Kel.5 - Manajemen Keuangan Syariah

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 22

NILAI WAKTU UANG DAN LEGITIMASI SYARIAH

Edelin Kusuma Dewi1, Anisa Rahmawati2, Azka Muhammad Mufti3

Fakultas Agama Islam Jurusan Ekonomi Syariah

Email:

1
211002088@student.unsil.ac.id

2
211002093@student.unsil.ac.id

3
211002511@student.unsil.ac.id

ABSTRACK

The growing economy makes the economic system more complex which requires a very
important tool in these economic activities as transactions. The tool used in transactions is
money which is jointly recognized as a medium of exchange which is ultimately used in the
pattern of economic activity which is often referred to as the economic pattern of money. This
research uses non-interactive qualitative methods (qualitative library research), namely
research on written materials such as books, documents, and others related to this research
including books, journals, and documents as primary and other scientific articles as other
supporting materials as secondary sources. The economic value of time theory was developed
in the 7th century AD. At the time of the use of gold and silver as a medium of exchange. These
metals were accepted as a medium of exchange due to their intrinsic value, not because of the
mechanism to be developed during that period, so the debtor/creditor relationship that arose
was not as a result of direct trade transactions, but was clearly a "demand for money"
transaction. The writing team is very aware that there are many shortcomings in the
preparation of this article, therefore the writing team asks for criticism and suggestions from
all parties to improve in the future, and hopefully this article can be useful for its readers and
can be a reference material for other writers.

Keyword : Economic, Money, Value Time, Sharia


ABSTRAK

Ekonomi yang terus berkembang membuat sistem perekonomian semakin kompleks yang
dimana membutuhkan sebuah alat yang sangat penting dalam kegiatan ekonomi tersebut
sebagai transaksi. Alat yang digunakan dalam bertransaksi ialah uang yang diakui bersama
sebagai alat tukar yang pada akhirnya digunakan dalam pola kegiatan ekonomi yang biasa
sering dikatakan sebagai pola perekonomian uang. Penelitian ini menggunakan metode
Kualitatif Non interaktif (kualitatif pustaka library research), yaitu penelitian terhadap bahan-
bahan tertulis seperti buku-buku, dokumen, dan lain-lain yang berhubungan dengan penelitian
ini antara lain buku, jurnal, dan dokumen sebagai primer dan artikel ilmiah lainnya sebagai
bahan pendukung lainnya sebagai sumber sekunder. Teori economic value of time
dikembangkan pada abad ke-7 Masehi. Pada saat digunakannya emas dan perak sebagai alat
tukar. Logam ini diterima sebagai alat tukar disebabkan nilai intrinsiknya, bukan karena
mekanisme untuk dikembangkan selama periode itu, sehingga hubungan debitur / kreditur yang
muncul bukan karena akibat transaksi dagang langsung, namun jelas merupakan transaksi
“permintaan uang”. Tim penulis sangat menyadari banyak terdapat kekurangan dari
penyusunan artikel ini, oleh sebab itu tim penulis meminta untuk kritik dan saran dari semua
pihak untuk memperbaiki di masa yang akan datang, dan semoga artikel ini bisa bermanfaat
bagi pembacanya dan bisa menjadi bahan rujukan bagi penulis yang lainnya.

Kata Kunci : Ekonomi, Uang, Nilai Waktu, Syariah

PENDAHULUAN

Dalam masa sekarang ini perekonomian semakin berkembang pesat, dengan adanya
perluasan pasar serta meningkatan produksi, dan perdagangan internasional yang terus
berkembang yang didukung dengan adanya teknologi. Ekonomi yang terus berkembang
membuat sistem perekonomian tersebut semakin kompleks yang dimana membutuhkan sebuah
alat yang sangat penting dalam kegiatan ekonomi tersebut sebagai transaksi ialah uang yang
diakui bersama sebagai alat tukar yang pada akhirnya digunakan dalam pola kegiatan ekonomi
yang biasa sering dikatakan sebagai pola perekonomian uang.

Pengaruh perkembangan teknologi dan informasi terhadap perekonomian dunia


semakin berkembang dengan perluasan pasar serta peningkatan produktivitas. Sistem
perekonomian kini bergeser dari sistem perekonomian modern yang lebih efektif dan efisien.
Dengan semakin kompleksnya perdagangan dan spesialisasi berdampak pula pada perubahan
bentuk alat tukar yang dapat memudahkan transaksi. Uang sebagai alat untuk mempermudah
terjadinya transaksi, dengan menjadikannya sebagai pertukaran barang dan jasa dalam suatu
wilayah. Dalam perspektif hukum positif, uang merupakan segala sesuatu yang dirumuskan
undang-undang yang dapat berfungsi sebagai alat tukar. Dengan demikian uang menjadi alat
pembayaran dalam memudahkan terjadinya pertukaran barang dan jasa, sehingga semua
aktivitas ekonomi dapat dijalankan dengan lebih mudah

Ekonomi adalah suatu aktivitas yang mengelola uang dan modal dalam rangka untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Keberhasilan pengelolaan keuangan sangat ditentukan oleh
prinsip yang digunakan. Islam telah memberikan prinsip-prinsip dasar dalam mengelola uang
dan modal, baik untuk aktivitas bisnis maupun investasi.

Sekarang ini, banyak perkembangan baru yang terkait dalam bidang ekonomi, seperti
masalah mata uang, pola transaksi perdagangan, dan sebagainya. Teori keuangan konvensional
mendasarkan argumentasinya dengan konsep lain waktu dari uang. Dalam kaitannya dengan
sistem ekonomi konvensional uang diakui bahwa memiliki nilai waktu. Yang dimana ekonomi
konvensional dalam konsepnya bahwa uang dibedakan menjadi nilai sekarang (present value)
dan nilai akan datang (future value).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian Kualitatif Non interaktif (kualitatif pustaka library
research), yaitu, penelitian terhadap bahan-bahan tertulis seperti buku-buku, dokumen, dan lain
lain yang berhubungan dengan penelitian ini antara lain buku, jurnal, dan dokumen sebagai
primer dan artikel ilmiah lainnya sebagai bahan pendukung lainnya sebagai sumber sekunder.

PEMBAHASAN

A. Konsep Economic Value of Time


1. Karakteristik Keuangan Syariah
Sistem dan lembaga keuangan syariah memiliki karakteristik yang tidak ada dalam
sistem dan lembaga keuangan konvensional. Adapun karakteristik (sistem dan
lembaga) keuangan syariah adalah :
a. Dijalankan berdasarkan prinsip syariah
b. Implementasi prinsip ekonomi syariah:
- Pelarangan riba dalam berbagai bentuknya
- Tidak mengenal konsep ‘time of value money’
- Uang sebagai alat tukar bukan komoditi yang diperdagangkan
c. Beroperasi atas dasar bagi hasil
d. Kegiatan usaha untuk imbalan atas jasa
e. Tidak menggunakan "bunga" sebagai alat untuk memperoleh pendapatan.
f. Asas utamanya adalah: kemitraan, keadilan, transparansi, dan universal.
g. Tidak membedakan secara tegas sektor moneter dan sektor riil, namun
dapat melakukan transaksi-transaksi sektor riil.

Berdasarkan karakteristik tersebut di atas, jelas dalam sistem, prosedur,


mekanisme dan teknik keuntungannya adalah berbeda antara keuangan syariah
dengan keuangan konvensional. Hal yang paling penting dan selalu menjadi
akar masalah adalah masalah riba dan nilai waktu uang (Time Value Of Money
= TVM). Konsep ini dalam keuangan konvensional menjadi konsep yang sangat
didewa-dewakan. Konsep TVM itu pula yang menjadi jantung dalam
mekanisme keuangan konvensional. Sementara TVM adalah konsep yang harus
ditinggalkan dalam sistem dan mekanisme keuangan syariah.

2. Konsep Economic Value at Time


Teori economic value of time dikembangkan pada abad ke-7 Masehi. Pada saat
digunakannya emas dan perak sebagai alat tukar. Logam ini diterima sebagai alat
tukar disebabkan nilai intrinsiknya, bukan karena mekanisme untuk dikembangkan
selama periode itu, sehingga hubungan debitur / kreditur yang muncul bukan karena
akibat transaksi dagang langsung, namun jelas merupakan transaksi “permintaan
uang”. Landasan atau keadaan yang digunakan oleh ekonomi konvensional yang
ditolak dalam ekonomi Islam, yaitu keadaan alghunmu bi al-ghurni (mendapatkan
hasil tanpa memperhatikan resiko) dan al kharaj bi la-dhaman (memperoleh hasil
tanpa mengeluarkan suatu biaya).
Ekonomi Islam memberikan pandangan terhadap fungsi uang yang diakui
hanya sebagai alat tukar medium of exchange dan kesatuan hitung (unit of account).
Uang itu sendiri tidak memberikan kegunaan / manfaat, akan tetapi fungsi uanglah
yang memberikan kegunaan. Uang menjadi berguna jika ditukar dengan benda yang
nyata atau jika digunakan untuk membeli jasa. Oleh karena itu uang tidak bisa
menjadi komoditi/barang yang dapat diperdagangkan. Dalam konsep ekonomi
Islam uang adalah milik masyarakat (money is goods public).
Barang siapa yang menimbun uang atau dibiarkan tidak produktif berarti
mengurangi jumlah uang beredar yang dapat mengakibatkan tidak jalannya
perekonomian. Jika seseorang sengaja menumpuk uangnya tidak dibelanjakan,
sama artinya dengan menghalangi proses atau kelancaran jual beli. Implikasinya
proses pertukaran dalam perekonomian terhambat. Disamping itu penumpukan
uang / harta juga dapat mendorong manusia cenderung pada sifat-sifat tidak baik
seperti tamak, rakus dan malas beramal (zakat, infak dan sadaqah). Sifat-sifat tidak
baik ini juga mempunyai imbas yang tidak baik terhadap kelangsungan
perekonomian.
Oleh karenanya Islam melarang penumpukan / penimbunan harta, memonopoli
kekayaan, sebagaimana telah disebutkan dalam QS:At Taubah 34-35. Disamping
itu uang disimpan yang tidak dimanfatkan disektor produktif (idle asset) jumlahnya
akan semakin berkurang karena adanya kewajiban zakat bagi umat Islam. Oleh
karena itu uang harus berputar (Money as flow consept). Islam sangat menganjurkan
bisnis/perdagangan, investasi disektor riil. Uang yang berputar untuk produksi akan
dapat menimbulkan kemakmuran dan kesehatan ekonomi masyarakat. Dalam hal
ini, untuk mengganti adanya konsep time value of money, para ekonom Islam
membangun sebuah teori dalam kaitannya dengan permasalahan riba dalam
pandangan Islam yang disebut teori ekonomi value of time yang dibenarkan
menurut pandangan Islam.
Teori tersebut ada pada abad ketujuh masehi, pada saat digunakan emas dan
perak sebagai alat tukar, logam ini diterima sebagai alat tukar karena nilai
instristriknya, bukan karena mekanisme untuk dikembangkan selama periode itu.
Sehingga hubungan kreditur atau debitur yang muncul bukan karena akibat
transaksi dagang langsung, namun jelas merupakan transaksi “permintaan uang”.
Keadaan yang demikian yang digunakan ekonomi konvensional inilah yang ditolak
oleh ekonomi syariah, yaitu keadilan “al qhumu bi qhurmi” (mendapatkan hasil
tanpa mengeluarkan resiko), dan “al kharaj bi la dhama” (memperoleh hasil tanpa
mengeluarkan biaya). Inilah, maknanya ajaran islam yang menganjurkan
menggunakan konsep Economic Value of Time.
Artinya, waktulah yang memiliki nilai ekonomi, bukan uang memiliki nilai
waktu. Islam tidak mengenal konsep time value of money, tetapi Islam mengenal
konsep economic value of time yang artinya bahwa yang bernilai adalah waktunya
itu sendiri. Islam memperbolehkan pendapatan harga tangguh bayar lebih tinggi
dari pada bayar tunai. Yang lebih menarik adalah dibolehkannya penetapan harga
tangguh yang lebih tinggi itu sama sekali bukan disebabkan time value of money,
namun karena semata-mata karena ditahannya aksi penjualan barang.
Mengenai waktu, waktu bagi semua orang adalah sama kuantitasnya, yaitu 24
jam dalam sehari, 7 hari dalam sepekan. Nilai waktu antara satu orang dengan orang
lainnya, akan berbeda dari sisi kualitasnya. Jadi faktor yang menentukan nilai waktu
adalah bagaimana seseorang memenfaatkan waktu itu. Semakin efektif (tepat guna)
dan efisien (tepat cara), maka akan semakin tinggi nilai waktunnya. Didalam Islam,
keuntungan bukan saja keuntungan didunia, namun yang dicari adalah keuntungan
didunia dan di akhirat. Oleh karena itu, pemanfaatan waktu itu bukan saja harus
efektif dan efisien, namun harus juga didasari dengan keimanan. Keimanan inilah
yang akan mendatangkan keuntungan di akhirat.
Dalam ekonomi Islam, penggunaan sejenis discount rate dalam menentukan
harga bai’ mu’ajjal (membayar tangguh) dapat digunakan. Hal ini dibenarkan,
karena : 1. Jual beli dan sewa menyewa adalah sector riil yang menimbulkan
economic value added (nilai tambah ekonomis). 2. Tertahannya hak si penjual (uang
pembayaran) yang telah melaksanakan kewajiban (menyerahkan barang atau jasa),
sehingga ia tidak dapat melaksanakan kewajibannya kepada pihak lain. Begitu pula
penggunaan discount rate dalam menentukan nisbah bagi hasil, dapat digunakan.
Nisbah ini akan dikalikan dengan pendapatan aktual (actual return), bukan dengan
pendapatan yang diharapkan (excepted return). Transaksi bagi hasil berbeda dengan
transaksi jual beli atau transaksi sewa menyewa, karena dalam transaksi bagi hasil
hubungannya bukan antara penjual dengan pembeli atau penyewa dengan yang
menyewakan. Dalam transaksi bagi hasil, yang ada adalah hubungan antara
pemodal dengan yang memproduktifkan modal tersebut. Jadi, tidak ada pihak yang
telah melaksanakan kewajiban namun masih tertahan haknya. Shahibul maal telah
melaksanakan kewajibannya, yaitu memeberikan sejumlah modal, yang
memproduktifkan (mudharib) juga telah melaksanakan kewajibannya, yaitu
memproduktifkan modal tersebut.
Hak bagi shahibul maal dan mudharib adalah berbagi hasil atas pendapatan atau
keuntungan tersebut, sesuai kesepakatan awal apakah bagi hasil itu akan dilakukan
atas pendapatan atau keuntungan. Ajaran Islam mendorong pemeluknya untuk
selalu menginvestasikan tabungannya. Di samping itu, dalam melakukan investasi
tidak menuntut secara pasti akan hasil yang akan datang. Hasil investasi dimasa
yang akan datng sangat dipengaruhi berapa faktor, baik faktor yang dapat
diprediksikan maupun tidak. Faktor-faktor yang dapat diprediksikan atau dihitung
sebelumnya adalah : berapa banyaknya modal, berapa nisbah yang disepakati,
berapa kali modal dapat diputar. Sementara factor efeknya tidak dapat dihitung
secara pasti atau sesuai dengan kejadian adalah return (perolehan usaha).
Berdasarkan hal diatas, maka dalam mekanisme investasi menurut Islam,
persoalan nilai waktu uang yang diformulasikan dalam bentuk bunga adalah tidak
dapat diterima. Dengan demikian, perlu dipikirkan bagaimana formula pengganti
yang seiring dengan nilai dan jiwa islam. Huhungan formula tersebut dapat
ditemukan formula investasi menurut pandangan islam sebagai berikut :
Y= [(QxR)x v]+W
Keterangan :
Y = Pendapatan
Q = Nisbah bagi hasil
R = Return usaha
v = Tingkat pemanfaatan harta
W= Harta yang ditanamkan
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk melakukan aktivitas kerja, kerja
dilakukan untuk mengembangkan modal. Islam juga mengajarkan kepada
umatnyauntuk tidak menyimpan uang di bawah bantal.
Dengan demikian, Islam adalah agama yang mendorong umatnya untuk selalu
melakukan investasi kekayaan (hartanya). Dalam sistem ekonomi Islam, investasi
dapat mengurangi kemiskinan dan meningkatkan income dengan cara
memanfaatkan harta secara produktif. Kegiatan investasi yang sesuai dengan
syariah Islam adalah usaha untuk menghasilkan kehidupan yang mulia (falah),
memberikan manfaat (maslahah) dan menghindari cara investasi yang dilarang,
yaitu riba, gharar dan maysir. Namun demikian, investasi yang produktif dapat
dilakukan dengan saling bekerjasama dan profesional dalam melaksanakan prinsip
tujuan utama syariat.
Atas dasar ini Islam mengatur keuntungan bukan sajadilihat dari perspektif
dunia saja, namun perlu keseimbangan antara keuntungan didunia dan di akhirat.
Oleh karena itu, pemanfaatan waktu itu bukan saja harus efektif dan efisien, namun
harus juga didasari dengan keimanan. Keimanan inilah yang akan mendatangkan
keuntungan di akhirat. Sebaliknya, keimanan yang tidak mampu mendatangkan
keuntungan di dunia berarti keimanan yang tidak diamalkan. Jika ditarik dalam
konteks ekonomi, maka keuntungan akandiperoleh setelah menjalankan aktivitas
bisnis. Jadi barang siapa yang melakukan aktivitas bisnis secara efektif dan efisien,
ia akan mendapatkan keuntungan. Namun demikian, ada pertanyaan dasar yang
perlu didiskusikan, yaitu apa ukuran yang dapat digunakan untuk menetapkan besar
keuntungan yang diramalkan jika dasar interest rate adalah dilarang dalam ajaran
Islam.
3. Economi Value of Time dan Teori Akad Islam
Gambaran hukum islam mengenai prinsip-prinsip keuangan syariah adalah
tercakup dalam bentuk akad dan bentuk instrumen keuangan. Dua hal ini akan
memberi jalan bagi akademisi maupun investor yang ingin konsisten menggunakan
prinsip-prinsip dasar di atas para akademisi maupun investor yang tidak serta merta
menolak atau memodifikasi instrumen keuangan yang ada namun demikian ,masih
ada peluang untuk melakukan perbaikan dan bahkan inovasi keuangan, maupun
memberikan tawaran-tawaran baru instrumen keuangan untuk kesejahteraan dan
kemanfaatan yang lebih luas (maslahah-mursalah). Hubungan ikatan dagang dan
keuangan dalam Islam diatur dengan hukum fikih muamalat. Fikih muamalat
membedakan antara wa'ad dengan akad (aqad). Wa'ad adalah janji antara satu pihak
dengan pihak lain. Wa’ad hanya mengikat satu pihak, yaitu pihak yang memberi
janji berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya. Sedangkan pihak lain yang
diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Wa'ad belum
ditetapkan secara rinci dan spesifik terms and condition-nya. Dengan demikian, bila
ada pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka sanksi yang
diterimanya lebih merupakan sanksi moral. Akad adalah ikatan kontrak dua pihak
yang bersepakat. Hal ini berarti didalam akad masing-masing pihak terikat untuk
melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih
dahulu. Akad telah disepakati secara rinci dan spesifik tentang terms-condition-nya.
Dengan demikian, bila salah satu atau kedua pihak yang terikat dalam kontrak itu
dapat memenuhi kewajibannya, maka salah satu atau kedua pihak tersebut
menerima sanksi yang telah disepakati dalam akad. Didalam fikih muamalat,
pembahasan akad berdasarkan segi ada atau tidak adanya kompensasi dibedakan
menjadi dua jenis (Muhammad, 2014:166), yaitu :
a. Aqad tabarru' Tabarru' berasal dari kata birr dalam bahasa arab, artinya
kebaikan. Tabarru' adalah segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi
nirlaba atau transaksi tidak mengambil untung. Dengan kata lain, aqad tabarru' pada
hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil. Tujuan
diterapkannya akad tabrru' adalah untuk aktivitas tolong menolong dalam rangka
berbuat kebaikan. Aktivitas yang tergolong aqad tabarru' adalah :
1) Meminjam uang.
2) Meminjam jasa.
3) Memberikan sesuatu.
Fungsi aqad tabarru' adalah untuk mencari keuntungan akhirat, karena itubukan
akad bisnis. Jadi, akad initidak dapat digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan
komersil.
b. Aqad tijarah Adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for profit
interaction. Akad-akad ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan. Karena
itu bersifat komersil. Contoh akad tijarah adalah akad-akad investasi, jual beli, sewa
menyewa dan lain-lain. Berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang diperolehnya,
akad tijarah dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu :
1) Natural certainty contract atau kontrak yang secara alamiah memberikan
hasil pasti adalah kontrak yang dilakukan oleh kedua belah pihak untuk saling
mempertukarkan asset yang dimilikinya, karena itu objek pertukarannya (baik
barang maupun jasa) pun harus ditetapkan di awal akad dengan pasti, baik
jumlahnya (quantity), mutunya (quality), harganya dan waktu penyerahannya. Jadi
kontrak-kontrak ini menawarkan return yang tetap dan pasti. Jenis kontrak ini
adalah kontrak-kontrak jual beli, upah mengupah, sewa menyewa dan lain-lain.
2) Natural uncertainty contracts atau kontrak yang secara alamiah tidak
memberikan hasil pasti adalah kontrak yang terjadi jika pihak-pihak yang
bertransaksi saling mencampurkan asetnya menjadi satu kesatuan dan kemudian
menanggung risiko bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan. Disini kerugian
dan keuntungan ditanggung bersama. Kerena itu, kontrak ini tidak memberikan
kepastian pendapatan (return), baik dari segi jumlah (amount) maupun waktunya.
Yang termasuk dalam kontrak ini adalah kontrak-kontrak investasi. Kontrak ini
tidak menawarkan return dan pasti.
4. Economic Value of Time pada Teori Pencampuran
Natural Uncertainly Contracts/teori percampuran adalah kontrak dalam bisnis yang
tidak memberikan kepastian pendapatan, baik dari segi jumlah maupun waktunya.
Tingkat returnnya bisa positif, negatif maupun nol. Kontrak-kontrak investasi ini
secara sunatullah tidak menawarkan :
a. Return yang tetap atau pasti
b. Sifatnya tidak fixed dan predetermined. Dalam kontrak jenis ini, pihak-pihak
yang bertransaksi saling mencampurkan asetnya menjadi satu kesatuan, dan
kemudian menanggung risiko bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan.
Dalam kontrak demikian ini, keuntungan dan kerugian ditanggung bersama.
Asumsi yang digunakan:
Ada beberapa asumsi yang digunakan dalam memformulasikan konsep EVT
(economic value of time), yaitu :
a. Harta harus berputar tidak boleh diam (idle)
b. Semakin sering berputar maka harta akan berkembang. Masa depan tidak dapat
dipastikan hasilnya, dalam bisnis dap at menghasilkan keuntungan, kerugian atau
impas.
c. Return bisnis atau usaha masa depan dapat di proyeksikan.
d. Hasil aktual tidak selamanya sama dengan hasil yang diproyeksikan.

Berdasarkan hasil diatas, maka dalam mekanisme investasi menurut islam,


persoalan nilai waktu uang yang diformulasikan dalam bentuk bunga adalah tidak
dapat diterima. Dengan demikian, perlu dipikirkan bagaimana formula pengganti
yang seiring dengan nilai dan jiwa islam. Formula untuk menghitung
perkembangan harta yang diinvestasikan secara syariah (Muhammad, 2014:169)
adalah :
Harta Masa Depan (Hmd) = Modal Sekarang (Ms) = Pendapatan Investasi (Pi)
Atau
Hmd + Ms = Pi
Dimana
Pendapatan Investasi (Pi) = Modal Sekarang (Ms) x Velocity Model (v) x
Return investasi
Atau
Pi = Ms.v. (QR)
Jadi
Hmd + Ms = (Ms.v.Q.R)

Keterangan :
a. Hmd (harta masa depan) adalah harta yang berkembang karena adaya aktivitas
ekonomi pada periode tertentu.
b. Pi (pendapatan investasi) adalah pendapatan yang diperoleh oleh pemilik modal
dalam melakukan kontrak bagi hasil.
c. Ms (Modal Sekarang) adalah sejumlah uang tertentu yang ditempatkan dibank
dengan akad mudharabah atau yang dibiayakan dengan akad
mudharabah/musyarakah.
d. V (velocity of capital/ tingkat perputaran atau pemanfaatan modal/harta) adalah
tingkat aktivitas pemilik dana dalam memutar dana dalam periode satu tahun
e. Q (nisbah bagi hasil) adalah rasio presentase yang dibuat dan disepakati para
pihak yang melakukan kontrak bagi hasil.
f. R (return business) adalah tingkat keuntungan yang terjadi pada sector bisnis
tertentu.
Oleh karena itu, jika teori time value of money tidak boleh diterapkan dalam
ekonomi syariah, maka formula diatas dapat digunakan untuk mekanisme
ekonominya adalah nisbah bagi hasil dan return usaha yang terjadi secara riil.
Inilah, maknanya ajaran islam yang menganjurkan menggunakan konsep economic
value of time. Artinya, waktulah yang memiliki nilai ekonomi, bukan uang memiliki
nilai waktu.
5. Economic Value of Time pada Teori Pertukaran

Natural certainty cotract/teori pertukaran adalah kontrak dalam bisnis yang


memberikan kepastian pembayaran, naik dari segi jumlah maupun waktu. Dalam
bentuk ini cash-flow pasti atau sudah disepakati di awal kontrak dan obyek pertukaran
pertukaran jua pasti secara jumlah, mutu, waktu maupun harganya. Penentuan harga
jual beli didalam islam, tidak ada ketentuan bakunya, namun berdasarkan ijtihad dapat
dirujuk fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 (Muhammad, 2014:170),
menyatakan :

a. HARGA BELI, dalam kaitan ini Bank harus memberi tahu secara jujur harga
pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
b. HARGA JUAL, Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah
(pemesan) dengan harga jual senilai harga plus keuntungannya.

Kemudian, Fatwa DSN No. 16/IX/2000 menyatakan, harga dalam jual-beli


murabahah adalah harga beli dan biaya yang diperlukan ditambah keuntungan sesuai
dengan kesepakatan. Dengan demikian jelas, bahwa jual beli murabahah yang berlaku
di bank syariah dapat ditunjukan pada Fatwa No. 16/IX/2000. Penggunaan penentuan
harga jual beli tersebut selanjutnya dijelaskan dengan melakukan analisis syariah
sebagai berikut: persentase keuntungan tidak boleh berjalan mengikuti waktu. Namun,
biaya dapat berjalan mengikuti waktu. Oleh karena itu, untuk memberikan solusi atas
rumus di atas, penulis mengajukan rumus harga jual mudharabah (atau transaksi jual
beli atau sewa menyewa) sebagai berikut:

Harga Jual Bank = Harga Beli Bank + (waktu*cost recovery) + % Keuntungan

Simbol formulanya adalah

HJb = HRb = (t*CR) + k

Dimana :

HJb = Harga Jual Bank

HBb = Harga Beli Bank

t = Waktu

CR = Cost Recovery

K = Margin keuntungan yang diinginkan

Dengan penjelasan :

a. Harga jual beli adalah harga yang di sepakati antara penjual (bank) dengan
pembeli (nasabah).

b. Harga beli adalah perolehan atau nilai pasar yang di dapat bank saat membeli
produk tertentu, seperti : mobil, motor, dan sebagainya.

c. Waktu adalah periode waktu yang di gunakan untuk penyelesaian pembiayaan,


misalnya pembiayaan 1 tahun, 2 tahun dan seterusnya.
d. Cost recovery adalah nilai biaya yang di keluarkan bank untuk menyelesaikan
pembiayaan.

e. Margin keuntungan adalah persentase keuntungan yang diinginkan oleh penjual


(bank) pada saat penjual produk tertentu kepada pembeli (nasabah).

6. Uang Muka, Diskon, dan Harga Jual


Harga jual murabahah di bank syariah akan bisa berubah untuk satu calon
nasabah dengan calon nasabah lainnya. Perubahan harga tersebut dapat dipengaruhi
oleh uang muka (urbun) yang dibayarkan oleh calon nasabah saat pemesanan dan
diskon yang diberikan supplier kepada bank syariah. Ditegaskan dalam fatwa DSN-
MUI HJb = HRb = (t*CR) + k 15 No. 16/ IX/2000, kaitannya dengan masalah uang
muka dalam jual beli, bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang
muka saat menandatangani kesepakatan awal pesanan.
Berdasarkan landasann ini maka harga jual beli dalam bank syariah akan
mengalami perubahan yaitu harga yang harus dipartisipasikan oleh pihak bank.
Tidak ada ketentuan tentang besaran uang muka yang harus disertakan oleh calon
nasabah. Biarkan hal tersebut dapat diformulasikan sebagai berikut:
Harga Jual Bank = (harga beli bank - Uang muka nasabah) + (Waktu *Cost
Recovery) + %Keuntungan
Jika dalam jual-beli murabahah bank syariah mendapat diskon dari supplier,
harga sebenarnya adalah harga setelah diskon. Oleh karena itu, diskon adalah hak
nasabah, maka harga jual murabahah adalah :
HJb = (HBb - D - UMb) = (t*CR) + k
Jika pemberian diskon terjadi setelah akad, pembagian diskon tersebut
dilakukan berdasarkan perjanjian (persetujuan) yang di muat dalam akad, maka
harga jual murabahah :
HJb – [(HBb – UMb) = (t*CR) = k]
Apabila diskon diberikan setelah akad atau relasi pembiayaan, maka
pembagian diskon tidak ada kaitannya dengan harga jual beli. Sehingga pembagian
diskonnya dilakukan sesuai dengan kesepakatan bersama.
B. Kritik Atas Time Value of Money
Time value of money dilatar belakangi oleh adanya anggapan hilangnya pemilik
modal akan biaya kesempatan (opportunity cost), pada saat ia meminjamkan uang
kepada pihak lain. Sehingga pemilik modal membebankan nilai persentase tertentu
sebagai kompensasinya. Selain itu, time value of money pada dasarnya merupakan
intervensi konsep biologi dalam bidang ekonomi. Konsep time value of money muncul
karena adanya anggapan uang disamakan dengan barang yang hidup (sel hidup). Sel
yang hidup untuk satuan waktu tertentu dapat menjadi lebih besar dan berkembang.
Pertumbuhan sel dalam ilmu biologi diformulasikan dengan rumus sebagai
berikut (Muhammad, 2014:156):
Pb P0 (1 + g)t
Dimana:
Pb = Pertumbuhan
Po = Sel pada awalnya
g = Pertumbuhan (growth)
t = Waktu
Formula ini kemudian diadobsi dalam ilmu keuangan. Akibatnya dirumuskan
sebagai sesuatu yang hidup terjadi. Dari formula tersebut di atas akhirnya dirumuskan
sebagai berikut:
FV = PV (1+i) n
Dimana:
FV = Future Value (nilai uang masa yang akan datang)
PV = Present Value (nilai uang masa sekarang)
I = Tingkat suku bunga
n = Waktu
Uang bukanlah sesuatu yang hidup dan berkembang dengan sendirinya.
Implikasi dan ini semua dalam dunia bisnis selalu dihadapkan pada untung dan rugi.
Keuntungan dan kerugian tidak dapat dipastikan untuk masa yang akan datang.
Keuntungan yang diperoleh dalam bisnis tidak hanya keuntungan di dunia, namun yang
dicari adalah keuntungan akhirat juga.
Teori keuangan konvensional yang telah mendasarkan argumen bunganya
dengan konsep time value of money. Konsep ini kemudian ditolak oleh para ekonomi
Islam dengan alasan economic value of time. Hakikat waktu itu sama. 24 jam sehari.
Faktor yang menentukan nilai waktu adalah bagaimana seseorang memanfaatkan waktu
itu, siapapun pelakunya tanpa memandang suku, agama, dan ras. Dalam islam selain
waktu diisi dengan efektif (tepat guna) dan efisien (tepat cara), ia juga harus didasari
dengan keimanan.
Apabila inflası dijadikan alasan sebagai akibat adanya time value of money
dalam sistem ekonomi atau keuangan. Inflasi yang diartikan naiknya harga barang
dalam waktu tertentu tidak semata diakibatkan oleh bunga (sebagai kompensasi
opportunity cost), inflasi dapat terjadi karena produsen mengambil keuntungan semakin
meningkat, di samping itu diakibatkan oleh faktor-faktor lain. Penentuan bunga sebagai
faktor penentu inflasi adalah suatu tindakan menyederhanakan masalah atau konsep.
Tindakan ini hanya menguntungkan sebelah pihak, tidak mau merugi. Padahal setiap
tindakan (ekonomi maupun non ekonomi) akan mengandung hasil dan rugi (return and
risk). Konsekuensi ini harus ditanggung bersama oleh pihak pihak yang bersinggungan
(transfaksi).
Dalam ekonomi konvensional, penerapan time value of money tidak senaif yang
dibayangkan, misalnya dengan mengabaikan ketidakpastian return yang akan diterima.
Bila kompensasinya sebagai discount rate, sehingga discount rate lebih bersifat umum.
Sebab dalam ekonomi Islam, penggunaan sejenis discount rate dalam menentukan
harga mu'ajjal dapat dibenarkan. Hal ini dikarenakan: pertama, jual beli dan sewa
menyewa adalah sektor nil yang menimbulka economic value added (nilai tambah
ekonomis), Kedua, tertahannya hak si penjual (uang pembayaran yang telah
melaksanakan kewajibannya (menyerahkan barang dan jasa), sehingga ia tidak dapat
melaksanakan kewajibannya kepada pihak lain.
Selain itu ada beberapa asumsi dan kejadian yang dapat dijadikan rujukan
analisisnya, yaitu (1) harga yang dibayar tangguh dapat lebih besar daripada harga yang
dibayar sekarang, (2) Not due to inflation nor interest foregone, (3) adanya penahanan
hak si pemilik barang asumsi ini merujuk pada apa yang pernah dilakukan oleh Zaid
Ibnu Ah Zamal Abidin Ibnu Husein Ibnu Abi Thalib.
Pembahasan mengenai time falue of money dan cost of capitalis tidak dapat
dilepaskan dengan konsep diskonto. Konsep diskonto sangan penting dalam analisis
teori modal dan investasi. Secara praktis, digunakan dalam evaluasi proyek ataupun
keputusan investasi. Misalnya saja model net present value (NPV), cost benefit
analysis, internal require rate of return, deviden model dalam asset valuation. Diskonto
inilah yang dimaksud dalam time value of money.
Dalam ekonomi konvensional time value of money didefinisikan sebagai “a
dollar today is worth more than a dollar in the future because a dollar today can be
invested to get a return.” Definisi ini tidak akurat karena setiap investasi selalu
mempunyai peluang atau keumungkinan untuk mendapat hasil positif, negatif atau
impas. Itu sebabnya dalam teori keuangan, selalu dikenal hubungan antara risk return
(Muhammad, 2014: 161).
Ada dua alasan dari teori konvensional terhadap time value of money yaitu:
1. Presence of inflaction
Katakalah tingkat inflasi 10 % pertahun. Seseorang dapat membeli sepuluh
potong goreng pisang hari ini dengan membayar sejumlah Rp. 10.000,-. Namun
bila ia membelinya tahun depan, degan sejumlah uang yang sama, yaitu Rp.
10.000,- ia hanya dapat membeli sembilan pisang goreng. Oleh karena itu ia akan
meminta kompensasi untuk hilangnya daya beli uangnya akibat inflasi.
2. Preference present consumption to future consumption
Bagi umumnya individu, present consumtion lebih disukai daripada future
consumtion. Katakanlah tingkat inflasi nihil, sehingga dengan uang Rp. 10.000,-
seseorang tetap dapat membeli sepuluh pisang goreng hari ini maupun tahun
depan. Bagi kebanyakan orang, mengkonsumsi sepuluh pisang goreng hari ini
lebih disukai daripada mengkonsumsi sepuluh pisang goreng tahun depan. Dengan
argumentasi ini, meskipun suatu perekonomian tingkat inflasinya nihil, seseorang
lebih menyukai Rp. 10.000,- hari ini dan mengkonsumsi hari ini. Oleh karena itu
untuk menunda konsumsi ia meminta kompensasi.

Beberapa ahli ekonomi berpendapat bahwa manusia pada dasarnya lebih


mengutamakan kehendaknya sekarang dibanding kehendaknya di masa depan.
Manusia dianggap akan mengedepankan kepuasan untuk masa sekarang. Kalangan
inilah yang menjelaskan fenomena bunga dengan rumusan yang dikenal dengan
menurunnya nilai barang diwaktu mendatang dibanding dengan nilai barang diwaktu
kini.

Bhom-Bawerk, pendukung utama pendapat ini, menyebutkan tiga alasan


mengapa nilai barang di waktu yang akan datang berkurang, yaitu sebagai berikut:

1. Keuntungan di masa mendatang diragukan (uncertainty). Hal demikian disebabkan


ketidakpastian peristiwa yang melingkupi manusia di masa mendatang. Sedangkan
keuntungan di saat sekarang sangat jelas dan pasti.
2. Kepuasan terhadap kehendak atau keinginan masa kini lebih bernilai bagi manusia
daripada kepuasannya pada masa mendatang. Karena mungkin saja seseorang tidak
memiliki kehendak seperti sekarang.
3. Kenyataannya barang-barang pada waktu kini lebih penting dan berguna. Dengan
demikian barang-barang tersebut mempunyai nilai yang lebih tinggi di banding
dengan barang-barang pada waktu yang akan datang.

Dapat disimpulkan bahwa keuntungan sekarang lebih berharga dari pada


keuntungan di masa mendatang. Modal sekarang lebih bernilai, daripada dipinjam dan
dikembalikan satu tahun mendatang. Adanya bunga sebagai instrumennya lebih
dimaksudkan sebagai nilai pembayar yang sama terhadap modal yang dipinjam semula.

C. Riba Dalam Perspektif Ekonomi


1. Pengertian Bunga dengan Riba
Riba dalam perspektif ekonomi dipahami sebagai bunga. Bunga adalah
tanggungan pada pinjaman uang yang biasanya dinyatakan dengan persentase dari
uang yang dipinjamkan. Sedangkan riba berasal dari kata ziyadah, artinya
bertumbuh, menambah atau berlebih. Pengertian tambah dalam konteks riba ialah
tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan
syara’, baik itu jumlahnya sedikit ataupun banyak seperti diisyaratkan dalam Al-
Quran. riba secara umum didefinisikan sebagai melebihkan keuntungan (harta) dari
salah satu pihak terhadap pihak lain dalam transaksi jual beli atau pertukaran barang
yang sejenis dengan tanpa memberikan imbalan terhadap kelebihan tersebut.
Sementara para ulama fiqih mendefinisikan riba dengan “kelebihan harta dalam
suatu muamalah dengan tidak ada imbalan atau gantinya”. Maksud dari pernyataan
ini adalah tambahan terhadap modal uang yang timbul akibat transaksi utang
piutang yang harus diberikan terutang kepada pemilik uang pada saat utang jatuh
tempo.
Selanjutnya Allah menurunkan ayat yang melarang tegas terhadap kegiatan riba,
yaitu QS. Al-Baqarah ayat 275, 277 dan 278. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 275
mengandung tiga pengertian yaitu :
a. Transaksi jual beli itu tidak sama dengan riba
b. Perdagangan itu diperbolehkan, sedangkan riba itu diharamkan
c. Mereka yang telah mendengar ayat larangan riba, segera harus berhenti, tanpa
mengembalikan riba yang telah terlanjur ditarik
Riba adalah setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi
pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah. Dampak Riba dalam
Ekonomi :
a. Krisis ekonomi
b. Kesenjangan pertumbuhan ekonomi
c. Meningkatnya angka pengangguran
d. Inflasi
e. Debt Trap (jebakan hutang)
f. APBN defisit

2. Riba dan Masalah Keuangan (Investasi)


Evolusi konsep riba ke bunga tidak lepas dari perkembangan lembaga
keuangan. Lembaga keuangan timbul, karena kebutuhan modal untuk membiayai
industry dan perdagangan modalnya terutama berasal dari kaum pedagang shahibul
maal. Berdasarkan hal tersebut, maka hubungan riba dengan masalah keuangan
berkaitan dengan (Muhammad, 2014:143) :
a. Pandangan islam tentang uang
Secara definisi uang adalah benda yang dijadikan sebagai ukuran dan
penyimpan nilai semua barang. Dengan adanya uang maka dapatdilakukan proses
jual beli hasil produksi. Menurut Ibn Taimiyah, uang dalam Islam adalah sebagai
alat tukar dan alat ukur nilai melalui uang nilai suatu barang akan diketahui, dan
mereka tidak menggunakannya untuk diri sendiri atau dikonsumsi. Hal serupa
dikemukakan oleh muridnya Ibn Qayyim, uang atau keping uang tidak
dimaksudkan untuk benda itu sendiri tetapi dimaksudkan untuk memperoleh barang
barang. Dari sisi lain, kaitannya dengan masalah uang, al Ghazali mengatakan,
bahwa uang bagaikan kaca, kaca tidak memiliki warna, tetapi ia dapat
merefleksikan semua warna. Uang tersebut, menunjukan bahwa dalam Islam
adanya uang dapat memberikan fungsi kegunaan/kepuasan kepada pemakainya.
Oleh karena itu, uang bukanlah suatu komoditan. Uang itu sendiri tidak
memberikan kegunaan. Akan tetapi fungsi uanglah yang memberikan kegunaan.
Dengan demikian, bahwa fungsi uang adalah sebagai berikut :
1) Media pertukaran (untuk transaksi).
2) Jaga-jaga/investasi.
3) Satuan hitung untuk pembayaran (ba'i muajjal).
4) Uang sebagai sesuatu yang mengalir (flow concept)
5) Sebagai barang public (public goods).

b. Efek penggunaan riba pada pertumbuhan ekonomi


Ukuran kesejahteraan masyarakat menurut Islam adalah dilihat dari seberapa
banyak kemampuan masyarakat dapat memenuhi kewajibannya dalam membayar
zakat. Semakin banyak kaum muslimin yang mampu membayar zakat, berarti
semakin tinggi tingkat kemampuan masyarakat tersebut. Melalui zakat (waqaf)
dapat dicapai pemenuhann kebutuhan public. Pada akhirnya riba akan
memperburuk perekonomian secara makro yang kemudian mempengaruhi para
pelaku ekonomi tingkat makro sehingga menghindari riba pada hakikatnya
menghindari keburukan pada perekonomian secara menyeluruh. Jadi secara tak
langsung (teori) pihak pihak yang melakukan praktik riba berarti turut andil dalam
menekankan perekonomian makro (memperbesar risiko bagi perkembangan
ekonomi).
c. Bunga bank sama dengan riba
Analisis mengenai bunga bank sama dengan riba dapat dijelaskan sebagai
berikut :
Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat
benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik
dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan
dengan prinsip muamalah dalam Islam. Kebatilan adalah suatu tindakan yang
dilarang oleh Allah Swt. Sehubungan dengan kata batil dalam surat an-Nisa ayat
29, Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitab Ahkamul Qur'an menjelaskan pengertian
riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Qur'ani
yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau
penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya
penambahan tersebut secara adil.
Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional pihak pemberi
pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu
penyeimbang yang diterima pihak peminjam kecuali kesempatan faktor waktu yang
berjalan selama proses peminjaman tersebut. Hal yang dinilai tidak adil disini
adalah pihak peminjam diwajibkan untuk selalu dan tidak boleh tidak harus mutlak
dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut. Demikian juga
dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya hanya dengan faktor waktu
semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan
ketika orang tersebut mengusahakan pun akan menghadapi tiga peluang yaitu
untung, rugi, atau impas. Secara ekonomi bunga dapat dijelaskan sebagai suatu
tambahan yang digolongkan sebagai riba.

D. Pengertian Legitimasi Syariah


Legitimasi dipandang sebagai suatu penerimaan dan pengakuan masyarakat
terhadap hak moral pemimpin untuk memerintah, membuat dan melaksanakan
keputusan politik. Legitimasi ini juga dipandang sebagai bagian dari kewenangan, dan
kewenangan merupakan bagian dari kekuasaan. Legitimasi ini dapat terbentuk dengan
berbagai cara yang mampu dikelompokkan dalam tiga kategori yakni secara simbolis,
prosedural atau material.
Berdasarkan cara dan sumber perolehan tersebut maka munculah beberapa jenis
legitimasi yaitu legitimasi tradisional, legitimasi ideologi, legitimasi kualitas pribadi,
legitimasi prosedural serta legitimasi instrumental. Sedangkan Syariah diartikan secara
istilah sebagai suatu sistem atau aturan yang mengatur kehidupan manusia dalam
beribadah baik secara hubungan antara manusia dengan Allah, ataupun hubungan
manusia dengan manusia secara fiqh dan muamalah. Menurut pakar hukum dan hak
asasi manusia, unsur-unsur Legitimasi diantaranya meliputi :
a. Dukungan untuk komunitas politik.
b. Dukungan untuk prinsip, norma, dan prosedur rezim inti.
c. Penilaian kinerja rezim.
d. Dukungan untuk institusi rezim.
e. Dukungan untuk pihak berwenang.
Berdasarkan pada unsur-unsur legitimasi diatas, maka jenis-jenis legitimasi
pada hukum positif dibedakan menjadi:
1. Legitimasi Politik
Legitimasi politik ialah suatu gambaran dari politik yang berdasarkan pada suatu
keputusan dari hasil peradilan yang memiliki tujuan sebagai suatu bukti bahwasanya
pada setiap kebijakan yang sudah di tetapkan adalah untuk kepentingan masyarakat
luas.
2. Legitimasi Hukum
Legitimasi hukum adalah pengakuan hukum yang terdapat di tengah masyarakat
yang bisa di katakan ada kaitannya dengan tindakan perbuatan hukum yang berlaku
serta berbagai undang-undang yang sah dan sudah di tetapkan.
3. Legitimasi Kekuasaan
Legitimasi Kekuasaan merupakan suatu keyakinan pada setiap anggota di dalam
masyarakat yang mentaati serta menerima berbagai kebijakan yang sebelumnya telah
di buat oleh penguasa dan telah memenuhi berbagai tuntutan yang ada pada Rezim
penguasa tersebut. Berdasarkan pada definisi legitimasi menurut hukum positif maka
legitimasi hukum dipandang sebagai pengakuan hukum yang terdapat di tengah
masyarakat yang bisa di katakan ada kaitannya dengan tindakan perbuatan hukum yang
berlaku serta berbagai undang-undang yang sah dan sudah di tetapkan.
Dengan demikian, legitimasi syariah didefinisikan sebagai pengakuan hukum
pada tindakan kegiatan berasaskan syariah yang sah. Dalam konteks syariah pada
legitimasi nilai waktu uang dapat diukur dengan bersandar pada fatwa DSN MUI
sebagai payung hukum pelaksanaan akad-akad muamalah pada lembaga keuangan
syariah.
DAFTAR PUSTAKA

Badruzman, D. (2019). Riba Dalam Perspektif Keuangan Islam. Al-Amwal, 54.

Ilyas, R. (2017). Time Value of Money Dalam Perspektif Hukum Islam. Jurnal Al-'Adalah,
166.

Mugnhi, J. A. (2019). Manajemen Keuangan Syariah Teori dan Praktik. Bandung: Manggu
Makmur Tanjung Lestari.

Muhtadi, R. (2017). Konsep Waktu Pada Sistem Time Value Of Money dan Economic Value
Of Time Perspektif Islam. Jurnal Studi Keislaman, 64.

Sopian, A. A. (2021). Legitimasi Syariah Terhadap Nilai Waktu Uang. Jurnal Ilmu Akuntansi
dan Bisnis Syariah, 61.

You might also like