Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 2

These countries were eager to utilize from the potential riches of the energy resources of the

Caspian Sea in order to stand on their own feet in the post-independence period and brought into
discussion the legal regime of the Caspian which precipitated a change in a short span of time in the
strategic outlook of the region.

The Caspian region has witnessed the emergence of an intense rivalry among the coastal states as
well as the regional powers and extra-regional actors since the early 1990s for the exploration,
extraction, development and shipment of rich oil and natural gas reserves of the Caspian Sea. Russia,
the former hegemon of the region, seemed to have significant advantage vis-à-vis its competitors in
the initial stages of the struggle as it enjoyed monopoly over in the Caspian. However, endless
discussions among the littoral states for elaboration of the legal status of the sea which did not yield
any fruition, construction of alternative pipelines that bypassed the Russian territory with explicit
political backing and financial support of the extraterritorial actors especially the United States of
America (USA), reluctance of the newly independent states of Caspian to become part of a Russian-
led defense scheme showcased the limits of Russian power.

Russia asserted that the condominium regime established in the Caspian between the Soviet Union
and Iran prevails in the absence of the new agreement. Moscow insisted that the Soviet-Iranian
Treaty of 1940 is still valid because Russia, Kazakhstan, Turkmenistan, and Azerbaijan are signatories
to Alma-Ata declaration, which provided that the parties recognize the validity of all treaties signed
by the Soviet Union. Based on this, Russia asserted that until the new agreement is reached, the
littoral states should not act without mutual consultation.

In 1997, Central Asia and the Caspian were declared a zone of “U.S. vital interests” and were
included in the sphere of responsibility of the U.S. CENTCOM. These changes were molded into the
so-called Talbott Doctrine. The United States made it clear that it was not seeking monopolist
strategic domination in the region, but demonstrated that it would not tolerate the attempts of
other great powers to seek such domination.

Also, Azerbaijan and Kazakhstan commenced to cooperate with the USA to improve their defense
capabilities.

These developments did not bode well with Russia. Moscow especially frowned upon Washington’s
attempts to permeate into the Caspian through collaboration with Azerbaijan and Kazakhstan. So,
beginning from the early 2000s, Russia has been trying to not only strengthen its Caspian Flotilla
with new ships, weapons and personnel but also has been suggesting the formation of a multilateral
corporation scheme in the Caspian in order to bar the influence of extra-regional powers,
particularly the USA in the region.

Menurut K. J. Holsti, kepentingan nasional diartikan sebagai kekuasaan yang disesuaikan pada
kemampuan suatu negara tersebut dan keterbatasannya di dunia internasional. Negara sebagai
aktor rasional dengan mengikuti prinsipnya berusaha mengejar, melindungi, dan mempertahankan
kepentingan nasionalnya. Negara selalu berusaha memaksimalkan kepentingan nasionalnya dalam
setiap politik luar negerinya.16 Kebijakan luar negeri dapat berupa hubungan diplomatik,
pengeluaran doktrin, membuat aliansi, menjalankan tujuan jangka panjang maupun jangka pendek
dengan negara dan atau aktor bukan negara di dunia internasional.
Kepentingan nasional dan nilai-nilai yang dianut oleh suatu negara inilah yang menentukan arah
politik luar negeri suatu negara nantinya. Strategi dalam politik luar negeri suatu negara dipengaruhi
oleh keadaan eksternal yaitu sistem internasional dan keadaan internal yaitu kondisi domestik dan
kebutuhan eknomi itu sendiri. Negara yang berperan sebagai aktor utama memiliki tujuan-tujuan,
aspirasi, kebutuhan, sikap, pilihan, dan tindakan politik luar negeri. Salah satu orientasi dasar politik
luar negeri menurut Holtsi adalah pembuatan koalisi atau aliansi.

Penelitian ini menggunakan dua variabel yang terdiri dari variabel independen dan variabel
dependen. Variabel independen merupakan variabel yang memengaruhi variabel dependen pada
penelitian. Variabel independen dapat juga menjadi sebab dari perubahan yang menyebabkan
timbulnya variabel dependen. Sedangkan variabel dependen yang dimaksud merupakan variabel
yang dipengaruhi atau dapat pula dikatakan sebagai variabel yang menjadi akibat dari adanya
variabel bebas pada penelitian.

Dari bergabungnya Russia sebagai anggota negara yang mendatangani dan meratifikasi the
Convention on the legal status of the Caspian Sea pada tahun 2018, maka jawaban sementara
peneliti dari penelitian ini adalah adanya kepentingan nasional yang ingin dicapai oleh russia. Adanya
keterbatasan dan factor external yang mengahadang dalam pemenuhan kebutuhan dalam negerinya
menuntut Russia untuk melakukan perubahan geostrategis dalam pendekatan dengan negara-
negara di sekitar laut kaspia. Hadirnya the Convention on the legal status of the Caspian Sea akan
menguntungkan Indonesia, dimana keuntungan tersebut akan digunakan dalam pemenuhan
kepentingan nasionalnya. Kepentingan-kepentingan tersebut berupa kepentingan sumber daya
energi russia dalam the Convention on the legal status of the Caspian Sea adalah memepertahankan
status quo Russia semagai pemain dominan di sector sumber daya energi di Kawasan kaspia;
sedangkan kepentingan politik russia dalam the Convention on the legal status of the Caspian Sea
adalah untuk menjalin kerjasama energi dan membatasi kekuatan serta influence actor-aktor negara
yang bukan dari peisir laut kaspia.

You might also like