Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 18

UPACARA PITUNGDINO KEMATIAN

DALAM PRAKTEK KEHIDUPAN PAGUYUBAN MAJAPAHID


DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

Oleh:
Prianik
Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia
Denpasar
pr_anik@yahoo.com

Abstract

Death is something that will definitely happen but cannot be sure when the death will come to
someone. For Hindus, death is a process of soul journey to Paramatman. In order for the journey of
Jiwatman to not occur, obstacles need to be helped with the execution of a death ceremony, one of the
ceremonies of the death ceremony of Hindus in Java, namely the Pitungdino death ceremony. In carrying
out the ceremony, did the members of the Majapahid Paguyupan who incidentally live in the
Metropolitan capital still carry out ?, where all members did not come from one area, but from various
regions with different traditional backgrounds. The Pitungdno death ceremony is a Hindu teaching
that has been carried out since our ancestors, and what benefits or benefits can be obtained in carrying
out this ceremony ?. To answer that question this research was conducted. The Pitungdino death
ceremony conducted by members of the Majapahid Association from one region to another is very
different, this is the result of research in one of the villages of the Majapahid Circle of Friends, namely
as follows: Pasrah pancen, enggeh / kenduren, and the Pitra event Puja.
The function of the pitungdino ceremony of death is as a prosecutor’s process or a guide for Jiwatman
to paramatman. This ceremony aims to improve the seven layers in the human body, namely muscle,
flesh, blood, marrow, skin, bones and hair.
The benefit of the pitungdino death ceremony is for the offspring, if it is carried out which is aimed
at dedication and our sincere devotion to our ancestors, raising and perfecting the position of the
spirits of our ancestors in Swah Loka, and paying attention to the interests of parents in realizing
devotion . This was carried out with the realization that as a descendant he had been indebted to his
parents / ancestors (Pitra Rna). The benefits of this series of ceremonies are for children, grandchildren
and their descendants, namely for welfare, and changes in the natural environment on a skala and
niskala.

Keywords: Study, Didactic, Pitungdino Death Ceremony

Abstrak

Kematian adalah sesuatu yang pasti akan terjadi tetapi tidak dapat dipastikan kapan akan
datangnya kematian itu pada seseorang. Bagi umat Hindu kematian merupakan proses perjalanan
jiwatman menuju Paramatman. Agar perjalan jiwatman tidak terjadi hambatan perlu di bantu
dengan adanya pelaksanaan upacara kematian, salah satu pelaksanaan upacara kematian umat
Hindu di Jawa yaitu upacara Pitungdino kematian. Pelaksanaan upacara Pitungdino kematian yang
dilakukan oleh anggota Paguyuban Majapahid dari daerah satu dengan daerah yang lainnya sangat

DHARMASMRTI
28
Vol. 10 Nomor 1 Mei 2019 : 1 - 109
berbeda beda. Fungsi dari pada upacara pitungdino kematian ini adalah sebagai proses penuntut
atau penunjuk jalan bagi jiwatman menuju paramatman. Upacara ini bertujuan untuk proses
penyempurnaan tujuh lapisan yang ada dalam tubuh manusia yaitu otot, daging, darah, sumsum,
kulit, tulang dan rambut. Manfaat upacara pitungdino kematian ini bagi keturunannya, jika di
laksanakan yaitu bertujuan untuk pengabdian dan rasa bhakti kita yang sangat tulus ikhlas kepada
para leluhur kita, mengangkat serta menyempurnakan kedudukan arwah para leluhur kita di alam
Swah Loka, dan memperhatikan kepentingan orang tua dalam mewujudkan rasa bhakti. Hal tersebut
di laksanakan atas kesadaran bahwa sebagai keturunanya ia telah berhutang kepada Orang tua/
leluhur (Pitra Rna). Manfaat yang didapat dari rangkaian upacara tersebut untuk anak, cucu dan
keturunanya yaitu untuk kesejahteraan, dan perubahan alam sekitar secara skala dan niskala.

Kata kunci: Kajian, Didaktis, Upacara Pitungdino kematian

I. PENDAHULUAN yang telah turun temurun dilakukan. Bahkan di


dalam kehidupan bermasyarakat terdapat
Indonesia sangat multicultural dari berbagai keharusan untuk melakukannya. Segala usaha
jenis agama, suku dengan budayanya masing- akan dilakukan agar mereka bisa melaksanakan
masing yang sangat beragam, begitu juga dengan adat istiadat ini. Kebanyakan adat istiadat yang
penganut agama Hindu di Indonesia sangat ada bersumber dari kepercayaan nenek moyang
beragam suku dan budaya daerahnya masing- terdahulunya atau dari para leluhurnya.
masing, dari sabang sampai meraoke semua Hindu adalah agama yang universal dan
agama Hindu menyebar di seluruh pelosok terbuka untuk seluruh umat manusia di dunia.
nusantara Indonesia. Salah satunya yaitu Agama Sebagai agama universal, tentunya Hindu akan
Hindu dari Suku Jawa yang berasal di kepulauan menerima budaya apa saja yang sesuai dengan
Jawa. Dan saat ini Suku Jawa yang beragama falsafah Hindu itu sendiri. Budaya itu akan
Hindu tidak hanya diam di pulau Jawa saja tapi mengalami akulturasi dengan Hindu sehingga
sudah menyebar keseluruh plosok penjuru membentuk suatu corak baru yang khas. Hal ini
Indonesia. yang dapat menambah khasanah budaya dalam
Sebagai wadah inspirasi umat Hindu peradapan Hindu.
khususnya suku Jawa dari berbagai daerah yang Tidak hanya suku Toraja dan Bali yang
keluar dari daerah tanah kelahirannya untuk memiliki ritual kematian, suku Jawa pun juga
merantau menuju ibu kota Jakarta, maka di memiliki ritual kematian. Ketika salah satu
Jakarta terbentuk suatu komunitas yang masyarakat suku Jawa meninggal dunia, ritual
bernama Paguyuban Majapahid. adat istiadat pun tak lepas mengiringi, salah
Kita sebagai umat Hindu suku Jawa tidak satunya yaitu upacara pitungdino kematian
pernah bisa lepas dari yang namanya bebantenan (Pitra Yadnya). Upacara pitungdino kematian ini
dan upacara keagamaan, kemanapun kita pergi di lakukan pada saat tujuh hari setelah hari
atau tinggal kita tidak pernah bisa meninggalkan meninggalnya orang tersebut.
suatu kebiasaan yang sudah turun temurun kita Yang tergabung dalam komunitas Paguyuban
lakoni/laksanakan. Masyarakat suku Jawa Majapahid berasal dari berbagai daerah yang
dikenal memiliki budaya yang sangat kental. beragama Hindu baik dari suku Jawa maupun
Sampai era globalisasi saat ini pun adat istiadat suku-suku yang lainnya, pasti dalam pelaksanaan
masih kerap dijalankan dan ditaati oleh upacara nya pun juga bervariasi sesuai dengan
masyarakatnya. Upacara keagamaan sesuai ciri khas daerah masing-masing. Untuk itu
dengan adat istiadat Hindu suku Jawa pun dalam komunitas Paguyupan Majapahid inilah
hampir terdapat di setiap momen kehidupan menjadi satu wadah dimana dalam pelaksanaan
manusia. Semenjak dari kelahiran, perkawinan, upacara pitungdino kematian ini kekompakan
hingga kematian memiliki tata cara sesuai dan pelestarian budaya leluhur harus tetap
dengan adat istiadat daerah masing-masing. tersemat walau berasal dari daerah yang
Adat istiadat ini ialah sebuah budaya dan norma berbeda-beda.

UPACARA PITUNGDINO KEMATIAN DALAM PRAKTEK KEHIDUPAN


PAGUYUBAN MAJAPAHID DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA 29
Prianik
II. PEMBAHASAN Dari sloka di atas sudah sangat jelas bahwa
dengan cara melakukan persembahan kepada
2.1. Pitungdino Kematian para leluhur kita maka kita akan selalu
Upacara pitungdino kematian merupakan terhubung, sebagaimana dalam ajaran Agama
bagian dari runtutan upacara Pitra Yadnya Hindu bahwa mulai kita di lahirkan menjadi
secara adat Hindu Jawa, upacara ini dilakukan manusia kita sudah membawa tiga hutang/Tri
yaitu untuk mendoakan proses penyempurnaan Rna. Salah satu dari tiga hutang tersebut adalah
tujuh lapisan/unsur yang terdapat dalam badan kita mempunyai hutang kepada para leluhur
manusia yaitu, daging, otot, darah, kulit, tulang, kita. Salah satu cara umat Hindu Jawa dalam
sumsum, dan bulu. Yaitu dari alam Bhur sampai membayar hutang kepada leluhur kita yang
alam Sapta Loka/Sapto Patolo. Kalo di Jawa itu sudah meninggal yaitu melakukan prosesi
alam Eko Krudo yaitu meminta maaf jika yang upacara/slametan Pitungdino kematian
meninggal mempunyai kesalahan. Jika di dalam Pelaksanaan upacara pitungdino kematian ini
alam Makrokosmos yaitu alam eko krodo, dwi biasanya dilaksanakan di rumah duka dengan
karana, tri bhawana, catur mahendro, panca mengundang umat Hindu satu Dusun dengan
mertani, dwi jati, wasto karana (alam fitri/alam keluarga orang yang meninggal. Ini merupakan
kesucian). Yang harus di lewati oleh atman malam terahkir yang sebelumnya selama lima
untuk menyatu dengan Brahman. Tetapi semua malam berturut-turut semenjak upacara
upacara ini juga berdasarkan Desa kala Patra, telungdino.
jadi setiap daerah mempunyai cara yang
berbeda-beda sesuai dengan adat masing- 2.2. Pelaksanaan Upacara Pitungdino
masing daerah yang dipercayainnya. Upacara Kematian
pitungdino berjumlah tujuh. Tujuh di kurang Dalam suatu prosesi pelaksanaan upacara
tiga, di kurang tiga, sisa satu. Tiga ini di artikan Pitra Yadnya dari satu daerah dengan daerah
sebagai Tri Murti (Brahma Wisnu Siwa), yang lain pasti berbeda-beda sesuai desa kala
lamuteng bopo biyung lamuteng sing agawe urip patra. Sama seperti halnya dalam pelaksanaan
sisa satu yaitu artinya satu adalah jagat raya ini upacara Pitungdino kematian ini, dimana dalam
dan bahwa jagat itu hanya satu. (wawancara, pelaksanaan upacara pitungdino kematian ini
Romo Rsi Adhyaksa, Blitar Januari,18, 2019) dalam anggota Paguyupan Majapahid dari
Seperti di uraikan dalam kitab Brhad daerah satu dengan yang lainya pasti banyak
Aranyaka Upanisad, Bab VI. 2.16 adalah sebagai perbedaannya. Mulai dari perlengkapan upacara
berikut : hingga cara dalam pelaksanaanya daerah satu
Atha trayo vava lokah, manusya-lokah, dengan yang lainnya pasti berbeda sesuai
pitr-loka, deva-loka iti. So’yam manusya- dengan desa kala patra. (wawancara, Eko,
lokah putrenaiva jayyah, nanyena februari,20, 2019).
karmana. Karmana pitr-loka, vidyaya Dalam hal ini akan penulis uraikan tentang
deva-lokah. Deva-loko vai lokanam upacara Pitungdino kematian yang
stresthah: tasmad vidyam prasamsanti. pelaksanaanya di ambil di salah satu desa
anggota Paguyuban Majapahid, yaitu di Dusun
Artinya: Sawur. Desa Bulusari, kecamatan Tarokan
Sekarang sesungguhnya ada tiga dunia Kabupaten Kediri, Jawa Timur. sebagai berikut
yaitu, dunia manusia, dunia leluhur dan pelaksanaannya :
dunia dewata. Dunia manusia ini hanya 1. Masrahne pancen yaitu menghaturkan
bisa diperoleh melalui keturunan saja, makanan dan minuman ada tiga gelas
bukan oleh perbuatan yang lain, dunia yaitu teh, kopi dan air putih berisi
leluhur dengan persembahan, dunia para kembang telon. Tempat pancen ini di
dewata dengan pengetahuan. Dunia para letakan di atas meja kecil di dalam
dewata adalah sesungguhnya dunia yang senthong tengah.(kamar tengah).
terbaik. Karena itulah mereka memuji 2. Enggeh-enggeh/Kenduri yaitu untuk
pengetahuan. (Radhakrisna, Upanisad- mendoakan yang meninggal supaya
upanisad Utama 2015, 131) proses penyempurnaan dan perjalanan
sang roh berjalan lancar untuk bersatu

DHARMASMRTI
30
Vol. 10 Nomor 1 Mei 2019 : 1 - 109
dengan Brahman/Sang Hyang Widhi 2. Banten di meja pemangku yaitu : Pejati
Wasa. . satu set, satu besek sego suci ulam sari,
3. Pitra Puja. dilakukan pada malam hari jajan pasar, satu lepek jenang padang
dan dilakukan setiap malam semenjak lepas (bubur kuning putih), jenang pitara
upacara selametan telongdino. acara ini yaitu bubur putih di atasnya diisi suket
melakukan persembahyangan dan glinting dan kacang ijo.
kekidungan Jawa, untuk mendoakan
yang sudah meninggal.

Gambar Acara persembahyangan Pitra Puja

4. Penutupan/ Parama shanti, di lanjutkan Gambar haturan depan pemangku


degan melekan yaitu berjagra tidak tidur
semalem suntuk, bersama keluarga yang
berduka.

2.3. Banten Upacara/Prosesi Pitungdino


Kematin.
1. Banten ambengan yaitu nasi berbentuk
brok/penek di lengkapi dengan lauk
pauknya, mulai dari ayam kampung,
pisang, apem dan lain-lainnya. Arti dari
Ambengan nasi Brok ini adalah untuk
persembahan ke pertiwi, selamatan ini
bertujuan untuk memohon ijin kepada
Gambar Jenang Pitara
ibu pertiwi bahwa akan menempati
tanah tersebut. (wawancara romo
Adhyaksa, januari,18. 2019).

Gambar Sego suci ulam sari


Gambar Ambengan

UPACARA PITUNGDINO KEMATIAN DALAM PRAKTEK KEHIDUPAN


PAGUYUBAN MAJAPAHID DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA 31
Prianik
3. Kopi, teh, toyo kembang telon yaitu uraikan oleh kitab Bhagawad Gita II.22 sebagai
segelas air putih berisi bunga 3 warna). berikut:
Banten inindi letakkan di senthong Vasamsi jirnani yatha vihaya, navani
Tengah beserta makanan dan kue-kue grhanait naro parani
kesukaan yang meninnggal. Tatha sarirani vihaya jirnany, anyani
samyati navani dehi.

Artinya:
Seperti halnya orang menanggalkan
pakaian usang yang telah dipakai dan
menggantikanya dengan yang baru.
Demikian pula halnya jiwatman
meninggalkan badan lamanya dan
memasuki jasmani yang baru.
(Bhagawadgita, Pudja 2005 : 44-45)

Secara medis kematian adalah tidak


berfungsinya organ tubuh yaitu jantung, batang
otak, otak dan seluruh sel-sel di dalam tubuh.
Gambar Pancen senthong tengah
Secara Tattwa di jelaskan dalam kitab Wrspati
Tattwa yaitu mati adalah berpisahnya Atman
2.4. Kematian (Purusa) dengan Panca Maha Bhuta (Pradana
Secara umum kematian adalah akhir dari dan Prakerti). Yang mati adalah badan yang
kehidupan, ketiadaan nyawa dalam organisasi rusak dan kembali kepada Panca Maha Bhuta,
biologis. Semua makhluk hidup pada akhirnya sedangkan Atman itu abadi. Dan secara upacara
akan mati secara permanen, baik karena yaitu terurai dalam Lontar Wong Pejah yaitu
penyebab alami atau karena penyebab tidak menguraikan tentang kematian dianggap sah
alami. Atau suatu hal yang pasti dialami oleh bila telah dilakukan upacara kematian. Sejak
semua makhluk hidup tanpa terkecuali. Karena tata cara pemandian jenasah sampai mapegat.
semua makhluk hidup akan mengalami Setelah ini barulah keluarga dianggap cuntaka.
kematian, pandangan kematian itu sendiri (Wawancara, Pemangku Gusti Ngurah Rai, 2018)
sangat beragam di berbagai tempat. Pandangan Juga di uraikan dalam kitab kitab Bhawad
tentang kematian yang berbeda-beda di tiap Gita II.27 tentang kematian adalah suatu hal
daerah akan menghasilkan cara yang berbeda yang pasti dan semua orang pasti mengalaminya,
pula dalam memaknai kematian tersebut. Satu yaitu sebagai berikut:
hal yang perlu diingat pula adalah ternyata Jatasya Hi Dhruwo Mrityur, Dhruwam
semua manusia di daerah manapun memiliki Janmamritasya Ca,
kesamaan persepsi tentang roda kehidupan Tasmad Apariharye Rthe Na Twam
yaitu manusia itu mengalami lahir, hidup dan Socitum Arhasi (Bhagawad Gita. Pudja
akhirnya mati tanpa dapat diduga-duga. 2005:48 )
Manusia tidak bisa lepas dari hukum alam
(Rta) yang mengatur seperti lahir, hidup dan Artinya:
mati itu merupakan sudah menjadi kodrat Sesungguhnya setiap yang lahir, kematian
manusia. Kematian merupakan suatu hal yang adalah pasti, demikian pula setiap yang
pasti ada dalam kehidupan setiap manusia. mati kelahiran adalah pasti, dan ini tak
Kematian dalam agama Hindu di analogikan terelakkan; karena itu tidak ada alasan
seperti orang yang mengganti pakaiannya yang engkau merasa menyesal.
lama artinya tidak layak digantikan dengan
pakaian yang baru, badan jasmani punya batas/ Kematian adalah pasti bagi yang hidup.
masa waktu hidup badan-badan itu dengan Bagaimana menghadapi kematian usahakan
sendirinya akan rusak, dan sang jiwa akan untuk senantiasa berkarma baik dan melakukan
pindah ke badan yang lain. Seperti yang di smaranam selalu menyebut dan mengagungkan

DHARMASMRTI
32
Vol. 10 Nomor 1 Mei 2019 : 1 - 109
nama Tuhan dengan mengucapkan Om. Bila hal Oleh karena itu kita sadarlah dan
ini terjadi pada orang lain baik itu orang tua kembalilah ke jalan Dharma.
saudara atau siapa saja saat menjelang
meninggalnya dampingi dan bisikan Om pada Sloka dan pupuh tersebut di atas
telinganya sehingga akan mampu menuntun sesungguhnya mengingatkan kepada kita semua
pada penyatuan rohnya dengan Sang Hyang bahwa hidup kita di dunia yang fana ini tidaklah
Widhi. (Wawancara, Pemangku Gusti Ngurah kekal. Setiap manusia pada saatnya nanti akan
Rai, 2018) mendapatkan ajal. Seiring dengan bergantinya
Om ity ekaksarambrahma, wyaharam sang waktu ajal bukannya semakin menjauh,
mam anusamara, dan itulah yang dinamakan dengan kematian
Yah prayati tyajan deham, sa yati bagi raganya tetapi bukan bagi atmannya. Jika
paramam gatim.(Bhagawad Gita.VII.13) saat hidup dia banyak melakukan dosa maka
sang atman tersebut tidak akan pernah
Artinya: mendapatkan kebebasan dan kebahagiaan yang
Ia yang mengucapkan Om aksara tunggal kekal. Oleh karena itu saat hidup di dunia adalah
yaitu Brahman, dan mengingat Aku saat yang tepat bagi manusia untuk menghindari
sewaktu ajal akan meninggalkan badan dosa tersebut dengan senantiasa berpegang
jasmani, ia akan pergi menuju tempat teguh pada ajaran-ajaran dharma (kebenaran).
yang tertinggi (Moksa). Saat itu adalah saat dimana manusia akan
dihadapkan dengan berbagai macam cobaan
Dalam pupuh Kakawin Niti Sastra juga di dan manusia harus dapat menolong dirinya
jabarkan tentang kematian itu, yaitu sebagai sendiri. Jika ia lulus dari cobaan-cobaan tersebut
berikut : maka ia akan dapat menolong dirinya sendiri
Kunang I datengnya ng mreta tepet dari lautan samsara atau reinkarnasi. Hal ini
ambek, sebagaimana disebutkan dalam kitab
Atutura ring yoga tayanging atma. Sarasamuscaya sloka 4 sebagai berikut:
Taki-takepadaki toson pakekesa sang Apan iking dadi wwang, utama juga ya,
wruh, nimittaning mangkana,
Wekasanikang tan hana juga toson. Wenang ya tumulung sakeng sangsara,
makasadhanang subhakarma,
Artinya: Hinganing kottamaning dadi wwang ika.
Seandainya sang maut sudah menjeput,
keteguhan hati kita harus tetap terpagut. Artinya:
Raihlah kesadaran melalui yoga tentang Menjelma menjadi manusia itu adalah
kelepasan jiwa. Segera berlatihlah dan sungguh-sungguh utama; sebabnya
lakukan hal itu dengan berguru kepada demikian, karena ia dapat menolong
mereka yang tahu. Mengingat pada akhir dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan
waktu kita tidak ada yang bisa kita mati berulang-ulang) dengan jalan
lakukan. (Kakawin Niti Sastra XIV.2) berbuat baik, demikianlah keuntungannya
dapat menjelma menjadi manusia.
Pupuh di atas senada dengan Canakya (Kakawin Niti Sastra, Miswanto, 2015)
Nitisastra XII.12 yang menyatakan sebagai
berikut : Menyimak hal tersebut maka sudah
Anityani sarirani wibhawo naiwa seharusnya manusia sadar tentang siapa dia,
saswatah. darimana dia berasal, dan kemana dia akan
Nityam samnihito mrtyuh kartawyo kembali setelah mati nantinya. Jika hal tersebut
dharma-samgrahah. sudah dipahami oleh seorang manusia maka ia
tidak akan menjelma kembali ke dunia.
Artinya: Sebaliknya ia akan menyatu dengan Brahman.
Tubuh ini tidaklah kekal, dan kekayaan Hal ini sebagaimana diamanatkan dalam sebuah
kita sama sekali tidak abadi dan hanya Tembang Dandanggula sebagai berikut :
kematianlah yang semakin mendekat. Kawruhana sajatining urip, manungseku urip

UPACARA PITUNGDINO KEMATIAN DALAM PRAKTEK KEHIDUPAN


PAGUYUBAN MAJAPAHID DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA 33
Prianik
aneng donya, prasasat mung mampir sedangkan nyawa adalah unsur rohani yang
ngombe, umpama paksi mabur, oncat tidak dapat di binasa. Unsur rohani inilah yang
saking kurungan neki, pundi pencokan tetap hidup melanjutkan perjalanan menuju
mbenjang, ywa kongsi kaliru, umpama alam keabadian (Moksa).
wong lunga Sonja, njan sinanjan tan Meluli keyakinan hidup abadi ini masyarakat
wurunga bakal mulih, mulih mula Jawa melakukan ritual-ritual untuk mengiringi
mulanya. kembalinya roh ke dunia abadi dan hancurnya
badan yaitu menjadi empat zat pokok yaitu air,
Artinya: tanah, udara dan api. Iringan ritual ini dilakukan
Ketahuilah tentang hakekat hidup. dalam aturan waktu tertentu yaitu ritual upacara
Bahwa manusia hidup di dunia ini; dapat tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus
diibaratkan seperti orang yang singgah hari, setahun, pendak pisan, pendak pindo,
untuk minum; bagaikan burung terbang; seribu hari, dan Pangentas. Setelah ritual
yang keluar dari sarangnya; kemana dia keseribu hari ini orang Jawa menyakini bahwa
harus hinggap maka janganlah sampai tubuh telah hancur dan roh telah kembali
keliru; jika diibaratkan seperti orang kealam keabadian (Moksa).
yang pergi bertamu ke rumah tetagga, Budaya Jawa sangat menyakini bahwa
maka tak akan lama pun dia akan pulang, kebahagiaan abadi adalah bersatunya roh
pulang kembali ke asalnya. (Kakawin Niti dengan sang penciptanya. Oleh karena itu dalam
Sastra, Miswanto, 2015) segala bentuk mati raga dan menjauhkan diri
dari hal–hal jelek selama manusia hidup sangat
Untuk memahami hakekat hidup tersebut lumrah untuk dilakukan. Bahkan ketika manusia
maka kita perlu merealisasikan kesadaran diri sudah mati sanak keluarganya membnatu
manusia menjaganya secara terus menerus. dengan ritual-ritual kematian untuk membantu
Meminjam filosofi Ignatius Suharyo, bahwa dalam perjalanan menuju kebahagiaan abadi.
hidup itu perlu neng (meneng) supaya ning Dengan kata lain hal ini mau menyampaikan
(wening) dan akhirnya nung (dunung). Artinya suatu pesan bahwa kematian adalah budaya
dengan meneng (diam) seseorang bisa menjadi Jawa tidak di pandang sebagai hal yang sia-sia
wening (jernih hati dan pikirannya) agar lebih namun menjadi jalan bagi manusia untuk
mampu memahami realitas hidup dalam mencapai kesempurnaan.
hubungannya dengan diri sendiri, sesama, alam Konsekuensi dari adanya paham hidup abadi
semesta dan Tuhan. Dan akhirnya kita bisa adalah perlakuan orang terhadap jenasah.
menjadi dunung (mengerti), maksudnya mampu Tubuh orang yang telah meninggal akan
membedakan mana hal-hal yang baik dan mendapatkan perawatan sebelum di kebumikan.
bermanfaat serta mana hal-hal yang tidak baik Setiap ritual perawatan dari memandikan
dan tidak bermanfaat. (Kakawin Niti Sastra, hingga masuk ke liang lahat memiliki banyak
Miswanto, 2015). aturan dan simbol-simbol tertentu. Tujuan
utama dari perawan itu tidak lain adalah
2.5.
Upacara Atau Prosesi Kematian menghormati orang yang telah meninggal dan
Hindu Di Jawa mempersiapkan untuk perjalanan gaibnya
Masyarakat Hindu Jawa sangat menyakini (alam setelah kematian).
bahwa kematian atau mati, orang Jawa Pandangan yang menyatakan manusia tetap
mengatakan dengan istilah sedo atau tinggal hidup meskipun telah mengalami kematian
donya adalah awal dari kehidupan selanjutnya. badani juga mempengaruhi sudut pandang
Mereka yang telah mati sebenarnya masih hidup masyarakat berkaitan dengan struktur sosial.
hanya saja kehidupan yang dialami berbeda Ini merupakan runtutan ritual-ritual atau
dengan dunia yang empiris ini. Manusia dalam upacara adat Hindu Jawa yang sampai saat ini
kultur Jawa terdiri dari kesatuan tubuh dan masih melekat yaitu sebagai berikut :
nyawa. Kematian yang di yakini adalah
terpisahnya antara nyawa dan tubuh yaitu 1. Hari Kematian
mlesate jiwo/roh metu soko njero rogo. Tubuh Hari kematian menurut budaya Jawa,
adalah materi yang dapat di hancurkan merupakan hari atau saat keluarnya roh dari

DHARMASMRTI
34
Vol. 10 Nomor 1 Mei 2019 : 1 - 109
jasad seseorang. Orang jawa lebih sering prosesi tersebut menciptakan sebuah tembang
menyebutnya dengan hari na-as/geblag/sedone Mocopat Sinom yaitu sebagai berikut:
seseorang, hari kematian ini (dino pasaran) “Siji-siji yen nyurtanah, telu-telu telung
dipergunakan sebagai pedoman awal untuk ari, pitu loro pitung dino, limo-limo
acara prosesi selamatan maupun upacara adat kawandesi, loro limo nyatusi, papat-papat
berikutnya. mendhakipun, kanem klawan kalimo
Hari na-as (jumlah dino pasaran) ini wilujenge sewu ari, den prastitis dino taun
merupakan gambaran masa depan anak cucu sasi tanggal”
atau keturunannya atau keluarganya misalkan
dengan menghitung neptu dino pasaran pada Artinya:
saat meninggal dijumlahkan kemudian dihitung Satu-satu untuk nyurtanah, tiga-tiga
masuk dalam kategori: gunung, Guntur, segoro, untuk tiga hari, tujuh dua untuk tujuh
atau asat. Jika jatuh pada gunung maka rejeki hari, lima-lima untuk empat puluh hari,
keluarga dan anak keturunannya berlimpah dua lima untuk seratus hari, empat-
seperti gunung. Jika jatuh pada Guntur makan empat untuk satun tahun, enam lima
rejeki keluarga yang di tinggalkan akan untuk seribu hari, perhatikan secara
mengalami penurunan atau kekeringan. Jika teliti hari, tahun, bulan dan tanggal.
jatuh pada segara maka rejeki keluarga yang di
tinggalkan akan selalu bersumber dan tidak Tujuan singkatnya adalah untuk
akan ada habis-habisnya seperti air samudera. mengantarkan langkah orang yang sudah mati
Jika jatuh pada asat maka gambaran rejeki tersebut dalam perjalanan menuju
keluarga yang di tinggalakan akan serba pas- kesempurnaan baik jiwa maupun raganya.
pasan bahkan mengarah ke kekurangan Berikut runtutan prosesi upacara kematian adat
termasuk untuk doa selamatan pun selalu serba Jawa:
kekurangan. a. Ngesur/Njur tanah. Acara prosesi yang
dilakukan biasanya setelah jenasah di
2. Brobosan berangkatkan ke pemakan, di siapkan
Yakni suatu upacara atau ritual yang banten tumpeng ungku-ungkur yang
dilakukan di halaman rumah orang yang artinya adalah keluarga berharap yang
meninggal. Waktu dilaksanakan ketika jenazah meninggal dengan ihklas meninggalkan
akan di berangkatkan ke peristirahatan terakhir alam dunia ini dan menuju alam akhirat
(dimakamkan) dan di pimpin oleh salah satu dengan penuh keihklasan dan
anggota keluarga yang paling tua. Tata cara dimudahkan jalannya menuju tempat
pelaksanaanya antara lain : 1) Keranda/peti kuburnya dalam bahasa Jawa dengan
mati di bawa keluar menuju halaman rumah menyebut jembar dalane, ombo kubure.
dan di junjung tingga ke atas setelah doa jenasah Sedangkan yang di tinggalkan semoga
selesai; 2) secara berturut-turut ahli waris yang dapat melupakan yang meninggal dan
di tinggal (mulai darianak laki-laki tertua hingga mengilangkan rasa berkabungnya,
cucu perempuan) berjalan melewati keranda selanjutnya segera dapat mengurus
yang ada di atasnya (mbrobos) sebanyak tiga keluarga yang di tinggalkan/yang masih
kali dan seraah jarum jam. Upacara ini bertujuan hidup di dunia. Jadi prosesi hari pertama
untuk menghormati, menjunjung tinggi, dan atau pas hari meninggalnya, sinep jiwa ini
mengenang jasa-jasa almarhum semasa yaitu tujuan dari pada upacara atau ritual
hidupnya dan memendam hal-hal yang kurang tersebut adalah untuk proses
baik dari almathum. Dalam istilah Jawa nya pengembalikan sang jiwa kepada sang
adalah “mikul dhuwur mendhem jero”. pencipta. (Wawancara, Pandhita Rsi
Agung Hasto Darma Eka Telabah,
3. Prosesi Selamatan Hari Kematian. Sidoarjo, Januari 2019).
Prosesi selamatan orang meninggal dalam
budaya Jawa dilakukan beberapa kali terhitung
semenjak orang tersebut meninggal. Menurut
pujangga untuk mempermudah kita mengingat

UPACARA PITUNGDINO KEMATIAN DALAM PRAKTEK KEHIDUPAN


PAGUYUBAN MAJAPAHID DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA 35
Prianik
Agung Hasto Darma Eka Telabah,
Sidoarjo, Januari 2019).
f. Prosesi selamatan pada hari keenam,
yaitu prosesi nuntut sang jiwa, supaya
tidak bingung, jadi tau arah untuk menuju
alam niskala. (Wawancara, Pandhita Rsi
Agung Hasto Darma Eka Telabah,
Sidoarjo, Januari 2019).
g. Prosesi selamatan pada hari ketujuh
mitung dino ini yaitu proses
penyempurnaan tujuh lapisan dalam
tubuh yaitu (wulu, daging, otot, getih,
kulit, balung, sumsum). (Wawancara,
Pandhita Rsi Agung Hasto Darma Eka
Gambar Tumpeng Ungkur-ungkur Telabah, Sidoarjo, Januari 2019). Cara
menentukan waktu selamatan Mitung
b. Prosesi Selamatan pada hari kedua, yaitu Dino ini yaitu hari dan pasaran mitung
pada hari ini mohon restu kepada para dino digunakan rumus notusaru yaitu
leluhur, proses Manunggal Kawulo Lawan hari ke tujuh dan pasaran ke dua. Kondisi
Gusti. (Wawancara, Pandhita Rsi Agung jasad/mayat mulai meletus atau
Hasto Darma Eka Telabah, Sidoarjo, mengeluarkan gas dari dalam tubuh
Januari 2019). (mbledos), dan kondisi arwah/roh masih
c. Prosesi Selamatan pada hari ketiga atau berada di sekitaran rumah (ngubeng
nelung dino cara menentukan hari omah).
pasaran selamatan ini yaitu dengan cara h. Prosesi selamatan pada hari ke empat
menentukan hari dan pasaran nelung puluh metang puluhi, yaitu selamatan
dino digunakan rumus nolusarlu, yaitu setelah empat puluh hari kematian.
hari ketiga dan pasaran ketiga. Tujuan selamatan ini bertujuan untuk
dari acara selamatan telung dino ini penyempurnaan anggota tubuh yang
adalah untuk menyempurnakan nafsu merupakan titipan dari kedua orang tua,
yang ada dalam jasad manusia yang yaitu, darah, daging, sumsum, tulang dan
berasal dari bumi, api, air dan angin. otot pada hari ini semua unsur itu sudah
Kondisi jasad/mayat mulai membekak mulai mengering. Cara menentukan
(ngabuh-ngabuhi). Dan Arwah/roh waktu selamatan hari dan pasaran
masih berada di sekitar rumah (ngubeng matang pupuh dino di gunakan rumus
omah).Dan prosesi telung dino ini sebagai nomasarma yaitu hari kelima pasaran
permohon kepada Dewa Brahma, Dewa kelima. Kondisi jasad/mayat mulai
Wisnu dan Dewa Shiwa (Tri Murti) proses pembusukan (mbosoki). Dan
(Wawancara, Pandhita Rsi Agung Hasto kondisi arwah mulai menjauh dari rumah
Darma Eka Telabah, Sidoarjo, Januari namun kadang-kadang masih kembali ke
2019). rumah (ngedohi omah).
d. Prosesi selamatan pada hari keempat, i. Prosesi selamatan setelah saratus hari
yaitu bertujuan melepas unsur-unsur kematian yaitu nyatus dino tujuan dari
dalam badan. (Wawancara, Pandhita Rsi pada selamatan ini adalah untuk
Agung Hasto Darma Eka Telabah, penyempurnaan badan/jasad, sang jiwa,
Sidoarjo, Januari 2019) dan sang atman sudah mulai lepas atau
e. Prosesi Selamatan pada hari kelima, terputus dengan keluarga, unsur-unsur
yaitu sebagai proses penyempurnaan tubuh juga sudah mulai lepas atau mulai
diri, sodara empat lima pancer. Nuntun mengering (ngesat-ngesati). (Wawancara,
jiwa untuk mencapai kesempurnaan Pandhita Rsi Agung Hasto Darma Eka
(Moksa). (Wawancara, Pandhita Rsi Telabah, Sidoarjo, Januari 2019)
Penyucian ruas tulang-tulang yang kecil-

DHARMASMRTI
36
Vol. 10 Nomor 1 Mei 2019 : 1 - 109
kecil. (wawancara, Dewo Suratnaya, Dharmaraja diberikan anugerah oleh
Januari, 2, 2019). Sang Nabhe melaksanakan rangkaian
j. Prosesi selamatan setelah satu tahun upacara mengentaskan orang meninggal,
kematian yaitu Pendak sepisan, tujuan turut dalam “barisan” Tri Sadhaka
dari pada selamatan ini adalah untuk Wisesa, sama-sama memberikan tirtha
proses penyatuan, atau telah penglepas kepada orang meninggal di
sempurnanya kulit, daging dan isi perut. jagat Purbha Sasana. Tidak ada yang
Kondisi jasad daging sudah habis tinggal membencanai negerinya itu, malah
tulang belulang. Dan roh sudah mulai bertambah-tambah kesejahteraan dan
menjauh dari keluarga. Dan untuk ditakuti musuh. Sri Jaya Wikrama, dan
menentukan waktu selamatan hari dan seluruh atma orang yang dientaskan oleh
pasaran mendhak sepisan di gunakan Sang Tri Sadhaka wangsa, berubah
rumus nopatsarpat yaitu hari keempat menjadi watek Gandharwa. Segala dosa
dan pasaran keempat. papa-pataka ketika masih ada di alam
k. Prosesi selamatan setelah dua tahun manusia sirna oleh mantra Sang Tri
kematian yaitu Pendak Pindo, tujuan dari Shakti. Itulah sebabnya jagatnya menjadi
pada selamatan ini adalah sempurnanya selamat, tidak ada orang mati semasih
semua anggota badan selain tulang bayi. Tidak ada penyakit, segala yang di
belulangnya. Kondisi jasad tulang tanam tumbuh, murah segala yang di
belulang sudah mulai lepas dari jual, sedikitlah penderitaan di dunia,
persendiannya (balung gonggang) dan karena bhuwana sudah rahayu. Huru-
kondisi roh sudah mulai menjauh dari hara tidak ada, usia orang sesuai dengan
rumah. jatah hidupnya, tercapailah janji
l. Prosesi selamatan setelah seribu hari hidupnya. Sang Brahmana dan satriya
kematian yairu nyewu, cara menentukan ber-iringan, dipastu oleh Bharata Shiwa
waktu selamatan hari dan pasaran nyewu mebuat hidup di dunia jagat, membuat
adalah di gunakan rumus nonemsarma jalan yang benar sampai pada
yaitu hari keenam dan pasaran kelima. kematiannya. Karena Sang Tiga itu adalah
Tujuan dari pada selamatan ini adalah perwujudan dari Shiwa, Sadashiwa,
karena telah sempurnanya jasad manusia Paramashiwa. Sang Wiku Tiga Wisesa
termasuk bau dan rasanya. Sehingga mengasuh dunia siang dan malam, hidup
manusia yang meninngal itu sudah mati, seluruh jagat, sampai Shiwa Budha
menyatu dengan tanah yang merupakan Satriya putus itu pulalah yang
asal muasalnya. Dan untuk memberikan pengelepasan pada Atman.
mengembalikan karma, secara niskala Tu semua karena anugerah Bhatara
yaitu keluarga yang di tinggalkan supaya Shiwa. Agar mencapai sorga atma orang
tidak mengalami, secara skala yaitu di yang meninggal. Seperti itulah
jalankan sesuai karma. Dan selamat ini anugerahku kepada dirimu, muridku.
merupakan Penghormatan terakir Jangan sampai tidak mempercayai
kepada leluhur. Kondisi jasad tinggal ucapan diriku ini. Begitu pula seluruh
tulang belulang dan kondisi roh sudah yang ada di bawah langit ini, Satriya juga
menempati alam yang semestinya sesuai mengentaskan atma. Apabila Brahmana,
dengan karma yang dilakukan semasa raja sampai mati. Pendeta brahmana
hidup di dunia. boleh mengentaskan Shiwa Budha. Kalau
m. Pangentas, prosesi upacara ini yaitu Bujangga Ratu Putus, seluruh Wangsa
prosesi untuk penyempurnaan karma satriya boleh di entaskan sampai pada
untuk bisa mencapai Moksa atau lahir wesya wangsa sudra, seriringan dengan
kembali. Dan upacara ini dilakukan Buddha Shiwa. Kalau yang meninggal
setelah upacara seribu hari. Sebagaimana berwangsa brahmana, tidak boleh
tecantum di dalam pustaka Iswara pendeta satriya memberikan tirtha
Tattwa, sebagai berikut : penglepas atma. Ini patut ditiru, karena
“Ceritakan sekarang Bhagawan menyebabkan kebaikan di dunia”. (IT)

UPACARA PITUNGDINO KEMATIAN DALAM PRAKTEK KEHIDUPAN


PAGUYUBAN MAJAPAHID DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA 37
Prianik
(IBM Dharma Palguna, 2018, 23-24). (hitam-putih) satu1 takir; 20)Bubur tulak
sengkolo (kuning-hijau-merah) satu takir; 21)
Manfaat dan tujuan dari pada upacara entas- Beras kuning satu kilo gram dan uang logam
entas yaitu sebagai berikut : 1) Leluhur yang lima ratus rupiah sebanyak tiga koin utuk setiap
sudah dientas diseberangkan menuju jiwa yang didaftarkan untuk di entas, yang
kesempurnaan menjadi Istadewata, sehingga dicampur dengan beragam bunga; 22) Sebatang
kalau reinkarnasi akan mendapatkan badan daun pisang muda (pelosor) yang masih
yang baik, organ tubuh yang sempurna dan tergulung; 23) Tanaman penuntun (disesuaikan
kehidupan yang bahagia. Tidak ada lagi anak dengan tempat prosesi entas-entas).
cucu yang menderita penyakit karma, seperti (wawancara, Dewo Suratnaya, Januari, 2. 2019).
jantung bocor, ayan, kepala membesar dll.; 2).
Leluhur yang dientas tidak akan lagi gentayangan 2.6 Relevansi Pelaksanaan Upacara
dan tidak lagi menimbulkan kesurupan rame- Pitungdino Kematian Masyarakat
rame di mana-mana; 3) Leluhur yang sudah Hindu Di Jawa Dengan Umat Hindu Di
dientas dan statusnya sudah Istadewata akan Bali.
mengingatkan keturunannya untuk kembali ke Dalam proses pemeliharaan Jenazah atau
jalan dharma; 4) Dengan dientasnya para suatu upacara sesuai dengan tempat mendem.
leluhur, maka limbah-limbah di permukaan Tradisi Pitra Yajna berbeda-beda untuk masing-
bumi akan jauh berkurang, sehingga pikiran- masing etnis/daerah sesuai dengan Desa Kala
pikiran jernih akan bermunculan di bumi; 5) Patra masing-masing. Di bali tidak ada prosesi
Para leluhur yang dientas akan ikut serta dalam upacara tujuh hari (pitungdino kematian)
menentukan perjalanan sebuah bangsa; 6) namun upacara untuk tiga hari (telung dino) itu
Lebih jauh leluhur yang sudah disempurnakan sangat umum dan tidak hanya berlaku untuk
akan ikut serta dalam mengembalikan Pitra Yajna saja melainkan untuk semua Panca
kemuliaan Nusantara; 7) Leluhur yang sudah Maha Yajna. Upacara empat puluh hari dan
dientas akan melindungi, mengayomi dan upacara Seribu Hari juga tidak ada di Bali namun
memberikan kemakmuran dan kesejahteraan untuk upacara Manusa Yadnya ada upacara 42
bagi keturunannya. Dalam prosesi upacara hari dan 105 hari. Demikian pula upacara seribu
entas-entas ini Sarana-sarana yg dibutuhkan hari tidak di kenal di Bali namun yang ada adalah
adalah sebagai berikut: 1) Cengkir kelapa bulan upacara Pengabenan/Pelebon. (wawancara,
tiga buah, kelapa udang tiga buah, kelapa gading Nengah Dana, Januari 2019).
sebelas buah, kelapa ijo tiga buah dan kelapa Dari uraian di atas korelasi dari pitungdino
sudamala tiga buah; 2) Kain putih tujuh meter; kematian dengan upacara kematian di bali
3) Daksina linggih tiga set (lanang istri) dan sama-sama mengusung konsep memuja
sangge; 4) Daun bunga teratai tiga lembar; 5) leluhur/ngelinggihan leluhur. Dan juga sama-
Daksina pejati lima set; 6) Byakala satu set, sama mempunyai tujuan konsep mendewatakan
durmanggala satu set, prayascitta satu set; 7) leluhur (wawancara, Dewo Suratnaya, Januari, 2
Segehan manca warna lima tanding; 8) Canang 2019). Sebagai simbul stana leluhur jika di bali
sepuluh buah; 9) Sandingan cok bakal komplit terdapat pelinggih Kemulan rong telu yaitu
empat set ( isinya beras satu kg dan satu tempat kelinggihan para leluhur yang sudah
genggam, daun jati sembilan lembar), pisang meninggal. Merupakan pelinggih yang. paling
raja enam sisir, kelapa tua enam butir (tidak inti dalam sanggah atau Merajan. Dalam
dikupas), cok bakal lengkap tiga buah; 10) Cok Pelinggih Kemulan Rong Telu sesungguhnya
bakal lengkap empat buah; 11) Crucut bakal yang disembah atau diungsung adalah Ida
empat buah; 12) Tumpeng satu set lengkap Bhatara Guru atau leluhur yang telah di suci.
dengan panggang ayam, urab-urab, lauknya : Sedangkan di adat Hindu Jawa terdapat Sentong
ikan laut, tahu, tempe; 13) Sego golong (nasi Tengah kurang lebih fungsinya hampir sama
berbentuk bulat) sebelas buah; 14) Nasi kuning dengan Rong telu. Sentong Tengah mempunyai
satu buah ancak; 15) Apem goreng empat puluh nilai yang paling sakral dibandingkan dengan
empat buah; 16) Sego karak satu piring; 17) senthong kiwo maupun senthong tengen, karena
Jajan pasar tujuh jenis; 18) Bubur merah putih senthong tengah biasanya di khususkan untuk
masing-masing dua takir; 19) Bubur tulak bala ruang sembahyang. Ruang senthong tengah

DHARMASMRTI
38
Vol. 10 Nomor 1 Mei 2019 : 1 - 109
adalah tempat untuk menghadirkan dewa-dewi, 2.7 Melaksanakan Upacara Pitungdino
bethara-bethari, maupun para leluhur. Kematian.
Ruang senthong tengah disebut juga dengan Bagi keluarga yang di tinggalkan, tujuan dari
berbagai nama, seperti kerobongan, pasren dan pada upacara Pitra Yajna yaitu upacara
pedaringan. Kerobongan berarti tempat Pitungdino Kematian ini di laksanakan yaitu
pembakaran (berasal dari kata obong yang bertujuan untuk pengabdian dan rasa bhakti
berarti bakar). Di sebut demikian karena kita yang sangat tulus ikhlas kepada para leluhur
senthong tengah merupakan tempat untuk kita, mengangkat serta menyempurnakan
membakar kemenyan ketika si pemilik rumah kedudukan arwah para leluhur kita di alam
melakukan upacara pitra yadnya (pemujaan Swah Loka, dan memperhatikan kepentingan
kepada leluhhur). Pasren berasala dari kata pa- orang tua dalam mewujudkan rasa bhakti. Hal
sri-an, yang berarti tempatnya Dewi Sri, dewi tersebut di laksanakan atas kesadaran bahwa
penguasa tanaman padi. Sedangkan pendaringan sebagai keturunanya ia telah berhutang kepada
berarti tempat padi. Orang tua/leluhur seperti, berhutang badan
Di dalam ruang senthong tengah biasanya (Sarira Khosa) atau disebut dengan istilah
terdapat prasarana upacara untuk menghadirkan Sarirakrit, berhutang budi (Anadatha),
dewa-dewi, bhetara-bhetari atau leluhur yang berhutang jiwa (Pranadatha). Dalam kita
akan di puja. Kelengkapan prasana sembahyang melaksanakan upacara Pitra Yajna salah satunya
tersebut ditentukan oleh kemampuan pemilik Upacara Pitungdino Kematian di dasari atas
rumah. Prasana kelengkapan yang paling hukum sebab akibat juga yaitu dari Karma Phala,
sederhana adalah meja sesaji yang pada sebagai keyakinan adanya Punarbhawa dan kita
umumnya di miliki oleh masyarakat petani. Meja percaya bahwa leluhur itu masih hidup di dunia
sesaji ini fungsinya adalah untuk meletakkan (alam semesta) ini.
sesaji ketika pemilik rumah sembahyang, Pandangan dalam agama Hindu tentang
melakukan upacara slametan/kenduri, atau kehidupan yang ideal duniawi dibentuk oleh
sesaji pas geblaknya sodara yang meninggal, konsep etika tentang konsep tiga hutang bahwa
maupun untuk meditasi. Meja sesaji ini juga di seseorang itu harus membayar selama
gunakan untuk menghaturkan sesaji pada saat kehidupan sesorang. Tiga hutang ini
hari raya Galungan, Kuningan, purnama –tilem, berhubungan dengan tiga hutang dlam
saraswati, Siwaratri dan Nyepi. kehidupan seseorang. Hutang ini bukanlah
Sebagaimana telah di sebutkan di atas, bagi harfiah, dalam pengertian pertanggung jawaban
masyarakat Jawa yang termasuk dalam golongan yang lahir bersama dan menghabiskan
priyayi dan bangsawan, di samping meja sesaji, kehidupannya mencoba untuk membayarnya.
di dalam ruangan senthong tengah juga terdapat Sebaliknya, konsep tiga hutang ini mencerminkan
prasarana berupa tempat tidur berukuran kecil, usaha lain sebagai bagian dari pemikiran Hindu
tetapi lengkap dengan dengan kasur, bantal, untuk menciptakan kesadaran dari tugas dan
guling dan sprei, karena berukuran kecil, tempat tanggung jawab seseorang.
tidur itu tidak mugkin ditempati oleh manusia. Setiap anak mempunyai kewajiban
Tempat tidur tersebut merupakan ‘pelinggih” mendoakan orang tuanya, karena ini merupakan
bagi dewa-dewi, bhetara-bhetari, atau leluhur. bentuk rasa bhakti seorang anak kepada orang
Pada golongan bangsawan tingkat tinggi, di tua. Kita sangat penyadari akan hal ini karena
depan tempat tidur ditambahkan dengan dalam ajaran agama Hindu mengajarkan tentang
sepasang arca pengantin dari tanah liat yang di ini yaitu ajaran tentang Tri Rna yaitu tiga hutang
sebut dengan loroblonyo. Loroblonyo merupakan yang harus kita bayar atau kita laksanakan
lambang daulis dalam kehidupan yang bila dalam hidup ini, tiga hutang itu yaitu pertama
bersatu menimbulan suatu keharmonisan. Dewa Rna yaitu hutang kepada Shang Hyang
Dalam agama Hindu konsep dualis ini disebut Widhi Wasa yaitu hutang berupa jiwa atau
dengan Rwa Bhineda. kehidupan, kita sangat menyadari bahwa dari
Tuhanlah kita hidup. Hutang pertama inilah kita
hars membayar dengan mempersembahkan
kehidupan seseorang untuk melayani Tuhan.
Bagi seorang Hindu, pelayanan pada Tuhan

UPACARA PITUNGDINO KEMATIAN DALAM PRAKTEK KEHIDUPAN


PAGUYUBAN MAJAPAHID DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA 39
Prianik
berarti pelayanan bagi semua manusia, tidak Artinya:
memandang kasta, warna dan keturunan. Kalau ia telah membayar tiga macam
Penghormatan kepada semua bentuk kehidupan, hutangnya (kepada Tuhan, kepada
termasuk tanaman dan binatang, dan leluhur dan kepada orang tua),
perlindungan pada lingkungan adalah bagian hendaknya ia menunjukka pikirannya
penting hutang pertama ini. Pelayanan kepada untuk mencapai kebebasanan terakhir, ia
Tuhan juga termasuk menerapkan anti yang mengejar kebebasan terakhir ini
kekerasan dan kebenaran, mematuhi aturan tanpa batas menyelesaikan tiga macam
kitab suci Hindu, berlatih untuk mengendalikan hutang akan tenggelam ke bawah.
diri dan kemurnian pikiran, terutama pada
orang yang lebih tua. Dalam budaya Hindu, Jadi menurut pernyataan dari sloka di atas
menghargai dan menghormati semua orang bahwa hendaknya pikiran jangan di arahkan
yang lebih tua sebagai bagian dari pembayaran pada tujuan akhir mencapai kebebasan (Moksa)
hutang kepada Tuhan. Dalam kitan Taittiriya sebelum sebelum melunasi tiga macam hutang
Upanisad 1.11 menyatakan bahwa orang tua moral. Tiga macam hutang moral itu adalah Tri
dan guru harus diperlakukan sebagai Dewa. Rna yaitu hutang kepada Tuhan, kepada leluhur
Kedua Pitra Rna yaitu hutang kepada orang dan kepada para Rsi. Kalau mencari kebebasan
tua atau leluhur hutang ini merupakan hutang terakhir tanpa menyelesaikan tiga hutang
kelanjutan hidup, hutang budhi, hutang badan, tersebut justru akan membawa orang terjerumus
karena kita pun menyadari bahwa untuk ke bawah. Untuk menyelesaikan tiga hutang
kehidupan lahir bhatin, kita telah menerima dan tersebut umat Hindu melakukan lima macam
mewarisinya dari orang tua dan dari para Yajna yang di sebut dengan Panca Yajna. Dalam
leluhur. Hutang ini dapat di bayar dengan ajaran kitab Manawa Dharma Sastra inilah
menjaga dan memperkaya warisan budaya yang nampaknya yang sangat di pahami oleh umat
di wariskan melalui setiap generasi untuk Hindu sehingga dalam hidupnya terus berupaya
menjaga dan memperkaya warisan budaya, untuk melaksanakan Panca Yajna sebagai upaya
seseorang harus belajar dan menerapkan filsafat untuk menyelesaikan tiga hutang moral
dan theology Hindu Dharma. Untuk mencapai tersebut. Salah satu tiga hutang tersebut adalah
tujuan ini, seseorang harus melakukan Pitra Rna yaitu hutang kepada orang tua atau
pelayanan kepada masyarakat. Aktifitas ini para leluhur.
membantu untuk menguraikan ajaran kitab dan Hutang kepada para Pitra di selesaikan
menggambarkan bagimana kebijaksanaan dengan cara melakukan Pitra Yajna dan Manusa
spiritual pada Rsi dan orang suci Hindu dapat Yajna. Mengapa Manusa Yadnya menjadi media
digunakan untuk memecahkan permasalahan menyelesaikan Pitra Rna, yaitu salah satunya
untuk menghadapi dunia saat ini. dasar keyakinan Hindu adalah percaya pada
Yang ketiga yaitu Rsi Rna yaitu hutang kepada Punarbhawa (reinkarnasi). Anak-anak itu tidak
seorang guru pengajian berupa berbagai ilmu lain adalah leluhurnya yang kembali menjelma
pengetahuan, sehingga kita mengenal tentang untuk memperbaiki karmanya. Hidup di dunia
arti hidup dan tahu akan tujuan hidup yang ini adalah kesempatakan untuk memperbaiki
sebenarnya. karma supaya terus meningkat sampai mencapai
Dalam melaksanakan Tri Rna ini kita tidak Moksa. Dengan melakukan Yajna pada anak-
pernah bisa lepas dari yang namanya Panca anak berarti beryajna kepada leluhur juga. Ini
Yadnya karean dari Tri Rna inilah yang lingkaran moral yang sangat indah yang di
menimbulan Panca Yadnya ajarkan dalam ajaran agama Hindu.
Dalam Kitab Manawa Dharmasastra VI.35 Dalam kitab Bhagawad Gita IX.25 menjelaskan
menyatakan sebagai berikut: sebagai berikut :
Rinani trinyapakritya manomokse Yanti deva vrata devan, pitrn yanti pitr
niwecayet vratah
Anapakritya moksam tu sewamano Bhutani yanti bhutejya, yanti mad yajino
wrajatyadhah. pi mam

DHARMASMRTI
40
Vol. 10 Nomor 1 Mei 2019 : 1 - 109
Artinya: Artinya:
Yang memuja dewata pergi kepada para Dengan memahami Weda, melaksanakan
Dewata, kepada leluhur perginya yang maha Yadnya (Panca Yadnya) menurut
memuja leluhur mereka, dan kepada roh kemampuan, dan sabar terhadap
alam perginya yang memuja roh alam, penderitaan, cepat atau lambat akan
tetapi mereka yang memuja-Ku datang menghilangkan semua noda walaupun
pada-Ku. (Bhagawadgita, Pudja 2005:25) sampai dosa besar (XI.246).

Dalam sloka Bhagawad Gita tersebut Demikianlah yadnya yang patut dilaksanakan
menandakan dalm system penyembahan Hindu oleh umat Hindu dengan berpedoman Desa,
dikenal adanya penyembahan berjenjang. dari Kala, Patra/Tattwa/Sastra. Desa adalah tempat
menyembah Bhuta, Dewa dan Pitara (leluhur). dimana yadnya itu dilaksanakan; Kala adalah
Kata sembah berasal dari bahasa Jawa Kuna waktu (saat kapan yadnya itu dilakukan); Patra
yang memiliki lima arti yaitu menghormati, adalah sastra/ajaran agama/petunjuk yang
menyayangi, memohon, menyatukan diri dan benar. Jika di bandingkan Tri Rna dengan Panca
menyerahkan diri secara total. Yadnya maka 1). Dewa Rna dibayar dengan
Demikianlah Tri Rna dimiliki manusia Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya. 2). Pitra Yadnya
sebagai umat Hindu yang wajib dibayar melalui dibayar dengan Pitra Yadnya dan Manusia
pengalaman Panca Yadnya dalam kehidupan ini. Yadnya. 3). Rsi Rna dibayar dengan Rsi Yadnya.
Secara duniawi sesungguhnya setiap orang Dengan memperhatikan bentuk-bentuk
beragama mengakui adanya tiga hutang seperti pelaksanaan yadnya dalam Panca Yadnya,
itu walaupun tidak disebutkan secara jelas jelaslah bahwa itu bukan hanya upacara ritual.
dalam ajaran agama. Panca Yadnya ialah lima
jenis korban suci yang dilaksanakan oleh umat 2.9 Manfaat Upacara pitungdino Kematian
Hindu untuk mencapai kesempurnaan hidup. Manfaat yang didapat dari rangkaian upacara
Orang yang tidak mengamalkan Panca Yadnya tersebut untuk anak, cucu dan keturunanya
akan menjadi semakin banyak hutang yang dia yaitu untuk kesejahteraan, dan perubahan alam
pikul dan mereka akan menjadi semakin serakah sekitar secara skala dan niskala. Dalam Kakawin
serta sombong. Hal itu menyebabkab orang Niti Sastra menjelaskan sebagai berikut:
semakin pasti masuk neraka akhirat. Disamping Mwang dinatithi yogya sunggana dana
Panca Yadnya untuk membalas jasa kepada tekapira sang uttameng praja
Dewa, Rsi dan Pitra/Leluhur, maka yadnya dapat Mwang dewa sthana tan winursita rubuh
mengantarkan pelakunya menuju alam sorga wangunen ika paharja sembahen,
dan moksa. Seperti di sebutkan dalam kitab Dina preta sangaskara ta pahayun
Manawa Dharma Sastra sebagai berikut : lepasakena teken smasana ya,
Dewatathiti bhrtyanam, pitri rnam atman Byakta labhaning aswamedha kretu
as ca yah, labhanira siniwi ring suralaya.
Na nirwapati pancanam, ucchwsanna sa
jiwati (III.72) Artinya:
Orang terkemuka yang di muliakan
Artinya: rakyatnya patut memberikan sedekah
Tetapi mereka yang tidak melaksanakan kepada tamu yang miskin, dan
persembahan Panca Yadnya yaitu kepada membangun kembali candi yang sudah
Tuhan (Dewa-Dewa) orang suci, makhluh roboh dan tidak terpakai lagi, lalu
bawahan, para leluhur dan sesamanya menghiasinya supaya dapat
pada hakekatnya mereka adalah mati dipergunakan lagi sebagai tempat
walaupun bernafas. (III.72) bersembahyang. Ia patut mengadakan
korban bagi jiwa-jiwa yang sengsara,
Wedabhyaso nwaham saktya, supaya jiwa-jiwa itu terlepas dari kubur.
mahayadnya kriya ksama, Dengan jalan begitu ia berjasa seperti
Nasa yantyasu papain, maha pataka orang yang mengadakan korban
janiapi.(XI.246) Aswamedha yang mampu mengantarkan

UPACARA PITUNGDINO KEMATIAN DALAM PRAKTEK KEHIDUPAN


PAGUYUBAN MAJAPAHID DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA 41
Prianik
jiwanya menuju Swargaloka. (Kakawin Sradda sri rajapatni wkasana gawayen sri
Niti Sastra IV.6). narendreng kadatwan
Siddaning karyya ring saka diwasa
Orang-orang yang terkemuka misalnya masirah warna ring bhadramasa
seorang raja, memiliki kewajiban untuk Sakweh sri natha rakwawwata tadah
memberikan dana punya kepada masyarakat irirnen de.
yang membutuhkan, menghormati tamu yang
datang, dan membangun tempat-tempat suci Artinya:
untuk menyembah para Dewa dan para leluhur. Atas perintah Ratu Sri Tribhuwana
Dengan memberikan dana punya kepada orang- Wijayatunggadewi, supaya pesta Sraddha
orang miskin maka harta kekayaannya akan Sri Rajaptni atau Ratu Gayatri
tersucikan. Penghormatan kepada tamu (athiti dilangsungkan Sri Baginda Maharaja
puja) yang ia lakukan akan melancarkan (Hayam Wuruk) di istana pada tahun
rezekinya. Dan dengan membangun Pura, kuil Saka bersirah empat (1284) bulan
atau tempat suci ia telah membuka jalan menuju Badrapada. Semua pembesar dan Wredda
swarga loka. Juga di sebutkan dalam Parasara menteri di harapkan ikut berpartisipasi
Dharmasastra I.39 sebagai berikut: dengan memberi sumbangan.
Sandhya snanam japo homah swadhyayo
dewatarcanam. Senada dengan hal tersebut, dalam kitab-
Waiswadewatitheyan ca sat karmani dine kitab Upanisad jiwa sering kali digambarkan
dine. sebagai seberkas cahaya yang bersemayang
dalam sebuah goa yang rasasia di dalam hati.
Artinya: Dari snalah jiwa seperti mercusuar yang
Melaksanakan penyucian pada membimbing para nelayan untuk mencapai
pertemuan waktu (sandhya), japa homa, tujuannya. Selain itu jiwa juga dikenal sebagai
mempelajari Weda, pemujaan kepada antaryamin yang menyaksikan seluruh
arca para Dewa, kurban suci untuk para perbuatan manussia. Tetapi karena jiwa diikat
Dewa, dan menghormati tamu yang oleh tiga mala yaitu anawa atau ketidak murnian,
datang merupakan enam kewajiban yang karma atau perbuatan dan maya atau ilusi. Maka
diperintahkan dalam Weda. (Kakawin jiwa-jiwa itupun bisa menderita dan sulit bebas
Niti Sastra, miswanto:2015:197) dari kubur jika selama hidupnya ia banyak
melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak
Selain memiliki kewajiban untuk bersedekah, suci, karma buruk, dan masih terbelenggu oleh
menghormati tamu, mebangun tempat-tempat maya.
suci, pemujaan kepada para Dewa dan Kramaning dadi wwang ana ring bhuwana
penghormtan kepada para leluhur, umat Hindu pahutanganta ring praja.
yang merasa mampu memiliki kewajiban untuk Ri sirang munindra nguniweh sang atithi
mengadakan Aswamedha Yajna untuk gamaneka sambaraman.
membebaskan atman para leluhur mereka. Athawa muwah swa-pita rahyang amara
Dalam cerita Itihasa Ramayana, hal ini pernah rena yogya kingkingen.
dilaksanakan oleh Raja Sagara dari Kosala Panahurta ring pitara potraka
(Ayodhya) dengan mengorbankan puluhan ribu luputakening yamalaya.
kuda, dan dengan upacara itu, makaseluruh
arwah leluhurnya bisa diangkat menuju Swarga Artinya:
loka. Upacara yang sejenis ini juga pernah Manusia di atas dunia ini mempunyai
dilakukan oleh Raja hayam wuruk terhadap Sri kewajiban terhadap sesamanya. Orang
Rajapatni (ratu Gayatri) pada bulan Badrapada yang suci, apalagi tamu, wajib
tahun Saka 1284 (sekitar bulan Agustus 1362 diperlalukan dengan hormat. Terlebih-
M). hal ini sebagaimana terugkap dalam kakawin lebih kewajiban kita terhadap orang tua,
Negarakrtagama LXIII.2 sebagai berikut: orang-orang suci dan Dewa-Dewa, harus
Ajna sri natha sang sri tribhuwana selalu diingat. Sebagai anak kita
wijayottungadewi berkewajiban melepaskan nenek-

DHARMASMRTI
42
Vol. 10 Nomor 1 Mei 2019 : 1 - 109
moyang kita dari kediaman Betara Yama. Kretu panca yajna gawayenta panahura
(Kakawin Niti Sastra IX.2) hutangta ring widhi.
Sahuren upadhyaya samasta hutang ira ri
Setiap manusia memiliki kewajjiban untuk sang resiswara.
menghormati para Dewa, leluhur, orang tua, Wara gorawe sira sang abhyagata taman
orang-orang suci dan tamu yang datang ke ayogya sambhraman.
rumahnya. Hal ini merupakan perintah Weda Iti sasaneng tan pale-paleha ri dharma
kepada seluruh umat manusia. Kita berhutang sang wiku.
kepada para Dewa sebagai manifestasi Brahma
yang telah menciptakan dana memelihara alam Artinya:
semesta. Kita juga berhutang kepada para Lima macam kurban suci harus
leluhur dan orang tua yang telah menjadikan senantiasa dilaksanakan sebagai penebus
kita lahir di dunia. Kita berhutang kepada orang- hutang kepada Sang Hyang Widhi Wasa.
orang suci yang telah memberikan pengetahuan Semua hutang ilmu pengetahuan harus
suci kepada umat manusia di dunia. Kita juga dibayarkan kepada orang-orang suci.
berhutang kepada tamu yang hadir dengan Penghormatan yang baik harus diberikan
segala keberuntungan yang dibawanya. kepada tamu yang datang dengan baik-
Senada dengan hal tersebut, pada bab Siksa baik, jangan sampai tidak menjammu
Walli atau Samhita dalam Taittiriya Upanisad I. para tamu tersebut. Inilah aturan untuk
XI.2 sebagai berikut: manusia yang tak boleh diabaikan
Dewa pitr karyabhayam na pramadi terutama dalam hal kewajiban kepada
tawyam, matr dewo bhawa, sang Wiku. (Kakawin Niti Sastra IX.3)
pitr dewo bhawa, acarya dewo bhawa,
atithi dewo bhawa. Dalam ajaran agama Hindu di kenal lima
macam kurban suci yang disebut sebagai Panca
Artinya: Yajna yang terdiri atas : Dewa Yajna (Kurban
Janganlah pernah ingkar terhadap suci kepada Sang Hyang Widhi Wasa beserta
kegiatan pemujaan kepada para Dewa para Dewa sebagai manifestasi-Nya); Bhuta
dan para leluhur. Sebagaimana dikatakan Yajna (kurban suci kepada alam semesta);
dalam Weda bahwa; Ibu adalah Manusa Yajna (kurban suci kepada sesame
perwujudan Dewa; Ayah adalah manusia); Pitr Yajna (kurban suci kepada para
perwujudan Dewa; Guru adalah leluhur); dan Rsi Yajna (kurban suci kepada para
perwujudan Dewa; Tamu adalah rsi dan Guru-guru suci).
perwujudan Dewa. (Kakawin Niti Sastra Kelima macam kurban suci tersebut pada
IX.2). dasaranya dilandasi dengan semangat untuk
membayar tiga hutang yang disebut sebagai Tri
Dari sloka di atas dapat diketahui bahwa Rna. Ketiga hutang ini terdiri atas : Dewa Rna
selain kita tidak boleh mengingkari Tuhan (hutang kepada para Dewa atad hidup dan
beserta manifestasi-Nya, kita juga harus bisa segala yang ada di alam semesta sebagai
menghormati orang tua dan tamu yang datang penunjang kehidupan ini); Pitr Rna (hutang
kepada kita. Di samping menghormati semua kepada para leluhur dan orang tua yang telah
orang adalah kebaikan yang harus selalu melahirkan kita); dan Rsi Rna (hutang kepada
dibiasakan. Dengan selalu menghormati dan para Rsi dan Guru-guru suci atas ilmu
menghargai sesama manusia maka kita menuai pengetahuan yang telah diajarkannya kepada
buah kebajikan untuk kita sendiri. Kita juga umat manusia). Hutang kepada para guru suci
tidak boleh membeda-bedakan sesorang yang tentu harus dibayarkan dalam bentuk daksina
layak untuk kita hormati, misanya seperti orang kepada beliau. Sementara itu hutang kepada
yang berduit saja, orang yang punya kedudukan para tamu sebagaimana telah disinggung di atas
saja, orang yang sederajat saja, dan seterusnya. harus dibayar dengan cara penyambutan yang
Semakin banyak kita menghargai orang lain, baik dan perjamuan yang diberikan kepadanya.
maka semakin banyak pula orang yang akan Yasa kirti karma kena denta tan elem-
menghormati kita. elemeka sighranem.

UPACARA PITUNGDINO KEMATIAN DALAM PRAKTEK KEHIDUPAN


PAGUYUBAN MAJAPAHID DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA 43
Prianik
Gawayen tikang talaga tunggal amada yang ada di dalam tubuh manusia untuk kembali
magawe sumur satus. lagi ke makrokosmos. Adapun prosesi dalam
Magawe ki talaga satus wilang ika pada melaksanakan upacara pitungdino kematian ini
pinra sakrama. berdasarkan adat Hindu di Jawa, yaitu sebagai
Mapadeki labhaning aputra sawiji berikut : 1) Masrahke pancen, 2). Enggeh-
gunamanta sadhana. enggeh/kenduri. 3). Upacara Pitra Puja dengan
melakukan persembahyangan dan kekidungan.
Artinya: Adapun banten yang dipersiapkan dalam
Jasa dan nama baik harus di tuntut upacara ini adalah; 1) ambengan, 2) Banten di
dengan cepat; jangan sampai meja depan pemangku yaitu Pejati, sego suci
dipertangguhkan. Jasa orang yang ulam sari, jajan pasar, jenang padang lepas,
mebikin sebuah telaga sama dengan jenang pitara diissi kacang ijo dan suket glinting.
membikin seratus buah sumur. Jasa 3). Pancen senthong tengah.
orang yang membikin seratus telaga Relevansi pelaksanaan upacara Pitungdino
sama dengan melaksanakan kurban suci kematian masyarakat Hindu di Jawa dengan
kepada sesame. Ini sama dengan umat Hindu di Bali, yaitu bahwa umat Hindu bali
keuntugan sesorang yang mempunya tidak ada prosesi upacara tujuh hari (pitungdino
putera yang baik budinya sebagai alat kematian) namun yang ada adalah upacara
untuk mencapai surga. (kakawin Niti Pengabenan/Pelebon. Pelaksanaan upacara
Sastra IX.4). kematian di Jawa dan di Bali sama-sama
mendewatakan para leluhur, dan menstanakan
Pupuh di atas juga dapat di temukan dalam leluhur jika di bali di Rong Telu dan di Jawa di
kitab Slokantara 2 (6) sebagai berikut : Senthong Tengah. Berikut adalah urutan upacara
kematian menurut adat Hindu di Jawa adalah
Kupasatad wai paraman saro’pi sarasatad sebagai berikut : 1) hari kematian. 2). Brobosan.
wai paramo’pi yajnah. 3). Prosesi selametan kematian yaitu, ngesur
Yajnasatad wai paramo ‘pi putrah tanah, nelung dino, mitung dino, metang puluhi,
putrasatad wai paramam hi satyam. nyatus dino, pendak pisan, pendak pindo,
nyewu, Pangentas. Sedangkan prosesi upacara
Artinya : kematian menurut adat umat Hindu di Bali
Membuat sebuah telaga untuk umum itu adalah sebagai berikut: 1) saat menjelang
lebih baik daripada menggali seratus kematian. 2). Setelah meninggal. 3). Sawa
sumur.Melakukan yajna (kurban suci) itu Prateka (perawatan jenasah). 4). Sawa Wadhana
lebih tinggi mutunya daripada membuat ( Pemakaman)/ atma Wedana (ngaben). 5).
seratus telaga. Mempunyai seorang anak Dewa Pitra Pratista (Ngelinggihan Dewa Hyang).
yang suputra itu lebih berguna daripada 6). Upacara Ngastiti yaitu dilakukan setelah 12
melakukan seratus yajna. Dan menjadi hari kematian.
manusia yang setia itu jauh lebih tinggi Manfaat yang di dapat bagi keturunannya
mutu dan gunanya daripada mempunyai atas upacara pitungdino kematian, jika di
seratus putra. laksanakan yaitu bertujuan untuk pengabdian
dan rasa bhakti kita yang sangat tulus ikhlas
kepada para leluhur kita, mengangkat serta
III. PENUTUPAN menyempurnakan kedudukan arwah para
leluhur kita di alam Swah Loka, dan
Dari paparan di atas dapat di ketahui bahwa memperhatikan kepentingan orang tua dalam
Pelaksanaan upacara Pitungdino kematian pada mewujudkan rasa bhakti. Hal tersebut di
Paguyuban Majapahid Daerah Khusus Ibukota laksanakan atas kesadaran bahwa sebagai
Jakarta, karena beranggotakan dari berbagai keturunanya ia telah berhutang kepada Orang
daerah jadi dalam pelaksanaanya upacara ini tua/leluhur. Manfaat yang didapat dari
dilakukan sesuai tradisi daerah masing-masing. rangkaian upacara tersebut untuk anak, cucu
Pelaksanaan upacara pitungdino kematian ini dan keturunanya yaitu untuk kesejahteraan, dan
bertujuan untuk proses terurainya unsur-unsur perubahan alam sekitar secara skala dan niskala.

DHARMASMRTI
44
Vol. 10 Nomor 1 Mei 2019 : 1 - 109
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Sri wintala. 2018. Etika Jawa . Yogyakarta. : Araska


Atmaja, I Nengah Bawa. 1986. Metodologi penelitian. Jakarta : Gramedia
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (edisi V). Jakarta : Rhineka
cipta.
Budi Cakepane gamabali, Bali Budaya, upakara dan Upacara Pitra yadnya. Cakepane.blogspot.com
Darmayasa. 2015. Bhagawad Gita (Nyanyian Tuhan). Yayasan Dharma Sthapanam: Denpasar.
Departemen Agama Propinsi Bali. 2006. Panca yadnya, Dewa Yadnya, Bhuta yadnya, Resi Yadnya,
Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya. Bali. Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Bali
Endraswara, Suwardi. 2018. Agama Jawa, Ajaran Amalan dan Asal Usul Kejawen (Edisi Revisi).
Yogyakarta : Narasi-Lembu Jawa.
Endraswara, Suwardi. 2018. Mistik Kejawen. Yogyakarta : Narasi.
Gulo. W. 2004. Metodologi Penelitian. Jakarta : Gramedia.
Jalinankata. 2015. Tehnik Analisis Data Kualitatif. Jalinkata’s Blog, (akses tanggal 16 Agustus 2018).
Tersedia dalam URL: https://jalinankata.wordpress.com/2015/11/18/tehnik-analisis-
data-kualitatif/.
Koentjaraningrat. 2014. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta : Universitas Indonesia (UI-Pres).
Kajeng, I Nyoman, DKK. Sarasamuccaya. Jakarta. Pustaka Mitra Jaya
Layungkuning, Bendung.2018. Sangkan Paraning Dumadi. Yogyakarta: Narasi.
Nuridha Mega. 2013. Teori Hermeneutika. Dunia Mega (akses tanggal 27 November 2018). Tersedia
dalam URL: https://nrdnr.wordpress.com/2013/10/01/teori-hermeneutika/.
Mantra, IB. 1997. Tata Susila Hindu Dharma. Denpasar : upada sastra, Surabaya : Paramitha.
Miswanto, 2015. Kakawin Nitisastra. Surabaya. Paramita.
Moleong, Lexi J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Pustaka Pelajar.
Oka Puspa, Anak Agung, 2009. Teologi Kematian Umat Hindu Di Bali (Kajian Teks Yama Purwana
Tattwa). Tesis Magister Pascasarjana Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.
Purwadi. 2005. Upacara Tradisional Jawa. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Poerwadarminta, W.J.S. 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Gramedia.
Paguyuban Majapahit. 2013. Hasil Dharma Sabha VI. Jakarta
Palguna, IBM Dharma. 2018. Shastra Wangsa, Kamus Istilah Wangsa Bali, Pustaka, Pusaka, Manusia.
Denpasar. Bali Wisdom.
Pandit, Bansi. 2006. Pemikiran Hindu, Pokok-Pokok Pikiran Agama Hindu dan Filsafat. Surabaya.
Paramita.
Pudja, G. M.A. 2003. Manawa Dharmasastra (Manu Dharmasastra). Jakarta. Pustaka Mitra Jaya.
_____, G.MA, SH. 2005. Bhagawad Gita (Pancama Veda). Surabaya. Paramitha.
Pemerintah Propinsi Bali, 2002 Siwatattwa. Proyek Peningkatan sarana/Prasarana kehidupan
Beragama. Denpasar.
Rudia Adiputra, Gede. 2003. Pengetahuan Dasar Agama Hindu. Jakarta : STAH Dharma Nusantara.
Radhakrishnan.S. 2008. Upanisad Upanisad Utama. Alih Bahasa Oleh Agus S. Mantik. Surabaya.
Paramita.
Setiawan, I Ketut Oka. 2017. Bahan Kuliah Metodelogi Penelitian. Denpasar : Pragram Pascasarjana,
UNHI.
Suripto, Adi. 2006. Nilai-nilai Hindu Dalam Budaya Jawa, Serpihan Yang tertinggal. Jakarta : Media
Hindu.
Singgin Wikarman, I Nyoman. 2002. Ngaben (Upacara Dari Tingkat Sederhana Sampai Utama).
Surabaya : Paramita.
Titib, I Made. 1998. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya. Paramita.
Titib, I Made. 2004. Purana Sumber Ajaran Hindu Komprehensip. Surabaya : Paramita.
Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar. 1995. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta : Bumi
Aksara.
Wiana, I Ketut, 2004. Makna Upacara Yadnya Dalam Agama Hindu II. Surabaya. Paramitha.

UPACARA PITUNGDINO KEMATIAN DALAM PRAKTEK KEHIDUPAN


PAGUYUBAN MAJAPAHID DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA 45
Prianik

You might also like