Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 17

DASAR HUKUM DAN DAMPAK KEKERASAN DAN

PENELANTARAN ANAK OLEH KELUARGA DEKAT

DISUSUN OLEH

MILAVIZA PATRISHA

1102017137

BLOK ELEKTIF
DOMESTIC VIOLENCE
KELOMPOK 3

TUTOR : dr. Fitri, M.Biomed

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2020
THE LEGAL BASIS AND IMPACT OF CHILD ABUSE AND
NEGLECT BY CLOSE FAMILY

ABSTRACT

Introduction: Child abuse and neglect continues to befall even though the accountibility has been
written in Law 23/2002. The 2016 research data revealed an average of 50% children have
experienced various aspects of violence. However, according to the 2014 survey, the combination
of both physical and psychological abusive households ranked first place in Indonesia.
Case Report: P is a victim of abuse and neglect by one of his uncles. This was known when P was
undergoing a psychotherapy session. Upon examination, traumatic injuries, fractures, caries
lesions, gingivitis and malnutrition were found. P also describes a child who is unkempt.
Discussion: Child abuse and neglect can be harmful for children. These types of violence are
classified as physical, emotional, sexual, neglect and economic violence. The trauma will lead to
behaviour disorder, anxiety and depression. As children get older, they will show an increased risk
of psychiatric illness, serious medical illness, lower productivity and drug abuse. Therefore, the
existence of child protection laws ensures the criminalization of the perpetrator.
Conclusion: Child abuse and neglect could be carried out by their own family or close relatives.
The motives vary, including numerous residences, death of parents, and socio-economic status. In
Islamic law, child abuse and neglect are prohibited but it is pormissible to educate within specified
boundries.

Keywords: neglected, child abuse, impact


DASAR HUKUM DAN DAMPAK KEKERASAN DAN
PENELANTARAN ANAK OLEH KELUARGA DEKAT

ABSTRAK

Pendahuluan: Kekerasan dan pengabaian terhadap anak masih terus terjadi walaupun sudah
dituliskan pertanggungjawabannya pada UU 23/2002. Data penelitian 2016 melaporkan rata-rata
50% anak mengalami kekerasan dari berbagai aspek. Sedangkan di Indonesia, menurut survey
2014, gabungan kekerasan fisik dan psikologis menjadi peringkat pertama yang terjadi di rumah
tangga.
Laporan Kasus: P merupakan korban kekerasan dan penelantaran oleh salah satu pamannya. Hal
tersebut diketahui saat P sedang menjalani sesi psikoterapi. Saat dilakukan pemeriksaan,
ditemukan cedera traumatis, fraktur, lesi karies gigi, gingivitis dan malnutrisi. P juga
menggambarkan seorang anak yang tidak terawat.
Diskusi: Kekerasan dan penelantaran terhadap anak dapat menimbulkan kerugian atau bahaya
terhadap anak-anak. Bentuk kekerasan terhadap anak dapat diklasifikasikan menjadi kekerasan
secara fisik, emosi, seksual, pengabaian dan ekonomi. Trauma yang dialami anak akan
memberikan dampak seperti gangguan perilaku, cemas dan depresi. Ketika dewasa nanti, anak
akan menunjukan peningkatan risiko kejiwaan, penyakit medis yang serius, produktivitas yang
rendah dan penggunaan obat-obat terlarang. Maka, dengan adanya undang-undang yang mengatur
perlindungan anak, maka pelaku dapat dihukum pidana.
Kesimpulan: Kekerasan dan penelantaran pada anak dapat dilakukan oleh keluarga sendiri
maupun orang terdekat. Penyebab ini sangat bervariasi ada yang berupa variasi tempat tinggal,
meninggalnya orang tua, maupun sosio-ekonomi. Tindakan ini memiliki dampak terhadap
kesehatan fisik dan mental. Dalam hukum Islam, kekerasan terhadap anak merupakan hal yang
dilarang, tetapi dibolehkan untuk mendidik dengan batasan yang ditentukan.

Kata kunci: diabaikan, kekerasan anak, dampak


LATAR BELAKANG

Anak merupakan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa dan


sumber daya manusia yang memiliki peran strategis, serta memerlukan
pembinaan. Masa anak-anak adalah masa paling peka untuk menanamkan aqidah,
sikap hidup, budaya dan sosial (Harianti dan Siregar, 2014). Pengertian anak
menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
adalah seseorang yang belum 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Kewajiban dan tanggung jawab orang tua yang terdapat dalam Pasal
26 UU 23/2002 menegaskan bahwa hak-hak anak harus terus menerus dilindungi
dan itu tanggung jawab orang tua, masyarakat, pemerintah dan negara. Walaupun
demikian, dalam kenyataannya masih banyak terdapat tindak kekerasan dan
pelanggaran dalam segala aspek.
Data dari Official Journal of The American Academy of Pediatrics dengan
judul Global Prevalence of Past-year Violence Against Children: A Systematic
Review and Minimum Estimates, 2016. Rata-rata 50% atau diperkirakan lebih dari
1 miliar anak di dunia berusia 2-17 tahun, mengalami kekerasan fisik, seksual,
emosional, dan penelantaran di kawasan Afrika, Asia dan Amerika Utara dalam
waktu tersebut. Di Indonesia, menurut laporan UNICEF tahun 2015, kekerasan
terhadap anak terjadi secara luas. 40% anak berusia 13-15 tahun melaporkan
pernah diserang secara fisik sedikitnya satu kali dalam setahun, dan 26% pernah
mendapat hukuman fisik dari orang tua atau pengasuh rumah. Data rekapitulasi
jumlah kasus berdasarkan klaster perlindungan anak tahun 2011-2018 dari Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), anak berhadapan dengan hukum
menempati peringkat satu.
Hasil dari Survei Sosial Ekonomi Nasional Modul Ketahanan Sosial
(Hansos) 2014 menunjukan bahwa persentase jenis perilaku kekerasan yang
digunakan dalam mendidik anak umur 1-14 tahun dalam rumah tangga tertinggi
pada kategori gabungan kekerasan psikologis dan fisik (23,17%) diikuti oleh
kekerasan psikologis (21,48%).
DESKRIPSI KASUS

P, anak laki-laki berusia 12 tahun, ditemani oleh bibi dari pihak ibu, pergi
ke Rumah Sakit Gigi universitas lokal (Klinik Dental anak) di Kenya pada bulan
Oktober 2012, dengan keluhan pembengkakan wajah kiri yang besar dan nyeri
berhubungan dengan gigi seri kiri atas. Pembengkakan terjadi 2 (dua) hari
sebelum pergi ke rumah sakit lokal, dan 4 (empat) hari sebelum ke Rumah Sakit
Gigi universitas. Jawaban yang diberikan dari pertanyaan tentang penyebab
terjadinya hal tersebut tidak jelas.
Riwayat keluarga mengindikasikan bahwa P adalah anak pertama dari tiga
bersaudara yaitu, anak perempuan usia 9 tahun dan anak laki-laki usia 5 tahun,
dengan orang tua tunggal (ibu) telah meninggal selama 6 tahun akibat komplikasi
terkait HIV. Ketiga anak tersebut telah pindah untuk tinggal bersama dengan
kakek-nenek dari pihak ibu dan ketujuh putra mereka. P tidak memiliki riwayat
medis yang merugikan dan sebelumnya tidak pernah konsultasi dengan dokter
gigi terkait masalah saat ini.
Pemeriksaan ekstra-oral menunjukan bahwa P memiliki perawakan kecil,
gaya jalan normal, tampak sakit dan tidak terawat. Wajah asimetris yang
disebabkan karena pembengkakan daerah submandibular kiri dan meluas ke
margin orbital inferior, suhu 39,1°C, limfadenopati submandibular di kiri sebesar
2 cm, kulit teraba hangat pada bagian atas pembengkakan, berkilau dan terdapat
fluktuasi dan bibir kering seperti pada [Gambar 1a-c]. Namun, gerakan sendi
temporomandibular masih dalam batas normal, dan ditemukan juga bekas luka
besar pada permukaan punggung kaki kiri dengan penyebab yang tidak jelas.

Gambar 1. (a) Frontal; (b) Lateral; (c) Bekas luka


pada permukaan punggung kaki.
Pemeriksaan intra-oral menunjukan P memiliki gigi permanen dengan gigi
molar ke-3 yang tidak erupsi, kebersihan mulut yang buruk dengan endapan plak
yang berat di lidah dan peradangan generalis tingkat sedang pada gingiva.
Terdapat mobilitas tingkat III sehubungan dengan 11, 12, 21, 22, dan mobilitas
tingkat II berkaitan dengan 23, 24, 25 (Miller mobility index). Pembengkakan
intramucosal yang berhubungan dengan 21 - 24 meluas ke labial/bucal (berukuran
4x3 cm) dan ke palatum (berukuran 3x2 cm). Pada elevasi bibir bagian atas,
terdapat nanah bercampur darah keluar secara aktif dan terlihat beberapa granul
berwarna hitam yang berasal dari abses. Tidak ada fraktur alveolar/tulang yang
ditimbulkan, tetapi lesi karies ditemukan pada 46 (oklusal), 47 dan 37 (bukal).
Evaluasi ortodontik menunjukan Angles kelas I molar di sisi kiri dan kelas II di
sisi kanan. Gigi taring berada dalam hubungan kelas I secara bilateral. Terdapat
anterior over-jet 3 mm (11/21), overbite 20%, coincidental dental/facial midline
dan gigi berdempetan pada lengkung kanan atas dengan 15 gigi berpindah ke arah
palatum seperti yang terlihat [Gambar 2a-c].

Gambar 2. (a) Intra-oral melihatkan labial; (b)


Pembengkakan palatum pada 21 dan 22; (c) marginal
inflamasi gingiva secara umum.

Dilakukan pemeriksaan penunjang dengan hasil radiografi menunjukan


tidak adanya erupsi dengan potensi impaksi 48 dan 38, radioluscence garis tengah
atas, pelebaran ruang periodontal di 11, 21 (dengan kemiringan mesial), 22, karies
oklusal pada 46 dan karies bucal pada 47 dan 37. Adanya fraktur akar yang
melibatkan sepertiga apikal dari 21, 22. Tes vitalitas pada gigi seri
menggambarkan trauma positif palsu (kemungkinan adanya infeksi). Analisa
darah menunjukan adanya neutrofilia, defisiensi zat besi ringan, tetapi sero-
negatif.
Terlihat dari pola makan, P umumnya menjalani pola makan
nonkariogenik yang kurang asupan buah-buahan dan protein hewani. Penilaian
gizi mengungkapkan P dengan tinggi badan 144 cm, berat badan 28 kg dan indeks
masa tubuh (BMI) 13,5 kg/m2 (di bawah presentil ke-5), mengingat BMI yang
ideal harus 17,8 kg/m2 pada presentil ke-50.
Dari riwayat yang dikemukakan dan hasil investigasi, diagnosis kekerasan
dan penelantaran anak tercapai, dengan P menderita cedera traumatis yang
mengakibatkan selulitis wajah dan fraktur Ellis kelas VI. Selain itu, terdapat lesi
karies gigi dan malnutrisi yang relatif parah. P juga mengalami gingivitis yang
diinduksi plak, anemia ringan, fluorosis gigi ringan, dan berjejal di lengkung
anterior kanan atas dan bawah.
Pada tahap awal pengobatan, P dirawat selama 4 hari dan diberikan
deksametason 8 mg stat, cefuroxime 750 mg 3x1, metronidazole 500 mg 3x1,
tablet diklofenak 50 mg selang-seling 4 jam dengan parasetamol oral 1000 mg
3x1 selama 5 hari. P juga diberi obat kumur klorheksidin 10 ml 2x1 selama 7 hari
dan ranferon (hematinik) 10 ml digunakan 2x1 selama satu bulan. Tahap kedua
perawatan termasuk insisi dan drainase abses, diikuti dengan splint pada gigi
lengkung atas menggunakan splint semi kaku selama 4 minggu. Perawatan akar
gigi diikuti setelahnya. Tahap ketiga melibatkan ortodontik interseptif dengan
pencabutan 15 gigi untuk mengurangi kepadatan pada area tersebut. Instruksi
kebersihan mulut diberikan kepada P dan walinya.
Evaluasi gizi setelah 1 bulan memperlihatkan berat badan P naik hingga 1
kg. Pusat dukungan anak terus melakukan psikoterapi, dan dalam salah satu sesi,
pasien mengaku telah mengalami penganiayaan fisik dan diancam oleh salah satu
pamannya agar tidak memberikan informasi apapun. Pusat dukungan pun
mempertimbangkan untuk menempatkan P dan saudara-saudaranya untuk
ditempatkan di rumah perlindungan anak. Setelah 10 bulan, kesehatan mulut dan
umum pasien telah meningkat pesat seperti yang ditunjukkan [Gambar 3a-d].
Gambar 3. 10 bulan setelah pengobatan memperlihatkan
kemajuan pada kesehatan mulut dan kepercayaan diri
pasien.

DISKUSI

Kekerasan dan penelantaran anak sudah menjadi perhatian sosial yang


penting dengan konsekuensi yang signifikan bagi anak-anak, keluarga, dan
masyarakat pada umumnya (Institute of Medicine and National Research Council,
2014). Di Indonesia, kekerasan terhadap anak terbagi menjadi lima kelompok
menurut Kantor Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak
(P2TP2A), diantaranya:
1. Kekerasan fisik: pukul, tampar, tendang, cubit, dsb.
2. Kekerasan emosional: kata-kata yang menakut-nakuti, mengancam,
menghina, mencaci dan memaki dengan kasar dan keras.
3. Kekerasan seksual: pornografi, perkataan porno, tindakan tidak
senonoh/pelecehan organ seksual anak.
4. Pengabaian dan Penelantaran: segala bentuk kelalaian yang melanggar hak
anak dalam pemenuhan gizi dan pendidikan.
5. Kekerasan ekonomi (eksploitasi): mempekerjakan anak di bawah umur
dengan motif ekonomi, prostitusi anak.
Umumnya sulit untuk melihat apakah anak mengalami kekerasan atau
tidak, tetapi dengan memperhatikan riwayat medis dan sosial yang baik dapat
membantu dalam mengungkapkan masalah tersebut. Dalam memahami kekerasan
yang terjadi, dapat dilihat lebih detil dari berbagai tanda atau ciri-ciri. Pada
kekerasan fisik dapat ditemui adanya luka lebam atau cedera yang ditutup-tutupi.
Tindak kekerasan emosional anak memperlihatkan perkembangan fisik dan
emosional yang lambat ataupun mengeluh sakit tanpa alasan yang jelas.
Sedangkan pada anak yang terlantar atau terabaikan, tampak anak tidak berenergi
dan/atau anak terlihat kotor (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, 2017).
Banyak faktor yang bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan dan
penelantaran anak. Salah satunya ialah tidak adanya bimbingan dan perlindungan
orang tua kandung seperti pada kasus, menjadikan anak rentan terhadap perlakuan
yang dialaminya. Ditambah berpindah tempat tinggal dan hidup dalam
kemiskinan dalam keluarga yang besar menyebabkan kurang diperhatikannya
anak. Penelantaran perlu dipahami bukan sebagai peristiwa yang terisolasi bagi
anak-anak, tetapi sebagai bagian dari campuran kombinasi penganiayaan yang
dialami anak-anak (Mennen et al., 2010). Berbagai pengalaman hidup dan
keadaan keluarga – baik positif maupun negatif – berdampak pada kerentanan
atau ketahanan anak dalam menangani kasus penganiayaan (Hunter, 2014). Faktor
lain yang dapat mempengaruhi dampak kekerasan dan penelantaran anak, yaitu:
● Usia dan tahap perkembangan penganiayaan terjadi: semakin muda
terjadi kekerasan, semakin besar kemungkinan mereka mengalami
masalah di kemudian hari;
● Tingkat keparahan kekerasan: semakin besar tingkatan kekerasan atau
pengabaian, semakin tinggi kemungkinan hasil negatif;
● Jenis kekerasan dan/atau pengabaian;
● Persepsi anak tentang kekerasan: kemungkinan hasil yang lebih buruk
jika korban / penyintas mengalami perasaan menyalahkan diri sendiri,
malu atau stigmatisasi; dan
● Hubungan yang dimiliki (atau dimiliki) anak atau remaja dengan pelaku
(Bromfield & Higgins, 2005; Miller-Perrin & Perrin, 2007; Price-
Robertson et al., 2013; Hunter, 2014).

Oleh karena itu, anak-anak yang pernah mengalami kekerasan berisiko


tinggi mengalami dampak kesehatan fisik seperti patah tulang dan penyakit
jantung, psikologi termasuk gangguan panik dan depresi, perilaku seperti
kenakalan dan penyalahgunaan alkohol, dan sosial. Penelantaran anak bersifat
kronis, anak-anak dan remaja yang terabaikan berhadapan dengan situasi
kebutuhan yang tidak terpenuhi. Seiring waktu, mereka mulai merasa tidak layak
untuk diperhatikan dan diberi energi; mengakui penolakan orang tua. Pengabaian
atau pelecehan emosional lebih erat menyatu dengan perkembangan penyakit
kejiwaan di kemudian hari (Dahake et al., 2018).
Indonesia memiliki hukum untuk melindungi anak bangsa, yaitu
perundang-undangan yang ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap
mereka. Perlakuan seperti yang disebutkan pada Pasal 13 UU 23/2002 seperti
diskriminasi, eksploitasi, penelantaran, kekejaman, ketidakadilan dan perlakuan
salah lainnya; berhak dilindungi sebab anak memiliki hak untuk diperlakukan
secara manusiawi.
Anak-anak yang termasuk dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
(pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002) tentang Perlindungan Anak
pasal 59, yaitu:

● Anak dalam situasi darurat;


● Anak yang berhadapan dengan hukum;
● Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;
● Anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
● Anak yang diperdagangkan;
● Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
● Anak yang menjadi korban pornografi;
● Anak dengan HIV/AIDS
● Anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan;
● Anak korban kekerasan baik fisik dan/atau psikis;
● Anak korban kejahatan seksual;
● Anak korban jaringan terorisme;
● Anak penyandang disabilitas;
● Anak korban perlakuan salah dan penelantaran;
● Anak korban perilaku sosial menyimpang; dan
● Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan
kondisi Orang Tuanya.

Sesuai dengan kejadian yang dialami pada kasus pasien anak laki-laki,
menurut yurisprudensi Indonesia maka pelaku dapat dijerat dengan Pasal 76B UU
35/2014 yang berbunyi:

Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan melibatkan, menyuruh


melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran.

Sanksi bagi orang yang melanggar pasal di atas (pelaku penelantar)


ditentukan dalam Pasal 77B UU 35/2014:

Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 76B, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Sementara, perlakuan kekerasan yang dialami oleh seorang anak dapat


dijerat dengan Pasal 76C UU 25/2014 yang berbunyi:

Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh


melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.

Sanksi bagi orang yang melanggar pasal di atas (pelaku kekerasan)


ditentukan dalam Pasal 80 UU 35/2014:

(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00
(tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat,
maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan
penganiayaan tersebut Orang Tuanya.

Dalam pandangan Hukum Islam, sudah memiliki tujuan dalam menjaga


hak-hak seorang manusia termasuk di dalamnya hak-hak anak yang termuat dalam
Maqashid al-syariah. Hal yang paling penting bagi manusia adalah hak untuk
hidup yang mana disebutkan dalam pemeliharaan atas jiwa, itulah mengapa
sebabnya tidak boleh membunuh orang lain, firman Allah SWT:

ٍ ‫عل َيْك ُْم اَلَّا تُ ْش ِرك ُْوا ِب ٖه َشيْـًٔا َّوبِال َْوا ِل َديْ ِـن اِ ْح َسانًاۚ َول َا تَقْتُل ُْوٓا ا َ ْول ََادك ُْم ِّم ْن اِ ْمل‬
ۗ‫َاق‬ َ ‫ق ُْل تَ َعال َْوا اَتْ ُل َما َح ّ َر َم َربُّك ُْم‬
ۗ‫اح َش َما َظ َه َر ِمن ْ َها َو َما بَ َط َنۚ َول َا َت ْقتُل ُوا الن ّ َ ْف َس ال َّ ِت ْي َح ّ َر َم الل ّ ٰ ُه اِلَّا بِال َْح ِ ّق‬ ُ َ ّ‫ح ُن ن َ ْر ُز ُقك ُْم َواِي‬
ِ ‫اه ْم َۚول َا تَ ْق َربُوا ال ْ َف َو‬ ْ َ‫ن‬
‫ٰذلِك ُْم َو ّ ٰصىك ُْم ِب ٖه ل ََعلَّك ُْم تَ ْع ِقل ُْو َن‬

Katankalah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh


Tuhanmu Yaitu: Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat
baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu
karena miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka;
janganlah kamu mendekati perbuatan yang keji, baik yang terlihat ataupun yang
tersembunyi, janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali
dengan alasan yang benar. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar
kamu mengerti. (QS. Al-An’am (6):151)

Dari ayat di atas bahwa anak berhak untuk hidup, tanpa terkecuali anak
hasik perkawinan tidak sah, perkawinan difasakh atau lainnya. Allah SWT
menyertai lahirnya seorang makhluk itu dengan memberikan rezekinya yang
berarti Allah tidak melepaskan perhatian kepada siapapun walaupun makhluk
yang melata (Ginting, 2019).
Beberapa aspek telah ditetapkan oleh Allah SWT, dalam kaitannya dengan
sesama manusia adalah tentang pemeliharaan anak (hadanah). Anak-anak adalah
kelompok yang rentan membutuhkan perlindungan khusus, dalam Islam
disebutkan bahwa anak adalah warisan berharga dan amanah atau titipan yang
telah Allah anugerahkan kepada orang tua sebagaimana firman Allah:

‫ح َرۚ َفل ََس ْو َف تَ ْعل َُم ْو َن ەۗ لَاُق َِّط َع ّ َن اَيْ ِديَك ُْم‬ ّ ِ ‫عل َّ َمك ُُم‬
ْ ‫الس‬ َ ‫َال ا ٰ َمنْتُ ْم ل َٗه قَبْ َل ا َ ْن اٰذ ََن لَك ُْمۚ اِن ّ َٗه لَكَبِيْ ُرك ُُم ال َّ ِذ ْي‬ َ ‫ق‬
ۚ َ ْ‫َاف َّولَا ُ َص ِل ّبَنَّك ُْم ا َ ْج َم ِعي‬
‫ن‬ ٍ ‫َوا َ ْر ُجلَك ُْم ِ ّم ْن ِخل‬

Milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi; Dia menciptakan apa yang Dia
kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan
memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki, (QS Asy-Syu’ara
(26): 49)

Pemahaman ayat di atas, bahwa anak adalah amanah, seharusnya


melahirkan sikap dan rasa tanggung jawab yang sungguh-sungguh pada diri setiap
orang tua. Anak merupakan aset terbesar yang akan menentukan kualitas generasi
di masa depan, kualitas anak ditentukan oleh bimbingan kedua orang tua terhadap
anak, keberadaan ibu dan ayah dalam keluarga merupakan dua sosok utama yang
menjadi sentral bagi anak, karena pertama kali belajar, untuk mengidentifikasi
serta menyesuaikan diri dengan lingkungan dari setiap sikap dan tingkah laku
orang tua, karena pertimbangan itulah, Islam sangat menekankan pentingnya
pemeliharaan dan perlindungan anak.
Hukum Islam melarang semua bentuk kekerasan fisik terhadap anak, akan
tetapi dalam permasalahan tertentu dan dalam aturan tertentu diperbolehkan
menggunakan tindakan ta’dib (pengajaran) demi kemaslahatan anak untuk masa
depan. Terdapat beberapa hadis mengenai hal ini, salah satunya ialah:

Dari ‘Umar bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: Rasulullah
SAW telah bersabda: “suruhlah anak kalian shalat sejak usia 7 tahun dan
pukullah ia apabila meninggalkan shalat bila telah berusia 10 tahun dan
pisahkanlah tempat tidur mereka (anatara laki-lai dan perempuan)
masing-masing” (H.R. Abu Dawud).

Memukul adalah kewajiban bagi para wali (ayah atau kakek atau orang
yang telah diberi wasiat atau penanggung jawab) (Jalaluddin al-Mahali, t.th.: 121).
Shalat merupakan kewajiban yang telah menjadi beban taklif bagi manusia yang
telah dewasa (akal baligh), usia itu diperkirakan umur 10 tahun sesuai dengan
Hadis, karena tidak mungkin hukum diterapkan pada anak yang belum dewasa.
Pengajaran dalam bentuk pemukulan terhadap anak adalah dalam konteks
pendidikan bukanlah penyiksaan (Hidayat, 2016).
Memukul anak dalam hukum pidana Islam merupakan hal yang dilegalkan
dalam konteks mendidik. Dalam buku as-syibhan karangan Syaikh Syamsuddîn
al-Ambâbî menyebutkan tentang tata cara memukul anak yang benar (syarat-
syarat memukul):
1. Memukul harus dilakukan berselang-seling;
2. Harus diberikan jarak antara dua pukulan, sedangkan jeda waktu itu
sekiranya efek pukulan pertama telah berkurang;
3. Dalam memukul tidak boleh mengangkat siku, supaya efek sakit yang
ditimbulkan tidak berbahaya;
4. Seorang pengasuh tidak boleh memukul ketika ia sedang marah;
5. Urungkan niat untuk memukul anak ketika dia menyebut nama Allah;
6. Tidak boleh memukul anak kecuali ia tersebut berusia 10 tahun.

Imâm Syâfi’î berpendapat bahwa pendidik bertanggung jawab atas


kerusakan tubuh anak dan kerusakan sebahagian anggota tubuhnya pada semua
keadaan karena pendidikan adalah haknya, bukan kewajibannya. Karena ia berhak
membiarkan atau melakukannya. Jika dia menggunakan hak tersebut, ia harus
bertanggung jawab atas akibat dari tindakannya. (‘Abdul Qâdir ‘Audah, t.th.:
447).
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa hukum pidana Islam
membenarkan pengajaran walaupun dalam bentuk pemukulan asalkan tidak dalam
konteks penganiayaan yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan bagi anak.
Akan tetapi jika terlepas dari ketentuan yang telah diuraikan di atas maka
kekerasan tersebut termasuk tindak pidana penganiayaan dalam hukum pidana
Islam.
KESIMPULAN

Kekerasan dan penelantaran pada anak bisa dilakukan oleh keluarga


sendiri maupun orang terdekat. Penyebab terjadinya hal ini sangat bervariasi, bisa
karena sosio-ekonomi, meninggalnya orang tua, tempat tinggal yang variasi dan
kurangnya perhatian dari orang dewasa sekitar. Tindakan tersebut membawa
dampak emosional dan fisik kepada korbannya. Pada kasus ini sang anak
mengalami penelantaran dan kekerasan dari pamannya karena faktor sosio-
ekonomi sehingga memberi dampak pada kesehatan fisik, mental dan sosial.
Maka dari itu, dengan adanya Undang-Undang tentang Perlindungan Anak dapat
memberikan sanksi terhadap pelaku dan anak terlindungi.
Allah SWT menetapkan untuk memelihara anak sebab anak merupakan
amanah yang telah dianugerahkan oleh Allah. Dalam hukum Islam, dilarang untuk
melakukan kekerasan fisik terhadap anak kecuali dalam permasalahan tertentu dan
harus bertanggung jawab dan sesuai batasannya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada dr. Ferryal Basbeth, Sp.F, DFM sebagai dosen
pengampu dan dr. Fitri, M.Biomed sebagai tutor atas ketersediaan meluangkan
waktunya untuk memberikan bimbingan. Terima Kasih kepada Dr. RW.
Susilowati, M.Kes dan DR. Drh. Titiek Djannatun sebagai koordinator blok
elektif ini. Terima kasih kepada semua anggota kelompok Domestic Violence 3
atas dukungan dan kerjasamanya.
DAFTAR PUSTAKA

Dahake, Prasanna & Kale, Yogesh & Dadpe, Mahesh & Kendre, Shrikant &
Shep, Snehal & Dhore, Snehal. (2018). Impact of Child Abuse & Neglect
on Children: A Review Article.

Ginting, Elvira. (2019). UU Nomor 35 Tahun 2004 tentang Perlindungan Anak


ditinjau dari Maqashid Syari’ah terhadap Kekerasan yang Dilakukan
Orang Tua (Studi Kasus di Kabupaten Sibolga). Diktum: Jurnal Syariah
dan Hukum, 17(1), 1-15. Available at:
http://repository.uinsu.ac.id/8942/1/jurnal%20diktum%20iain%20parepare
%20des%202019%20syukri%20jurnal.pdf (Accessed: 22 November 2020)

Harianti, E., Siregar, N.S.S. (2014). Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya


Kekerasan Orang Tua terhadap Anak. Jurnal Ilmu Pemerintah dan Sosial
Politik, 2(1), 44-56.

Hidayat, Taufik. (2016). Pandangan Hukum Pidana Islam Mengenai Kekerasan


Fisik terhadap Anak. Jurnal Ilmiah Syari’ah, 12(2). Available at:
http://ecampus.iainbatusangkar.ac.id/ojs/index.php/Juris/article/view/493
(Accessed: 22 November 2020)

Hunter, Cathryn. (2014). Effects of Child Abuse and Neglect For Children and
Adolescents. Australian Institute of Family Studies [online]. Available at:
https://aifs.gov.au/copyright?_ga=2.26982653.1519295718.1606049457-
1707388482.1606049457 (Accessed: 22 November 2020)

Institute of Medicine and National Research Council. (2014). New Directions in


Child Abuse and Neglect Research. Washington, DC: The National
Academies Press. https://doi.org/10.17226/18331 (Accessed: 22
November 2020)

Kementrian Agama Republik Indonesia. Qur’an Kemenag. Available at:


https://quran.kemenag.go.id (Accessed: 22 November 2020)

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, B. P. S. (2017)


‘Mengakhiri Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Indonesia’,
Stiatistik Gender Tematik. Available at:
https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/71ad6-buku-ktpa-meneg-
pp-2017.pdf (Accessed: 21 November 2020)

Kemoli, A. M., & Mavindu, M. (2014). Child abuse: A classic case report with
literature review. Contemporary clinical dentistry, 5(2), 256–259.
https://doi.org/10.4103/0976-237X.132380 (Accessed: 20 November
2020)
Lane Strathearn, Michele Giannotti, Ryan Mills, Steve Kisely, Jake Najman and
Amanuel Abajobir Pediatrics October 2020, 146 (4) e20200438; DOI:
https://doi.org/10.1542/peds.2020-0438

Mennen, F. E., Kim, K., Sang, J., & Trickett, P. K. (2010). Child neglect:
definition and identification of youth's experiences in official reports of
maltreatment. Child abuse & neglect, 34(9), 647–658.
https://doi.org/10.1016/j.chiabu.2010.02.007

Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2018).


Kekerasan Terhadap Anak dan Remaja [online]. Available at:
https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/
Kekerasan-terhadap-anak.pdf (Accessed: 21 Novermber 2020)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan


Anak [online]. Available at:
https://pih.kemlu.go.id/files/UUNo23tahun2003PERLINDUNGANANAK
.pdf (Accessed: 21 November 2020)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan


Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
[online]. Available at: https://www.kpai.go.id/hukum/undang-undang-
republik-indonesia-nomor-35-tahun-2014-tentang-perubahan-atas-undang-
undang-nomor-23-tahun-2002-tentang-perlindungan-anak (Accessed: 21
November 2020)

You might also like