Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 13

PENGEMBANGAN EXPERIENTIAL LEARNING

PADA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PROFESI PEKERJA SOSIAL

Oleh Indah Namira Sari


Abstract
This paper discusses the application of experience learning to education and
social work profession training in the field. The application of experiential
learning to the education and training of the social worker profession in the field
is beneficial to students not only related to their professional development, but
also to their personal development. Implementation of experiential learning on
education and training of the social worker profession in the field in practice
settings can contribute to the personal development of students in several ways;
During fieldwork experience, students enter into direct contact or interact with
different categories of individuals, groups and professionals, as well as people
with different personalities, cultures, and philosophies with whom they tend to
work later in their professional lives. Through these interactions, social worker
students have the opportunity to discover new ideas or think about themselves and
their values, prejudices, and attitudes toward others, while learning to manage
emotions and feelings in real-world agency settings.
Key word: experience learning, social work, education and training.

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Standar global untuk Pendidikan dan Pelatihan Pekerjaan Sosial menjawab
isu yang kompleks tersebut dengan mengadvokasi bahwa para pekerja sosial
dilatih dengan pendekatan dasar hak asasi manusia, dengan catatan penjelasan
seperti berikut:
Pendekatan tersebut dapat memfasilitasi konfrontasi secara konstruktif dan
perubahan dimana kepercayaan, nilai dan tradisi tertentu melanggar hak-hak
dasar manusia. Karena budaya adalah dikonstruksikan secara social dan
dinamis, maka budaya tersebut dapat diubah dan mengalami dekonstruksi.
Konfrontasi konstruktif, dekonstruksi dan perubahan tersebut dapat
difasilitasi melalui penyamaan visi, dan pemahaman mengenai kepercayaan,
nilai dan tradisi budaya tertentu dan juga melalui dialog kritis dan reflektif
dengan anggota kelompok budaya tersebut dan isu-isu hak asasi manusia
yang lebih luas.1

Berpijak pada Standar Global Pendidikan dan Pelatihan Profesi Pekerjaan


Sosial (Global Standards For The Education And Training Of The Social Work
Profession) yang dikembangkan dan ditetapkan Internasional Federation Social
Work2, maka Standar tujuan dan hasil Program Pendidikan Dan Pelatihan Profesi
Pekerja Sosial, salah satunya adalah “Provision of an educational preparation
that is relevant to beginning social work professional practice with individuals,
families, groups and/or communities in any given context.”3 Selanjutnya
berkenaan dengan standar mengenai kurikulum/program pendidikan dan pelatihan
profesi pekerjaan sosial harus secara konsisten bercita-cita salah satunya adalah
“Ensuring that the curricula help social work students to develop skills of critical
thinking and scholarly attitudes of reasoning, openness to new experiences and
paradigms, and commitment to life-long learning.”4

1
https://www.iassw-aiets.org/wp-content/uploads/2015/.../SW-definition-Indonesian.pd...
(diakes 14 September 2017)
2
Vihshantie Sewpaun dan David Jones Global Standards For The Education And
Training Of The Social Work Profession 2014 cdn.ifsw.org/assets/ifsw_65044-3.pdf
(diakes 14 September 2017)
3
Ibid hlm 5
4
Ibdi hlm 5

2
Hal ini juga relevan dengan kebijakan Standar Pendidikan Nasional Proses
pembelajaran pada satuan pendidik diselenggarakan secara interaktif, inspiratif,
penyenangkan, menantang, emotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreatif, dan kemandirian sesuai
dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.5
Implikasi dengan hal tersebut, perlu dikembangkan model pembelajaran
experiential learning dalam pendidikan dan pelatihan profesi pekerjaan sosial.
Karena experiential learning merupakan model pembelajaran yang dapat
transformasi pengetahuan melalui pengalaman. Oleh karena itu, penulis dalam
tulisan ini, mengambil tema Penerapan experiential learning pada pendidikan dan
pelatihan profesi pekerja sosial. Hal ini, karena pekerjaan sosial sebagai suatu
profesi berbasis praktik dan akademik.
Pekerjaan sosial adalah sebuah profesi yang berdasar pada praktik dan
disiplin akademik yang memfasilitasi perubahan dan pembangunan sosial,
kohesi sosial dan pemberdayaan serta kebebasan individu. Prinsip-prinsip
keadilan sosial, hak asasi manusia, tanggung jawab kolektif dan
pengakuan keberagaman adalah prinsip utama bagi pekerjaan sosial.6

Profesi pekerjaan sosial yang mandat utamanya (core mandates) adalah


“include promoting social change, social development, social cohesion, and the
empowerment and liberation of people.” Oleh karena itu, pendidikan dan
pelatihan profesi pekerja sosial diharapkan peserta didik mampu berinteraksi dan
bertindak untuk ikut serta dalam memecahkan permasalahan yang ada di
sekitarnya melalui sebuah tindakan nyata.

5
Perturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan Nasional Pasal 5 Ayat (1)
6
https://www.iassw-aiets.org/wp-content/uploads/2015/.../SW-definition-Indonesian.pd...
(diakes 14 September 2017)

3
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Konsep ELT
David A. Kolb (1984) dalam bukunya Experiential Learning: Experience
as the Source of Learning and Development Experiential learning sebagai "the
process whereby knowledge is created through the transformation of experience.
Knowledge results from the combination of grasping and transforming
experience".7 Experiential learning dibangun di atas enam proposisi, sebagai
berikut:
1. Learning is best conceived as a process, not in terms of outcomes.
2. All learning is re-learning.
3. Learning requires the resolution of conflicts between dialectically
opposed modes of adaptation to the world.
4. Learning is a holistic process of adaptation to the world.
5. Learning results from synergetic transactions between the person and
the environment.
6. Learning is the process of creating knowledge.8
Model expereiential learning yang dikembangkan oleh Kolb didasarkan
atas penelitian yang dilakukan oleh Lewin, dimana dalam penelitiannya Lewin
mengemukakan bahwa proses belajar yang paling baik terjadi apabila difasilitasi
oleh konflik antara pengalaman langsung dan nyata warga belajar.
Model siklus pembelajaran berkelanjutan yang dikenal dengan 'Kolb
Learning Cycle' memerlukan empat jenis kemampuan (lihat Gambar 2.1).

7
David A. Kolb Experiential learning: experience as the source of learning and
development Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall. 1984
8
Ibid

4
Concrete
experience
(CE)

Active
Reflective
experimentat
observation
ion
(RO)
(AE)
Abstract
conceptualisatio
n
(AC)

Gambar 2.1
Kolb‟s (1984) Experiential Learning Cycle9

Penjelasan dari gambar tersebut di atas seperti dikemukakan oleh Kolb dan
Boyatzi sebagai berikut:
In grasping experience some of us perceive new information through
experiencing the concrete, tangible, felt qualities of the world, relying on
our senses and immersing ourselves in concrete reality. Others tend to
perceive, grasp, or take hold of new information through symbolic
representation or abstract conceptualization – thinking about, analyzing, or
systematically planning, rather than using sensation as a guide. Similarly,
in transforming or processing experience some of us tend to carefully
watch others who are involved in the 4 experience and reflect on what
happens, while others choose to jump right in and start doing things. The
watchers favor reflective observation, while the doers favor active
experimentation.10

Dalam tahapan di atas, proses belajar dimulai dari pengalaman konkret


yang dialami seseorang. Pengalaman tersebut kemudian direfleksikan secara
individu. Dalam proses refleksi seseorang akan berusaha memahami apa yang
terjadi atau apa yang dialaminya. Refleksi ini menjadi dasar konseptualisasi atau
proses pemahaman prinsipprinsip yang mendasari pengalaman yang dialami serta
prakiraan kemungkinan aplikasinya dalam situasi atau konteks yang lain (baru).
9
Ibid
10
Kolb, A.D., Boyatzis, E.R., dan Mainemelis, C. Experiential learning theory: previous
research and new directions. Departement of organizational behavior weatherhead school
of management case western reserve university. 2000.
http://www.learningformexperience.com/images/uploads/experiential-learning-heory.pdf.

5
Proses implementasi merupakan situasi atau konteks yang memungkinkan
penerapan konsep yang sudah dikuasai.
Kemungkinan belajar melalui pengalaman-pengalaman nyata kemudian
direfleksikan dengan mengkaji ulang apa yang telah dilakukannya tersebut.
Pengalaman yang telah direfleksikan kemudian diatur kembali sehingga
membentuk pengertian-pengertian baru atau konsep-konsep abstrak yang akan
menjadi petunjuk bagi terciptanya pengalaman atau perilaku-perilaku baru. Proses
pengalaman dan refleksi dikategorikan sebagai proses penemuan (finding out),
sedangkan proses konseptualisasi dan implementasi dikategorikan dalam proses
penerapan (taking action).
Teori pembelajaran pengalaman berfokus pada transaksi antara
karakteristik internal dan keadaan eksternal. Belajar adalah sebuah pengalaman
dengan potensi gerakan, dan pembelajaran merupakan proses dimana
perkembangan terjadi11. Posisi ini dapat diartikulasikan dengan baik oleh
Vygotsky's “The zone of proximal development”. Pembelajaran dan proses
perkembangan tidak bersamaan atau konvergen; Mereka saling terkait satu sama
lain secara kompleks dan dinamis. 'Proses perkembangan tertinggal dari proses
belajar dan jarak ini memberi jalan bagi “The zone of proximal development”.
Belajar menciptakan “The zone of proximal development”, dan zona ini
memungkinkan 'pembelajaran yang baik', tapi itu tergantung pada kapasitas guru
dan kualitas interaksi kelompok (Vygotsky, 1978). Menggunakan jenis gaya
belajar Kolb dalam menyusun kelompok siswa, memungkinkan untuk
menekankan kekuatan masing-masing peran kelompok.

B. Konsep Pekerjaan Sosial


Definisi global pekerjaan sosial menurut Internasional Federation Social
Work menurut IFSW/IASSW. (2014):
Pekerjaan sosial adalah sebuah profesi yang berdasar pada praktik dan
disiplin akademik yang memfasilitasi perubahan dan pembangunan sosial,
kohesi sosial dan pemberdayaan serta kebebasan individu. Prinsip-prinsip

11
Osland Joyce S., David A. Kolb, Irwin M Rubin, Organizational Behavior: An
Experiential Approach (6th Edition) Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall

6
keadilan sosial, hak asasi manusia, tanggung jawab kolektif dan pengakuan
keberagaman adalah prinsip utama bagi pekerjaan sosial.12

Dari definisi tersebut, mandat utama dari pekerjaan sosial adalah termasuk
memfasilitasi perubahan sosial, pembangunan sosial, kohesi sosial, pemberdayaan
dan pembebasan individu.
Konsekuensi dengan hal tersebut, pendidikan dan pelatihan pekerjaan sosial
dapar menjawab isu-isu kompleks tersebut dengan mengadvokasi bahwa para
pekerja sosial dilatih dengan pendekatan dasar hak asasi manusia, dengan catatan
penjelasan seperti berikut:
Pendekatan tersebut dapat memfasilitasi konfrontasi secara konstruktif dan
perubahan dimana kepercayaan, nilai dan tradisi tertentu melanggar hak-hak
dasar manusia. Karena budaya adalah dikonstruksikan secara social dan
dinamis, maka budaya tersebut dapat diubah dan mengalami dekonstruksi.
Konfrontasi konstruktif, dekonstruksi dan perubahan tersebut dapat
difasilitasi melalui penyamaan visi, dan pemahaman mengenai kepercayaan,
nilai dan tradisi budaya tertentu dan juga melalui dialog kritis dan reflektif
dengan anggota kelompok budaya tersebut dan isu-isu hak asasi manusia
yang lebih luas.13

Pengetahuan pekerjaan sosial adalah disiplin ilmu yang interdisiplin


dan juga transdisiplin, dan mengacu pada teori dan penelitian ilmiah yang
luas. “Sains” dipahami pada konteks ini dalam bentuk yang paling dasar
sebagai “pengetahuan”. Pekerjaan sosial mengacu pada perkembangan teori
dasar dan penelitian yang terus berkembang, seperti juga teori-teori dari
sains-sains tentang manusia, termasuk tapi tidak terbatas pada pengembangan
masyarakat, pedagogi sosial, administrasi, antropologi, ekologi, ekonomi,
pendidikan, management, keperawatan, psikiatri, psikologi, kesehatan
masyarakat dan sosiologi. Keunikan penelitian dan teori pekerjaan sosial
adalah bahwa mereka adalah aplikatif dan emansipatoris. Kebanyakan
penelitian dan teori pekerjaan sosial di ko-konstruksikan dengan para
pengguna layanan secara interaktif melalui proses dialog sehingga selalu
dipengaruhi oleh lingkungan praktik tertentu.

12
https://www.iassw-aiets.org/wp-content/uploads/2015/.../SW-definition-Indonesian.pd... 2014
(diakes 14 September 2017)
13
ibid

7
Sedangkan praktik pekerjaan sosial adalah legitimasi dan mandat
pekerjaan sosial terletak pada intervensi dimana individu berinteraksi dengan
lingkungan mereka masing-masing. Lingkungan tersebut termasuk berbagai
system sosial yang melekat pada individu-individu secara alamiah,
lingkungan geografis, yang berpengaruh besar pada kehidupan masyarakat.
Metodologi partisipatoris yang dilakukan oleh pekerjaan sosial direfleksikan
dalam “melibatkan manusia dan struktur untuk mengatasi tantangan hidup
dan meningkatkan kesejahteraan”. Sejauh mungkin, pekerjaan sosial
mendukung kerja bersama daripada bekerja untuk individu.

BAB III
PEMBAHASAN

8
Shardow & Doel telah mengambarkan tipe pembelajaran dalam pendidikan
dan pelatihan pekerjaan sosial sebagai berikut:
The learning that occurs whilst a student is on placement in a social work
agency. It should not be taken to imply that students do not learn about
practice in class settings. It refers to the context of learning in the practice
agency.14

Selama praktikum lapangan, siswa pekerja sosial bergerak dari


pembelajaran berbasis kelas untuk belajar dengan melakukan, yang menandai
masuknya mereka ke dunia profesi pekerjaan. Parker “So field learning is
regarded as the missing link between theory and professional practice.” 15 Seluruh
prosesnya menyerupai latihan teater, karena para siswa secara bertahap siap
memainkan peran sebagai pekerja sosial masa depan. Secara khusus, pada tahap
akhir praktik kerja lapangan, siswa pekerja sosial berpartisipasi sebelum
memasuki arena profesional.
Schneck menjelaskan praktik kerja lapangan sebagai “the nexus of influence
having one foot in academia and the other in the reality of practice.” 16 Jadi,
mengingat manfaat peran siswa dapat menikmati manfaat pembelajaran di
lapangan tanpa tekanan dan risiko di tempat kerja. Lager & Cooke Robbins secara
singkat mengacu pada manfaat yang dapat diperoleh pekerja sosial dari
pengalaman kerja lapangan sebagai berikut:
In the field, students have the opportunity to test what they learn in the
classroom; integrate theory with practice; evaluate the effectiveness of
interventions; contend with the realities of social, political and economic
injustice; strive for cultural sensitivity and competence; deliberate on the
choices posed by ethical dilemmas; develop a sense of self in practice; and
build a connection to and identity with the profession.17

14
M. Doel, S.M. Shardlow, & P.G. Johnson. Contemporary field social work: Integrating
field and classroom experience. Thousand Oaks, CA: Sage. (2011).
15
Parker, J. (2007). Developing effective practice learning for tomorrow’s social workers.
Social Work Education, 26(8), 763–779.
16
Schneck, D. (1995). The promise of field education in social work. In G. Rogers (Ed.),
Social work field education: Views and visions (pp. 3–13). Dubuque, IA: Kendall/Hunt.
17
Lager, P. B., & Cooke Robbins, V. (2004). Field education: Exploring the future,
expanding the vision. Journal of Social Work Education, 40(1), 3–12

9
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa interaksi para
pekerja sosial dengan dunia nyata profesi dan tuntutannya membawa mereka pada
jalur baru pengetahuan dan tindakan mengenai realitas sosial dan bagaimana hal
itu tercermin di tempat kerja. Lager & Cooke Robbins menyatakan, bahwa
“In this regard, fieldwork practice can be viewed as a challenge for students
wherein they apply theoretical knowledge taught in academic settings,
connect practice with theory, acquire new knowledge, and gain practical
skills necessary for the profession.18

Kemudian Regehr, Leeson, & Fusko menyatakan manfaat pembelajaran di


lapangan ini adalah “primary opportunity for students to integrate knowledge,
values, and skills into their professional self concepts.”19
Pembelajaran lapangan secara substansial berkontribusi terhadap perolehan
pengetahuan praktis atau interpretatif (know how) yang dibutuhkan untuk setiap
profesi. Menurut Eraut practical knowledge can be seen as a continuum of the
codified knowledge (know what) that occurs in the academic milieu, according.20
Bagi Eraut, memang, kombinasi pengetahuan praktis dengan pengetahuan
akademis dikodifikasi sangat penting untuk pembentukan apa yang disebut
pengetahuan profesional bagi siswa.

BAB III
KESIMPULAN

Penerapan experiential learning pada pendidikan dan pelatihan profesi


pekerja sosial di lapangan bermanfaat bagi siswa tidak hanya berkaitan dengan
18
ibid
19
Regehr, C., Regehr, G., Leeson, J., & Fusko, L. (2002). Setting priorities for learning in
the field practicum: A comparative study of students and field instructors. Journal of
Social Work Education, 38(1), 55–65
20
Eraut, M. (2000). Non formal learning and tacit knowledge in professional work.
British Journal of Educational Psychology, 70, 113-176.

10
pengembangan profesional mereka, tetapi juga untuk pengembangan pribadi
mereka. Penerapan experiential learning pada pendidikan dan pelatihan profesi
pekerja sosial di lapangan dalam pengaturan praktik dapat berkontribusi pada
perkembangan pribadi siswa dalam beberapa cara; Selama pengalaman kerja
lapangan, siswa masuk ke dalam kontak langsung atau berinteraksi dengan
berbagai kategori individu, kelompok dan profesional, serta orang-orang dengan
kepribadian, budaya, dan filosofi yang berbeda dengan siapa mereka cenderung
bekerja kemudian dalam kehidupan profesional mereka. Melalui interaksi ini, para
siswa pekerja sosial memiliki kesempatan untuk menemukan ide baru atau
memikirkan diri mereka sendiri dan nilai, prasangka, dan sikap mereka terhadap
orang lain, sambil belajar mengelola emosi dan perasaan di dalam pengaturan
agensi dunia nyata.

DAFTAR PUSTAKA

11
Border, L. L. B.(2007). Understanding learning styles: The key to unlocking deep
learning and in depth teaching. NEA Higher Education Advocate
24(5): 5-8
Brookfield, S. (1984). Adult Learners, Adult Education and the Community,
Columbia University, New York. Teaches College Press.
Clarke, D. (1977). A study of the adequacy of the learning environment for
business students in Hawaii in the fields of accounting and marketing
(Unpublished manuscript). University of Hawaii-Manoa.
Dewey, J. (1938). Experience and Education. New York: Collier Books
Doel, M., Shardlow, S. M., & Johnson, P. G. (2011). Contemporary field social
work: Integrating field and classroom experience. Thousand Oaks,
CA: Sage.
Gypen, J. L. M. (1981). Learning style adaptation in professional careers: The
case of engineers and social workers. Unpublished doctoral
dissertation, Case Western Reserve University, Cleveland, OH.
Huang, E. Y., Lin, S. W., & Huang, T. K. (2012). What type of learning style
leads to online participation in the mixed-mode e-learning
environment? A study of software usage instruction. Computers &
Education, 58(1), 338-349.
IFSW/IASSW. (2014). Global definition of social work. Retrieved from
Inggalls, J. (1973). A Trainer Guide To Andragogy It is Concept, Experience and
Application, Washington Departemen of Health Education and
Welfare.
Jensen, P. & Kolb, D. (1994). Learning and development. In M. Keeton (Ed.),
Perspective in experiential learning. Chicago: Council for Adult and
Experiential Learning (CAEL).
Kolb, D.A. (1984) Experiential learning: experience as the source of learning and
development Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
Kolb, D. A., Boyatzis, R. E., & Mainemelis, C. (2002). Experiential learning
theory: Previous research and new directions. In R. J. Sternberg & L.
F. Zhang, (Eds.) Perspectives on cognitive, learning, and thinking
styles. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum

12
Kolb, Osland, Rubin (1995): Organizational Behavior: An Experiental Approach.
Sixth Edition. Prentice Hall. N.J.
Lager, P. B., & Cooke Robbins, V. (2004). Field education: Exploring the future,
expanding the vision. Journal of Social Work Education, 40(1), 3–12
Maturana, H. and Varela, F. (1980). Autopoeisis and cognition. Dordrecht,
Holland: D. Reidel.
Noble, C. (2001). Researching field practice in social work education: Integration
of theory and practice through the use of narratives. Journal of Social
Work, 1(3), 347–360.
Parker, J. (2007). Developing effective practice learning for tomorrow’s social
workers. Social Work Education, 26(8), 763–779.
Piaget, J. (1966). The Psychology of Intelligence, Totowa, NJ: Littlefield, Adams,
and Co
Regehr, C., Regehr, G., Leeson, J., & Fusko, L. (2002). Setting priorities for
learning in the field practicum: A comparative study of students and
field instructors. Journal of Social Work Education, 38(1), 55–65.
Savin, M., Baden & Major, C.H. (2004). Foundation of Problem – Based
Learning. Maidenhead: Open University Press/SRHE.
Schneck, D. (1995). The promise of field education in social work. In G. Rogers
(Ed.), Social work field education: Views and visions (pp. 3–13).
Dubuque, IA: Kendall/Hunt.
Vygotsky, L. S. (1978) Mind in Society: The Development of Higher
Psychological Processes, Cambridge, MA: Harvard University Press
Wells, G. (1995). „Language and the Inquiry-oriented Curriculum‟, Curriculum
Inquiry 25 (3), p.233-248
Zull, J. (2002). The art of changing the brain. Sterling VA: Stylus..

13

You might also like