Kewajiban Berjihad Dan Larangannya Dalam Penerapan Dakwah Masa Kini Kajian (Surat Al-Baqarah Ayat 216)

You might also like

Download as rtf, pdf, or txt
Download as rtf, pdf, or txt
You are on page 1of 33

KEWAJIBAN BERJIHAD DAN LARANGANNYA DALAM PENERAPAN

DAKWAH MASA KINI KAJIAN (SURAT AL-BAQARAH AYAT 216)

RISALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Di Kelas XII Madrasah Aliyah Turus
Pandeglang

Disusun oleh:

Nama                  : AHMAD SUBHAN                   

                                                Peminatan        :    Keagamaan

Madrasah Aliyah Turus Pandeglang


2019/2020

LEMBAR PERSETUJUAN

Risalah yang berjudul "KEWAJIBAN BERJIHAD DAN LARANGANNYA DALAM


PENERAPAN DAKWAH MASA KINI (Kajian Surat Al-Baqarah Ayat 217),yang di susun oleh:

                                                      Nama                          :              AHMAD SUBHAN

                                                      Kelas                          :                XII

                                                      Peminatan            :                Keagamaan

Telah di setujui oleh pembimbing untuk di ujikan dalam Sidang Munaqasah.

Pesantren Turus,28 Januari 2020

                                                                                        Pembimbing,

AHMAD JAENUDIN MA
        

LEMBAR PENGESAHAN

Risalah yang berjudul "Kajian Surat Al-Baqarah" ,yang di susun oleh:

                        Nama                                  :AHMAD SUBHAN

                        Kelas                                  :XII

                      Peminatan                      :Keagamaan

Risalah ini telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat kelulusan siswa dari Madrasah
Aliyah Turus Pandeglang.

                                                          Pesantren Turus,

SIDANG MUNAQASAH

1.Ketua:

      .......................................                                                          (.....................................)

                            
2.Sekretaris merangkap penguji I:

      .......................................                                                              (.....................................)

3.Anggota merangkap penguji II:

      .......................................                                                              (.....................................)

DAFTAR ISI

Lembar Persetujuan

Lembar Pengesahan

Daftar Isi

BAB 1                      :    PENDAHULUAN

A. Latar Belakang masalah


B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pembahasan
D. Sistematika Penulisan Masalah

BAB II                    :    KAJIAN SEPUTAR SURAT AL BAQOROH AYAT 216

                                                  DAN KEWAJIBAN BERJHAD SERTA LARANGANNYA

A. Isi dan Terjemahan Surat Al-Baqarah Ayat 216


B. Munasabatul Surat Al-Baqarah Surat Al-Baqarah Ayat 216
C. Kajian Tajwid Pada Surat Al-Baqarah Ayat 216
D. Kajian Nahwu Sharaf Surat Al-Baqarah Ayat 216
E. Kajian Seputar Jihad
1. Definisi Jihad
2. Macam-macam Jihad

BAB III                :    KEWAJIBAN BERJIHAD DAN LARANGANNYA DALAM                                       

                                      PENERAPAN MASA KINI

A. Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 216


B. Pandangan Ulama Fiqih Tentang Hukum Jihad
C. Metode Penerapan Jihad Pada Masa Kini

BAB IV              :    PENUTUP

A. Simpulan
B. Saran

Daftar Pustaka

Riwayat Hidup
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Jihad merupakan istilah dan ajaran yang tidak asing di dalam kehidupan. Apalagi
jika ia dikaitkan dengan konteks kehidupan luas, mencakup banyak makna sejauh
kesepakatan suatu kelompok yang menyepakatinya, baik di kalangan media massa
maupun media cetak dan elektronik. Di Indonesia, sejak berlangsungnya kasus Bom Bali
juga kasus Azhari, istilah jihad menjadi marak kembali sehingga sering dikutip berbagai
media, untuk memberi konteks pada munculnya gerakan-gerakan perlawanan yang
dilakukan oleh sebagian kelompok kegamaan terhadap lainnya secara tidak adil.1 Media
massa tidak jarang memberikan ulasan munculnya berbagai aksi pengeboman di berbagai
tempat di Indonesia, sebagai bentuk perlawanan kelompok Islam terhadap lainnya. Dalam
pada itu tak jarang, ajaran jihad dipahami secara sederhana sebagai bentuk perang suci
atas nama agama untuk memerangi kezhaliman di muka bumi.
Istilah jihad dalam mainstreem umat Islam seringkali dipahami dengan dua
pengertian. Pertama, dalam pengertian etimologis bahasa Arab. Kedua, dalam pengertian
teologis, yakni jihad dalam konsep hukum Islam, baik didasarkan al-Qur’an, al-sunnah,
atau pun ijma’ para ulama. Namun, betapapun dua pengertian di atas dibedakan, tetap
saja pengertian jihad tidak dipahami dalam posisi yang benar, karena konsep jihad yang
dibangun tidak jarang didasarkan pada dua pengertian sekaligus, baik bahasa maupun
teologi.
Konsep jihad dalam pertumbuhannya mempunyai banyak makna dan cakupan
mulai dari berjuang melawan hawa nafsu sampai mengangkat senjata ke medan
peperangan. Namun, ada substansi jihad yang bisa dibenarkan oleh hampir semua ulama,
yaitu memahami jihad sebagai suatu seruan kepada agama yang hak. Jika kata jihad
dikaitkan dengan fi sabilillah (di jalan Allah), maka jihad fi sabilillah berarti berjuang di
jalan Allah.
Dari pemaparan masalah di atas penulis sangat tertarik untuk mengkaji lebih
dalam tentang masalah jihad dalam pandangan kajian hukum islam ,yang di bahas dalam
Risalah yang berjudul ,’’Kewajiban Berjihad Dan Larangannya Dalam Penerapannya
Masa Kini (Kajian Surat Al-Baqarah Ayat 217).
B. Rumusan Masalah
                Untuk memudahkan kajian risalah ini, maka pembahasan di buatlah rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Apa Isi Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 217 ?
2. Bagaimana Pandangan ulama tentang hukum jihad ?
3. Apa saja metode penerapan jihad pada masa kini ?
C. Tujuan Pembahasan
              Setelah memuat rumusan masalah, maka tujuan dari pembahasan risalah ini untuk:
1. Untuk mengkaji tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 217
2. Untuk membahas tentang Hukum Jihad
3. Untuk mengetahui beberapa metode penerapan jihad pada masa kini
D. Sistematika Pembahasan
              Risalah ini terdiri dari BAB I, BAB II dan BAB III dan BAB IV, yang berisi :
              BAB I Pendahuluan, berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
pembahasan,dan sistematika penulisan risalah.
              Pada BAB II berisi tentang kajian kognitif teks ayat di bahas, meliputi: Ayat dan
terjemahnya, Asbabun nuzul, Kajian Tajwid, Kajian Nahwu-Sharaf, Kajian seputar
masalah yang dibahas.
              Pada BAB III berisi kajian mendalam tentang bahasan yang di kaji, meliputi :
Tafsir dan isi kandungan ayat, Kajian hukum, Hikmah dari kajian,
              Dan pada BAB IV Penutup berisi simpulan, yang meliputi jawaban dari rumusan
masalah, saran.
BAB II
KAJIAN SEPUTAR SURAT AL-BAQARAH AYAT 216

ٰ ‫َأن تَ ْك َر ُه وا َش ْي ًئ ا َو ُه َو َخ رْي لَ ُك ْم ۖ َو َع َس ى‬
ْ ٰ ‫ال َو ُه َو ُك ْرهٌ لَ ُك ْم ۖ َو َع َس ى‬ ُ َ‫ب َع لَ ْي ُك ُم الْ ِق ت‬ ِ
َ ‫ُك ت‬
َ ‫َأن حُتِ بُّ وا َش ْي ًئ ا َو ُه َو َش ٌّر لَ ُك ْم ۗ َواللَّ هُ َي ْع لَ ُم َوَأ ْن تُ ْم اَل َت ْع لَ ُم‬
‫ون‬ ْ
Terjemahnya :
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh
jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu
menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui”. (Q.S Al-Baqarah Ayat 216) (Al-quran tajwid kode transliterasi per kata dan
terjemah perkata;2013 : 34)

B. Munasabatul Surat Al-Baqarah Ayat 216


              Ayat ini merupakan munasabah dari ayat sesudahnya, setelah adanya perintah
di wajibkannya berperang(berjihad). Maka nabi SAW mengirim pasukannya yang
pertamanya diantaranya terdapat    Abdullah bin jahsy.
Mereka memerangi orang-orang musyrik dan membunuh Ibnul Hadrami pada hari
terakhir dari bulan Jumadil Akhir hingga mereka memasuki awal bulan Rajab(salah
satu bulan yang suci). Mereka lalu di cela oleh orang-orang kafir karena telah
menghalalkan bulan suci itu,maka turunlah ayat selanjutnya.(Tafsir jalalain;
2017:114)
C. Kajian Tajwid pada Surat Al-Baqarah Ayat 216

ُ َ‫ب َع لَ ْي ُك ُم الْ ِق ت‬
‫ال‬ ِ
َ ‫ُك ت‬ ُ َ‫ َع لَ ْي ُك ُم الْ ِق ت‬:
‫ال‬ Al-qomariah karena alif lam

bertemu dengan salah satu huruf qomariah


yaitu qaf.

ُ َ‫ الْ ِق ت‬:
‫ال‬ Mad thobi’i karena alif sebelumnya

ada huruf yang berharakat fathah, di baca


Panjang satu alif dua harakat.

ٰ ‫َو ُه َو ُك ْرهٌ لَ ُك ْم ۖ َو َع َس ى‬ ‫ ُك ْرهٌ لَ ُك ْم‬: Idgham bilaghunnah karena

tanwin bertemu dengan huruf lam.

ٰ ‫ لَ ُك ْم ۖ َو َع َس ى‬: Idzhar syafawi karena mim

mati bertemu dengan huruf wau.

ٰ ‫ َو َع َس ى‬: Mad muqaddar mad yang di kira-

kirakan, di baca satu alif dua harakat.

‫َأن تَ ْك َر ُه وا َش ْي ًئ ا َو ُه َو‬
ْ ‫َأن تَ ْك َر ُه وا‬
ْ : Ikhfa aqrab karena nun mati
bertemu dengan huruf ta’ dan di baca samar.

‫ تَ ْك َر ُه وا‬: Mad thobi’i karena wau sukun

sebelumnya ada huruf berharakat dhammah,


di baca panjang satu alif dua harakat.

‫ َش ْي ًئ ا َو ُه َو‬: Idgham bighunnah karena tanwin

bertemu dengan huruf wau, di baca ghunnah


satu alif setengah atau tiga harakat.

ٰ ‫َخ ْي ٌر لَ ُك ْم ۖ َو َع َس ى‬ ‫ َخ ْي ٌر لَ ُك ْم‬: Idgham bilaghunnah karena

tanwin bertemu dengan huruf    lam.

ٰ ‫ لَ ُك ْم ۖ َو َع َس ى‬: : Idzhar syafawi karena mim

mati bertemu dengan huruf wau.

ٰ ‫ َو َع َس ى‬: Mad muqaddar mad yang di kira-

kirakan, di baca satu alif dua harakat.

‫َأن حُتِ بُّ وا َش ْي ًئ ا َو ُه َو‬


ْ ‫َأن حُتِ بُّ وا‬
ْ : Ikhfa aqrab karena nun mati

bertemu dengan huruf ta’ dan di baca samar.

‫ حُتِ بُّ وا‬: Mad thobi’i karena wau sukun

sebelumnya ada huruf berharakat dhammah,


di baca panjang satu alif dua harakat.

‫ َش ْي ًئ ا َو ُه َو‬: Idgham bighunnah karena tanwin

bertemu dengan huruf wau, di baca ghunnah


satu alif setengah atau tiga harakat.

ُ‫َش ٌّر لَ ُك ْم ۗ َواللَّ ه‬ ‫ َش ٌّر لَ ُك ْم‬: Idgham bilaghunnah karena


tanwin bertemu dengan huruf    lam.

ُ‫ َواللَّ ه‬: Lafdzul jalalah tafkhim karena lafadz


Allah sebelumnya ada huruf berharakat
fathah.

َ ‫َي ْع لَ ُم َوَأ ْن تُ ْم اَل َت ْع لَ ُم‬


‫ون‬ ‫ َي ْع لَ ُم َوَأ ْن تُ ْم‬: Ikhfa aqrab karena nun mati
bertemu dengan huruf ta’ dan di baca samar.

‫ َوَأ ْن تُ ْم اَل‬: Idzhar syafawi karena mim mati


bertemu dengan huruf lam.

‫ون‬
َ ‫ َت ْع لَ ُم‬: Mad aridlissukun karena mad

thobi’i setelahnya ada huruf yang berharakat


dan di baca waqaf, di baca panjang satu alif
dua harakat, dua alif empat harakat, dan tiga
alif enam harakat.

  

D.
E. Kajian Ilmu Nahwu dan Shorof secara umum dalam Surat Al-Baqarah Ayat 216

1. Kajian Nahwu

‫َش ْي ًئ ا َو ُه َو َخ ْي ٌر‬ ‫َأن تَ ْك َر ُه وا‬ْ ٰ ‫ال َو ُه َو ُك ْرهٌ لَ ُك ْم ۖ َو َع َس ى‬ ُ َ‫الْ ِق ت‬ ‫َع لَ ْي ُك ُم‬ ‫ب‬ ِ
َ ‫ُك ت‬
َ ‫َوَأ ْن تُ ْم اَل َت ْع لَ ُم‬
‫ون‬ َّ ِ ْ
ُ‫َأن حُت بُّ وا َش ْي ًئ ا َو ُه َو َش ٌّر لَ ُك ْم ۗ َوالل هُ َي ْع لَ م‬ ٰ ‫َو َع َس ى‬ ۖ ‫لَ ُك ْم‬

‫ب‬ ِ Kalimah fi’il madhi mabni majhul,


َ ‫ُك ت‬ fa’ilnya dhomir mustatir jawaz
taqdirnya ‫ ُه َو‬jadi jumlah fi’il dan
naibul fa’il.

ُ‫َع لَ ْي ُك م‬ ‫ َع لَ ْي‬huruf jar ُ‫ ُك م‬majrur harus jar


alamat jar nya kasrah, kalimah
isim dhomir bariz muttashil mabni
sukun mahal jar.
ُ َ‫الْ ِق ت‬
‫ال‬ Jadi mubtada harus rafa’ alamat rafa’nya
dhammah dzahir sebab kalimah isim
mufrod.
‫َو ُه َو‬ ‫ َو‬huruf isti’naf
‫ ُه َو‬kalimah isim dhomir mabni
fathah mahal rafa’ jadi khabar
muqaddam.
Jadi khabar muakhor harus rafa’ alamat
ٌ‫ُك ْره‬ rafa’ nya dhammah dzahir sebab
kalimah isim mufrad.
‫لَ ُك ْم‬ ‫ َل‬huruf jar
‫ ُك ْم‬majrur harus jar alamat jar nya
kasrah, kalimah isim dhomir bariz
muttashil mabni sukun mahal jar.
ٰ ‫َو َع َس ى‬ ‫ َو‬huruf ‘athaf
ٰ ‫ َع َس ى‬ma'thuf kepada lafadz ‫لَ ُك ْم‬
harus jar alamat jar nya kasrah
muqaddarah yang berupa alif

lazimah.

‫َأن تَ ْك َر ُه وا‬
ْ ‫َأن‬
ْ huruf ‘amil nawashib
‫ تَ ْك َر ُه وا‬kalimah fi’il mudhori’
manshub harus nashab alamat
nashabnya membuang nun sebab
kemasukan amil nawashib, failnya
dhamir mustatir jawaz taqdirnya
hum.
Jadi maf ‘ul bih harus nashab alamat
‫َش ْي ًئ ا‬ nashabnya fathah dzahir sebab kalimah
isim mufrod.
‫َو ُه َو‬ ‫ َو‬huruf ‘athaf
‫ ُه َو‬kalimah isim dhamir bariz
muttashil mabni fathah mahal
nashab ma’thuf kepada lafaz L‫ ًئ ا‬L‫ ْي‬L‫َش‬

‫َخ ْي ٌر‬ Jadi shifat dari lafadz ٌ‫ك ره‬


ْ ُ harus rafa'
alamat rafa’nya dhammah dzahir
sebab kalimah isim mufrod.
‫لَ ُك ْم‬ ‫ َل‬huruf jar
‫ ُك ْم‬majrur harus jar alamat jar nya
kasrah, kalimah isim dhomir bariz
muttashil mabni sukun mahal jar.
ٰ ‫َو َع َس ى‬ ‫ َو‬huruf ‘athaf
ٰ ‫ َع َس ى‬ma'thuf kepada lafadz ‫لَ ُك ْم‬
harus jar alamat jar nya kasrah
muqaddarah yang berupa alif
lazimah.
‫َأن حُتِ بُّ وا‬
ْ ‫َأن‬
ْ huruf ‘amil nawashib
‫ حُتِ بُّ وا‬kalimah fi’il mudhori’
manshub harus nashab alamat
nashabnya membuang nun sebab
kemasukan amil nawashib, failnya
dhamir mustatir jawaz taqdirnya
hum.
Jadi maf ‘ul bih harus nashab alamat
‫َش ْي ًئ ا‬ nashabnya fathah dzahir sebab kalimah
isim mufrod.
‫َو ُه َو‬ ‫ َو‬huruf ‘athaf
‫ ُه َو‬kalimah isim dhamir bariz
muttashil mabni fathah mahal
nashab ma’thuf kepada lafaz L‫ ًئ ا‬L‫ ْي‬L‫َش‬

‫َش ٌّر‬ Jadi shifat kedua dari lafadz ٌ‫ك ره‬


ُ harus
ْ
rafa’ alamat rafa’nya dhammah
dzahir sebab kalimah isim mufrod.
‫لَ ُك ْم‬ ‫ َل‬huruf jar
‫ ُك ْم‬majrur harus jar alamat jar nya
kasrah, kalimah isim dhomir bariz
muttashil mabni sukun mahal jar.

ُ‫َواللَّ ه‬ ‫ َو‬huruf isti’naf


ُ‫ اللَّ ه‬kalimah isim yang berupa
‘alam harus rafa’ alamat rafa’nya
dhammah dzahir sebab kalimah
isim mufrod.

Kalimah fi’il mudhori’ marfu’ harus


ُ‫َي ْع لَ م‬ rafa’ alamat rafa’nya dhammah dzahir,
failnya dhamir mustatir jawaz taqdirnya
‫ه َو‬.
ُ
L‫ َو‬isti’naf
‫َوَأ ْن تُ ْم‬ L‫ ْم‬Lُ‫ ت‬L‫ َأ ْن‬kalimah isim dhamir bariz
munfashil mabni sukun mahal
nashab jadi maf ’ul bih.
L‫ َن‬L‫ و‬L‫ ُم‬Lَ‫ ل‬L‫ ْع‬Lَ‫اَل ت‬ ‫ ’اَل‬Huruf athaf
L‫ َن‬L‫ و‬L‫ ُم‬Lَ‫ ل‬L‫ ْع‬Lَ‫ ت‬Ma' thuf kepada lafadz
Lُ‫ م‬Lَ‫ ل‬L‫ع‬Lْ Lَ‫ي‬,kalimah fi’il mudhori’ harus
rafa’ alamat rafa’nya wau sebab
kalimah jama’ mudzakar salim

ْ
2. Kajian Sharaf lafadz"‫"القِتَا ُل‬

ُ ‫ ْالقِتَا‬adalah sighat mashdar dari lafadz ‫قَاتَ َل‬


                Lafadz ‫ل‬ . Di lihat dari
ُ ‫ ْالقِتَا‬termasuk tsulasi maziid warna pertama bab ke-satu wazan -‫فَا َع َل‬
tashrif, ‫ل‬

‫ يُفَا ِع ُل‬yang mauzunnya adalah ‫يُقَاتِ ُل‬-‫ قَاتَ َل‬. Berikut adalah tashrif isthilahi dan
tashrif lughowi dari lafadz ‫ل‬ُ ِ‫يُقَات‬-‫ قَاتَ َل‬:

‫ْف لُ َغ ِوى‬
ُ ‫تَصْ ِري‬ ‫ْف اِصْ ِطاَل ِحى‬
ْ ‫تَصْ ِري‬

‫ارع‬
ِ ‫ض‬َ ‫فِ ْع ُل ُم‬ ِ ‫فِ ْع ُل َم‬
‫اض‬ ‫ض ِميْر‬
َ ‫اِ ِس ْم‬ ‫ص ْي َغ ْة‬
ِ
‫يُقَاتِ ُل‬ ‫قَاتَ َل‬ ‫هُ َو‬ ‫فعل ماض‬ ‫قَاتَ َل‬

‫يُقَاتِاَل ِن‬ ‫قَاتَاَل‬ ‫هُ َما‬ ‫فعل مضارع‬ ‫يُقَاتِ ُل‬

َ ‫يُقَاتِلُ ْو‬
‫ان‬ ‫قَاتَلُ ْوا‬ ‫هُ ْم‬ ‫مصدر توكيد‬ ً‫ُمقَاتَلَة‬

‫تُقَاتِ ُل‬ ْ َ‫قَاتَل‬


‫ت‬ ‫ِه َي‬ ‫مصدر مرة‬ ‫قِتَااًل‬

‫تُقَاتِاَل ِن‬ ‫قَاتَلَتَا‬ ‫هُ َما‬ ‫اسم‬ ‫فَه َُو‬

‫يُقَاتِ ْل َن‬ ‫قَاتَ ْل َن‬ ‫هُ َّن‬ ‫ضمير‬ ‫ُمقَاتِ ٌل‬

‫تُقَاتِ ُل‬ َ َ‫قَاتَل‬


‫ت‬ َ ‫َأ ْن‬
‫ت‬ ‫اسم اشارة‬ َ ‫َو َذ‬
‫اك‬
‫تُقَاتِاَل ِن‬ ‫قَاتَ ْلتُ َما‬ ‫َأ ْنتُ َما‬ ‫اسم مفعول‬ ‫ُمقَاتَ ٌل‬

‫تُقَاتِلُ ْو َن‬ ‫قَاتَ ْلتُ ْم‬ ‫َأ ْنتُ ْم‬ ‫امر حاضر‬ ْ‫قَاتِل‬

‫تُقَاتِلِي َْن‬ ِ ‫قَاتَ ْل‬


‫ت‬ ِ ‫َأ ْن‬
‫ت‬ ‫نهي حاضر‬ ْ‫اَل تُقَاتِل‬

‫تُقَاتِاَل ِن‬ ‫قَاتَ ْلتُ َما‬ ‫َأ ْنتُ َما‬ ‫مصدر ميمي‬ ‫ُمقَاتَ ٌل‬

‫تُقَاتِ ْل َن‬ ‫قَاتَ ْلتُ ّن‬ ‫َأ ْنتُ َّن‬ ‫اسم زمان‬ ‫ُمقَاتَ ٌل‬

‫اُقَاتِ ُل‬ ُ ‫قَاتَ ْل‬


‫ت‬ ‫َأنَا‬ ‫اسم مكان‬ ‫ُمقَاتَ ٌل‬

‫نُقَاتِ ُل‬ ‫قَاتَ ْلنَا‬ ‫نَحْ ُن‬ ‫اسم الة‬

E. Kajian Seputar jihad

        1. Definisi Jihad

Jihad menurut bahasa (Etimilogi), berasal dari mashdar fi’il ruba’i (yang terdiri
dari empat huruf asli) :

ِ ‫يُ َجا ِه ُد‬-‫َجاهَد‬


‫جهَادًا‬-
    Berdasarkan wazan fi’il yang berarti mufa’alah (saling melakukan) dari kedua
belah pihak. Di dalam kitab Lisan al-A’rab dinyatakan :

ُ‫ اَ ْل َم َشقَّة‬,ُ‫ اَ ْل ُج ْه ُد =    اَلطَّاقَة‬,‫اَ ْل َج ْه ُد‬: ‫َجهَ َدا‬

Al-jahd[u] (dengan di fathah huruf jimnya) berarti : al-masyaqqah (kesulitan) , dan al-juhd[u]
(dengan di dhammah huruf jimnya) berarti : at-thaqqah (tenaga).

              Kita bia membuat definisi secara literal, yang merupakan pengertian hakiki atas lafadz
jihad secara etimologis (bahasa). Kami simpulkan bahwa : Jihad adalah mengerahkan seluruh
kemampuan antara kedua belah pihak untuk saling memperthankan, meski hanya (berdasarkan)
perkiraan. (Muhammad Khair Haekal,2016 :1)

              Sedangkan menurut istilah (Terminologi), “jihhad adalah memerangi orang kafir. Yaitu,
berusaha dengan sungguh-sungguh mencurahkan kekuatan dan kemampuan, baik berupa
perkataan atau perbuatan.” (Yazid Bin Abdul Qodir Jawas,2015 :28)

              Adapun Jihad    menurut pengertian syara’ adalah mengerahkan seluruh kemampuan untuk
berperang di jalan Allah, baik secara langsung, dengan bantuan keuangan, pemikiran,
memperbanyak kuantitas (sawad) ataupun yang lain. (Muhammad Khair Haekal, 2016 :2)

2. Macam-macam Jihad

              a. Jihad melawan musuh yang nyata.

                          Menurut pendapat al-Hafizh Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani : “Jihad secara
syar’i bermakna mencurahkan seluruh kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir.” Istilah
jihad juga di gunkan untuk melawan hawa nafsu, syaitan, dan orang-orang fasik. Sedangkan
jihad melawan orang-orang kafir, ini dapat dengan tangan, harta, lisan, maupun hati. Sedang
jihad melawan orang-orang fasik, adalh dengan tangan, lalu lisan, dan kemudian hati.

              b. Jihad melawan syaitan.

                            Adapun jihad melawan hawa nafsu, yaitu dengan belajar agama Islam (belajar
syari’at dengan benar), lalu mengamalkannya, kemudian mengajarkannya.

              c. Jihad melawan hawa nafsu.

                            Sementara jihad melawan syaitan, yaitu dengan menolak segala syubhat yang ia
bawa dan syahwat yang selalu dihiasi (bagi manusia).
BAB III

KEWAJIBAN BERJIHAD DAN LARANGANNYA DALAM

PENERAPAN MASA KINI

A. Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 216 Menurut Tafsir Al-Jalalain

َ ‫فرض ( َعلَ ْي ُك ُم ْالقِتَا ُل )    للكفار‬


َ ِ‫(وهُ َو ُكرْ هٌ ) مكروه ( لَ ُك ْم ) لكم طبعا    ) ُكت‬
(‫ب‬
) ‫لمشقته ( َو َع َسي اَ ْن تَ ْك َرهُوا َش ْي ًئ ا َو ُه َو َخ ْي ٌر لَ ُك ْم َو َع َس ي اَ ْن حُتِ بُّ وا َش ْي ًئ ا َو ُه َو َش ٌّر لَ ُك ْم‬

‫مليل النفس ايل الشهوات املوجبة هلال كها ونفورها عن التكليفات املوجبة لسعادهتا فلعل‬

‫لكم يف القتال وإن كرهتموه خريألن فيه اما الظفر والغنيمة أو الشهادة واألجر ويف تركه‬

‫وإن أحببتموه شرا ألن فيه الذل ولفقر وحرمان األجر ( َواللَّ هُ َي ْع لَ ُم ) ما هو خري لكم‬

َ ‫( َوَأ ْن تُ ْم اَل َت ْع لَ ُم‬


) ‫ون‬

(Diwajibkan atas kamu berperang) yakni menghadapi orang-orang kafir.(Padahal itu suatu
kebencian) maksudnya suatu hal yang tidak di sukai.(Bagi kamu) menurut tabiat,disebabkan
amat menyusahkannya.(Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal baik bagi kamu,dan boleh
jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal amat buruk bagi kamu) ini disebabkan kecendrungan
nafsu pada syahwat atau keinginan-keinginan yang pasti akan mencelakakannya,dan enggannya
melakukan taklif atau tugas-tugas yang akan membahagiakannya.Siapa tahu dalam
peperangan,walau kamu membencinya tersembunyi kebaikan,misalnya kemenangan atau harta
rampasan atau mati syahid dan beroleh pahala.Sebaliknya dalam meninggalkannya,walaupun
menyenangkan hatimu terdapat keburukan misalnya kehinaan dan kemiskinan serta luputnya
pahala.(Dan Allah maha mengetahui) apa-apa yang baik bagimu.(Sedangkan kamu tidak
mengetahui) demikian itu.Maka bersegeralah melakukan apa yang di perintahkan Allah
kepadamu! (Tafsir Jalalain,2017, :114)

B. Pandangan Ulama Fiqih tentang Hukum Jihad


                Hukum asal jihad adalah fardu kifayah. Fardhu kifayah adalah segala perintah yang
pelaksanaannya di bebankan kepada seluruh kaum muslimin secara umum, bukan kepada
masing-masing individunya. Sehingga, jika sebagian kaum Muslim telah melaksanakannya,
maka kewajiban tersebut di anggap telah terlaksana, dan semua kaum Muslim telah terbebas dari
beban dosa (karena meninggalkannya).

              Yang menegaskan bahwa jihad hukumnya fardhu kifayah adalah jumhur al-fuqaha
(mayoritas fuqaha). Berikut ini beberapa kutipan teks yang menegaskannya:

1. Dalam al-Bidayah wa’an-Nihayah, ketika membicarakan tentang hukum syara’ bagi aktivitas
jihad, Ibn Rusyd menyatakan: Adapun (status) hukum aktivitas ini, para ulama telah sepakat
bahwa (hukumnya) adalah fardhu kifayah, bukan fardhu ‘ain. Kecuali ‘Abdullah bin al-Hasan,
dia menyatakan, hukumnya adalah sunnah (tathawwu).

2. Di dalam kitab, Tanwir al-Abshar, dan syarahnya, ad-Durr al-Mukhtar, pada saat menjelaskan
hukum jihad, dinyatakan: Dia (jihad) hukum dasarnya adalah fardhu kifyah, meskipun mereka
(kaum kafir) tidak memulainya (terlebih dahulu).

3. Di dalam kitab, al-Minhaj, karya al-Imam an-Nawawi, dan syarahnya, mughni al-Muhtaj,
dikatakan, terdapat dua kondisi bagi kaum kafir.

              Dari kutipan-kutipan teks-teks fiqih di atas, dapat kita ketahui bahwa apa yang di
tegaskan oleh para fuqaha bahwa hukum jihad adalah fardhu kifayah, tidak lain hanya dalam
kondisi dimana kaum Muslim yang memulai peperangan terhadap kaum kafir untuk
menyerung mereka kepada Islam, atau agar mereka tunduk kepada pemerintahan Islam.
Inilah yang kita kenal dengan istilah jihad ofensif (al-hujumiy), sebagaimana telah di
tegaskan dalam wacana-wacana sebelumnya. Sebagian kutipan teks (yang telah saya kutip)
sebelumnya adalah sebagai berikut : Dia (jihad) hukum dasarnya adalah fardhu kifayah, jika
mereka (kaum kafir) tidak memulainya (terlebih dahulu).

              Demikian pula, teks berikut ini: terdapat dua kondisi bagi kaum kafir. Pertama,
mereka berada di dalam negeri mereka (sendiri) dan tidak bermaksud menyerang sebagian
negeri kaum Muslim. Dalam kondisi seperti ini, (jihad hukumnya) fardhu kifayah. Para
fuqaha juga telah menegaskan bahwa ada juga jihad yang hukumnya fardhu kifayah meski
dalam kondisi defensif, dan bukan hanya dalam kondisi dimana kaum Muslimlah yang
memulai peperangan terhadap kaum kafir saja. Yaitu sebagian kaum Muslim yang diserang
secara langsung, mampu mengalahkan musuhnya dan telah bangkit membela diri. Dalam
kondisi seperti ini, keikutsertaan kaum Muslim yang lain dalam peperangan bersama
mereka, hukumnya adalah fardhu kifayah.

              Jihad bisa berubah jadi fardhu a’in. Fardhu a’in adalah perintah yang pelaksanaannya
dituntut oleh as-Syari’ dari setiap individu mukallaf. Disebut fardhu a’in, karena seruan as-
Syari’ tersebut ditujukan kepada masing_masing mukallaf. Semua mukkallaf wajib
melaksanakannya. Status hukumnya, setiap mukalllaf wajib terikat dengannya; tanggung
jawabnya dibebabankan kepadanya sampai dia melaksanakannya. Jika dia
melaksanakannya, baginya pahala dan ganjaran; jika dia meninggalkannya dia berdosa dan
akan mendapat siksaan.

              Jihad hukumnya fardhu a’in dalam kondisi-kondisi berikut:

              Kondisi pertama: apabila musuh telah menduduki satu wilayah dinegeri kaum
muslim; telah memobilisasi pasukan untuk mendudukinya; telah melakukan penyerangan
(terhadap kaum Muslim); atau berkeinginan melakukan keburukan dan kezaliman terhadap
kaum Muslim, sekelompok kaum Muslim, atau bahkan terhadap satu orang Muslim saja;
baik akan di tawan, dibunuh, atau hanya ditakut-takuti dan semacamnya.

              Kondisi kedua: apabila seorang khalifah, atau seseorang yang memiliki kekuasaan
yang sah dalam poandangan syara’, mengeluarkan perintah kepada tentara, masyarakat
(kaum Muslim), atau individu, agar mereka berangkat ke medan jihad. Kondisi inilah yang
biasa dikenal (dalam khazanah fiqih) dengan istilah istid’a atau istinfar. Bagi orang yang
mendapat perintah tersebut secara langsung, baik ditunjuk dengan nama ataupun sifat-sifat
tertentu, wajib bergabung bersama barisan pasukuan yang akan berperang. Haram baginya
berdiam diri (dengan tidak mengindahkan perintah tersebut).

            Jihad hukumnya sunnah. Sunnah adalah perbuatan seorang hamba mukallaf yang
dituntut oleh syara’ dengan sebuah tuntutan yang tidak bersifat tegas dan pasti, hukumnya
bagi siapa saja yang melaksanakannya akan mendapatkan pahala dan ganjaran dari Allah
Swt, sementara siapa saja yang meninggalkannya tidak akan mendapatkan siksaan.
              Kondisi jihad beralih hukumhya menjadi sunnah dalam kondisi tertentu, berikut ini
beberapa kondisi dan gambaran yang dikemukakan oleh fuqaha, bahwa jihad hukumnya
sunnah.

1. Tatkala jihad yang hukumnya fardhu kifayah berlangsung, dimana sebagian Muslim
telah melaksanakannya dan di anggap telah mencukupi, dan tidak memerlukan lagi
keikut sertaan kaum Muslim yang lain.

2. Tatkala seorang mujahid dihadapkan dengan satu kondisi (yang sangat kritis) di medan
perang. Hanya ada dua jalan yang harus dia tempuh. Dia harus menerjunkan dirinya ke
medan perang yang secara lahiriah akan menghantarkannya pada kematian, atau
menyerahkan dirinya menjadi tawanan musuh. Dalam kondisi seperti ini, tindakan
yang disunnahkan baginya adalah yang pertama, meskipun boleh baginya untuk memilih
yang kedua.

3. Demikian pula tatkala terjadi sebuah pengepungan yang sangat kritis oleh kaum kafir
terhadap sebuah negeri Islam, sementara tidak ada pilihan lain bagi penduduk negeri
tersebut kecuali; menyerahkan diri yang akan berujung pada eliminasi kolektif, dan mati
dibawah pengepungan atau berangkat ke medan perang smapai gugur. Dalam kondisi
seperti ini, disunnahkan berangkat ke medan perang hingga mendapat derajat syahadah
(syahid).

              Jihad hukumnya mubah. Mubah adalah sebuah tindakan yang diberikan pilihan oleh
as-Syari’ kepada seorang mukallaf, antara melakukan atau meninggalkannya. Kondisi
beralih hukumnya menjadi mubah sesuai dengan kondisi yang meliputi aktivitas jihad atau
kaum Muslim yang melaksanakan jihad, antara lain:

1. Berjiha melawan bukan karena Allah, tetapi juga karena dorongan pamer (riya).

2. Mubarazah mubah: seseorang (dari kaum Muslim) yang memiliki keberanian menantang
(pihak musuh) untuk berhadapan satu lawan satu. Ini hukumnya mubah, bukan sunnah.
Alasannya, karena hal ini tidak diperlukan dan tidak dapat dijamin kememenangannya,
yang akhirnya jika dia kalah justru dapat melemahkan keteguhan hati kaum Muslim.
Akan tetapi, karena dia berani dan memiliki kepercayaan diri yang kuat, hal ini tetap
dibolehkan. Sebab,jika dilihat secara lahiriah, dia dapat memenangkannya.

3. Sebagian ulama menetapkan bahwa: mubah hukumnya secara sengaja memerangi kaum
wanita musuh dan anak-anak mereka di medan perang, dan membunuh mereka dalam
beberapa kondisi, meski mereka tidak terlibat langsung dalam perang.

              Jihad hukumnya makruh. Makruh adalah sebuah aktivitas yang dituntut oleh as-
Syari’ (Allah) agar di tinggalkan, namun dengan bentuk tuntutan yang tidak tegas. Kondisi
beralihnya menjadi makruh sesuai dengan kondisi yang meliputi aktivitas jihad atau kaum
Musllim yang melaksanakan jihad, antara lain:

1. Tatkala ada beberapa individu pasukan kaum Muslim yang statusnya bukan tentara
resmi pemerintah melakukan penyerangan terhadap pihak musuh tanpa izin dari Imam
(Khalifah), atau dari pihak yang memiliki kewenangan dalam masalah ini.

2. Tatkala kaum Muslim mengumumkan perang terhadap negara musuh dan ingin
menghancurkan sesuatu yang dapat menghancurkan mereka, sementara di negara
tersebut terdapat beberapa individu Muslim yang akan terkena dampak serangan
tersebut, seperti karena menjadi tawanan, atau mendapat jaminan untuk berdagang,
berkunjung, rekreasi, mencari ilmu, berobat, dan semacamnya.

3. Mubazarah terkadang hukumnya makruh. Ibnu Qudamah menyatakan: Mubazarah


makruh: Orang yang lemah dan tidak memiliki kepercayaan diri yang kuat, menantang
berhadap-hadapan satu lawan satu. Tindakan mubarazah ini hukumnya makruh baginya.
Sebab hal ini justru akan berakibat lemahnya keteguhan hati kaum Muslim tatkala
melihat dia terbunuh di depan mata.

4. Kadang kala ada sebuah kondisi medan perang yang dialami seorang prajurit Muslim.
Ternyata musuhnya adalah salah seorang kerabat yang nasabnya berdekatan dengannya.

              Jihad hukumnya haram. Haram adalah setiap tindakan yang dituntut oleh as-Syari’
(Allah) secara pasti, dan bersifat memaksa agar ditinggalkan. Kondisi beralihnya menjadi
haram sesuai dengan kondisi yang meliputi aktivitas jihad atau kaum Muslim yang
melaksanakan jihad, antara lain:
1. Haram berjihad tatkala kedua, atau salah satu orang tua melarangnya, sementara status
jihadnyabukan fardhu ‘ain. Bagi tentara resmi negara, hukum jihad adalah fardhu ‘ain
setiap kali ada panggilan jihad. Sedangkan bagi tentara relawan, mereka memiliki
pilihan untuk ikut ke medan perang atau tidak. Karena itu, tatkala dia akan berangkat
berperang bersama-sama pasukan kaum Muslim, dia wajib mengantongi izin terlebih
dahulu dari kedua orangtuanya atau (salah satunya) yang masih hidup.

2. Diharamkannya jihad atas orang yang memiliki beban hutang, sementara dia tidak
meninggalkan harta, atau sejenisnya, untuk melunasi hutang tersebut, dan tidak
mendapatkan izin dari kreditor (orang yang memberikan pinjaman), selama status jihad
tidak berubah menjadi fardhu ‘ain.

3. Diharamkan melakukan peperangan apabila justru menimbulkan bahaya besar bagi


kaum muslim.

              Kondisi ini ditetapkan dengan kaidah syara’ yang bersifat umum:

“Menolak bahaya harus dilakukan daripada mendatangkan manfaat”.

              Contohnya adalah berperang melawan musuh yang justru akan menimpakan


kekalahan pada kaum Muslim; dan berperang melawan musuh yang menggunakan kaum
Muslim, atau orang-orang yang berad dalam perlindungan kaum Muslim, sebagai perisai
atau ‘baju besi’ yang melindungi mereka.

              Selain itu terdapat kondisi-kondisi tertentu lainnya yang mengalihlkan status


huklum jihad berubah menjadi haram, seperti: Peperangan tanpa seizin Imam (Khalifah).
Memerangi kaum kafir setelah mereka membayar jizyah, disertai dengan ketundukan
kepada pemerintahan islam. Memerangi musuh di Tanah Haram (suci), atau di bulan-
bulan haram (yang dimuliakan). Dan berperang karena mencari popularitas (sum’ah)
atau karena riya’.

C. Metode Penerapan Jihad Pada Masa Kini

              Seiring berjalannya waktu yang dimana cara berfikir manusia lebih maju dan rasional.
Disertai dengan meningkatnya fasilitas dibidang teknologi sehingga memudahkan manusia
dalam segala bidang. Hal tersebut ditambah dengan jaringan internet sehingga manusia dapat
melakukan komunikasi, membaca ataupun sekedar untuk mencari hiburan. Dampak dari
perkembangan dunia teknologi sebab pemikiran manusia juga semakin meningkat
mempengaruhi dalam perkembangan Islam. Perkembangan Islam pun semakin mudah dengan
adanya teknologi terlebih di kalangan remaja Islam masa sekarang. Dalam menyiarka seruan
Islam tak lagi harus dengan bertatap muka langsung tapi bisa melalui media sosial dimana
seseorang berbicara tidak didepan orang banyak tapi berbicara didepan kamera sebagai alat
perekam yang nantinya akan di unggah di internet

            Adapun metode penerapan jihad pada masa kini dapat kita ambil berdasarkan hadits nabi
Saw dari riwayat Abi Sa’id al-Khudri dalam kitab riyadusshalihin:

‫ فَا ِ ْن    لَ ْم يَ ْست َِط ْع‬,‫ َم ْن راَي ِم ْن ُك ْم ُم ْن َكرًا فَ ْليُ َغيِّرْ هُبِيَ ِد ِه‬: ‫ْت َرسُوْ اُل هَّلل ﷺ يَقُوْ ُل‬ َ َ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ ق‬
ُ ‫ َس ِمع‬: ‫ال‬ ِّ ‫ع َْن َأبِ ْي َس ِع ْي ٍد ْال ُخ ْد ِر‬
ِ ‫ي َر‬
ِ ُ‫ك َأضْ َعف‬
‫ َر َوهُ ُم ْسلِ ْم‬,‫اال ْي َما ِن‬ َ ِ‫ فَا ِ ْن لَ ْم يَ ْستَ ِط ْع فَبِقَ ْلبِ ِه َو َذال‬,‫ان‬
ِ ‫فَبِلِ َس‬.

              Dari Abu Sa’id RA: saya mendengar Rasulullah Saw bersabda.”Barang siapa di antara
engkau semua melihat sesuatu kemungkaran maka hendaklah mengubahnya itu dengan
tangannya, jikalau tidak dapat, maka dengan lisannya dengan jalan menasihati orang yang
melakukan kemungkaran dan jikalau tidak dapat dengan lisannya, maka dengan hati maksudnya
hatinya mengingkari serta tidak menyetujui perbuatan itu. Yang sedemikian itu yakni dengan hati
saja. Adalah selemah-lemahnya Iman. (HR. Imam Muslim)

              Hadits di atas secara gamblang memberitahukan batasan-batasan dan tahapan-tahapan


dalam penegakkan amanat-amanat nahi munkar, dan menerangkannya dengan amat jelas, tiga
tahapan di mulai dari yang terberat untuk status keadaan yang memungkinkan, dan dimulai dari
yang lebih ringan jika situasi menunjukkan ketidaksanggupan dan tidak memungkinkan untuk
dimulai dari yang terberat tersebut. Urutan tahapan-tahapan dalam situasi memungkinkan
sebagai berikut:

1. Tangan

2. Lisan

3. Hati
              Jadi pada dasarnya mengubah kemungkaran haruslah dimulai langsung dengan tahapan
tangan, dan tidak berpindah pada tahpan lisan, atau ketahapan hati kecuali dalam keadaan
ketidaksanggupan. Karena urutan telah tersurat di dalam haditsnya.

              Di dalam kitab ‘Aunul ma’bud 330/11 di terangkan juga bagian-bagian dari teks
haditsnya: (jika tidak mampu) yaitu tidak mampu mengubah dengan tangan dikarenakan posisi
pelaku kemungkaran lebih kuat darinya, maka ia mengambil tindakan dengan lisan, yaitu dengan
menegur, menasihati dan sebagainya. Kemudian jika tahapan ini ia tidak menyanggupinya, maka
adalah dengan tahapan terakhir yaitu ia harus mengingkari kemungkaran tersebut di dalam
hatinya, ia tak ridha dengannya, batinnya mengingkari sang pelaku. Dan kondisi ini juga disebut
sebagai mengubah keadaan namun hanya secara makna, karena tidak ada yang mampu diperbuat
lagi.

              Inilah salah satu ketentuannya, yaitu apabila situasi tidak memungkinkan untuk memulai
dengan tangan, maka mulailah dengan tahapan setelahnya dan selanjutnya. Yang kedua juga
apabila usaha mengubah kemungkaran tersebut dengan suatu cara malah akan menyebankan
kemungkaran yang lebih besar, maka hendaklah dimulai dengan yang lebih ringan terdahulu,
seperti bila mana pencegahan dilakukan dengan tangan malah akan menyebabkan perkelahian
dan semisalnya maka bijiaknya yang ditempuh adalah cara lisan, yaitu dengan menegur baik-
baik.

              Sebagian orang ada yang memulai dari tahapan lisan kemudia baru ketahapan tangan,
padahal mereka memiliki kemampuan untuk langsung mengubah dengan tangan tanpa
dikhawatirkan lagi jatuh pada kemudharatan dan kemungkaran yang lebih besar, padahal hadits
ini menuntun kepada yang sebaliknya, dan itulah jalan yang dipilih oleh penegak kebenaran,
bahwasanya mengubah kemungkaran dimulai dengan terlebih dahulu dengan tangan selama hal
itu tidak berpotensi menimbulkan efek mafsadat yang lebih buruk dari keadaan yang ada.
(https//www.hisbah.net/memahami-hadits-mengubah-kemungkaran/03-05-20 : 21 : 54 WIB)

              Dari paparan di atas dapat kita ketahui bahwa metode penerapan jihad pada masa kini itu
ada tiga metode, diantarnya:

1. Tangan (Berjihiad mengunakan kekuatan tangan atau fisik dengan kata lain berperang untuk
menegakkan agama Allah)
2. Lisan (Berjihad dengan ucapan atau nasihat yang baik)

3. Hati (Mengingkari kemunkaran yang ada dan mempertahankan iman di dalam hati)
BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

              Dari pemaparan risalah di atas, maka pembahasan tentang kajian surat Al-Baqarah dapat
disimpulkan sebagai berikut:

1. Surat Al-Baqarah ayat 216 memberikan pemahaman bahwa jihad fi sabilillah atau
menegakkan agam Allah adalah suatu perbuatan atau ibadah yang sangat besar ganjarannya, dan
Allah telah menjajikan kepada para mujahid yaitu kemenangan yang akan diperoleh.

2. Pandangan ulama fiqih tentang hukum jihad fi sabilillah

    Hukum asal jihad adalah fardhu kifayah, dan dapat berubah pada hukum yang lainnya
diantaranya: Fardhu ‘ain, sunnah, mubah, makruh, dan haram yang telah dipaparkan oleh penulis
pada pembahasan sebelumnya.

3 Metode penerapan jihad pada masa kini di antaranya:

    a). Tangan (Berjihiad mengunakan kekuatan tangan atau fisik dengan kata lain berperang untuk
menegakkan agama Allah)

b). Lisan (Berjihad dengan ucapan atau nasihat yang baik)

c). Hati (Mengingkari kemunkaran yang ada dan mempertahankan iman di dalam hati)

B. Saran

      1.Berjihadlah di jalan Allah karena pada zaman sekarang berjihad bukan hanya dalam
peperangan saja, tetapi ada juga yang lainnya. Contohnya antara lain:

            a) Berusaha menerapkan amar ma’ruf nahi munkar

            b) Belajar dengan sungguh-sungguh

            c) Ikut serta dalam membela agama


2 Segala perkara tergantung niat, jihadlah dengan niat karena Allah agar mendapat ganjaran

3 Penyusunan risalah ini masih jauh dari kata baik, maka saran yang bersifat membangun,
penulis sangat mengharapkan untuk perbaikan kedepan.
DAFTAR PUSTAKA

Al-qur’an terjemah perkata, 2013. Bekasi: Cipta Bagus Segara.

Al-mahalli, Jalaluddin dan Jalaluddin As-suyuthi, 2017, Tafsir jalalain, Bandung, Sinar baru al-
gesindo.

Jawas Yazid bin Abdul Qadir, 2015, Syariat jiohad dan penerapannya dalam islam, Jakarta:
pustaka Imam asy-Syafi’i

Khair Muhammad Haekal, 2016, mukhtashar fiqih jihad, Bogor: Pustaka thariqul izzah

Khair Muhammad Haekal, 2010, Jihad dan perang menurut syariat islam buku ketiga,Bogor:
Pustaka thariqul izzah

Zakaria Abi Muhyiddin, 676 H, Riyadusshalihin, surabaya: Darul ilmu

Sumber lain:

1 (https//www.hisbah.net/memahami-hadits-mengubah-kemungkaran/03-05-20 : 21 : 54 WIB)

2 (47f617eagf4/peran-jihad-di-era-millenial 03/05/20/ 20 :30 WIB.)


TENTANG PENULILS

Nama penulis: AHMAD SUBHAN. Penulis di lahirkan di

Bogor, pada tanggal 26 september 2003. Penulis memulai

            pendidikan dari tingkat dasar. Pada tahun 2007-2013, penulis

menempeuh pendidikan di sekolah dasar negeri 54/iv. Pada

tahun 2013-2016, penulis menempuh pendidikan menengah

Madrasah Tsanawiyah di Pondok Pesantren Turus pandeglang

                                        Dan pada tahun 2017 sampai sekarang menempuh pendidikan atas di


Madrasah Aliyah Turus Pandeglang.                     

Selain dunia pendidikan, penulis juga aktif di organisasi. Diantara organisasi yang penulis ikuti:
dewan penggalang Madrasah Tsanawiyah tahun 2017. Dan menjadi pengurus bagian kebersihan
di organisasi santri Turus (OSIT) masa bakti 2019-2020.

Prestasi yang pernah penulis raih, di antaranya: peringkat 1 pada kelas VIII, dan peringkat 3 pada
kelas IX. Dan di Madrasah Aliyah prestasi penulis menurun, karena kejuaraan kelas di dominasi
oleh siswi. Selain prestasi kelas, penulis pernah menjuarai lomba aksioma cabanng kaligrafi
sebagai juara 1. Dan sampai sekarang penulis masih aktif dalam mendalami kaligrafi. Semoga
penulis menjadi orang yang bermanfaat. Aamiiiin.
             

You might also like