Professional Documents
Culture Documents
279-Article Text-370-1-10-20171117
279-Article Text-370-1-10-20171117
279-Article Text-370-1-10-20171117
Zainal Said
Abstract: In general most of the tribes in South Sulawesi has a relationship, both in terms
of language, as well as culturally. Bugis Makassar in public life, customs is a factor that
was crucial. Indigenous is a manifestation of the "philosophy of life" man Bugis
Makassar in their social institutions and occupy the highest positions in the social norms
that govern the behavior patterns of people's lives. Social system or societal values that
were born under customary provisions have established patterns of behavior and views of
human life Bugis Makassar. Adat is the key idea underlying all of his relationships, both
with fellow human beings, social institutions, as well as with the natural surroundings,
even with the macrocosm. As customs, rules accustomed, certainly can be called
traditional, but not in the sense panngaderreng essential. Such a custom would be
opposed by panngaderreng because panngaderreng actually build dignity and human
dignity. Panngaderreng happenings include ade 'about talking, about rapang, about wari
and about sara'. But the progressive side of the law, look to a tendency to ignore the
custom that we have and nurture over the years. And penetration protection against the
formation of customary law are sometimes forgotten even element values in it have not
been able to exist in the underlying fundamental laws of various products. Since most
products are still legal hegemony in the interests of society who tend to put in a position
pheriperial, or known by the politically conditioned, especially in the context of law in
South Sulawesi regressus
harus dilahirkan melalui pemaknaan nilai- adat terlupakan bahkan nilai-nilai yang
nilai budaya lokal. ada didalamnya belum mampu eksis
Budaya Bugis Makassar menyimpan secara fundamental dalam melandasi
berbagai nilai-nilai dan makna budaya berbagai produk peraturan. Karena
seperti persamaan dan tanggungjawab sebagian besar produk hukum masih
yang layak dijadikan rujukan atau menjadi terhegemoni dengan kepentingan-
norma dalam pembentukan Perda di kepentingan kampium yang cenderung
Sulawesi Selatan. Seperti ungkapan Max menempatkan tatanan masyarakat pada
Weber sebagaimana dikutip oleh Hans posisi pheriperial,5 yang oleh Karl Polanyi
Kelsen “ketika kita berurusan dengan menyebunya dengan politik terkondisikan.
hukum, `tatanan hukum`, `peraturan Berdasarkan proyeksi diatas maka,
hukum,` kita harus secara tegas meng- yang menjadi penekanan dalam hal ini,
amati perbedaan antara tinjauan hukum bagaimana Aksiologi budaya terhadap
dengan tinjauan sosiologi. Ilmu hukum produk Peraturan Daerah (PERDA) di
menghendaki norma-norma hukum yang Sulawesi Selatan.
secara ideal dan valid. Yakni makna 1. Nilai-nilai budaya apa yang
normatif apa yang harus dilekatkan pada menggariskan produk PERDA di
kalimat yang mewakili norma hukum. Sulawesi Selatan ?
Sosiologi menyelidiki apa yang 2. Apa yang melatar belakangi regressus
sesungguhnya terjadi dalam masyarakat PERDA di Sulawesi Selatan ?
karena ada suatu kesempatan tertentu di 3. Bagaimana Implementasi budaya
mana para anggotanya mempercayai terhadap produk PERDA di Sulawesi
validitas suatu tatanan dan menyesuaikan Selatan ?
perbuatannya dengan tatanan itu”.4
II. PEMBAHASAN
Dalam pada ini, yang menjadi
perhatian adalah melihat lebih dalam A. Nilai-Nilai Budaya Bugis Makassar
nilai-nilai budaya Bugis Makassar untuk Terhadap Legal Policy
merespon keinginan hukum masyarakat Setiap ikhtiar memahami manusia
agar tercipta tatanan hukum yang lebih bugis harus dimulai dari pengertian
mengarah pada ketentraman kesejahteraan mereka mengenai apa yang dimaksud
dan kehidupan masyarakat. Karena, dengan ade’ (selanjutnya ditulis ‘adat’
melihat adat dan kebiasaan masyarakat saja) sebab inilah pribadi kebudayaannya.
tersebut mayoritas memegang teguh nilai- Kebudayaan menurut Tylor, Frazer,
nilai hidup yang terkandung dalam adat Durkheim, Radcliffe - Brown,
Bugis Makassar. Tentunya menjadi Malinonowski, R. Linton, M Mead dan
rujukan seperti yang dibahasakan tadi lain tokoh kebudayaan, maka H.S Alatas
Max Weber bahwa, perbuatan manusia mengemukakan pendapatnya dalam diser-
yang telah diadaptasikan oleh pelakunya tasi mengenai konsep ini. ”... individu
kepada sebuah tatanan karena dia dan masyarakat bukanlah saling terpisah
memandang tatanan tersebut “Valid”, tetapi berkaitan dengan erat. Tentang
olehnya itu perbuatan manusia harus urusan secara logis yang mana utama
ditentukan oleh ide dari tatanan yang valid individu atau masyarakat tidak dapat
(Adat). ditekankan terlalu jauh sebab tidak akan
Secara umum, terlihat adanya memberikan pemecahan yang jelas. Setiap
kecenderungan untuk mengeyampingkan individu dalam pertumbuhannya dicetak
adat yang kita miliki dan pelihara selama oleh masyarakat dimana dia lahir.
ini. Proteksi dan penetrasi terhadap proses Sebaliknya, setiap individu sepanjang
pembentukan hukum kadangkala unsur kehidupannya memberikan pula sum-
59 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm 56-72
melainkan lebih jauh dari itu, ialah adanya tentang wari dan tentang sara’. Dari
semacam “larutan perasaan” bahwa bahan-bahan ini dapat didentifikasi bahwa
sesorang itu adalah bahagian integral dari aspek-aspek ideal dari panngaderreng
Panngadarreng. Panngandarreng adalah mengandung empat azas dasar, yang
bahagian dari dirinya sendiri dalam menjadi latar belakang ialah:
keterlibatan dengan keseluruhan pranata- 1. Azas Mappasilasa’e, diwujudkan
pranata masyarakatnya. Dengan demikian dalam manifestasi ade’ agar terjadi
dapat dikatakan adalah wujud kebudayaan keserasian dalam sikap dan tingkah
yang selain mencakup pengertian sistem laku manusia di dalam memperlakukan
norma dan aturan-aturan adat serta tata dirinya dalam panngaderreng. Di
tertib, juga mengandung unsur-unsur dalam tindakan-tindakan operasional-
yang meliputi seluruh kegiatan hidup nya ia menyatakan diri dalam usaha-
manusia bertingkah laku dan mengatur usaha pencegahan (perventif), sebagai
prasarana kehidupan berupa peralatan- tindakan-tindakan penyelamat.
peralatan meteril dan non materil.8 2. Azas mappasisaue, diwujudkan dalam
Lanjut Mattulada, apabila manipestasi ade untuk menimpakan
panngaderreng adalah kebiasaan atau deraan pada tiap-tiap pelanggaran ade’
aturan-aturan yang sudah dibiasakan saja, yang dinyatakandalam bicara. Azas ini
maka hilanglah satu aspek terdapat dari menyatakan adanya pedoman legalitas
hakekat panngaderreng, yaitu memelihara dan repressip yang sangat konsekuan
dan menumbuhkan harkat dan nilai-nilai dijalankan. Disamping itu, azas ini
insani, yang justru menjadi tulang dilengkapi dengan siariwawong yang
punggung untuk tegaknya panngaderreng. diwujufkan dalam manifestasi ade,
Kebiasaan atau aturan-aturan adat yang untuk menyatakan adanya perlakuan
dibiasakan, malahan dapat menjerumus- yang sama, mendidik setiap orang
kan harkat dan martabat manusia kedalam untuk mengetahui yang benar dan yang
jurang kebinasaan. Dapatkah disebut salah. Hal ini dinyatakan dalam
dengan panngaderreng, apabila suatu pangodireng yang erat hubungannya
waktu masyarakat sudah menerima dengan bicara.
kebiasaan atau aturan-aturan yang 3. Azas mappasenrupae, untuk memeli-
diadatkan berupa kekerasan dan hara kontinuitas pola-pola yang sudah
penindasan sebagai satu sistem sosial? ada lebih dahulu guna stabilitasi
Selaku adat kebiasaan, aturan yang perkembangan-perkembangan yang
dibiasakan, tentu dapat disebut adat, tetapi muncul. Hal ini dinyatakan dalam
bukan panngaderreng dalam arti esensial. rapang.
Adat yang demikian akan dilawan oleh 4. Azas mappallaiseng, diwujudkan
panngaderreng karena panngaderreng dalam manifestasi ade untuk mem-
justru membangun martabat dan harkat berikan batas-batas yang jelas tentang
insani. Durheim Membahasakannya hubungan antar manusia dalam
dengan Solidaritas mekanis, karena lembaga-lembaga sosialnya, sehingga
adanya aktivitas yang sama dan memiliki terhindar masyarakat dari ketiadaan
tanggungjawab yang sama. Dimana ketertiban, chaos dan lainnya. Hala ini
agama merupakan bentuk yang dihasilkan dinyatakan dengan wari’ dan segala
oleh kesadaran kolektif.9 variasi perlakuannya.
Panngaderreng dibangun oleh Ade, adalah salah satu aspek
banyak unsur yang saling kuat- panngaderreng yang mengatur sistem
menguatkan. Panngaderreng meliputi hal norma dan aturan-aturan adat dalam
ihwal ade’ tentang bicara, tentang rapang, kehidupan orang Bugis. Dalam
61 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm 56-72
menyelidiki asal usul kata ade’ yang derreng yang mempersoalkan hak dan
berarti segala kaidah dan nilai-nilai keajiban setiap orang atau badan hukum
kemasyarakat yang meliputi pribadi dan dalam interaksi kehidupan dalam
kemasyarakatan, terlalu sukar melepaskan masyarakat. Ia mengandung aspek
diri dari assosiasi dengan istilah “adat” normatif dalam mengatur tingkah laku
yang telah meresap ke dalam kehidupan setiap subjek hukum, orang seorang dalam
kebudayaan. Selaku pengertian dan selaku lingkungannya yang lebih luas untuk
isi dan aplikasinya. Ade’ dan Adat saling berinteraksi secara timbal balik. Karena
isi mengisi buat membangun pengertian, bicara itu memasalahkan peradilan maka
dalam arti suatu sistem dalam masyarakat ia dengan sendirinya akan membawa kita
dan kebudayaan Indonesia. Istilah itu telah ke dalam hutan rimba masalah keadilan
menjalankan peranan dalam kehidupan dengan segala aspeknya, yang terjelma
dan perkembangan kebudayaan kita dalam kehidupan manusia sebagai
sampai hari ini. fenomena kemanusiaan.
Ade’e sebagai istilah untuk menyata- Konsepsi bicara, dalam bahasa Bugis
kan segalah kaidah kemasyarakatan orang Makassar secara eksplisit tidak menyebut
Bugis, kemungkinan besar berasal dari soal “keadilan” karena keadilan itu
perbendaharaan bahasa Bugis sendiri. merupakan bahasa Arab. Untuk kata
Kebiasaan kita di Indonesia untuk “adil” orang Bugis menerima kata itu,
menterjemahkan ade dengan adat, telah dengan penyesuaian fonologis, yaitu
membawa banyak salah pengertian yang adele’. Kata adele sendiri tidak dijumpai
dapat mengelirukan. Maka akan lebih dalam Latoa, akan tetapi secara implisit
keliru lagi, apabila ade’ itu diterjemahkan maksud konsepsi “keadilan” itu dinyata-
dengan hukum adat atau hukum kan dengan kata ”tongeng” (benar);
kebiasaan. Berkenaan dengan itu, maka tongennge (kebenaran). Memang tidak
lebih baik apabila dikatakan ade, meliputi sama tekanan arti dengan adil dan benar
semua usaha manusia dalam mem- atau adele dan tongeng, akan tetapi
peristiwakan diri dalam kehidupan menurut jalan ke arah mencapai apa yang
bersama dalam semua lapan kebudayaan. tongeng (benar dan adil) menurut orang
Tiap-tiap segi kebudayaan mengandund Bugis, orang harus menempuh jalan
aspek adeí dan ade itulah yang memberi mappasilassa’e yaitu usaha untuk mencari
nisi kepada panngaderreng. Apabila keseimbangan, keserasian dan men-
panngaderaaeng itu adalah kumpulan dari dudukkan tiap-tiap masalah pada tem-
seluruh aspek ade’ maka dapatlah dikata- patnya. Itulah jalan kearah tongeng, yaitu
kan bahwa panngaderreng ialah wujud kebenaran, dalam mana keadilan itu
kebudayaan orang Bugis dan ade’ adalah tercakup.
kongkrontasi atau penjelmaan sesuatu Rapang, adalah “yang mengokohkan
aspek kebudayaan, baik dalam bentuk negara”. Rapang menurut arti leksikal
nilai-nilai ideal berupa costums, adat dan adalah contoh, misalnya, ibarat atau
lain-lain yang disebut sengkeruang; perumpamaan, persamaan atau kias. Di
kelakuang-kelakuan yang disebut dalam Latoa, kata rapang itu disebut
barangkau’ maupun dalam bentuk fisik sebagai salah satu diantara sendi-sendi
yang disebut abbaramparangen. pangaderreng, yaitu ade bicara, rapang,
Bicara, yang dimaksud dengan wari, dan sara. Yang terakhir ini
bicara dalam panngaderreng ialah semua dimasukkan setelah islamdatang. Pada
keadaan yang bersangkut paut dengan salinan Lontara’ yang lain, misalnya
masalah peradilan. Dengan demikian dikutip Friedericy dan ditempatkan
maka bicara itu adalah aspek panga- sebagai kata pembuka dari erste hoofdstuk
62 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm 56-72
menentukan garis keturunan dan ke- padu sebagai satu sistem dalam pannga-
keluargaan, yang mengatur tentang derreng. Keadaan seperti ini terjadi karena
struktur kemasyarakatan. Serta Wari’ penerimaan mereka kepada Islam sebagai
pangoriseng ialah mengenai tata urutan agama di Sulawesi Selatan tidak terlalu
(vole-orde) dari hukum yang berlaku banyak merobah nilai-nilai, kaidah kaidah
dalam sistem tata-hukum. Inilah yang kemasyarakatan dan kebudayaan yang
menentukan berlaku atau batalnya suatu telah ada. Seperti dalam penegasan
undang-undang atau hukum, dilihat dari Giddens, tentang Praksis Sosial: produksi
sudut jenis kekuatan formal dan dan reproduksi kehidupan sosial. Kita
materilnya. Seperti dalam Lontara; “rusa’ dapat lihat bahwa bagaimana sara’ itu
taro arung, tenrusa’taro ade’, rusa’ taro dudah menjadi aspek dalam pannga-
ade tenrusa’taro anang. rusa’ taro anang, derreng seluruhnya dan melakukan
tenrusa’taro to mae-ga” maksudnya, batal peranan dalam membentuk nilai-nilai dan
ketetapan raja, tak batal ketetapan ade’, norma dalam masyarakat dan kebudayaan
batal ketetapan ade, tak batal ketetapan orang Bugis.12
kaum, batal ketatapan kaum tak batal
B. Latar Belakang Regressus PERDA
ketetapan rakyat. Menentukan tingkat-
di Sulawesi Selatan
tingkat berlakunya suatu peraturan atau
ketentuan hukum itulah yang menjadi Menurut Toriolo (para pendahulu),
salah satu fungsi terpenting dari wari’. yang menentukan manusia ialah ber-
Sara, ada: “empat macamnya saja fungsinya dan berperannya sifat-sifat
yang memperbaiki negara dan barulah kemanusian, sehingga orang menjadi
dicukupkan lima macamnya, ketika Islam manusia dan begitu jugalah nilai-nilai
diterima dan sara’ dimasukkan juga. budaya Bugis. Adapun nilai-nilai ke-
Sara‘, demikianlah orang bugis menyebut jujuran, kecendiakaan, kepatutan, ketegu-
prata Islam yang menggenapkan keempat han dan usaha sebagai nilai-nilai utama
aspek panngaderreng mereka menjadi dilihat dari sisi fungsinya. Keutamaannya
lima, sehingga tersusunlah sendi-sendi secara fungsional dalam hubungannya
kehidupan masyarakat mereka atas ade’, dengan diri sendir, dengan sesama
bicara, rapang, wari, dan sara’. Dengan mahluk, dengan cita-cita, dan dengan
adanya Islam dan diterimanya sara’ Tuhan. Sama halnya nilai-nilai tersebut
(syariat Islam) ke dalam panngaderreng, tampil peranannya pada kegiatan-
maka pranata-pranata kehidupan sosial kegiatan, baik dikalangan individu mau-
budaya orang Bugis yang tumbuh dari pun institusi kemasyarakatan. Peranannya
aspek-aspek penngaderreng, memperoleh yang lestari dalam rangkuman masa yang
pengisian dengan warna yang lebih tegas, cukup panjang dalam ke-hidupan generasi
bahwa sara’ (sebagaimana adanya yang ke genarasi. Peranannya yang memberi-
sampai pada kehidupan orang Bugis) kan sanksi hukuman atas setiap pelang-
menjadi padu sebagai aspek pannga- garan terhadapnya. Dan peranannya dalam
derreng lainnya. Ketaatan mereka pada memberikan peng-hargaan kepada yang
sara’ sama dengan ketaatan mereka pada mengembannya, baik manusia maupun
aspek-aspek panngaderreng lainnya. lembaga atau pranata-pranata sosial.
Oleh karena itu, janggal untuk 1. Kejujuran
mengatakan bahwa orang Bugis Makassar
di Tana-Ugi dalam kehidupan sosial Dalam perkataan Bugis, jujur disebt
budayanya mengutamakan (secara kuali- lempu’. Menurut arti logatnya lempu sama
tatif) ade’ dan menomorduakan (secara dengan lurus sebagai lawan dari bengkok.
kualitatif) sara’, karena keduanya sudah Dalam berbagai konteks, adakalanya kata
64 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm 56-72
ini berarti juga ikhlas, benar, baik atau akhirnya harus menerima, masih pun dia
adil sehingga kata-kata lawannya adalah meminta tempo untuk pergi berguru,
culas, curang, justa, khianat, seleweng, mencari bekal keilmuan bagi kepentingan
buruk, tipu, aniaya, dan semacamnya. pelaksanaan amanat rakyat Soppeng.
Arti-arti dapat dipahami ketika ditemukan Kalau sikapnya itu dikatakan berendah
kata lempu’ dalam ungkapan-ungkapan hati namun itu lahir dari nilai nilai
Bugis atau lontara. Berbagai cara pula kejujuran bercampur dengan keilmuan dan
lontara menerangkan mengenai kejujuran kepatutan. Dia tidak merasa rendah buat
ini. Kita dapat melihat aplikasi kejujuran menyatakan kekurangannya di hadapan
(lempu’) serta maknanya dalam kehidupan rakyat yang telah meyakini kelebihan dan
masyarakat Bugis Makassar. kemampuannya. Soppeng telah mengeta-
Ketika Tociung, cendekiawan hui bahwa syarat untuk seorang datu di
Luwu, diminta nasehatnya oleh raja (datu) Soppeng telah dimiliki olehnya.
Soppeng, La Manussa’ Toakkarangeng,
2. Kecendikiaan
beliau menyatakan ada empat perbuatan
jujur, yaitu; (a) memaafkan orang yang Ungkapan-ungkapan Lontara, sering
berbuat salah kepadanya; (b) dipercaya meletakkan nilai kencendekiaan dengan
lalu tidak curang, artinya disandari lalu nilai-nilai kejujuran, karena kedu-duanya
tak berjusta, tak menyerakahi yang bukan saling isi mengisi. Sebagai contoh
haknya, dan tidak memandang kebaikan ungkapan berikut ini: “Jangan sampai
kalau hanya untuk dirinya dan baginya engkau ketiadaan kecendekiaan dan
baru dinamakan kebaikan jika dinikmati kejujuran. Adapun yang dinamakan
bersama. Sejalan dengan pengertian ini cendekia ialah tidak ada yang sulit
Kajaolaliddong cendekiawan Bone men- dilaksanakan, tidak ada pembicaraan yang
jelaskan kejujuran ketika ditanya oleh sulit disambut dengan kata-kata yang baik
Raja Bone mengenai pokok-pangkal dan lemah-lembut lagi percaya kepada
keilmuan. Apakah saksinya atau buktinya sesama manusia. Yang dinamakan jujur
kejujuran? ”Seruan ya Arumpone!” apa ialah perbuatan baik, pikiran benar,
yang diserukan ya Kajao? Adapaun yang tingkah laku sopan lagi takut pada
diserukan ialah: jangan mengambil Tuhan”. Yang menarik disini adalah, adat
tanaman yang bukan tanamanmu; jangan mulai disemaikan dari masa kanak-kanak.
mengambil barang-barang yang bukan Ketika mereka sedang diayunan atau
barang-barangmu, bukan juga pusakamu; dipangkuan, sudah didendangkan elong
jangan mengeluarkan kerbau (dari pa’ dondodondo (nyayian harapan). Seni
kandangnya) yang bukan kerbaumu, juga masih dihafal sampai sekarang oleh
kudamu yang bukan kudamu; jangan kebanyakan orang dipedalaman. “Mari
ambil kayu yang disandarkan, bukan kita membuat pagar dibawah rumah kita.
engkau yang menyandarkannya; jangan Ayo kita menanam adat kita, semarak
juga kayu sudah ditetak ujung pangkalnya kembang melati kita.” Dari nyayian ini
yang bukan engkau menetaknya. diketahui sebelum adat ditanam, pagarnya
Betapa dalam kesan nilai kejujuran harus lebih dahulu disiapkan. Ungkapan
itu pada diri pribadi Lamanussa’ mereka mencatat bahwa ada dua hal yang
Toakkarangeng. Pada waktu rakyat dijadikan pagar yaitu bunga nangka dan
Soppeng mengajukan kesepakatannya hiasan kuku. Artinya oleh orang Bugis,
untuk meminta kesediaan beliau menjadi bunga nangka disebut lempu’ yang berarti
Datu Soppeng, berkali-kali ditolaknya lurus atau jujur. Yang diartikan sebagai
sambil menyatakan supaya mencari orang hiasan kuku ialah pacci (pacar) atau
lain dari padanya. Ketika beliau pada
65 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm 56-72
dibaca paccing yang berarti bersih atau (b) kekerasan yang akan melenyapkan
suci. kasih sayang di dalam negeri; (c) kecu-
Jadi ungkapan tersebut bermaksud rangan, akan memutuskan hubungan
bahwa yang dijadikan pagar adalah orang sekeluarga; dan (d) ketegahan akan
kejujuran dan kesucian. Kalau pagar menjauhkan kebenaran di dalam kam-
seharusnya kuat dan indah maka kejujuran pung.
dan kesucian itulah yang kuat dan indah.
4. Keteguhan
Di dalam konsep nilai kecendekiaan
terkandung, di samping nilai kejujuran, Keteguhan yang dimaksud disini
juga nilai kebenaran, kepatutan, ke- adalah getteng dalam bahasa Bugis. Selain
ikhlasan dan semangat penyiasatan atau berti teguh, kata ini pun berarti tetap asas
penelitian. atau setia pada keyakinan, atau kuat dan
tangguh dalam pendirian, erat memegang
3. Kepatuhan
sesuatu. Sama halnya dengan nilai
Kepatutan, kepantasan, kelaya-kan kejujuran dan lainya yang terikat pada
adalah terjemahan dari bahasa Bugis makna positif. Ini dinyatakan oleh
Asitinajang. Kata ini berasal dari tinaja Tociung bahwa empat perbuatan nilai
yang berarti cocok, sesuai, pantas atau keteguhan; (a) tak menginkari janji,
patut. Lontara mengatakan: “duduki (b) tak menghianati kesepakatan, (c) tak
kedudukanmu, tempati tempatmu”. Ade’ membatalkan keputusan, tak mengubah
wari’ (adat pembedaan) pada hakikatnya kesepakatan, dan (d) jika berbicara dan
mengatur agar segala sesuatu berada pada berbuat tak berhenti sebelum ranpung.
tempatnya. Mengambil sesuatu dari Nilai keteguhan juga dapat berarti bahwa;
tempatnya dan meletakkan sesuatu pada “yang satu tidak baik dan yang lainnya
tempatnya. Termasuk perbuatan mappa- adalah keteguhan yang baik”. Orang yang
sitinaja. Merusak tata tertib ini adalah memegang nilai keteguhan yang baik
kezaliman. Kewajiban yang dibaktikan ialah menetapi untuk tidak mengajarkan
memperoleh hak yang sepadan adalah ketidak-baikan, dan berketetapan melaku-
suatu perlakuan yang patut. Banyak atau kan kebaikan, meskipun keburukan itu
sedikit tidak dipersoalkan oleh sitinaja. menarik hatinya tetapi sudah diketahuinya
Ambil yang sedikit jika yang sedikit itu tentang keburukannya yang lalu tidak
mendatangkan kebaikan, dan tolak yang dilakukannya.
banyak apabila yang banyak itu men-
datangkan kebinasaan. 5. Siri’
Nilai kepatutan ini erat kaitannya Siri’ dalam bahasa Bugis dan
dengan kemampuan (makamaka) jasma- Makassar berarti malu atau rasa malu,
niah dan ruhaniah. Penyerahan atau sekalipun kata siri’ tidak hanya dipahami
penerimaan sesuatu, apakah itu amant atau menurut makna harfiahnya tersebut.
tugas, haruslah didasarkan atas kepatutan Seminar masalah siri’ di Sulawesi Selatan
dan kemampuan. Makamaka lebih banyak melatakkan batasan umum bagi penegrtian
menekankan penampilan bagi pemangku siri’, sebagai berikut: (a) Siri’ dalam
tanggung jawab. Perkataan terima kasih sistem budaya, adalah pranata pertahanan
(marennuna) adalah pinjaman dalam hatga diri, kesusilaan dan hukum serta
bahas Bugis. Disamping itu ada beberapa agama sebagai salah satu nilai utama yang
hal yang dapat merusak nilai kepatutan mempengaruhi dan mewarnai alam
ini, dan menimbulkan akibat yang pikiran, perasaan dan kemauan manusia.
merusak negeri. (a) tamak atau keseraka- Sebagai konsep budaya, ia berkedudukan
han, akan menghilangkan malu; regulator dalam mendinamisasi fungsi-
66 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm 56-72
fungsi struktural dalam kebudayaan; (b) Siri’ baru dapat dihayati manakala konsep
siri’ dalam sistem sosial, adalah Siri’ diamati dari sisi keberadaannya
mendinamisasi keseimbangan eksistensi sebagai bagian sistem nilai budaya (cultur
hubungan individu dan masyarakat untuk value system) Bugis-Makassar. Sistem
menjaga kesinambungan kekerabatan. nilai budaya (cultur value system)
Sebagai dinamika sosial, terbuka untuk berkaitan dengan konsepsi-konsepsi,
beralih peranan (bertransmisi), beralih gagasan-gagasan, ide-ide yang hidup
untuk (bertransformasi), dan ditafsir ulang dalam alam pikiran sebagaian warga
(reinterpretasi) sesuai perkembangan masyarakat mengenai apa yang dianggap
kebudayaan nasional sehingga siri’ dapat bernilai, berharga serta penting dalam
ikut memperkokoh tegaknya filsafat kehidupan mereka. Sistem nilai budaya
bangsa Indonesia, Pancasila. (c) siri’ yang dimaksud lazim berfungsi sebagai
dalam sistem kepribadian, adalah sebagai pedoman tertinggi, yang memberi arah
perwujudan kongkret di dalam akal budi dan orientasi bagi kehidupan para warga
manusia menjungjung tinggi kejujuran, masyarakat.
keseimbangan untuk menjaga harkat dan
martabat manusia.13 C. Implementasi Nilai-Nilai Budaya
La Side’ Daeng Tapala14 dalam Terhadap PERDA di Sulawesi
Artidjo Alkotsar15, menyatakan bahwa Selatan
Sirik (Siri’) adalah sinonim dengan 1. Hubungan Siri’ dengan Nilai Etika
manusia susila, dengan ungkapan: Lanatu Hukum (Value of legal Ethic)
Siri’e reasing tau, dengan menarik
kesimpulan; (1) Siri’ pada Bugis adalah Dalam sistem nilai budaya
suatu lembaga susila yang mengkultuskan terkandung pelbagai nilai (values).
harga diri pada manusia; (2) pengertian Diantara pelbagai nilai itu, terdapat nilai-
Siri’ pada suku Bugis telah, meningkat nilai yang dirangkum kedalam kelompok
menjadi kemanusiaan; (3) Siri’ telah nilai etika (ethic values). Kaidah-kaidah
berhasil menanamkan dalam jiwa suku hukum (rechtsnormen) dibangun atas
Bugis, bahwa tujuan hidup adalah menjadi pondasi nilai etika hukum (value of legal
manusia susila dengan memiliki harga diri ethic). Nilai etika hukum mempersoalkan
yang tinggi; (4) Siri’ telah berhasil perilaku moral (moral conduct)
meningkatkan kekuatan-kekuatan yang sehubungan dengan hal baik atau buruk
menakjubkan pada suku Bugis, yang (good or bad) benar atau salah, baik atau
nampak dalam sejarah kehidupan suku jahat menurut hukum. Dalam sistem nilai
tersebut; (5) perubahan nilai-nilai susila budaya Siri’ terdapat pula nilai etika
yang disebabkan oleh yang disebabkan hukum, seperti halnya nilai malu serta
oleh pengaruh kebudayaan asing tidak/ nilai harga diri (martabat) yang menjadi
belum disadari oleh bahagian terbesar bagian cita-cita, gagasan-gagasan, kon-
suku Bugis, yang menimbulkan jurang sepsi-konsepsi hukum daripadanya.
antara kesadaran/pengertian susila mereka Nilai etika hukum dimaksud juga
dengan hukum berlaku. disebut siri’ dalam tuturan pappaseng
Siri’, dalam konsep kultur, berkaitan (pappasang) serta manuskrip-manuskrip
dengan hal kehidupan budaya masyarakat lontarak, sehingga tepat kiranya penulis
suku Bugis-Makassar. Lebih menghayati menyebutnya penamaan yang sama dalam
makna kultur kata Siri’ bahwa perlu ada bahasan J.J Rousseou menyatakan,
pembedaan pengertian (makna) harfiah “otonomi manusia ditafsirkan bermakna
kata Siri’ dengan pengertian (makna) bahwa norma hukum hanya akan memiliki
kultur daripadanya. Makna kultur kata kewajiban secara absah bersifat mengkaji
67 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm 56-72
jika ia diciptakan dengan partisipasi bebas “Padatoi, iko pakkatenni ade’e, isseng
dari mereka yang tunduk kepadanya dan majeppui ri asengnge ade’, muatutuiwi
lebih lanjut bahwa hanya dalam kerangka mupakarajai, apa ade’e ritu riaseng tau,
imperatif kategorislah keputusan bebas itu nakko temmuisengngi ri aseng ade’,
bisa direlaisir sebagai wujud otonomi tencaji ritu riaseng tau, apa’ de tu
manusia, sebagai indikasi dari kehendak appongennaa ade’e, sangngadinna
umum (volunte generale)”.16 lempu’e muparajaiwi tau’ mu ri dewata e,
Siri’ sebagai pancangan nilai etika mumatanre siri’, apa’ ianaritu to maraja
hukum merupakan dasar (grondslag vorm) tau’e’ ri dewata e’ matanre siri’, iana ritu
keberlakuan kaidah-kaidah ade’ (hukum). tau temmassarang lempu e, tau
Ade’ sebagai “sistem norma dan aturan- makkua’e”.
aturan adat” dibangun diatas fondasi
martabat siri’. Mereka mematuhi dan Yang bermakna kurang lebih: “Seperti
memuliakan ade’ (hukum) karena juga, hei engkau pemangku adat,
meyakini bahwa ade’ menjaga martabat pahamilah dengan sungguh-sungguh apa
siri’ yang dijunjung tinggi. Menurut yang disebut ade’, peliharalah, hormatilah,
Matulada sebagaimana dikutip Laica karena ade’ itulah yang disebut manusia.
Marzuki,17 menyatakan orang-orang Bugis Apabila engkau tak mengetahui apa yang
kepada ade’ tidak lain karena adanya disebut ade’ makatak jadilah manusia itu
keyakinan yang mendalam pada mereka disebut manusia, karena tak ada pang-
bahwa ade’ itu senantiasa memelihara kalnya ade’ itu, kecuali kejujuran.
siri’ dalam arti esensi kebijakan martabat Besarkanlah tajutmu pada dewata, dan
manusia. Dalam pappaseng yang tuturan pertinggilah siri’, karena adapun orang
turun temurun, dikenal ungkapan yang yang disebut besar takunya kepada dewata
menyatakan: “Siri’emmi ri onroang ri dan tinggi siri’nya, itulah orang tak
lino. Uttetong ri ade’ e, najagai nami siri’ terpisah dengan kejujuran”.
ta. Naia siri’ e sunge naranreng, nyawa
na kira-kira”. Diterjemaahkan bahwa: 2. Siri’ Sebagai Asas Hukum
“hanya dengan siri’ kita hidup di dunia. (Rechtsbeginsel)
Aku setia pada ade’ karena ia menjaga Kesadaran seseorang (atau
siri’ kita. Adapun siri’ jiwa timbalannya, kelompok orang) dalam mematuhi hukum
nyawa yang dituju”. tidak lain dari perwujudan perilaku yang
Siri’ membangun ade’, sementara berkesadaran hukum. Kesadaran pada
ade’ menjaga dan memelihara siri’. hakikatnya merupakan pula pematuhan
Manakala martabat sebagai manusia akan nilai-nilai etika hukum yang
(tau’). Ungkapan pappaseng yang mendasari kaidah-kaidah hukum. Orang-
menyatakan bahwa hanya karena siri’, orang Bugis-Makassar dimasa dahulu
maka seseorang disebut manusia (siri’ menyadari bahwa ade’ dibuat guna
emmi tariaseng tau’) juga berlaku bagi menjaga serta memelihara siri’ mereka.
setiap perilaku pematuhan dan pemuliaan Pematuhan mereka akan ade’ pada
ade’. Ade’ adalah manusia itu sendiri, hakikatnya merupakan pula pematuhan
demikian lontarak pappaseng di masa serta pemulihan terhadap siri yang
abad XVI. Dalam lontartak Latoa yang mendasari kaidah-kaidah hukum ade’.
memuat bab percakapan Petta Matinroe ri Istilah nilai etika hukum hampir tak
Lariang Banngi, seorang bangsawan dan dikenal dalam bacaan ilmu hukum. Nilai-
pemikir kerajaan Bone dengan Petta nilai etika hukum merupakan salah satu
Tomarilaleng Pawelaie ri Lompu, bahasan ilmu filsafat, utamanya yang
dikemukakan paseng (petuah), berikut ini: berkenaan dengan nilai-nilai etika,
68 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm 56-72
nya yang lestari dalam rangkuman Carl Joachim Friedrich. 1969. The
masa yang cukup panjang dalam Philosophy of Law in Historical
kehidupan generasi ke genarasi. Perspective. Chicago. The
3. Dalam proses pembentukan hukum University of Chicago Press. Raisul
serta implementasinya, Siri’ dijadi- Muttaqien.(terj.) 2004. Filsafat
kan pancangan nilai etika hukum Hukum: Persfektif Historis.
merupakan dasar (grondslag vorm) Bandung: Nusamedia.
keberlakuan kaidah-kaidah ade’ Carleton K, Allen. 1964. Law in the
(hukum). Ade’ sebagai “sistem Making. New York: Oxford
norma dan aturan-aturan adat” University Press.
dibangun diatas fondasi martabat
siri’. Mereka mematuhi dan Christian Pelras, 1996. The Bugis.
memuliakan ade’ (hukum) karena Oxford. Blackwell Publishied Ltd.
meyakini bahwa ade’ menjaga Abdul Rahman Abu (terj). 2006.
martabat siri’ yang dijunjung tinggi, Manusia Bugis. Jakarta. Nalar.
dan tidak lain karena adanya Dicey, A.V. 1952. Introcuction to The
keyakinan yang mendalam pada Studi of the Constitution. London.
masyarakat Bugis-Makassar bahwa Mc Millan and CO, Limited St.
ade’ itu senantiasa memelihara siri’ Martin’s Street. Nurhadi.(terj.)
dalam arti esensi kebijakan martabat 2007. Pengantar Hukum Konstitusi.
manusia. Bandung: Nusamedia.
Friedericy,1933. De Standen bij de
B. REKOMENDASI Boeginezen en Makssaren. BKI 90.
Gerorge Ritzer, 2004. Socisiological
Dengan analisa aksiologi diatas,
Theory. New York. McGraw-Hill.
disini perlu ditekankan bahwa adat atau
Nurhadi (Terj.) 2008. Teori
budaya merupakan sumber inspirasi
Sosiologi. Yogyakarta. Kreasi
hukum masyarakat, yang perlu terus dikaji
Wacana.
dan pelihara agar arah penataan
masyarakat lebih memperlihatkan hasil Hamid Abdullah, 1985. Manusia Bugis
yang komprehensif. Karena nilai-nilai Makassar. Jakarta, Inti Idayu Press
budaya merupakan wujud aspirasi John Stone, 1978. Alexis De Tocqueville
masyarakat yang terakumulasi dalam adat on Democratzy, Revolution, and
yang bisa mengantarkannya kearah Sosiety. Yusi A. Pareanom. (terj)
kehidupan yang lebih baik dan 2005. Alexis De Tocqueville tentang
bermartabat. Dalam artian bahwa, Revolusi, Demokrasi, dan
“bukannya hidup untuk hukum namun Masyarakat. Jakarta. Yayasan Obor
hukum untuk hidup”. Indonesia.
Karl Polanyi, (1944). Origins of Our
DAFTAR PUSTAKA Time: The Greats Transformation.
Anthony Giddens and Jonathan H.Turner Boston Press
(Ed), 1978. Social Theory Today. Laica Marzuki, 1995. Siri’ Bagian
Polity Press. Yudi Santoso.(terj.) Kesadaran Hukum Rakyat. Ujung
2008. Social Theory Today. Pandang, Hasanuddin University
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Press.
Artidjo Alkotsar, (Ed). 1997. Identitas Mattulada, 1995. Latoa, Satu Lukisan
Hukum Nasional, Yogyakarta, FH Analisis Terhadap Antropologi
UII.
72 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm 56-72
5
Politik Orang Bugis. Ujung Karl Polanyi, 1944 Origins of Our Time:
Pandang, Hasanuddin University The Greats Transformation. Boston Press.
6
Press. John Stone, 1978. Alexis De Tocqueville
on Democratzy, Revolution, and Sosiety. Yusi A.
Mukhlis, (Ed). 1986. Dinamika Bugis- Pareanom. (terj) 2005. Alexis De Tocqueville
Makassar. Ujung Pandang, tentang Revolusi, Demokrasi, dan Masyarakat.
Hasanuddin University Press. (Jakarta. Yayasan Obor Indonesia) h. 47
7
Rahman Rahim, 1992. Nilai-Nilai Utama
Rahman Rahim, 1992. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. (Ujung Pandang, Hasanuddin
Kebudayaan Bugis. Ujung University Press) h. 122-124.
Pandang, Hasanuddin University 8
Mattulada, 1995. Latoa, Satu Lukisan
Press. Analisis Terhadap Antropologi Politik Orang
Zainal Abidin, 1983. Persepsi Orang Bugis. (Ujung Pandang, Hasanuddin University
Press). h.339
Bugis, Makassar tentang Hukum, 9
Gerorge Ritzer, 2004. Socisiological
Negara Dan Dunia Luar. Bandung. Theory. New York. McGraw-Hill. Nurhadi (Terj.)
Alumni. 2008. Teori Sosiologi. (Yogyakarta. Kreasi
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Wacana). h. 90
10
tentang Hak Asasi Manusia Friedericy,1933. De Standen bij de
Boeginezen en Makssaren. BKI 90. h. 447
(Lembaran Negara RI Tahun 1999, 11
Nomor 165, Tambahan Lembaran Ibid., h.9
12
Negara RI Nomor 3886) ; Anthony Giddens and Jonathan H.Turner
(Ed), 1978. Social Theory Today. Polity Press.
Undang–undang Nomor 20 Tahun 2003 Yudi Santoso.(terj.) 2008. Social Theory Today.
tentang Sistem Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar). h. 473
13
(Lembaran Negara RI Tahun 2003 Mattulada, op. cit. h. 50.
14
Nomor 78, Tambahan Lembaran La Side’ Daeng Tapala (1997:71)
Negara RI Nomor 4301) 15
Artidjo Alkotsar, (Ed). 1997. Identitas
Hukum Nasional, (Yogyakarta, FH UII). h.117
Undang - undang Nomor 32 Tahun 2004 16
tentang Pemerintahan Daerah Carl Joachim Friedrich. 1969. The
Philosophy of Law in Historical Perspective.
(Lembaran Negara RI Tahun 2004 Chicago. The University of Chicago Press. Raisul
Nomor 125, Tambahan Lembaran Muttaqien.(terj.) 2004. Filsafat Hukum: Persfektif
Negara RI Nomor 43001) Historis. (Bandung: Nusamedia). h. 154
17
Website:http://www.dprdsulsel.go.id Laica Marzuki, 1995. Siri’ Bagian
Kesadaran Hukum Rakyat. (Ujung Pandang,
diakses tanggal 24 03 09: 22.17
Hasanuddin University Press). h. 141
18
Ibid.
Catatan Akhir: 19
Ibid., h.146
1 20
Hamid Abdullah, 1985. Manusia Bugis Ibid., h.5
Makassar. (Jakarta, Inti Idayu Press), h. 5 21
Christian Pelras, 1996. The Bugis.
2
Ibid. Oxford. Blackwell Publishied Ltd. Abdul Rahman
3
Ibid., h. 6 Abu (terj). 2006. Manusia Bugis. (Jakarta. Nalar).
4 h.252
Hans Kelsen, h. 252