Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 11

Strategi Bertahan Hidup Pedagang Kaki Lima (PKL)

Muhammad Hayat
Dosen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
Alamat email: hayato.hayat@gmail.com

Abstract
Indonesian development policy which tends to focus on the growth model has implied on the
high concentration of city development. Cities, in fact, finally become spaces where city dwellers
and city new comers tightly complete each other to grab the available capital. The qualified new
comers who possess good competence are able to survive in the city. Those people will be able to
enjoy the delicious economic cakes which are abundantly scattered. However, the incompetent new
comers may only taste the remnants of the economic cake. That is the most rational choice for the
incompetent. According to Max Weber, this phenomenon shows an instrumental social action. It
means that the measurement of profit and loss has been the most important part of their actions.
Indeed, most of the new comers do not have special competence. They only depend on their physical
strength in order to survive. In Karl Marx’s terminology, an individual who does not possess an
ability to control the production factors (for example: natural resources, human resources, capital)
will only depend on their body (physical strength) in order to survive. Therefore the informal
sectors become the most rational choice. Hence street vendors, construction workers, parking at-
tendants and other informal jobs have been the common views in the cities.
This paper is trying to portray one of the informal sectors in the cities namely street vendors.
Their survival strategy in the competitive city life is a point of view which is being explained and
focused in this paper.
Keywords: Survive strategy, Informal sector, solidarity

Pendahuluan berlomba-lomba untuk bersaing mem-


Model pembangunan Indonesia yang perebutkan kue ekonomi tersebut. Ke-
menitikberatkan pada pertumbuhan, tidakmerataan persebaran pembangunan
berimplikasi pada terkonsentrasinya menjadi pemandangan jamak dalam geliat
pembangunan di daerah perkotaan. Kota pembangunan. Kota pada akhirnya tidak
yang merupakan sebagian kecil dari luas punya kemampuan untuk menjalankan
wilayah Indonesia, pada akhirnya men- misinya sebagai penyelamat nilai human.
jadi arena perebutan kapital bagi masya- Apalagi jika kita menelisik pada kesejarah-
rakat. Tidak cuma masyarakat kota tetapi an kota di negara berkembang dan juga
juga masyarakat pinggir kota dan desa kota-kota di Indonesia, pada umumnya
64 SOSIOLOGI REFLEKTIF, Volume 6, Nomor 2, April 2012

memang tidak didesain sebagai kota per- kompetensi tertentu pada akhirnya akan
dagangan dan industri. melakukan apa saja untuk bisa memper-
Menurut J.H. De Goede kota-kota itu tahankan diri di kota. Celakanya hampir
tumbuh di sekitar benteng militer, pos sebagian besar pendatang cuma berbekal
perdagangan dan pusat-pusat kedudukan tubuh fisiknya saja. Muara akhirnya
badan politik/administrasi. Lebih-lebih pekerjaan-pekerjaan informal menjadi
pada awal jaman kolonial pembangunan alternatif yang paling rasional untuk di-
sektor industri dari perekonomian kota lakukan. Tubuh sebagai faktor produksi
tidak banyak mendapat perhatian1. Dalam dijadikan tumpuan untuk menyambung
kasus Indonesia model kota tipe kolonial hidup. Wajah sektor informal seperti tu-
Belanda adalah bersinggungan dengan kang semir sepatu, tukang becak, tukang
pusat-pusat kedudukan badan politik/ parkir, preman, pedagang kaki lima, dan
adminsitrasi. Sebelah Utara adalah ke- lain-lain menjadi pemandangan yang
diaman pengelola kota (Bupati), sebelah jamak kita temukan di sudut-sudut kota.
selatan pusat bisnis, sebelah timur pusat Wajah tersebut bersanding dengan geliat
pemerintahan, sementara sebelah barat massif pembangunan industri, rumah
tempat masyarakat tinggal (biasanya di- mewah, mall, maupun gedung pencakar
sebut dengan kauman). langit.
Prototipe kota yang seperti itu ber- Dalam kasus Indonesia, sektor infor-
implikasi pada ketidamampuannya untuk mal mengalami derajat kenaikan yang
menampung gelombang kedatangan ma- menajam selepas krisis ekonomi tahun
nusia yang mengadu peruntungan kapital. 1997. Hal ini diakibatkan ambruknya pe-
Daerah yang terletak di sebelah selatan rusahaan-perusahaan besar yang diiringi
dari pusat kota yang dijadikan pusat bisnis dengan PHK besar-besaran. Menurut
biasanya langsung dihubungkan dengan Mudrajad Kuncoro ada tiga sektor yang
jalan raya sehingga sebagai arena untuk mengalami dampak yang sangat parah.
berkumpul banyak orang dengan satu Pertama, perusahaan skala besar yang
kepentingan yang sama yaitu pencarian banyak bermain di pasar global untuk
sumber ekonomi menjadi tidak bisa berja- bermain valas, saham, obligasi, dan off-
lan dengan baik. Apalagi kota di Indonesia shore loans. Perbankan, pasar modal, dan
yang tumbuh pada jaman Belanda pada properti terbukti yang paling menderita
dasarnya tidak didesain untuk pusat per- akibat krisis saat itu. Kedua, sektor publik
dagangan, sehingga mengalami kegagap- yang banyak berutang luar negeri juga
an manakala terjadi serbuan masyarakat terkena dampak krisis. Ketiga, importer
pinggiran untuk mengais untung di kota. atau pelaku bisnis yang kandungan impor
Pendatang yang mempunyai keahli- bahan baku /penolongnya tinggi.2
an khusus mungkin bisa mendapatkan Masih menurut Mudrajad Kuncoro,
pekerjaan dan dapat mengeruk kapital krisis pada tahun 1997, Indonesia meng-
besar untuk menaikkan derajat status me- alami depresiasi rupiah sebesar 100%,
reka. Tetapi bagi pendatang yang cuma tingkat inflasi sebesar 20%, kredit macet
berbekal tubuh secara fisik tanpa dibekali perbankan sebesar 60%, suku bunga SBI

1 Schoorl,W.J, Modernisasi Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Sedang berkembang, (Jakarta:


Gramedia, 1988), hlm. 263.
2 Kuncoro, Mudrajat, Ekonomika Pembangunan, (Jakarta: Erlangga, 2010), hlm. 72.
Muhammad Hayat, Strategi Bertahan Hidup Pedagang Kaki Lima (PKL) 65

sebesar 50%.3 Pemandangan jamaknya marjinal yang memang diperuntukkan


adalah munculnya orang-orang miskin untuk hirarki terendah dalam piramida
baru di kota maupun desa. Pada akhir- masyarakat kota. Pekerjaan yang marjinal
nya pilihan pekerjaan informal men- (dalam hal ini pekerjaan informal lebih
jadi ruang baru untuk menyelamatkan spesifiknya pedagang kaki lima) maka
kehidupannya. ruang kota begitu kejam untuk selalu men-
Paper ini mencoba memfokuskan pada jadikan mereka sasaran utama penertiban
salah satu pekerja informal kota yaitu kota. Dalam pandangan penguasa kapital
pedagang kaki lima. Sebagai kelompok carut marut keindahan kota tidak bisa
marjinal kota, sangat menarik untuk me- dilepaskan dari wajah kotor dan buram
lihat mereka mempertahankan hidupnya dari kelompok informal ini. Secara sosiolo-
di kota dengan segala konsekuensinya. gis bisa dipahami, jika munculnya aturan
Sementara tujuan dari paper ini adalah yang berkaitan dengan perencanaan kota
mencoba menelisik lebih jauh bagaimana seringkali merupakan ruang berkelindan-
mereka berstrategi agar tetap bisa hidup nya penguasa kota dengan penguasa
dan mempertahankan diri di tengah per- kapital. No way out atau tidak ada jalan
saingan yang luar biasa keras di kota. keluar buat pekerja informal (pedagang
kaki lima) menjadikan merekapun harus
Strategi Pedagang Kaki Lima Mem- melakukan siasat sedemikian rupa agar
pertahankan Hidup tetap bisa bertahan dan dalam batas-batas
Kota di Indonesia yang akhirnya ber- tertentu bisa bersaing memperebutkan
tumbuh seiring dengan dinamika sosial kue ekonomi yang lebih besar lagi. Ber-
masyarakatnya, sejatinya masih sangat ikut beberapa strategi yang dilakukan
angkuh buat pendatang yang tidak punya oleh pedagang kaki lima dalam usahanya
kekuatan ekonomi, kemampuan pikir bertahan hidup.
maupun kompetensi lainnya. Kota yang Bangunan ekonomi dihadapi secara
tumbuh dalam ruang ekonomi hampir subsistence
dipastikan cuma menjadi ruang kontestasi Sebagai kelompok yang sejatinya tidak
bagi penguasa-penguasa kapital. Sering diinginkan oleh pengambil kebijakan kota,
kita dengar, sebuah lokasi di kota yang mereka harus tetap bisa menghidupi diri-
menurut rencana tata ruang dan wilayah nya sendiri. Menurut Didik J. Rachbini
(RT/RW) sejatinya bukan daerah bisnis dan Abdul Hamid hal tersebut disebab-
melainkan sebagai daerah resapan air, kan kebijakan pembangunan yang tidak
tetapi karena kemampuan penguasa kapi- diikuti oleh kesadaran untuk memberikan
tal mengendalikan penguasa kota men- peluang dan suasana yang mendukung
jadikan dengan sangat mudahnya lokasi mereka yang bergerak di sektor informal
tersebut di sulap menjadi wilayah bisnis. sehingga tidak memungkinkan bagi mere-
Akhirnya ruang kota cuma didesain bagi ka untuk berpartisipasi.4 Lebih jauh Didik
pemenuhan syahwat konsumsi belaka. dan Hamid menambahkan bahwa proses
Manakala ribuan migran beradu nasib informalisasi dari kegiatan ekonomi me-
di kota, yang bisa mereka lakukan cuma reka dapat dipandang sebagai upaya un-
mengais remah-remah kapital yang ter- tuk survive, paling tidak untuk memenuhi
cecer dalam bentuk pekerjaan-pekerjaan kebutuhan yang paling mendasar. Bagi

3 Ibid, hlm. 72-73.


4 Rachbini, J, Didik, dan, Hamid, Abdul, Ekonomi Informal Perkotaan, (Jakarta: LP3ES, 1994), hlm. 8.
66 SOSIOLOGI REFLEKTIF, Volume 6, Nomor 2, April 2012

pedagang kaki lima bisa melakukan aktif- yang mencari investasi yang menguntung-
itas bekerja setiap harinya adalah bagian kan dan juga bukan pengusaha seperti
dari cara mereka mempertahankan diri yang dikenal pada umumnya. Cakrawala
untuk bisa menyambung hidupnya. Me- mereka nampaknya terbatas pada pen-
nurut mereka itulah cara yang bisa di- gadaan kesempatan kerja dan meng-
lakukan sehingga mau tidak mau harus hasilkan pendapatan yang langsung bagi
dijalankannya. Walau mungkin dengan dirinya sendiri5.
pendapatan yang cuma bisa digunakan Dalam tafsir sosiologis, hal tersebut
untuk keperluan sehari-hari (subsistence). bisa dipahami dari kacamata piramida
Hal ini seperti yang dikatakan oleh Umar masyarakat kota. Piramida masyarakat
penjual pempek yang biasa mangkal kota menempatkan pedagang kaki lima
di daerah kost yang cukup padat yaitu berada pada struktur paling bawah. Oleh
Karangbenda: karena itu mereka harus bisa memper-
tahankan hidupnya sedemikian rupa. Hal
“Dengan menjadi penjual pempek setiap
ini dikarenakan mereka adalah kelompok
hari saya bisa mendapat penghasilan.”
masyarakat yang tidak punya kemampuan
(Karangbenda, Depok, Sleman, 21 Juni
akses apapun. Baik akses ekonomi, politik,
2011)
hukum maupun lainnya. Alat produksi
Pernyataan yang hampir senada dis- yang mereka miliki hanya sebatas tenaga
ampaikan oleh Bapak Sutikno, penjual sehingga dengan tenaga itulah mereka
jagung rebus, pisang rebus, ubi jalar rebus, mencoba mempertahankan diri. Mereka
dan kacang rebus yang biasa berdagang di sangat paham jika tenaga lama kelamaan
pojok jalan daerah Karangbenda: akan mengalami penyusutan kapasitas,
sehingga memaksimalkan pekerjaan
“Kalau menjadi buruh bangunan kan adalah cara yang paling rasioanl yang
belum tentu setiap hari bekerja. Dengan bisa mereka lakukan. Logika subsistence
jualan seperti ini setiap harinya pasti saya menjadi cara hidup yang terpaksa harus
dapat uang. Walau mungkin tidak sama se- dipilihnya dan merupakan cara untuk
tiap harinya. Tetapi saya kan tetap bekerja mempertahankan diri.
setiap harinya.” (Karangbenda, Depok,
Sleman, 22 Juni 2011) 1. Mengerucut menjadi kelompok de-
ngan kearifan-kearifan solidaritas
Dari pernyataan yang disampaikan mekanik
oleh dua pedagang kaki lima tersebut Solidaritas mekanik dalam termi-
terlihat jika mendapatkan penghasilan nologi Emile Durkheim dipahami sebagai
yang cuma cukup untuk kebutuhan yang sebuah entitas yang mengembangkan
paling mendasar yaitu untuk bisa sekedar ketahanan kelompok sosialnya dengan
menyambung hidup bagi mereka adalah bangunan kesadaran kolektif. Menurut
sudah cukup. Seperti yang dikatakan oleh Emile Durkheim dalam Kamanto Suna-
S.V. Sethuraman, mereka yang terlibat rto, kesadaran kolektif merupakan suatu
dalam sektor ini pada umumnya miskin, kesadaran bersama yang mencakup
berpendidikan sangat rendah, tidak keseluruhan kepercayaan dan perasaan
trampil dan kebanyakan para migran, kelompok, dan bersifat ekstern serta
jelaslah bahwa mereka bukanlah kapitalis memaksa. Sanksi terhadap pelanggaran

5 Manning, Chris, dan, Effendi, Noer, Tadjuddin, Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal
Kota, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996), hlm. 90.
Muhammad Hayat, Strategi Bertahan Hidup Pedagang Kaki Lima (PKL) 67

hukum di sini bersifat represif; barang Begitu pula sebaliknya. Ibu Karti juga me-
siapa melanggar solidaritas sosial akan lakukan hal yang sama untuk pedagang
dikenai hukuman pidana. Kesadaran gula merah yang berdagang di samping
bersama tersebut mempersatukan para Bu Karti. Bagi mereka saling membantu
warga masyarakat, dan hukuman ter- teman sesama pedagang adalah bagian
hadap pelanggar aturan bertujuan agar dari rutinitas mereka sehari-hari. Seperti
ketidakseimbangan yang diakibatkan yang disampaikan oleh ibu yang berasal
oleh kejahatan tersebut dapat dipulihkan dari Sukoharjo, Surakarta:
kembali.6 Kelompok sosial seperti ini me-
nempatkan kebersamaan, imunitas nilai “Ya beginilah bantu membantu diantara
kelompok menjadi bagian penting cara kami. Saya tadi baru menjualkan gula
mereka bersikap maupun bertindak. Oleh merah. Kebetulan penjualnya sedang ada
karena itu bisa dipahami jika social fact perlu. Dia ya percaya saja sama saya. Ya
atau fakta sosial menjadi komitmen utama memang kita saling percaya. Jadi tidak per-
mereka. Akhirnya yang dirasakan oleh nah ngapusi.” (Pasar Demangan, Yogya-
setiap anggota kelompok adalah perasaan karta, 22 Juni 2011)
senasib dan sepenanggungan. Kemampuan untuk menempatkan
Komitmen seperti ini bisa menjadi trust sebagai bagian penting pola interaksi
ranah tindak bagi mereka disebabkan di antara mereka menunjukkan bahwa
sebagai kelompok sosial dari masyarakat secara sosiologis mereka sudah bisa di-
kota yang sejatinya tidak diinginkan anggap sebagai sebuah kelompok yang
oleh komunitas mainstream kota, secara derajat interaksinya sudah saling mende-
sosiologis bisa dipahami jika mereka di- finisikan. Menurut Robert King Merton,
anggap liyan oleh penghuni utama kota. tiga kriteria objektif bagi suatu kelompok.
Mereka pun akhirnya me-liyan-kan diri Pertama, kelompok ditandai oleh sering
atau menjadi the others bagi kota. Sebagai terjadinya interaski. Kedua, pihak yang
the other memproduksi nilai-nilai bersama berinteraksi mendefinisikan diri mere-
yang harus dijaga erat adalah hal yang ka sebagai anggota. Ketiga, pihak yang
paling rasional untuk dilakukan. Dengan berinteraksi didefinisikan oleh orang lain
cara seperti itu mereka merasa bisa un- sebagi anggota kelompok.7 Mendefinisikan
tuk bertahan dalam kerasnya kehidupan berarti menempatkan individu dalam
kota. Bisa dipahami jika saling percaya posisi yang sama sehingga yang akhirnya
(trust) bagi mereka adalah barang yang diproduksi adalah bangunan subjektifitas.
sangat berharga. Sebagai contoh ada- Sebagai sama-sama PKL sejatinya mereka
lah apa yang dilakukan oleh Ibu Karti, ada dalam posisi yang sama yaitu sama-
penjual jamu gendong yang mangkal di sama tidak punya kuasa terhadap ruang
depan Pasar Demangan, Yogyakarta. Dia dimana mereka berdagang. Ruang sempit
bisa dengan santainya meninggalkan yang mereka dapatkan harus mereka gu-
barang dagangannya untuk waktu yang nakan sebaik mungkin untuk kepentingan
cukup lama dan dititipkan ke Ibu Nur mendapakan untung. Pedagang kaki lima
yang jualan kue basah. Dan manakala tersebut sama-sama mendapatkan ruang
ada orang yang membeli jamu. Ibu Nur yang sempit sehingga secara sosiologis me-
dengan suka rela akan menjualkannya. reka yang sebagian besar migran sehingga

6 Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: FEUI, 2000), hlm. 132.


7 Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: FEUI, 2000), hlm. 131.
68 SOSIOLOGI REFLEKTIF, Volume 6, Nomor 2, April 2012

cara beradaptasi dengan membangun so- biasanya adalah melakukan kegiatan


cial systemness adalah laku rasional yang ekonomi yang cukup produktif. Kegiatan
harus dijalani. Menurut Deden Rukmana arisan menjadi alternatif. Seperti yag di-
dalam www.jakartabutuhrevolusibudaya. katakan oleh Ibu Nur penjual kue basah
com tentang teori perkotaan bahwa dalam yang menjajakan dagangannya di Pasar
sekolah Chicago sosiologi perkotaan yang Demangan Jogjakarta:
dikembangkan pada awal tahun 1920-an
menjelaskan perkembangan perkotaan “Kita sesama pedagang mengadakan ari-
dikendalikan oleh migrasi yang meng- san. Sengaja dapatnya cukup besar. Karena
hasilkan pola-pola ekologis seperti invasi, untuk kebutuhan yang mendadak. 6 juta
survival, asimilasi, adaptasi dan kerja rupiah yang kami dapatkan dari arisan
sama. Pola-pola ekologis dalam bentuk tersebut.” (Pasar demangan, Yogyakarta,
adaptasi dengan lingkungan kota adalah 22 Juni 2011)
membangun social systemness (kesiste- Pernyataan hampir senada dikatakan
man sosial) dengan kelompok-kelompok oleh Ibu Karti. Penjual jamu gendong yang
sosial yang secara determinan punya nasib mempunyai empat anak ini berujar bahwa:
yang sama dengan mereka (dalam hal ini
sesama pedagang kaki lima). Social sys- “Saya itu kebutuhannya banyak. Me-
temness memungkinkan mereka punya nyekolahkan anak. Menengok orangtua di
ketergantungan sosial yang tinggi dengan kampung. Sumbangan-sumbangan dan lain
sesama PKL. Yang pada akhirnya adalah sebagainya. Saya ikut arisan yang dapatnya
memudahkan mereka membangun social 600 ribu dan 6 juta. Alhamdulillah lancar
capital (modal sosial). Praktek saling mem- mbayarnya.” (Pasar Demangan, Yogya-
bantu menjualkan adalah contoh nyata karta, 22 Juni 2011)
bahwa social capital sudah berjalan cukup Dalam tafsir sosiologis, kerja sama
sistematis di antara PKL. Sebagai sesama dalam determinasi ekonomi menjadi cara
migran memberi ruang adaptasi dalam mereka berkalkulasi dengan kehidupan
bangunan social systemness adalah logika yang memang semakin penuh risiko.
instrumental agar mereka bisa menjadi Mereka tidak lagi cuma bisa berharap
kelompok yang kuat. Sehingga manakala pada pemenuhan yang bersifat primer
ada perlawanan dari luar mereka bisa cu- dan sekunder. Ada kebutuhan yang le-
kup punya kekuatan untuk mengatasinya. bih yang harus dipenuhi. Anak mereka
Sementara pola ekologis dalam ben- yang mau tidak mau harus disekolahkan
tuk kerjasama yang dilakukan adalah berujung pada resiko kalkulasi ekono-
membangun jejaring dengan kelompok mi. Ketika berani berkalkulasi berarti
sosial yang punya determinasi ekonomi harus berani mengambil risiko. Dalam
yang sama. Determinasi ekonomi di- pemahaman Ulrich Beck, modernisasi
pahami sebagai kemampuan untuk bisa mengandung posisi risiko sosial. Jika kita
memberikan nilai tambah terhadap apa melihat dalam kasus Indonesia, terlihat
yang dilakukannya selama ini. Tentunya jelas jika modernisasi yang bertitik tolak
mereka tidak ingin cuma sebatas itu saja pada pertumbuhan ekonomi ternyata
kemampuan ekonominya. Karena ke- cuma mengakibatkan kemiskinan dan
butuhan hidup juga semakin besar seperti ketimpangan sosial. Tetapi seperti yang
kebutuhan untuk makan sehari-hari, biaya dikatakan oleh Ulrich Beck bahwa ada
sekolah anak, biaya sosial, dll. Karena itu posisi risiko sosial. Artinya orang miskin
kerjasama di antara pedagang kaki lima pun mendapatkan risiko dari modernisasi
Muhammad Hayat, Strategi Bertahan Hidup Pedagang Kaki Lima (PKL) 69

itu sendiri. Karena modernisasi merujuk cara rasional untuk menutupi kebutuhan
pada kalkulasi, maka pendidikan yang hidup yang semakin beragam.
tumbuh di Indonesiapun atmosfernya ada- 2. Mempertahankan setiap jengkal ru-
lah kalkulasi. Kalau mau masuk sekolah ang kota yang bernilai ekonomis
ya kalkulasi utamanya harus punya uang Pola ekologis dalam bentuk survival
cukup. Pedagang kaki lima jika ingin me- dari kelompok sosial yang berbasis sub-
nyekolahkan anaknya juga harus punya sistence tersebut, maka pedagang kaki lima
uang memadai. Dengan begitu pedagang akan memanfaatkan setiap jengkal ruang
kaki lima yang sudah susah hidupnya kota yang dianggap punya nilai ekonomis
juga harus berkalkulasi lebih dalam lagi untuk mempertahankan hidupnya. Dalam
jika menginginkan anaknya bisa sekolah. pemahaman Max Weber rasionalitas
Inilah yang menurut Ulrich Beck jika po- instrumental yang lebih dikedepankan.
sisi risiko sosial menghantam keseluruhan Menurut Max Weber dalam Agus Salim
struktur masyarakat. Tidak kaya, tidak bahwa rasionalitas instrumental merupa-
miskin. Karena itu bisa dipahami jika kan bentuk rasional yang paling tinggi
Bu Karti pada kondisi tertentu harus dengan unsur pertimbangan pilihan
mengambil risiko untuk berhutang guna yang rasional sehubungan dengan tujuan
memenuhi kebutuhan sekolah anaknya. tindakan itu dan alat yang dipilihnya8.
Seperti yang dikatakannya berikut ini: Bagi pedagang kaki lima, setiap jen-
“Saya menyekolahkan anak-anak saya. La gkal tanah yang mereka gunakan untuk
saya ini wong bodo. Ya tidak ingin anak- berdagang pada dasarnya adalah ruang
anaknya jadi bodo. Alhamdulillah yang ekonomi utama yang mereka miliki dan
pertama sudah lulus SMK. Sudah berkelu- harus mereka pertahankan mati-matian.
arga dan punya satu anak. Alhamdulillah Pedagang kaki lima sebagai kelompok
juga sudah punya rumah. Tinggalnya di masyarakat yang subsistence melihat
Jogja. Yang nomor dua setelah lulus SMK bahwa lapak tempat mereka berdagang
melanjutkan sekolah yang satu tahun dan adalah sarana untuk mewujudkan rasio-
sekarang memberi les-les. Dia tinggal di nalitas instrumentalnya sehingga apapun
Surabaya. Yang nomor tiga masih SMK. akan dilakukan untuk mempertahankan
Ini biayanya banyak. Baru saja saya diri. Jika perlu dengan cara (alat) konflik.
mengelurkan uang Rp 3 juta. Walaupun Tempat berdagang merupakan thing
kadang harus dengan hutang tapi Alham- yang sangat penting bagi pedagang kaki
dulillah bisa lancar melunasinya. Adanya lima karena sejengkal tanah tempat mere-
arisan menjadi cukup ringan. Yang paling ka berusaha adalah satu-satunya cara me-
kecil rencananya mau saya masukkan ke reka mempertahankan hidupnya di kota.
pesantren. Baru lulus SD sekarang. Ya Seringkali mereka menempati kawasan
memang abot tapi ya sekolah iku penting. yang diklaim oleh pemerintah kota me-
Aja bodo kaya ibune”.(Pasar Demangan, langgar peraturan. Sementara, karena pe-
Yogyakarta, 22 Juni 2011) dagang kaki lima yang berjualan di tempat
tersebut sudah menjadi sebuah komunitas.
Pernyataan dari ibu Karti menunjuk- Pengambil kebijakan kota tidak bisa serta
kan bahwa determinasi ekonomi dan kerja merta mengusir mereka. Sebagai komuni-
sama dalam konteks ekonomi dengan tas dengan keimunan nilai bersama tentu-
sesama pedagang kaki lima merupakan nya menjadi riskan jika perlakuan kasar

8 Salim, Agus, Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 40.
70 SOSIOLOGI REFLEKTIF, Volume 6, Nomor 2, April 2012

menjadi cara dominan. Tarik menarik ke- “Ada 22 orang dari kelompok kami yang
pentingan yang akhirnya harus berujung jualannya sama persis dengan saya.” (Ka-
pada konflik antara mereka seringkali rangbenda, Depok, Sleman, 22 Juni 2011)
menjadi pemandangan umum dalam pen-
anganan pedagang kaki lima. Ruang kota Hampir bisa dipastikan jika sebagian
yang dalam piramida masyarakat kota besar dari pedagang kaki lima itu berasal
seringkali dipahami hanya untuk masya- dari daerah yang sama. Yang lainnya ada-
rakat kota, berimplikasi sangat tidak lah, pedagang angkringan yang mengadu
menguntungkan bagi msyarakat migran. nasib di Jogjakarta sebagian besar berasal
Kedatangan mereka ke kota untuk men- dari Mbayat, Kalten, Jawa Tengah. Semen-
cari kerja karena hampir semua capital desa tara penjual siomay rata-rata dari daerah
tersedot ke kota (perampasan desa oleh seputar Magelang dan Wonosobo.
kota) berujung pada ternafikannya mereka Dalam tafsir sosiologis, kedekatan
dari riuh rendahnya semangat perayaan daerah asal berimplikasi pada mudahnya
ekonomi masyarakat kota. Sehingga bisa interaksi sosial yang dijalin. Dalam termi-
dipahami ketika masyarakat migran (pe- nologi Ferdinand Tonnies disebut sebagai
dagang kaki lima) sudah punya kekuatan Gemeinschaft of place, merupakan ikatan
sebagai sebuah kelompok sosial, seringkali yang berlandaskan kedekatan letak tempat
berseteru dengan penguasa kota adalah tinggal serta tempat bekerja yang medo-
cara yang harus mereka tempuh untuk rong orang untuk berhubungan secara
mempertahankan diri. intim satu dengan yang lain, dan men-
gacu pada kehidupan bersama di daerah
3. Membentuk entitas kecil dalam ko- pedesaan9. Kesamaan budaya menjadikan
munitas yang biasanya seragam ekspresi yang dimunculkan lebih cair.
Pola ekologis dalam bentuk invasi Hal ini disebabkan perasaan yang senasib
dari masyarakat yang ada di sekitar kota akan bermuara pada semakin kokohnya
adalah terbentuknya entitas-entitas kecil bangunan kelompok sosial.
yang biasanya berasal dari daerah yang Manakala bangunan kelompok sosial
sama. Persamaan geografis menjadi cara terproduksi secara wajar maka nilai-nilai
yang paling mudah bagi mereka untuk sosial yang munculpun akan diapresiasi
bisa lebih nyaman tinggal di daerah baru. sebagai bentuk pertahanan sosial mere-
Hal ini seperti yang dikatakan oleh Umar, ka. Maka akan sangat bisa dipahami jika
penjual pempek yang berasal dari Brebes. sore-sore sekitar jam 4, jika kita melintas
Menurutnya: di daerah Karangbendo akan terdengar
logat brebes yang kental dengan dialek
“kami ada sepuluh orang dari Brebes ber-
banyumasnya menyeruak di sela-sela
jualan pempek di Jogja.” (Karangbenda,
obrolan khas anak kost. Menurut Amran,
Depok, Sleman, 21 Juni 2011)
seorang penjual pempek dari brebes:
Hal yang hampir senada disampaikan
“rasanya nyaman saja bisa kumpul bareng
oleh Bapak Sutikno dari Bojonegoro. Beliau
orang dari satu daerah. Seperti ada di dae-
sehari-hari berjualan pisang rebus, jagung
rah asal.” (Karangbenda, Depok, Sleman,
rebus, ubi jalar rebus, dan kacang rebus.
21 Juni 2011)
Menurutnya:

9 Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta:FEUI, 2000), hlm. 133.


Muhammad Hayat, Strategi Bertahan Hidup Pedagang Kaki Lima (PKL) 71

Ikatan kolegial menjadi cara mereka Hal yang hampir senada juga di-
bisa mempertahankan ritme hidup yang katakan oleh Nur Rachim, penjual sio-
kadang memang harus diisi tidak cuma may yang berasal dari Kepil, Wonosobo.
dengan ketegangan mencari uang, tetapi Menurutnya:
memberi kesadaran bahwa komunitas “Satu bulan saya digaji 150 ribu rupiah.
yang dibangun berdasarkan kesamaan Dan setiap harinya saya mendapat 10%
geografis bisa menghidupkan ruang hu- dari total penjualan. 10% nya ya sekitar
manis. Kesamaan daerah asal juga me- 15 ribu. Tempat tinggal saya gratis.” (Ka-
rupakan cara bagaimana sinergi dalam rangbenda, Depok, Sleman, 21 Juni 2011)
wilayah ekonomi bisa dipikul bersama,
sehingga keseimbangan ekonomi akan Bapak Sutikno, penjual pisang rebus
selalu terjaga. Seperti yang disampaikan juga memberi gambaran yang hampir
senada. Menurutnya:
oleh Bapak Sutikno, penjual kacang rebus,
pisang rebus dan lainnya ini mengatakan: “Pokoknya saya harus menyetor sejumlah
uang kepada juragan saya. Pokoknya
“ Kadang saya juga perlu uang. Misalnya
bagaimana cari untung. Satu hari kalau
menengok anak dan istri di kampung. Saya laris bisa sampai dapat untung 50 ribu
merasa tidak malu untuk pinjam uang ke rupiah. Saya tinggalnya sudah ditanggung
teman. Karena mereka kan dari daerah sama juragan.” (Karangbenda, depok, Sle-
yang sama. Kita saling tolonglah.” (Ka- man, 22 Juni 2011)
rangbenda, Depok, Sleman, 22 Juni 2011)
Dalam tafsir sosiologis, logika Max
4. Ikut dengan orang yang punya modal Weber tentang rasionalitas instrumental
Banyak dari pedagang kaki lima yang kelihatan sekali tergambar dari apa yang
disampaikan oleh para pedagang kaki
barang dagangannya bukan merupakan
lima tersebut. Rasionalitas untung rugi
barangnya sendiri, tetapi menjualkan mi-
menjadi laku tindak utama mereka. Ka-
lik orang lain. Bagi mereka cara ini lebih rena itu mereka mengkalkulasi benar ter-
aman karena mereka tidak menanggung hadap setiap tindakannya. Walau mung-
risiko rugi. Seberapapun barang terjual. kin pendapatannya tidak terlalu besar
Tetap saja mereka mendapatkan ke- berkisar 600 ribu sampai 1.500.000 rupiah.
untungan. Seperti yang dikatakan Amran, Tetapi mereka tidak harus menanggung
pedagang pempek: tempat tinggal, yang sangat mungkin akan
cukup banyak menguras pendapatan me-
“Saya membawa pempek sebanyak 150
reka. Berlindung di balik kuasa juragan
buah. Satu pempek yang saya jual 1000 bagi mereka tidak masalah, yang penting
rupiah, saya mengambil untung 300 setiap harinya mereka bisa mengantongi
rupiah. Jadi kalau laku semua saya bisa keuntungan. Walau jika dikalkulasi bos
mendapatkan uang 45 ribu rupiah. Bagi atau juragan mereka mendapatkan ke-
saya yang tidak punya modal, ini mengena- untungan yang cukup besar. Bagi mereka
kkan. Selain itu saya juga tidak perlu kost, yang untuk mempertahankan hidupnya
karena kami semua oleh juragan dikontrak- cuma mengandalkan tubuh sebagai fak-
kan rumah. Kalau makan tetap dari uang tor produksi utama, pendapatan sebesar
kami.” (Karangbenda, Depok, Sleman, 21 itu sudah mencukupi untuk logika-logika
Juni 2011) subsistence.
72 SOSIOLOGI REFLEKTIF, Volume 6, Nomor 2, April 2012

5. M e n s i a s a t i k e b i j a k a n a p a r a t Seperti yang dikatakan oleh Bu Ratmi,


pemerintah penjual pecel yang berasal dari Jogjakarta.
Menjadi pedagang kaki lima berarti Menurutnya:
harus berani bertaruh dengan aparat pe-
merintah. Biasanya adalah SatPol PP (Satu- “Kita memang tidak boleh berdagang disini.
an Polisi Pamong Praja) sebagai penegak Kalau satpam pasar melihat, kita akan di-
ketertiban tata ruang kota. Dalam banyak suruh masuk lagi ke dalam. Memang kita
kesempatan, cara-cara yang dilakukan mendapat tempat untuk berjualan. Tetapi
SatPol PP kadang-kadang tidak memberi tempatnya di dalam. Dan ternyata tidak
ruang dialog kepada pedagang kaki lima. laku. Beda sekali jika kita berjualan di pintu
Dari konteks seperti inilah mereka men- masuk sini. Untungnya banyak. Jauh po-
coba melakukan siasat-siasat tertentu agar koknya perbandingannya. Pedagang yang
bisa terlepas dari jeratan SatPol PP. lain juga merasa seperti saya. Akhirnya
kita sering slintutan dengan satpam. Kalau
Jika kita berjalan-jalan ke sekitar Ben-
tidak ada satpam kita langsung saja ngepos
teng Vredenburgh di daerah Malioboro,
di pintu masuk sini.” (Pasar Beringharjo,
Jogjakarta, kita seringkali melihat pe-
Yogyakarta, 21 Juni 2011)
dagang kaki lima yang menggelar barang
dagangannya diatas sehelai kain yang Cara bersiasat yang dilakukan oleh
dalam sekali lipat seluruh barang dagang- pedagang kaki lima menunjukkan bahwa
an akan terlindungi oleh kain tersebut. Se- begitulah modalitas yang mereka punya.
hingga sangat mudah untuk ditenteng ke- Dalam konteks ini, modalitas yang sedang
mana-mana. Dari pengamatan itulah cara mereka mainkan adalah human capital.
yang paling mudah untuk menyelamatkan Human capital dalam terminologi An-
barang dagangan manakala ada SatPol PP thony Giddens dipahami sebagai aktor
yang akan melakukan penertiban. Ada aktif. Giddens beranggapan, bahwa para
juga pedagang kaki lima yang meng- agen mereproduksi kondisi-kondisi yang
gunakan besi panjang yang sisi-sisinya memungkinkan keberadaan aktivitas-
dibuat gantungan untuk menempatkan aktivitas itu10. Dalam kontek pedagang
barang dagangan. Hal semacam ini juga kaki lima, reproduksi yang dilakukan ada-
merupakan cara yang cukup ampuh untuk lah kemampuannya membentuk jejaring
secepatnya menyelamatkan barang jika di antara pedagang kaki lima sehingga
ada razia SatPol PP. menjadi tidak masalah walaupun harus
Ada juga pedagang yang menjajakan bermain petak umpet dengan petugas
dagangannya di pintu masuk pasar yang keamanan. Itulah konsekwensi logis dari
tidak diperbolehkan untuk berjualan. Di human capital yang cuma mengandalkan
Pasar Beringharjo Yogyakarta, berjualan tubuh fisik untuk mereproduksi struktur.
di pintu masuk sebetulnya tidak diper- Oleh karena itu mereproduksi kondisi juga
untukkan untuk berjualan. Tetapi jika kita dengan jalan kemampuannya bersiasat
masuk ke Pasar Beringharjo, sangat jamak terhadap arena dimana mereka melaku-
kita melihat banyaknya pedagang yang kan interaksi sosial untuk kepentingan
berjualan di tempat tersebut. Karena inilah interest mereka. Dalam tafsir sosiologis,
tempat yang sangat strategis menangguk sekecil apapun kemampuan mereka men-
untung. Sebab merupakan basis utama gakses ruang ekonomi, interest (kepenting-
berlalu-lalangnya pengunjung pasar. an) tetap menjadi bagian paling mendasar

10 Giddens, Anthony, Teori Strukturasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm 3.


Muhammad Hayat, Strategi Bertahan Hidup Pedagang Kaki Lima (PKL) 73

dari cara manusia berinteraksi dengan masyarakat kota. Pada saat yang bersa-
manusia lain. Dia sedang menjadi aktor maan mereka juga di-liyan-kan oleh ruang
yang dengan statusnya sebagai pedagang kuasa pemerintah kota. Justru ketidakber-
kaki lima akan mencoba memerankan per- sahabatan kota inilah yang mengakibat-
annya sebaik mungkin sehingga interest kan mereka bisa membangun kelompok
atau kepentingannya bisa berjalan sesuai sosial dengan nilai-nilai mereka. Dengan
dengan yang diharapkannya. begitu mereka bisa berstrategi dan ber-
siasat untuk bisa terus mempertahankan
diri dan dalam batas-batas tertentu punya
Penutup kemampuan mengambil remah-remah
Pedagang kaki lima sebagai kelompok ekonomi yang lebih besar lagi. Sukses-
marjinal dalam piramida masyarakat kota nya warung tegal menjadi bukti bahwa
mempunyai posisi tawar yang sangat tidak pedagang kaki lima tidak bisa dianggap
menguntungkan. Mereka seringkali tidak remeh sebagai entitas baru kota.
dianggap sebagai entitas masyarakat kota Sudah saatnya penguasa kota memberi
sehingga seringkali ada pembenaran-pem- ruang yang semakin luas bagi pedagang
benaran lewat produksi kebijakan yang kaki lima untuk berpartisipasi di ranah
muaranya adalah semakin menempatkan ekonomi. Bagaimanapun juga mem-
pedagang kaki lima dalam posisi yang banjirnya pedagang kaki lima ke kota
semakin tertekan. Spirit semacam itulah tidak bisa dipisahkan dari timpangnya
yang akhirnya memunculkan wajah pe- pembangunan kota desa sebagai imbas
dagang kaki lima sebagai kelompok so- dari terhisapnya faktor produksi desa ke
sial yang benar-benar liyan dalam budaya pusat-pusat kota.

Bacaan

Giddens, Anthony, 2010, Teori Strukturasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Kuncoro, Mudrajat, 2010, Ekonomika Pembangunan, Jakarta: Erlangga
Manning, Chris, dan, Effendi, Noer, Tadjuddin, 1996, Urbanisasi, Pengangguran, dan Sek-
torInformal Kota, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Rachbini, J, Didik, dan, Hamid, Abdul, 1994, Ekonomi Informal Perkotaan, Jakarta: LP3ES
Salim, Agus, 2002, Perubahan Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana
Schoorl, W, J, 1988, Modernisasi Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Sedang-
Berkembang, Jakarta: Gramedia
Sunarto, Kamanto, 2000, Pengantar Sosiologi, Jakarta: FEUI

Internet:
www.jakartabutuhrevolusibudaya.com/2008/04/03/pedagang-kakilima-dan-informal-
itas- perkotaan/, diakses pada tanggal 20 April 2011

You might also like