Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 11

PROSIDING SEMINAR NASIONAL SILVIKULTUR KE-VIII e-ISSN 2961-810X

OPTIMASI METODE STERILISASI EKSPLAN


DALAM KULTUR JARINGAN BAMBU HITAM
(Gigantochloa atroviolaceae Widjdja) DAN BAMBU
HAUR (Bambusa tuldoides Munro)
Faza Meidina1, Yayat Hidayat2, Susana Paulina Dewi2
1
Program Studi Rekayasa Kehutanan Institut Teknologi Bandung
2
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati

* yahiday@gmail.com (Yayat Hidayat)

Abstract: G. atroviolacea and B. tuldoides are endemic bamboo species in Indonesia and
have enormous potential to be developed. The quality of bamboo affects the product
produced, it can be started by choosing a seedling method. Technically, one method of
propagation that will produce uniform seeds in large numbers is tissue culture. The
problem with tissue culture is the presence of contaminants. One way to control it is by
sterilization techniques. The purpose of this study was to determine the effect of soaking
time of HgCl2 and the addition of sterilant on the sterilization technique of G. atroviolacea,
and B.tuldoides, determine the ratio of the average percentage of survival between G.
atroviolacea, and B.tuldoides, and determine the appropriate treatment to suppress
bacterial contamination. , fungus and browning in the sterilization technique of G.
atroviolacea, and B. tuldoides. The results showed that: 1) there was no effect of soaking
time of HgCl2 on bacterial contamination, fungal contamination and browning. The
sterilant has an effect on bacterial contamination and fungal contamination but has no
effect on browning; 2) G. atroviolaceae had the highest survival percentage of 58% while
B. tuldoides died in the 4th week; 3) The treatment of HgCl2 + povidone iodine was the
right combination of sterilants for G. atroviolacea by producing the lowest bacterial
contamination percentage of 2.08% and the lowest fungal contamination of 25%. The use
of HgCl2 is the right sterilant to suppress the lowest bacterial contamination of 19.79%
and HgCl2+povidone iodine to suppress the lowest fungal contamination of 25%.

Keywords: Gigantochloa atroviolacea; Bambusa tuldoides;sterilization; tissue culture;


contamination

1. Pendahuluan
Bambu merupakan tanaman yang berpotensi sebagai sumber bahan bangunan atau sumber manfaat
lainnya dan tersedia di Indonesia. Diperkirakan terdapat 88 jenis bambu yang merupakan endemik
Indonesia (Hingmadi, 2012). Jenis yang merupakan endemik Indonesia diantaranya bambu hitam (G.
atroviolacea) dan bambu haur (B. tuldoides). Bambu hitam dan bambu haur termasuk ke dalam jenis
bambu lokal Indonesia yang telah dipilih oleh jaringan kerja bambu dan rotan internasional (INBAR)
sebagai indikator prioritas penelitian dan pengembangan bambu. Bambu hitam dan bambu haur dapat
ditemukan di pulau Jawa salah satunya tersedia di kabupaten Sumedang, Jawa Barat (Z.M.C, 2014).
Bambu hitam (G. atroviolaceae) merupakan bambu yang memiliki batang hijau kehitam-hitaman.
Bambu hitam dapat dimanfaatkan menjadi mebel, kerajinan dan alat musik seperti angklung. Ketahanan
bambu hitam terhadap serangan rayap tanah memiliki kelas awet 2 (tahan) sehingga cukup baik untuk
digunakan sebagai bahan bangunan. Pemanfaatan bambu hitam oleh masyarakat Indonesia termasuk

122
PROSIDING SEMINAR NASIONAL SILVIKULTUR KE-VIII e-ISSN 2961-810X

tinggi karena memiliki fungsi yang serbaguna dan mudah untuk diidentifikasi (Saefudin dan Rostiwati,
2010).
Bambu haur merupakan bambu yang berumpun simpodial. Bambu haur dimanfaatkan untuk mebel,
bahan pembuat kertas, kerajinan tangan dan dapat ditanam di perkebunan. Belum banyak informasi
mengenai bambu haur, namun potensi untuk dikembangkan sangat besar.
Banyaknya pemanfaatan yang dilakukan pada kedua jenis bambu tanpa adanya budidaya
menyebabkan penurunan kuantitas tanaman bambu di alam. Dalam rangka pengembangan dan budidaya
bambu hitam dan bambu haur untuk produksi, dapat dilakukan dengan perbanyakan. Aspek penting yang
perlu diperhatikan dalam proses produksi merupakan penyediaan bibit yang berkualitas. Kualitas
tanaman bambu akan mempengaruhi produk yang dihasilkan. Proses produksi untuk skala besar
membutuhkan bibit dalam jumlah banyak seperti varietas unggul, seragam, bebas hama dan pathogen
serta penyediaan yang kontinyu. Hal itu dapat diawali dengan pemilihan metode pembibitan atau
perbanyakan. Perbanyakan vegetative dapat dilakukan pada tanaman bambu. Perbanyakan vegetative
secara stek cabang, rimpang dan batang akan membutuhkan waktu lama dan sulit jika ingin
menghasilkan bibit yang seragam dengan jumlah yang banyak. Maka dari itu, teknik kultur jaringan
dapat menjadi pilihan dalam upaya penyediaan bibit suatu tanaman yang akan menghasilkan bibit
seragam dalam jumlah banyak.
Kultur jaringan tanaman adalah suatu teknik untuk menumbuhkan sel, jaringan ataupun irisan organ
tanaman di laboratorium pada suatu media buatan yang mengandung nutrisi yang aseptik (steril) untuk
menjadi tanaman secara utuh. Ditinjau dari bahan eksplan yang digunakan, kultur jaringan tanaman
dibedakan menjadi kultur meristem, kultur ujung tunas, kultur embrio, kultur dan fusi protoplas, kultur
anther/mikrospora, kultur kalus dan kultur sel dan kultur biji (Dwiyani, 2015). Pada penelitian ini
digunakan kultur ujung tunas. Kultur ujung tunas menggunakan eksplan bakal tunas apikal atau tunas
aksilar yang berukuran 3-20mm. Eksplan yang digunakan berupa irisan buku yang terdapat bakal tunas
aksilar. Tahapan dalam teknik kultur jaringan dengan eksplan tunas diantaranya inisiasi, tahap induksi
tunas, multiplikasi tunas, induksi perakaran dan aklimatisasi. Sebagai penelitian pendahuluan, inisiasi
kultur tunas aksilar (axillary bud) dilakukan terhadap bambu haur dan bambu hitam. Eksplan dipilih
berdasarkan bagian tanaman yang belum banyak mengalami perubahan bentuk dan diferensiasi fungsi.
Keberhasilan inisiasi dan morfogenesis dari kultur jaringan dipengaruhi oleh faktor genotype, umur
tanaman, umur jaringan, fisiologi tanaman dan musim pengambilan tanaman (Dwiyani, 2015).
Pada kultur jaringan banyak kegagalan yang timbul akibat adanya kontaminan pada eksplan dan
media kultur. Maka dari itu eksplan yang digunakan harus bebas dari kontaminan, seperti fungi dan
bakteri. Mikroba pada kultur in vitro mengakibatkan penurunan pertumbuhan dan menyebabkan nekrosis
jaringan sehingga tanaman tidak dapat menghasilkan tunas dan mati (Kane, 2003). Teknik sterilisasi
permukaan digunakan untuk menghilangkan kontaminan yang terdapat pada permukaan eksplan.
Sterilisasi permukaan dapat dilakukan dengan merendam eksplan dalam larutan disinfektan dengan
konsentrasi tertentu selama periode tertentu.
Natrium hipoklorit (NaOCl) atau kalsium hipoklorit (Ca[OCL]2) atau biasa dikenal sebagai bayclin
merupakan bahan sterilan atau disinfektan yang sering digunakan untuk sterilisasi permukaan eksplan.
Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa bahan sterilisasi eksplan dapat menggunakan larutan
desinfektan seperti alkohol 70% dan bayclin yang menganding NaOCl untuk eksplan bambu apus
Purbaningsih, 2001). Selain NaOCl, para peneliti bambu banyak menggunakan HgCl2 0,1% untuk
sterilisasi eksplan. HgCl2 0,1% dan Natrium hipoklorid 10%, dan betadine digunakan untuk sterilisasi
bambu betung dan menghasilkan eksplan steril sebesar 73,33% (Romeida dkk., 2015). Penggunaan
antibiotik banyak digunakan oleh beberapa peneliti untuk menghilangkan kontaminan (Ray dan Ali,
2016). Prosedur sterilisasi merupakan tahap yang sangat kritis dalam kultur jaringan bambu. Berbagai
cara sterilisasi dilakukan oleh peneliti untuk menghilangkan sumber kontaminan yang terdapat dalam
eksplan. Namun pada bambu hitam dan bambu haur belum ada kombinasi bahan sterilan dan waktu
perendaman yang tepat untuk menekan kontaminasi yang terdapat dalam eksplan bambu.

123
PROSIDING SEMINAR NASIONAL SILVIKULTUR KE-VIII e-ISSN 2961-810X

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh waktu perendaman HgCl2
dan penambahan sterilan (NaClO (bayclin), povidone iodine, dan antibiotik (streptomycin)),
perbandingan rata-rata persentase hidup antara bambu hitam dan bambu haur serta perlakuan yang tepat
untuk menekan kontaminasi maupun pencoklatan pada bambu hitam dan bambu haur.

2. Bahan dan Metode


Penelitian dilakukan di Tissue Culture Laboratory, Rumpin Seed Source and Nursery Center, Bogor.
Waktu pelaksanaannya pada bulan Februari hingga April 2021.
Alat yang digunakan diantaranya tabung reaksi sebagai tabung kultur, laminar air flow cabinet (LAF),
autoklaf, timbangan analitik, gelas ukur, pH meter, gelas erlenmeyer, hotplate dengan magnetik stirer,
pinset, scalpel, cawan petri, bunsen, korek api, label, panci, kamera, gunting stek, dan gelas kultur. Bahan
yang digunakan antara lain bagian buku cabang bambu hitam (G. atroviolacea) dan bambu haur (B.
tuldoides), media dkw, HgCl2, bayclin, streptomycin, bactocyn, fungisida benlox 50 WP (bahan aktif
benomyl), alkohol 70%, akuades, povidone iodine, tisu steril, dettol, sunlight, alumunium foil, gula, agar,
dan ppm.
Sterilisasi eksplan diluar laminar dilakukan dengan cara disikat menggunakan Dettol kemudian
dibilas akuades 3 kali, direndam sunlight, dibilas akuades, direndam 1 menit dalam alcohol 70%, dibilas
akuades, direndam Dettol, dibilas akuades, direndam bactocyn selama 1 jam dan direndam benlox selama
1 jam menggunakan magnetic stirer.
Penelitian dirancang menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) factorial dengan 2 faktor, yaitu
waktu perendaman HgCl2 (10 dan 12 menit), dan penambahan bahan sterilan (Bayclin 20%, Streptomycin
0.1%, Povidone iodine 10%). Terdapat 6 kombinasi perlakuan dengan 2 perlakuan kontrol sehingga
jumlah perlakuan adalah 8. Setiap perlakuan atas 3 ulangan, setiap ulangan terdiri atas 4 eksplan. Total
eksplan yang digunakan adalah 8x3x4=96 eksplan per satu jenis bambu.

Tabel 1. Kombinasi perlakuan teknik sterilisasi


Bahan sterilan Bahan Sterilan
Perlakuan
Senyawa Durasi Senyawa Durasi
A1C0 Kontrol
A1C1 Bayclin
A1C2 10’ Streptomycin
A1C3 Povidone iodine
A2C0 HgCl2 0.01% Kontrol 7’
A2C2 Bayclin
A2C2 12’ Streptomycin
A2C3 Povidone iodine

Pengamatan dilakukan selama 4 minggu. Parameter yang diukur diantaranya persentase hidup eksplan
aseptik, persentase kontaminasi jamur, persentase kontaminasi bakteri dan persentase pencoklatan.

3. Hasil dan Pembahasan


Persentase Kontaminasi Bakteri (%)
Pada umumnya, kultur dapat terkontaminasi satu atau lebih mikroba seperti bakteri, jamur atau
virus. Berdasarkan jumlah sel atau koloni, bakteri merupakan kontaminan tertinggi yang terdapat dalam
kultur jaringan. Kultur yang terkontaminasi bakteri dapat diamati langsung dengan adanya lender
berwarna putih, coklat merah muda atau kuning (Gambar 1).

124
PROSIDING SEMINAR NASIONAL SILVIKULTUR KE-VIII e-ISSN 2961-810X

Gambar 1. Eksplan bambu hitam dan bambu haur terkontaminasi bakteri

Hasil analisis ragam pada bambu hitam (G. atroviolacea) dan bambu haur (B. tuldoides)
menunjukkan bahwa waktu perendaman HgCl2 tidak berpengaruh nyata, sedangkan penambahan bahan
sterilan berpengaruh nyata terhadap persentase kontaminasi bakteri. Tidak adanya pengaruh waktu
perendaman HgCl2 terhadap persentase kontaminasi kedua jenis bambu diakibatkan sedikitnya selisih
waktu pada dua taraf sehingga tidak dapat dilihat perbedaan pengaruh diantara perlakuan. Penggunaan
HgCl2 dengan konsentrasi rendah dan lama perendaman singkat belum mampu menekan persentase
kontaminasi pada tunas ubi kayu (Priadi dkk., 2008). Sedangkan pada penambahan bahan sterilan
berpengaruh nyata yang berarti penggunaan ketiga bahan sterilan memberikan pengaruh terhadap
tingkat kontaminasi eksplan bambu hitam dan bambu haur.

Tabel 2. Rekapitulasi hasil analisis ragam metode sterilisasi pada bambu hitam (G. atroviolacea)
Parameter Waktu Bahan Waktu
(%) Perendaman Sterilan x
HgCl2 Bahan
Kontaminasi 0.43 tn 0.00** 0.85tn
Bakteri
Kontaminasi 0.13tn 0.00** 0.18tn
Jamur
Pencoklatan 0.24tn 0.08tn 0.14tn
Hidup 0.09 tn 0.03* 0.13tn

Berdasarkan hasil uji lanjutan bahan sterilan pada bambu haur (tabel 3), terdapat perbedaan yang
signifikan antara perlakuan yang diberi penambahan bayclin dengan perlakuan yang diberi penambahan
streptomycin dan penambahan povidone iodine. Persentase kontaminasi tertinggi terdapat pada
perlakuan yang diberi penambahan bayclin yakni sebesar 29.17% sedangkan persentase kontaminasi
terendah terdapat pada perlakuan yang diberi penambahan povidone iodine yakni sebesar 2.08%.
Rendahnya tingkat kontaminasi bakteri pada perlakuan yang diberi perlakuan povidone iodine
disebabkan sifat antiseptik yang mampu membunuh semua mikroorganisme penyebab infeksi
nosocomial baik bakteri gram negative maupun bakteri gram positif, termasuk mikroorganisme yang
resisten terhadap antibiotic seperti bakteri (Rahmawati, 2014). Povidone iodine akan mengoksidasi
enzim untuk respirasi dari bakteri seperti tyrosine, dan kedua melalui iodinasi asam amino dengan
meracuni sehingga mikroba tidak dapat membentuk protein dan akan mengakibatkan mikroorganisme
hancur (Lepelletier dkk., 2020).

Tabel 3. Rekapitulasi hasil analisis ragam metode sterilisasi pada bambu haur (B. tuldoides)
Parameter Waktu Bahan Waktu x
(%) Perendaman HgCl2 Sterilan Bahan
Kontaminasi 0.52 tn 0.03* 0.35tn
Bakteri

125
PROSIDING SEMINAR NASIONAL SILVIKULTUR KE-VIII e-ISSN 2961-810X

Parameter Waktu Bahan Waktu x


(%) Perendaman HgCl2 Sterilan Bahan
Kontaminasi 0.10tn 0.00** 0.17tn
Jamur
Pencoklatan 0.59tn 0.0 5tn 0.94tn

Penambahan povidone iodine memberikan persentase eksplan steril tertinggi pada bambu betung
(Romeida dkk., 2015). Penggunaan bayclin belum dapat menekan kontaminasi bakteri pada bambu
hitam (G. atroviolacea). Bahan sterilan bayclin mengandung sodium hipoklorit (NaClO) yang mampu
membersihkan mikroorganisme dalam bahan tanaman, menghilangkan partikel-partikel tanah, debu
dan lain-lain. Namun bayclin dapat menimbulkan daya toksisitas yang akan memicu terjadinya
resistensi mikroba terhadap antimikroba (Widiastuti dkk., 2019). Timbulnya daya toksisitas dari NaClO
dimulai dengan perubahan struktur kimiawi senyawa natrium hipoklorit. Pembentukan larutan NaClO
membutuhkan akuades (H2O) sebagai bahan desinfektan, akibatnya terjadi disasosiasi struktur dari
NaClO menjadi HClO atau asam hipoklorus. Larutan asam hipoklorus menyebabkan terjadinya reaksi
potensial dengan molekul lainnya dalam reaksi reduksi-oksidasi karena merupakan agen pengoksidasi
yang kuat. Beberapa senyawa baru seperti hidrogen peroksida, superoksida, radikal hidroksil dan
oksigen yang bersifat mutagenik akan dihasilkan oleh reaksi potensial tersebut dan memicu terjadinya
resistensi mikroba terhadap antimikroba.
Penambahan streptomycin dan penambahan povidone iodine tidak memiliki perbedaan yang
signifikan. Persentase kontaminasi pada perlakuan yang diberi penambahan streptomycin adalah 8.3%.
Streptomycin merupakan golongan antibiotik. Dalam sterilisasi eksplan khususnya pada tanaman
bambu, antibiotik digunakan untuk mengurangi kontaminasi bakteri endofit saat propagasi kultur
jaringan (Ray dan Ali, 2016). Penambahan streptomycin pada sterilisasi eksplan bambu hitam (G.
atroviolacea) dapat digunakan untuk mengeliminasi kontaminasi bakteri, namun untuk hasil yang
optimal diperlukan jenis antibiotik lain untuk ditambahkan pada sterilisasi eksplan.
Pada bambu haur (B. tuldoides), perbedaan yang signifikan terdapat pada perlakuan control dan
perlakuan yang diberi penambahan Streptomycin. Persentase kontaminasi terendah terdapat pada
perlakuan control sebesar 8.3%. Perlakuan kontrol merupakan perlakuan yang hanya diberi satu bahan
sterilan yaitu HgCl2 0.01% dengan durasi 10 dan 12 menit. Perlakuan dengan HgCl2 tanpa penambahan
bahan sterilan dalam sterilisasi eksplan bambu haur dapat menekan kontaminasi bakteri. Perendaman
10 menit HgCl2 0.01% telah dibuktikan efektif untuk menekan kontaminasi dibandingkan dengan
sodium hypochloride ((0.05,0.1 dan 0.2%) pada Bambusa tulda (Romeida dkk., 2015).

Gambar 2. Grafik Rata-rata Persentase kontaminasi bakteri pada G. atroviolacea dan B. tuldoides

Persentase kontaminasi bakteri tertinggi terdapat pada perlakuan yang diberi penambahan
streptomycin sebesar 36.46%. Penggunaan antibiotik pada beberapa bambu memang dikatakan efektif

126
PROSIDING SEMINAR NASIONAL SILVIKULTUR KE-VIII e-ISSN 2961-810X

untuk menurunkan kontaminasi bakteri, namun perlu diperhatikan tipe, aplikasi dan durasi yang
diberikan pada tiap jenis tanaman. Antibiotik sebagai bahan sterilan dapat menyebabkan fitosiksitas
dan seleksi untuk resistensi. Setelah ditemukannya streptomycin, peneliti menemukan adanya bakteri
yang resisten strain (Ray dan Ali, 2016). Dapat diduga bahwa bakteri yang terdapat pada eksplan bambu
haur (B. tuldoides) memiliki resistensi terhadap streptomycin sehingga perlakuan dengan penambahan
streptomycin kurang mampu menekan kontaminasi bakteri endofit. Selain itu, respon atau ketahanan
bambu haur (B. tuldoides) diduga menjadi penyebab streptomycin tidak dapat menekan kontaminasi
yang terdapat pada kultur.
Berbagai penelitian mengenai sterilisasi permukaan eksplan pada perbanyakan kultur jaringan
menunjukkan perbedaan teknik pada setiap jenis dan umur pohon dengan kombinasi jenis sterilan
maupun waktu sterilisasi, sehingga memerlukan penelitian individual spesies untuk protokol kultur
jaringan (Putri dkk., 2017). Maka dari itu perlakuan pada bambu hitam dan bambu haur belum tentu
menghasilkan hasil yang sama. Pada bambu hitam, perlakuan dengan povidone iodine dapat menekan
kontaminasi bakteri terendah sedangkan pada bambu haur perlakuan kontrol yang dapat menekan
kontaminasi bakteri terendah. Perbedaan potensi pertumbuhan dan status metabolik endogen jenis
tanaman menyebabkan perbedaan tingkat interaksi dengan lingkungan makro maupun mikro, sehingga
mengakibatkan perbedaan diversitas kontaminan kultur jaringan (Chern dkk., 1993).
Persentase Kontaminasi Jamur (%)
Kontaminasi jamur merupakan salah satu kendala yang dapat menyebabkan kematian pada eksplan.
Jamur yang tumbuh dalam tanaman (eksplan) mauoun media akan menghambat pertumbuhan tanaman
(eksplan) hingga tidak dapat tumbuh lagi atau mati. Umumnya kontaminasi yang dapat mematikan
adalah jamur endofit. Jamur endofit merupakan jamur yang terdapat dalam jaringan dan cenderung sulit
dihilangkan. Kontaminasi jamur dapat dicirikan dengan adanya kumpulan benang halus atau bisa
disebut miselium. Jamur memiliki warna miselium bermacam-macam diantaranya berwarna putih,
cokelat, hitam dan merah (gambar 4).

Gambar 2. Eksplan bambu hitam dan bambu haur terkontaminasi jamur

Hasil analisis sidik ragam pada bambu hitam (G. atroviolacea) dan bambu haur (B. tuldoides)
menunjukkan bahwa lama perendaman HgCl2 tidak berpengaruh nyata terhadap persentase kontaminasi
jamur. Sedangkan penambahan bahan sterilan berpengaruh nyata terhadap persentase kontaminasi
jamur. Hal tersebut menunjukkan bahwa penambahan bahan sterilan pada perlakuan memberikan
pengaruh terhadap kontaminasi jamur bambu hitam (G. atroviolacea) dan bambu haur (B. tuldoides).

127
PROSIDING SEMINAR NASIONAL SILVIKULTUR KE-VIII e-ISSN 2961-810X

Gambar 3. Grafik rata-rata persentase kontaminasi jamur pada G. atroviolacea dan B. Tuldoides

Tabel 4 menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara penambahan povidone iodine
dengan penambahan bayclin pada bambu hitam (G. atroviolacea). Rata-rata persentase kontaminasi
terendah terdapat pada perlakuan yang diberi povidone iodine yaitu sebesar 25%. kontaminasi terjadi
akibat kandungan iodine yang meracuni mikroba sehingga menghambat pembentukan protein dan akan
mengakibatkan mikroba hancur. Selain membunuh bakteri gram negatif maupun gram positif dan
bakteri resisten, povidone iodine juga dapat membunuh jamur. Penambahan betadine (mengandung
povidone iodine 10%) dalam sterilisasi eksplan bambu betung dapat menekan kontaminasi sebesar 73%
(Romeida dkk., 2015). Perbedaan yang nyata antara perlakuan yang diberi povidone iodine dan
perlakuan kontrol terjadi pada persentase kontaminasi. Berbeda dengan povidone iodine yang
menghasilkan rata-rata persentase kontaminasi terendah, perlakuan kontrol dan bayclin menghasilkan
rata-rata persentase kontaminasi yang tinggi hingga 68.33%. Dari hasil tersebut dapat disebutkan bahwa
bahan sterilan tunggal tidak dapat menekan kontaminasi jamur, selain itu penambahan bayclin sebagai
bahan sterilan juga belum bisa menekan kontaminasi jamur.

Tabel 4. Uji lanjut bahan sterilan terhadap parameter pada G. atroviolacea


Bahan Sterilan Kontaminasi Bakteri Kontaminasi Jamur Hidup
Kontrol 5.05 b 8.16b 2.88a
Bayclin 6.08 b 7.89b 4.21ab
Streptomycin 2.15a 6.42ab 6.08ab
Povidone iodine 1.43 a 5.73a 6.70b

Pada bambu hitam, penambahan streptomycin dengan penambahan povidone iodine, bayclin
maupun kontrol tidak ada perbedaan yang signifikan. Dengan demikian, penggunaan streptomycin
dapat digunakan sebagai bahan sterilan. Namun, jika dibandingkan dengan povidone iodine, lebih
dianjurkan menggunakan povidone iodine karena lebih murah, mudah di temukan dan belum ada
laporan tentang resistensi mikroba (Ray dan Ali, 2016).
Pada bambu haur (B. tuldoides) hasil uji lanjut bahan sterilan terhadap kontaminasi menunjukkan
penambahan povidone iodine dan control memiliki perbedaan yang signifikan. Rata-rata persentase
kontaminasi jamur pada perlakuan penambahan povidone iodine sebesar 55.21% sedangkan pada
perlakuan kontrol sebesar 77.08%. Pada kasus ini, rata-rata persentase kontaminasi yang paling rendah
masih bernilai diatas 50% dimana hal tersebut belum menunjukkan nilai yang optimal dalam menekan
kontaminasi jamur. Untuk menekan kontaminasi jamur dapat dilakukan menggunakan povidone iodine
dengan konsentrasi dan lama perendaman yang lebih optimal.
Pada bambu haur untuk penambahan povidone iodine dan bayclin dengan penambahan streptomycin
tidak berbeda signifikan terhadap kontaminasi jamur. Sedangkan perlakuan kontrol dengan

128
PROSIDING SEMINAR NASIONAL SILVIKULTUR KE-VIII e-ISSN 2961-810X

penambahan bayclin dan penambahan streptomycin juga tidak berbeda signifikan terhadap kontaminasi
jamur. Pemberian streptomycin dapat menekan kontaminasi dan menyebabkan resistensi pada mikroba,
hal tersebut terjadi pula pada penggunaan bayclin sebagai bahan sterilan. Hal ini sesuai dengan
penelitian Heriansyah dan Indrawanis (2020), yang menyebutkan bahwa penggunaan bayclin tidak
berpengaruh pada kontaminasi jamur.

Tabel 5. Uji lanjut bahan sterilan terhadap parameter pada B. tuldoides


Bahan Sterilan Kontaminasi Bakteri Kontaminasi Jamur
Kontrol 2.94 a 10.02b
Bayclin 3.94 ab 8.64ab
Streptomycin 6.07b 9.09ab
Povidone iodine 5.73 ab 9.89a

Bambu hitam (G. atroviolacea) dan bambu haur (B. tuldoides) memiliki persamaan penambahan
sterilan dalam menekan kontaminasi jamur yaitu dengan penambahan povidone iodine. Keduanya
memiliki kontaminasi tertinggi pada perlakuan kontrol. Namun untuk perbandingan rata-rata persentase
kontaminasi diantara bambu hitam (G. atroviolacea) dan bambu haur (B. tuldoides), memang bambu
haur memiliki persentase kontaminasi yang lebih tinggi. Hal tersebut diakibatikan perbedaan respon
antara kedua spesies.
Persentase Pencoklatan
Hasil analisis sidik ragam pada terhadap persentase kontaminasi bambu hitam (G. atroviolacea) dan
bambu haur (B. tuldoides) menunjukkan bahwa waktu perendaman HgCl2 dan penambahan bahan
sterilan tidak berpengaruh nyata terhadap pencoklatan. Hal ini terjadi karena pencoklatan disebabkan
oleh adanya reaksi oksidasi yang dikatalis oleh enzim fenol oksidase atau polifenol oksidase. Kedua
enzim ini dapat mengkatalis reaksi oksidase senyawa fenol yang dapat menyebabkan perubahan warna
menjadi cokelat. Enzim oksidase akan reaktif dengan adanya oksigen, ketika eksplan dipotong maka
bagian dalam permukaan akan terpapar oleh oksigen sehingga akan memicu reaksi oksidasi (Hutami,
2006). Tunas bambu yang ditumbuhkan secara kultur jaringan mati diakibatkan aktivitas polifenol
oksidase (PPO) (Huang dkk., 2002).

Gambar 4. Grafik Rata-rata persentase pencoklatan pada G. atroviolacea dan B. tuldoides

Pada penelitian ini digunakan dua jenis bambu berbeda yaitu bambu hitam (G. atroviolacea) dan
bambu haur (B. tuldoides). Dapat dilihat pada gambar 4, rata-rata pencoklatan pada bambu hitam
sebesar 6.8% sedangkan pada bambu haur sebesar 10.7%. Hal ini bersesuaian dengan penelitian Huang
dkk., (2002), yang menyatakan bahwa tingkat pencoklatan bervariasi berdasarkan spesies, jaringan atau
organ, fase perkembangan tanaman, umur jaringan atau organ dan media nutrisi serta variabel kultur

129
PROSIDING SEMINAR NASIONAL SILVIKULTUR KE-VIII e-ISSN 2961-810X

jaringan lainnya. Umur dan spesies tanaman yang digunakan sebagai ekplan dapat mempengaruhi kadar
fenol yang dikeluarkan oleh suatu jaringan. Maka dari itu sangat wajar apabila terdapat perbedaan
tingkat kecoklatan diantara kedua jenis spesies.

Persentase Eksplan Hidup


Persentase eksplan hidup dilihat dari kemampuan suatu eksplan untuk tumbuh dan berkembang
dalam kultur in vitro. Persentase eksplan hidup dipengaruhi oleh persentase eksplan terkontaminasi dan
pencoklatan. Tujuan pengamatan persentase eksplan hidup adalah untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh sterilisasi eksplan yang digunakan dalam penelitian.
Hasil analisis sidik ragam terhadap parameter persentase eksplan hidup menunjukkan bahwa waktu
perendaman HgCl2 pada bambu hitam (G. atroviolacea) tidak berpengaruh nyata terhadap persentase
eksplan hidup. Hal tersebut menunjukan bahwa penambahan bahan sterilan pada perlakuan
memberikan pengaruh terhadap kontaminasi jamur bambu hitam. Pada bambu haur tidak dilakukan
analisis ragam karena eksplan bambu haur hanya bertahan hingga 2 minggu sehingga data tidak bisa
dikomparasikan.

Gambar 5. Grafik Rata-rata persentase hidup pada B.tuldoides

Tabel 4 menunjukkan uji lanjut BNJ pada bahan sterilan bambu hitam yang menjelaskan bahwa
perlakuan kontrol dan penambahan povidone iodine memiliki perbedaan yang signifikan. Hal tersebut
terjadi karena penambahan povidone iodine pada bambu hitam dapat menekan kontaminasi jamur dan
kontaminasi bakteri. Sehingga eksplan yang hidup memiliki rata-rata persentase tertinggi.

Gambar 6. Grafik Rata-rata persentase hidup pada G. atroviolacea

130
PROSIDING SEMINAR NASIONAL SILVIKULTUR KE-VIII e-ISSN 2961-810X

Perbedaan persentase hidup antara bambu hitam (G. atroviolacea) dan bambu haur (B. tuldoides)
dapat dilihat dari perbedaan tingkat hidup yang ditunjukkan pada gambar 5 dan 6. Dari minggu pertama
hingga minggu ke empat, bambu hitam memiliki penurunan yang kontstan. Eksplan pada perlakuan
kontrol (A1C0) mati di minggu ke-empat sedangkan eksplan pada perlakuan lain masih bertahan
terutama pada perlakuan yang diberi povidone iodine (A1C3) memiliki persentase hidup yang tinggi.
Sedangkan pada bambu haur, eksplan hanya bertahan selama dua minggu, hal tersebut karena tingginya
kontaminasi pada bakteri, jamur dan pencoklatan.

4. Kesimpulan
Tidak ada pengaruh waktu perendaman HgCl2 terhadap kontaminasi bakteri, kontaminasi jamur dan
pencoklatan. Sedangkan bahan sterilan berpengaruh terhadap kontaminasi bakteri dan kontaminasi jamur
namun tidak berpengaruh terhadap pencoklatan. Bambu hitam (G. atroviolaceae) memiliki persentase
hidup tertinggi sebesar 58% sedangkan Bambu haur (B. tuldoides) mati di minggu ke-4. Perlakuan HgCl2
+ povidone iodine merupakan kombinasi bahan sterilan yang tepat pada G. atroviolacea dengan
menghasilkan persentase kontaminasi bakteri terendah sebesar 2.08% dan kontaminasi jamur terendah
sebesar 25%. Penggunaan HgCl2 merupakan bahan sterilan yang tepat untuk menekan kontaminasi
bakteri terendah sebesar 19.79% dan HgCl2+povidone iodine untuk menekan kontaminasi jamur terendah
sebesar 25%.
Perlunya penelitian lanjutan mengenai konsentrasi dan durasi pada kombinasi HgCl2 + Povidone
iodine terhadap teknik sterilisasi G. atroviolacea maupun B. tuldoides. Penelitian lanjutan dapat berupa
penambahan zat pengatur tumbuh untuk melihat media yang tepat pada bambu haur dan bambu hitam.

Sanwacana
Terimakasih kepada seluruh pihak, terutama laboran dan staff Rumpin Seed Source and Nurcery
Center (RSSNC) yang membantu dalam pengumpulan data dan informasi terkait penelitian ini.

Daftar Pustaka
Chern, A., Hosokawa, Z., Cherubini, C., & Cline, M. 1993. Effects of Node Position on Lateral Bud
Outgrow in the Decapitated Shoot of Ipomoea nil. Ohio Journal of Science, 93(1), 11-13.
Dwiyani, R. 2015. Buku Kultur Jaringan. Bali: Pelawa Sari "Percetakan & Penerbit".
Heriansyah, P., & Indrawanis, E. 2020. Uji Tingkat Kontaminasi Eksplan Anggrek Bromheadia
finlysoniana L.miq Dalam Kultur In Vitro dengan penambahan ekstrak tomat. Jurnal Agroqua,
18(2), 226.
Hingmadi, D. 2012. Keanekaragaman Ciri Morfologi Jenis-Jenis Bambu (Bambusa Sp.) Di Kelurahan
Teunbaun Kecamatan Amarasi Barat Kabupaten Kupang. Universitas PGRI NTT, Kupang.
Huang, L., Lee, B., Kuo, C., & Shaw, J. (2002). High polyphenol oxidase activity and low titratable
acidicity in browning bamboo tissue culture. In Vitro Cellular Developmental Biology-Plant, 38(4),
358-365.
Hutami, S. (2006). Masalah Pencoklatan pada Kultur Jaringan. AgroBiogen, 4(2):83-88.
Kane M.2003. Bacterial and fungal indexing of tissue cultures.
Lepelletier, D., Maillard, J. Y., Pozzetto, B., & Simon, A. 2020. Povidone iodine: Properties, Mechanisms
of Action, and Role in Infection Control and Staphylococcus aureus Decolon. Journal American
Society for Microbiology : Antimicrobial Agents and Chemotherapy, 64(9), 1-13.
Priadi D, Fitriani H, Sudarmonowati E. 2008. Pertumbuhan in vitro Tunas Ubi Kayu (Manihot esculenta
Crantz) pada Berbagai Bahan Pemadat Alternatif Pengganti Agar. Biodiversitas.9 (1):9-12.
Purbaningsih, S., 2001. Kultur in Vitro Bambu Apus (Gigantochloa apus Kurz), Depok: Universitas
Indonesia.
Putri, A. I., Herawan, T., Prastyono, & Haryjanto, L. 2017. Pengaruh Teknik Sterilisasi Eksplan Terhadap
Tingkat Perolehan Kultur Jaringan Anakan Ramin (Gonyctylus bancanus). Jurnal Pemuliaan
Tanaman Hutan. 11(2): 131-138.

131
PROSIDING SEMINAR NASIONAL SILVIKULTUR KE-VIII e-ISSN 2961-810X

Rahmawati, I. 2014. Perbedaan Efek Perawatan Luka Menggunakan Gerusan Daun Petai Cina (Leucaena
glauca Benth) dan Povidone Iodine 10% Dalam Mempercepat Penyembuhan Luka Bersih Pada
Marmut (Cavia pocellus). Jurnal Wiyata, 227-234.
Ray, S. S., & Ali, N. 2016. Biotic Contamination and Possible Ways of Sterilization: A Review with
Reference to Bamboo Micropropagation. Brazilian Archives Of Biology and Technology. 50: 1-12.
Romeida,Atra and Eko,Suprijono.2015. Perbanyakan Bibit Bambu Betung (Dendrocalamus asper) secara
In Vitro. In: Prosiding Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan Bidang Ilmu Pertanian BKS-
PTN Wilayah Barat. Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya, Palangka Raya, pp. 245-254
Saefudin dan Rostiwati, 2010. Pemilihan bahan vegetative untuk penyediaan bibit bambu hitam. Jurnal
Tekno Hutan Tanaman. 3 (1): 23—28.
Widiastuti, D., Karima, I. F., & Setiyani, E. (2019). Efek Antibakteri Sodium Hypochlorite terhadap
Staphylococcus aureus. Jurnal Ilmiah Kesehatan Masyarakat. 11(4): 302-307.
Z, M. C., 2014. Ekologi. Budidaya Bambu Jenis Komersial; Mohammad Na’iem, Mahfudz, Sigit Baktya
Prabawa; IPB Press, Bogor, Indonesia, hlm 1-6..

132

You might also like