Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 18

82

SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT ISLAM


Oleh: Sri Wahyuningsih
Email: sri@an-nur.ac.id

Abstract
Although acknowledged that Greek philosophy gave great
influence on the development of Islamic philosophy, but
philosophy of Islam are not based on it, because; (1) to learn
does not necessarily reflect a repetition, (2) every thought is not
separated from their cultural context, (3) the real fact shows that
Islamic rational thinking has established before the arrival of
Greek philosophy. If so, where Islamic philosophical thought
come from? The answer is from the Islamic tradition itself, from
scientists who attempt to explain the teachings of the Muslim
holy book. There are three measures relevant to philosophical
reasoning: ta’wil method, explanation of musytarak meaning,
and qiyâs. In addition, the demands on theological issues, to
harmonize the views that seem contradictory and complex, for
further systematized it in an integral metaphysical idea. From
there developed methods and philosophical thought in Islam,
long before the arrival of Greek philosophy through the process
of translation. First of all it was accepted because it is needed
to answer new problems which require rational thinking, then it
was declined at the time of Ibn Hanbal because there are certain
cases which considered deviant, it was developed again in the
time of al-Farabi and Ibn Sina, then rejected and considered to
cause disbelief in the al-Ghazali era, and it was developed again
at the Ibn Rushd, then change lanes to work together with Sufism
in the time of Suhrawardi and Ibn Arabi
Keywords: Philosophy, Islamic Tradition, Theological Issues

Jurnal Mubtadiin, Vol. 7 01 Januari -Juni 2021


83

Pendahuluan
Perkembangan filsafat Islam sebagai bagian tidak terpisahkan
dari sejarah panjang khazanah pemikiran Islam sesungguhnya
bukan sesuatu yang sederhana. Banyak aspek dan hubungan
yang harus dipahami, dijelaskan dan diuraikan. Ketidaktelitian
dalam mencermati, memilah dan memilih persoalan inilah yang
sering menyebabkan kita tidak tepat untuk menilai dan
mengambil tindakan. Adanya sikap yang anti-filsafat di
sebagian kalangan umat Islam atau anggapan bahwa filsafat
Islam hanyalah berasal dari Yunani, salah satu sebabnya adalah
karena adanya kekurang telitian tersebut. Tulisan ini akan
mencermati sejarah panjang perkembangan filsafat Islam, mulai
asal-asulnya, pertemuannya dengan filsafat Yunani dan
perkembangannya dalam sejarah pemikiran Islam.
Pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang masuk dalam
pemikiran Islam, diakui banyak kalangan telah mendorong
perkem-bangan filsafat Islam menjadi makin pesat. Meski
demikian, menurut ditulis Oliver Leaman (l. 1950 M), seorang
orientalis asal Universitas Kentucky, USA, adalah suatu
kesalahan besar jika menganggap bahwa filsafat Islam bermula
dari proses penerjemahan teks-teks Yunani tersebut, atau hanya
nukilan dari filsafat Aristoteles (384-322 SM) seperti
dituduhkan Ernest Renan (1823-1893 M), atau dari Neo-
Platonisme seperti disampaikan Pierre Duhem (1861-1916 M).
Ada beberapa hal yang harus diperhatian. Pertama, bahwa be-
lajar atau berguru tidak berarti hanya meniru atau mengikuti
semata. Harus dipahami bahwa suatu ide dapat dibahas oleh
banyak orang dan akan tampil dalam berbagai macam fenomena.
Seseorang ber-hak mengambil sebagian gagasan orang lain
tetapi itu semua tidak menghalanginya untuk menampilkan teori
atau filsafatnya sendiri. Aristoteles (384-322 SM), misalnya,
jelas murid Plato (427-348 SM), tetapi ia mempunyai pandangan
sendiri yang tidak dikatakan guru-nya. Begitu pula Baruch
Spinoza (1632-1777 M), walau secara jelas sebagai pengikut

Jurnal Mubtadiin, Vol. 7 01 Januari -Juni 2021


84

Rene Descartes (1596-1650 M), tetapi ia dianggap mempunyai


pandangan filosofis yang berdiri sendiri Hal seperti itu-lah yang
juga terjadi pada para filsuf Muslim. Al-Farabi (870-950 M) dan
Ibnu Rusyd (126-1198 M), misalnya, walau banyak dilhami oleh
pemikiran filsafat Yunani, tetapi itu tidak menghalanginya untuk
mem-punyai pandangannya sendiri yang tidak sama dengan
filsafat Yunani.
Kedua, bahwa ide, gagasan, atau pemikiran, seperti dinyatakan
Karl A. Steenbrink, adalah ekspresi dan hasil dari proses
komunikasi sang tokoh dengan kondisi sosial lingkungannya.
Artinya, sebuah ide, gagasan, atau pengetahuan tidak bisa lepas
dari akar sosial, tradisi, dan keberadaan seseorang yang
melahirkan ide atau pemikiran tersebut. Pemikiran filsafat
Yunani dan Islam lahir dari keyakinan, budaya dan kondisi
sosial yang berbeda. Karena itu, menyamakan dua buah
pemikiran yang lahir dari budaya yang berlainan adalah sesuatu
yang tidak tepat, sehingga penjelasan karya-karya Muslim
secara terpisah dari faktor dan kondisi kulturalnya juga akan
menjadi suatu deskripsi yang tidak lengkap, deskripsi yang tidak
bisa men-jelaskan sendiri transformasi besar yang sering terjadi
ketika batas-batas kultural sudah terlewati.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka apa yang disebut sebagai
transmisi filsafat Yunani ke Arab Islam pada dasarnya adalah
suatu proses panjang dan kompleks di mana ia justru sering
banyak dipengaruhi oleh keyakinan dan teologis para pelakunya,
kondisi budaya yang melingkupi dan seterusnya; termasuk
dalam hal istilah-istilah teknis yang digunakan tidak akan lepas
dari konteks dan pro-blem bahasa Arab dan ajaran Islam.
Konsekuensinya, tugas re-konstruksi sumber-sumber Yunani
untuk ilmu dan filsafat tidak mungkin selalu diharapkan dalam
terjemahan yang jelas ke dalam sesuatu yang dianggap asli
Yunani, tetapi harus mempertimbangkan aktivitas yang terjadi
di luar teks. Begitu juga perluasan-perluasan, pengembangan
dan penggarapan kembali ide-ide Yunani dari al-Kindi (801-878

Jurnal Mubtadiin, Vol. 7 01 Januari -Juni 2021


85

M) sampai Ibnu Rusyd (1126-1198 M), bahkan Suhrawardi


(1153-1191 M) dan sesudahnya tidak mungkin sepenuh-nya
dapat dipahami tanpa merujuk pada situasi-situasi kultural yang
mengkondisikan arah dan karakter karya-karya tersebut.
Ketiga, kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pemikiran
rasional telah lebih dahulu ada dan mapan dalam tradisi
keilmuan muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani. Meski
karya-karya Yunani mulai diterjemahkan sejak masa kekuasaan
Bani Umaiyah (661-750 M), tetapi buku-buku filsafatnya yang
kemudian melahikan al-Kindi (801-873 M), baru mulai digarap
pada masa dinasti Abbasiyah (750-1258 M), khususnya pada
masa khalifah al-Makmun (811-833 M), oleh orang-orang
seperti Ja’far ibn Yahya al-Barmaki (767-803 M), Yuhana ibn
Masawaih (777-857 M), dan Hunain ibn Ishaq (809-873 M).6
Pada masa-masa ini, sistem berpikir rasional telah berkembang
pesat dalam masyarakat intelektual Arab-Islam, yakni dalam
fiqh (yurisprudensi) dan kalâm (teologi). Dalam teologi, doktrin
Muktazilah yang rasional yang dibangun oleh Wasil ibn Atha’
(699-748 M) telah mendominasi pemikiran masyarakat, bahkan
menjadi doktrin resmi negara dan berkembang dalam berbagai
cabang, dengan tokohnya masing-masing, seperti Amr ibn
Ubaid (664-761 M), Bisyr ibn al-Mu‘tamir (w. 825 M),
Mu‘ammar ibn Abbad (w. 835 M), Ibrahim ibn Sayyar an-
Nadzam (801-835 M), Abu Hudzail ibn al-Allaf (752-849 M)
dan Jahiz Amr ibn Bahr (781-869 M). Begitu pula dalam bidang
fiqh. Penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum
(istinbât}) dengan istilah-istilah seperti istih}sân, istis}lâh},
qiyâs, dan lainnya telah lazim digunakan. Tokoh-tokoh
mazhab fikih yang melahirkan metode istinbât} dengan
menggunakan rasio seperti itu, seperti Abu Hanifah (699-767
M), Malik (716-796 M), Syafi’i (767-820 M) dan Ibnu Hanbal
(780-855 M), hidup sebelum kedatangan filsafat Yunani.
Semua itu menunjukkan bahwa sebelum dikenal adanya logika
dan filsafat Yunani, telah ada model pemikiran rasional filosofis

Jurnal Mubtadiin, Vol. 7 01 Januari -Juni 2021


86

yang berjalan baik dalam tradisi keilmuan Islam, yakni dalam


kajian teologis dan hukum. Bahkan, pemikiran rasional dari
teologi dan hukum inilah yang telah berjasa menyiapkan
landasan bagi diterima dan berkem-bangnya logika dan filsafat
Yunani dalam Islam, bukan sebaliknya.
Sumber Rasionalitas Islam
Jika demikian, dari mana sumber pemikiran rasional filosofis
Islam itu berasal? Seperti dinyatakan oleh banyak peneliti, baik
muslim maupun non-muslim, pemikian rasional-filosofis Islam
lahir bukan dari pihak luar melainkan dari kitab suci mereka
sendiri, dari al-Qur‘an, khususnya dalam kaitannya dengan
upaya-upaya untuk menyesuaikan antara ajaran teks dengan
realitas kehidupan sehari-hari. Pada awal perkembangan Islam,
ketika Rasul SAW masih hidup, semua persoalan bisa
diselesaikan dengan cara ditanyakan langsung kepada beliau,
atau diatasi lewat jalan kesepakatakan diantara para cerdik.
Akan tetapi, hal itu tidak bisa lagi dilakukan setelah Rasul SAW
wafat dan persoalan-persoalan semakin banyak dan rumit seiring
dengan perkembangan Islam yang demikian cepat. Jalan satu-
satunya adalah kembali kepada ajaran teks suci, al-Qur‘an, lewat
berbagai pemahaman.
Dalam upaya untuk memahami ajaran al-Qur’an tersebut,
minimal ada tiga model kajian resmi yang nyatanya mempunyai
relevansi filosofis. Antara lain, (1) penggunaan takwîl. Makna
takwil diperlukan untuk mengungkap atau menjelaskan
masalah-masalah yang sedang dibahas. Meski model ini diawasi
secara ketat dan ter-batas, tapi pelaksanaannya jelas
membutuhkan pemikiran dan pere-nungan mendalam, karena ia
berusaha ‘keluar’ dari makna lahiriah (z}âhir) teks. (2)
Pembedaan antara istilah-istilah atau pengertian yang
mengandung lebih dari satu makna (musytarak) dengan istilah-
istilah yang hanya mengandung satu arti. Di sini justru lebih
mendekati model pemecahan filosofis dibanding yang pertama.
(3) Penggunaan qiyâs (analogi) atas persoalan-persoalan yang

Jurnal Mubtadiin, Vol. 7 01 Januari -Juni 2021


87

tidak ada penyelesaian-nya secara langsung dalam teks.


Misalnya, apakah larangan me-nimbun emas dan perak (QS. al-
Taubah: 34) itu hanya berlaku pada emas dan perak atau juga
meliputi batu permata dan batu berharga? Apakah kata
‘mukmin’ dan ‘muslim’ dalam al-Qur`an (yang secara bahasa
Arab menunjuk makna laki-laki) juga mencakup wanita dan
budak?
Bersamaan dengan itu, dalam persoalan-persoalan teologis, para
sarjana Muslim dituntut untuk menyelaraskan pandangan-
pandangan yang tampaknya kontradiktif dan rumit, untuk
selanjut-nya mensistematisasikannya dalam suatu gagasan
metafisika yang utuh. Misalnya, bagaimana menyelaraskan
antara sifat kemaha-kuasaan dan kemahabaikan Tuhan dalam
kaitannya dengan sifat Maha Tahu-Nya atas segala tindak
manusia untuk taat atau kufur untuk kemudian dibalas sesuai
perbuatannya. Bagaimana menafsirkan secara tepat bahasa
antropomorfis (menyerupai sifat-sifat ma-nusia) al-Qur‘an,
padahal ditegaskan pula bahwa Tuhan tidak sama dengan
manusia, tidak bertangan, tidak berkaki dan seterusnya. Semua
itu menggiring para intelektual muslim periode awal, khu-
susnya para teolog untuk berpikir rasional dan filosofis.
Kenyatannya, metode-metode pemecahan yang diberikan atas
masalah-masalah teologis tidak berbeda dengan model filsafat
Yunani. Perbedaan di antara keduanya, menurut Leaman,12
hanya terletak pada premis-premis yang digunakan, bukan pada
valid tidaknya tata cara penyusunan argumen. Yakni, bahwa
pemikiran teologi Islam didasarkan atas teks suci sedang filsafat
Yunani didasarkan atas premis-premis logis, pasti dan baku.
Pemikiran dan filsafat Yunani baru masuk lewat program
penerjemahan setelah sistem penalaran rasional dalam Islam
mapan, khususnya dalam teologi dan yurisprudensi.
Pasang Surut Pemikiran Filsafat
Pemikiran filsafat Islam yang berkembang pasca penerjemahan
atas buku-buku Yunani, pertama kali, dikenalkan oleh al-Kindi

Jurnal Mubtadiin, Vol. 7 01 Januari -Juni 2021


88

(806-875). Dalam Kata Pengantar untuk buku ‘Filsafat Utama’


(al-Falsafah al-Ûla), yang dipersembahkan pada khalifah al-
Mu`tashim (833-842 M), al-Kindi menulis tentang objek
bahasan dan kedudukan filsafat, serta ketidaksenangannya pada
orang-orang yang anti filsafat. Meski demikian, karena begitu
dominannya kaum fukaha ditambah masih minimnya referensi
filsafat yang telah diterjemahkan, apa yang disampaikan al-
Kindi tidak begitu bergema. Meski demikian, al-Kindi telah
memperkenalkan persoalan baru dalam pemikiran Islam dan
mewariskan persoalan filsafat yang terus hidup sampai
sekarang: (1) penciptaan alam semesta, bagaimana terjadinya,
(2) keabadian jiwa, apa artinya dan bagaimana pembuktiannya,
dan (3) pengetahuan Tuhan, apa ada hubungannya dengan
astrologi dan bagaimana terjadinya.
Pemikiran rasional filsafat kemudian semakin berkembang.
Sepeninggal al-Kindi, lahir al-Razi (865-925), tokoh yang
dikenal sebagai orang yang ekstrim dalam teologi dan juga
dikenal sebagai seorang rasionalis murni yang hanya
mempercayai akal. Salah satu pikirannya yang dikenal adalah
pandangannya tentang akal. Menurutnya, semua pengetahuan
pada prinsipnya dapat diperoleh manusia selama ia menjadi
manusia. Hakikat manusia adalah akal atau rasionya, dan akal
adalah satu-satunya alat untuk memperoleh pengetahuan tentang
dunia fisik dan tentang konsep baik dan buruk; setiap sumber
pengetahuan lain yang bukan akal hanya omong kosong, dugaan
belaka, dan kebohongan.
Akan tetapi, perkembangan pemikiran filsafat yang begitu pesat
berkat dukungan penuh dari para khalifah Bani Abbas (750-1258
M) ini, khususnya sejak al-Makmun (811-833 M), kemudian
mengalami sedikit hambatan pada masa khalifah al-Mutawakil
(847-861 M). Hambatan ini disebabkan oleh adanya
penentangan dari sebagian kalangan ulama salaf, seperti Imam
Ibnu Hanbal (780-855 M) dan orang-orang yang sepikiran

Jurnal Mubtadiin, Vol. 7 01 Januari -Juni 2021


89

dengannya. Mereka menunjuk-kan sikap yang tidak kenal


kompromi terhadap ilmu-ilmu filosofis.
Menurut George N. Atiyeh (1923-2008 M),24 seorang peneliti
dari Universitas America di Beirut, Libanon, penentangan
kalangan salaf tersebut disebabkan oleh beberapa hal. Pertama,
adanya ke-khawatiran di sebagian kalangan ulama fiqh bahwa
ilmu-ilmu filo-sofis akan menyebabkan berkurangnya rasa
hormat umat Islam terhadap ajaran agamanya. Kedua, adanya
kenyataan bahwa mayo-ritas dari mereka yang menerjemahkan
filsafat Yunani atau mem-pelajarinya adalah orang-orang non-
Muslim, penganut Machianisme, orang-orang Sabia, dan sarjana
muslim penganut mazhab Batiniyah yang esoteris, yang itu
semua mendorong munculnya kecurigaan atas segala kegiatan
intelektual dan perenungan yang mereka lakukan. Ketiga,
adanya usaha untuk melindungi umat Islam dari pengaruh
Machieanisme Persia khususnya, maupun paham-paham lain
yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam yang ditimbulkan
dari pikiran-pikiran filosofis.
Kecurigaan dan penentangan kaum salaf terhadap ilmu-ilmu
filsafat memang bukan tanpa dasar. Kenyataannya, memang
tidak sedikit tokoh Muslim yang belajar filsafat akhirnya justru
meragukan dan bahkan menyerang ajaran Islam sendiri. Salah
satunya adalah Yahya ibn Ishaq al-Rawandi (827-911 M). Ia
menolak konsep kenabian setelah belajar filsafat. Menurutnya,
prinsip kenabian bertentangan dengan akal sehat, begitu pula
tentang syariat-syariat yang dibawanya, karena semua itu telah
bisa dicapai oleh akal; akal dengan kemampuannya sendiri
sebagai sesuatu yang dianugerahkan Tuhan pada manusia telah
mampu mengapai apa yang benar dan salah, yang baik dan jahat,
dan seterusnya.
Contoh lain adalah Ibnu Zakaria al-Razi (865-925 M), seorang
tokoh yang telah disebutkan di atas. Al-Razi juga menolak
konsep kenabian dengan tiga alasan; (1) bahwa akal telah
memadai untuk membedakan baik dan buruk, berguna dan tidak

Jurnal Mubtadiin, Vol. 7 01 Januari -Juni 2021


90

berguna. Dengan rasio manusia telah mampu mengenal Tuhan


dan mengatur kehidupannya sendiri dengan baik, sehingga tidak
ada gunanya seorang nabi. (2) Tidak ada alasan untuk
pengistimewaan beberapa orang untuk membimbing yang lain,
karena semua orang lahir dengan tingkat kecerdasan yang sama,
hanya pengembangan dan pendidikan yang membedakan
mereka, dan (3) bahwa ajaran para nabi ternyata berbeda. Jika
benar bahwa mereka berbicara atas nama Tuhan yang sama,
mestinya tidak ada perbedaan di antara mereka. yang
mempunyai pandangan bahwa baik dan buruk harus didasarkan
rasio. Hanya saja, Muktazilah tidak seekstrim ini dalam
penggunaan rasio, bahkan mereka berusaha memadukan rasio
dengan wahyu. Di samping kedua tokoh di atas, Husein Nasr
masih menyebut tokoh lain.
Usaha penentangan kaum salaf yang dipelopori Ibnu Hanbal
(780-855 M) terhadap ilmu-ilmu filosofis di atas mencapai
puncak dan keberhasilannya pada masa khalifah al-Mutawakkil
(847-861 M). Tampilnya al-Mutawakkil dengan kebijakannya
yang men-dukung kaum salaf menyebabkan kajian dan
pemikiran filosofis mengalami hambatan. Lebih dari itu,
kalangan salaf yang saat itu dekat dengan khalifah dan
“berkuasa” melakukan revolusi: orang-orang Muktazilah dan
ahli filsafat yang tidak sepaham dipecat dan diganti dari
kalangan salaf. Al-Kindi (801-878 M) yang ahli filsafat adalah
salah satu contoh, dipecat dari jabatannya sebagai guru istana
karena tidak sepaham dengan sang khalifah yang salaf.
Meski demikian, hambatan tersebut sesungguhnya hanya terjadi
di lingkar pusat kekuasaan, di Baghdad. Di luar Baghdad, di
kota-kota propinsi otonom, khususnya di Aleppo dan Damaskus,
kajian-kajian filsafat tetap giat dilakukan, sehingga melahirkan
seorang filsuf besar, yakni Abu Nasr al-Farabi (870-950). Al-
Farabi, tokoh yang mempunyai pengaruh besar pada pemikiran
sesudahnya ini, baik dalam Islam sendiri maupun di Barat-
Eropa, tidak hanya mengembangkan pemikiran-pemikiran

Jurnal Mubtadiin, Vol. 7 01 Januari -Juni 2021


91

metafisika Islam melainkan juga memberikan landasan bagi


pengembangan keilmuan pada umumnya. Dalam bidang
metafisika, antara lain, ia mengembangkan teori emanasi yang
menggabungkan antara teori Neo-platonis dengan tauhid Islam
untuk menjelaskan hubungan antara Tuhan Yang Maha Gaib
dengan realitas yang empirik, Tuhan Yang Maha Esa dengan
realitas yang plural dan seterusnya; mempertemukan antara
konsep idealisme Plato (427-348 SM) dengan empirisme
Aristoteles (384-322 SM), dan mempertemukan antara agama
dan filsafat. Dalam bidang keilmuan, al-Farabi lewat karyanya
yang terkenal, Ih}s}â al-‘Ulûm, mengklasifikasi ilmu
pengetahuan dalam 3 kelompok: filsafat, ilmu keagamaan dan
ilmu bahasa. Yang termasuk filsafat adalah metafisika, ilmu-
ilmu matematis, ilmu kealaman, dan politik. Menurut Husein
Nasr (l. 1933 M), seorang pemikir muslim dari Universitas
George Washington USA, klasifikasi ilmu ini merupakan
klasifikasi pertama yang dipakai secara luas oleh masyarakat
ilmiah sebagai ingkar kenabian, yakni Ahmad ibn Thayib al-
Syarkhasi (833-899 M), salah seorang murid dari al-Kindi (801-
878 M) dan guru dari khalifah al-Mu‘tadhid (892-902 M).
Husain Nasr, dan paling berpengaruh dalam sejarah peradaban
Islam. Karena jasanya inilah, al-Farabi (870-950) digelari
sebagai ‘guru kedua’ (al-mu`allim al-tsâni) dalam tradisi filsafat
Islam setelah Aristoteles (384-322 SM) sebagai ‘guru pertama’
(al-mu`allim al-awwal).
Menurut Ali Sami, seorang peneliti dari Mesir, prinsip-prinsip
penalaran filosofis yang dikembangkan al-Farabi (870-950 M)
di atas, pada masa-masa berikutnya, tidak hanya digunakan oleh
kaum filsuf murni, tetapi juga oleh para tokoh yang menolak
pemikiran filsafat, seperti al-Ghazali (1058-1111 M). Prinsip-
prinsip penalaran tersebut bahkan juga digunakan oleh para
fukaha seperti al-Syafi‘i (767-820 M).
Pemikiran filsafat kemudian semakin berkibar dalam per-
caturan pemikiran Arab-Islam pada masa Ibnu Sina (980-1037

Jurnal Mubtadiin, Vol. 7 01 Januari -Juni 2021


92

M). Ibnu Sina yang muncul setelah al-Farabi mengembangkan


lebih lanjut konsep emanasi al-Farabi, dengan cara
menggabungkan antara prinsip Neo-Platonisme Yunani, tauhid
Islam, dan filsafat Timur yang mistik dan simbolik sehingga
melahirkan sistem pemikiran yang khas. Pada saatnya kemudian
pemikiran ini mendorong lahirnya konsep emanasi yang lebih
lengkap dan sempurna di tangan Suhrawardi al-Maqtul (1153-
1191M) yang terkenal dengan filsafat Isyrâqiyyah-nya. Ibnu
Sina juga berusaha memadukan antara wahyu dan filsafat, pada
aspek makna dan fungsi. Menurutnya, setiap kewajiban yang
diperintahkan agama, seperti pelaksanaan shalat, puasa, zakat,
dan seterusnya, mempunyai kebaikan dan hikmah-hikmah
tertentu yang mempercepat proses terwujudnya cinta kasih (al-
‘isyq) pada keseluruhan tingkatan realitas, khususnya pada diri
manusia sendiri dan jiwa-jiwa tinggi. Sesungguhnya, sifat cinta
kasih ini telah ada pada semua tataran wujud, bahkan munculnya
realitas adalah karena adanya sifat itu. Pelaksanaan bentuk-
bentuk kebajikan dan kewajiban mempercepat dan memperkuat
ikatan cinta dalam alam wujud. Artinya, ajaran-ajaran wahyu
tentang kewajiban dan larangan dapat dipahami secara filosofis,
sehingga tidak ada per-tentangan antara wahyu dan filsafat.
Selain itu, Ibnu Sina (980-1037 M) juga berusaha menjelaskan
dan membuktikan konsep kenabian dengan menyatakan bahwa
kenabian adalah sesuatu yang “lumrah” yang dapat dipahami
secara nalar. Menurutnya, kenabian adalah tingkat tertinggi
dalam fase manusia di mana ia menghimpun seluruh potensi
kemanusiaan dalam wujudnya yang paling sempurna. Baginya,
syarat kenabian hanya 3 hal: kecerdasan intelek, kesempurnaan
daya imajinasi, dan kemampuan untuk menundukkan hal-hal
yang muncul dari luar dirinya agar bisa tunduk dan taat. Ketika
ketiga syarat ini terpenuhi, maka seseorang akan memperoleh
kesadaran kenabian, mendapat limpahan pengetahuan secara
langsung tanpa butuh pengajaran dari orang lain. Berdasarkan
atas prestasi-prestasinya yang luar biasa dalam filsafat, Ibnu
Sina (980-1037 M) kemudian diberi gelar “Guru Utama” (al-

Jurnal Mubtadiin, Vol. 7 01 Januari -Juni 2021


93

Syaikh al-Raîs), di samping gelarnya sebagai “Pangeran Para


Dokter” (Amîr al-At}}ibbâ’) karena jasanya yang besar
dalam bidang kedokteran.
Akan tetapi, setelah Ibnu Sina (980-1037 M), pemikiran filsafat
kembali mengalami kemunduran karena serangan al-Ghazali
(1058-1111 M), meski al-Ghazali sendiri sebenarnya tidak
menyerang inti filsafat, yaitu aspek epistemologi. Lewat
tulisannya dalam Tahâfut al-Falâsifah yang diulangi lagi
dalam al-Munqidh min al-D}alâl,36 al-Ghazali menyerang
persoalan metafisika, khususnya pemikiran metafisika al-Farabi
(870-950 M) dan Ibnu Sina (980-1037 M), meski serangan pada
kedua tokoh ini sebenarnya juga tidak tepat. Al-Ibnu Sina dalam
daftar orang-orang yang terlibat dalam tiga persoalan yang
dianggapnya dapat menggiring pada kekufuran: tentang
keqadiman alam, kebangkitan rohani, dan ketidaktahuan Tuhan
terhadap
Ghazali juga menyerang pemikiran para filsuf Yunani kuno,
seperti Thales (625-545 SM), Anaximandros (611-547 SM),
Anaximenes (570-500 SM), dan Heraklitos (540-480 SM);
sebuah serangan yang juga tidak pada tempatnya, karena
pemikiran mereka sudah dengan mudah bisa dinilai posisinya
dalam aqidah oleh orang awam. Dalam buku-buku ini, al-
Ghazali (1058-1111 M) sekali lagi hanya menye-rang aspek
metafisikanya yang merupakan produk, dan bukan ilmu logika
atau epistimologinya yang merupakan alat atau sistem, sesuatu
yang menjadi inti dari kajian filsafat, karena al-Ghazali sendiri
mengakui pentingnya logika dalam pemahaman dan penjabaran
ajaran-ajaran agama. Al-Ghazali (1058-1111 M) dalam al-
Mustasyfâ fî ‘Ulûm al-Fiqh, sebuah kitab tentang kajian hukum,
bahkan meng-gunakan epistemologi filsafat, yakni burhani,
untuk mengungkap-kan gagasannya tentang hukum. Akan
tetapi, kebesaran al-Ghazali sebagai ‘H}ujjat al-Islâm’ ternyata
telah begitu mengungkung kesadaran masyarakat muslim,
sehingga tanpa mengkaji kembali persoalan tersebut dengan

Jurnal Mubtadiin, Vol. 7 01 Januari -Juni 2021


94

teliti, mereka telah ikut menyatakan perang dan antipati terhadap


filsafat. Bahkan, sampai sekarang di perguruan tinggi sekalipun,
jika ada kajian filsafat umumnya masih lebih banyak dilihat pada
sisi sejarah dan metafisikanya, bukan aspek epsitemologi,
metodologi, atau sistem penalarannya.
Pemikiran filsafat kemudian muncul kembali dalam kancah
pemikiran Islam pada masa Ibnu Rusyd (1126-1198 M). Lewat
tulisannya dalam Tahâfut al-Tahâfut, Ibnu Rusyd berusaha
meng-angkat kembali pemikiran filsafat setelah sempat
tenggelam akibat dari serangan al-Ghazali. Namun, usaha ini
rupanya kurang berhasil, karena seperti ditulis Nurcholish
Madjid (1939-2005 M),42 bantahan yang diberikan Ibnu Rusyd
lebih bersifat Aristotelian sementara serangan al-Ghazali (1058-
1111 M) bersifat Neo-Platonis. Meski demikian, lepas dari
kegagalannya membendung serangan al-Ghazali, Ibnu Rusyd
telah berjasa besar terhadap perkembangan pemikiran filsafat.
Dalam bidang metafisika ia telah memberikan wawasan baru
pada persoalan hubungan antara Tuhan dengan alam, bukan
lewat teori emanasi seperti al-Farabi (870-950 M) dan Ibnu Sina
(980-1037 M), melainkan dengan teori gerak. Menurutnya,
berdasarkan teori fisika Aristoteles (384-322 SM), semua benda
pada prinsipnya adalah diam, tetapi kenyataannya bergerak.
Gerakan benda tersebut pasti disebabkan oleh penggerak di luar
dirinya karena dirinya sendiri tidak mampu bergerak. Sang
penggerak luar yang menggerakkan benda juga butuh penggerak
lain di luar dirinya yang sehingga dia mampu menggerakkan
benda lainnya. Begitu seterusnya sampai penggerak akhir yang
tidak bergerak; itulah yang dalam Islam disebut Allah SWT,
Tuhan Sang Penggerak semesta.
Selain itu, Ibnu Rusyd (1126-1198 M) juga berjasa untuk
mempertemukan antara agama dan filsafat. Berbeda dengan al-
Farabi (870-950 M) yang mempertemukan dua hal tersebut pada
aspek metafisikanya dan Ibnu Sina (980-1037 M) pada aspek
fungsional-nya, Ibnu Rusyd mempertemukan agama-filsafat

Jurnal Mubtadiin, Vol. 7 01 Januari -Juni 2021


95

lewat aspek-aspek yang lain: (1) Pada aspek garapan, yaitu


bahwa bidang garapan wahyu berkaitan dengan persoalan
metafisis dan masalah informasi hidup sesudah mati, sedang
rasio atau intelek berkaitan dengan persoalan fisik dan
kehidupan sekarang. (2) Pada aspek metode yang digunakan.
Menurut Ibnu Rusyd (1126-1198 M), metode rasional burhani
(demonstratif) yang digunakan pada ilmu-ilmu filosofis tidak
hanya monopoli milik filsafat, tetapi juga dapat digunakan untuk
menganalisis ilmu-ilmu keagamaan. Begitu juga premis-premis
primer tidak hanya dapat dihasilkan dari analisis rasional saja
tetapi juga dapat didasarkan atas teks wahyu, sehingga hasil dari
analisis keagamaan tidak kalah valid dibanding dengan ilmu-
ilmu filosofis atau analisis rasional. (3) Pada aspek tujuan yang
ingin dicapai oleh keduanya. Yaitu, bahwa wahyu dan rasio,
agama, dan filsafat, sama-sama mengajak dan ingin menggapai
kebenaran. Menurut Ibnu Rusyd (1126-1198 M), jika agama dan
filsafat sama-sama mengajak dan ingin mencapai kebenaran,
maka kebenaran yang satu tidak mungkin bertentangan dengan
kebenaran yang lain.
Setelah Ibnu Rusyd (1126-1198 M), pemikiran filsafat Islam
biasanya dianggap telah tamat, selesai atau berhenti, oleh
sebagian kalangan, karena sudah tidak ada lagi tokoh filsafat
yang muncul. Namun, yang terjadi sesungguhnya tidak
demikian. Pemikiran filsafat Islam terus berkembang pesat,
bahkan lebih besar, hanya dia berubah jalur dan mazhab. Jika
sebelumnya pemikiran filsafat bersifat ‘mandiri’ lewat
perenungan-perenungan filosofis rasional murni, tidak terkait
dengan sistem-sistem pemikiran yang lain, maka pada masa ini
tepatnya pasca serangan al-Ghazali (1058-1111 M) terhadap
filsafat, pemikiran filsafat tetap berkembang dengan cara
bergabung atau bersinergi dengan pemikiran tasawuf yang saat
itu mulai berkembang pesat. Juga, jika sebelumnya masalah
filsafat banyak didiskusikan dan dikembangkan dalam
lingkungan masya-rakat Sunni, pasca Ibnu Rusyd pemikiran
filsafat banyak dikaji dan dikembangkan dalam lingkungan

Jurnal Mubtadiin, Vol. 7 01 Januari -Juni 2021


96

masyarakat mazhab Syiah. Sedemikian, sehingga apa yang


dianggap bahwa pemikiran filsafat telah mati atau tamat
sesungguhnya hanya terjadi dalam lingkungan Sunni, bukan
masyakarat Islam secara keseluruhan.
Kenyataannya, setelah itu lahir seorang tokoh filsuf-sufistik
besar, yaitu Suhrawardi al-Maqtul (1153-1191 M) di Aleppo
Syiria, yang dikenal sebagai Syaikh al-Isyrâq (Guru Besar
Illuminasi) karena ajarannya tentang Illuminasi, suatu ajaran
yang berusaha men-sinergikan sistem berpikir rasional filosofis
dengan ketajaman hati sufistik (mukâsyafah). Juga lahir
Muhammad ibn Arabi (1165-1240 M) di Andalus, yang diberi
gelar Muhy al-Dîn (Penghidup Agama) dan Syaikh al-Akbar
(Doctor Maxcimus) karena pikiran-pikiran sufistik-filosofisnya
yang luar biasa. Menurut Arthur J. Arbery (1905-1969 M)
seorang orientalis asal Universitas Cambridge Inggris, belum
ada tokoh sufi Muslim yang mencapai posisi seperti kedudukan
IbnuArabi, sehingga ia dijuluki sebagai The greatest mystical
genius of Arab. Dalam lingkungan mazhab Syiah, muncul Ibnu
Hasan al Thusi yang dikenal dengan Nasir al-Din al-Thusi
(1201-1274 M), di Khurasan. Dalam bidang filsafat, tokoh ini
berusaha untuk menghidupkan kembali ajaran filsafat Ibnu Sina
(980-1037 M) yang tenggelam karena serangan al-Ghazali
(1058-1111 M), lewat komentar-komentarnya (syarh}) atas
karya-karya Ibnu Sina (980-1037 M), khususnya al-Isyârât wa
al-Tanbîhât. Bersamaan dengan itu, muncul juga Qutb al-Din al-
Syirazi (1236–1311 M), yang dikenal lewat dua karya besarnya,
yaitu Durrat al-Tâj setebal 25.000 halaman dan Syarh} H}ikmat
al-Isyrâq karya Suhrawardi (1153-1191 M). Dalam karya yang
disebutkan pertama, al-Syirazi mendiskusikan tentang ilmu dan
membaginya dalam dua bagian: ‘ulûm al-h}ikmah (filosofis)
dan ‘ulûm ghair al-h}ikmah (non-filosofis). Menurut Osman
Bakar, pemikir muslim asal Malaysia, klasifikasi ilmu yang
dibuat al-Syirazi ini digunakan untuk mengangkat kembali nilai
penting filsafat dalam tradisi keilmuan Islam setelah menurun
akibat karena serangan al-Ghazali (1058-1111 M).

Jurnal Mubtadiin, Vol. 7 01 Januari -Juni 2021


97

Pemikiran filsafat Islam tidak berhenti di situ. Masuk abad XIV


M, lahir banyak filsuf handal, seperti Ibnu Mahmud al-Amuli
(w. 1385 M), komentator Ibnu Sina (980-1037 M), dan juga
penulis klasifikasi ilmu yang berjudul Nafâ’is al-funûn fî ‘arâ’is
al-‘uyûn; Ibnu Turkah (1369-1432 M) penulis Syarh} Qawâid
al-Tauh}îd, sebuah buku yang menjelaskan doktrin tauhid dalam
perspektif filosofis; Jalal al-Din ibn Asad al-Dawani (1425-1503
M) yang dianggap sebagai perintis awal berdirinya the school of
Isfahan yang dibangun oleh M. Baqir Astarabadi yang juga
dikenal dengan nama Mir Damad (w. 1631 M). Terakhir adalah
Shadr al-Din al-Syirazi yang dikenal dengan Mulla Sadra (1571-
1640 M), pendiri Filsafat Transenden (al-H}ikmah al-
Muta`âliyah). Secara epistemologis, filsafat ini tidak hanya
menggunakan kekuatan rasio (filsafat) dan kemampuan intuitif
(sufistik) melainkan juga mendasarkan diri pada teks suci.
Pada abad-abad berikutnya, pasca Mulla Sadra (1571-1640 M),
para filsuf Muslim yang menggabungkan antara pemikiran
filsafat dengan tasawuf terus bermunculan. Antara lain, Ahmad
ibn Zayn al-Din ibn Ibrahim al-Ahsa’i (1753-1826) pendiri
mazhab Shaikhi di Iran, dan Mulla Hadi Sabzavari (1797–1873),
seorang filsuf, teolog sekaligus penyair. Menurut Mulyadhi
Kartanegara, guru besar UIN Jakarta, melalui murid Sabzavari
yang bernama Mirza Ali Akbar Yazdi (w. 1924 M), penulis
buku Syarh} al-Manz}ûmah, tradisi pemi-kiran Islam diantar
ke abad modern, karena ia adalah salah satu guru filsafat dan
irfan dari Ayatullah Ali Khumaini (1902-1989 M), pencetus
konsep walâyat al-faqîh dan Republic Islam Iran (1979).
Sementara itu, Khumaini sendiri adalah guru dari para pemikir
filsafat Islam kontemporer, seperti Murtadha Muthahhari (1920-
1979 M) dan Mehdi Hairi Yadi (1923-1999 M). Selain itu, masih
ada tokoh besar filsafat Islam Syiah lain seangkatan mereka,
seperti Husein Thabathabi (1892-1981 M) yang menulis
Tafsîr T}aba’t}abai dan M. Baqir al-Sadr (1935-1980 M),
penulis buku Falsafatunâ.

Jurnal Mubtadiin, Vol. 7 01 Januari -Juni 2021


98

Penutup
Dalam bagian akhir ini, ada beberapa hal yang perlu disampai-
kan. Pertama, bahwa pemikiran filsafat Islam tidak didasarkan
atas filsafat Yunani yang masuk ke dalam tradisi keilmuan Islam
lewat proses terjemahan melainkan dikembangkan dari sumber-
sumber khazanah Islam sendiri karena adanya kebutuhan untuk
itu. Alih-alih didasarkan atas filsafat Yunani, sebaliknya justru
pemikiran rasional Islam yang telah ada dan mapan sebelumnya
itulah yang telah memberikan jalan bagi diterimanya filsafat
Yunani dalam tradisi intelektual Islam. Meski demikian, harus
diakui juga bahwa hasil-hasil perterjemahan karya Yunani telah
membantu perkembangan filsafat Islam menjadi lebih pesat.
Daftar Pustaka
Abdullah, Amin. 1998. “Teologi dan Filsafat dalam Perspektif
Glo-balisasi llmu dan Budaya” dalam Mukti Ali dkk,
Agama dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Affifi. 1989. Filsafat Mistis Ibnu Arabi. Terj. Nandi Rahman.
Jakarta: Media Pratama.
Aqqad, Abbas Mahmud. 1988. Filsafat Pemikiran Ibnu Sina.
Terj.
Atiyeh, George N. 1983. Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim. Terj.
Kasidjo D. Bandung, Pustaka.
Bakar, Osman. 1995. Tauhid dan Sains, Terj. Yuliani L.
Bandung, Pustaka Hidayah.
Hasymi. 1975. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta, Bulan
Bintang. Hitti, Philip K. 1986. History of the Arabs. New
York, Martin Press. Ibnu Rusyd. 1978. Falsafah Ibn
Rusyd. Beirut: Dâr al-Âfâq.

Jurnal Mubtadiin, Vol. 7 01 Januari -Juni 2021


99

Kartanegara, Mulyadhi. 2003. “Pengantar” dalam A. Khudori


Soleh (Ed.), Pemikiran Islam Kontemporer. Yogyakarta:
Jendela.
Madjid, Nurcholish. 1984. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta:
Bulan Bintang.
Madkur, Ibrahim. T.Th. Fî al-Falsafah al-Islâmiyyah Manhaj wa
Tambîquhu, I. Mesir: Dâr al-Ma’ârif.
Mahdi, Muhsin. 1992. “Al-Farabi dan Fondasi Filsafat Islam”,
dalam Jurnal al-Hikmah. Edisi 4, Februari.
Nasr, Husain. 1986. Tiga Pemikir Islam. Terj. A. Mujahid.
Bandung: Risalah.
Rahman, Fazlur. 2003. Kenabian dalam Islam. Terj. Rahmani
Astuti. Bandung: Pustaka.
Rahmat, Jalaluddin. 1993. “Hikmah Muta’âliyah, Filsafat Pasca
Ibnu Rushd”, Jurnal Al-Hikmah. Edisi 10, September.
Sabra. 1992. “Apropriasi dan Naturalisasi Ilmu-Ilmu Yunani
dalam Islam, Sebuah Pengantar”, dalam Jurnal al-
Hikmah. Edisi 6, Oktober.
Soleh, A. Khudori. 2009. Skeptisme al-Ghazali. Malang: UIN
Press.
_____. 2010. Integrasi Agama dan Filsafat Pemikiran
Epistemologi al-Farabi. Malang: UIN Press.
Syarif, MM. 1996. Para Filosof Muslim. Terj. A Muslim.
Bandung: Mizan.
Watta, Montgmery. 1987. Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam.
Terj.Umar Basalim. Jakarta: P3M.

Jurnal Mubtadiin, Vol. 7 01 Januari -Juni 2021

You might also like