Professional Documents
Culture Documents
Untitled
Untitled
Nurcholis
Institut Agama Islam Bani Fattah Jombang, Jawa Timur
Email: cholis1986@gmail.com
Abstract
The books of fiqh discussed the concept of ih}da>d applies only to the wife
who was left to die by her husband with the same period `iddah death, i.e. four (4)
months in ten (10) days. It is inversely proportional to the concept of ih}da>d that
apply in Article 170 paragraph (2) the Compilation of Islamic Law (KHI) which
establishes the obligation of mourning for her husband who was left to die by his
wife with time according to propriety. Following the truth of the theory in coherence
(the truth on the basis of the consistency argument), then in Article 170 paragraph
(2) is provision to the same as subsection (1), i.e. ih}da>d both make law had to be
done, even though by the wife and husband. The differences concept ,the
researchers eventually focused on two aspects of the problem, namely: (1) What is
the reason of shar`iy used in the determination of the ih}da>d for husband in Article
170 paragraph (2) the Compilation of Islamic Law (KHI)?, (2) How perspective
maqa>s}id al-shari>’ah to the ih}da>d for husband in the Article 170 paragraph (2) the
Compilation of Islamic Law (KHI)?.
The researcher of this articel belongs to the normative research. While the
views from the data collection which has been examined, the research belongs to
library research (study library). Primary and Secondary data were analyzed by using
descriptive analytic method, that describes the whole theory about maqa>s}id al-
shari>`ah which used to analyze the datas of the husband who has ih}da>d. While the
approach in analyzing the data by using a statutory approach (statute approach).
There are two research results. The first, shar`iy used to determine of the
ih}da>d for husband in Article 170 paragraph (2) the Compilation of Islamic Law
(KHI) are the norms of Islamic law, both rule in us}uliyah or the rule of fiqhiyah. The
second, ih}da>d for the husband in Article 170 paragraph (2) the Compilation of
Islamic Law (KHI) in the perspective of maqa>s}id al-shari>`ah has been in
accordance with universal values of shara` is jalb al-mas}a>lih wa dar’ al-mafa>sid
(brought good and resist damage). The category of maqa>s}id, the provisions of this
article are included in the categories of al-d{aru>riyya>t, especially h{ifz} al-‘ird i.e. the
imposition of religious law in order to guarantee and maintain the honor.
Program Pascasarjana Studi Hukum Islam Universitas Darul „Ulum, 2010), 11.
7Mardalis, Metode Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), 28.
Sebagai salah satu bentuk Islam, seluruh ketentuan yang ada dalam KHI tentu
tidak terlepas dari dalil-dalil shar`iy, baik dari al-Qur`an, al-Sunnah, pendapat ulama
fikih, kaidah us}uliyah dan kaidah fikih. Kerap terjadi penolakan oleh masyarakat
dengan anggapan bahwa KHI hukum Negara dan bukannya sekaligus hukum Islam
yang harus diikuti dan dihayati, meski tidak sampai muncul ke permukaan, lebih
dikarenakan kurang lengkapnya pemahanan masyarakat terhadap apa yang dimaksud
dengan hukum Islam itu sendiri dan juga apa itu KHI dan bersumber dari manakah
KHI itu sendiri. Pada titik inilah dirasa mendesak untuk mengungkap alasan-alasan
shar`iy ketentuan KHI khususnya menyangkut pasal dan ayat-ayat yang dianggap
kurang populer dan cenderung berbeda sama sekali dengan fikih yang selama ini
dipegangi mayoritas umat Islam di Indonesia.
Dalam hal melacak dan menentukan alasan shar`i Pasal 170 ayat (2) KHI
tentang ih}da>d bagi suami perlu diketengahkan terlebih dahulu landasan perumusan
KHI itu sendiri. Sebab nuansa dan semangat dari perumusan pasal tersebut tidak
akan dapat pernah terlepas dari semangat perumusan KHI. Benar apa yang
disampaikan Abdurrahman, bahwa untuk menggali latar belakang dan landasan
perumusan KHI tidak bisa dijawab dengan singkat.9 KHI merupakan himpunan
pendapat ulama, intelektual dan tokoh masyarakat dengan membedah khazanah
keilmuan klasik (kitab-kitab kuning) dengan mempertimbangkan nuansa
perkembangan masyarakat Indonesia, demikian menurut Ahmad Rafiq. 10 Sehingga
penerapan konsepsi hukum Islam di Indonesia dilakukan dengan penyesuaian budaya
8Pasal
170 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
9Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 1995), 15.
10Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), 31.
11Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2003), 130-131.
Dengan redaksi yang sedikit berbeda, namun dengan maksud yang sama
dengan kaidah di atas, terdapat pula kaidah yang berbunyi:
.ُات الْ َع ْف ُو فَ ََل ُُْيظَُِ ِمنُِْ ِا َّ َما ََ ََِّم الل
ِ َاألَصل ِِف الْعا
ََ ُْ
Hukum asal dalam adat adalah pemaafan, tidak ada yang diharamkan kecuali
apa yang diharamkan Allah SWT.13
12Terjemah diambil dari A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih (Jakarta: Kencana, 2014), 130.
13Ibid.
Bertitik tolak dari penjelasan yang telah disampaikan di atas, kiranya dapat
dibenarkan secara shar`i>y pemberlakukan Pasal 170 ayat (2) KHI tentang ih}da>d
bagi suami yang ditinggal mati oleh istrinya. Betapapun tidak terdapat nas} dan juga
pendapat ulama` fikih yang secara spesifik menyebutkannya, namun sudah sesuai
dengan kaidah-kaidah hukum Islam.
Terkait ragam perbedaan sebuah produk fikih, dalam hal ini fikih klasik dengan
fikih Indonesia yang terkodifikasi dalam bentuk KHI, maka sikap yang harus diambil
adalah mengikuti produk fikih yang telah ditetapkan oleh pemimpin sebuah
pemerintahan. Sedangkan ragam pendapat yang berseberangan disikapi sebagai
sebuah warisan khazanah keilmuan yang mungkin satu ketika akan digunakan lagi.
Sebuah kaidah menyatakan:
َ َْم ا ْْلَاكِ ِم ِِف َم َسائِ ِل اْ ِل ْجتِ َه ِاَ ََ ِْفَ ُع ا ْْلَِل
.ف ُ َُك
Hukum yang diputuskan oleh hakim dalam masalah-masalah ijtihad
menghilangkan perbedaan pendapat.16
14Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 45
15Muh}ammad S{idqi> Ibn Ah}mad al-Burnu>, al-Waji>z (Riyad: Maktabab al-Tawbah), 255.
16Djazuli, Kaidah,..., 154.
Dua kaidah di atas, jika diterapkan dalam konteks Pasal 170 ayat (2) KHI
tentang ih}da>d bagi seorang suami mas}lahah yang dimaksud berupa pemeliharaan
atas harga diri seorang dari cemoohan dan gunjingan orang lain atau terhindar dari
fitnah yang menjadi tujuan adanya ih}da>d yang disebutkan dalam Pasal 170 ayat (1):
Isteri yang ditinggal mati oleh suaminya, wajib melaksanakan masa berkabung
selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga
timbulnya fitnah.18
Namun demikian, hal yang juga patut dicermati adalah adanya perbedaan
tentang masa berkabung antara istri dalam Pasal 170 ayat (1) dan masa berkabung
bagi suami dalam Pasal 170 ayat (2). Jika bagi istri ada batasan waktu berkabung
tertentu yakni 4 (empat) bulan 10 (sepuluh) hari, lain halnya bagi suami yang waktu
berkabungnya disesuaikan dengan nilai-nilai kepatutan. Perbedaan tentang waktu
ih}da>d antara suami dengan istri sebenarnya hal yang lumrah. Sebab dasar hukum
yang dipergunakan oleh keduanya memang berbeda halnya. Waktu ih}da>d bagi istri
memang sudah dijelaskan secara langsung oleh al-Qur‟an (mans}u>sah) dan bersifat
qat}i>y, sedangkan masa ih}da>d bagi suami merupakan produk ijtihad yang bersifat
z}anni>y yang lebih mendasarkan diri pada adat kebiasaan. Sudah tentu, ukuran lama
hari masa ih}da>d bagi suami antara satu komunitas masyarakat dengan lainnya akan
berbeda satu sama lain, sesuai dengan kondisinya masing-masing. Terlepas dari
perbedaan ini, hal pokok yang perlu dinyatakan adalah tindakan penentuan lama
waktu ih}da>d bagi suami berdasar atas adat adalah tindakan legal, sebagaimana
dalam sebuah kaidah berbunyi:
ٌالع َاَةُ ُُمَ َّك َمة
َ
19
Adat dapat dijadikan (pertimbangan dalam menetapkan) hukum.
17Ibid.,
147.
18Pasal170 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
19Djazuli, Kaidah,..., 9.
21Ma>lik ibn Anas, Al-Muwat}t}a’, Vol. 5, No. 3357 (Madinah: Muassasah Zayd, 2004), 1330.
22Pasal170 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
23Muh}ammad ibn Abi> Sahl al-Sarakhsi>y, Al-Mabsu>t} (Beirut: Da>r al-Fikr, 2000), 104.
24Wiza>rat al-Awqa>f wa al-Shu‟un al-Isla>mi>yah, al-Mawsu>`ah al-Fiqhi>yah al-Kuwaiti>yah
Oleh karena menjaga harga diri berhukum wajib bagi setiap muknin,
baik laki-laki dan perempuan, maka adanya ih}da>d bagi suami atas kematian
istrinya agar ia terhindar dari fitnah orang juga berhukum wajib. Jika kemudian
terdapat kegamangan dalam menjalankan ih}da>d bagi suami disebabkan
karena tidak adanya ketentuan khusus yang mengatur tentang hal itu dalam
kitab-kitab fikih klasik, maka ada baiknya jika kita mendasarkan diri pada
kandungan sebuah kaidah yang berbunyi:
. َّمةٌ ََلَ ِر ََاََِة الْ َو َسائِ ِل ََبَ ًُا ِِ
َ ُُمَِ َاَةُ الْ َم َقاصُ ُم َق
Menjaga (memelihara) tujuan, selamanya lebih didahulukan daripada
memelihara cara dalam mencapai tujuan.28
C. Tat}bi>q (penerapan)
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa adanya ih}da>d bagi suami
bertujuan untuk berkabung dan menghindarkan diri dari fitnah yang dapat
merusak harga diri. Dalam hukum Islam menjaga diri hukumnya adalah wajib.
Dalam sebuah hadis Nabi SAW riwayat H{idhyam al-Sa‟diy disebutkan:
26Ibid., 172.
27Ibid., 171.
28Ibid., 170.
29Ibid., 87.
Memberlakukan ketentuan Pasal 170 ayat (2) tentang ih}da>d bagi suami
sebagai upaya prediktif agar terhindar dari fitnah. Meskipun belum benar-benar
terjadi langkah semacam ini juga dibenarkan dalam wilayah ijtihad maqa>s}idi>. Salah
satu kaidah maqa>s}id al-shari>`ah yang berbunyi:
ِ َا َّ معتَب ِ م ْقصوٌَ َشَِا َكان ِ
ٌا َّ ُم َوافَ َقةٌ َ َْو ُُمَالََفة
ُ ت ْاألَفْ َع ً ْ ْ ُ َ ٌ َ ْ ُ ُ الن َّظُِْ َِّف َم َآات ْاألَفْ َع
33
30Ah}mad bin H{anbal, Musnad al-Ima>m Ah}mad bin Hanbal, No. 18966, Vol. 31 (t.tp: Mauqi‟
Dalam konteks keIndonesian, suami yang ditinggal mati oleh istrinya, secara
etika setempat, tentu tidak akan langsung menikah dengan wanitia lain. Rasa berduka
cita dan pertimbangan akan adanya stigma negatif baik dari kerabat, keluarga istri,
masyarakat mendorong suami untuk beberapa waktu menenangkan diri sekadar
berduka cita atau berih}da>d atas kematian istrinya. Di saat demikian inilah status
ih}da>d bagi suami merupakan h}a>jah. Lebih dari itu, oleh karena aturan tentang
ih}da>d bagi suami ternyata sudah menjadi aturan perundang-undangan, yakni
berupa KHI yang disahkan oleh Pemerintah RI melalui Inpres Nomor 1 Tahun
1991, maka terjadi peralihan status hukum ih}da>d. Jika pada mulanya ih}da>d bagi
suami masih berstatus h}a>jah yang masih terbuka pilihan untuk dilakukan atau
tidak, kini ih}da>d tersebut berubah menjadi d}aru>rah yang mau tidak harus
diterima dan dijalankan sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal ini didukung dengan
sebuah kaidah pendukung berbunyi:
َ َْم ا ْْلَاكِ ِم ِِف َم َسائِ ِل اْ ِل ْجتِ َه ِاَ ََ ِْفَ ُع ا ْْلَِل
.ف ُ َُك
Hukum yang diputuskan oleh hakim dalam masalah-masalah ijtihad
menghilangkan perbedaan pendapat.35
Terakhir, berangkat dari pembahasan yang telah diuraikan, ketentuan Pasal 170
ayat (2) jika dikaitkan dengan maqa>s}id al-shari>`ah, sebagaimana yang telah dibahas,
maka ketentuan Pasal 170 ayat (2) tentang ih}da>d bagi suami termasuk ke dalam
katagori al-d{aru>riyya>t, khususnya h{ifz} al-`ird yakni pembebanan shari>`at dalam
rangka menjamin dan memeliahara kehormatan. Dengan demikian Pasal 170 ayat (2)
tentang ih}da>d bagi suami menurut ijtihad maqa>s}idi> telah bersesuain dengan
nilai-nilai universal shara`, yakni jalb mas}a>lih wa dar` al-mafa>sid (mendatangkan
kebaikan dan menolak kerusakan).
Kesimpulan
Dari seluruh pembahasan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan hal-hal
sebagaimana berikut:
A. Alasan shar`iy yang digunakan dalam penetapan ih}da>d bagi suami dalam Pasal
170 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam adalah kaidah-kaidah hukum Islam, baik
kaidah us}u>liyah maupun kaidah fiqhiyah. Cara operasionalnya; Pertama, dengan
menempatkan masalah ih}da>d dalam ranah huqu>q al-`iba>d (mu`amalah).
Kedua, mengembangkan subjek hukum ih}da>d yang tidak hanya terbatas bagi
istri, namun juga pada suami melalui kaidah-kaidah as}l dan kaidah-kaidah
muamalah dan adat setelah terlebih dahulu menentukan alasan adanya ih}da>d,
yakni untuk berkabung dan menghindari fitnah.
Daftar Pustaka
Abbas, Hasjim. 2010. Metodologi Penelitian Hukum Islam (Materi Kuliah Studi Fiqh
Kontemporer). Jombang: Program Pascasarjana Studi Hukum Islam
Universitas Darul „Ulum.
Abdurrahman. 1995. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika
Pressindo.
Anas, Ma>lik ibn. 2004. Al-Muwat}t}a’. Madinah: Muassasah Zayd.
Arifin, Bustanul. 1996. Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Gema Insani
Press.
Arifin, Bustanul. 1996. Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Gema Insani
Press.
Bisri, Cik Hasan. 2003. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
Burnu> (al), Muh}ammad S{idqi> Ibn Ah}mad. t.th. al-Waji>z. Riyad: Maktabab
al-Tawbah.
Djazuli, Ahmad. 2014. Kaidah-Kaidah Fikih. Jakarta: Kencana.
H{anbal, Ah}mad bin. 1999. Musnad al-Ima>m Ah}mad ibn Hanbal. Vol. 31. t.tp:
Mauqi‟ al-Isla>m.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Mardalis. 2002. Metode Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.
Marzuki, Peter Mahmud. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.
Rofiq, Ahmad. 2003. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sarakhsi>y (al), Muh}ammad ibn Abi> Sahl. 2000. Al-Mabsu>t}. Beirut: Da>r al-
Fikr.
Sha>t}ibi>y (al), „Abi> „Ish}a>q. 2000. al-Muwa>faqa>t fi> ‘Us}u>l al-Shari>`ah.
Vol. 2. al-Qa>hirat: Da>r al-H{adi>th.
Soekanto, Soerjono. 2008. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Perss.
Wahid, Marzuki. 2014. Fiqh Indonesia. Jawa Barat: ISIF.
Wiza>rat al-Awqa>f wa al-Shu‟un al-Isla>mi>yah. 2006. al-Mawsu>`ah al-
Fiqhi>yah al-Kuwaiti>yah. Kuwait: Da>r al-Sala>sil.