Politik Pendidikan Islam Indonesia Perlawanan Pesantren Terhadap Hegemoni Pendidikan Barat Era Kolonialisme Belanda

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 14

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/342335125

POLITIK PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA: PERLAWANAN PESANTREN


TERHADAP HEGEMONI PENDIDIKAN BARAT ERA KOLONIALISME BELANDA

Article · January 2020

CITATIONS READS

2 1,899

2 authors, including:

Abd Aziz
Institut PTIQ Jakarta
9 PUBLICATIONS   37 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Arabi Linguistic and Literature View project

All content following this page was uploaded by Abd Aziz on 20 June 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 1, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20

POLITIK PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA: PERLAWANAN PESANTREN


TERHADAP HEGEMONI PENDIDIKAN BARAT ERA KOLONIALISME BELANDA

Fatkhul Mubin
STAI Hikmah Jakarta
fatkhulmubin90@gmail.com

Abd Aziz
STIT Al-Amin Kreo Tangerang
azizindunisi@stitalamin.ac.id

ABSTRACT

The purpose of this study is to answer the question what is Dutch policy in Islamic education? How
was the existence of pesantren education in the Dutch colonial era? What is the hegemony of Dutch
education in pesantren education? The results of this study are that the Dutch East Indies government
policy towards Islamic education is basically oppressive, because it is feared that it will cause militancy
of educated Muslims which will threaten the stability of the Dutch colonial government. For the
Netherlands Indies government, education was not only pedagogical-cultural, but also pedagogical-
political. The existence of pesantren in the era of Dutch colonialism was hindered by the special policy
of providing education imposed by the Dutch colonial government which was intended to be used as a
powerful instrument to reduce and ultimately defeat the influence of Islam in Indonesia. This can be
seen in the testimony of C. Snouck Hurgronje (1857-1936) that in 1890, the number of pesantren
education increased, but the next twenty years witnessed Western education began to triumph in a race
against its Islamic rival. The Dutch education hegemony in regulating religious education policies,
especially those promoted by Islamic boarding schools in Indonesia, borrowed Gramsci's glasses,
based on political, ideological and cultural reasoning in a colonialist way to impose influence on its
governance on indigenous Indonesians.

Keywords: Pesantren Resistance, Educational Hegemony, Dutch Education Policy

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan Bagaimanakah kebijakan Belanda dalam
pendidikan Islam? Bagaimanakah eksistensi pendidikan pesantren di zaman kolonial Belanda?
Bagaimanakah hegemoni pendidikan Belanda terhadap pendidikan pesantren? Hasil dari penelitian ini
adalah Kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap pendidikan Islam pada dasarnya bersifat
menekan, karena dikhawatirkan akan menimbulkan militansi umat Islam terpelajar yang akan
mengancam stabilitas pemerintahan kolonial Belanda. Bagi pemerintah Hindia Belanda, pendidikan
tidak hanya bersifat pedagogis-kultural, tetapi juga bersifat pedagogis-politis. Eksistensi pesantren pada
zaman kolonialisme Belanda, terkadang oleh kebijakan khusus penyelenggaraan pendidikan yang
diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda yang memang dimaksudkan untuk dijadikan sebagai
instrumen yang ampuh untuk mengurangi dan akhirnya mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia. Hal
ini terlihat pada testimoni C. Snouck Hurgronje (1857-1936) bahwa pada 1890, jumlah pendidikan
pesantren bertambah, akan tetapi dua puluh tahun berikutnya disaksikan pendidikan Barat mulai
meraih kemenangan dalam perlombaan melawan saingannya yang Islam. Hegemoni pendidikan
Belanda dalam mengatur kebijakan pendidikan agama, khususnya yang digalakkan oleh pesantren di
Indonesia meminjam kacamata Gramsci, berlandaskan pada nalar politis, ideologis dan kultural a la
kolonialis untuk memaksakan pengaruh atas kepemerintahannya kepada pribumi Indonesia.

Kata Kunci: Perlawanan Pesantren, Hegemoni Pendidikan, Kebijakan Pendidikan Belanda

123
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 1, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20

A. PENDAHULUAN
Dalam kacamata kolonialis Belanda, secara de facto pesantren menjadi training
center dan cultural center yang lahir dan dilembagakan oleh masyarakat Islam yang
konsisten melawan kolonialisme berbasis pendidikan Islam,1 serta membumikan
pendidikan yang berlandaskan adagium memanusiakan manusia.2 Hal ini, menurut
Ziemek tidak terlepas dari fakta sejarah bahwa gerakan perlawanan terhadap kolonialisme
Belanda dilakukan secara masif oleh pesantren yang dimotori oleh para kiai sebagai aktor
intelektualnya.3 Mahmud Arif menyatakan ada dua cara yang ditempuh pesantren dalam
melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dilakukan, yaitu: tersembunyi,
dilakukan dengan cara bersikap konservatif, defensif, dan isolasionisme dan perlawanan
terbuka yang dengan cara bersikap nonkooperatif dan pengobaran semangat anti
kolonialisme.4 Perlawanan-perlawanan tersebut adalah “jihad” dalam menjaga identitas
religio-kultural bangsa dari dominasi penetrasi sistem pendidikan sekuler dan invasi
militer Belanda.

B. TINJAUAN PUSTAKA
Diskursus tentang pesantren, politik dan pendidikan baik yang terkait dengan era
kolonialisme Belanda atau tidak merupakan tema kajian yang sangat menarik. Hal ini,
dibuktikan dengan dilakukannya penelitian-penelitian akademis oleh para sarjana terkait
tema tersebut. Sebut saja, Maftuh, dengan karyanya berjudul Kebijakan Politik
Pendidikan Hindia Belanda dan Implikasinya bagi Pendidikan Islam (1900-1942).5
Penelitian ini menemukan fakta bahwa kebijakan politik pendidikan pemerintahan Hindia
Belanda dilatarbelakangi beberapa faktor, yaitu: politik, ekonomi, kristenisasi, rasialisme,
situasi dan kondisi yang terjadi di Belanda, serta kondisi umat Islam di Indonesia. Hal ini,
berimplikasi pada blue print pendidikan Islam meliputi aspek kelembagaan, kurikulum,
metode pengajaran dan pendidik.
Penelitian lain dilakukan oleh Sangkot Nasution dengan judul Strategi Pendidikan
Belanda pada Masa Kolonial di Indonesia.6 Hasil penelitian ini adalah Pendidikan formal
di Indonesia pertama kalinya dilaksanakan oleh Zending. Pendidikan ini amat terbatas
karena mempunyai tujuan untuk membina kader pendeta. VOC tidak mencampuri urusan
pendidikan rakyat, kecuali bergerak dalam bidang perdagangan. Kemudian ketika VOC
digantikan oleh penguasa kolonial Belanda, pendidikan mendapat perhatian kendati
terbatas untuk kalangan masyarakat Belanda dan segelintir golongan bangsawan.
Penelitian lain dengan scope sejarah yang lebih luas, dilakukan oleh Hasnida dengan judul
Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia Pada Masa Pra Kolonialisme dan
Masa Kolonialisme (Belanda, Jepang, Sekutu).7 Hasil penelitian ini adalah perkembangan

1
Moh. Slamet Untung, “Kebijakan Kolonial Belanda Terhadap Pendidikan Pesantren”, Forum
Tarbiyah, Vol. 11, No. 1, (2013): 2.
2
Abd Aziz, “Landasan Pikir Perdebatan Eksistensi Bahasa Arab Fusha dan ‘Ammiyah”, Al-Amin:
Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam, Vol. 2, No. 1 (2019), h. 117. Lihat Juga, Saihu dan Taufik, “Perlindungan
Hukum Bagi Guru”, Al-Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam, Vol. 2, No. 1 (2019), 105.
3
Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, terj. Butche B. Soendjojo, (Jakarta: P3M, 1986),
56.
4
Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif (Yogyakarta: LkiS, 2008), 177-178.
5
Maftuh, “Kebijakan Poltik Pendidikan Hindia Belanda dan Implikasinya Bagi Pendidikan Islam”,
Tesis: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009.
6
Sangkot Nasution, “Strategi Pendidikan Belanda pada Masa Kolonial di Indonesia”, Ihya’ al-
‘Arabiyyah, Vol. VI, No. 2, (2016).
7
Hasnida, “Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia pada Masa Pra Kolonialisme dan
Masa Kolonialisme (Belanda, Jepang, Sekutu), KORDINAT, Vol. XVI, No. 2 (2017).

124
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 1, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20

pendidikan Islam di Indonesia ditandai oleh lahirnya berbagai lembaga pendidikan secara
bertahap, mulai dari yang sederhana hingga modern. Surau sebagai bentuk lembaga
pendidikan sederhana lazim ditemukan di Minangkabau, sementara di Nanggroe Aceh
Darussalam terdapat lembaga pendidikan tingkat rendah yang disebut Meunasah.
Lebih lanjut, Anzar Abdullah8 dengan karya ilmiah berjudul Perkembangan
Pesantren dan Madrasah di Indonesia dari Masa Kolonial Sampai Orde Baru
menemukan fakta bahwa pendidikan Islam pada awalnya sangat erat kaitannya dengan
proses islamisasi di Nusantara dan berpusat di surau, masjid, dan langgar yang kemudian
berkembang menjadi lembaga pendidikan dalam bentuk pesantren dan madrasah.
Kemudian, fenomena pendidikan Islam di Indonesia diwarnai oleh pergeseran pola
pendidikan pesantren salaf kepada sistem pendidikan madrasah yang mengadopsi
pendidikan a la Barat dengan sistem klasikal sebagai ciri khasnya.
Ali Maulida dengan judul penelitian Dinamika dan Peran Pondok Pesantren
dalam Pendidikan Islam Sejak Era Kolonialisme Hingga Masa Kini.9 Hasil penelitian ini
adalah pesantren telah memainkan peranan yang sangat penting dalam sejarah kehidupan
umat Islam bahkan bangsa Indonesia pada umumnya. Pesantren bukan hanya menjadi
tempat menimba ilmu, dan menyebarkan dakwah Islam, tetapi juga menjadi tempat
memupuk perlawanan bangsa Indonesia kepada pemerintah kolonial. Kemudian, karya
ilmiah yang disusun oleh Irham berjudul Pesantren dan Perkembangan Politik
Pendidikan Agama di Indonesia.10 Hasil penelitian ini adalah pesantren merupakan
lembaga pendidikan agama Islam di Indonesia yang tertua dan akomodatif terhadap
perkembangan sosial budaya nasional maupun global. Sistem pendidikannya memuat
nilai-nilai multikulturalisme. Selain itu, pesantren sebagai lembaga pendidikan yang
menanamkan nilai-nilai nasionalisme kebangsaan. Pesantren sangat memungkinkan
menjadi lembaga yang mampu mengintegrasikan tiga peradaban besar sekaligus. Yaitu
peradaban Barat, peradaban Timur, dan peradaban Nusantara. Sehingga pesantren sebagai
lembaga produksi peradaban baru untuk memperkaya peradaban Nusantara.
Lebih lanjut, Mukodi dengan penelitian berjudul Pesantren dan Pendidikan Politik
di Indonesia: Sebuah Reformulasi Kepemimpinan Islam Futuristik11 menemukan fakta
bahwa beragam aktivitas kehidupan di pesantren telah mendorong tersemainya sense of
politic para santri. Keberadaan sekolah politik (pesantren politik) pun menjadi alternatif
solutif, dan jawaban konkrit untuk merangkul alumni pesantren, dan kaum muda Islam
yang potensial bergiat di dunia politik. Selain itu, melalui reformulasi kepemimpinan di
pesantren, berupa: (1) memasukkan kurikulum kepemimpinan, dan politik kedalam
kurikulum pesantren; (2) mengintensifkan pelatihan kepemimpinan; (3) mengadakan
program pencangkokan kepemimpinan; (4) mendudukkan alumni pesantren yang
berkualitas (qualified) menjadi pemimpin; (5) pendampingan (coaching) pemimpin muda
di pesantren dapat mempercepat terwujudnya kepemimpinan ideal versi Islam di
Indonesia.
Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh Zaini Tamin AR berjudul Pesantren
dan Politik (Sinergi Pendidikan Pesantren dan Kepemimpinan dalam Pandangan KH. M.

8
Anzar Abdullah, “Perkembangan Pesantren dan Madrasah di Indonesia dari Masa Kolonila Sampai
Orde Baru”, Paramita, Vol. 23, No. 2 (2013).
9
Ali Maulida, “Dinamika dan Peran Pondok Pesantren dalam Pendidikan Islam Sejak Era Kolonialisme
Hingga Masa Kini”, Edukasi Jurnal Pendidikan Islam, Vo. 05, (2016).
10
Irham, “Pesantren dan Perkembangan Politik Pendidikan Agama di Indonesia”, Ta’lim Jurnal
Pendidikan Agama Islam, Vol. 13, No. 1, (2015).
11
Mukodi, “Pesantren dan Pendidikan Politik DI Indonesia: Sebuah Reformulasi Kepemimpinan Islam
Futuristik”, At-Tahrir, Vol. 16, No. 2, (2016).

125
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 1, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20

Hasyim Asy’ari).12 Hasil penelitian ini adalah Kiai Hasyim, dalam beberapa karyanya
dengan jelas menegaskan bahwa tujuan pendidikan Islam tidak hanya berhenti pada
tingkat kognitif saja. Lebih dari itu, tujuan pendidikan Islam terutama di pesantren adalah
pada pengamalan terhadap ilmu yang telah diperoleh, yang disebut dengan ilmu
bermanfaat (‘ilm nafi’). Ini menjadi keunggulan pendidikan pesantren, yang
menggabungkan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual, yang muaranya dapat
membentuk karakter seseorang. Karakter adalah faktor penting dalam kepemimpinan,
sebuah kemampuan untuk melangkah keluar dari budaya yang ada dan memulai proses
perubahan evolusioner yang lebih adaptif. Sebagai laboratorium pendidikan karakter,
pesantren menjadi lumbung pembentukan karakter, baik dalam hal intelektual, sosial, dan
terutama dalam hal kepemimpinan.
Penelitian-penelitian di atas, telah membahas tentang tema pesantren, politik dan
pendidikan Islam di Indonesia dalam segala babak sejarah: pra kolonialisme, era
kolonialisme dan pasca kolonialisme. Namun demikian, kajian penelitian-penelitian di
atas masih menyisakan “ruang kosong” terkait dengan diskursus kebijakan pesantren
dalam melawan hegemoni pendidikan Barat era kolonialisme Belanda. Karenanya,
penelitian yang dilakukan oleh penulis menemukan relevansi ilmiah untuk mengisi “ruang
kosong” yang ditinggalkan oleh penelitian-penelitian sebelumnya. Paling tidak ada 3
(tiga) hal yang penulis akan paparkan dalam tulisan sederhana ini, yaitu: Bagaimanakah
kebijakan Belanda dalam pendidikan Islam? Bagaimanakah eksistensi pendidikan
pesantren di zaman kolonial Belanda? Bagaimanakah respons pesantren terhadap
kebijakan pendidikan Belanda?

C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan kajian yang bersifat kualitatif dengan cara penelitian
kepustakaan (library research) sejarah. Adapun cara menganalisisnya dengan
menggunakan teknik heuristic. Heuristik berasal dari kata Yunani heurishein, artinya
memperoleh. Menurut Kenneth Sörensen,13 heuristik adalah suatu teknik, mencari dan
mengumpulkan sumber. Dengan demikian heuristik adalah kegiatan mencari dan
mengumpulkan sumber yang berkaitan dengan pondok pesantren terutama dalam segi
kebijakan melawan hegemoni pendidikan Barat era kolonialisme Belanda. Dalam
hubungan penelitian, peneliti mengumpulkan sumber-sumber yang merupakan jejak
sejarah atau peristiwa sejarah.
Studi kepustakaan (library research) dipilih sebagai teknik pengumpulan data dan
informasi diperoleh berdasarkan bahan yang terdapat di perpustakaan berupa, arsip,
dokumen, majalah, buku dan materi perpustakaan lainnya, dengan asumsi bahwa data
yang diperlukan dalam pembahasan ini terdapat di dalamnya.14 Dalam pengumpulan data
dilakukan dengan dua cara yaitu, pengumpulan data primer dan data sekunder. Data

Zaini Tamin AR, “Pesantren dan Politik (Sinergi Pendidikan Pesantren dan Kepemimpian dalam
12

Pandangan KH. M. Hasyim Asy’ari)”, Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. 3 No. 2, (2015).
13
Kenneth Sörensen, "Metaheuristics—the metaphor exposed," International Transactions in Operational
Research, Vol. 22. No. 1 (2015): 3-18; Jochen, Janssens, et.al., "Multi-objective microzone-based vehicle routing
for courier companies: From tactical to operational planning," European Journal of Operational Research, Vol.
242. No. 1 (2015): 222-231; Daniel Palhazi Cuervo, Peter Goos, dan Kenneth Sörensen, "Optimal design of
large-scale screening experiments: a critical look at the coordinate-exchange algorithm," Statistics and
Computing, Vol. 26. No. 1-2 (2016): 15-28; Matteo Balliauw, et.al., "A variable neighborhood search algorithm
to generate piano fingerings for polyphonic sheet music," International Transactions in Operational Research,
Vol. 24. No. 3 (2017): 509-535.
14
Winamo Surakmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan Teknik (Bandung: Tarsito, 1982), 251.

126
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 1, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20

primer dalam penelitian ini adalah data yang terdiri dari karya ilmiah yang membahas
tentang pesantren, pendidikan Islam dan kebijakan politik kolonialisme Belanda.
Sedangkan bahan-bahan sekunder yang digunakan untuk mendukung data primer adalah
buku-buku yang berkaitan dengan reformasi pendidikan atau artikel yang berkaitan
dengan topik penelitian, tulisan-tulisan, dokumen-dokumen atau jurnal nasional maupun
internasional yang berkaitan dengan penelitian yang sedang penulis lakukan.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Kebijakan Belanda dalam Pendidikan Islam
Secara politik, peran pemerintah Hindia Belanda dalam mengembangkan
pendidikan untuk kaum bumiputra, terutama setelah diterapkannya kebijakan politik etis
(ethische politiek), tidak hanya memecah umat Islam, tetapi juga menyingkirkan lembaga
pendidikan pesantren yang tidak mau menerima subsidi dari pemerintah ke daerah
pedalaman, sehingga pesantren tertutup dari perkembangan pendidikan modern.15
Kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap pendidikan Islam pada dasarnya bersifat
menekan, karena dikhawatirkan akan menimbulkan militansi umat Islam terpelajar yang
akan mengancam stabilitas pemerintahan kolonial Belanda. Bagi pemerintah Hindia
Belanda, pendidikan tidak hanya bersifat pedagogis-kultural, tetapi juga bersifat
pedagogis-politis.16 Pandangan ini di satu sisi menimbulkan kesadaran, bahwa pendidikan
dianggap sangat vital dalam upaya mempengaruhi masyarakat. Melalui pendidikan model
Belanda, dapat diciptakan kelas masyarakat terdidik yang berbudaya Barat, sehingga akan
lebih akomodatif terhadap kepentingan penjajah. Namun di sisi lain, pandangan ini juga
mendorong pengawasan yang berlebihan terhadap perkembangan lembaga pendidikan
Islam. Walaupun pengorganisasian madrasah menerima pengaruh dari sistem sekolah
Belanda tetapi muatan keagamaan akan menambah semangat kritis umat Islam terhadap
sistem kebudayaan yang dibawa oleh kaum penjajah.
Kebijakan dan regulasi pemerintah Hindia Belanda yang lain dalam mengawasi
lembaga pendidikan Islam ialah diterbitkannya “Ordonansi Guru” dan “Sekolah
Liar”(sekolah partikelir atau sekolah swasta). Kebijakan ini me- wajibkan guru-guru
agama untuk memiliki surat izin dari pemerintah. Setiap orang, meskipun ahli agama
tidak sertamerta dapat mengajar di lembaga- lembaga pendidikan, jika tidak mengantongi
izin dari pemerintah.17 Latar belakang dikeluarkannya ordonansi guru ini sepenuhnya
bersifat politis untuk menekan sedemikian rupa, sehingga pendidikan agama tidak
menjadi faktor pemicu perlawanan rakyat terhadap penjajah. Pengalaman penjajah yang
direpotkan oleh perlawanan rakyat Cilegon di Banten pada tahun 1888 (Pemberontakan
Petani Banten) merupakan pelajaran bagi pemerintah Hindia Belanda untuk menerbitkan
ordonansi guru.18
Belanda mulai mengaktifkan kebijakan ordonansi guru 2 November 1905, di
beberapa wilayah yaitu: Jawa-Madura, kecuali Surakarta dan Yogyakarta.19 Menurut Aqib
Suminto, ordonansi guru memuat 5 (lima) point kebijakan:

15
Nur Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Arruz
Media, 2007), 386.
16
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurikulum Modern,
(Jakarta: LP3ES, 1995), 36.
17
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), 178.
18
Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, 100.
19
Kebijakan ordonasi guru diinisiasi oleh KF. Holler sebagai sasaran kepada Pemerintah Hindia
Belanda untuk melakukan pengawasan kepada Pendidikan agama Islam, hingga terjadi perburuan terhadap guru
agama Islam. Lebih lanjut, KF. Holler juga menyarankan kepada seluruh Bupati untuk mendata dan melaporkan
jumlah guru agama setiap tahunnya. Pendapat KF. Holler ini seide dengan Snourk Hurgrunje di mana pada tahun

127
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 1, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20

a. Seorang guru agama Islam diperbolehkan mengajar setelah mendapatkan izin dari
Bupati.
b. Izin dari Bupati dikeluarkan berdasarkan pertimbangan bahwa guru agama tersebut
berkualifikasi yang baik dan materi pelajaran yang diajarkan tidak bertentangan dengan
keamanan dan ketertiban umum.
c. Guru agama harus mendata daftar murid dan menjelaskan materi pelajaran yang
diajarkan.
d. Bupati dan Lembaga pemerintahan yang berwenang diperbolehkan untuk memeriksa
daftar tersebut jika ditemukan indikasi pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku.
e. Izin belajar dapat dicabut, jika seorang guru agama sering kali melanggar peraturan
yang berlaku dan dinilai kurang berperilaku baik.20
Tentunya, pemberlakuan kebijakan ordonansi ini sangat menekan dan
menghalangi penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam di Indonesia yang pada saat itu
digalakkan oleh masyarakat muslim secara mandiri. Dalam pandangan Deliar Noer,
dampak kebijakan ordonansi terhadap penyelenggaraan pendidikan Islam adalah sebagai
berikut:
a. Jumlah guru agama menjadi sedikit karena terbentur pengurusan izin administratif
untuk mengajar dari pemerintah.
b. Sulitnya mengisi daftar laporan kepada pejabat berwenang, karena hamper seluruh
guru hanya memahami huruf Arab, sedangkan formulir yang diberikan dalam bahasa
Belanda dan menggunakan huruf latin. Lembaga pendidikan yang paling “menderita”
karena pemberlakuan kebijakan ini adalah pesantren dikarenakan belum mempunyai
tata administratif yang baik, dalam aspek daftar murid, guru dan mata pelajaran. Hal
ini, berujung pada penutupan pesantren yang dilakukan oleh pemerintah.
c. Penyelenggaraan pengajaran menjadi terhambat, karena selain jumlah guru yang sangat
terbatas, pelajaran yang diberikan juga sedikit karena adanya “sensor” pengawasan dari
pemerintah.21
Menurut Aqib Suminto,22 pemberlakuan ordonansi guru tersebut di atas, dianggap
kurang berjalan secara efektif dan efisien, sehingga “memaksa” pemerintah kolonialis
Hindia Belanda menerbitkan kebijakan ordonansi guru kedua yang berisi kebijakan yang
dianggap lebih lunak sebagai berikut:
a. Semua guru agama harus menunjukkan bukti tanda terima pemberitahuannya.
b. Setiap guru agama harus mengisi daftar murid dan pelajaran yang mudah diakses oleh
pejabat berwenang akan melakukan pemeriksaan.
c. Bukti kelayakan dapat dicabut, jika guru yang bersangkutan aktif memperbanyak
murid dengan maksud mencari uang.
d. Guru agama dapat dihukum maksimum 8 hari kurungan atau dengan maksimum f25,
jika mengajar tanpa surat tanda laporan, laporannya tidak benar, atau lalai dalam
mengisi daftar.
e. Guru agama dapat dihukum maksimum 1 (satu) bulan kurungan atau denda maksimum
f200, jika masih mengajar setelah haknya dicabut.23

1904 menyarankan untuk diadakan pengawasan kepada guru agama secara administrative, meliputi: guru agama
harus mengantongi izin khusus dari Bupati, daftar guru dab murid, serta pembentukan panitia khusus yang
bertugas untuk melakukan pengawasan kepada guru.
20
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 52.
21
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1994), 175.
22
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 54.
23
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, 175.

128
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 1, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20

Pada ordonansi yang kedua ini guru hanya diwajibkan untuk sekadar memberitahu
bukan minta izin, namun pada praktiknya tetap saja memberatkan karena daerah
pelaksanaannya menjadi lebih luas bukan hanya di Jawa tetapi juga berlaku pula untuk
Aceh, Sumatera Timur, Riau, Palembang, Tapanuli, Manado, Lombok, dan kemudian di
tahun 30-an berlaku pula di daerah Bengkulu. Dampaknya adalah sebagai berikut:
a. Rintangan tidak saja di bidang pendidikan tetapi juga pada kemajuan dan penyebaran
Islam, karena umat islam terhalang kebebasannya dalam melaksanakan aktivitas
agamanya.
b. Munculnya reaksi yang dimotori oleh organisasi-organisasi Islam saat itu, terutama di
Sumatera Barat dengan mengadakan rapat besar menolak ordonansi tersebut dan
nyatanya usaha tersebut membawa hasil, dengan tidak diberlakukannya ordonansi di
daerah Minangkabau, namun tetap saja berlaku di daerah lain. Reaksi juga timbul dari
kalangan Belanda sendiri untuk menghapuskan ordonansi ini, karena dianggap tidak
efisien dan hanya menghambur-hamburkan dana pemerintah semata.
Pada dasarnya kedua ordonansi ini dimaksudkan sebagai media pengontrol bagi
pemerintah kolonial Belanda untuk mengawasi aktivitas para pengajar agama Islam,
karena dari merekalah muncul beberapa pergolakan terhadap kolonialis.
Ordonansi Sekolah liar, yang diberlakukan pada bulan Oktober 1923, isinya antara
lain:
a. Sekolah yang tidak sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah tidak dibenarkan beraktivitas.
b. Hanya lulusan sekolah pemerintah ataupun sekolah swasta yang bersubsidi saja yang
berhak mengajar.
Secara konsep, ordonansi ini tidak berlaku untuk lembaga Pendidikan Islam,
namun pada praktiknya sekolah-sekolah islamlah yang menanggung akibatnya, karena
pendidikan Islam yang notabane dikelola oleh pribumi tanpa ada campur tangan
pemerintah dalam pembiayaannya terancam ditutup. Karena pemerintah mempunyai
kewenangan memberantas dan menutup madrasah serta sekolah yang tidak ada izinnya
atau memberikan pelajaran yang tidak disukai pemerintah Belanda. 24 Pada tahun 1932 M
keluar peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak
ada izinnya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah Belanda yang
di sebut dengan Ordonansi Sekolah Liar (Wilde School Ordonantie).

2. Eksistensi Pendidikan Pesantren Pada Zaman Kolonialisme Belanda


Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang menjadi
subkultur25 bangsa Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren mempunyai
keunikan dan ciri khas yang kuat dan pekat. Keunikan dan kekhasan pesantren lahir dari
proses pembentukan sistem nilai di dalamnya. Bahkan, sistem nilai yang terbentuk di
dalam pesantren, kemudian membentuk simbol-simbol, menciptakan daya tarik ke luar,
sehingga dipahami dan dianggap oleh masyarakat sekitar bahwa pesantren merupakan
alternatif ideal bagi kehidupan mereka.26 Pesantren mengambil peran untuk ikut andil
dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa yang telah dimulai sejak lampau dan

24
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), 52.
25
Secara sosiologis, sebuah subkultur adalah sekelompok orang yang memiliki perilaku dan
kepercayaan yang berbeda dengan kebudayaan induk mereka. Subkultur dapat terjadi karena perbedaan usia
anggotanya, ras, etnisitas, kelas sosial, dan/atau gender, dan dapat pula terjadi karena perbedaan aesthetik, religi,
politik, dan seksual; atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Subkultur .
Diakses pada 28 November 2019.
26
Abdurahman Wahid, Pesantren Sebagai Subkultur, dalam Dawam Rardjo (Ed), Pesantren dan
Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1974), 40.

129
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 1, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20

berlangsung turun-temurun. Dalam perjalanannya, banyak halang rintang yang telah


dihadapi pesantren dalam memberikan pendidikan terutama pada masa kolonialisme
Belanda di Indonesia.27 Pesantren bukanlah lembaga pendidikan yang mengajarkan materi
yang menekankan pada orientasi kepada kekuasaan, kekayaan dan hal-hal lain yang
berkaitan dengan gemerlap kehidupan dunia.28 Dengan demikian, terlihat usaha pesantren
sebagai lembaga pendidikan untuk memikul tanggung jawabnya dalam menanamkan
pendidikan yang lebih berorientasi pada karakter untuk para santri.
Dalam sejarah Indonesia, tercatat bahwa pondok pesantren pertama kali muncul
pada abad ke-16 M, berada di Ampel Denta yang dirikan oleh Sunan Ampel. Pada saat
itu, beliau “menggembleng” para santri sebagai juru dakwah agama Islam ke seluruh
pelosok nusantara. Bahkan, ada santri yang diberi mandat untuk berdakwah ke negara-
negara tetangga. Diaspora perkembangan pesantren di penjuru tanah air diawali oleh
santri-santri Sunan Ampel dan mencapai puncak pada pertengahan abad ke-19 M dan
awal abad ke-20 M yaitu pada masa Syaikh Kholil Bangkalan yang melahirkan banyak
ulama besar di Nusantara. Bahkan, pada waktu itu hampir di setiap kota kecamatan
sampai di pedesaan berdiri satu pesantren atau bahkan lebih. Lebih lanjut, dalam
perjalanannya, muncul pengklasifikasian pesantren di Indonesia berdasarkan sistem atau
jenis lembaga pendidikan yang diadakannya.29
Sejak pemerintah kolonial Belanda berkuasa di Indonesia, persoalan pendidikan dan
kehidupan beragama diatur melalui regulasi yang ketat. Kebijakan ini dalam mengatur
jalannya pendidikan disesuaikan dengan kepentingan pemerintah kolonial Belanda,
terutama untuk kepentingan agama Kristen.30 Hal ini dapat dilihat dalam kebijakan
Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Den Boss di Batavia pada tahun 1813, yang
menetapkan sekolah agama Kristen di setiap daerah Keresidenan. 31 Bahkan, pada tahun
1882, pemerintah kolonial Belanda membentuk Priesterraden yaitu suatu badan khusus
yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang disebut.32
Pesantren yang dilabeli sebagai lembaga pendidikan yang tradisional waktu itu,
menjadikan kehadiran sekolah-sekolah Belanda yang modern sebagai inspiring dan
pemicu kesadaran baru untuk melakukan perubahan-perubahan mendasar dalam sistem
pendidikan Islam di Indonesia. Muncullah gagasan tentang perlunya melakukan
pengembangan dan pembaruan pendidikan Islam di Indonesia. Praktiknya, sistem
pendidikan yang diterapkan oleh sekolah-sekolah Belanda (sekolah pemerintah)
dimasukkan ke dalam sistem pendidikan pesantren. Sistem pendidikan dengan model
halaqah sebelumnya, kemudian diganti dengan sistem klasikal dengan unit-unit kelas dan
sarana-prasarana seperti bangku dan meja di ruang-ruang kelas.33
Perkembangan pesantren pada masa pemerintah kolonial Belanda banyak didukung
oleh pesantren kerajaan. Saat itu di berbagai daerah di Nusantara tumbuh kerajaan-
kerajaan Islam, seperti Kerajaan Islam Pasai, Kerajaan Islam Darussalam di Sumatera,

27
Saihu, “Penanman Nilai-Nilai Pluralis melalui Model Pendidikan Transformative Learning pada
Pondok Pesantren Nurul Ikhlas Negara”, Kordinat, Vol XVIII, No. 1 (2019): 227-249.
28
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES,
1981), 3.
29
Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Wali Songo Misi Pengislaman di Tanah Jawa (Yogyakarta: GRAHA
Pustaka, 2009), 16.
30
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hudaya Karya Agung, 1985), 62.
31
Ridwan Kafrawi, Pembaruan Sistem Pondok Pesantren (Jakarta: Cemara, 1978), 532. Lihat juga,
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), 52.
32
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 52.
33
Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 93.

130
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 1, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20

Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Islam Banten, Kerajaan Islam Pajang, dan Kerajaan
Islam Mataram di Jawa.34 Ketika Indonesia dijajah Belanda, kegiatan pendidikan pertama
kali diselenggarakan oleh VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) yang dipusatkan di
Indonesia bagian Timur dan Batavia (Jakarta). VOC pada dasarnya merupakan badan
perdagangan milik orang Belanda yang beragama Protestan. VOC menganggap perlu
menggantikan agama Katolik yang telah diperkenalkan oleh orang Portugis. Untuk
keperluan inilah, VOC mendirikan sekolah-sekolah.35 Pada 1632 telah ditemukan 16
sekolah di Ambon. Sementara itu, pada 1706 telah ada 3 sekolah di Jakarta. Tujuan utama
pendidikannya di samping untuk melenyapkan agama Katolik dengan menyebarkan
agama Protestan, juga untuk mendidik anak Belanda dan Jawa agar menjadi pekerja yang
kompeten pada VOC.
Secara khusus kebijakan penyelenggaraan pendidikan yang diberikan oleh
pemerintah kolonial Belanda dijadikan instrumen yang ampuh untuk mengurangi dan
akhirnya mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia. Benda menyatakan, “Bilamana
bertanding dengan daya tarik pendidikan Barat dan persekutuan kultural Barat, maka
Islam hanyalah menjadi pihak yang kalah”. Pada 1890, C. Snouck Hurgronje (1857-1936)
mencatat bahwa jumlah pendidikan pesantren bertambah, akan tetapi dua puluh tahun
berikutnya disaksikan pendidikan Barat mulai meraih kemenangan dalam perlombaan
melawan saingannya yang Islam. Tujuan dari semua upaya ini sesuai dengan filsafat
kolonialisme Hurgronje adalah menjadikan Indonesia modern yang terbaratkan
(weternized Indonesia), bukan Indonesia modern yang Islam.36

3. Hegemoni Kebijakan Pendidikan Belanda Terhadap Pesantren


Hegemoni pendidikan Belanda dalam mengatur kebijakan pendidikan agama,
khususnya yang digalakkan oleh pesantren di Indonesia meminjam kacamata Gramsci,
berlandaskan pada nalar politis, ideologis dan kultural a la kolonialis untuk memaksakan
pengaruh atas kepemerintahannya kepada pribumi Indonesia.37 Sikap kolonialis Belanda
yang tidak apresiatif terhadap lembaga pendidikan Islam termasuk pesantren tercermin
dari para penulis Barat abad ke-19 dalam memberikan gambaran dan kesan tentang salah
satu lembaga pendidikan yang agak “aneh”, dan khusus menekankan adanya perbedaan
dengan sekolah-sekolah Barat. Inspeksi Pendidikan Kolonial Belanda bahkan memandang
pendidikan pesantren tidak begitu penting.38 Oleh karena itu, keadaan dan statistik
pesantren selalu tidak lengkap dalam laporan pendidikan. Bahkan sesudah 1927, bentuk
pendidikan semacam itu sama sekali tidak dimasukkan dalam laporan resmi pemerintah
kolonial Belanda.
Strategi Belanda dalam menghegemoni diskursus kebijakan pendidikan Islam ditilik
dari pemikiran Gramsci dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu: kekerasan dan
persuasif.39 Menurut M. Clark, pendekatan kekerasan adalah bentuk dominasi kelas atas
terhadap golongan kelas bawah dengan piranti aparatur negara, sementara pendekatan
persuasif merupakan bentuk hegemoni kelas atas terhadap kelas bawah dengan cara

34
Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren Sekolah dan Madrasah (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2001), 21.
35
I. Djumhur dan H. Danusuparta, Sejarah Pendidikan (Bandung: CV Ilmu, 1976), 115.
36
Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang,
terj. Daniel Dhakidae (Jakarta: T Dunia Pustaka Jaya, 1985), 48.
37
Faruk, Pengantar Studi Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 62.
38
Karel A. Steebrink, Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Terj. Karel
A. Steebrink dan Abdurrahman (Jakarta: LP3ES, 1994), 9.
39
Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, terj. Kamdani dan Imam Baihaqi (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), 19.

131
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 1, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20

penanaman ideologi untuk mengatur pikiran mereka dengan cara politis, perjuangan moral
dan intelektual untuk menyeragamkan pandangan suatu masyarakat.40
Gramsci mengembangkan konsep hegemoni dengan berpijak pada kepemimpinan
yang sifatnya ‘intelektual dan moral’. Kepemimpinan ini terjadi karena adanya
persetujuan yang bersifat sukarela dari kelas bawah atau masyarakat terhadap kelas atas
yang memimpin,41 terutama persetujuan dari kelompok-kelompok utama dalam suatu
masyarakat.42 Karena hegemoni dicapai melalui persetujuan kelompok-kelompok utama
dalam masyarakat, maka persetujuan tidak mengandung makna negatif, tetapi justru
sebaliknya. Suatu tindakan, aturan, atau kebijakan yang diambil berdasarkan persetujuan
berarti baik. Persetujuan kelas bawah ini terjadi karena berhasilnya kelas atas dalam
menanamkan ideologi kelompoknya. Internalisasi ideologis ini dilakukan dengan
membangun sistem dan lembaga-lembaga, seperti negara, commons sense, kebudayaan,
organisasi, pendidikan, dan seterusnya, yang dapat ‘menyemen’ atau memperkokoh
hegemoni tersebut.
Sebagai sebuah metodologi, proses hegemoni tersebut meniscayakan munculnya
counter-hegemony (hegemoni tandingan), sebagai sebuah sikap sekaligus bentuk
perlawanan dari kelas-kelas yang terkuasai.43 Kondisi ini bisa terjadi apabila “the ruling
class has failed in some major political undertaking for which, it has requested, or
forcibly extracted, the consent of the broad masses (war, for example)”....44 Jika keadaan
ini berlaku, Gramsci merumuskan kelas pemerintah: is no longer ‘leading’ but only
‘dominant’, exercising coercive force alone, this means precisely that the great masses
have become detached from their traditional ideologies, and no longer believe what they
used to believe previously...45
Hegemoni tandingan ini akan terus berjalan, apabila mendapat dukungan berupa
peran serta intelektual organik dan keberadaan civil society yang berdaya. Kemunculan
pesantren dalam wacana civil society dengan figur kyai sebagai intelektual organik dalam
sejarah pendidikan Islam era kolonialisme Belanda secara intensif, diasosiasikan sebagai
representasi counter-hegemony. Dengan demikian, dapat dikatakan, di satu sisi civil
society merupakan lokus berlangsungnya hegemoni dari kelas paling dominan. Di sisi
yang lain, civil society juga memuat sasaran perubahan yang dilakukan dengan cara
membuka lahan-lahan pemberdayaan dan pembebasan, sebagai bagian integral dalam
upaya meng-counter kelas penguasa.
Kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda dalam mendirikan sekolah-sekolah
yang diskriminatif sebagaimana telah diuraikan di atas, menimbulkan ketidakpuasan bagi
beberapa kalangan bumiputra, terutama dari kalangan pendidikan agama. Akibatnya
sebagaimana dicatat oleh Tjandrasasmita muncul gerakan pendidikan dan sosial. Sekolah-
sekolah yang berbasis keagamaan Islam muncul. Sekolah-sekolah itu didirikan oleh para
ulama, seperti Syekh Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdul Karim Amrullah, dan Haji
Abdullah Ahmad di Minangkabau. Sementara itu, di Jawa muncul juga sekolah-sekolah

40
M. Clark, Antonio Gramsci and The Revolution that Failed (New Haven: Yale University Press,
1977), 2.
41
Antonio Gramsci, Selection from the Note Hoare and Nowel Smith (ed.) (New York: Internasional
Publishers, 1976).
42
Robert Bocock, Pengantar Komprehensif untuk Memahami Hegemoni, Terj. Ikramullah Mahyuddin
(Yogyakarta: Jalasutra, 2007), 1.
43
S Hobden & R.W. Jones, “Marxist Theories of International Relations”, dalam S. Smith & J. Baylis
(eds). The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations (Oxford: Oxford
University Press, 2001), 211.
44
C. Boggs, Gramsci’s Marxism (London: Pluto Press, 1976), 41.
45
C. Boggs, Gramsci’s Marxism,42.

132
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 1, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20

berbasis keagamaan Islam yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan, pendiri
Muhammadiyah. KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU juga mengembangkan lembaga
pendidikan Islam berbentuk pesantren dan madrasah.46
Berdirinya lembaga pendidikan yang berlandaskan Islam, di satu sisi merupakan
upaya mengantisipasi perkembangan sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah
kolonial Belanda, dan di sisi lain sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan gerakan
politik bangsa Indonesia. Para tokoh pendidikan Islam menyadari betapa pentingnya
pendidikan (agama) untuk membina generasi muda. Mereka khawatir pengaruh ulama dan
pemikiran Islam akan lenyap dari generasi muda dengan berdirinya sekolah-sekolah
pemerintah kolonial Belanda yang secara resmi mengambil sikap netral terhadap agama.

E. KESIMPULAN
Kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap pendidikan Islam pada dasarnya
bersifat menekan, karena dikhawatirkan akan menimbulkan militansi umat Islam terpelajar
yang akan mengancam stabilitas pemerintahan kolonial Belanda. Bagi pemerintah Hindia
Belanda, pendidikan tidak hanya bersifat pedagogis-kultural, tetapi juga bersifat pedagogis-
politis. Eksistensi pesantren pada zaman kolonialisme Belanda, terkadang oleh kebijakan
khusus penyelenggaraan pendidikan yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda
yang memang dimaksudkan untuk dijadikan sebagai instrumen yang ampuh untuk
mengurangi dan akhirnya mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia. Hal ini terlihat pada
testimoni C. Snouck Hurgronje (1857-1936) bahwa pada 1890, jumlah pendidikan
pesantren bertambah, akan tetapi dua puluh tahun berikutnya disaksikan pendidikan Barat
mulai meraih kemenangan dalam perlombaan melawan saingannya yang Islam.
Hegemoni pendidikan Belanda dalam mengatur kebijakan pendidikan agama,
khususnya yang digalakkan oleh pesantren di Indonesia meminjam kacamata Gramsci,
berlandaskan pada nalar politis, ideologis dan kultural a la kolonialis untuk memaksakan
pengaruh atas kepemerintahannya kepada pribumi Indonesia.

46
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009),
268.

133
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 1, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Anzar. “Perkembangan Pesantren dan Madrasah di Indonesia dari Masa Kolonila
Sampai Orde Baru”. Paramita, Vol. 23. No. 2 (2013).
Arif, Mahmud, Pendidikan Islam Transformatif. Yogyakarta: LkiS, 2008.
Aziz, Abd, “Landasan Pikir Perdebatan Eksistensi Bahasa Arab Fusha dan ‘Ammiyah”, Al-
Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam, Vol. 2, No. 1 (2019).
Balliauw, Matteo et.al., "A variable neighborhood search algorithm to generate piano
fingerings for polyphonic sheet music," International Transactions in Operational
Research, Vol. 24. No. 3 (2017).
Bocock, Robert, Pengantar Komprehensif untuk Memahami Hegemoni, terj. Ikramullah
Mahyuddin. Yogyakarta: Jalasutra, 2007.
Boggs, C., Gramsci’s Marxism. London: Pluto Press. 1976.
Clark, M. Clark, Antonio Gramsci and The Revolution that Failed. New Haven: Yale
University Press. 1977.
Cuervo, Daniel Palhazi, Peter Goos, dan Kenneth Sörensen, "Optimal design of large-scale
screening experiments: a critical look at the coordinate-exchange algorithm,"
Statistics and Computing, Vol. 26. No. 1-2 (2016).
Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta:
LP3ES, 1981.
Faruk. Pengantar Studi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Gramsci, Antonio, Selection From The Note Hoare and Nowel Smith (ed.). New York:
Internasional Publishers, 1976.
Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Hasnida. “Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia pada Masa Pra Kolonialisme
dan Masa Kolonialisme (Belanda, Jepang, Sekutu), KORDINAT, Vol. XVI. No. 2
(2017).
Huda, Nur. Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Yogtakarta: Arruz
Media, 2007.
Irham. “Pesantren dan Perkembangan Politik Pendidikan Agama di Indonesia”. Ta’lim Jurnal
Pendidikan Agama Islam. Vol. 13. No. 1 (2015).
Janssens, Jochen. et.al., "Multi-objective microzone-based vehicle routing for courier
companies: From tactical to operational planning," European Journal of Operational
Research, Vol. 242. No. 1 (2015).
Kafrawi, Ridwan, Pembaruan Sistem Pondok Pesantren. Jakarta: Cemara, 1978.
Maftuh. Kebijakan Poltik Pendidikan Hindia Belanda dan Implikasinya Bagi Pendidikan
Islam. Tesis: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009.
Maksum. Madrasah Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Maulida, Ali. “Dinamika dan Peran Pondok Pesantren dalam Pendidikan Islam Sejak Era
Kolonialisme Hingga Masa Kini”. Edukasi Jurnal Pendidikan Islam. Vo. 05 (2016).
Mukodi. “Pesantren dan Pendidikan Politik DI Indonesia: Sebuah Reformulasi Kepemimpinan
Islam Futuristik”. At-Tahrir. Vol. 16. No. 2 (2016).
Nasution, Sangkot. “Strategi Pendidikan Belanda pada Masa Kolonial di Indonesia”. Ihya’ al-
‘Arabiyyah, Vol. VI, No. 2 (2016).
Saihu dan Taufik, “Perlindungan Hukum Bagi Guru”, Al-Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan
Budaya Islam, Vol. 2, No. 1 (2019).

134
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 1, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20

______, “Penanman Nilai-Nilai Pluralis melalui Model Pendidikan Transformative Learning


pada Pondok Pesantren Nurul Ikhlas Negara”, Kordinat, Vol XVIII, No. 1 (2019):
227-249.
Smith, S. & J. Baylis (eds). The Globalization of World Politics: An Introduction to
International Relations. Oxford: Oxford University Press, 2001.
Simon, Roger, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, terj. Kamdani dan Imam Baihaqi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Sörensen, Kenneth. "Metaheuristics—the metaphor exposed," International Transactions in
Operational Research, Vol. 22. No. 1 (2015).
Steenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurikulum
Modern. Jakarta: LP3ES. 1995.
Suminto, Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES, 1985.
Surakmad, Winamo, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan Teknik. Bandung:
Tarsito, 1982.
Sutrisno, Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Wali Songo Misi Pengislaman di Tanah Jawa.
Yogyakarta: GRAHA Pustaka. 2009.
Tamin AR, Zaini. “Pesantren dan Politik (Sinergi Pendidikan Pesantren dan Kepemimpian
dalam Pandangan KH. M. Hasyim Asy’ari)”. Jurnal Pendidikan Agama Islam. Vol. 3
No. 2. November 2015.
Untung, Moh. Slamet. “Kebijakan Kolonial Belanda Terhadap Pendidikan Pesantren”. Forum
Tarbiyah, Vol. 11, No. 1 (2013).
Wahid, Abdurahman. Pesantren Sebagai Subkultur, dalam Dawam Rardjo (Ed). Pesantren
dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES, 1974.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hudaya Karya Agung,
1985.
Ziemek, Manfred. Pesantren dalam Perubahan Sosial, terj. Butche B. Soendjojo. Jakarta:
P3M, 1986.

135

View publication stats

You might also like