas (SMA)
1. Komunitas disini mempuyai Sekolah Mengah Atas : ya ( )1
tidak ( ) 2
2. Berapa jauh SMA paling dekat dari komunitas : ( dalam menit jalan kaki) ..........................
3. Jumlah SMA mencukupi jumlah anak-anak usia SMA yang ada : ya ( )1
Tidak ( ) 2
4. Jumlah pengajar SMA tersebut mencukupi jumlah anak : ya ( )1
Tidak ( ) 2
5. Kondisi fisik SMA : sangat baik ( )1
Baik ( )2
cukup baik ( )3
kurang baik ( )4
sangat tidak baik ( )5
6. Persentase anak usia SMA yang belajar di Sekolah Menengah Atas:
Semua anak ( )1
sebagian besar anak ( )2
setengah dari jumlah anak ( )3
kurang dari setengah ( )4
tidak ada ( )5
7. Dua alasan utama anak-anak yang tidak mengikuti pendidikan SMA :
a. ..............................................
b. ..............................................
Pendidikan Dewasa
1. Ada kampanye atau program pembebasan buta huruf/aksara : ya ( )1
Tidak ( ) 2
2. Adakah program pelatihan kerja untuk komunitas disini : ya ( )1
Tidak ( ) 2
Kesehatan
1. Dua masalah kesehatan yang mempengaruhi anak-anak balita dalam komunitas :
a. ..............................................
b. ..............................................
2. Dua masalah kesehatan yang mempengaruhi orang dewasa laki-laki dalam komunitas :
a. .................................................
b. .................................................
3. Dua masalah kesehatan yang mempengaruhi orang dewasa wanita dalam komunitas :
a. .................................................
b. .................................................
4. Apakah masyarakat disini mempuyai rumah sakit atau klinik kesehatan : ya ( )1
Tidak ( ) 2
5. Berapa jauh klinik Kesehatan atau Rumah Sakit yang paling dekat dengan komunitas :
(diukur dalam berapa menit perjalanan ) ...................................
6. Kondisi Rumah sakit atau klinik kesehatan :
Cukup/ Kurang /Tidak ada
Sarana fisik ( )1 ( )2 ( )3
Peralatan kesehatan ( )1 ( )2 ( )3
Tempat tidur pasien ( )1 ( )2 ( )3
Ambulan ( )1 ( )2 ( )3
Dokter ( )1 ( )2 ( )3
Perawat ( )1 ( )2 ( )3
Staf kesehatan lainnya ( )1 ( )2 ( )3
7. Dalam masyarakat terdapat program keluarga berencana : ya ( )1
Tidak ( )2
8. Siapa yang menawarkan program tersebut :
Pemerintah ( )1
LSM ( )2
Fasilitas pribadi ( )3
lainnya ................ ( )4

C. ISU LINGKUNGAN
1. Apakah warga komunitas :
Membuang sampah ke sungai : ya ( )1
Tidak ( )2
Membuang sampah kelaut : ya ( )1
Tidak ( )2
Menumpuk sampah di halaman : ya ( )1
Tidak ( )2
Membuat air/kolam mampet : ya ( )1
Tidak ( )2
Membuang sisa hasil perikanan sembarangan : ya ( )1
Tidak ( )2
Membuang sisa minyak kapal kesungai/laut/lahan terbuka : ya ( )1
Tidak ( )2
Membakar/membabat mangrove : ya ( )1
Tidak ( )2
Lainnya .................... ya ( )1
Tidak ( )2
3. Secara keseluruhan, kondisi lingkungan komunitas saat ini :
Sangat baik ( )1
Baik ( )2
cukup baik ( )3
tidak baik ( )4
sangat tidak baik ( )5
4. Tiga tahun terakhir, kualitas lingkungan di dalam komunitas : meningkat ( ) 1
Berkurang ( ) 2
Tetap ( )3
5. Dua masalah utama yang mempengaruhi kualitas lingkungan dalam komunitas :
a. ................................................
b. ................................................
6. Dua tindakan utama yang bisa diambil untuk meningkatkan kualitas lingkungan :
a. .......................................................
b. .......................................................

D. PERIKANAN TANGKAP
1. Prinsip aktifitas perikanan tangkap yang dilakukan di dalam komunitas disini :
............................................................................................................
............................................................................................................
2. Dimana masyarakat menjual hasil tangkapan : (tiga tempat terpenting)
Pasar kampung terdekat ( )1
Pasar di kota ( )2
Pengumpul ( )3
Eksportir ( )4
Tengkulak/toke ( )5
Koperasi ( )6
Konsumsi sendiri/tidak untuk dijual ( )7
Lainnya ................................ ( )8
3. Permasalahan utama yang dihadapi warga komunitas dalam memasarkan produksi dan
mendapatkan hasil yang memadai :
...........................................................................................................................................
...........................................................................................................................................
...........................................................................................................................................
4. Komunitas nelayan disini pernah menerima bantuan teknis : ya ( )1
Tidak ( ) 2
5. Siapa penyedia bantuan teknis tersebut :
............................................................................................................................................
6. Komunitas nelayan disini memiliki koperasi : ya ( )1
Tidak ( ) 2
7. Di dalam komunitas nelayan disini, terdapat orang atau lembaga yang menyedia kredit dan
meminjamkan modal pada nelayan : ya ( )1
Tidak ( ) 2
8. Lembaga-lemabaga utama yang menyediakan kredit atau pinjaman pada nelayan :
Bank Nasional ( )1
Bank Pembangunan Daerah ( )2
Bank Swasta ( )3
Kelompok Kreditur Nelayan ( )4
Tengkulak/toke ( )5
Eksportir ( )6
Koperasi ( )7
Asosiasi nelayan ( )8
Pedagang lokal ( )9
Lainnya ..................................... ( ) 10
9. Komunitas nelayan disini, menerima kredit atau pinjaman dari lembaga atau individu yang
berasal dari daerah/kota lain : ya ( )1
Tidak ( ) 2
10. Berapa prosentase bantuan kredit yang menggunakan komunitas nelayan disini dalam
mendukung aktivitas ?
.........................................................................................................................................
11. Permasalahan yang dihadapi nelayan berkaitan dengan pinjaman dan kredit tersebut :
.......................................................................................................................................
.......................................................................................................................................
.......................................................................................................................................
12. Tiga tahun terakhir, penjualan produk hasil tangkapan : meningkat ( )1
Berkurang ( )2
Tetap ( )3

E. KONDISI UMUM
1. Organisasi yang bertahan di dalam komunitas nelayan
Kelompok nelayan : ya ( )1
Tidak ( ) 2
Koperasi : ya ( )1
Tidak ( ) 2
Asosiasi guru dan orang tua : ya ( )1
Tidak ( ) 2
Lembaga kesehatan : ya ( )1
Tidak ( ) 2
Kelompok kepemudaan : ya ( )1
Tidak ( )2
Kelompok olah raga : ya ( )1
Tidak ( )2
Kelompok budaya/seni : ya ( )1
Tidak ( )2
Kelompok sosial : ya ( )1
Tidak ( )2
Lainnya .......................
2. Lembaga mana yang aktif mendukung organisasi mendasar dalam komunitas nelayan ?
Pemerintah lokal : ya ( )1
Tidak ( )2
Pemerintah pusat : ya ( )1
Tidak ( )2
Politisi : ya ( )1
Tidak ( )2
Organisasi keagamaan : ya ( )1
Tidak ( )2
Sekolah/guru : ya ( )1
Tidak ( )2
LSM : ya ( )1
Tidak ( )2
Perusahaan Swasta : ya ( )1
Tidak ( )2
Kelompok pelayanan sosial : ya ( )1
Tidak ( )2
Warga yang berkecukupan : ya ( )1
Tidak ( )2
Lainnya .........................
3. Bangunan yang digunakan untuk mengumpulkan warga komunitas dalam pertemuan :
Pusat kegiatan masyarakat : ya ( )1
Tidak ( ) 2
Rumah pribadi : ya ( )1
Tidak ( )2
Rumah pemimpin politik : ya ( )1
Tidak ( )2
Rumah tokoh komunitas : ya ( )1
Tidak ( )2
Bangunan masjid : ya ( )1
Tidak ( )2
Pusat kesehatan/pendidikan : ya ( )1
Tidak ( )2
Gedung pemerintahan : ya ( )1
Tidak ( )2
Lainnya ........................
4. Warga komunitas yang emngambil bagian dominan dalam memecahkan isu yang dihadapi
:
a. Jenis kelamin
Laki-laki ( )1
perempuan ( )2
laki-laki dan perempuan secara seimbang ( )3
tdk ada yg ambil bagian ( )4
b. Usia
Kaum muda ( )1
orang dewasa ( )2
orang yg lebih tua ( )3
tua,muda dan orang dewasa secara seimbang ( )4
tidak ada yg ambil bagian ( )5
c. Status pekerjaan
Bekerja ( )1
Menganggur ( )2
bekerja dan menganggur secara seimbang ( )3
tidak ada yg ambil bagian ( )4
5. Tiga tahun terakhir, apakah masyarakat mampu mengorganisir permasalahan yang
dihadapi :
Ya ( )1
Tidak ( )2
6. Permasalahan apa yang dapat diorganisir masyarakat :
..................................................................................................................................................
.
..................................................................................................................................................
7. Sukseskah prakarsa tersebut : ya ( )1
Tidak ( )2
sedang berjalan ( )3
8. Permasalahan utama yang dirasakan warga komunitas dan harus secepatnya dipecahkan :
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
9. Ada program bantuan khusus bagi momunitas nelayan : ya ( )1
Tidak ( ) 2
10. Program apa saja yang sedang berjalan dan lembaga mendukungnya :
................................................................................................................................................
...................................................................................................................................
PANDUAN WAWANCARA MENDALAM

A. Pokok Penelitian Faktor-faktor Struktural


1. Sejarah terbentuknya komunitas nelayan di Kelurahan Kandang
2. Status Sosial Ekonomi/Tingkat Pendapatan Masyarakat Nelayan di
Kelurahan Teluk Sepang/Sumberjaya
3. Asal-usul dan Status Hak Kepemilikan/Penguasaan:
3.1 Tanah
3.2 Alat-alat kerja
3.3 Alat tangkap
3.4 Perahu/kapal
(warisan/jual-beli/sewa/suruh bawa dan lain-lain)
4. Aktivitas Mata Pencaharian Sebagai Nelayan
4.1 Sifat usaha: subsisten atau komersial?
4.2 Pola bagi hasil setiap alat tangkap: biaya penyusutan, biaya
perawatan mesin dan perahu/kapal. Siapa yang menanggung biaya
operasional? Siapa yang menanggung biaya retribusi pelelangan
hasil tangkapan?.
4.3 Apakah ada eksploitasi terhadap buruh nelayan sehubungan dengan
pola bagi hasil? Siapa yang lebih diuntungkan dengan pola bagi hasil
tersebut?
5. Peran pemilik modal dalam kegiatan modernisasi perikanan di Kelurahan
Teluk Sepang/Sumberjaya.
6. Peran kelembagaan (formal maupun informal)
Apakah kegiatan kelembagaan tersebut mempengaruhi perubahan
yang terjadi dalam kehidupan mereka?
7. Pola hubungan antara pemilik modal dengan pemilik kapal
Apa yang dijadikan dasar dalam pola hubungan ini? Dalam pola
hubungan ini apakah memperlihatkan adanya gejala eksploitasi terhadap
pemilik perahu atau pemilik kapal?
8. Pola hubungan antara pemilik kapal dengan nelayan buruh atau ABK
Apa yang dijadikan dasar dalam pola hubungan tersebut? Dalam pola
hubungan ini apakah memperlihatkan adanya gejala ekspolitasi?
9. Struktur nafkah masyarakat nelayan Kelurahan Teluk Sepang/Sumberjaya
Siapa pencari nafkah dalam keluarga? Apa pekerjaan utama pencari
nafkah? Apa usaha sampingan yang dilakukan pencari nafkah? Berapa
pendapatan per tahun?
10. Perilaku menghadapi tekanan ekonomi yang mereka alami
Apakah mereka tetap mempertahankan keahlian berusaha dalam kegiatan
nelayan? Bagaimana cara memperoleh sarana produksi ?
11. Cara mendapatkan modal operasional
Apa sajakah sumber-sumber pinjaman tersebut? Bagaimana prosedur dan
proses dari pinjaman itu?
12. Adat istiadat/tradisi/kebijakan atau peraturan/lembaga yang
memperhatikan kelestarian lingkungan
Bagaimana pelaksanaannya dalam masyarakat? Adakah perbedaan yang
tampak dari generasi dahulu dengan generasi sekarang ?

13. Teknologi penangkapan yang digunakan


13.1 Bentuk –bentuk teknologi penangkapan yang digunakan
13.2 Bagaimana kondisi masyarakat nelayan sebelum masuknya
teknologi?
13.3 Bagaimana struktur produksi, pola bagi hasil, dan pola
stratifikasinya?
14. Dampak/pengaruh industrialisasi nelayan
14.1 Dampak/pengaruh secara langsung maupun tidak langsung dalam
peningkatan pendapatan.
14.2 Dalam bentuk apa saja industrialisasi perikanan yang ada dan akan
di kembangkan?
14.3 Pihak mana yang lebih aktif mendorong peningkatan pendapatan
mereka

15. Perubahan teknologi penangkapan ikan


15.1 Kapan mulai dilakukan?
15.2 Siapa yang berperan dalam perubahan teknologi?
15.3 Mengapa dilakukan perubahan teknologi tersebut?
15.4 Bagaimana tahap-tahap perubahan teknologi tersebut dilakukan oleh
nelayan Kelurahan Teluk Sepang/Sumberjaya?
15.5 Respon positif dan negatif nelayan terhadap perubahan teknologi
pada saat itu.
15.6 Bagaimana tahap-tahap perubahan teknologi penangkapan ikan
yang dilakukan oleh nelayan Kelurahan Teluk Sepang/Sumberjaya
hingga sekarang ?
16. Kekuatan produksi pada setiap jenis alat tangkap
16.1 Sumberdaya manusia dan keterampilannya
16.2 Tingkat teknologi yang digunakan dan lain-lain
16.3 Lainnya?
17. Pola hubungan produksi setiap jenis alat tangkap yang ada
Bagaimana peran dari masing-masing status dalam proses produksi ?
18. Pola stratifikasi nelayan berdasarkan pandangan masyarakat setempat
Apa yang dijadikan dasar dalam penentuan stratifikasi sosial tersebut?
19. Pengaruh berbagai kebijakan yang dijalankan pemerintah atau stakeholder
lainnya pada berbagai aspek ekonomi, teknologi, sosial dan lingkungan
20. Perilaku nelayan dalam usaha sehari-hari untuk tidak merusak lingkungan
pesisir (akibat dari penggunaan bahan-bahan berbahaya)
20.1 Bentuk-bentuk perilakunya
20.2 Lembaga desa atau adat istiadat/norma yang berpihak pada
kelestarian lingkungan?
21. Strategi yang digunakan untuk keberhasilan pelestarian ekologi
21.1 Adakah tradisi/adat istiadat/norma yang menabukan atau melarang
perusakan lingkungan pesisir dan laut?
21.2 Pihak mana yang paling intens dalam persoalan keberlanjutan
lingkungan?
22. Peran pemerintah dalam membantu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat nelayan
22.1 Peranan TPI atau lembaga formal lain?
22.2 Harapan dari kelembagaan tersebut?
23. Ketersediaan ruang bertahan hidup yang menjadi dasar teritorial dari
ekonomi komunitas
23.1 Bagaimana dengan waktu luang mereka?
23.2 Apakah mereka terlibat dalam wadah sosial setempat?
23.3 Bagaimana bentuk jaringan sosial yang ada ?
24. Strategi dalam menghadapi tekanan ekonomi yang dialami Adakah pola
nafkah ganda yang mereka lakukan?
24.1 Apakah penyebaran tenaga kerja anggota keluarga juga dilakukan?
24.2 Atau apakah mereka memanfaatkan lembaga kesejahteraan lokal ?
25. Ketersediaan pilihan-pilihan yang ada: Apakah mereka memanfaatkan
alam-ekologikal? Bagaimana dengan finansial, dan sumberdaya manusia?
26. Apakah kelembagaan lokal yang ada dapat membantu kemajuan
masyarakat setempat? Bagaimana anda menilai apa yang diharapkan dari
kelembagaan tersebut?
27. Tradisi/adat istiadat di dalam masyarakat nelayan yang mempuyai
perhatian terhadap lingkungan
27.1 Ungkapan dari masalah mengenai keperdulian terhadap lingkungan
tersebut?
27.2 Keperdulian generasi muda terhadap lingkungan?
27.3 Adakah perubahannya dari generasi dahulu dengan generasi
sekarang?
27.4 Keperdulian golongan masyarakat kritis terhadap permasalahan di
lokalitas?
28. Kelembagaan dalam masyarakat nelayan tersebut yang memihak
kepentingan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan
28.1 Bentuk-bentuk kelembagaannya
28.2 Bagaimana dengan peraturan perundang-undangan atau peraturan
pemerintah daerah yang dapat dijadikan pijakan dalam mengelola
sumberdaya secara berkelanjutan?
29. Persepsi masyarakat setempat tentang lingkungan, alam, masyarakat dan
desa
29.1 Bagaimana bentuk-bentuk persepsinya?
29.2 Adakah gagasan yang bertentangan yang tumbuh dalam
masyarakat tentang lingkungan
29.3 Apakah gagasan itu diwadahi oleh lembaga setempat?
30. Bentuk pengorganasasian diri masyarakat dalam hubungan dengan
keperdulian terhadap lingkungan
30.1 Bentuk-bentuknya
30.2 Adakah gejala aparat pemerintah desa hanya menyibukkan diri
dengan kekuasaan politik? Atau mengakumulasi kekayaan? Atau
apakah tokoh-tokoh masyarakat hanya menunpang hidup dari
kondisi tersebut?
Status pendidikan keluarga.
Kesehatan keluarga.
B. Pokok Penelitian Kebijakan Program Penanggulangan Kemiskinan
1. Jaringan Pengaman Sosial (JPS)
1.1 Bentuk Program JPS dari pemerintah pusat
1.2 Bentuk program pemberdayaan masyarakat lainnya
1.3 Bentuk konkrit program tersebut di masyarakat nelayan
1.4 Derajat/Tingkat Efektivitas Program: apakah program bantuan
pemerintah pusat tersebut bermanfaat secara nyata/menyentuh bagi
masyarakat kecil?
1.5 Pihak-pihak yang diuntungkan dari program tersebut
1.6 Pihak-pihak yang dirugikan dari program tersebut
1.7 Adakah instansi pemerintah pusat yang menjadi panutan masyarakat
dalam membantu memecahkan persoalan mereka?
1.8 Apakah dalam mensosialisasikan program tersebut melibatkan nelayan?
Sampai sebatas mana pelibatan nelayan tersebut? Bagaimana respon
nelayan itu sendiri atas keterlibatan mereka?
1.9 Hambatan yang dihadapi instansi pemerintah pusat dalam memberikan
bantuan
1.10 Upaya instansi pemerintah pusat menghadapi hambatan tersebut
2. Program Pemerintah Daerah (propinsi dan atau kota) dan Dinas Terkait
2.1 Bentuk-bentuk programnya
2.2 Efektivitas program tersebut dalam menanggulangi kemiskinan masyarakat nelayan

2.2 Apakah Kebijakan publik yang berkenaan dengan program tersebut


memihak kepada masyarakat kecil?
2.3 Apakah ada kerjasama antara instansi yang terkait tersebut ?
2.4 Adakah pemerintah daerah/dunas terkait yang menjadi panutan
masyarakat dalam membantu memecahkan persoalan mereka?
2.5 Apakah dalam mensosialisasikan program tersebut melibatkan nelayan?
Sampai sebatas mana pelibatan nelayan tersebut? Bagaimana respon
nelayan itu sendiri atas keterlibatan mereka?
2.6 Hambatan yang dihadapi pemerintah daerah/dinas terkait dalam
memberikan bantuan
2.7 Upaya pemerintah daerah/dinas terkait menghadapi hambatan tersebut

3. Program Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)


3.1 Bentuk-benuk programnya
3.2 Sampai sejauh mana keterlibatan LSM tersebut dalam masyarakat?
3.3 Adakah LSM yang menjadi panutan masyarakat dalam membantu
memecahkan persoalan mereka?
3.4 Apakah dalam mensosialisasikan program tersebut melibatkan nelayan?
Sampai sebatas mana pelibatan nelayan tersebut? Bagaimana respon
nelayan itu sendiri atas keterlibatan mereka?
3.5 Hambatan yang dihadapi LSM dalam memberikan bantuan
3.6 Upaya LSM menghadapi hambatan tersebut

4. Adakah UU/peraturan yang dirancang untuk memihak kepentingan nelayan


kecil?
C. Pokok Penelitian Bentuk-bentuk Strategi yang Dilakukan

1. Aktivitas Mata Pencaharian Sebagai Nelayan


1.1 Status pencari nafkah dalam keluarga
1.2 Apakah perikanan tangkap merupakan pekerjaan utama?
1.3 Adakah pekerjaan sampingan yang dilakukan?
1.4 Pendapatan yang diperoleh per hari, per bulan dan per tahun?
1.5 Sebandingkah dengan pengeluaran yang dilakukan?
2. Perilaku aras individu, aras rumah tangga dan aras komunitas menghadapi
tekanan ekonomi
2.1 Adakah mereka memiliki keahlian berusaha dalam kegiatan nelayan?
2.2 Bagaimana cara memperoleh saprodi (membeli, meminjam, bagi hasil dan
lain-lain)?
3. Kekuatan Sosial Masyarakat Nelayan
3.1 Adakah ketersediaan ruang bertahan hidup?
3.2 Bagaiamana mereka mengatur waktu luang yang ada?
3.3 Bagaimana keterlibatan mereka dalam wadah sosial setempat?
3.4 Bagaimana bentuk jaringan sosial yang terbentuk?
3.5 Apakah mereka menerapkan pola nafkah ganda?
3.6 Atau melakukan penyebaran tenaga kerja anggota keluarga?
3.7 Atau mereka memanfaatkan lembaga kesejahteraan lokal ?
3.8 Bagaimana dengan peran istri dalam membantu perekonomian?
3.9 Adakah ketersediaan pilihan dalam memanfaatkan alam, modal fiskal,
modal finansial dan modal sumberdaya manusia?
PANDUAN PENGAMATAN LAPANGAN

1. Keadaan wilayah lokasi penelitian dan sarana prasarana yang menunjang


kegiatan operasional. Apakah sarana dan prasarana tersebut memadai untuk
kegiatan operasional nelayan?
2. Gambaran umum komunitas nelayan, serta situasi dan kondisi pemukiman,
darimana saja asal usul nelayan yang berdomisili di Kelurahan Teluk
Sepang/Sumberjaya.
3. Gambaran keadaan sosial budaya masyarakat. Kegiatan-kegiatan soisal
budaya yang ada, pelapisan sosial.
4. Pola-pola penguasaan aset produksi : jenis dan jumlah penguasaan aset
(perahu/kapal, alat tangkap, alat kerja dll) dan bagaimana proses penguasaan
dari aset tersebut (pewarisan, jual beli, sewa, dll)
5. Berbagai cara produksi yang ada di Kelurahan Teluk Sepang/Sumberjaya dan
bagaimana formasi sosialnya?
6. Kelembagaan yang ada dalam masyarakat nelayan : lembaga formal
(kelompok nelayan dll) dan lembaga informal (majelis taklim, arisan, gotong
royong, dll)
7. Modernisasi nelayan : masuknya teknologi (pukat trwal, gardan dll),
masuknya modal/kapital serta perkembangan industralisasi nelayan
8. Kegiatan di Pelabuhan Perikanan dan bagaimana peran Pelabuhan Perikanan
dalam menunjang kegiatan nelayan.
9. Kegiatan di tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan mekanisme kerjanya. Siapa
yang mengelola TPI dan bagaimana peran TPI dalam menunjangg kegiatan
pemasaran hasil tangkapan para nelayan? Selain TPI amati juga cara
pemasaran hasil tangkapan yang umum dilakukan oleh nelayan. Adakah
pihak-pihak yang berperan dalam pemasaran hasil tangkapan selain TPI dan
bagaimana peranannya?
10. Bagaimana mekanisme bagi hasil yang dilakukan pada masing-masing cara
produksi. Adakah gejala eksploitasi dari sistem bagi hasil tersebut terhadap
buruh nelayan atau ABK ?
11. Bagaimana mekanisme penjualan hasil tangkapan yang dilakukan oleh
pemilik perahu/kapal yang telah terikat dengan pedagang pengumpul, apakah
memperlihatkan kecenderungan eksploitasi dengan penentuan tingkat harga
secara sepihak?
12. Bagaimana mekanisme penjualan hasil tangkapan yang dilakukan oleh
pemilik perahu atau kapal yang tidak terikat oleh pemilik modal ? bagaimana
tingkat harga yang terjadi?
13. Bagaimana mekanisme penjualan hasil tangkapan yang dilakukan oleh
pemilik perahu atau kapal yang telah terikat oleh pemilik modal? Bagaimana
tingkat harga yang terjadi?
14. Bagaimana arah kebijakan pemerintah daerah untuk mengelola sumberdaya
perikanan ? apakah setiap peraturan yang dikeluarkan memperhatikan dan
mengadopsi norma-norma sosial budaya tingkat lokal? Bagaimana upaya
peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat yang telah dan ada di masyarakat
nelayan ?
PANDUAN UNTUK STUDI DOKUMENTASI

Untuk menunjang data primer maka dilakukan studi dokumentasi untuk


mendapatkan data sekunder sebagai berikut :
1. Keadaan umum lokasi penelitian (letak, luas, topografi, pola pemukiman,
ketersediaan sarana, pasar, sekolah, bank, koperasi, pelabuhan, puskesmas, air
bersih, penerangan, pembuangan sampah dan lain-lain)
2. Penduduk : karakteristik demografi, komposisi penduduk menurut jenis
kelamin, umur, tingkat pendidikan, jumlah rumah tangga nelayan, mobilitas
penduduk, angkatan kerja.
3. Mata pencaharian : jenis pekerjaan dan jumlah penduduk masing-masing
pekerjaan.
4. Keadaan sosial budaya masyarakat : agama, kegiatan sosial, pelapisan sosial
dan dan lain-lain.
5. Perkembangan jumlah dan jenis kapal atau perahu
6. Perkembangan jumlah dan jenis alat penangkapan ikan
7. Perkembangan jumlah produksi per jenis alat tangkap per satuan waktu
8. Jumlah hari trip setiap jenis alat tangkap
9. Peta wilayah penangkapan untuk setiap jenis alat tangkap
10. Peta lokasi penelitian
Lampiran 2. Kuesioner Prioritas Strategi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
Dalam Pengendalian Degradasi Sumberdaya Alam Pesisir di Kota
Bengkulu

Prioritas Strategi Pengendalian Degradasi Sumberdaya Alam Pesisir


FOKUS Melalui Pemberdayaan pesisir Kota Bengkulu

FAKTOR SWOT Kekuatan Kelemahan Peluang Ancaman


(Strength) (Weaknesses) (Opportunities) (Threats

KRITERIA
Pembentukan kelembagaan Rehabilitasi ekosistem Program pendampingan dengan Peningkatan peran
ekonomi dan pelestarian pesisir yang telah melakukan intervensi dalam memanfaatk
sumberdaya pesisir mengalami degradasi. komunitas secara lestari

ALTERNATIF Pembentukan kelembagaan ekonomi Pengembangan teknologi Pengembangan system Kegia


STRATEGI (koperasi keluarga) berbasiskan penangkapan yang ramah silvofishery dalam pengelolaan rehabi
kekerabatan lingkungan melalui kelompok- tambak dengan pendekatan denga
kelompok profesi buttom up

Dalam penelitian ini, Bapak/Ibu/Sdr responden dimohon untuk dapat


memberikan nilai perbandingan antar elemen berdasarkan Angka Skala yang telah
di tetapkan (Tabel 1). Pertimbangan nilai intensitas kepentingan antar elemen
didasarkan pada logika, intuisi, kepakaran dan pengalaman Bapak/Ibu/Sdr
responden dalam memahami permasalahan pemberdayaan masyarakat pesisir
Kota Bengkulu ini.

Tabel 1. Skala Perbandingan Pasangan (Saaty, 1993)

Intensitas Keterangan
Penjelasan
Kepentingan

1 Kedua elemen sama pentingnya Kedua


elemem mempuyai pengaruhyang sama

pentingnya

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada


Pengalaman dan penilaian sedikit menyokong satu
elemen yang lainnya elemen
dibandingkan elemen lainnya

5 Elemen yang satu sedikit lebih cukup daripada elemen


Pengalaman dan penilaian sangat kuat menyokong lainnya
satu elemen dibanding elemen lainnya

7 Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen lainnya Satu


elemen yang kuat disokong dan dominannya
telah terlihat dalam praktek

9 Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya Bukti


yang mendukung elemen memiliki tingkat
penegasa
n tertinggi yang
mungkin
menguatkan

2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan Nilai ini
diberikan bila ada dua kompromi di antara

dua pilihan

Kebalikan Jika untuk aktifitas i mendapatkan satu angka bila dibandingkan dengan
aktifitas j, maka j mempuyai nilai
kebalikannya bila dibandingkan dengan i

Hierarki 1. Perbandingan Antar Faktor terhadap Fokus (Tujuan)

FOKUS Prioritas Strategi Pengendalian Degradasi Sumberdaya Pesisir Melalui Pemberdayaan Nelayan K

FAKTOR Kekuatan Kelemahan Peluang


(Strength) (Weaknesses) (Opportunities)

Pendekatan pemberdayaan masyarakat pesisir Kota Bengkulu dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu kekuatan (Strength), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan Ancaman
(Threats).

Pertanyaan :
Bagaimana perbandingan tingkat kepentingan antar faktor-faktor tersebut terhadap pendekatan
pemberdayaan masyarakat pesisir Kota Bengkulu

Perbandingan nilai tingkat kepentingan faktor terhadap tujuan

Kekuatan Kelemahan Peluang Ancaman

Kekuatan
Kelemahan
Peluang
Ancaman
Hierarki 2. Perbandingan kriteria terhadap Faktor

FAKTOR Kekuatan Kelemahan Peluang


(Strenght) (Weaknesses) (opportunities)

Pembentukan kelembagaan Rehabilitasi ekosistem Program pendampingan dengan Peningkatan pe


KRITERIA ekonomi dan pelestarian pesisir yang telah melakukan intervensi masyarakat pes
sumberdaya pesisir mengalami degradasi. komunitas memanfaatkan

Faktor-faktor yang mempengaruhi pendekatan pemberdayaan masyarakat nelayan


Kota Bengkulu dipengaruhi oleh strategi yang dilakukan.
Pertanyaan : Bagaimana perbandingan tingkat kepentingan antar aktor-aktor
tersebut dalam mempengaruhi faktor-faktor yang mempengaruhi pemberdayaan
masyarakat nelayan ?

Pembentukan kelembagaan Rehabilitasi ekosistem Program Peningkatan p


ekonomi dan pelestarian pesisir yang telah pendampingan masyarakat pe
sumberdaya pesisir mengalami degradasi. dengan melakukan memanfaatka
intervensi komunitas

Pembentukan kelembagaan ekonomi dan


pelestarian sumberdaya pesisir

Rehabilitasi ekosistem pesisir yang telah


mengalami degradasi.

Program pendampingan dengan melakukan


intervensi komunitas

Peningkatan peran serta masyarakat pesisir


dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir

Hierarki 3. Perbandingan kriteria terhadap alternatif strategi

KRITERIA Peningkatan peran


Pembentukan kelembagaan Rehabilitasi ekosistem Program pendampingan dengan
masyarakat pesisir
ekonomi dan pelestarian pesisir yang telah melakukan intervensi
mengalami degradasi. komunitas memanfaatkan sum
sumberdaya pesisir

ALTERNATIF Pembentukan kelembagaan ekonomi Pengembangan teknologi Pengembangan system Keg


(koperasi keluarga) berbasiskan penangkapan yang ramah silvofishery dalam pengelolaan reha
STRATEGI kekerabatan lingkungan melalui kelompok- tambak dengan pendekatan man
kelompok profesi pend
Pertanyaan :
Bagaimana perbandingan tingkat kepentingan dari alternatif strategi yang akan
dicapai berdasarkan kriteria dalam pendekatan pemberdayaan masyarakat nelayan
Kota Bengkulu ?

Perbandingan nilai tingkat kepentingan alternatif strategi

Pembentukan Pengembangan teknologi Pengembangan system silvofishery dalam Ke


kelembagaan penangkapan yang ramah pengelolaan tambak dengan pendekatan buttom up reh
ekonomi (koperasi lingkungan melalui ma
keluarga) kelompok-kelompok profesi pen
berbasiskan
kekerabatan

Pembentukan kelembagaan
ekonomi (koperasi keluarga)
berbasiskan kekerabatan

Pengembangan teknologi
penangkapan yang ramah
lingkungan melalui kelompok-
kelompok profesi

Pengembangan system
silvofishery dalam pengelolaan
tambak dengan pendekatan
buttom up

Kegiatan konservasi dan


rehabilitasi hutan mangrove
dengan pendekatan partisipatif

Apabila Bapak/Ibu/Sdr. Responden memiliki saran, pendapat, dan


masukan tentang program pendekatan pemberdayaan masyarakat nelayan Kota
Bengkulu, silahkan menulisnya di halaman ini.
Lampiran 3. Tabel Keragaan Modal struktur masyarakat nelayan di Kelurahan
Teluk Sepang, Sumberjaya dan Kandang
Jenis Modal Kategori Selang skor Kelurahan Teluk Kelurahan Kelurahan
Sepang Sumberjaya Kandang

Modal Manusia Rendah 24-52 25,5 50,0 24,7

Tinggi 53-80 74,5 50,0 75,3

Jumlah 100,0 100,0 100,00

Modal fisikal Rendah 137-175 46,4 66,5 53,8

Tinggi 176-212 53,6 33,5 46,2

Jumlah 100,0 100,0 100,00

Modal Finansial Rendah 11-19 82,7 80,5 80,3

Tinggi 20-27 17,3 19,5 19,7

Jumlah 100,0 100,0 100,00

Modal Sosial Rendah 63-93 68,2 62,7 62,3

Tinggi 94-124 31,8 37,3 37,7

Jumlah 100,0 100,0 100,00

Modal Alamiah Rendah 23-33 82,7 55,7 58,3

Tinggi 34-42 17,3 44,3 41,7

Jumlah 100,0 100,0 100,00

Jumlah sampel (n) 29 41 15

You might also like