Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 16

Moch.

Nurcholis
Institut Agama Islam Bani Fattah Jombang, Jawa Timur
Email: cholis1986@gmail.com

Abstract
The books of fiqh discussed the concept of ih}da>d applies only to the wife
who was left to die by her husband with the same period `iddah death, i.e. four (4)
months in ten (10) days. It is inversely proportional to the concept of ih}da>d that
apply in Article 170 paragraph (2) the Compilation of Islamic Law (KHI) which
establishes the obligation of mourning for her husband who was left to die by his
wife with time according to propriety. Following the truth of the theory in coherence
(the truth on the basis of the consistency argument), then in Article 170 paragraph
(2) is provision to the same as subsection (1), i.e. ih}da>d both make law had to be
done, even though by the wife and husband. The differences concept ,the
researchers eventually focused on two aspects of the problem, namely: (1) What is
the reason of shar`iy used in the determination of the ih}da>d for husband in Article
170 paragraph (2) the Compilation of Islamic Law (KHI)?, (2) How perspective
maqa>s}id al-shari>’ah to the ih}da>d for husband in the Article 170 paragraph (2) the
Compilation of Islamic Law (KHI)?.
The researcher of this articel belongs to the normative research. While the
views from the data collection which has been examined, the research belongs to
library research (study library). Primary and Secondary data were analyzed by using
descriptive analytic method, that describes the whole theory about maqa>s}id al-
shari>`ah which used to analyze the datas of the husband who has ih}da>d. While the
approach in analyzing the data by using a statutory approach (statute approach).
There are two research results. The first, shar`iy used to determine of the
ih}da>d for husband in Article 170 paragraph (2) the Compilation of Islamic Law
(KHI) are the norms of Islamic law, both rule in us}uliyah or the rule of fiqhiyah. The
second, ih}da>d for the husband in Article 170 paragraph (2) the Compilation of
Islamic Law (KHI) in the perspective of maqa>s}id al-shari>`ah has been in
accordance with universal values of shara` is jalb al-mas}a>lih wa dar’ al-mafa>sid
(brought good and resist damage). The category of maqa>s}id, the provisions of this
article are included in the categories of al-d{aru>riyya>t, especially h{ifz} al-‘ird i.e. the
imposition of religious law in order to guarantee and maintain the honor.

Keywords: Ih}da>d, Compilation of Islamic Law (KHI), Maqa>s}id al-Shari>`ah.


Pendahuluan
Dalam Kompilasi Hukum Islam, menurut para pegiat gender, rumusan
pasalnya mengandung bias gender, posisi wanita selalu dinomor-duakan. Hal ini
dikarenakan pengambilan rumusan KHI lebih didasarkan dari kitab-kitab fikih yang
disusun oleh para Ulama‟ yang terlahir dan dibesarkan dalam kondisi sosial dengan
pola kekeluargaan yang bersifat patrilinial.1 Bias gender sebagaimana dimaksud,
tampak seperti dalam ketentuan yang menyatakan bahwa wali perkawinan hanya sah
apabila dari pihak laki-laki. Begitu pula dalam hal pembagian waris, laki-laki
mendapatkan bagian 2 (dua) dan wanita 1 (satu). 2 Namun, hal yang cukup menarik
untuk diteliti lebih lanjut dari pasal-pasal dalam KHI, meskipun di satu sisi dikatakan
bahwa pasal-pasalnya merujuk kepada kitab-kitab fikih klasik dan oleh karenanya
dianggap mengandung bias gender, namun disisi lain, KHI juga mencantumkan
pasal-pasal yang kandungannya tidak terdapat sama sekali dalam kitab fikih,
setidaknya dalam kajian fikih empat madzhab, dan tampak lebih apresiatif terhadap
persamaan antara laki-laki dan perempuan. Salah satu dari pasal yang dimaksud
adalah ketentuan yang berkaitan dengan masa berkabung sebab kematian atau yang
dalam fikih dikenal dengan istilah ih}da>d. Oleh karena perumusan KHI bersumber
dari kitab-kitab fikih, maka tentu apa yang dimaksudkan dengan istilah masa
berkabung oleh KHI sama dengan konsep ih}da>d dalam fikih. Hal ini diperkuat
dengan indikasi adanya kesamaan dalam masa atau waktunya pelaksanaannya. Dalam
kitab-kitab fikih konsep tentang ih}da>d hanya berlaku untuk istri yang ditinggal mati
oleh suaminya dengan masa yang sama dengan masa ‘iddah kematian, yakni 4 (empat)
bulan 10 (sepuluh) hari.
Dalam masa ih}da>d tersebut terdapat beberapa larangan bagi seorang istri,
seperti larangan keluar rumah, bersolek, memakai wangi-wangian dan lain sebagainya.
Berbanding terbalik dengan ketentuan fikih tentang konsep ih}da>d, KHI pada Bab
XIX dengan judul Masa Berkabung dalam pasal 170 ayat (1) menyatakan bahwa
seorang istri ditinggal mati oleh suaminya, maka baginya wajib melakukan ih}da>d
selama masa ‘iddah kematian. Tujuan pelaksanaan ih}da>d sebagaimana disebutkan
dalam pasal tersebut adalah untuk ikut berbela sungkawa dan menjaga fitnah. Lebih
lanjut, dalam pasal yang sama ayat (2) ternyata KHI juga menetapkan adanya
kewajiban masa berkabung bagi suami yang ditinggal mati oleh istrinya dengan masa
menurut kepatutan.3 Mengikuti teori kebenaran koherensi (kebenaran atas dasar
konsistensi argumen), maka dalam Pasal 170 ayat (2) ini berketentuan sama dengan
ayat (1), yakni ih}da>d sama-sama berhukum harus dilakukan, baik oleh istri maupun
oleh suami. Dari paparan tentang ih}da>d bagi suami yang telah disebutkan, tampak
jelas adanya perbedaan rumusan hukum antara fikih dan KHI dan oleh karenanya

1Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia (Jawa Barat: ISIF, 2014), 119.


2Husein Muhammad, “Reformasi Hukum Keluarga Islam” dalam Pengantar Fiqh Indonesia
karya Marzuki Wahid (Jawa Barat: ISIF, 2014), xix.
3Pasal 170 ayat (1) dan ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.

Falasifa: Jurnal Studi Keislaman


Volume 09, Nomor 1, Maret 2018, p-ISSN: 2085-3815, e-ISSN: 2527-8711
menarik untuk dikaji lebih lanjut melalui sebuah karya penelitian ilmiah. Sisi
kemenarikan setidaknya dapat difokuskan pada dua hal. Pertama, mengingat bahwa
dalam kesejarahannya penyusunan KHI bersumber dari kitab-kitab fikih, lalu
mengapa ketentuan yang ada dalam KHI telah beranjak jauh meninggalkan fikih.
Alasan shar`iy apakah yang dipakai oleh KHI dalam menetapkan adanya masa ih}da>d
bagi suami? Kedua, mengingat bahwa Hukum Islam bersifat teleologis, dengan
makna bahwa hukum itu harus diwujudkan untuk menghasilkan suatu tujuan tertentu
yang oleh al-Shat}ibi> tujuan itu disebut sebagai maqa>s}id al-shari>’ah. Lalu
termasuk dalam bingkai maqa>s}id apakah ketentuan ih}da>d bagi suami yang
terdapat dalam Pasal 170 ayat (2) ini? Dua pertanyaan inilah yang akan dianalisis
kemudian ditaraik kesimpulan dalam artikel ini.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-
undangan (statute approach), yang disinkronkan dengan metode penggalian hukum
Islam sesuai dengan isu hukum yang akan diteliti.4 Jenis penelitian dilihat dari fokus
kajiannya, tergolong penelitian hukum normatif, yakni penelitian hukum yang
mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek.5 Sedangkan dari sisi operasional
pengumpulan data yang dikaji, tergolong library research (studi kepustakaan), yakni
menjadikan bahan pustaka sebagai bahan utama dalam proses penelitian.6 Mengingat
penelitian ini termasuk kategori penelitian hukum normatif yang berbentuk studi
kepustakaan (library research), maka paradigma penelitian tergolong kualitatif dengan
menggunakan alur berfikir dan pola kerja induktif-deduktif. Teknik pengumpulan
data yang terdapat pada penelitian ini menggunakan metode kepustakaan, yakni
pengumpulan data dengan bantuan bermacam-macam materi yang ada di
perpustakaan. Pengumpulan data diawali dengan mencari teori-teori yang
berhubungan dengan pembahasan yang diambil dari kepustakaan, kemudian ditelaah
dan dikaji, sehingga menjadi data yang dibutuhkan untuk penyelesaian penelitian.7
Teknik analisis data menggunakan content analysis (analisis isi) melalui metode
deskriptif analitik.

Alasan Shar`Iy tentang Suami Rerih}Da>D dalam KHI


Dalam ketentuan kitab-kitab fikih klasik, ih}da>d hanya dihukumi wajib bagi
istri yang ditinggal mati suaminya, istri yang tertalak menurut mayoritas para ulama‟
tidak wajib melaksanakan ih}da>d. Adapun masa melakukan ih}da>d adalah 4
(empat) bulan 10 (sepuluh) hari sebagaimana masa `iddah istri yang ditinggal mati oleh
suaminya. Selain ketentuan ini, dalam kitab fikih disebutkan adanya kesepakatan
ulama‟ yang menyatakan bahwa seorang suami jika ditinggal mati oleh istrinya, tidak
ada tuntutan apapun baginya untuk melasanakan ih}da>d. Bahkan tidak ditemukan
4Peter
Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), 194-196.
5Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Perss, 2008), 51.
6Hasjim Abbas, Metodologi Penelitian Hukum Islam: Materi Kuliah Studi Fiqh Kontemporer (Jombang:

Program Pascasarjana Studi Hukum Islam Universitas Darul „Ulum, 2010), 11.
7Mardalis, Metode Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), 28.

Falasifa; Volume 09, Nomor 1, Maret 2018 | 2


satupun pendapat ulama‟ fikih, baik yang dianggap pendapat kuat maupun lemah
yang menyatakan bahwa suami wajib melakukan ih}da>d jika ditinggal mati oleh
istrinya. Pada titik inilah Kompilasi Hukum Islam di Indonesia sama sekali berbeda
dengan ketentuan fikih di atas.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, untuk berikutnya disingkat KHI,
merupakan dokumen yustisia keperdataan Islam Indonesia, atau juga dapat disebut
sebagai fikih Indonesia mengatur soal perkawian beserta akibat-akibatnya dalam salah
satu dari tiga bukunya. Buku Perkawinan, Buku Kewarisan, dan Buku Perwakafan.
Karakteristik keIndonesiaan setidaknya terlihat dalam beberapa pasal yang isinya
justru beranjak jauh meninggalkan kitab-kitab fikih yang justru merupakan rujukan
penyusunan materinya. Diantara pasal yang bernuansa keIndonesiaan tersebut adalah
Pasal 170 ayat (2) KHI yang menjelasakan tentang suami berkabung atau berih}da>d.
Secara lengkap redaksi ayat (2) tersebut adalah:
Seorang suami yang ditinggal mati oleh isterinya, melakukan masa berkabung
menurut kepatutan.8

Sebagai salah satu bentuk Islam, seluruh ketentuan yang ada dalam KHI tentu
tidak terlepas dari dalil-dalil shar`iy, baik dari al-Qur`an, al-Sunnah, pendapat ulama
fikih, kaidah us}uliyah dan kaidah fikih. Kerap terjadi penolakan oleh masyarakat
dengan anggapan bahwa KHI hukum Negara dan bukannya sekaligus hukum Islam
yang harus diikuti dan dihayati, meski tidak sampai muncul ke permukaan, lebih
dikarenakan kurang lengkapnya pemahanan masyarakat terhadap apa yang dimaksud
dengan hukum Islam itu sendiri dan juga apa itu KHI dan bersumber dari manakah
KHI itu sendiri. Pada titik inilah dirasa mendesak untuk mengungkap alasan-alasan
shar`iy ketentuan KHI khususnya menyangkut pasal dan ayat-ayat yang dianggap
kurang populer dan cenderung berbeda sama sekali dengan fikih yang selama ini
dipegangi mayoritas umat Islam di Indonesia.
Dalam hal melacak dan menentukan alasan shar`i Pasal 170 ayat (2) KHI
tentang ih}da>d bagi suami perlu diketengahkan terlebih dahulu landasan perumusan
KHI itu sendiri. Sebab nuansa dan semangat dari perumusan pasal tersebut tidak
akan dapat pernah terlepas dari semangat perumusan KHI. Benar apa yang
disampaikan Abdurrahman, bahwa untuk menggali latar belakang dan landasan
perumusan KHI tidak bisa dijawab dengan singkat.9 KHI merupakan himpunan
pendapat ulama, intelektual dan tokoh masyarakat dengan membedah khazanah
keilmuan klasik (kitab-kitab kuning) dengan mempertimbangkan nuansa
perkembangan masyarakat Indonesia, demikian menurut Ahmad Rafiq. 10 Sehingga
penerapan konsepsi hukum Islam di Indonesia dilakukan dengan penyesuaian budaya

8Pasal
170 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
9Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 1995), 15.
10Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), 31.

Falasifa; Volume 09, Nomor 1, Maret 2018 | 3


bangsa, yang hasilnya terkadang berbeda sama sekali dengan produk-produk fikih
klasik atau hukum kelurga di negara-negara Islam yang lain.
Perumusan KHI itu didasarkan pada tiga landasan. Pertama, landasan historis
yang terkait dengan pelestarian hukum Islam dalam kehidupan masyarakat-bangsa.
KHI merupakan perwujudan nilai-nilai yang bersifat abstrak dan sakral, kemudian
dirinci dan disistemisasi melalui proses penalaran logis, disosialisasikan melalui
berbagai saluran, kemudian terinternalisasi dalam berbagai pranata sosial. Dalam
kehidupan masyarakat Islam Indonesia, KHI merupakan hukum yang hidup, melalui
suatu proses perjalanan yang panjang, sejak Islam datang dan berkembang serta
menjadi kekuatan politik. Kedua, landasan yuridis yang terkait dengan tuntutan
normatif. Ketentuan Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 mengisyaratkan
bahwa hukum Islam di bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan berlaku bagi
orang-orang yang beragama Islam. Dalam hukum perkawinan itu bertitik tolak dari
ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UUP 1/1974 yang menyatakan keabsahan perkawinan
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya. Ini berarti masyarakat
Islam juga menggunakan hukum Islam dalam bidang perkawinan. Demikian halnya
dengan pemeluk agama lain, keabsahan perkawinannya harus menggunakan
ketentuan agamanya. Oleh karena itu, untuk tercapainya kepastian dan perlindungan
hukum, maka dituntut adanya hukum Islam tertulis yang memiliki daya ikat. Ketiga,
landasan fungsional yang terkait dengan kebutuhan nyata dalam masyarakat yang
selalu mengalami perubahan dengan cepat. KHI, menurut para penyusunnya, adalah
fikih Indonesia. KHI disusun dengan memperhatikan kebutuhan dan tuntutan
hukum masyarakat Islam Indonesia. Fikih Indonesia itu mengarah kepada unifikasi
mazhab dalam hukum Islam. Dan dalam sistem hukum Islam Indonesia, KHI
merupakan bentuk terdekat dari kodifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan
nasional.11
Disamping berlandaskan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, KHI
juga memiliki landasan substansial berupa al-Qur‟an, al-Sunnah, kaidah-kaidah
us}uliyah, kaidah-kaidah fikih, serta pendapat ulama` fikih dalam kitab-kitab klasik
yang telah menjadi hukum hidup dan menyatu dalam masyarakat Islam sebelum
adanya KHI. Keberadaan perundang-undangan merupakan landasan yuridis.
Sedangkan khazanah keilmuan fikih, kaidah us}uliyah dan kaidah fikih merupakan
landasan historis sekaligus fungsional.
Pasal 170 ayat (2) KHI tentang suami berih}da>d ternyata tidak didapati nas}
baik yang bersumber dari al-Qur`an dan al-Sunnah, begitupula tidak didapati
pendapat ulama` fikih yang menyinggung secara spesifik tentang permasalahan ini.
Lantas, apakah dengan demikian Pasal 170 ayat (2) ini bertentangan dengan hukum
Islam, dan dengan sendirinya harus ditolak? Tentu tidak demikian halnya.
Sebagaimana hipotesa yang telah dikemukakan bahwa sepanjang permasalahan

11Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2003), 130-131.

Falasifa; Volume 09, Nomor 1, Maret 2018 | 4


bersifat z}anni>y, terbuka kemungkinan untuk mentafsirkannya dengan tetap
berpedoman pada kemaslahatan. Permasalahan ih}da>d sangat erat kaitannya dengan
masalah perkawinan yang oleh para ulama` dikategorikan sebagai akad atau ikatan
yang melibatkan antara pihak suami dan pihak istri. Adanya hubungan yang bersifat
horisontal ini mengindikasikan bahwa urusan perkawinan sebenarnya masuk dalam
urusan mu`amalah dunya>wiy>ah, meskipun juga tetap akan berdampak pada urusan
uk}ra>wi>yah. Namun yang hendak diungkapkan disini, perkawinan bukanlah
termasuk dalam katagori ibadah mahd}ah yang bersifat sakral, tetapi merupakan
mu`amalah yang bersifat profan. Oleh karenanya, sudah seyogyanya dipahami juga
bahwa permasalahan ih}da>d masuk dalam katagori mu`amalah yang menganut
sebuah kaidah berbunyi:
ِِِِْ ََْ َ‫اَةُ ِا َّ َ ْْ ََ ُُ َّ َّ ََلِْْلٌ ََل‬ ِ ِ
َ َ‫َصلُ ِِف الْ ُم َع َاملَة اْلَب‬
ْ ‫األ‬
Hukum asal dalam semua bentuk mu`amalah adalah boleh dilakukan, kecuali
ada dalil yang mengharamkannya.12

Dengan redaksi yang sedikit berbeda, namun dengan maksud yang sama
dengan kaidah di atas, terdapat pula kaidah yang berbunyi:
.ُ‫ات الْ َع ْف ُو فَ ََل ُُْيظَُِ ِمنُِْ ِا َّ َما ََ ََِّم الل‬
ِ َ‫األَصل ِِف الْعا‬
ََ ُْ
Hukum asal dalam adat adalah pemaafan, tidak ada yang diharamkan kecuali
apa yang diharamkan Allah SWT.13

Pengelompokan ih}da>d kedalam ranah mu`malah dan bukannya ibadah


mahd}ah juga terindikasi dari pendapat mazhab Ma>likiy yang menyatakan tentang
adanya kewajiban ih}da>d bagi wanita kafir dzimmi>y dengan argumen bahwa hakekat
ih}da>d ialah mencegah dari pandangan laki-laki lain. Tegasnya, mazhab Ma>likiy
tidak mensyaratkan harus beragama Islam bagi wanita yang menjalankan ih}da>d
sebagaimana tiga mazhab lain yang menyatakan ih}da>d adalah ibadah. Perbedaan
pendapat di kalangan mazhab fikih tentang kategori ih}da>d, apakah termasuk dalam
ranah ibadah ataukah mu`amalah inilah yang menunjukkan bahwa diskursus ih}da>d
merupakan ranah ijtihadiyah yang oleh karenanya bersifat dhanniy yang masih terbuka
untuk dikembangkan sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan sebelumnya.
Pengembangan hukum ih}da>d yang juga diberlakukan bagi suami sebagaimana
terdapat dalam Pasal 170 ayat (2), jika dilihat dari metode penemuan hukum
terkatagori dalam pola induktif melalui pengamatan perbuatan-perbuatan dan sikap
anggota masyarakat, disimpulkan kadar kesadaran hukum masyarakat itu. Selanjutnya,
dari hasil pengamatan ini dibuatlah peraturan-peraturan umum yang mengikat seluruh
masyarakat. Hipotesa ini didasarkan pada kenyataan bahwa ih}da>d bagi suami tidak
masuk dalam ranah ta`abbudi dan oleh karenanya masuk dalam ranah hukum sipil,

12Terjemah diambil dari A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih (Jakarta: Kencana, 2014), 130.
13Ibid.

Falasifa; Volume 09, Nomor 1, Maret 2018 | 5


yang menurut Bustanul Arifin, perumusan hukumnya melalui metode induktif. 14
Kalau melihat sisi kesejarahan adanya ketentuan ih}da>d, apa yang dikatakan oleh
Bustanul Arifin benar adanya. Sebab, meskipun Islam telah mengubah batasan waktu
ih}da>d, larangan-larangan selama ih}da>d dalam hal berhias sedikit banyak masih
mengikuti kebiasaan yang berlaku di masyarakat Arab pra Islam. Larangan-larangan
tersebut sangat bersifat lahiriah. Sementara pada hakikatnya, ih}da>d adalah untuk
berkabung yang tidak harus selalu diekspresikan dalam bentuk lahiriah, meskipun
tidak harus diartikan boleh memakai pakaian dan perhiasaan seenaknya sendiri diluar
kewajaran. Batasan-batasan etis tentang ekspresi berkabung berdasar atas kebiasaan
sekelompok masyarakat tertentu menjadi dasar utama dalam menjalankan ih}da>d.
Tentu kebiasaan-kebiasaan sebagai sebuah ekspresi akan sangat rentan berubah
dalam setiap generasi. Namun, sepanjang perubahan itu tidak menyangkut hukum-
hukum pokok hal itu diperbolehkan dalam Islam. Itulah mengapa KHI hanya
menyebut batasan waktu ih}da>d namun tidak menyebutkan larangan-larangan yang
harus ditinggalkan sewaktu menjalaninya. Terkait hal ini terdapat sebuah kaidah yang
berbunyi:
15 ِ
ْ‫ََ َكاِم َبِتَ غَُُِّّي ْاأل َْزَما‬
ْ ‫اََُنْ َك ُِ تَغَُّْ ُِ اْأل‬
Tidak dapat dipungkiri perubahan hukum disebabkan perubahan zaman.

Bertitik tolak dari penjelasan yang telah disampaikan di atas, kiranya dapat
dibenarkan secara shar`i>y pemberlakukan Pasal 170 ayat (2) KHI tentang ih}da>d
bagi suami yang ditinggal mati oleh istrinya. Betapapun tidak terdapat nas} dan juga
pendapat ulama` fikih yang secara spesifik menyebutkannya, namun sudah sesuai
dengan kaidah-kaidah hukum Islam.
Terkait ragam perbedaan sebuah produk fikih, dalam hal ini fikih klasik dengan
fikih Indonesia yang terkodifikasi dalam bentuk KHI, maka sikap yang harus diambil
adalah mengikuti produk fikih yang telah ditetapkan oleh pemimpin sebuah
pemerintahan. Sedangkan ragam pendapat yang berseberangan disikapi sebagai
sebuah warisan khazanah keilmuan yang mungkin satu ketika akan digunakan lagi.
Sebuah kaidah menyatakan:
َ َ‫ْم ا ْْلَاكِ ِم ِِف َم َسائِ ِل اْ ِل ْجتِ َه ِاَ ََ ِْفَ ُع ا ْْلَِل‬
.‫ف‬ ُ ‫َُك‬
Hukum yang diputuskan oleh hakim dalam masalah-masalah ijtihad
menghilangkan perbedaan pendapat.16

Ketaatan dalam mengambil dan mengikuti ketetapan pemerintahan didasarkan


atas pemahaman bahwa setiap kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin sama
sekali tidak boleh keluar dalam kerangka kemaslahatan umum. Sebuah kaidah fikih
menyatakan:

14Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 45
15Muh}ammad S{idqi> Ibn Ah}mad al-Burnu>, al-Waji>z (Riyad: Maktabab al-Tawbah), 255.
16Djazuli, Kaidah,..., 154.

Falasifa; Volume 09, Nomor 1, Maret 2018 | 6


.‫صلَ َح ِة‬ ٌ ‫الِ ََِْةِ َمنُ ْو‬
ْ ‫ط َبِالْ َم‬ َّ َ‫ف اْ ِل َماِم ََل‬
ُ ُِّ‫ص‬
َ َ‫ت‬
Kebijakan pemerintah atas kepentingan masyarakat harus selalu
menitikberatkan pada aspek maslahah.17

Dalam ungkapan yang lebih umum, disebutkan sebuah kaidah:

‫صلَ َح ِة‬ ِ ٍ ‫ُك ُّل مت‬


ْ ‫ف َبِالْ َم‬ َ َ‫صِِّف ََ ِن اْلغَ ُِّْي فَ َعلَِْْ َ ْْ ََت‬
َ َِّ ‫ص‬ َ َُ
Tiap-tiap orang yang memegang hak tasaruf orang lain, harus
mentasarufkannya berdasar mas}lahah.

Dua kaidah di atas, jika diterapkan dalam konteks Pasal 170 ayat (2) KHI
tentang ih}da>d bagi seorang suami mas}lahah yang dimaksud berupa pemeliharaan
atas harga diri seorang dari cemoohan dan gunjingan orang lain atau terhindar dari
fitnah yang menjadi tujuan adanya ih}da>d yang disebutkan dalam Pasal 170 ayat (1):
Isteri yang ditinggal mati oleh suaminya, wajib melaksanakan masa berkabung
selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga
timbulnya fitnah.18

Namun demikian, hal yang juga patut dicermati adalah adanya perbedaan
tentang masa berkabung antara istri dalam Pasal 170 ayat (1) dan masa berkabung
bagi suami dalam Pasal 170 ayat (2). Jika bagi istri ada batasan waktu berkabung
tertentu yakni 4 (empat) bulan 10 (sepuluh) hari, lain halnya bagi suami yang waktu
berkabungnya disesuaikan dengan nilai-nilai kepatutan. Perbedaan tentang waktu
ih}da>d antara suami dengan istri sebenarnya hal yang lumrah. Sebab dasar hukum
yang dipergunakan oleh keduanya memang berbeda halnya. Waktu ih}da>d bagi istri
memang sudah dijelaskan secara langsung oleh al-Qur‟an (mans}u>sah) dan bersifat
qat}i>y, sedangkan masa ih}da>d bagi suami merupakan produk ijtihad yang bersifat
z}anni>y yang lebih mendasarkan diri pada adat kebiasaan. Sudah tentu, ukuran lama
hari masa ih}da>d bagi suami antara satu komunitas masyarakat dengan lainnya akan
berbeda satu sama lain, sesuai dengan kondisinya masing-masing. Terlepas dari
perbedaan ini, hal pokok yang perlu dinyatakan adalah tindakan penentuan lama
waktu ih}da>d bagi suami berdasar atas adat adalah tindakan legal, sebagaimana
dalam sebuah kaidah berbunyi:
ٌ‫الع َاَةُ ُُمَ َّك َمة‬
َ
19
Adat dapat dijadikan (pertimbangan dalam menetapkan) hukum.

17Ibid.,
147.
18Pasal170 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
19Djazuli, Kaidah,..., 9.

Falasifa; Volume 09, Nomor 1, Maret 2018 | 7


Perspektif Maqa>s}id al-shari>’ah terhadap Suami Rerih}da>d dalam
KHI
Dalam ranah ijtihad berbasis maqa>s}id, penggunaan al-Qur`an dan al-Sunnah
sebagai sumber hukum Islam paling utama merupakan sebuah keniscayaan. Sebab
memang demikianlah yang dipesankan oleh Nabi kepada sahabat Mu`a>dz bin Jabal
sewaktu akan bepergian ke Negara Yaman melalui sebuah percakapan berbentuk
pertanyaan. Demikian halnya, pesan Nabi kepada umatnya agar berpegang pada al-
Qur`an dan al-Sunnah dengan jaminan tidak akan pernah tersesat selamanya jika
masih berpegang teguh pada keduanya.
Namun demikian, tidak seleruhnya kandungan dari al-Qur`an dan al-Sunnah
berbicara secara spesifik permasalahan-permasalahan yang akan dihadapi oleh umat.
Pada titik inilah diperlukan upaya-upaya penggalian hukum atas permasalahan-
permasalahan baru secara mendetail melalui sebuah proses berfikir yang dikenal
dengan istilah ijtihad. Seperangkat metode yang dibutuhkan untuk menjamin validitas
sebuah upaya ijtihad kasus-kasus parsial terumuskan dalam bentuk kajian us}u>l fiqh
yang mesti dikuasi oleh para mujtahid sesuai dengan ragam tingkatannya.
Berbeda dengan us}u>l fiqh yang banyak mendasarkan diri pada ketentuan teks
nas} al-Qur`an dan al-Sunnah, maqa>s}id al-shari>`ah penetapan hukumnya
berdasarkan penekanan pada nilai-nilai dan prinsip universal yang terkandung dalam
keduanya. Apabila ketentuan-ketentuan spesifik dan parsial di dalam al-Quran dan al-
Sunnah tidak sesuai dengan nilai dan prinsip universalitas maqa>s}id al-shari>`ah yang
disarikan dari al-Quran dan al-Sunnah, maka harus ditafsirkan sejalan dengan prinsip
dan nilai universal tersebut. Begitu juga halnya dengan ijma’, qiya>s, istih}sa>n,
mas}lah}ah{ mursalah, sadd al-dhara>’i yang tetap digunakan selama dianggap sesuai
dengan maqa>s}id al-shari>`ah yang lebih mendasarkan diri pada kemaslahatan
dibandingkan dengan teks. Nilai universalitas maqa>s}id al-shari>`ah dengan demikian
dianggap lebih menjangkau dan mewadahi kasus-kasus kontemporer yang akan gagal
diselesaikan jika seandainya hanya didekati dengan menggunakan teks.
Salah satu persoalan yang akan diselesaikan dengan menggunakan pendekatan
maqa>s}id al-shari>`ah adalah kandungan Pasal 170 ayat (2) tentang ih}da>d bagi
suami yang tidak terdapat dalam nas} al-Qur`an dan al-sunnah, begitupula dalam
kitab-kitab fikih. Sebagaimana yang telah disinggung terdapat 3 (tiga) langkah dalam
menggunakan maqa>s}id al-shari>`ah sebagai sebuah pendekatan dalam
menyelesaikan sebuah masalah. Pertama, tas}awwur yang berupaya mengenal hakikat
permasalahan dan konteksnya dalam realitas. Kedua, takyi>f yakni upaya menyusun
dalil-dalil yang dianggap sesuai dengan masalah baru itu. Ketiga, tat}bi>q adalah
tahapan terakhir penentuan hukum dengan mempertimbangkan kemaslahatan, akibat
hukum, dan tujuan-tujuan utama hukum itu sendiri. Berikut dicoba terapkan ketiga
langkah tersebut.

Falasifa; Volume 09, Nomor 1, Maret 2018 | 8


A. Tas}awwur (deskripsi masalah)
Ketentuan ih}da>d bagi suami mungkin hanya ada dalam fikih
Indonesia yang tertuang dalam bentuk KHI yang diberlakukan melalui
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991. Sebagaimana
yang telah disinggung sebelumnya bahwa perumusan KHI bukan semata-
mata didasarkan pada teks-teks normatif yang statis, sebaliknya KHI
merupakan produk dialektika antara teks-teks normatif dengan konteks yang
selalu dinamis. Perpaduan dua hal inilah yang kemudian menempatkan KHI
sebagai produk fikih Indonesia masa kini yang mempunyai karakteristik
berbeda dengan fikih klasik pada umumnya. Jika pada fikih klasik perempuan
diposisikan banyak berada di bawah posisi laki-laki, tidak demikian halnya
dalam KHI. Keduanya dianggap berimbang sesuai dengan porsi dan
fungsinya masing-masing. Demikian ini terlihat jelas dalam Pasal 79 KHI
tentang kedudukan suami istri:
1. Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
2. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat.
3. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. 20

Penyetaraan posisi laki-laki dan perempuan dalam KHI tentu tidak


terlepas dengan sistem keluarga yang ada di Indonesia yang secara umum
menganut sistem bilateral, yakni sistem kekerabatan yang angota-anggotanya
menarik garis keturunan baik melalui garis ayah maupun ibu. Konsekwensinya,
posisi antara laki-laki dan perempuan dianggap sama. Hal ini tentu berbeda
dengan kondisi masyarakat Arab, tempat lahirnya ilmu fikih klasik, yang pada
umumnya menganut sistem patrilineal dengan memposisikan laki-laki di pihak
yang dominan. Tidak mengherankan jika kemudian dalam KHI terdapat pasal-
pasal dimana posisi perempuan dinaikkan dibanding dengan posisinya ketika
berada dalam ketentuan fikih klasik. Semangat ini pula yang ditengarahi
melandasi rumusan tentang adanya ih}da>d bagi suami dalam Pasal 170 ayat
(2).
Masyarakat Indonesia yang terkenal dengan karakter masyarakat gemah
ripah loh jinawe (ramah, toleran), tingkat penghormatan dan kepedulian kepada
orang lain begitu tinggi, lebih-lebih pada sanak kerabat dan keluarga. Tradisi
gotong royong (saling membantu secara sukarela) seakan sudah menjadi nilai-nilai
etika yang tidak boleh ditinggalkan. Penghormatan yang begitu tinggi tidak
hanya terbatas ketika masih hidup, saat meninggalpun rasa itu tetap dipelihara.
Tradisi kirim do`a pada saat 7 hari, 40 hari, 100 hari, sampai 1 tahun atas
kematian seseorang merupakan hal yang dianggap wajib secara tradisi. Harta

20Pasal 79 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

Falasifa; Volume 09, Nomor 1, Maret 2018 | 9


warisan yang ditinggalkan oleh mayit, dalam banyak tradisi masyarakat tidak
boleh langsung dibagi, namun harus menunggu sampai selesainya seluruh
rangkaian peringatan hari kematian itu. Seorang suami yang ditinggal mati oleh
istrinya, betapapun menurut fikih boleh untuk langsung menikah dengan
perempuan lain, namun dalam tradisi masyarakat Indonesia dianggap sesuatu
yang tabu dan tidak pantas. Dalam konteks inilah pasal Pasal 170 ayat (2)
tentang ih}da>d bagi suami diletakkan sebagai sebuah kearifan lokal dan etika
luhur yang harus diikuti. Islam sendiri datang dengan misi utama untuk
menyempurnakan etika yang baik. Nabi SAW bersabda:
21 ِ ِ ْ‫َبعِث‬
ْ ‫ت ألََُتِّ َم َُ ْس َن ْاأل‬
‫َخ ََلق‬ ُ ُ
Saya diutus agar menyempurnakan akhlak yang baik. (H.R. Ma>lik: 3357).

B. Takyi>f (penyusunan dalil atas sebuah masalah)


Perlu dijelaskan bahwa tujuan adanya ih}da>d menurut KHI adalah
sebagai bentuk tanda berduka cita dan sekaligus menjaga adanya fitnah. Hal ini
sebagaimana terdapat dalam Pasal 170 ayat (1) yang berbunyi:
Isteri yang ditinggal mati oleh suaminya, wajib melaksanakan masa
berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan
sekaligus menjaga timbulnya fitnah.22

Rumusan pasal KHI di atas yang meletakkan berduka cita sebagai


prinsip dalam ih}da>d telah sesuai dengan pendapat ulama` fikih. Al-Saraksi>y,
salah satu pengikut mazhab H{anafi>y, menyebutkan bahwa h}ikmat al-
shari>ah adanya ih}da>d bagi istri yang ditinggal mati suaminya. Ia berkata:
ِ ‫ف ََلَ فَ ْو ِت نِ ْع َم ِة النِّ َك‬
‫اح‬ ُّ ‫َ ََّْ ا ْْلِ َُ َاَ ِظْ َه ُار الت َّأ‬
ِ ‫َس‬
23

Ih}da>d sesungguhnya ungkapan berduka cita atas hilangnya kenikmatan


nikah.

Duka cita atas hilangnya kenikmatan nikah, tentu bukan karena


hilangnya kenikmatan itu sendiri, namun yang lebih penting adalah kehilangan
pasangan yang menghasilkan kenikmatan nikah itu sendiri. Hal ini
sebagaimana pernyataan dalam kitab al-Mawsu>`ah al-Fiqhi>yah al-
Kuwaiti>yah yang berbunyi:
24 ِ ِ ِ ََ‫ف َلَ َم‬
‫ات َزْو ٍج َو ََّّف َب َع ْهُ َها‬ ُّ ‫ ِظْ َه ًارا لِلت َّأ‬، ‫ِف ََْن َها َزْو ُج َها‬
َ ِ ‫َس‬
ِ ِ
ٌ ‫َ ََّْ ا ْْل َُ َاَ َواج‬
َِّ ‫ب ََلَ َم ْن تُ ُو‬

21Ma>lik ibn Anas, Al-Muwat}t}a’, Vol. 5, No. 3357 (Madinah: Muassasah Zayd, 2004), 1330.
22Pasal170 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
23Muh}ammad ibn Abi> Sahl al-Sarakhsi>y, Al-Mabsu>t} (Beirut: Da>r al-Fikr, 2000), 104.
24Wiza>rat al-Awqa>f wa al-Shu‟un al-Isla>mi>yah, al-Mawsu>`ah al-Fiqhi>yah al-Kuwaiti>yah

(Kuwait: Da>r al-Sala>sil, 2006), 106.

Falasifa; Volume 09, Nomor 1, Maret 2018 | 10


Sesungguhnya ih}da>d berhukum wajib bagi wanita yang ditinggal mati
suaminya untuk menampakkan rasa berduka cita atas kematian suaminya
yang telah memenuhi janji-janji kepadanya.

Dari penjelasan di atas, sangat jelas diketahui bahwa h}ikmat al-shari>ah


adanya ih}da>d bagi istri adalah rasa berduka cita atas kematian pasangannya.
Jika dicermati lebih dalam, sebenarnya permasalan berduka atas kematian
seorang yang dicintai tidak hanya dirasakan oleh seorang istri, sebab seorang
suami pun jika ditinggal mati oleh istrinya juga akan mengalami kondisi
psikologis yang sama. Sehingga adanya ih}da>d harus dipandang sebagai
kriteria kepantasan bagi mereka yang baru ditimpa musibah, dan oleh
karenanya baik suami maupun istri mesti menjaga ukuran kepantasan tersebut
dengan tidak menunjukkan kepada publik perasaan senang dan bahagia atas
kematian pasangannya. Pada titik inilah, dengan berdasar pada ilha>q al-masa>il
bi nadha>iriha (menyerupakan hukum dengan kasus serupa), ih}da>d juga harus
diberlakukan atas suami dengan wajh shabh (titik kesamaan) berupa rasa duka
cita atas kematian pasangan. Analogi hukum semacam ini, sepanjang tidak
menyangkut permasalahan ibadah mah}d}ah dapat dibenarkan dalam hukum
Islam. Terdapat satu kaidah berbunyi:
.‫اس ِِف الْعِبَ َاَةِ َغ ُِّْي َم ْعقُ ْوِ َّ الْ َم ْع َن‬ ِ
َ َْ‫اَ ق‬
Tidak bisa digunakan analogi dalam ibadah yang tidak bisa dipahami
maksudnya.25

Kaidah tersebut jika dipahami dengan menggunakan logika sebaliknya


(mafhu>m mukha>lafah), maka mengasilkan sebuah pengertian tentang bolehnya
menganalogkan sebuah hukum sepanjang tidak berkaitan dengan masalah
ibadah yang bersifat ta`abbudi>y (doktrinasi murni). Kaidah ini dapat digunakan
untuk mendukung ketentuan pokok ih}da>d bagi suami sebab disamakan
dengan ketentuan pokok ih}da>d bagi istri sebagaimana dalam Pasal 170 dalam
KHI ayat (1) dan (2).
Masih dalam pasal dan ayat yang sama, tujuan lain adanya ih}da>d
adalah untuk menjaga diri dari adanya fitnah atau celaan dan cemoohan dari
orang lain yang dapat menjatuhkan harga diri. Baik suami atau istri yang
ditinggal mati oleh pasangannya kemudian tidak menunjukkan rasa bersedih,
maka pasti akan terjadi gunjingan dan cemoohan masyarakat yang dapat
menjatuhkan harga dirinya. Padahal menjaga harga diri merupakan salah satu
kewajiban dalam hukum Islam. Setiap upaya melestarikan sebuah kewajiban
berari pula berhukum wajib. Sebuah kaidah berbunyi:
.ُِ ‫اص‬
ِ ‫لِْلوسائِ ِل َََ َكام الْم َق‬
َ ُ ْ ََ
Hukum perantara sama dengan hukum tujuan.26

25Djazuli, Kaidah-Kaidah, ..., 116.

Falasifa; Volume 09, Nomor 1, Maret 2018 | 11


Dalam redaksi yang lain juga didapati sebuah kaidah dengan makna
sama yang berbunyi:
ِ ِ ِ ِ ‫ما اََتِ ُّم الْو ِاج‬
ٌ ‫ب ا َّ َبِ فَ ُه َو واَج‬
.‫ب‬ ُ َ َ َ
Apa yang tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengan adanya hal
tersebut, maka hal itu wajib pula hukumnya. 27

Oleh karena menjaga harga diri berhukum wajib bagi setiap muknin,
baik laki-laki dan perempuan, maka adanya ih}da>d bagi suami atas kematian
istrinya agar ia terhindar dari fitnah orang juga berhukum wajib. Jika kemudian
terdapat kegamangan dalam menjalankan ih}da>d bagi suami disebabkan
karena tidak adanya ketentuan khusus yang mengatur tentang hal itu dalam
kitab-kitab fikih klasik, maka ada baiknya jika kita mendasarkan diri pada
kandungan sebuah kaidah yang berbunyi:
.‫ َّمةٌ ََلَ ِر ََاََِة الْ َو َسائِ ِل ََبَ ًُا‬ ِِ
َ ُ‫ُمَِ َاَةُ الْ َم َقاصُ ُم َق‬
Menjaga (memelihara) tujuan, selamanya lebih didahulukan daripada
memelihara cara dalam mencapai tujuan.28

Fitnah oleh masyarakat yang dialamatkan pada seseorang yang tidak


berkabung atas kematian pasangannya merupakan hal yang sangat lumrah
terjadi. Sebab, perasaan bersedih karena kehilangan sesuatu yang dicintai
merupakan fitrah setiap umat manusia dalam setiap generasinya. Bahkan
binatang sekalipun yang kehilangan pasangannya akan mengalami rasa yang
serupa. Tidak berlebihan kiranya kalau kebiasaan yang demikian ini dianggap
sebagai kesepakatan dan kepastian dalam ukuran manusia normal. Pelanggaran
terhadap hal-hal yang sudah disepakati adanya oleh masyarakat, termasuk
didalamnya masalah berkabung, berarti pula pelanggaran terhadap agama Islam
yang juga disebut sebagai agama fitrah. Dalam satu kaidah disebutkan:
ِّ ِ‫ْي َب‬ ِ
.‫الن َّص‬ ْ ‫ْي َبِالْ ُع ِْف َكالت‬
ِ ْ ِْ‫ َّع‬ ُ ْ ِْ‫ َّع‬
ْ ‫الت‬
Ketentuan berdasarkan kebiasaan serupa dengan ketentuan berdasarkan
nas}.29

C. Tat}bi>q (penerapan)
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa adanya ih}da>d bagi suami
bertujuan untuk berkabung dan menghindarkan diri dari fitnah yang dapat
merusak harga diri. Dalam hukum Islam menjaga diri hukumnya adalah wajib.
Dalam sebuah hadis Nabi SAW riwayat H{idhyam al-Sa‟diy disebutkan:

26Ibid., 172.
27Ibid., 171.
28Ibid., 170.
29Ibid., 87.

Falasifa; Volume 09, Nomor 1, Maret 2018 | 12


‫ا َّ َََا ِ َّْ َِ َماءَ ُك ْم َوَ َْم َوالَ ُك ْم‬
َ ‫صل َّ الل َُِّ ََلَْْ ِِ َو َسل َّ َم ِِف ََ َّج ِة الْ َوََ ِاع فَ َق‬ ِ
َ َِّ ‫ي َن َُِّ َش ِه َُ َر ُسو َ َّ الل‬ ِّ ُِ ‫الس ْع‬
َّ ‫ََ ْن َِ ْذ ٍََي‬
30
‫اض ُك ْم ََلَْْ ُك ْم َََِ ٌام َك ُح َِْم ِة ََ ْوِم ُك ْم َه َذا َوَك ُح َِْم ِة َش ْهُِك ْم َه َذا َوَك ُح َِْم ِة َبَلَ ُِ ُك ْم َه َذا‬
َ َََِْ َ‫َو‬
Dari Hid}yam al-Sa‟diy, bahwasanya; ia turut menyaksikan Rasulullah SAW
pada saat haji wada‟, yang mana beliau bersabda: Sesungguhnya darah kalian,
harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian, sebagaimana
haramnya hari kalian ini, bulan kalian ini dan negeri kalian ini.

Hadis di atas secara jelas menyebutkan keharaman merusak harga diri


seseorang, baik yang dilakukan oleh orang lain maupun oleh diri sendiri. Setiap upaya
yang dapat menjatuhkan harga diri berarti telah melanggar ketentuan hadis tersebut,
baik berupa ucapan maupun perbuatan. Menjatuhkan harga diri berarti pula telah
berbuat d}arar (tindakan merugikan) pada diri sendiri yang dilarang oleh Islam.
Sebuah kaidah fikih menyebutkan:
‫ضََِر َواَ ِضَِ َار‬
َ َ‫ا‬
31
Tidak boleh berbuat kerugian pada diri sendiri dan kerugian pada orang lain.

Pemeliharaan terhadap diri sendiri termasuk dalam katagori kemaslahatan yang


dituntut oleh shara`. Upaya menjalankan ketentuan ih}da>d bagi suami agar terhindar
dari fitnah yang menjatuhkan harga diri juga termasuk dari tujuan syara` itu sendiri.
Dengan demikian, ketentuan ih}da>d tersebut beresuaian dengan salah satu kaidah
maqa>s}id al-shari>`ah yang berbunyi:
32
‫اج ِل َو ْاْل ِج ِل َم ًعا‬
ِ ‫ضع الش َِّائِ ِع ِ ََّّنَا هو لِمصالِ ِح الْعِب ِاَ َِّف الْع‬
َ َ َ َ َُ َ ُ ْ ‫َو‬
Penentuan hukum shari>`at adalah untuk kemaslahatan hamba, baik di dunia
dan di akhirat.

Memberlakukan ketentuan Pasal 170 ayat (2) tentang ih}da>d bagi suami
sebagai upaya prediktif agar terhindar dari fitnah. Meskipun belum benar-benar
terjadi langkah semacam ini juga dibenarkan dalam wilayah ijtihad maqa>s}idi>. Salah
satu kaidah maqa>s}id al-shari>`ah yang berbunyi:
ِ َ‫ا َّ معتَب ِ م ْقصوٌَ َشَِا َكان‬ ِ
ٌ‫ا َّ ُم َوافَ َقةٌ َ َْو ُُمَالََفة‬
ُ ‫ت ْاألَفْ َع‬ ً ْ ْ ُ َ ٌ َ ْ ُ ُ ‫الن َّظُِْ َِّف َم َآات ْاألَفْ َع‬
33

Menganalisis akibat akhir perbuatan hukum adalah diperintahkann oleh shara‟,


baik perbuatan tersebut sesuai atau bertentangan dengan tujuan shara‟.

Selain tiga langkah penerapan di atas, sebenarnya permasalahan ih}da>d bagi


suami dapat didekati melalui kaidah h}a>jah yang berbunyi:
‫اص ًة‬ ْ َ‫اجةُ تَ ْن ِزُ َّ َمنْ ِزلَ َة الض ُ َِّْوَرةِ ََ َّام ًة َكان‬
َّ ‫ت َ َْو َخ‬ َ َ‫اْل‬
34

30Ah}mad bin H{anbal, Musnad al-Ima>m Ah}mad bin Hanbal, No. 18966, Vol. 31 (t.tp: Mauqi‟

al-Isla>m, 1999), CD al-Maktabah al-Sha>milah al-Is}da>r al-Tha>niy, 301.


31Djazuli, Kaidah-Kaidah, ..., 116.
32Abi> Ish}a>q al-Sha>t}ibi>y, Al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Shari>’ah, (al-Qa>hirat: Da>r

al-H{adi>th, 2006), 262.


33Al-Sha>t}ibi>y, Al-Muwa>faqa>t, …, 431.
34Al-Burnu>, al-Waji>z, ..., 183.

Falasifa; Volume 09, Nomor 1, Maret 2018 | 13


H{{{a>jah menempati tempatnya d}aru>rah, baik h}a>jah yang bersifat umum
maupun yang bersifat khusus.

Dalam konteks keIndonesian, suami yang ditinggal mati oleh istrinya, secara
etika setempat, tentu tidak akan langsung menikah dengan wanitia lain. Rasa berduka
cita dan pertimbangan akan adanya stigma negatif baik dari kerabat, keluarga istri,
masyarakat mendorong suami untuk beberapa waktu menenangkan diri sekadar
berduka cita atau berih}da>d atas kematian istrinya. Di saat demikian inilah status
ih}da>d bagi suami merupakan h}a>jah. Lebih dari itu, oleh karena aturan tentang
ih}da>d bagi suami ternyata sudah menjadi aturan perundang-undangan, yakni
berupa KHI yang disahkan oleh Pemerintah RI melalui Inpres Nomor 1 Tahun
1991, maka terjadi peralihan status hukum ih}da>d. Jika pada mulanya ih}da>d bagi
suami masih berstatus h}a>jah yang masih terbuka pilihan untuk dilakukan atau
tidak, kini ih}da>d tersebut berubah menjadi d}aru>rah yang mau tidak harus
diterima dan dijalankan sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal ini didukung dengan
sebuah kaidah pendukung berbunyi:
َ َ‫ْم ا ْْلَاكِ ِم ِِف َم َسائِ ِل اْ ِل ْجتِ َه ِاَ ََ ِْفَ ُع ا ْْلَِل‬
.‫ف‬ ُ ‫َُك‬
Hukum yang diputuskan oleh hakim dalam masalah-masalah ijtihad
menghilangkan perbedaan pendapat.35

Terakhir, berangkat dari pembahasan yang telah diuraikan, ketentuan Pasal 170
ayat (2) jika dikaitkan dengan maqa>s}id al-shari>`ah, sebagaimana yang telah dibahas,
maka ketentuan Pasal 170 ayat (2) tentang ih}da>d bagi suami termasuk ke dalam
katagori al-d{aru>riyya>t, khususnya h{ifz} al-`ird yakni pembebanan shari>`at dalam
rangka menjamin dan memeliahara kehormatan. Dengan demikian Pasal 170 ayat (2)
tentang ih}da>d bagi suami menurut ijtihad maqa>s}idi> telah bersesuain dengan
nilai-nilai universal shara`, yakni jalb mas}a>lih wa dar` al-mafa>sid (mendatangkan
kebaikan dan menolak kerusakan).

Kesimpulan
Dari seluruh pembahasan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan hal-hal
sebagaimana berikut:
A. Alasan shar`iy yang digunakan dalam penetapan ih}da>d bagi suami dalam Pasal
170 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam adalah kaidah-kaidah hukum Islam, baik
kaidah us}u>liyah maupun kaidah fiqhiyah. Cara operasionalnya; Pertama, dengan
menempatkan masalah ih}da>d dalam ranah huqu>q al-`iba>d (mu`amalah).
Kedua, mengembangkan subjek hukum ih}da>d yang tidak hanya terbatas bagi
istri, namun juga pada suami melalui kaidah-kaidah as}l dan kaidah-kaidah
muamalah dan adat setelah terlebih dahulu menentukan alasan adanya ih}da>d,
yakni untuk berkabung dan menghindari fitnah.

35Djazuli, Kaidah,..., 154.

Falasifa; Volume 09, Nomor 1, Maret 2018 | 14


B. Ih}da>d bagi suami dalam Pasal 170 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam dalam
perspektif maqa>s}id al-shari>`ah telah bersesuain dengan nilai-nilai universal
shara` yakni jalb al-mas}a>lih wa dar’ al-mafa>sid (mendatangkan kebaikan dan
menolak kerusakan). Secara katagorisasi maqa>s}id, ketentuan pasal ini termasuk
ke dalam katagori al-d{aru>riyya>t, khususnya h{ifz} al-`ird yakni pembebanan
syariat dalam rangka menjamin dan memelihara kehormatan.

Daftar Pustaka
Abbas, Hasjim. 2010. Metodologi Penelitian Hukum Islam (Materi Kuliah Studi Fiqh
Kontemporer). Jombang: Program Pascasarjana Studi Hukum Islam
Universitas Darul „Ulum.
Abdurrahman. 1995. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika
Pressindo.
Anas, Ma>lik ibn. 2004. Al-Muwat}t}a’. Madinah: Muassasah Zayd.
Arifin, Bustanul. 1996. Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Gema Insani
Press.
Arifin, Bustanul. 1996. Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Gema Insani
Press.
Bisri, Cik Hasan. 2003. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
Burnu> (al), Muh}ammad S{idqi> Ibn Ah}mad. t.th. al-Waji>z. Riyad: Maktabab
al-Tawbah.
Djazuli, Ahmad. 2014. Kaidah-Kaidah Fikih. Jakarta: Kencana.
H{anbal, Ah}mad bin. 1999. Musnad al-Ima>m Ah}mad ibn Hanbal. Vol. 31. t.tp:
Mauqi‟ al-Isla>m.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Mardalis. 2002. Metode Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.
Marzuki, Peter Mahmud. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.
Rofiq, Ahmad. 2003. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sarakhsi>y (al), Muh}ammad ibn Abi> Sahl. 2000. Al-Mabsu>t}. Beirut: Da>r al-
Fikr.
Sha>t}ibi>y (al), „Abi> „Ish}a>q. 2000. al-Muwa>faqa>t fi> ‘Us}u>l al-Shari>`ah.
Vol. 2. al-Qa>hirat: Da>r al-H{adi>th.
Soekanto, Soerjono. 2008. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Perss.
Wahid, Marzuki. 2014. Fiqh Indonesia. Jawa Barat: ISIF.
Wiza>rat al-Awqa>f wa al-Shu‟un al-Isla>mi>yah. 2006. al-Mawsu>`ah al-
Fiqhi>yah al-Kuwaiti>yah. Kuwait: Da>r al-Sala>sil.

Falasifa; Volume 09, Nomor 1, Maret 2018 | 15

You might also like