Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 93

PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK BERBASIS

PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK UNTUK


MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN
MASALAH MATEMATIS DAN SELF EFFICACY
PESERTA DIDIK

(Tesis)

Oleh

JULIANTI MUSTIKA

MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
ABSTRACT

STUDENT’S WORKSHEET DEVELOPMENT BASED


ON REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION TO
IMPROVE STUDENT’S MATHEMATICAL
PROBLEM SOLVING AND SELF EFFICACY
ABILITIES

By

Julianti Mustika

This research is a development research which aims to find out how to develop
student’s worksheet based on realistic mathematics education and its effectiveness
in terms of mathematical problem solving abilities and self efficacy of students.
The subject of this study was the eighth grade students of Ar Raihan SMP IT
Bandar Lampung. The results of the preliminary study indicate the need to
develop student’s worksheet. Preparation of student’s worksheets is done by
drafting the student’s worksheet and all its components. Mathematical student’s
worksheet about linear equation learning of two variables VIII SMP consists of
the beginning, core, and end. The results of the validation show that the student’s
worksheet has met the standards of content, media, and language eligibility. The
results of the initial field trials indicate that the student’s worksheete is included in
the good category. The results of the field test in this study were mathematical
student’s worksheetes in two variable linear equation learning material. The
research data was obtained through tests of mathematical problem solving abilities
and self efficacy scales. The results of the effectiveness test on the use of
student’s worksheet indicate that students have met the minimum completeness
criteria in problem solving abilities. The tendency of self-efficacy of students after
using the mathematics student’s worksheet shows a positive results.

Keywords: worksheet, PMR, problem solving, self-efficacy


ABSTRAK

PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK


BERBASIS PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK
UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN
PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS
DAN SELF EFFICACY PESERTA
DIDIK

Oleh

Julianti Mustika

Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang bertujuan untuk mengetahui


bagaimanakah hasil pengembangan LKPD berbasis pendidikan matematika realistik
serta efektifitasnya ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah matematis dan self
efficacy peserta didik. Subjek penelitian ini adalah peserta didik kelas VIII SMP IT
Ar Raihan Bandarlampung. Hasil studi pendahuluan menunjukkan adanya kebutuhan
untuk dikembangkan LKPD. Penyusunan LKPD dilakukan dengan menyusun draft
LKPD dan semua komponennya. LKPD matematika untuk pembelajaran persamaan
linear dua variabel VIII SMP terdiri dari bagian awal, inti, dan akhir. Hasil validasi
menunjukkan bahwa LKPD telah memenuhi standar kelayakan isi, media, dan
bahasa. Hasil uji coba lapangan awal menunjukkan bahwa LKPD termasuk dalam
kategori baik. Hasil uji lapangan dalam penelitian ini berupa LKPD matematika pada
materi pembelajaran persamaan linear dua variabel. Data penelitian diperoleh melalui
tes kemampuan pemecahan masalah matematika dan pemberian angket self efficacy.
Hasil uji efektivitas terhadap penggunaan LKPD menunjukkan peserta didik telah
memenuhi kriteria ketuntasan minimal dalam kemampuan pemecahan masalah
matematis. Self efficacy peserta didik setelah menggunakan LKPD matematika
menunjukkan kecenderungan yang positif.

Kata Kunci: LKPD, PMR, pemecahan masalah, self-efficacy


PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK
BERBASIS PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK
UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN
PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS
DAN SELF EFFICACY PESERTA
DIDIK

Oleh

Julianti Mustika

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar


MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA

Pada

Program Studi Magister PendidikanMatematika


Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
RIWAYAT PENULIS

Penulis dilahirkan di Sumberjaya pada tanggal 02 Juli 1987 sebagai anak ke

enam dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Rusli Kohar dan Ibu Solhawati.

Penulis menempuh pendidikan pertama di TK YAPSI Sumberjaya Lampung

Barat diselesaikan pada tahun 1993, kemudian Sekolah Dasar Negeri 1

Sumberjaya diselesaikan pada tahun 1999, Sekolah Menengah Pertama Negeri 1

Sumberjaya selesai pada tahun 2002, SMAN 9 Bandar Lampung diselesaikan

pada tahun 2005. Penulis mendapatkan gelar Sarjana di Universitas Lampung

Jurusan MIPA Program Studi Pendidikan Matematika pada tahun 2010. Setelah

itu, pada tahun 2014 penulis melanjutkan pendidikan Pasca Sarjana Pendidikan

Matematika di Universitas Lampung..

Pada Tahun 2010 penulis mendapatkan kesempatan untuk menginternalisasikan

disiplin ilmu-nya dengan tercatat sebagai tenaga pengajar di SMP IT Ar Raihan

Bandarlampung.

.
MOTTO

”A winner never quiets, a quieter never wins”


Persembahan

In the Name of Allah, Most gracious, Most Merciful…


kupersembahkan karya kecil ini
kepada:

Umak dan Bak ku tercinta yang penuh kasih dengan segenap jiwa telah
membesarkan dan mendidikku, mendoakan disetiap sujud dan sampai pada
membentangkan ”mimpi-mimpi besar ”pada ananda. Semoga tidak setetespun
keringat umak dan Bak yang keluar tanpa berbalas Kasih-Nya yang tiada
pernah pilih kasih
Suamiku tercinta untuk dukungan penuh menemani dan membantuku
berjuang untuk menyelesaikan tesis ini.

Kakanda dan ayunda ku tersayang, kalian penebar energi positif dengan cinta
kalian yang tulus …Aku mencintai kalian sungguh
Keponakan-keponakan ku, semoga kalian menjadi bagian generasi terbaik masa
depan
Keluarga Besar dan Sahabat Ar Raihan ku bagian dari orang-orang berhati baik
yang berkontribusi untuk keberhasilan ku semoga Keberkahan-Nya selalu cukup
untuk membalas kebaikan kalian

Para pendidik terbaik yang ku hormati

Teman-teman seperjuangan

Almamater tercinta
SANWACANA

Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha

Pengasih dan Maha Penyayang, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis

dapat menyelesaikan penyusunan tesis yang berjudul “Pengembangan Lembar

Kerja Peserta Didik Berbasis Pendidikan Matematika Realistik Untuk

Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan Self Efficacy

Peserta Didik” sebagai syarat untuk mencapai gelar Magister pendidikan pada

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa terselesaikannya penyusunan tesis ini tidak

terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan

terima kasih kepada:

1. Ibu Dr. Sri Hastuti Noer, M.Pd., selaku Pembimbing Akademik dan Dosen

Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk konsultasi

dan memberikan bimbingan, memberikan perhatian, motivasi, dan semangat

kepada penulis sehingga tesis ini menjadi lebih baik.

2. Bapak Dr. Sugeng Sutiarso, M.Pd., selaku Dosen Pembimbing II yang telah

bersedia meluangkan waktu untuk memberikan sumbangan pemikiran, kritik,

dan saran selama penyusunan tesis.

ii
3. Bapak Dr. Haninda Bharata, M.Pd., selaku dosen pembahas yang telah

memberikan masukan, kritik, dan saran kepada penulis dalam menyelesaikan

tesis.

4. Yayasan Lampung Cerdas, selaku instansi yang menaungi penulis yang telah

memberikan kesempatan dan dukungan untuk mengembangkan dan

mengaktualisasikan diri pada jenjang pendidikan paska sarjana.

5. Bapak Agung Putra Wijaya, M.Pd., selaku validator pertama dalam penelitian

ini yang telah memberikan waktu untuk menilai dan memberi saran perbaikan

LKPD.

6. Ibu Dila Saktika Negara, M.Pd., selaku validator kedua dalam penelitian ini

yang telah memberikan waktu untuk menilai dan memberi saran perbaikan

LKPD.

7. Ibu Mirra Septia Veranika, M.Psi, Psikolog, validator ahli psikologi

instrumen self efficacy yang telah memberikan masukan yang sangat

mendukung.

8. Bapak Prof. Dr. Patuan Raja, M.Pd., selaku Dekan FKIP Universitas Lam-

pung, beserta staf dan jajarannya yang telah memberikan bantuan kepada

penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

9. Bapak Prof. Drs. Mustofa, M.A., Ph.D., selaku Direktur program Pasca

Sarjana Universitas Lampung beserta staf dan jajarannya yang telah

memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

10. Bapak dan Ibu dosen Magister Pendidikan Matematika di Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada

penulis.

iii
ii
11. Ibu Halimatus Sa’diyah, S.Pd., selaku guru mitra yang telah banyak

membantu dalam penelitian.

12. Bapak M. Firmansyah, M.Pd., selaku guru mitra yang telah banyak

membantu dalam penelitian.

13. Siswa/i kelas VIII dan IX SMP IT Ar Raihan Bandar Lampung yang telah

membantu, memberikan semangat, dan kerja samanya.

14. Rekan-rekan seperjuangan Magister Pendidikan Matematika angkatan 2014,

2015, 2016, 2017 yang selalu membantu dalam setiap kesulitan serta saling

menyemangati untuk menyelesaikan tesis ini.

15. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini.

Semoga dengan kebaikan, bantuan, dan dukungan yang telah diberikan pada

penulis, mendapat balasan pahala yang setimpal dari Allah SWT dan semoga tesis

ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, Juni 2019


Penulis

Julianti Mustika

iii
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................ vi

DAFTAR GAMBAR.................................................................................... vii

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ ix

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.............................................................................. 12
C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 12
D. Manfaat Penelitian............................................................................. 13

II. TINJAUAN PUSTAKA


A Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis .................................... 14
B. Self Efficacy ........................................................................................ 20
C. Hasil Penelitian Pemecahan Masalah Matematis dan Self Efficacy ... 26
D. Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) ................................................. 27
E. Pendidikan Matematika Realistik ....................................................... 33
F. Definisi Operasional............................................................................ 41
G. Kerangka Pikir.................................................................................... . 42

III. METODE PENELITIAN


A. Subjek Penelitian ................................................................................ 48
B. Jenis dan Prosedur Penelitian ............................................................. 49
C. Instrumen Penelitian ........................................................................... 52
D. Teknik Analisis Data .......................................................................... 62
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian .................................................................................. 67
B. Pembahasan ....................................................................................... 94

V. SIMPULAN DAN SARAN


A. Simpulan ............................................................................................ 105
B. Saran .................................................................................................. 105

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 106

LAMPIRAN.................................................................................................... 112

v
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Pedoman Penskoran Kemampuan Pemecahan Masalah....................... 19

3.1 Desain One Shot Case Study ............................................................... 49

3.2 Pedoman Penilaian Kemampuan Pemecahan Masalah ...................... 54

3.3 Validitas Instrumen Tes Kemampuan Pemecahan Masalah ............... 56

3.4 Interpretasi Daya Pembeda Butir Soal ................................................ 58

3.5 Daya Pembeda Butir Soal .................................................................... 58

3.6 Interpretasi Nilai Tingkat Kesukaran ................................................... 59

3.7 Tingkat Kesukaran Butir Soal.............................................................. 59

3.8 Aspek Penilaian Self Efficacy .............................................................. 60

3.9 Skor Pernyataan Self Efficacy Peserta Didik....................................... 62

3.10 Interval Nilai Tiap Katagori Penilaian ................................................ 64

4.1 Tahapan Pendidikan Matematika Realistik.......................................... 69

4.2 Rangkuman Uji Q- Cochran ................................................................ 72

4.3 Rekapitulasi Skor Skala Uji Coba Lapangan Awal .............................. 85

4.4 Hasil Binomial Test Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis...... 91

4.5 Pencapaian Indikator Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis .. 92

4.6 Kecenderungan Self Efficacy .............................................................. 93


DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Contoh LKPD Pembelajaran Matematika ........................................... 7

1.2 Contoh LKPD Pembelajaran Matematika ........................................... 9

4.1.1 Definisi SPLDV Sebelum Revisi......................................................... 74

4.1.2 Definisi SPLDV Sesudah Revisi ......................................................... 75

4.2.1 Ilustrasi real life Sebelum Revisi ........................................................ 76

4.2.2 Ilustrasi real life Setelah Revisi .......................................................... 77

4.3.1 Pemberian Kata Motivasi Sebelum Revisi .......................................... 78

4.3.2 Pemberian Kata Motivasi Setelah Revisi ............................................ 79

4.4.1 Sumber Gambar Sebelum Revisi ........................................................ 80

4.4.2 Sumber Gambar Setelah Revisi .......................................................... 81

4.5.1 Letak Text Box Sebelum Revisi .......................................................... 82

4.5.2 Letak Text Box Setelah Revisi ............................................................ 83

4.6. Uji Coba Lapangan Awal .................................................................... 85

4.7.1 Mind Map Sebelum Revisi .................................................................. 86

4.7.2 Mind Map Setelah Revisi .................................................................... 87

4.8 Tahap Proses Memahami Masalah ..................................................... 88

4.9 Tahap Proses Berdiskusi Kelompok ................................................... 89

4.10 Merefleksikan Hasil Diskusi ............................................................... 90

vii
4.11 Konteks Definisi PLDV ....................................................................... 95

4.12 Proses Matematisasi Menemukan Definisi PLDV ............................... 96

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

A. Perangkat Pembelajaran
A.1 Silabus ......................................................................................... 114
A.2 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) .................................. 119

B. Instrumen Penelitian
B.1 Kisi-Kisi Soal Postest .................................................................. 159
B.2 Soal Postest .................................................................................. 162
B.3 Kunci Jawaban Post Test .............................................................. 164
B.4 Form Penilaian Validitas Post Test............................................... 170
B.5 Pedoman Penskoran Tes Pemecahan Masalah Matematis ........... 173
B.6 Kisi-Kisi Skala Self Efficacy......................................................... 174
B.7 Instrumen Penilaian Self Efficacy ................................................. 177

C. Analisis Data
C.1 Analisis Validitas Tes Kemampuan Pemecahan Matematis ....... 180
C.2 Analisis Reliabilitas Tes Kemampuan Pemecahan Matematis..... 182
C.3 Daya Pembeda dan Tingkat Kesukaran Soal Postes .................... 184
C.4 Data Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ..................... 185
C.5 Binomial Test Data Kemampuan Pemecahan Masalah................ 186
C.6 Pencapaian Indikator Kemampuan Pemecahan Masalah ............. 187
C.7 Reliability Analysis Self Efficacy .................................................. 188
C.8 Hasil Uji Coba Validitas Skala Self Efficacy Peserta Didik ........ 189
C.9 Perhitungan Skor Masing-masing Katagori Butir Pernyataan Skala
Self Efficacy Peserta Didik ........................................................... 190
C.10 Kecenderungan Self Efficacy Peserta Didik ................................ 196
C.11 Pencapaian Indikator Self Efficacy Peserta Didik ........................ 200
C.12 Hasil Uji Q-Cochran Validitas Kelayakan LKPD ........................ 201
C.13 Analisis Uji Coba LKPD Oleh Peserta Didik............................... 202

D. Angket, Skala, dan Lembar Wawancara


D.1 Lembar Observasi ........................................................................ 207
D.2 Lembar Wawancara Bahan Ajar Matematika ............................. 210
D.3 Kisi-kisi Lembar Penilaian Aspek Materi .................................... 212
D.4 Lembar Penilaian Aspek Materi ................................................... 216
D.5 Kisi-kisi Lembar Penilaian Aspek Media ………………………. 224
D.6 Lembar Penilaian Aspek Materi ................................................... 228
D.7 Angket Respon Peserta Didik....................................................... 237
D.8 Lembar Post Test Pemecahan Masalah Matematis ...................... 241
D.9 Lembar Instrumen Penilaian Self Efficacy ................................... 243
D.10 Lembar Validasi Skala Self Efficacy ............................................ 245

xii
x
1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Generasi berkepribadian unggul dan berkualitas merupakan syarat yang harus

dipenuhi untuk membangun peradaban bangsa dalam menghadapi dinamisasi

kompetisi dunia. Pribadi yang tangguh, berwawasan luas, memiliki kepercayaan

terhadap kemampuan diri, dan memiliki berbagai kecakapan termasuk kecakapan

dalam mengatasi berbagai permasalah yang kompleks, merupakan beberapa hal

yang diperlukan dalam berkompetisi. Dalam hal ini, pendidikan memiliki peran

strategis untuk menumbukan karakter generasi bangsa.

Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 yang menegaskan bahwa tujuan

pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan

mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan

bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki

pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang

mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Matematika sebagai ilmu universal yang mendasari ilmu pengetahuan dan

teknologi modern memiliki peran dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

National Council of Teachers of Mathematics atau NCTM (2000) menetapkan

tujuan pendidikan matematika yaitu: (1) belajar untuk memecahkan masalah


2

(mathematical problem solving), (2) belajar untuk bernalar (mathematical

reasoning), (3) belajar untuk berkomunikasi (mathematical communication), (4)

belajar untuk mengaitkan ide (mathematical connections), dan (5) belajar untuk

merepresentasikan matematika (mathematics representation).

Selanjutnya, berdasarkan tujuan pembelajaran matematika, dapat terlihat bahwa

aktivitas pembelajaran matematika sangat berpotensi untuk mengembangkan

berbagai kemampuan peserta didik, salah satu kemampuan tersebut adalah

kemampuan pemecahan masalah. Di lain pihak, kemampuan peserta didik untuk

memecahkan masalah dapat diawali dengan membangun keyakinan akan

kemampuan peserta didik dalam belajar matematika.

Sementara itu, kajian PISA pada tahun 2015, menemukan bahwa kemampuan

matematika peserta didik Indonesia masih berada pada katagori rendah. Kajian ini

melibatkan 540 ribu pelajar dari 72 negara dunia yang mewakili populasi 29 juta

siswa berusia 15 tahun. Kemampuan matematika peserta didik Indonesia

menduduki peringkat 64 dari 72 negara dengan skor 386, sementara diketahui

bahwa skor rata-rata kemampuan matematika partisipan adalah 490. Kurang dari 1

persen peserta didik Indonesia yang memiliki kemampuan bagus di bidang

matematika. Masih berdasarkan temuan PISA, diketahui juga bahwa skor literasi

membaca dan skor di bidang kemampuan sains peserta didik Indonesia berturut-

turut adalah 397 dan 403. Skor ini masih di bawah skor rata-rata yaitu 493 untuk

literasi membaca dan 493 untuk kemampuan sains (OECD: 2015).

Pengukuran kemampuan literasi matematika oleh PISA tidak hanya pada

kemampuan berhitung peserta didik namun juga terfokus pada kemampuan


3

peserta didik dalam menganalisis, memberikan alasan, dan menyampaikan ide

secara efektif, merumuskan, memecahkan, dan menginterpretasikan masalah-

masalah matematika dalam berbagai bentuk dan situasi. Penilaian yang

digunakan adalah fokus kepada masalah-masalah dalam kehidupan nyata, di luar

dari situasi atau masalah yang sering dibahas di kelas.

Fakta mengenai rendahnya kemampuan bermatematika peserta didik Indonesia

mengindikasikan bahwa peserta didik Indonesia masih terpaku pada

permasalahan-permasalahan yang hanya diajarkan di kelas. Kemampuan peserta

didik kita dalam mentransfer situasi nyata ke model matematika dan

menerjemahkan solusi matematika ke situasi nyata masih lemah. Artinya peserta

didik kita fokus pada dunia matematika semata, tetapi tidak utuh melengkapinya

dengan pengalaman berinteraksi antar dunia nyata dan dunia matematika.

Permasalahan ini perlu mendapatkan perhatian khusus, karena pada kenyataannya

skill bermatematika yang berperan dalam kehidupan sosial adalah kemampuan

bermatematika secara utuh yang mencakup memodelkan, mencari solusi

matematika, dan menafsirkan ke masalah awal, sehingga pada akhirnya

terbentuklah keterampilan dalam mengidentifikasikan dan menemukan

pemecahan suatu permasalahan yang lebih kompleks. Hal ini sejalan dengan

Napitupulu (2008:30) yang menyatakan bahwa kecakapan anak mensintesis

pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman adalah hal penting dalam

keberhasilan memecahkan masalah.

Pada pengamatan dan juga pengalaman di lapangan, didapatkan bahwa salah satu

faktor krusial pada permasalahan ini adalah pada pola pembelajaran matematika
4

yang belum mengarah pada pembangunan kecakapan pemecahan masalah. Hal ini

diindikasikan dari pola penyampain materi yang masih dimulai dengan memuat

masalah matematika secara formal. Fungsi masalah nyata hanya sebagai aplikasi

materi yang telah dipelajari sebelumnya dalam situasi yang terbatas. Dalam hal

ini, guru sebatas memperkenalkan konsep dan algoritma untuk menyelesaikan

soal matematika. Dengan kondisi belajar seperti ini, peserta didik tidak cukup

terstimulasi untuk meyusun cara-cara baru dalam menyelesaikan soal-soal

matematika. Baik peserta didik maupun guru lebih terfokus untuk menghasilkan

jawaban berdasarkan algoritma standar yang telah diketahui. Pola pembelajaran

ini juga bersinergi dengan bahan ajar yang kurang mengeksplorasi kebermaknaan

suatu konsep matematika.

Upaya guru untuk berinovasi dalam pengembangan bahan ajar dirasakan masih

kurang optimal, guru cenderung hanya menggunakan buku teks yang sudah

tersedia sebagai bahan ajar pada proses pembelajarannya. Sementara itu, dari

hasil pengamatan terlihat bahwa penyajian materi pada buku teks cenderung

hanya bersifat menginformasikan algoritma aritmatika dan rumus matematika.

Penggunaan masalah-masalah kontekstual sebagai acuan dalam mengenalkan

suatu konsep terlihat belum optimal.

Soal-soal yang menuntut kemampuan pemecahan masalah masih sangat minim

ditemui dalam buku teks sehingga dirasakan belum optimal dalam memfasilitasi

perkembangan literasi membaca dan perkembangan kemampuan pemecahan

masalah peserta didik . Kondisi ini mengakibatkan peserta didik kurang terlatih

untuk menemukan konsep matematika dalam pemecahan masalah.


5

Selanjutnya, guru matematika memiliki tanggung jawab untuk dapat

menghadirkan pembelajaran matematika yang bisa mengembangkan kemampuan

pemecahan masalah peserta didik. Inovasi bahan ajar merupakan salah satu

alternatif dalam upaya meningkatkan kemampuan memecahkan masalah.

Bahan ajar selayaknya memberikan kesempatan pada peserta didik untuk

berdekatan dengan masalah. Artinya, bahan ajar harus memberikan ruang pada

peserta didik untuk mampu mengidentifikasikan suatu masalah, menyusun

strategi-strategi yang dapat digunakan dalam pemecahan masalah, mengeksekusi

strategi-strategi tersebut dan langkah terakhir adalah melakukan pemeriksaan

kembali terhadap ketepatan strategi-strategi tersebut dalam pemecahan masalah

yang diajukan. Hal ini senada dengan Kharisma (2018: 14) yang menyatakan

bahwa kemampuan pemecahan masalah dan prestasi belajar matematika yang

baik tidak akan tercapai dengan sendirinya tanpa upaya dan fasilitas yang

mendukung termasuk bahan ajar yang digunakan.

Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) dideskripsikan sebagai lembaran yang berisi

pedoman bagi peserta didik untuk melakukan kegiatan yang terprogram,

merupakan salah satu bahan ajar pendukung yang dapat dikembangkan oleh

tenaga pendidik. Setiap LKPD berisikan antara lain uraian singkat materi, tujuan

kegiatan, alat atau bahan yang diperlukan dalam kegiatan, langkah kerja,

pertanyaan – pertanyaan untuk didiskusikan, kesimpulan hasil diskusi, dan latihan

ulangan.

Terdapat beberapa keutamaan penggunaan LKPD diantaranya guru memiliki

akses yang luas untuk dapat berinovasi menciptakan skenario pembelajaran yang
6

mendukung tercapainya kemampuan-kemampuan yang ditargetkan pada setiap

konsep materi. Dalam hal mengembangkan kemampuan pemecahan masalah

matematis peserta didik, guru dapat mengintegrasikan pedoman pemecahan

masalah dari Polya melalui pemilihan konten maupun konteks permasalahan yang

relevan. Dengan demikian penggunaan LKPD dalam pembelajaran dapat

membantu guru untuk mengarahkan peserta didiknya menemukan konsep-konsep

melalui aktivitasnya sendiri sehingga peserta didik dapat terarah untuk mengikuti

urutan pemikiran secara logis.

Keutamaan lain dari penggunaan LKPD adalah peserta didik mendapatkan

peluang untuk berpartisipasi dan berinteraksi dengan aktif karena harus memberi

respon terhadap langkah kerja, pertanyaan dan latihan yang disusun (Depdiknas:

2008).

Pada fakta di sekolah, ditemukan bahwa penggunaan LKPD sebagai bahan ajar

pembelajaran matematika masih dirasa minim. Guru cenderung hanya

menggunakan buku teks yang telah tersedia sebagai sumber utama pembelajaran.

Selain itu, LKPD yang ada masih kurang memfasilitasi pengembangan

kemampuan pemecahan masalah bagi peserta didik. Seperti halnya buku teks

yang ada, penyusunan LKPD masih bersifat menginformasikan algoritma

aritmatika dan berisi rumus-rumus matematika semata.

Berikut ini disajikan dua contoh LKPD yang biasa digunakan. LKPD I memuat

masalah-masalah Sistem Persamaan Linear Dua Variabel (SPLDV) yang dimulai

secara formal. Konsep-konsep SPLDV pada LKPD ini disampaikan dengan

langsung memberikan algoritma aritmatika beserta rumus-rumus penyelesaiannya.


7

Tidak ada kegiatan yang melibatkan peserta didik untuk berpartisipasi dalam

menemukan konsep SPLDV.

LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK

Gambar 1.1 Contoh LKPD Pembelajaran Matematika.


8

Masalah kontekstual terkait SPLDV tidak dicantumkan pada LKPD ini. Hal ini

menjadikan kebermaknaan dari konsep SPLDV tidak cukup tereksplorasi.

Johnson (2014) yang mengemukakan bahwa ketika murid dapat mengaitkan isi

mata pelajaran akademik dengan pengalaman mereka sendiri, mereka menemukan

makna, dan makna memberi mereka alasan untuk belajar. Tidak dicantumkannya

masalah sebagai starting poin pada LKPD I juga mengindikasikan bahwa peserta

didik tidak mendapatkan akses untuk berlatih meningkatkan kemampuan

pemecahan masalah matematis melalui aktivitas mengidentifikasikan masalah,

menyusun strategi-strategi pemecahan masalah, dan menggunakan strategi-

strategi tersebut sebagai pemecahan masalah. Hal ini tentu saja sangat

disayangkan, karena seharusnya, konsep-konsep yang terdapat pada SPLDV

memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai konsep yang dapat mengeksplorasi

kemampuan pemecahan masalah matematis peserta didik.

Selain LKPD I, LKPD II merupakan contoh lain dari LKPD pembelajaran

matematika. Pada LKPD II, pengenalan konsep SPLDV telah diawali dengan

menggunakan masalah kontekstual. Hal ini mengindikasikan bahwa aktivitas

pemecahan masalah telah dihadirkan. Peserta didik distimulasi untuk

mengidentifikasikan konsep-konsep SPLDV melalui satu ilustrasi.

Namun demikian, masih terdapat beberapa hal yang perlu dikembangkan pada

LKPD II. Terlihat bahwa desain masih kurang atraktif. Telah diketahui bahwa

secara psikologis visualisasi yang menarik dan tidak menonton akan membantu

peserta didik mengembangkan imajinasi mengenai konsep dari permasalahan

yang dihadirkan.
9

Catatan lain adalah ilustrasi permasalahan yang dipilih dirasa kurang familiar

dengan aktivitas peserta didik. Permasalahan-permasalahan kontekstual yang

dekat dengan aktivitas kehidupan peserta didik misalnya mengenai aktivitas

dalam organisasi sekolah ataupun aktivitas lainnya yang sesuai dengan kehidupan

remaja seusia peserta didik, dipandang cukup berpotensi untuk menciptakan

ketertarikan peserta didik dalam berlatih memecahkan masalah matematika yang

lebih kompleks. Johnson (2014:20) menyatakan makna yang berkualitas adalah

makna kontekstual, yakni dengan menghubungkan materi ajar dengan lingkungan

personal dan sosial.

LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK

Gambar 1.2 Contoh LKPD Pembelajaran Matematika

Menjadikan matematika sebagai aktivitas yang terkoneksi dan relevan dengan

situasi peserta didik merupakan filosofi dasar dari Pendidikan Matematika

Realistik (PMR). Pada dasarnya penggunaan kata realistik berasal dari bahasa

Belanda yaitu “zich realiseren” yang berarti untuk dibayangkan atau to imagine.
10

Panhuizen (Wijaya,2012) mengemukakan bahwa penggunaan kata realistik tidak

sekedar menunjukkan adanya suatu koneksi dengan dunia nyata tetapi lebih

mengacu pada fokus Pendidikan Matematika Realistik dalam menempatkan

penekanan penggunaan suatu situasi yang dapat dibayangkan (imagineable) oleh

peserta didik.

Selain prinsip pelibatan masalah realistik pada pembelajarannya, prinsip

selanjutnya dari PMR adalah matematika haruslah terintegrasi sebagai aktivitas

manusia, sehingga dalam pembelajaran matematika, peserta didik berhak

diberikan akses untuk menemukan kembali ide dan konsep dasar. Menurut

Freudenthal matematika sebaiknya tidak diberikan kepada peserta didik sebagai

produk jadi yang siap pakai, melainkan sebagai suatu bentuk kegiatan dalam

mengkonstruksi konsep matematika.

Filosofi dan prinsip dasar PMR dapat bersinergi dengan prinsip pemecahan

masalah yang menjadikan masalah sebagai starting point atau acuan dalam

aktivitas pemecahan masalah. Dengan demikian, peserta didik mendapatkan akses

untuk mampu mengidentifikasikan suatu masalah kemudian menyusun strategi-

strategi pemecahan masalah, mengeksekusi strategi-strategi tersebut, dan tahap

terakhir adalah melakukan pemeriksaan kembali terhadap ketepatan strategi-

strategi tersebut dalam pemecahan masalah yang diajukan. Untuk itu, diperlukan

suatu rancangan bahan ajar yang relevan dengan prinsip dan tujuan dari aktivitas

pemecahan masalah pada pembelajaran matematika.

Selanjutnya perlu disadari bahwa kemampuan pemecahan masalah tidaklah dapat

ditumbuhkembangkan secara instan melainkan diperlukan latihan dan pembiasaan


11

yang berkesinambungan. Dalam proses latihan dan pembiasaan memecahkan

masalah, komponen yang juga diperlukan adalah rasa percaya diri peserta didik

terhadap kemampuannya untuk mengatasi masalah-masalah yang ditemui.

Dalam ilmu psikologi, keyakinan dan kepercayaan individu terhadap kemampuan

dirinya untuk mengorganisasi, melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan,

menghasilkan sesuatu dan mengimplementasikan tindakan untuk menampilkan

kecakapan tertentu disebut sebagai Self Efficacy (Baron dan Byrne; 2000:37).

Perkembangan self efficacy dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor

tersebut antara lain adalah pengalaman keberhasilan (Mastery Experience) dan

persuasi verbal.

Tampak bahwa untuk dapat memecahkan masalah maka salah satu komponen

penting yang perlu dimiliki oleh peserta didik adalah self efficacy. Sementara itu,

pada proses pembelajarannya, kemampuan peserta didik dalam memecahkan

masalah-masalah yang diajukan dalam pembelajaran akan sangat berpotensi

memberikan pengalaman keberhasilan pada peserta didik baik secara individu

maupun kelompok. Selain itu, dalam proses latihan pemecahan masalah, interaksi

yang terjadi antara peserta didik maupun guru juga berpotensi untuk menciptakan

apresiasi dan motivasi melalui dukungan verbal terhadap pencapaian pada tahap-

tahap pemecahan masalah yang sedang dieksplorasi. Artinya, proses latihan pada

pemecahan masalah juga berpeluang untuk dapat berkontribusi pada proses

pengembangan self efficacy peserta didik

Selanjutnya, berdasarkan gagasan yang telah dipaparkan bahwa bahan ajar

selayaknya memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengembangkan


12

kemampuan pemecahan masalah maka penelitian ini mengembangkan

seperangkat LKPD yang disusun berdasarkan prinsip dasar PMR yang

menjadikan permasalahan realistik sebagai fondasi dalam membangun konsep

matematika, serta melibatkan peran serta peserta didik dalam mengeksplorasi

suatu konsep matematika. Permasalahan-permasalahan yang diajukan dalam

LKPD diharapkan dapat memfasilitasi peserta didik untuk dapat berlatih

mencapai kemampuan pemecahan masalah matematis. Interaksi yang terjadi

selama pembelajaran pada setiap tahapan yang tertuang dalam LKPD diharapkan

dapat berperan dalam proses pengembangan self efficacy peserta didik.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, penulis merumuskan masalah penelitian

sebagai berikut.

1. Bagaimanakah hasil pengembangan LKPD pembelajaran matematika

berdasarkan prinsip PMR kelas VIII SMP IT Ar Raihan Bandarlampung?

2. Apakah LKPD pembelajaran matematika berdasarkan prinsip PMR efektif

meningkatkan kemampuan pemecahan masalah peserta didik kelas VIII SMP

IT Ar Raihan Bandarlampung?

3. Apakah LKPD pembelajaran matematika berdasarkan prinsip PMR efektif

meningkatkan self efficacy peserta didik kelasVIII SMP IT Ar Raihan

Bandarlampung?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah, penulis merumuskan tujuan penelitian

sebagai berikut.
13

1. Mengembangan LKPD pembelajaran matematika berdasarkan prinsip PMR.

2. Untuk mengetahui efektivitas proses dan hasil pengembangan LKPD

pembelajaran matematika berdasarkan prinsip PMR dalam meningkatkan

kemampuan pemecahan masalah peserta didik kelas VIII SMP IT Ar Raihan

Bandarlampung.

3. Untuk mengetahui efektivitas proses dan hasil pengembangan LKPD

pembelajaran matematika berdasarkan prinsip PMR dalam meningkatkan self

efficacy peserta

didik SMP IT Ar Raihan Bandarlampung.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat secara teoritis dan praktis dengan

rincian sebagai berikut.

1. Secara teoris penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa

gagasan pemikiran dan sebagai sumber alternatif untuk penelitian sejenis.

2. Secara praktis penelitian ini menghasilkan produk yang diharapkan dapat

bermanfaat dalam pembelajaran matematika di SMP dan menjadi bahan

perbandingan untuk perbaikan produk penelitian selanjutnya.


14

II. KAJIAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan teori-teori yang menjadi rujukan dalam penelitian yang akan

dilakukan. Adapun teori yang diuraikan meliputi teori kemampuan pemecahan

masalah guna mengeksplorasi aspek-aspek kemampuan pemecahan masalah, teori

self-efficacy guna mengekplorasi aspek-aspek perkembangan self-efficacy, teori

pendidikan matematika realistik guna mengekplorasi karakteristik dan prinsip

pendidikan matematika realistik, dan teori Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD)

guna mengeksplorasi teknis penyusunan LKPD. Berikut dipaparkan teori-teori

tersebut di atas.

A. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Keterampilan pemecahan masalah yang meliputi metode, prosedur dan strategi

merupakan keterampilan intelektual yang menjadi salah satu tujuan utama dari

pembelajaran matematika. Hal ini berarti bahwa matematika ditujukan untuk

dapat menjadi bagian solusi dalam memecahkan berbagai konteks permasalahan,

baik dalam pelajaran lain maupun dalam kehidupan sehari-hari yang semakin

kompleks.

Para praktisi pendidikan memiliki peran strategis untuk berupaya membantu

generasi muda menjadi pemecah masalah handal melalui berbagai strategi


15

pembelajaran maupun pengembangan bahan ajar yang mengakomodasi

perkembangan keterampilan pemecahan masalah.

Memecahkan masalah harus menjadi prioritas matematika sekolah. Matematika

harus diorganisasi di sekitar pemecahan masalah, sebagai suatu metode dari

penemuan dan aplikasi, menggunakan pendekatan pemecahan masalah untuk

menyelidiki dan memahami konten matematika dan membangun pengetahuan

matematika baru melalui pemecahan masalah (NCTM, 2000:51).

Menurut Nasution (2005:170) memecahkan masalah dipandang sebagai proses

dimana pelajar menemukan kombinasi aturan-aturan yang telah dipelajarinya

terlebih dahulu yang digunakan untuk memecahkan masalah yang baru. Tahapan

mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis memiliki

keterkaitan denga teori pembelajaran kontruktivisme. Dalam teori pembelajaran

kontruktivisme, fokus utama pembelajaran adalah pada kesuksesan peserta didik

dalam mengorganisasikan pengalaman.

Ernest (Mulyana, 2009:104) mengemukakan bahwa dalam pandangan

kontruktivisme belajar adalah proses aktif dan berkesinambungan yang dilakukan

peserta didik dalam menggunakan informasi dari lingkungan untuk membangun

sendiri pemahamannya .

Hanburi (Hamzah 2001: 6) mengemukakan aspek–aspek pembelajaran

kontruktivisme dalam kaitannya dengan pembelajaran matematika yaitu; (a)

Peserta didik mengkonstruksi pengetahuan matematika dengan cara menginteraksi

ide yang mereka miliki, (b) Matematika menjadi lebih bermakna karena peserta
16

didik mengerti strategi yang dipilihnya, (c) Peserta didik mempunyai kesempatan

untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan

temannya.

Sejalan dengan aspek pembelajaran matematika pada teori kontruktivisme, Polya

(TIM MKPBM, 2001:91) mengajukan empat langkah yang dapat ditempuh dalam

pemecahan masalah yaitu; (a) Memahami masalah (understanding the problem),

(b) Merencanakan pemecahan (devising a plan), (c) Melakukan perhitungan

(carrying out the plan), (d) Memeriksa kembali hasil (looking back).

Russefendi (2006: 326) mengemukakan bahwa suatu persoalan merupakan

masalah bagi seseorang, pertama bila dalam persoalan tersebut belum diketahui

prosedur atau algoritma tertentu untuk menyelesaikannya. Kedua, peserta didik

harus memiliki kesiapan mental dan pengetahuan untuk mampu menyelesaikan

masalah tersebut. Ketiga, sesuatu merupakan masalah bagi seseorang jika ia

memiliki niat atau keinginan untuk menyelesaikannya.

Lebih lanjut, Suyitno (2004: 37) mengemukakan syarat suatu soal menjadi soal

pemecahan masalah adalah; (a) peserta didik mempunyai pengetahuan prasyarat

untuk mengerjakan soal tarsebut, (b) diperkirakan peserta didik mampu

mengerjakan, (c) peserta didik belum tahu algoritma atau cara menyelesaikan

soal tersebut, dan (d) peserta didik mau dan berkehendak untuk menyelesaikan

soal tersebut.

Berkaitan dengan pemecahan masalah, Polya (1981: 117) menginterpretasikan

pemecahan masalah sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan guna
17

mencapai suatu tujuan yang tidak begitu segera dapat dicapai. Hal serupa juga

dikemukakan oleh Sumarmo (2000: 8) bahwa pemecahan masalah adalah suatu

proses untuk mengatasi kesulitan yang ditemui untuk mencapai suatu tujuan yang

diinginkan. Sementara itu, Wardhani (2005: 93) menyatakan bahwa pemecahan

masalah adalah proses menerapkan pengetahuan yang diperoleh sebelumnya ke

dalam situasi baru yang belum dikenal. Lebih lanjut, Depdiknas (2006)

menyebutkan bahwa pemecahan masalah merupakan kompetensi strategik yang

ditunjukkan peserta didik dalam memahami, memilih pendekatan dan strategi

pemecahan masalah, dan menyelesaikan model untuk menyelesaikan masalah.

Berdasarkan pendapat beberapa pakar, dapat disimpulkan kemampuan pemecahan

masalah memiliki makna sebagai kompetensi untuk mencari jalan keluar terhadap

permasalahan baru (permasalahan non rutin) yang memerlukan kreativitas dan

strategi dalam menyelesaikannya.

Berkenaan dengan kemampuan pemecahan masalah matematis, Soedjadi

(1994:36) mengemukakan kemampuan pemecahan masalah matematis adalah

suatu keterampilan pada diri peserta didik agar mampu menggunakan kegiatan

matematik untuk memecahkan masalah matematika, masalah dalam ilmu lain, dan

masalah dalam kehidupan sehari-hari.

Selanjutnya, Wardhani (2005: 96) menyatakan indikator keberhasilan

memecahkan masalah ditunjukkan oleh kemampuan: (1) menunjukkan

pemahaman masalah; (2) mengorganisasi data dan memilih informasi yang

relevan dalam pemecahan masalah; (3) menyajikan masalah secara matematik

dalam berbagai bentuk; (4) memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah
18

secara tepat; (5) mengembangkan strategi pemecahan masalah; (6) membuat dan

menafsirkan model matematika dari suatu masalah; (7) menyelesaikan masalah

yang tidak rutin.

Wood et al (dalam Mourtos et al, 2004: 1) menyatakan bahwa peserta didik yang

memiliki ketrampilan memecahkan masalah memperlihatkan indikator berikut: (1)

meluangkan waktu untuk membaca, mengumpulkan informasi dan

mendefinisikan masalah; (2) menggunakan proses, serta berbagai taktik dan

heiristik untuk mengatasi masalah; (3)memonitor proses pemecahan masalah dan

mempertimbangkan tentang efektifitasnya; (4) menekankan keakuratan dari pada

kecepatan; (5) menuliskan ide dan membuat grafik/angka, disamping

memecahkan masalah; (6) melakukan secara terorganisir dan sistematis; (7)

melakukan secara fleksibel (terbuka pada pilihan, melihat situasi dari berbagai

sudut pandang); (8) menggambar pada pengetahuan subjek yang bersangkutan dan

objektif dan kritis menilai kualitas, akurasi, dan ketepatan dari pengetahuan; (9)

bersedia mengambil resiko dan menghadapi ambiguitas, menyambut perubahan,

dan mengelola stress; (10) menggunakan pendekatan menyeluruh yang

menekankan fundamental daripada mencoba menggabungkan berbagai solusi

sampai hafal.

Menurut Polya dalam Suherman (2003: 91), soal pemecahan masalah memuat

empat langkah fase penyelesaian, yaitu memahami masalah, merencanakan

penyelesaian, menyelesaiakn masalah sesuai rencana, dan melakukan pengecekan

kembali terhadap semua langkah yang telah dikerjakan. Pemberian skor pada

kemampuan pemecahan masalah matematika mengadopsi penskoran pemecahan


19

masalah yang dikemukakan oleh Schoen dan Ochmke (dalam Fauziah, 2010:40)

seperti terlihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Pedoman Penskoran Kemampuan Pemecahan Masalah


No Tahap Pengerjaan Skor
1. Memahami masalah
a) Salah menginterpertasikan/tidak memahami soal/tidak ada 0
jawaban
b) Interpertasi soal kurang tepat atau salah 1
menginterpertasikan sebagian soal/mengabaikan kondisi
soal
No Tahap Pengerjaan Skor
c) Memahami soal dengan baik 2
2. Merencanakan strategi penyelesaian
a) Tidak ada rencana strategi penyelesaian 0
b) Merencanakan strategi penyelesaian yang kurang relevan 1
c) Membuat strategi penyelesaian yang kurang relevan 2
sehingga tidak dapat dilakukan/salah
d) Membuat strategi penyelesaian tetapi tidak lengkap 3
e) Membuat rencana strategi penyelesaian yang benar dan 4
mengarah pada jawaban yang benar
3. Melaksanakan strategi penyelesaian
a) Tidak ada penyelesaian sama sekali 0
b) Melaksanakan prosedur yang benar dan mungkin 1
menghasilkan jawaban benar tapi salah
perhitungan/penyelesaian tidak lengkap
c) Melaksanakan prosedur proses yang benar dan 2
mendapatkan hasil benar
4. Memeriksa kembali
a) Tidak ada pengecekan jawaban/hasil 0
b) Ada pengecekan jawaban/ tapi hasil tidak tuntas 1
c) Pengecekan dilakukan untuk melihat kebenaran proses 2
Total Skor Maksimum 10

Sebagai upaya mengembangkan kemampuan pemecahan masalah pada peserta

didik, Ellison (2009:1) menyatakan latihan rutin dan strategi pengajaran

keterampilan pemecahan masalah bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan

pemecahan masalah pada peserta didik. Lebih lanjut, Suherman, dkk (2003: 89)

mengemukakan bahwa melalui kegiatan pemecahan masalah, aspek-aspek

kemampuan penting seperti penerapan aturan pada masalah tidak rutin, penemuan
20

pola, penggeneralisasian, komunikasi matematika, dan lain-lain dapat

dikembangkan secara lebih baik.

NCTM juga menekankan pemakaian strategi yang beragam untuk memecahkan

masalah, dan merekomendasikan guru untuk mendorong peserta didik

menerapkan strategi ini. Strategi ini termasuk memanipulasi, mencoba-coba (trial

and error), mencoba kasus per kasus atau nilai khusus, menebak dan mengecek,

mendaftar berbagai kemungkinan, mengumpulkan dan mengorganisasi data dalam

tabel, mencari suatu pola dari tabel, menggambar suatu diagram, dan bekerja

mundur (NCTM, 2000:53).

Secara praktis, Cars, Perry, dan Conroy (dalam Sutawidjaja, 1998) menawarkan

strategi bagi peserta didik dan guru dalam konteks pemecahan masalah. Beberapa

strategi untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah yang berkaitan

dengan peserta didik antara lain: (a) peserta didik harus diberanikan untuk

menerima ketidaktahuan dan merasa senang mencari tahu, (b) terkadang peserta

didik diperbolehkan memilih masalah dari sejumlah masalah yang diberikan untuk

membuat soal atau pertanyaan, dan (c) peserta didik harus diberanikan untuk

mengambil risiko dan mencari alternatif pemecahan masalah.

B. Self-efficacy (Efikasi Diri)

Faktor-faktor internal berupa motivasi, kecerdasan emosional, kecerdasan

matematis-logis, rasa percaya diri, kemandirian, sikap, keyakinan, dan lain-lain

mempengaruhi proses dan hasil belajar peserta didik. Dalam hal ini, terlihat

bahwa percaya terhadap kemampuan diri dapat dijadikan landasan dasar dalam

proses menumbuhkembangkan berbagai karakter positif dalam belajar pada


21

peserta didik. Kepercayaan diri akan membentuk peserta didik menjadi insan

yang siap dan mampu untuk berkompetisi pada kompleksitas kehidupan.

Santrock (2004:523) menginterpetasikan self-efficacy sebagai keyakinan

seseorang untuk bisa menguasai situasi dan menghasilkan hasil yang positif.

Sementara Baron and Byrne (2000: 37) mengungkapkan bahwa self-efficacy

merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya

melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan dan menghasilkan sesuatu.

Lebih lanjut, Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy sebagai judgement

seseorang atas kemampuannya untuk merencanakan dan melaksanakan tindakan

yang mengarah pada pencapaian tujuan tertentu. Bandura menggunakan istilah

self-efficacy mengacu pada keyakinan (beliefs) tentang kemampuan seseorang

untuk mengorganisasikan dan melaksanakan tindakan untuk pencapaian hasil.

Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dikemukakan oleh para ahli, maka

dapat disimpulkan bahwa self-efficacy adalah keyakinan atau kepercayaan

terhadap kemampuan yang dimiliki individu untuk memotivasi dirinya ketika

menyelesaikan tugas, bertindak, menghadapi hambatan dan mencapai tujuan

dalam hidup.

Self-efficacy dapat ditumbuhkan dan dipelajari melalui empat sumber informasi

utama yakni pengalaman keberhasilan (mastery experience), pengalaman orang

lain (vicarious experience), persuasi verbal (verbal persuasion), dan kondisi

fisiologis (physiological state). Keempat sumber informasi akan dijelaskan

sebagai berikut:
22

(a) Pengalaman Keberhasilan (Mastery Experience)

Pengalaman keberhasilan adalah cara paling efektif untuk meningkatkan

keyakinan seseorang terhadap keberhasilan. Keberhasilan akan membangun

kepercayaan yang kuat terhadap kemampuan, sebaliknya kegagalan akan merusak

kepercayaan, terlebih lagi jika kegagalan terjadi sebelum seseorang berhasil.

Kesulitan yang dialami manusia dalam setiap kegiatan berguna sebagai pelajaran

bahwa kesuksesan diperoleh dari usaha yang berkelanjutan. Upaya yang gigih

diperlukan untuk menghadapi kesulitan. Self-efficacy menjadi berkembang kuat

melalui serangkaian keberhasilan, dampak negatif dari kegagalan akan berkurang

sehingga akan memotivasi diri bahwa sebesar apapun kesulitannya pasti dapat

dihadapi dengan kegigihan dan usaha yang terus-menerus.

(b) Pengalaman Orang lain (Vicarious Experience)

Melalui melihat/mengamati keberhasilan seseorang yang memilki kemampuan

yang sebanding dalam mengerjakan tugas, akan meningkatkan keyakinan

pengamat bahwa ia juga bisa berhasil. Begitu sebaliknya, bila pengamat

mengetahui bahwa seseorang dengan kemampuan yang sama dengannya

mengalami kegagalan, maka dapat menurunkan keyakinan pengamat terhadap

kemampuan yang ia miliki serta akan menurunkan usaha mereka. Dampak dari

pemodelan menunjukkan self-efficacy dipengaruhi oleh kesamaan persepsi

dengan model. Semakin besar kesamaan yang diasumsikan, akan semakin

mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan pengamat. Jika pengamat melihat

orang yang sangat berbeda dari dirinya, keyakinan pengamat tidak banyak

dipengaruhi oleh model. Seseorang sebaiknya melihat model yang memiliki

kemampuan sama dengan pengamat. Melalui pengamatan terhadap perilaku dan


23

cara model dalam berpikir, akan melahirkan strategi efektif bagi pengamat untuk

meniru cara model berpikir dan berperilaku di lingkungan.

(c) Persuasi Verbal (Verbal Persuasion)

Individu diarahkan dengan saran, nasihat, dan bimbingan sehingga dapat

meningkatkan keyakinannya tentang kemampuan yang dimiliki untuk membantu

mencapai tujuan yang diinginkan. Pengaruh persuasi verbal tidak besar karena

tidak memberikan pengalaman yang langsung dialami/diamati individu. Dalam

kondisi yang tertekan dan mengalami kegagalan yang terus menerus, pengaruh

sugesti akan berakibat secara cepat dan lenyap karena pengalaman yang tidak

menyenangkan tersebut.

(d) Kondisi Fisiologis (Psychological State)

Ketegangan fisik dalam situasi yang menekan dipandang individu sebagai tanda

ketidakmampuan karena dapat melemahkan performansi kerja individu.

Kecemasan dan stress yang terjadi dalam diri seseorang ketika melakukan tugas

sering diartikan sebagai suatu kegagalan. Pada umumnya seseorang cenderung

akan mengharapkan keberhasilan dalam kondisi yang tidak diwarnai oleh

ketegangan dan tidak merasakan adanya keluhan atau gangguan somatik lainnya.

Self-efficacy biasanya ditandai oleh rendahnya tingkat stress dan kecemasan

sebaliknya self-efficacy yang rendah ditandai oleh tingkat stress dan kecemasan

yang tinggi pula. (Bandura, 2008: 2—3)

Bandura (Strecher, et.al, 1986) menyatakan bahwa pengukuran self-efficacy

seseorang mengacu pada tiga dimensi, yaitu magnitude (berkaitan dengan

penyusunan tugas-tugas berdasarkan tingkat kesulitan yang diyakini seseorang


24

untuk dapat diselesaikan), strength (berkaitan dengan tingkat kekuatan atau

kemantapan individu terhadap keyakinannya dalam mengerjakan tugas), dan

generality (mengacu pada sejauh mana keyakinan seseorang dari situasi tertentu

dapat digeneralisasi ke situasi lain).

Self-efficacy perlu dimiliki setiap peserta didik agar mereka yakin pada kemam-

puan yang dimiliki sehingga betapapun sulitnya materi maupun soal ulangan,

mereka yakin bisa menyelesaikannya. Selain itu, self-efficacy mendorong peserta

didik untuk lebih mematangkan diri sebagai bentuk persiapan menghadapi

tantangan. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Schunk dan

Frank (2001: 36), yakni

“Student who feel more efficacious about learning should be


moreapt to engage in self-regulation (e.g., set goals, use effective
learning strategies, monitor their comprehension, evaluate their goal
progress) and create effective environments for learning
(e.g.,eliminate or minimize distraction, find effective study
partners)”. In turn, self-efficacy can be influenced by the outcomes
of behaviors (e.g.,goal progress, achievment )and by input for the
environment (e.g., feedback from teachers, social comparisons with
peers).

Kutipan tersebut dapat diartikan bahwa peserta didik yang memiliki self-efficacy

tinggi terhadap pembelajaran, cenderung memiliki keteraturan lebih (misalnya

dalam menetapkan tujuan, menggunakan strategi pembelajaran aktif, memantau

pemahaman mereka, dan mengevaluasi kemajuan tujuan mereka) dan

menciptakan lingkungan yang efektif untuk belajar (menghilangkan atau

meminimalkan gangguan, menemukan mitra belajar efektif ). Self-efficacy dapat

mempengaruhi perilaku (kemajuan dari tujuan, prestasi) serta masukan dari

lingkungan (umpan balik dari guru dan perbandingan sosial dari teman).
25

Berdasarkan penjelasan ini, maka diperlukan strategi signifikan untuk

meningkatkan efikasi diri peserta didik. Beberapa strategi tersebut diuraikan

sebagai berikut.

1. Ajarkan strategi-strategi spesifik.

Ajarkan peserta didik strategi-strategi spesifik, seperti menguraikan dan

merangkum, yang dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk berfokus pada

tugas mereka.

2. Bimbinglah peserta didik dalam menetapkan tujuan.

Bantulah mereka menciptakan tujuan jangka pendek setelah mereka membuat

tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek terutama membantu siswa untuk

menilai kemajuan mereka.

3. Pertimbangkan kemampuan menguasai.

Berikan penghargaan yang berkaitan dengan kinerja kepada peserta didik yang

cenderung untuk menandakan kemampuan menguasai dari pada penghargaan

hanya untuk terlibat dalam tugas.

4. Kombinasikan pelatihan strategi dengan tujuan.

Bahwa kombinasi dari pelatihan strategi dan penetapan tujuan dapat

meningkatkan efikasi diri serta perkembangan keterampilan peserta didik. Berikan

umpan balik kepada peserta didik mengenai strategi pembelajaran mereka yang

berhubungan dengan kinerja mereka.

5. Berikan dukungan kepada peserta didik.

Dukungan positif dapat datang dari guru, orangtua, dan teman sebaya.

6. Pastikan bahwa peserta didik tidak terlalu emosional dan gelisah.


26

Ketika peserta didik terlalu khawatir dan merasa menderita mengenai prestasi

mereka, efikasi diri mereka hilang.

7. Berikan peserta didik model dewasa dan teman sebaya yang positif.

Karakteristik-karakteristik tertentu dari model ini dapat membantu siswa

mengembangkan efikasi diri mereka. Sebagai contoh, peserta didik yang

mengamati guru dan teman sebaya yang secara efektif mengatasi serta menguasai

tantangan sering kali mengadopsi perilaku model tersebut. Pemodelan terhitung

efektif terutama dalam meningkatkan efikasi diri ketika peserta didik mengamati

keberhasilan teman sebaya yang berkemampuan serupa dengan mereka.

(Santrock, 2011: 217).

Hasil penelitian Rahadianto &Yoenanto (2014) menunjukkan bahwa terdapat

hubungan antara self-efficay dengan kecemasan akademik. Widiyanto (2013);

menemukan pengaruh yang positif dan signifikansi variabel self-efficacy terhadap

kemandirian belajar. Selanjutnya, Kisti&Fardana N (2012) menyatakan terdapat

hubungan antara self-efficacy dengan kreativitas peserta didik. Beberapa

penelitian ini menunjukkan bahwa self-efficacy termasuk faktor signifikan untuk

menumbuhkan sikap positif atau kemampuan-kemampuan yang diperlukan dalam

proses pem-belajaran sehingga upaya untuk meningkatkannya merupakan

keharusan.

C. Hasil Penelitian Pemecahan Masalah Matematis dan Self-efficacy

Simanungkalit (2015) menemukan bahwa pembiasaan untuk menyelesaikan

masalah akan meningkatkan kepercayaan diri peserta didik. Melalui aktivitas

pemecahan masalah, peserta didik akan akan terbiasa mengidentifikasikan dan


27

menguraikan masalah, selanjutnya megusahakan penyelesaian dari masalah yang

dihadapi. Pengalaman keberhasilan dalam memecahkan masalah akan menjadi

sumber pengalaman keberhasilan bagi peserta didik. Secara bersamaan,

peningkatan self-efficacy peserta didik akan berdampak terhadap kemampuan

pemecahan masalah matematis peserta didik secara umum. Peserta didik yang

memiliki self-efficacy tinggi akan yakin dan lebih mampu dalam menyelesaikan

masalah matematika. Semakin tinggi self-efficacy peserta didik maka kemampuan

pemecahan masalah matematisnya juga akan semakin tinggi. Hal senada

ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Jatisunda (2017) bahwa terdapat

korelasi yang signifikan antara kemampuan pemecahan masalah matematis dan

self-efficacy peserta didik. semakin tinggi skor kemampuan pemecahan masalah

matematis, semakin tinggi pula self-efficacy matematis peserta didik. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis dan

self-efficacy peserta didik adalah variabel-variabel yang saling memiliki

keterkaitan.

D. Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD)

Inovasi dalam bahan ajar merupakan salah satu alternatif dalam upaya mencapai

tujuan utama pembelajaran matematika, yaitu kemampuan pemecahan masalah.

Dari beberapa jenis bahan ajar, LKPD merupakan bahan ajar yang dapat

dikembangkan oleh pendidik sebagai fasilitator dalam kegiatan pembelajaran.

LKPD yang disusun dapat dirancang dan dikembangkan sesuai dengan kondisi

dan situasi kegiatan pembelajaran yang akan dihadapi.


28

Menurut Dhari dan Haryono (1998: 22) yang dimaksud dengan LKPD adalah

lembaran yang berisi pedoman bagi peserta didik untuk melakukan kegiatan yang

terprogram. Senada dengan ini, Surachman (dalam Sumarni: 2004) menyatakan

LKPD merupakan jenis hand out yang dimaksudkan untuk membantu peserta

didik belajar secara terarah. Sementara itu, Depdiknas (2008) mengidentifikasikan

LKPD sebagai lembaran-lembaran berisi tugas yang harus dikerjakan oleh peserta

didik. Lebih lanjut, Trianto (2009: 222) mendefinisikan bahwa LKPD adalah

panduan peserta didik yang digunakan untuk melakukan kegiatan penyelidikan

dan pemecahan masalah. Dari berbagai definisi ini, maka LKPD dapat dimaknai

sebagai lembaran yang berisi panduan kegiatan bagi peserta didik untuk

memahami kompetensi tertentu, yang disusun langkah demi langkah secara teratur

dan sistematis, dan harus dikerjakan oleh peserta didik dalam kegiatan

pembelajaran, sehingga mempermudah pemahaman terhadap materi pelajaran

yang didapat.

LKPD sangat berpotensi untuk menstimulasi keterlibatan peserta didik dalam

aktivitas menemukan konsep dari suatu kompetensi maupun dalam keterlibatan

memecahkan masalah-masalah yang disusun dalam bentuk latihan. Achmadi

(1996:35) mengemukakan beberapa tujuan penggunaan LKPD, diantaranya

memberi pengetahuan, sikap dan keterampilan yang perlu dimiliki oleh peserta

didik, mengecek tingkat pemahaman peserta didik terhadap materi yang telah

disajikan, mengembangkan dan menerapkan materi pelajaran yang sulit

disampaikan secara lisan, dan membantu peserta didik dalam memperoleh catatan

materi yang dipelajari melalui kegiatan pembelajaran. Selain hal ini, memberikan

pengalaman konkret bagi peserta didik, memberikan variasi belajar,


29

membangkitkan minat dan motivasi peserta didik, memanfaatkan waktu secara

efektif dan efesien adalah beberapa hal dari tujuan yang ingin dicapai dari

penggunaan LKPD.

Terdapat dua macam LKPD yang dikembangkan dalam pembelajaran di sekolah,

yaitu:

a) LKPD tak berstruktur.

LKPD tak berstruktur adalah lembaran yang berisi sarana materi pelajaran,

sebagai alat bantu kegiatan peserta didik yang dipakai untuk menyampaikan

pelajaran. LKPD merupakan alat bantu mengajar yang dapat dipakai untuk

mempercepat pembelajaran, memberi dorongan belajar pada tiap individu, berisi

sedikit petunjuk, tertulis atau lisan untuk mengarahkan kerja pada peserta didik.

b) LKPD berstruktur.

LKPD berstruktur memuat informasi, contoh dan tugas-tugas. LKPD ini

dirancang untuk membimbing peserta didik dalam satu program kerja atau mata

pelajaran, dengan sedikit atau sama sekali tanpa bantuan pembimbing untuk

mencapai sasaran pembelajaran. Pada LKPD telah disusun petunjuk dan

pengarahannya, LKPD ini tidak dapat menggantikan peran guru dalam kelas.

Guru tetap mengawasi kelas, memberi semangat dan dorongan belajar dan

memberi bimbingan pada setiap peserta didik . Lembar kerja dapat digunakan

sebagai pengajaran sendiri, mendidik peserta didik untuk mandiri, percaya diri,

disiplin, bertanggung jawab dan dapat mengambil keputusan. LKPD dalam

kegiatan belajar mengajar dapat dimanfaatkan pada tahap penanaman konsep

(menyampaikan konsep baru) atau pada tahap penanaman konsep (tahap lanjutan

dari penanaman konsep). Pemanfaatan lembar kerja pada tahap pemahaman


30

konsep berarti LKPD dimanfaatkan untuk mempelajari suatu topik dengan

maksud memperdalam pengetahuan tentang topik yang telah dipelajari pada tahap

sebelumnya yaitu penanaman konsep.

Untuk mengembangkan LKPD perlu diperhatikan beberapa prosedur yang

berlaku. Berikut dipaparkan beberapa prosedur tersebut.

a) Mengkaji materi yang akan dipelajari peserta didik yaitu dari kompetensi dasar,

indikator hasil belajar.

b) Mengidentifikasi jenis keterampilan proses yang akan dikembangkan pada saat

pembelajaran tersebut.

c) Menentukan bentuk lembar kerja peserta didik sesuai dengan materi yang akan

dipelajari.

d) Merancang kegiatan yang akan ditampilkan pada lembar kerja peserta didik

sesuai dengan keterampilan proses yang akan dikembangkan.

e) Mengubah rancangan menjadi lembar kerja peserta didik dengan tata letak yang

menarik, mudah dibaca dan digunakan.

f) Menguji coba lembar kerja peserta didik apakah sudah dapat digunakan peserta

didik untuk melihat kekurangan – kekurangannya.

g) Merevisi kembali lembar kerja peserta didik. (Poppy, 2009)

LKPD yang baik haruslah memenuhi berbagai persyaratan. Beberapa persyaratan

tersebut meliputi syarat didaktik, syarat konstruksi dan syarat teknis.

a) Syarat didaktik

Syarat dikdaktik mengatur tentang penggunaan LKPD yang bersifat universal,

dapat digunakan dengan baik untuk peserta didik yang lamban atau yang pandai.

LKPD lebih menekankan konsep, dan yang terpenting dalam LKPD ada variasi
31

stimulus melalui berbagi media dan kegiatan peserta didik . LKPD diharapkan

mengutamakan pada pengembangan kemampuan komunikasi sosial, emosional,

moral dan estetika. Pengalaman yang dialami peserta didik ditentukan oleh tujuan

pengembangan pribadi peserta didik . Sebagai salah satu bentuk sarana ber-

langsungnya proses belajar-mengajar haruslah memenuhi persyaratan didaktik,

artinya suatu LKPD harus mengikuti asas belajar-mengajar yang efektif,

yaitu:mmmm

(1) Memperhatikan adanya perbedaan individual, sehingga LKPD yang baik itu

adalah yang dapat digunakan baik oleh peserta didik yang lamban, yang sedang

maupun yang pandai;

(2) Pada proses untuk menemukan konsep-konsep sehingga LKPD dapat

berfungsi sebagai petunjuk jalan bagi peserta didik untuk mencari tahu;

(3) Memiliki variasi stimulus melalui berbagai media dan kegiatan peserta didik;

(4) Dapat mengembangkan kemampuan komunikasi sosial, emosional, moral,

dan estetika pada diri peserta didik;

(5) Pengalaman belajarnya ditentukan oleh tujuan pengembangan pribadi peserta

didik (intelektual,emosional dan sebagainya), bukan ditentukan oleh materi bahan

pelajaran.

b) Syarat konstruksi

Syarat konstruksi adalah syarat-syarat yang berkenaan dengan penggunaan

bahasa, susunan kalimat, kosa kata, tingkat kesukaran, dan kejelasan yang pada

hakikatnya haruslah tepat guna dalam arti dapat dimengerti oleh peserta didik,

seperti:

(1) Menggunakan bahasa yang sesuai dengan tingkat kedewasaan peserta didik;
32

(2) Menggunakan struktur kalimat yang jelas;

(3) Memiliki taat urutan pelajaran yang sesuai dengan tingkat kemampuan

peserta didik;

(4) Menghindari pertanyaan yang terlalu terbuka;

(5) Tidak mengacu pada buku sumber yang diluar kemampuan keterbacaan

peserta didik;

(6) Menyediakan ruangan untuk peserta didik dalam menulis di LKPD;

(7) Menggunakan kalimat yang sederhana dan pendek;

(8) Lebih banyak menggunakan ilustrasi daripada katakata, sehingga akan

mempermudah peserta didik dalam menangkap apa yang diisyaratkan LKPD;

(9) Memiliki tujuan belajar yang jelas serta manfaat dari pelajaran itu sebagai

sumber motivasi;

(10) Mempunyai identitas untuk memudahkan administrasinya.

c) Syarat teknis.

(1) Tulisan: (a) Menggunakan huruf cetak dan tidak menggunakan huruf latin atau

romawi; (b) Menggunakan huruf tebal yang agak besar, bukan huruf biasa yang

diberi garis bawah; (c) Menggunakan tidak lebih dari 10 kata dalam satu baris; (d)

Menggunakan bingkai untuk membedakan kalimat perintah dengan jawaban

peserta didik; dan (e) Mengusahakan agar perbandingan besarnya huruf dengan

besarnya gambar serasi.

(2) Gambar: Gambar yang baik untuk LKPD adalah yang dapat menyampaikan

pesan/isi dari gambar tersebut secara efektif kepada penguna LKPD. Yang lebih

penting adalah kejelasan isi atau pesan dari gambar itu secara keseluruhan.
33

(3) Penampilan: Penampilan adalah hal yang sangat penting dalam sebuah

LKPD. Apabila suatu LKPD ditampilkan dengan penuh kata-kata, kemudian ada

sederetan pertanyaan yang harus dijawab oleh peserta didik, hal ini akan

menimbulkan kesan jenuh sehingga membosankan atau tidak menarik. Apabila

ditampilkan dengan gambarnya saja, itu tidak mungkin karena pesannya atau

isinya tidak akan sampai. Jadi yang baik adalah LKPD yang memiliki kombinasi

antara gambar dan tulisan. (Darmojo dan Kaligis: 1994).

Hasil penelitian Fitriana, dkk (2015) menunjukkan bahwa bahan ajar berupa

LKPD memiliki efek potensial untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis

peserta didik. Fannie, dkk (2014) menunjukkan bahwa LKPD dapat membantu

peserta didik untuk mencapai standar ketuntasan belajar. Hasil penelitian Dewi

(2013) menemukan bahwa LKPD adalah salah satu bahan ajar yang dapat

digunakan untuk meningkatan partisipasi dan keaktifan pesertaa didik dalam

proses pembelajaran. Selanjutnya, Pariska, dkk (2012) menunjukkan bahwa pada

umumnya karakteristikyang terdapat dalam LKPD berbasis masalah efektif

dilakukan dalam pembelajaran.

Secara garis besar, hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa LKPD dengan

berbagai pendekatan yang valid, praktis dan efektif dapat dijadikan sebagai

pedoman bagi guru dan calon guru dalam proses pembelajaran pada berbagai

materi pelajaran.

E. Pendidikan Matematika Realistik

“Mathematics must be connected to reality” dan “mathematics as human activity”

merupakan filosofi dasar dari pendidikan matematika realistik yaitu sebuah teori
34

belajar mengajar dalam pendidikan matematika yang pertama kali dikenalkan dan

dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal.

Dalam filosofinya bahwa matematika haruslah dekat, terkoneksi dan harus relevan

dengan situasi peserta didik dengan kata lain bahwa sifat realistik harus

terintegrasi dalam pembelajaran matematika. Namun prinsip dasar yang harus

dipahami mengenai kerealistikan matematika adalah bukan hanya terbatas pada

istilah “real word” yang secara umum diartikan sebagai dunia nyata. Pada

dasarnya penggunaan kata realistik berasal dari bahasa Belanda yaitu “zich

realiseren” yang berarti untuk dibayangkan atau to imagine.

Panhuizen (dalam Wijaya, 2012: 20) mengemukakan bahwa penggunaan kata

realistik tidak sekedar menunjukkan adanya suatu koneksi dengan dunia nyata

tetapi lebih mengacu pada fokus Pendidikan Matematika Realistik dalam

menempatkan penekanan penggunaan suatu situasi yang dapat dibayangkan

(imagineable) oleh peserta didik.

Menghadirkan situasi yang dapat dibayangkan oleh peserta didik pada saat

pembelajaran matematika merupakan salah satu langkah krusial dalam

menciptakan kebermaknaan matematika. Lebih lanjut, Freudental (dalam Wijaya,

2012: 20) menyatakan bahwa proses belajar peserta didik hanya akan terjadi jika

pengetahuan (knowledge) yang dipelajari bermakna bagi peserta didik. Proses

pembelajaran yang dilaksanakan dalam suatu konteks akan menjadi bermakna

bagi peserta didik. Senada dengan hal ini, Johnson (2014) mengemukakan bahwa

ketika murid dapat mengaitkan isi mata pelajaran akademik dengan pengalaman

mereka sendiri, mereka menemukan makna, dan makna memberi mereka alasan
35

untuk belajar. Webster’s New World Dictionary (dalam Johnson, 2014: 35)

mengartikan makna sebagai arti penting atau maksud dari sesuatu.

Pandangan para ahli mengenai pentingnya menghadirkan kebermaknan dalam

pembelajaran adalah relavan dengan kebutuhan alamiah syaraf manusia. Otak

berusaha memberi arti bagi suatu informasi baru dengan cara menghubungkannya

dengan pengetahuan dan keterampilan yang sudah ada, otak berusaha

menghubungkan tugas-tugas baru dengan tugas-tugas yang telah ada (Johnson,

2014: 36).

Beberapa pandangan para ahli ini menunjukkan bahwa menghadirkan masalah

realistik yang biasa juga disebut permasalahn kontekstual dalam pembelajaran

matematika adalah aktivitas penting yang membantu peserta didik menemukan

makna dalam pembelajaran matematika. Permasalahan realistik seperti yang telah

disinggung sebelumnya adalah bukan hanya melibatkan masalah nyata yang dapat

ditemukan langsung dalam keseharian peserta didik melainkan juga menghadirkan

hal-hal yang dapat dengan mudah dibayangkan dan mudah diakses oleh pikiran

peserta didik. Permainan, alat peraga, cerita atau bahkan konsep matematika

formal adalah beberapa hal yang dapat berperan sebagai masalah realistik dalam

matematika. Lebih lanjut, Wijaya (2012: 21) dalam gagasannya menyatakan

bahwa penggunaan masalah realistik dalam Pendidikan Matematika Realistik

memiliki posisi yang jauh berbeda dengan penggunaan masalah realistik dalam

pendekatan mekanistik. Dalam Pendidikan Matematika Realistik, permasalahan

realistik digunakan sebagai fondasi dalam membangun konsep matematika atau

biasa juga disebut sebagai sumber untuk pembelajaran. Sedangkan dalam


36

pendekatan mekanistik, permasalahan realistik ditempatkan sebagai bentuk

aplikasi suatu konsep matematika sehingga sering juga disebut sebagai

kesimpulan dalam proses pembelajaran.

Lebih lanjut, permasalahan realistik yang dikenal juga sebagai konteks, memiliki

fungsi dan peranan sebagai berikut.

1. Pembentukan konsep (concept forming)

Fungsi paling fundamental dari konteks adalah memberikan siswa suatu akses

yang alami dan motivatif menuju konsep matematika. Konteks harus dimuat

dalam suatu kemasan yang bermakna bagi siswa sehingga konsep matematika

tersebut dapat dibangun atau ditemukan kembali secara alami oleh siswa.

2. Pengembangan model (model forming)

Konteks berperan dalam mengembangkan kemampuan siswa untuk

menemukan berbagai strategi untuk menemukan atau membangun konsep

matematika. Strategi tersebut bisa berupa rangkaian model yang berfungsi

sebagai alat untuk menerjemahkan konteks dan juga alat untuk mendukung

proses berpikir.

3. Penerapan (applicability)

Pada posisi ini peran konteks bukan lagu untuk mendukung penemuan dan

pengembangan konsep matematika tetapi untuk menunjukkan bagaimana suatu

konsep matematika ada di realita dan digunakan dalam aktivitas keseharian.

4. Melatih kemampuan khusus (specific abilities) dalam suatu situasi terapan

berupa kemampuan melakukan identifikasi, generalisasi, dan pemodelan.

Treffers dan Grofee (dalam Wijaya, 2012: 32)


37

Sehubungan dengan keempat fungsi dan peranan keterlibatan konteks dalam

pembelajaran matematika, maka adalah suatu keharusan bagi guru matematika

untuk dapat meningkatkan kapasitas dalam mengembangkan konteks pada suatu

konsep matematika. Adapun beberapa hal yang dapat dilakukakan dalam

mengembangkan konteks adalah sebagai berikut.

1. Konteks disusun seatraktif mungkin dan dapat mengoptimalkan minat siswa

untuk belajar matematika. Pemilihan konteks dapat disusaikan dengan

tingkatan peserta didik. Menghadirkan aneka permainan dan cerita-cerita fiktif

merupakan alternatif konteks yang bisa disajikan untuk peserta didik SD

tingkat awal. Sedangkan untuk peserta didik SD tingkat atas dan peserta didik

SMP mungkin menghadirkan permasalahan-permasalahan aktual kekinian

yang dekat dengan aktivitas keseharian mereka adalah alternatif yang bisa

dipilih.

2. Guru perlu memikirkan pemilihan situasi yang relevan untuk suatu konsep

matematika yang sering dijumpai. Selanjutnya situasi yang telah ditetapkan ini

digunakan untuk membangun konsep yang bersangkutan.

3. Menghindari isu-isu yang besifat sensitif yaitu hal-hal yang berkaitan dengan

kehidupan pribadi peserta didik.

4. Memperhatikan pengetahuan awal yang dimiliki peserta didik dan menghindari

keberpihakan terhadap suatu gender. (Wijaya, 2012: 39—40)

Selain prinsip pelibatan masalah realistik pada pembelajarannya, prinsip

selanjutnya dari PMR ialah matematika haruslah terintegrasi sebagai aktivitas


38

manusia sehingga dalam pembelajaran matematika, peserta didik berhak diberikan

akses untuk menemukan kembali ide dan konsep dasar.

Lebih lanjut, Tteffer (dalam Wijaya, 2012: 21—23) menguraikan kedua prinsip

PMR dalam 5 karakteristik berikut.

1) penggunaan konteks sebagai titik awal pembelajaran matematika

Pembelajaran matematika dimulai dari masalah-masalah yang nyata (real)

yang dekat dengan siswa atau sering dijumpai siswa sehari-hari. Dari masalah

nyata tersebut kemudian peserta didik menyatakan ke dalam bahasa mate-

matika, selanjutnya siswa menyelesaikan masalah itu dengan alat-alat yang ada

dalam matematika, kemudian peserta didik membahasakan lagi jawaban yang

diperoleh ke dalam bahasa sehari-hari. Dengan langkah-langkah yang

ditempuh tersebut diharapkan peserta didik akan dapat melihat kegunaan

matematika sebagai alat bantu untuk menyelesaikan masalah-masalah

kontekstual. Dalam belajar, peserta didik akan lebih mudah memahami konsep

jika ia tahu manfaat atau kegunaannya. Karena sesuatu yang bermakna akan

lebih mudah dipahami peserta didik dari pada yang tidak bermakna. Dalam hal

ini yang dimaksud bermakna adalah informasi yang baru saja diterima

mempunya kaitan dengan informasi yang sudah diketahui peserta didik

sebelumnya. Dengan penekanan pada aspek aplikasi, pembelajaran matematika

akan lebih bermakna.

2) penggunaan model untuk matematisasi progresif

Model digunakan dalam melakukan matematisasi secara progresif.

Penggunaan model berfungsi sebagai jembatan dari pengetahuan matematika

tingkat konkrit menuju pengetahuan matematika tingkat formal.


39

3) pemanfaatan hasil konstruksi peserta didik

Peserta didik memiliki kebebasan untuk mengembangkan strategi pemecahan

masalah sehingga diharapkan akan muncul strategi yang bervariasi. Hasil kerja

dan konstruksi peserta didik selanjutnya digunakan untuk pengembangan

konsep matematika. Dalam hal ini, guru berperan sebagai fasilitator dan

motivator, guru membimbing peserta didik untuk mengkontruksi sendiri

pengetahuannya.

4) interaktivitas

Proses belajar seseorang bukan hanya suatu proses individu melainkan juga

secara bersamaan merupakan suatu proses sosial. Proses belajar peserta didik

akan menjadi lebih singkat dan bermakna ketika peserta didik saling meng-

komunikasikan hasil kerja dan gagasan mereka. Dalam proses pembelajaran

diharapkan terjadi interaksi antara guru dengan peserta didik. Selain itu

diharapkan terjadi pula interaksi antara peserta didik dengan peserta didik yaitu

dalam mengkontruksi pengetahuannya mereka saling berdisksusi, mengajukan

argumentasi dalam menyelasaikan masalah. Jika peserta didik menemui

kesulitan peserta didik menanyakan kepada guru sehingga terjadi interaksi

antara peserta didik dengan guru.

5) keterkaitan

Pendidikan Matematika Realistik menempatkan keterkaitan antar konsep

matematika sebagai hal yang harus dipertimbangkan dalam proses

pembelajaran. Melalui keterkaitan, satu pembelajaran matematika diharapkan

bisa mengenalkan dan membangun lebih dari satu konsep matematika secara

bersamaan. Dalam hal ini pokok bahasan dalam materi pelajaran tidak berdiri
40

sendiri tetapi terintegrasi dengan yang lainnya, misalnya mengkaitkan antar

penjumlahan dengan perkalian, perkalian dengan pengukuran, dsb.

Selaras dengan lima karakteristik PMR, Aisyah (2007) menguraikan teknis atau

prosedur pelaksanaan PMR sebagai berikut.

1) Pengenalan konsep matematika baru dilakukan dengan memberikan kepada

peserta didik realistic contextual problem (masalah kontekstual yang realistik).

2) Dengan bantuan guru atau bantuan temannya, peserta didik dipersilahkan

memecahkan masalah kontekstual yang realistik tersebut. Dengan demikian,

diharapkan peserta didik re-invent (menemukan kembali) konsep atau prinsip-

prinsip matematis atau menemukan model.

3) Setelah menemukan penyelesaian, peserta didik diarahkan untuk men-

diskusikan penyelesaian mereka (yang biasanya ada yang berbeda, baik

jalannya maupun hasilnya).

4) Peserta didik dipersilahkan untuk merefleksi (memikirkan kembali) apa yang

telah dikerjakan dan apa yang telah dihasilkan, baik hasil kerja mandiri

maupun hasil diskusi.

5) Peserta didik juga dibantu agar mengaitkan beberapa materi pelajaran

matematika yang ada hubungannya.

6) Peserta didik diajak mengembangkan atau memperluas, atau meningkatkan,

hasil-hasil dari pekerjaannya, agar menemukan konsep atau prinsip

matematika yang lebih rumit.

7) Menekankan matematika sebagai kegiatan bukan sebagai produk jadi, atau

hasil siap pakai. Untuk mempelajari matematika sebagai kegiatan, cara yang

cocok adalah learning by doing (belajar dengan mengerjakan matematika)


41

Anisa (2014) menyatakan peningkatan kemampuan pemecahan masalah

matematik dan kemampuan komunikasi matematik peserta didik melalui

pembelajaran pendidikan matematika realistik lebih baik dibandingkan

peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik dan kemampuan

komunikasi matematik melalui pembelajaran langsung. Selanjutnya, hasil

penelitian Susanti (2017) menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah

matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PMR lebih

baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

F. Definisi Operasional

Agar penelitian ini terfokus, maka permasalahan dalam penelitian ini dibatasi

pada kemampuan pemecahan masalah matematis, self-efficacy, Pendidikan

Matematika Realistik (PMR), Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD), dan

efektivitas. Adapun definisi operasional dari setiap poin tersebut, diuraikan

sebagai berikut.

(1) Kemampuan pemecahan masalah matematis adalah kemampuan atau suatu

keterampilan pada diri peserta didik untuk mencari jalan keluar terhadap

permasalahan baru (permasalahan non rutin) yang memerlukan kreativitas dan

strategi dalam menyelesaikannya.

(2) self-efficacy adalah keyakian atau kepercayaan individu terhadap kemampuan

yang dimiliki nya untuk memotivasi dirinya ketika menyelesaikan tugas,

bertindak, menghadapi hambatan dan mencapai tujuan dalam hidup.

(3) Pendidikan Matematika Realistik (PMR) adalah suatu pendekatan

pembelajaran matematika yang dilandasi oleh pandangan Hans Freudenthal,


42

yaitu menempatkan matematika sebagai suatu bentuk aktivitas manusia

(mathematics as human activity).

(4) Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) adalah panduan peserta didik digunakan

untuk melakukan kegiatan penyelidikan dan pemecahan masalah. Lembar

kegiatan biasanya berupa petunjuk, langkah-langkah untuk menyelesaikan

suatu tugas. Keuntungan penggunaan LKPD untuk memudahkan pendidik

dalam melaksanakan pembelajaran. Bagi peserta didik berguna untuk

menstimulasi peserta didik agar belajar mandiri dan belajar memahami serta

menjalankan suatu tugas tertulis.

(5) Efektivitas dapat diartikan sebagai ukuran keberhasilan dalam pembuatan

suatu produk pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang

diharapkan. Pada penelitian ini, LKPD dikatagorikan efektif jika Lebih dari

atau sama dengan 60% peserta didik yang menggunakan LKPD berbasis PMR

matematika mencapai kriteria ketuntasan minimum (KKM) untuk tes

kemampuan pemecahan masalah matematis dan jika peserta didik yang

menggunakan LKPD matematika berbasis PMR memiliki kecenderungan self-

efficacy yang positif. Instrumen yang digunakan berupa tes kemampuan

pemecahan masalah matematis dan angket self-efficacy.

G. Kerangka Pikir

Belajar untuk memecahkan masalah dengan memilih strategi kreatif merupakan

salah satu tujuan utama dalam pembelajaran matematika. Kemampuan

pemecahan masalah matematis adalah suatu keterampilan pada diri peserta didik
43

agar mampu menggunakan kegiatan matematika untuk memecahkan setiap

masalah.

Aktivitas pemecahan masalah matematis meliputi kegiatan mengidentifikasikan

masalah, menyusun strategi yang dapat digunakan, menerapkan strategi, dan

melakukan pemeriksaan kembali terhadap ketepatan strategi-strategi tersebut

dalam pemecahan masalah yang diajukan. Melatih peserta didik dengan

pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika bukan hanya sekedar

mengharapkan peserta didik dapat menyelesaikan soal atau masalah yang

diberikan, namun diharapkan kebiasaaan dalam melakukan proses pemecahan

masalah membuat peserta didik mampu mengatasi kompleksitas kehidupan.

Rasa percaya diri peserta didik akan kemampuannya dalam menghadapi masalah-

masalah yang ditemui adalah komponen yang juga perlu dihadirkan dalam upaya

mengembangkan kemampuan pemecahan masalah peserta didik. Self-efficacy

adalah keyakinan dan kepercayaan individu terhadap kemampuan dirinya untuk

mengorganisasi, melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, menghasilkan

sesuatu dan mengimplementasikan tindakan untuk menampilkan kecakapan

tertentu. Self-efficacy mempengaruhi bagaimana individu berpikir, merasa,

memotivasi diri, dan bertindak. Perasaan positif yang tepat tentang self-efficacy

dapat mempertinggi prestasi, meyakini kemampuan, mengembangkan motivasi

internal, dan memungkinkan peserta didik untuk meraih tujuan yang menantang.

Self-efficacy terkait dengan penilaian seseorang akan kemampuan dirinya dalam

menyelesaikan suatu tugas tertentu. Perasaan negatif tentang self-efficacy dapat

menyebabkan peserta didik menghindari tantangan, melakukan sesuatu dengan


44

lemah, fokus pada hambatan, dan mempersiapkan diri untuk outcomes yang

kurang baik. Dalam memecahkan masalah matematika yang relatif dianggap sulit,

individu yang mempunyai keraguan tentang kemampuannya akan mengurangi

usahanya bahkan cenderung menyerah. Individu yang mempunyai self-efficacy

tinggi menganggap kegagalan sebagai kurangnya usaha, sedangkan individu yang

memiliki self-efficacy rendah menganggap kegagalan berasal dari kurangnya

kemampuan.

Di lain pihak, kemampuan peserta didik dalam memecahkan masalah-masalah

yang diajukan dalam pembelajaran akan sangat berpotensi memberikan

pengalaman keberhasilan pada peserta didik baik secara individu maupun

kelompok. Selain itu, dalam proses latihan pemecahan masalah, interaksi yang

terjadi antara peserta didik maupun guru juga berpotensi untuk menciptakan

apresiasi dan motivasi melalui dukungan verbal terhadap pencapaian pada tahap-

tahap pemecahan masalah yang sedang dieksplorasi. Artinya, proses latihan pada

pemecahan masalah juga berpeluang untuk dapat berkontribusi pada proses

pengembangan self-efficacy peserta didik.

Pada awal pembahasan telah dibahas bahwa kemampuan pemecahan masalah dan

self-efficacy bukanlah kemampuan yang dapat berkembang secara instan

melainkan diperlukan upaya yang berkesinambungan. Salah satu upaya untuk

mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan self-efficacy adalah

dengan memilih pendekatan pembelajaran yang relevan.

Selanjutnya berdasarkan prinsip dasar dan karakteristik yang terdapat dalam

Pendidikan Matematika Realistik, maka dapat diambil benang merah bahwa


45

Pendidikan Matematika Realisitik memiliki potensi yang sangat besar untuk dapat

berperan dalam menumbuhkan kemampuan pemecahan masalah dan self-efficacy

peserta didik. Beberapa karakteristik pada Pendidikan Matematika Realistik yang

berpotensi untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan self-

efficacy peserta didik diantaranya adalah penggunaan konteks sebagai starting

point untuk mengenalkan dan menggunakan suatu konsep matematika. Hal dasar

yang perlu menjadi perhatian dalam pembelajaran matematika adalah bagaimana

matematika tidak dipandang sebagai suatu produk siap pakai, melainkan suatu

target yang harus dibangun.

Penggunaan konteks pada awal pengenalan suatu konsep matematika memiliki

pengaruh signifikan pada pengembangan kemampuan pemecahan masalah. Hal

ini dikarenakan dalam proses pemilihan strategi penyelesaian masalah kontekstual

akan sangat dipengaruhi oleh pemahaman atau interpretasi terhadap konteks

situasi yang dihadapi serta pengetahuan awal yang telah dimiliki peserta didik.

Kegiatan matematika cenderung merupakan aktivitas berpikir. Aktivitas berpikir

dapat dihadirkan melalui aktivitas pemecahan masalah (problem solving) pada

konteks yang disajikan. Konteks yang disajikan bisa berupa permasalahan tidak

rutin yang membutuhkan pikiran kreatif dan produktif serta cara penyelesaian

yang kompleks. Dalam pemecahan masalah non rutin, peserta didik akan

menggunakan cara-cara atau prosedur penyelesaian yang variatif dan memperoleh

kebebasan untuk bereksplorasi melalui pemodelan dan matematisasi. Hal ini

mengindikasikan bahwa karakteristik Pendidikan Matematika Realistik


46

memberikan ruang kepada peserta didik untuk berlatih mengidentifikasikan

masalah dan mengupayakan strategi-strategi pemecahannya.

Berikutnya, interaksi (interactivity) merupakan salah satu dari prinsip dasar

Pendidikan Matematika Realistik. Interaksi sosial pada proses pembelajaran

dalam Pendidikan Matematika Realistik dapat dimulai pada saat aktivitas saling

menukar ide. Pada saat bertukar gagasan/ide, selain belajar untuk membangun

karakter demokratis dan kemampuan berkomunikasi, peserta didik juga akan

saling memberikan apresiasi.

Apresiasi yang diberikan oleh teman diskusi dan juga guru tentu saja akan

membangun rasa percaya diri peserta didik. Dengan kata lain, apresiasi yang

saling diberikan pada saat aktivitas bertukar gagasan berpotensi membantu

peserta didik untuk dapat melihat dirinya sendiri sebagai seseorang yang memiliki

kemampuan dan bermakna serta sebagai pribadi yang bernilai.

Latihan atau pembiasaan yang berkesinambungan adalah hal yang sangat

substansial dalam usaha menumbuhkembangkan kemampuan pemecahan masalah

peserta didik. Hal ini mengindikasikan bahwa rancangan pembelajaran dan juga

komponen-komponen penting dalam pembelajaran salah satunya adalah bahan

ajar haruslah mengakomodasi dan memfasilitasi peserta didik untuk dapat belajar

mengekplorasi permasalahan yang dikenalkan pada awal pembelajaran. Lembar

Kerja Peserta Didik (LKPD) merupakan salah satu sarana yang dapat

mengintegrasikan skenario pembelajaran yang relevan dengan gagasan-gagasan

yang telah dipaparkan. LKPD sangat berpotensi untuk menstimulasi keterlibatan

peserta didik dalam aktivitas menemukan konsep dari suatu kompetensi maupun
47

dalam keterlibatan memecahkan masalah-masalah yang disusun dalam bentuk

latihan.

Beberapa tujuan penggunaan LKPD, diantaranya memberi pengetahuan, sikap dan

keterampilan yang perlu dimiliki oleh peserta didik, mengecek tingkat

pemahaman peserta didik terhadap materi yang telah disajikan, mengembangkan

dan menerapkan materi pelajaran yang sulit disampaikan secara lisan, dan

membantu peserta didik dalam memperoleh catatan materi yang dipelajari melalui

kegiatan pembelajaran. Selain hal ini, memberikan pengalaman konkret bagi

peserta didik, memberikan variasi belajar, membangkitkan minat dan motivasi

peserta didik, memanfaatkan waktu secara efektif dan efesien adalah beberapa hal

dari tujuan yang ingin dicapai dari penggunaan LKPD.

LKPD dapat membantu dan mempermudah kegiatan belajar mengajar sehingga

akan terbentuk interaksi yang efektif antara peserta didik dengan pendidik,

sehingga dapat meningkatkan aktifitas peserta didik dalam peningkatan

kemampuan pemecahan masalah dan juga self-efficacy peserta didik.

H. Hipotesis

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Lebih dari atau sama dengan 60% peserta didik yang menggunakan LKPD

berbasis PMR matematika mencapai kriteria ketuntasan minimum (KKM)

untuk tes kemampuan pemecahan masalah matematis.

2. Peserta didik yang menggunakan LKPD matematika berbasis PMR memiliki

kecenderungan self-efficacy yang positif.


III. METODE PENELITIAN

A. Subjek Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMP IT Ar Raihan Bandarlampung pada semester

ganjil tahun pelajaran 2018/2019. Subjek dalam penelitian ini dibagi dalam

beberapa tahap berikut:

1. Subjek Studi Pendahuluan

Pada studi pendahuluan dilakukan beberapa langkah sebagai analisis kebutuhan

LKPD, yaitu observasi dan wawancara. Subjek pada pada saat observasi adalah

peserta didik kelas VIII A dan VIII B. Subjek pada saat wawancara adalah satu

orang guru yang mengajar matematika di kelas VIII.

2. Subjek Validasi LKPD

Subjek validasi LKPD dalam penelitian ini adalah dua orang ahli. Ahli pertama

yaitu Agung Putra Wijaya, M.Pd., yang merupakan dosen pada program studi

pendidikan matematika FKIP Universitas Lampung. Ahli kedua yaitu Dila Saktika

Negara, M.Pd., yang merupakan guru matematika SMP IT Ar Raihan

Bandarlampung.

3. Subjek Uji Coba Lapangan

Subjek pada tahap ini adalah lima orang peserta didik kelas VIII yang belum

menempuh materi sistem persamaan linear dua variabel tetapi telah mendapatkan
49

materi persamaan linear satu variabel. Lima orang siswa tersebut adalah siswa

kelas VIII B, yaitu Cinta Putri Aulia Nugroho, Kalycha Tivona, Rameza Elya,

Raisya Putri Wijaya, dan Nasuha Haris Putri. Kelima orang tersebut berturut-turut

memiliki kemampuan matematis tinggi, sedang, dan rendah.

4. Subjek Uji Lapangan

Subjek pada tahap ini adalah seluruh siswa pada kelas VIII A. Terdapat 23 orang

peserta didik perempuan dengan kemampuan matematis yang heterogen di kelas

tersebut.

B. Jenis dan Prosedur Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan (research and

development) dengan menggunakan desain studi kasus bentuk tunggal (one shot

case study) yang digambarkan dalam tabel 3.1 berikut.

Tabel 3.1 Desain One Shot Case Study


Perlakuan Postes

X O

Langkah-langkah penelitian ini mengikuti metode Borg & Gall dan mengacu

pada prosedur Sanjaya (2013:133) dengan beberapa modifikasi. Langkah-langkah

penelitian pengembangan ini dijelaskan sebagai berikut:

1. Studi Pendahuluan

Tahap awal pada studi pendahuluan adalah penulis melakukan observasi terhadap

proses pembelajaran di kelas dan bahan ajar yang digunakan guru di kelas VIII.

Pada proses observasi kegiatan pembelajaran di kelas, penulis mengamati metode


50

maupun pendekatan yang digunakan oleh guru yang mengajar dan penulis juga

mengamati respon serta partisipasi peserta didik pada kegiatan pembelajaran dan

respon peserta didik terhadap bahan ajar yang digunakan selama kegiatan

pembelajaran. Sementara itu, pada proses observasi bahan ajar, penulis

mengumpulkan dan mempelajari jenis bahan ajar yang digunakan selama

pembelajaran matematika oleh guru yang bersangkutan dilanjutkan dengan

menganalisis isi dan beberapa hal yang terkait dengan bahan ajar sebagai acuan

penyusunan dan pengembangan LKPD.

Setelah melakukan observasi, peneliti melakukan wawancara dengan guru terkait

hasil observasi agar hasil pengamatan yang diperoleh lebih akurat dan

memperjelas beberapa hal mengenai kebutuhan LKPD dalam pembelajaran.

Tahap selanjutnya, peneliti melakukan analisis standar kompetensi dan

kompetensi dasar matematika, silabus matematika kelas VIII, serta indikator

kemampuan pemecahan masalah matematis sebagai bahan pertimbangan

penyusunan materi dan penyusunan evaluasi yang akan diberikan pada post test.

2. Penyusunan LKPD

Peneliti menyusun rancangan LKPD sesuai dengan analisis kebutuhan yang telah

dilakukan pada tahap sebelumnya. LKPD yang dibuat terdiri dari: (1) Bagian

Pembuka, terdiri dari pengenalan konsep dengan meyertakan permasalah realistik

yang relevan ,keywords, peta konsep/ mind map; (2) Bagian Isi, terdiri dari

identitas peserta didik, petunjuk penggunaan LKPD, tujuan pembelajaran, dan

kegiatan pembelajaran disusun sesuai karakteristik PMR ; (3) Bagian Penutup,

terdiri dari daftar rujukan yang digunakan untuk menyusun LKPD.


51

Selanjutnya menyusun instrumen penilaian LKPD berupa skala validasi LKPD

kepada ahli materi dan ahli media.

3. Validasi LKPD

LKPD yang telah disusun kemudian direvisi oleh ahli materi dan ahli media yang

berkompeten di bidangnya melalui skala validasi LKPD. Validasi ini dilakukan

oleh dua orang validator. Validasi materi bertujuan untuk mengetahui kebenaran

isi LKPD meliputi kebenaran konsep matematika dan proses pemecahan masalah

matematis. Sedangkan validasi media dilakukan untuk melihat kesesuaian format,

kesesuaian penyusunan kalimat yang digunakan dalam LKPD dengan tingkat

keterbacaan peserta didik.

4. Revisi Hasil Validasi LKPD

LKPD yang telah disusun kemudian direvisi oleh ahli materi dan ahli media.

Analisis skala penilaian LKPD dilakukan untuk melihat apakah LKPD memiliki

kriteria baik atau kurang baik. Revisi dilakukan secara terus menerus dan

dikonsultasikan kembali kepada kedua ahli tersebut sampai mendapatkan hasil

yang diinginkan dan cukup layak untuk digunakan.

5. Uji Coba Lapangan

LKPD yang telah direvisi pada tahap validasi kemudian diujicobakan kepada lima

orang peserta didik dengan kemampuan matematis tinggi, sedang, dan rendah.

Kelima peserta didik tersebut adalah peserta didik yang belum menempuh materi

sistem persamaan linear dua variabel tetapi sudah menempuh materi persamaan

linear satu variabel sebagai materi prasyarat. Pada akhir kegiatan, mereka

diberikan lembaran skala untuk mengukur keterbacaan, ketertarikan peserta didik,


52

dan tanggapannya terhadap LKPD berbasis PMR. Hal ini dilakukan agar LKPD

siap diujicobakan dalam skala yang lebih besar.

6. Revisi Hasil Uji Coba Lapangan

Setelah data diperoleh, revisi kembali dilakukan sesuai hasil uji coba. Analisis

skala yang diberikan kepada peserta didik dilakukan untuk melihat apakah LKPD

sudah memiliki kriteria baik atau kurang baik. Revisi dilakukan kembali sampai

seluruh saran dan tanggapan peserta didik selama tahap uji coba selesai

ditindaklanjuti.

7. Uji Lapangan

Uji pelaksanaan lapangan LKPD ini dilakukan untuk mengetahui efektifitas

LKPD terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis dan self-efficacy

peserta didik. Uji lapangan ini dilakukan pada kelas VIII A di SMP IT Ar Raihan

Bandarlampung. Setelah akhir pembelajaran diberikan tes untuk menguji

efektifitas LKPD terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis dan self-

efficacy peserta didik.

C. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari dua jenis instrumen,

yaitu nontes dan tes. Instrumen - instrumen ini diberikan sesuai dengan subjek

pada penelitian pengembangan.

1. Instrumen Studi Pendahuluan

Instrumen yang digunakan saat studi pendahuluan berupa lembar observasi dan

lembar wawancara. Lembar observasi digunakan saat melakukan pengamatan


53

mengenai kebutuhan LKPD dalam proses pembelajaran. Lembar wawancara

digunakan untuk pedoman dalam melakukan wawancara.

2. Instrumen Validasi LKPD

Instrumen dalam validasi LKPD diserahkan kepada dua orang ahli. Instrumen

yang diberikan berupa angket dengan pernyataan berskala guttman dengan dua

pilihan jawaban yaitu Ya (Y) dan Tidak (T) serta dilengkapi dengan komentar dan

saran dari para ahli. Kriteria yang menjadi penilaian validasi materi adalah: (1)

Aspek kelayakan isi, meliputi kesesuaian materi dengan SK dan KD, keakuratan

materi, keberadaan LKPD dalam mendorong keinginan siswa; (2) Aspek

kelayakan penyajian, meliputi teknik penyajian, kelengkapan penyajian, penyajian

pembelajaran, koherensi dan keruntutan proses berpikir; serta (3) Aspek penilaian

strategi PMR. Tujuan pemberian skala ini adalah menilai kesesuaian isi LKPD

dengan strategi PMR dan kemampuan pemecahan masalah matematis.

Kriteria validasi media adalah: (1) Aspek kelayakan kegrafikan, meliputi ukuran

LKPD, desain sampul LKPD, desain isi LKPD; serta (2) Aspek kelayakan bahasa,

meliputi kelugasan, komunikatif, dialogis dan interaktif, kesesuaian dengan

perkembangan peserta didik, kesesuaian dengan kaidah bahasa, penggunaan

istilah dan simbol. Pemberian skala ini bertujuan untuk menilai tampilan LKPD

dan kesesuaian antara desain yang digunakan dan isi LKPD.

3. Instrumen Uji Coba Lapangan

Instrumen ini diberikan kepada peserta didik yang menjadi subjek uji coba LKPD

untuk mengetahui bagaimana keterbacaan, ketertarikan peserta didik, dan

tanggapannya terhadap LKPD. Instrumen yang diberikan berupa pernyataan skala


54

likert dengan empat pilihan jawaban yaitu Sangat Baik (SB), Baik (B), Kurang

(K), Sangat Kurang (K).

4. Instrumen Uji Lapangan

Terdapat instrumen tes dan nontes yang digunakan dalam penelitian ini. Instrumen

tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a) Instrumen Tes

Instrumen ini berupa tes kemampuan pemecahan masalah matematis. Tes ini

diberikan secara individual dan bertujuan untuk mengukur kemampuan

pemecahan matematis. Penilaian hasil tes dilakukan sesuai dengan pedoman

penilaian pada Tabel 3.1.

Tabel 3.2 Pedoman Penilaian Kemampuan Pemecahan Masalah


Matematis
No Tahap Pengerjaan Skor
1. Memahami masalah
a) Salah menginterpertasikan/tidak memahami soal/tidak ada 0
jawaban
b) Interpertasi soal kurang tepat atau salah menginterpertasikan 1
sebagian soal/mengabaikan kondisi soal
c) Memahami soal dengan baik 2
2. Merencanakan strategi penyelesaian
a) Tidak ada rencana strategi penyelesaian 0
b) Merencanakan strategi penyelesaian yang kurang relevan 1
c) Membuat strategi penyelesaian yang kurang relevan sehingga 2
tidak dapat dilakukan/salah
d) Membuat strategi penyelesaian tetapi tidak lengkap 3
e) Membuat rencana strategi penyelesaian yang benar dan mengarah 4
pada jawaban yang benar
3. Melaksanakan strategi penyelesaian
a) Tidak ada penyelesaian sama sekali 0
b) Melaksanakan prosedur yang benar dan mungkin menghasilkan 1
jawaban benar tapi salah perhitungan/penyelesaian tidak lengkap
c) Melaksanakan prosedur proses yang benar dan mendapatkan hasil 2
benar
4. Memeriksa kembali
a) Tidak ada pengecekan jawaban/hasil 0
b) Ada pengecekan jawaban/ tapi hasil tidak tuntas 1
c) Pengecekan dilakukan untuk melihat kebenaran proses 2
Total Skor Maksimum 10
55

Sebelum digunakan, instrument ini diujicobakan terlebih dulu pada kelas

lain yang telah menempuh materi SPLDV untuk mengetahui validitas,relia-

bilitas, tingkat kesukaran, dan daya pembeda.

Uji-uji tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1) Validitas

Validitas yang dilakukan terhadap instrumen tes kemampuan pemecahan

masalah matematis didasarkan pada validitas isi dan validitas empiris.

Validitas isi dari tes kemampuan pemecahan masalah matematis ini dapat

diketahui dengan cara membandingkan isi yang terkandung dalam tes

kemampuan pemecahan masalah dengan indikator pembelajaran yang telah

ditentukan. Tes yang dikategorikan valid adalah yang telah dinyatakan sesuai

dengan kompetensi dasar dan indikator yang diukur. Dengan asumsi bahwa

guru sejawat yang mengajar matematika mengetahui dengan benar kurikulum

SMP, maka validitas instrumen tes ini didasarkan pada penilaian guru

tersebut. Berdasarkan penilaian guru sejawat, soal yang digunakan telah

dinyatakan valid (Lampiran B.4 halaman 170-172).

Validitas empiris dilakukan pada siswa kelas IX C. Teknik yang digunakan

untuk menguji validitas empiris ini dilakukan dengan menggunakan rumus

korelasi product moment (Widoyoko, 2012:137)

∑ ∑ ∑
=
∑ ∑ ( ∑ (∑ ) )

Keterangan:

= Koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y


N = Jumlah Siswa
∑ = Jumlah skor siswa pada setiap butir soal
56

∑ = Jumlah total skor siswa


∑ = Jumlah hasil perkalian skor siswa pada setiap butir soal dengan total
skor siswa

Penafsiran harga korelasi dilakukan dengan membandingkan dengan harga

kritik untuk validitas butir instrumen, yaitu 0,3. Artinya apabila ≥ 0,3,

nomor butir tersebut dikatakan valid dan memuaskan (Widoyoko, 2012:143).

Tabel 3.3. menyajikan hasil validitas instrumen tes kemampuan pemecahan

masalah matematis. Perhitungan selengkapnya terdapat pada Lampiran C.1

(halaman 180-181).

Tabel 3.3 Validitas Instrumen Tes Kemampuan Pemecahan Masalah


Matematis

Nomor Soal rxy Keterangan


1 0,85 Valid
2 0,54 Valid
3 0,79 Valid
4 0,73 Valid

2) Reliabilitas

Instrumen yang reliabel adalah instrumen yang bila digunakan beberapa kali

untuk mengukur objek yang sama akan menghasilkan data yang sama.

Perhitungan untuk mencari nilai reliabilitas instrumen didasarkan pada

pendapat Sudijono (2016:208) yang menyatakan bahwa untuk menghitung

reliabilitas dapat digunakan rumus Alpha, yaitu:

 n    i 
2

r11    1  
 n  1  t 
2

Keterangan :

r11 : nilai reliabilitas instrumen (tes)


n : banyaknya butir soal

2
i : jumlah varians dari tiap-tiap butir soal
t
2
: varians total
57

Sudijono (2016:209) berpendapat bahwa suatu tes dikatakan baik apabila

memiliki nilai reliabilitas ≥ 0,70. Berdasarkan hasil perhitungan uji coba

instrumen kemampuan pemecahan masalah matematis, diperoleh nilai

koefisien reliabilitas sebesar 0,71. Hal ini menunjukkan bahwa instrumen

yang diujicobakan cukup memiliki reliabilitas sehingga instrumen tes ini

dapat digunakan untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematis

peserta didik. Hasil perhitungan reliabilitas uji coba instrumen dapat dilihat

pada Lampiran C.2 (halaman 182-183).

3) Daya Pembeda

Daya beda suatu butir tes adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan

antara peserta tes yang berkemampuan tinggi dan berkemampuan rendah.

Daya beda butir tes dapat diketahui dengan melihat besar kecilnya tingkat

diskriminasi atau angka yang menunjukkan besar kecilnya daya beda.

Sudijono (2008:120) mengungkapkan bahwa menghitung daya pembeda

ditentukan dengan rumus:

JA − JB
DP =
IA

Keterangan :

DP : indeks daya pembeda satu butir soal tertentu

JA : jumlah skor kelompok atas pada butir soal yang diolah

JB : jumlah skor kelompok bawah pada butir soal yang diolah

IA : jumlah skor ideal kelompok (atas/bawah)

Hasil perhitungan daya pembeda diinterpretasi berdasarkan klasifikasi yang

tertera dalam Tabel 3.4.


58

Tabel 3.4 Interpretasi Nilai Daya Pembeda

Nilai Interpretasi
DP ≤ 0,10 Sangat Buruk
0,10 ≤ DP ≤ 0,19 Buruk
0,20 ≤ DP ≤ 0,29 Agak baik, perlu revisi
0,30 ≤ DP ≤ 0,49 Baik
DP ≥ 0,50 Sangat Baik
Sudijono (2008:121)

Kriteria soal tes yang digunakan dalam penelitian ini memiliki interpretasi

baik, yaitu memiliki nilai daya pembeda ≥ 0,30. Hasil perhitungan daya

pembeda butir soal yang telah diujicobakan disajikan pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5 Daya Pembeda Butir Soal


No. Butir Soal Nilai DP Interpretasi
1 0,63 Baik
2 0,38 Baik
3 0,63 Baik
4 0,44 Baik
Dengan melihat hasil perhitungan daya pembeda butir soal yang diperoleh,

maka instrumen tes yang sudah diujicobakan telah memenuhi kriteria daya

pembeda soal yang sesuai dengan kriteria yang diharapkan. Hasil perhitungan

daya pembeda butir soal dapat dilihat pada Lampiran C.3 (halaman 184).

4) Tingkat Kesukaran

Sudijono (2016:370) menyatakan bahwa suatu tes dikatakan baik jika

memiliki derajat kesukaran sedang, tidak terlalu sukar dan tidak terlalu

mudah. Perhitungan tingkat kesukaran suatu butir soal digunakan rumus

sebagai berikut:

J
TK =
I
Keterangan:

TK : tingkat kesukaran suatu butir soal


JT : jumlah skor yang diperoleh semua siswa pada butir soal yang
diperoleh
59

IT : jumlah skor maksimum yang dapat diperoleh semua siswa pada


suatu butir soal
Untuk menginterpretasikan tingkat kesukaran suatu butir soal digunakan

kriteria indeks kesukaran sebagai berikut :

Tabel 3.6 Interpretasi Nilai Tingkat Kesukaran

Nilai Interpretasi
0,00 ≤ TK ≤ 0,15 Sangat sukar
0,16 ≤ TK ≤ 0,30 Sukar
0,31 ≤ TK ≤ 0,70 Sedang
0,71 ≤ TK ≤ 0,85 Mudah
0,86 ≤ TK ≤ 1,00 Sangat mudah
Sudijono (2016: 372)

Kriteria soal yang digunakan dalam penelitian ini adalah soal dengan

interpretasi sedang, yaitu memiliki nilai tingkat kesukaran 0,16 ≤ TK ≤ 0,85.

Hasil perhitungan tingkat kesukaran uji coba soal disajikan pada Tabel 3.7.

Tabel 3.7 Tingkat Kesukaran Butir Soal

No. Butir Soal Indeks TK Interpretasi


1 0,70 Sedang
2 0,70 Sedang
3 0,65 Sedang
4 0,66 Sedang

Dengan melihat hasil perhitungan tingkat kesukaran butir soal yang di-

peroleh, maka instrumen tes kemampuan pemecahan masalah yang sudah

diujicobakan telah memenuhi kriteria tingkat kesukaran soal yang sesuai

dengan kriteria yang diharapkan. Hasil perhitungan tingkat kesukaran butir

soal dapat dilihat pada Lampiran C.3 (halaman 184).

b) Skala Self-efficacy

Skala self-efficacy pada penelitian ini mengukur empat aspek, yaitu authentic

mastery experiences, vicarious experiences, verbal persuasions, dan


60

physiological indexes. Hal ini didasari oleh teori Bandura (2008) mengenai

empat sumber utama self-efficacy. Skala ini dibuat berdasarkan skala Likert

dengan empat pilihan jawaban yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak

Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Indikator kemampuan self-

efficacy ditunjukkan pada Tabel 3.8.

Sebelum digunakan pada uji lapangan, skala self-efficacy ini divalidasi oleh

ahli, yaitu Mirra Septia Veranika, M.Psi., Psikolog. Beliau adalah counselor

di Sekolah Darma Bangsa.

Tabel 3.8 Aspek Penilaian Self-efficacy

No Aspek Deskripsi Indikator


1 Pencapaian Indikator kemampuan 1. Pandangan siswa terhadap
Kinerja yang didasarkan kinerja kemampuan matematika yang
pengalaman sebelumnya dimilikinya.
2. Pandangan siswa tentang
keterampilan matematika
2 Pengalaman Bukti yang didasarkan 1. Kemampuan siswa
Orang Lain pada kompetensi dan membandingkan kemampuan
perbandingan matematikanya dengan orang lain
2. Pandangan siswa tentang
kemampuan matematika yang
dimiliki oleh dirinya dan orang
lain
3 Persuasi Mengacu pada umpan 1. Kemampuan siswa memahami
Verbal balik langsung atau kata- makna kalimat matematis dalam
kata guru atau orang yang soal-soal berpikir kreatif
lebih dewasa matematis
4 Indeks Penilaian terhadap 1. Pandangan siswa tentang
Psikologis kemampuan, kelebihan, kemampuan matematika yang
dan kelemahan tentang dimilikinya
suatu tugas atau pekerjaan 2. Pandangan tentang kelemahan dan
kelebihan yang dimiliki siswa pada
matematika
(Diambil dari Noer, 2012)

Tujuan dari validasi ini adalah melihat kesesuaian isi dengan indikator dan

tujuan pembuatan skala. Kriteria yang menjadi penilaian dari ahli adalah: (1)

Keterkaitan indikator dengan tujuan; (2) Kesesuaian pernyataan dengan

indikator yang diukur; (3) Kesesuaian antara pernyataan dengan tujuan; serta
61

(4) Penggunaan bahasa yang baik dan benar. Berdasarkan penilaian tiap

kriteria tersebut, skala self-efficacy telah memenuhi kriteria baik dan

dinyatakan layak untuk digunakan pada uji lapangan. Secara lengkap, kisi-

kisi dan instrumen skala self-efficacy dapat dilihat pada Lampiran B.6 dan

Lampiran B.7 (halaman 177-178).

Perhitungan dalam penentuan skor tiap kategori pilihan pada skala self-

efficacy untuk tiap butir pernyataan menggunakan penskalaan respon menurut

Azwar (1995). Prosedur perhitungannya sebagai berikut:

a. Menghitung frekuensi masing-masing kategori tiap butir pernyataan.

b. Menentukan proporsi masing-masing kategori.

c. Menghitung besarnya proporsi kumulatif.

d. Menghitung nilai dari = + , dimana = proporsi

kumulatif dalam kategori sebelah kiri.

e. Mencari dalam tabel distribusi normal standar bilangan baku (z) yang

sesuai dengan pktengah.

f. Menjumlahkan nilai z dengan suatu konstanta k sehingga diperoleh nilai

terkecil dari z + k = 1 untuk suatu kategori pada satu pernyataan.

g. Membulatkan hasil penjumlahan pada langkah f.

Hasil pembulatan ini merupakan skor untuk masing-masing kategori tiap butir

pernyataan skala self-efficacy. Skor untuk kategori SS, S, TS dan STS setiap

pernyataan bervariasi antara 1 sampai dengan 8 dengan skor maksimum ideal

153 yang dapat dilihat pada Tabel 3.9. Perhitungan lengkap terdapat pada

Lampiran C.9 (halaman 190-195).


62

Tabel 3.9 Skor Pernyataan Skala Self-efficacy Peserta Didik

Skor
Nomor
Pernyataan SS S TS STS
1 6 4 3 1
2 1 2 3 6
3 6 5 2 1
4 1 1 3 4
5 1 1 3 4
6 4 3 2 1
7 4 5 1 6
8 5 4 1 1
9 1 2 3 4
10 6 5 2 1
11 1 3 5 8
12 6 4 3 1
13 4 3 2 1
14 5 4 3 1
15 1 3 6 6
16 6 4 3 1
17 1 3 5 5
18 6 4 3 1
19 1 2 2 3
20 5 4 1 1
21 1 2 3 6
22 3 2 1 1
23 4 3 1 1
24 1 3 4 5
25 6 5 4 1
26 1 2 3 5
27 4 3 2 1
28 1 2 3 5

Setelah melakukan pembelajaran menggunakan LKPD, skala ini diberikan

kepada siswa untuk melihat kecenderungan sikapnya.

D. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data pada penelitian ini dijelaskan berdasarkan jenis instrumen

yang digunakan dalam setiap tahapan penelitian pengembangan.

1. Studi Pendahuluan

Data studi pendahuluan berupa hasil observasi dan wawancara dianalisis secara

deskriptif sebagai latar belakang diperlukannya LKPD. Hasil review berbagai


63

buku teks serta KI dan KD matematika SMP juga dianalisis secara deskriptif

sebagai acuan untuk menyusun LKPD.

2. Kelayakan LKPD

Data yang diperoleh saat validasi LKPD adalah hasil penilaian validator terhadap

LKPD melalui skala kelayakan. Analisis yang dilakukan berupa deskriptif

kuantitatif dan kualitatif. Data kualitatif berupa komentar dan saran dari validator

dideskripsikan secara kualitatif sebagai acuan untuk memperbaiki LKPD. Data

kuantitatif berupa skor penilaian ahli materi dan ahli media dideskripsikan secara

kuantitatif menggunakan skala guttman dengan 2 skala kemudian dijelaskan

secara kualitatif.

Skala yang digunakan dalam penelitian dan pengembangan ini adalah 2 skala,

yaitu:

1) Ya dengan skor 1.

2) Tidak dengan skor 2.

3. Uji Coba Lapangan

Teknik analisis data pada saat uji coba LKPD dilakukan dengan menganalisis

lembar skala yang diberikan pada peserta didik setelah uji coba LKPD selesai

dilakukan. Teknik Analisis ini digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan

dan ketertarikan peserta didik dalam menggunakan LKPD. Skala respon peserta

didik dianalisis menggunakan skala likert dengan empat kriteria.

Skala yang digunakan dalam penelitian dan pengembangan ini adalah 4 skala,

yaitu:

1) Sangat Kurang (SK) dengan skor 1.


64

2) Kurang (K) dengan skor 2.

3) Baik (B) dengan skor 3.

4) Sangat Baik (SB) dengan skor 4.

Langkah-langkah menyusun kriteria penilaian adalah:

1) Menentukan jumlah interval, yaitu 4,

2) Menentukan rentang skor, yaitu skor maksimum dan skor minimum,

3) Menghitung panjang kelas (p), yaitu rentang skor dibagi jumlah kelas,

4) Menyusun kelas interval dimulai dari skor terkecil sampai terbesar.

Kategori penilaian dan interval nilai untuk masing-masing kategori ditunjukkan

pada Tabel 3.10.

Tabel 3.10 Interval Nilai Tiap Kategori Penilaian

No Kategori Penilaian Interval Nilai


1 Sangat Baik (S min + 3p) < S ≤ S maks
2 Baik (S min + 2p) < S < (S min + 3p – 1)
3 Kurang (S min + p) < S < (S min + 2p – 1)
4 Sangat Kurang (S min) < S < (S min + p – 1)

Keterangan :

S : Skor responden

S min : Skor terendah

S max : Skor tertinggi

p : Panjang interval kelas

4. Uji Lapangan

Teknik analisis data yang diperoleh saat pemberian instrumen di uji lapangan ada

dua, yaitu data kemampuan pemecahan masalah matematis dan data self-efficacy.

Keduanya dijelaskan sebagai berikut:

a) Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis


65

Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan memberikan tes

kemampuan pemecahan masalah matematis setelah pembelajaran (posttest).

Rumusan hipotesis untuk uji ini binomial ini adalah

H0 : persentase peserta didik yang mendapat nilai minimal 70 kurang dari atau

sama dengan 60%

H1 : persentase siswa yang mendapat nilai minimal 70 lebih dari 60%

Untuk menghitung nilai statistik uji binomial menurut Walker (2011:24)

adalah sebagai berikut.

( )= 1−

Keterangan:
p : banyaknya siswa yang mendapat nilai minimal 65
k : peluang setiap siswa mendapat nilai minimal 65
n : jumlah sampel

Dalam penelitian ini, uji binomial dilakukan dengan bantuan software IBM

SPSS Statistic 20. Kriteria pengujian yang dipakai adalah tolak H0 jika nilai

Sig. < 0,05 (Sundayana, 2014:102).

b) Self-efficacy

Pengambilan data dilakukan melalui pemberian lembaran skala kepada peserta

didik setelah pembelajaran (posttest). Perhitungan dilakukan menggunakan

software Microsoft Excel 2010. Langkah-langkah untuk menghitung

kecenderungan sikap peserta didik menurut Noer (2007) sebagai berikut.

1) Mengklasifikasikan butir pernyataan dengan tiap aspek.

2) Menjumlahkan skor yang diperoleh pada masing-masing kategori.


66

3) Mencari rata-rata skor masing-masing kategori hasil uji coba sebagai skor

netral.

4) Mencari rata-rata butir skor netral pada tiap aspek sebagai kelas skor

netral.

5) Menjumlahan hasil kali antara skor tiap kategori dengan skor hasil uji

coba, kemudian membaginya dengan jumlah siswa sebagai butir skor

SKL.

6) Mencari rata-rata butir pernyataan pada tiap aspek sebagai skor SKL.

7) Membandingkan skor netral dengan skor SKL.


V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Proses pengembangan LKPD pembelajaran matematika berbasis PMR ini

dilakukan dengan mengadaptasi model penelitian pengembangan dari Borg

dan Gall, langkah-langkah yang dilakukan dibatasi hanya sampai langkah

kelima. LKPD yang dikembangkan merupakan LKPD berbasis PMR yang

dirancang sistematis agar memfasilitasi dan memudahkan peserta didik dalam

menumbuhkan kemampuan pemecahan masalah matematis.

2. Produk pengembangan LKPD pembelajaran berbasis PMR efektif ditinjau

dari kemampuan pemecahan masalah matematis dan Self Efficacy peserta

didik.

B. Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan dan penelitian, dikemukakan saran-saran sebagai

berikut:

1. Guru dapat menggunakan LKPD matematika berbasis PMR sebagai alternatif

untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis dan Self

Efficacy peserta didik.

2. Perlu dilakukan pengembangan LKPD atau media pembelajaran lainnya yang

berkelanjutan sesuai dengan karakter peserta didik dan kebutuhan zaman.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 1996. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: CV Pustaka Setia.

Achmadi, Hainur Rasid.1996. Telaah Kurikulum Fisika SMU (Model


Pembelajaran Konsep dengan LKS)Surabaya:University Press.

Aisyah, Nyimas, dkk. 2007. Pengembangan Pembelajaran Matematika


SD.Jakarta: DEPDIKNAS DIRJENDIKTI Direktorat Ketenagaan.

Anisa, Witri Nur. 2014. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Dan


Komunikasi Matematik Melalui Pembelajaran Pendidikan Matematika
Realistik Untuk Siswa SMP Negeri Di Kabupaten Garut. e- Jurnal
Universitas Terbuka, Vol. 1. Tersedia: pasca.ut.ac.id/journal/index.php
/JPK/article/view/12.[24 Maret 2017].

Arikunto, S. 2008. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Azwar, S. 2012. Tes Prestasi Fungsi dan Pengembangan Pengukuran Prestasi


Belajar. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Bandura. 1997. Self-Efficacy (The Exercise Of Control). New York: W. H.


Freeman and Company.

Bandura, A. 1977. Self-efficacy: Toward a Unifying Theory of Behavioral


Change. Psychological Review, Vol. 84 (2), 191-215. Tersedia:www.
uky.edu/~eushe2/Bandura/Bandura1977PR.pdf. [15 April 2015].

Bandura, A,.& Locke, E. A. 2008. Negative Self-Efficacy and Goal Effects


Revisited.Journal of Applied Psychology. Vol. 88, No.1, 87-99. [Online].
http://www.emory.edu/education/. [10 Maret 2016].

Bandura, A. 1977. Self-efficacy: Toward a Unifying Theory of Behavioral


Change. Psychological Review, Vol. 84 (2), 191-215. Tersedia:www.
uky.edu/~eushe2/Bandura/Bandura1977PR.pdf. [15 April 2015].
Baron & Byrne. 2000. Social Psychology 9th Edition. Massachusetts: A Pearson
Education Company.
107

Bell, F. H. 1978.Teaching and Learning Mathematics in Secondary School.


NewYork: Wm. C. Brown Company Publisher.

Darmojo, Hendro., Jenny R.E Kaligis. 1994. Pendidikan IPA 2.Jakarta:


Depdikbud.

Depdiknas. 2003. Undang-undangRepublik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003


tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta:


Departemen Pendidikan Nasional.

Depdiknas. 2008. Pengembangan Bahan Ajar. Jakarta: Direktorat Pembinaan


Sekolah Menengah Atas Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar
dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional.

Depdiknas. 2013. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang


Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang
Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.

Dewi, Devy Retnosari. 2013. Pengembangan Lembar Kerja Siswa untuk


Pembelajaran Permutasi dan Kombinasi dengan Pendekatan kontektual untuk
Siswa SMA Kelas XI. e-Jurnal Universitas Negeri Malang.Tersedia: jurnal-
online.um.ac.id/.../artikel/artikelD2AB962FB03A2AA96B84726445FC4901.
pdf.[ 24 Maret 2017].

Dhari, HM. Dan Haryono, AP. 1988. Perangkat Pembelajaran. Malang:


Depdikbud.

Dindyal, J.2005. Emphasis on Problem Solving in Mathematics Textbooks from


Two Different Reform Movements. Johor Baru Malaysia: The Mathematics
Education into the 21st Century Project Universiti Teknologi Malaysia,
Reform, Revolution and Paradigm Shifts in Mathematics Education, Johor
Baru, Malaysia, Nov 25th – Dec 1st 2005.

Ellison, J.G. 2009. Incresing Problem Solving Skill in Fifth Grade Advanced
Mathematics Student. Journal of Curriculum and Instruction, 3(1): 1-17.

Fauziah, Anna. 2010. Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan


Masalah Matematika Siswa SMP melalui Strategi REACT (Relating,
Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring). Bandung: Tesis UPI
Tidak Diterbitkan.

Fannie, Rizky Dezricha,dkk. 2014. Pengembangan Lembar Kerja Siswa (LKS)


Berbasis POE (Predict, Observe, Explain) pada Materi Program Linear Kelas
XII SMA. e-Jurnal Unja,. Vol. 8. Tersedia: https://online journal.unja.ac.id
108

/index.php/Sainmatika/article/view/2226/1564. [24 Maret 2017].

Fitriana, Dian, dkk. 2016. Pengembangan Lembar Kerja Siswa Menggunakan


Pendekatan Saintifik untuk Melihat Berpikir Kritis Siswa Materi
Perbandingan. E-Journal Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya, Vol.
10. Tersedia: http://ejournal. unsri.ac.id/index.php/jpm/article/view/3629 [24
Maret 2017].

Hamzah. 2006. Pembelajaran Matematika Menurut Teori Belajar


Konstruktivisme. Diambil dari www.depdiknas.go.id/jurnal/ 44/ editor.html.

Jatisunda, Muhammad Gilar. 2017. Hubungan Self-Efficacy Siswa SMP dengan


Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis. Jurnal Theorems ((The
Original Research of Mathematics) Universitas Majalengka, Vol. 1. Tersedia:
http://jurnal.unma.ac.id/index.php/th/article/download/375/355. [24 Maret
2017].

Johnson, Elaine B. 2014. Contextual Teaching and Learning: What Is and Wht
It’s Here to Stay, Bandung: Kaifa.

Kharisma, Jeaniver Yuliane, Sugiman. 2017. Pengembangan Bahan Ajar


Matematika Berbasis Masalah Berorientasi Kemampuan Pemecahan Masalah
dan Prestasi Belajar Matematika. Jurnal Pendidikan Matematika dan Sain
Universitas Negeri Yogyakarta, Vol IV(2). Tersedia:
https://journal.uny.ac.id/index.php/jpms/article/view/16690/pdf. [2 Mei
2018].

Kisti, Hepy Hapsari, dkk. 2012. Hubungan Antara Self Efficacy dengan
Kreativitas Pada Siswa SMK. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya, Vol. 1. Tersedia:
journal.unair.ac.id/filerPDF/110710121_1v.pdf. [24 Maret 2017].

Mourtos, N. J et al. 2004. Defining, Teaching, dan Assessing problem solving


skills. Presented by 7thUICEE Annual Conference on Engineering Eduction.
Mumbai, India, 9 – 13 February 2004.

Mulyana dan Hendri. 2009. Pendidikan dan Pembelajaran Ilmu Pengetahuan


Alam di Sekolah Dasar. Bandung: UPI Press.

Nasution, S. 2005. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar.


Jakarta: Bumi Aksara.

NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. Reston: NCTM.
109

Napitupulu,E. 2008. Mengembangkan Strategi dan Kemampuan Siswa


Memecahkan Masalah Matematik. e-Jurnal Pythgoras, Vol. 4. Tersedia:
https://journal.uny.ac.id/index.php/pythagoras/article/viewFile/557/415.
[2 April 2018]

Noer, S.H. 2012. Self Efficacy Mahasiswa Terhadap Matematika. Makalah pada
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, 10 November
2012: Universitas Negeri Yogyakarta. Tersedia: http://eprints.
uny.ac.id/10098/. [17 April 2015].

Nyimas Aisyah,dkk. 2007. Pengembangan Pembelajaran Matematika SD Dirjen


Dikti, Jakarta;Depdiknas.

OECD. 2015. PISA 2015 Results in Focus: What 15-year-olds know and what
they can do with what they know. Sekretariat OECD: OECD.

Pariska,Ike Suci, dkk. 2012. Pengembangan Lembar Kerja Siswa Matematika


Berbasis Masalah e.Jurnal Universitas Negeri Padang, Vol. 1. Tersedia:
http://ejournal.unp.ac.id/students/index.php/pmat/article/download/1167/85
9%20jurnal%20Pengembangan%20Lembar%20Kerja%20Siswa%20Matem
atika%20Berbasis%20Masalah. [24 Maret 2017].

Polya, George. 1981. Mathematical Discovery: On Understanding, Learning and


Teaching Problem Solving, Combined Edition. New York: John Willey
&Sons, Inc.

Polya, George. 1985. How to Solve It 2nd Ed. New Jersey: Princeton University
Press.

Poppy Kamalia Devi, dkk. 2009. Pengembangan Perangkat Pembelajaran untuk


Guru SMP. Bandung: PPPPTK IPA.

Rahadianto, Auliaillah Ilmi, 2014. Hubungan antara Self-Efficacy dan Motivasi


Berprestasi dengan Kecemasan Akademik pada Siswa Program Sekolah
RSBI di Surabaya. Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Universitas
Psikologi Universitas Airlangga, Vol. 3. Tersedia:
http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jpio5fd3a821c82full.pdf.[24
Maret 2017].

Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan


Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA.
Bandung: Tarsito.

Sanjaya, W. 2013. Penelitian Pendidikan Jenis Metode dan Prosedur. Jakarta:


Kencana.
110

Santrock, J. W. 2004. Educational Psychology, 2nd Edition. McGraw-Hill


Company, Inc.

Santrock. J. W. 2011. Life-Span Development: Perkembangan Masa-Hidup. Edisi


13.Jilid 1. Alih Bahasa: Widyasinta Benedictine. Jakarta: Erlangga.

Schunk, D.H. dan Pajares, F. (2001).”The Development of Academic Self-


Efficacy”, dalam “Development of Achievement Motivation” (ed A.
Wigfield and J. Eccles). San Diego: Academic Press.

Schwab, K., Martin, Xavier Sala-i. 2014. The global competitiveness report 2014–
2015.http://www3.weforum.org/docs/WEF_GlobalCompetitivenessReport_
2014-15.pdf [10 November 2016].

Simanungkalit, Rick Hunter. 2015. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Untuk


Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan Self
Efficacy Siswa. Jurnal Pendidikan Matematika dan Terapan Universitas
HKBP Nommense, Vol. 1. Tersedia: https://perpustakaan.uhn
ac.id/adminarea/dataskripsi/Jurnal%20Pendidikan%.20Matematika%20dan
%20Tearapan.pdf. [24 Maret 2017].

Soedjadi, R. 1994. Memantapkan Matematika Sekolah sebagai Wahana


Pendidikan dan Pembudayaan Penalaran. Surabaya: Media Pendidikan
Matematika Nasional.

Strecher V.J., DeVellis B.M., Becker M.H., Rosenstock I.M. 1986. The Role of
Self-Efficacy in Achieving Health Behavior Change. Health Education
Quarterly (Spring 1986), Vol. 13 (1), 73-92. Tersedia [online]:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/3957687. [17 April 2015].

Sudijono, A. 2008. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo


Pustaka.

Sudijono, A. 2016. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo


Pustaka.

Suherman, E, dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.


Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI.

Sumarni. 2004. Pengembangan Bahan Ajar. Jakarta: PT Elek Media Komputindo.

Sumarmo, U. 2000. Pengembangan Model Pembelajaran Matematika untuk


Meningkatkan Kemampuan intelektual tingkat tinggi siswa sekolah dasar.
Laporan Penelitian FPMIPA IKIP Bandung. Tidak diterbitkan.
111

Susanti (2017). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan


Self Efficacy Siswa MTS Melalui Pendekatan Pendidikan Matematika
Realistik. Suska Journal of Mathematics Education, Vol. 3, No.2. Tersedia:
ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/SJME/article/download/4148/2624. [22
Mei 2019]

Sutawidjaja, A. (1998). Pemecahan Masalah dalam Pembelajaran Matematika.


Makalah disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika di
Program Pascasarjana IKIP Malang pada 4 April 1998.

Suyitno, Amin. 2004. Dasar-Dasar Proses Pembelajaran MatematikaI. Hand out


Perkuliahan Mahasiswwa S1 Prodi Pendidikan Matematika FMIPA
UNNES.

Tim MKPBM. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung :


JICA.

Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep,


Landasan, dan Implementasinya Pada Kuriklum Tingkat Satuan
Pendidikana (KTSP). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Wardhani, Sri. 2005. Pembelajaran dan Penilaian Aspek Pemahaman Konsep,


Penalaran dan Komunikasi, Pemecahan Masalah.Yogyakarta: Pusat
Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Matematika.

Walker, R.A. 2011. Categorical Data Analysis for Behavioral Social Science.
New York: Routledge Taylor and Francis Group.

Widari, I Gusti Ayu Arista, dkk. 2013. Penerapan Pendekatan Pembelajaran


Matematika Realistik Sebagai Upaya Meningkatkan Aktivitas dan Prestasi
Belajar Siswa dalam Pembelajaran Bangun Ruang pada Siswa Kelas IV A
SDN 9 Sesetan Tahun Pelajaran 2011/2012. Jurnal Universitas
Mahasaraswati Denpasar, Vol. 3. Tersedia: http://ojs.unmas.ac.id/index.php
/JSP/article/download/20/18. [24 Maret 2017].

Widiyanto, Arif. 2013. Pengaruh Self-Efficacy dan Motivasi Siswa Terhadap


Kemandirian Belajar Mata Pelajaran Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(K3) di SMK N 2 Depok. Jurnal Universitas Negeri Yogyakarta. Tersedia:
http://eprints.uny.ac.id/10052/1/JURNAL.pdf.[24 Maret 2017].

Widoyoko, Eko Putro. 2012. Evaluasi Program Pembelajaran. Yogyakarta:


Pustaka belajar.

Wijaya, Ariyadi. 2012. Pendidikan Matematika Realistik Suatu Alternatif


Pendekatan Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu.

You might also like