Professional Documents
Culture Documents
Klasifikasi Ilmu-Ilmu Keislaman Abad Pertengahan
Klasifikasi Ilmu-Ilmu Keislaman Abad Pertengahan
KEISLAMAN
DAN PERKEMBANGANNYA DALAM ILMU
PERPUSTAKAAN
Pendahuluan
Sejarah perkembangan peradaban Islam dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu: periode klasik (650 -1250 M), periode pertengahan
(1250-1800
M) dan periode modern (1800-sekarang)1. Pada masa klasik diskursus
keilmuan Islam mencapai tingkat yang tinggi sehingga kemudian dapat
disumbangkan pada berkembangnya ilmu pengetahuan di masa-masa
sesudahnya. Yang demikian ini disebabkan oleh adanya beberapa
hal, yang di antaranya motivasi internal Islam sendiri,2 untuk
menuntut ilmu dengan tanpa batasan waktu. Beberapa wahyu (nash)
penting mengenai ilmu telah menjadikan alasan bagi dukungan dan
respon Islam terhadap ilmu pengetahuan dan peradaban. Oleh sebab
itu, tak heran jika tradisi keilmuan dalam Islam lantas begitu subur dan
semarak pada masa-masa berikutnya3.
Ilmu adalah merupakan salah satu sifat utama yang dimiliki oleh
Allah SWT dan satu-satunya kata yang dapat digunakan untuk
menerangkan pengetahuan Allah. Dilihat dalam perspektif lebih luas,
supremasi ilmu-
14 14
Mutty Hariyati dan Isna Fistiyanti, Sejarah Volume 9 No. 1, Juni
Pustakaloka,
ilmu agama menimbulkan dampak yang amat substansial bukan
hanya
1
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Jilid II: [...], Cet. 6. (Jakarta:
Penerbit
Universitas Indonesia, 1986), 23.
2
Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam: The Classical Period, A.D. 700-
1300 (Savage, Md: Rowman & Littlefield, 1990), 96–97.
3
Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Jilid II, 23.
14 14
Mutty Hariyati dan Isna Fistiyanti, Sejarah Volume 9 No. 1, Juni
Pustakaloka,
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan Islam, tetapi juga peradaban
Islam secara keseluruhan.4 Secara keilmuan perkembangan semacam
ini menciptakan dikotomisasi dan antagonasi berbagai cabang ilmu.
Padahal berbagai cabang ilmu atau bentuk-bentuk pengetahuan
dipandang dari perspektif Islam pada akhirnya adalah satu5. Dalam
Islam tidak dikenal pemisahan essensial antara “ilmu agama”dan
“ilmu profan”. Berbagai ilmu dan perspektif intelektual yang
dikembangkan dalam Islam memang mempunyai suatu hierarki yang
pada akhirnya bermuara pada pengetahuan tentang “Yang
Mahatunggal”substansi dari segenap ilmu6. Inilah alasan kenapa para
ilmuwan Muslim berusaha mengintegrasikan ilmu-ilmu yang semua
dikembangkan peradaban lain ke dalam skema hierarki ilmu
pengetahuan menurut Islam. Dan ini pulalah kenapa para ulama,
pemikir, filsuf dan ilmuwan Muslim sejak dari al-Kindi, al-Farabi,
Ibnu Sina, sampai al-Ghazali, Nashr al-Din al-thusi dan Mulla Shandra
sangat peduli dengan klasifikasi ilmu-ilmu7.
Kompleksitas ilmu-ilmu yang berkembang dalam peradaban
Islam; bahwa ilmu-ilmu agama hanya salah satu bagian dari berbagai
cabang ilmu secara keseluruhan. Kemajuan peradaban Islam berkaitan
dengan kemajuan seluruh aspek atau bidang-bidang keilmuan. Dengan
adanya pembagian ilmu dari berbagai ilmuwan Muslim, tak jarang
terjadi disharmoni antara berbagai bidang ilmu keislaman. Untuk
mengatasi disharmoni ini berbagai pemikir dan cendikia Muslim
memunculkan klasifikasi ilmu-ilmu lengkap dengan hierarkinya.
Bahwa belum banyak informasi yang detail mengenai pola
klasifikasi yang dipakai oleh perpustakaan-perpustakaan di masa
klasik. Hanya saja, sistem klasifikasi yang dipakai pada saat itu
kemungkinan besar adalah sesuai dengan pola klasifikasi yang
dicantumkan oleh buku-buku bibliografi atau buku-buku kurikulum
ilmu yang ditulis oleh para ulama. Karenanya, di sini kita akan sedikit
berkenalan dengan model pemetaan ilmu pengetahuan atau klasifikasi
bahan pustaka yang terhadap pada buku-buku tersebut. Kita akan
ambil buku buku Al-Fihrist karya Al-Nadîm sebagai salah satu
karya
bibliografi.
4
Azyumardi Azra and Idris Thaha, Pendidikan Islam: Tradisi Dan Modernisasi Di Tengah
Tantangan
Milenium III, Cet. 1. (Jakarta: Kencana kerja sama dengan UIN Jakarta Press, 2012), x.
15 15
Mutty Hariyati dan Isna Fistiyanti, Sejarah Volume 9 No. 1, Juni
Pustakaloka,
5
Seyyed Hossein Nasr, “Science and Civilization in Islam” (New York: New American
Library,
1968).
6
Azra and Thaha, Pendidikan Islam, x.
7
Nasr, “Science and Civilization in Islam,” 13–14.
15 15
Mutty Hariyati dan Isna Fistiyanti, Sejarah Volume 9 No. 1, Juni
Pustakaloka,
Perkembangan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini tidaklah
berlangsung secara mendadak, melainkan terjadi secara bertahap,
evolutif. Karena untuk memahami sejarah perkembangan ilmu juga
harus melakukan pembagian atau klasifikasi secara periodik. Zaman
abad pertengahan ditandai dengan tampilnya para teolog di lapangan
ilmu pengetahuan. Para ilmuwan pada masa itu hampir semua adalah
teolog, sehingga aktivitas ilmiah terkait dengan aktivitas keagamaan.
Semboyan yang berlaku bagi ilmu pada masa ini adalah anchilla
theologia atau abdi agama. Namun demikian harus diakui bahwa
banyak juga temuan dalam bidang ilmu yang terjadi pada masa ini.
Ilmu-ilmu keislaman seperti tafsir, hadis, fiqih, usul fiqih,
dan teologi sudah berkembang sejak masa-masa awal Islam hingga
sekarang. Khusus dalam bidang teologi, Muktazilah dianggap sebagai
pembawa pemikiran-pemikiran rasional. Menurut Harun Nasution,
pemikiran rasional berkembang pada zaman Islam klasik (650-1250
M). Pemikiran ini dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana
tingginya kedudukan akal seperti yang terdapat dalam al-Qur`an dan
hadis. Persepsi ini bertemu dengan persepsi yang sama dari Yunani
melalui filsafat dan sains Yunani yang berada di kota-kota pusat
peradaban Yunani di Dunia Islam Zaman Klasik, seperti Alexandria
(Mesir), Jundisyapur (Irak), Antakia (Syiria), dan Bactra (Persia)8.
W. Montgomery Watt menambahkan lebih rinci bahwa ketika
Irak, Syiria, dan Mesir diduduki oleh orang Arab pada abad ketujuh,
ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani dikembangkan di berbagai pusat
belajar. Terdapat sebuah sekolah terkenal di Alexandria, Mesir, tetapi
kemudian dipindahkan pertama kali ke Syiria, dan kemudian –pada
sekitar tahun 900
M– ke Baghdad. Kolese Kristen Nestorian di Jundisyapur, pusat
belajar yang paling penting, melahirkan dokter-dokter istana Hārūn al-
Rashīd dan penggantinya sepanjang sekitar seratus tahun. Akibat
kontak semacam ini, para khalifah dan para pemimpin kaum Muslim
lainnya menyadari apa yang harus dipelajari dari ilmu pengetahuan
Yunani. Mereka mengagendakan agar menerjemahkan sejumlah buku
penting dapat diterjemahkan. Beberapa terjemahan sudah mulai
dikerjakan pada abad kedelapan. Penerjemahan secara serius baru
dimulai pada masa pemerintahan al- Ma’mūn (813-833 M). Dia
mendirikan Bayt al-Hikmah, sebuah lembaga
15 15
Mutty Hariyati dan Isna Fistiyanti, Sejarah Volume 9 No. 1, Juni
Pustakaloka,
khusus penerjemahan. Sejak saat itu dan seterusnya, terdapat
banjir
8
Harun Nasution, “Islam Rasional: Gagasan Dan Pemikiran” (Mizan : Bandung, n.d.).
15 15
Mutty Hariyati dan Isna Fistiyanti, Sejarah Volume 9 No. 1, Juni
Pustakaloka,
penerjemahan besar-besaran. Penerjemahan terus berlangsung
sepanjang
abad kesembilan dan sebagian besar abad kesepuluh.
Salah satu yang paling menonjol pada masa ini adalah
perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam yang sangat
pesat. Puncak perkembangan pada masa Khalifah Al Mansur, namun
puncaknya terjadi pada masa ar Rasyid dan al Makmun. Keduanya
mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam
dengan mensponsori penerjemahan buku-buku berisi khazanah ilmu
pengetahuan dari peradaban seperti Yunani, Persia, dan India.
Penerjemahan dan pengembangan ilmu dipusatkan di Baitul
Hikmah/Khizanatul Hikmah).
Tabel 1. Tokoh-tokoh dan hasil
karangannya
No Nama Tahun Bidang Ilmu Karya
1 Ibnu Sina (980-1037) Filosofi, al-Qanun fi al-Tibb
Kedokteran
2 Ibnu Rusyd 520H Filsafat Fasl al-Maqal fi Ma
Bain al-Hikmat Wa
Asy- Syari'at
Kedokteran Kulliyaat fi at -Tib
Fikih Bidayat al-Mujtahid
3 Al-Ghazali (1058-1111) Teologi al-Munqidh min adh
Dhalal; al-Iqtishad fi al-
I'tiqad ; al-Risalah al-
Qudsiyyah
Tasawuf Ihya Ulumuddin; Kimiya
as-Sa'adah
Filsafat Maqasid al-Falasifah
4 Al-Kindi (801-873) geometri De Gradibus, Aqrabadin
astronomi Treatise on Diseases
Caused by Phlegm
5 Ibnu Haitham (965-1039) matematika Risalat al-a'ada'a ;
Al- Shamel fi al-Tibb
falak Kitab al-Munazir
6 ar-Razi (865-925) Filsafat, kimia at-Tibb al-Mansyur
Man la Yahduruhu al-
Tabib
15 15
Mutty Hariyati dan Isna Fistiyanti, Sejarah Volume 9 No. 1, Juni
Pustakaloka,
Kedokteran Al-Ahwi ; Shukuk ala
alinusor
15 15
Mutty Hariyati dan Isna Fistiyanti, Sejarah Volume 9 No. 1, Juni
Pustakaloka,
15 15
Mutty Hariyati dan Isna Fistiyanti, Sejarah Volume 9 No. 1, Juni
Pustakaloka,
Islam, karena dalam filsafat Islam pemikiran Ibnu Rusyd sudah
berakhir, namun dalam filsafat Kristen dia baru lahir. Pengaruhnya di
Eropa sangat besar, bukan hanya terhadap para skolastik, tetapi juga
pada sebagian besar pemikir-pemikir bebas non-profesional, yang
menentang keabadian dan disebut Averroists. Di Kalangan filosof
profesional, para pengagumnya pertama-tama adalah dari kalangan
Franciscan dan di Universitas Paris. Rasionalisme Ibn Rushd inilah
yang mengilhami orang Barat pada abad pertengahan dan mulai
membangun kembali peradaban mereka yang sudah terpuruk berabad-
abad lamanya yang terwujud dengan lahirnya zaman pencerahan atau
renaisans.
Klasifikasi Ilmu-Ilmu
Keislaman
Sebagaimana dikemukakan Nash, berbagai cabang ilmu dan
bentuk- bentuk ilmu pengetahuan dipandang dari perspektif Islam pada
akhirnya adalah satu, yakni tidak dikenal pemisahan esensial antara
ilmu agama dengan ilmu umum. Berbagai disiplin ilmu dan perspektif
intelektual yang dikembangkan dalam Islam memang mengandung
hierarki tertentu, tetapi hierarki itu pada akhirnya bermuara pada
pengetahuan tentang Hakikat Yang Maha Tunggal yang merupakan
substansi dari segenap ilmu. Inilah yang menjadi alasan kenapa para
pemikir dan ilmuwan muslim berusaha mengintegrasikan ilmu-ilmu
yang dikembangkan peradaban-peradaban non-Muslim ke dalam
hierarki ilmu pengetahuan menurut Islam. Dan ini pulalah alasan
kenapa para ulama, pemikir, filosof, dan ilmuwan Muslim sejak dari
Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, sampai Al-Ghazali, Nashir Al- Din Al-
Thusi, dan Mulla Shadra sangat peduli dengan klasifikasi ilmu- ilmu9.
Klasifikasi ilmu yang diberikan para ahli bukan bertujuan
untuk medikotomi ilmu yang pada perkembangannya lebih banyak
menimbulkan mudhorot daripada kemaslahatan dalam kehidupan
manusia itu sendiri. Klasifikasi ilmu sendiri dimaksud untuk lebih
mempermudah manusia dalam mempelajari ilmu agar manusia
memiliki keahlian tertentu dalam disiplin keilmuan, tapi tidak
menafikkan ilmu lain sehingga terjadi
keseimbangan dalam dirinya yang membawa
kemanfaatan.
15 15
Mutty Hariyati dan Isna Fistiyanti, Sejarah Volume 9 No. 1, Juni
Pustakaloka,
9
Rahimah, “Ilmu Pengetahuan Dan Peradaban Dalam Islam: Suatu Tinjauan terhadap
karya Seyyed Hossein Nasr” (Medan: Fakultas Sastra USU, 2005), hlm.3, file:///C:/Users/
Library%20Pasca/AppData/Roaming/Zotero/Zotero/Profiles/f6wbcd04.default/zotero/
storage/33F2642Z/arab-rahimah7.pdf.
15 15
Mutty Hariyati dan Isna Fistiyanti, Sejarah Volume 9 No. 1, Juni
Pustakaloka,
Dasar epistimologis yang digunakan cukup kuat. Selama
ini, telah muncul pandangan dan keyakinan bahwa Islam menuntun
agar dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dilakukan secara utuh,
yaitu bersumberkan pada ayat-ayat qauliyah (Al-Qur’an dan Al-Hadits)
dan sekaligus ayat-ayat kauniyah (hasil observasi, eksperimen, dan
penalaran logis). Kedua sumber itu harus dipandang sama pentingnya.
Melalui al-Qur’an, umat manusia disuruh untuk memperhatikan
bagaimana unta diciptakan, bumi dihamparkan, langit ditinggikan, dan
bagaimana gunung ditegakkan. Perintah seperti ini adalah sangat erat
terkait dengan pengembangan sains yang bermanfaat untuk
membangun sebuah peradaban10.
KLASIFIKASI AL-FARABI
Al-Farabi menyitir tiga kriteria yang menyusun hierarki ilmu11.
• Pertama, kemuliaan materi subjek (syaraf al-maudhu’), berasal
dari
prinsip fundamental ontologi.
• Kedua, kedalaman bukti-bukti (istqsha’ al-barahin),
didasarkan atas pandangan sistematika pernyataan kebenaran
dalam berbagai ilmu yang ditandai perbedaan derajat kejelasan dan
keyakinan (basis epistemologi). Selama gagasan tentang kedalaman
bukti berhubungan secara langsung dengan permasalahan
metedologis, kriteria kedua dapat dianggap menetapkan basis
metodologis penyusunan hierarki ilmu.
• Ketiga, tentang besarnya manfaat (’izham al-jadwa) dari ilmu
yang bersangkutan (basis etis).
Klasisifikasi ilmu menurut Al Farabi secara garis besar terbagi
menjadi
5 hal yakni12:
1) Ilmu bahasa (syntac, grammer, pronounciation and speech dan
puisi);
2) Logika;
3) Ilmu propaedetik yang terdiri dari ilmu aritmatic, geometri,
optik, astrologi, music, astronomi, dan lain-lain;
4) Ilmu fisika (kealaman) dan metafisika;
5) Ilmu sosial yakni yurisprudensi dan retorika.
15 15
Mutty Hariyati dan Isna Fistiyanti, Sejarah Volume 9 No. 1, Juni
Pustakaloka,
10
Imam Suprayogo, “Problem Relasi Agama Dan Sains Di Perguruan Tinggi Islam,”
Reflektika:
Jurnal Keislaman IDIA Prenduan 2 (2003): hlm. 23.
11
Osman Bakar and Seyyed Hossein Nasr, Hierarki ilmu: membangun rangka-pikir
Islamisasi ilmu
menurut al-Farabi, al-Ghazali, Quthb al-Din al-Syirazi., 1997, hlm. 65.
12
Taufiq El-delpieronisme, “Science and Civilization in Islam” (n.d.): 60–62, accessed May
30,
2017, http://www.academia.edu/9066807/Science_and_Civilization_in_Islam.
16 16
Mutty Hariyati dan Isna Fistiyanti, Sejarah Volume 9 No. 1, Juni
Pustakaloka,
KLASIFIKASI IBNU KALDUN
Beliau memilah ilmu atas dua macam, yaitu:
1. Ilmu naqliyah (ilmu yang berdasarkan pada otoritas atau ada
yang menyebutnya ilmu-ilmu tradisional) dan yang termasuk
adalah ilmu- ilmu al-Quran, hadis, tafsir, ilmu kalam, tawsawuf,
dan ta’bir al-ru`yah.
• Kelompok pertama adalah ilmu-ilmu hikmah dan
falsafah.
Yaitu ilmu pengetahuan yang bisa diperdapat manusia karena
alam berpikirnya, yang dengan indra-indra
kemanusiaannya ia dapat sampai kepada objek-objeknya,
persoalannya, segi- segi demonstrasinya dan aspek-aspek
pengajarannya, sehingga penelitian dan penyelidikannya itu
menyampaikan kepada mana yang benar dan yang salah,
sesuai dengan kedudukannya sebagai manusia berpikir.
Kedua, ilmu-ilmu tradisional (naqli dan wadl’i. Ilmu itu secara
keseluruhannya disandarkan kepada berita dari pembuat
konvensi syara.
• Dalam al-Ulum al-Naqliyyah al-Wadiyyah, Ibn Khaldun
menjelaskan ilmu yang terkandung dalamnya seperti
berikut: (1) Ilmu Tafsir yang menjelaskan lafaz-lafaz al-
Quran,
(2) Ilmu Qiraah yang menyatakan bacaan al-
Quran,
(3) Ulum Hadith yang menjelaskan sanad dan
perkhabaran perawi-perawi tentang Sunnah Rasulullah,
(4) Usul Fiqh yang menjelaskan bagaimana mengeluar
hukum- hukum Allah,
(5) Ilmu Fiqh yang merupakan hukum yang diperolehi
daripada
perbuatan
manusia,
(6) Ilmu Kalam yang membahaskan aqidah keimanan dan
hujah-
hujahnya
,
(7) Ilmu Bahasa yang meliputi lughah, nahu, bayan dan
adab.
16 16
Mutty Hariyati dan Isna Fistiyanti, Sejarah Volume 9 No. 1, Juni
Pustakaloka,
Jelasnya, semua ilmu ini adalah berdasarkan al-Quran dan
as- Sunnah. Ibn Khaldun juga membahaskan ilmu Tasauf,
dan Ramalan mimpi dalam khasifikasi ilmu pertama ini.
2. ilmu ‘aqliyah (ilmu yang berdasarkan akal atau dalil rasional).
Termasuk adalah filsafat (metafisika), matematika, dan fisika,
dengan macam- macam pembagiannya.
Ibn Khaldun membagi ilmu-ilmu rasional atau ilmu-ilmu falsafah
dan
hikmah itu dalam empat macam, yaitu:
16 16
Mutty Hariyati dan Isna Fistiyanti, Sejarah Volume 9 No. 1, Juni
Pustakaloka,
1. Logika, yaitu ilmu untuk menghindari kesalahan dalam
proses penyusunan fakta-fakta yang ingin diketahui, yang berasal
dari berbagai fakta tersedia yang telah diketahui. Faedahnya
adalah untuk membedakan antara yang salah dari yang benar
berkenaan dengan hal- hal yang dikejar oleh para pengkaji segala
yang ada beserta sifat-sifat tambahannya agar ia sampai pada
pembuktian kebenaran mengenai alam semesta dengan
menggunakan akalnya secara maksimal.
2. Ilmu Alam, yaitu ilmu yang mempelajari substansi elemental yang
dapat dirasa dengan indera, seperti benda-benda tambang, tumbuh-
tumbuhan, binatang-binatang yang diciptakan, benda-benda angkasa,
gerakan alami dan jiwa yang merupakan asal dari gerakan dan lain-
lainnya.
3. Metafisika, yaitu pengkajian yang dilakukan terhadap perkara-
perkara
di luar alam, yaitu hal-hal yang sifatnya rohani.
4. Studi tentang berbagai ukuran yang dinamakan
matematika (Ta’limi). Bagian ini mencakup empat ilmu
pengetahuan, yaitu ilmu ukur, ilmu hitung, ilmu music, dan
astronomi. Tentang ilmu ukur atau geometri, Ibn Khaldun
mangatakan bahwa:“Ilmu ukur berupa pengakajian tentang
ukuran-ukuran secara umum, baik yang terpisah- pisah karena
ukuran itu bisa dihitung ataupun yang bersambungan, yang terdiri
dari satu dimensi, yaitu titik; atau mempunyai dua dimensi, yaitu
permukaan; atau tiga dimensi, yaitu ruang. Ukuran-ukuran itu
dikaji, demikian pula sifat-sifat tumbuhannya”.
Klasifikasi Al-Ghazali
Secara umum, Imam al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi
dua,
yaitu:
a. Ilmu Muamalah
Ilmu Muamalah adalah ilmu mengenai keadaan hati yang
mengajarkan nilai-nilai mulia dan melarang tindakan yang melanggar
kesusilaan pribadi dan etika sosial syari’ah. Kemudian pada tatanan
implementasinya, ilmu muamalah ini terdiri dari ilmu fardhlu ‘ain dan
ilmu fardhlu kifayah.
16 16
Mutty Hariyati dan Isna Fistiyanti, Sejarah Volume 9 No. 1, Juni
Pustakaloka,
Adapun para ulama’, dalam memposisikan ilmu fardhlu ‘ain ialah
sesuai dengan bidangnya masing-masing. Misalkan para
mutakallimun, berasumsi bahwa ilmu kalam (ilmu tauhid) adalah ilmu
fardhlu ‘ain. Bagi mereka, dengan ilmu kalam seseorang dapat
menemukan dan mengetahui ketauhidan Dzat dan sifat Allah.
Sementara para Fuqaha’, menyakini pula
16 16
Mutty Hariyati dan Isna Fistiyanti, Sejarah Volume 9 No. 1, Juni
Pustakaloka,
bahwa ilmu fiqh lah ilmu fardhlu ‘ain, sebab dengan fiqh seseorang
dapat beribadah dan mengetahui perkara halal dan haram, serta
mengetahui perkara yang haram dan yang halal dalam bermuamalah.
Pada bagian Ilmu fardhu kifayah, al-Ghazali menyebutnya
sebagai ilmu yang wajib dipelajari oleh sebagian masyarakat Islam,
bukan seluruhnya. Dalam hal ini juga, al-Ghazali mengolongkannya ilmu
fardhu kifayah ini sebagai ilmu yang sangat dibutuhkan terkait dengan
kemaslahatan dunia, seperti:
1. ilmu kedokteran (al-
Thib),
2. matematika
(hisab),
3. teknik
(shana’at),
4. pertanian (al-
falah),
5. pelayaran (al-
Hiyakah),
6. politik (al-
Siyasah),
7. bekam (al-Hijamah)
dan
8. menjahit (al-
Khiyath).
b. Ilmu Mukasyafah
Pada bagian ini, Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu
Mukasyafah adalah puncak dari semua ilmu karena ia berhubungan
dengan hati, ruh, jiwa dan pensucian jiwa. Ilmu ini diibaratkan seperti
cahaya yang menerangi hati seseorang dan mensucikan dari sifat-sifat
tercela. Dengan terbukanya cahaya tersebut, maka perkara dapat
diselesaikan, didengar, dilihat, dibaca dan membuka hakikat ma’rifat
dengan dzatullah subhannahu wa ta’ala.
Ilmu Mukasyafah adalah puncak ilmu yang dimiliki para
siddiqun dan muqarrabun. Mereka bisa mengetahui hakekat dan makna
kenabian, wahyu, serta lafadznya malaikat, perbuatan setan kepada
manusia, cara penampakan malaikat kepada Nabi, cara penyampaian
wahyu kepada Nabi, mengetahui seisi langit dan bumi, mengetahui
hati dan bercampurnya setan dengan malaikat, mengetahui surga dan
16 16
Mutty Hariyati dan Isna Fistiyanti, Sejarah Volume 9 No. 1, Juni
Pustakaloka,
neraka, adzab kubur, shirath, mizan, dan hisab. Inilah ilmu yang tidak
tertulis di dalam buku dan tidak dibicarakan kecuali ahlinya saja yang
bisa merasakannya. Di lakukan dengan cara berdzikir dan secara
rahasia.
16 16
Mutty Hariyati dan Isna Fistiyanti, Sejarah Volume 9 No. 1, Juni
Pustakaloka,
1. Filosofis (al-hikmi) dan
2. Non filosofis (ghair al-hikmi). kategori kedua dibagi menjadi
yang
religius dan yang non religius.
• Konsep kunci dalam klasifikasi Quthb Al-Din Al-Syirazi adalah
hikmah (filosofi atau filsafat). Perbedaan antara bentuk hikmah
dan bentuk bukan hikmah pengetahuan merupakan basis dasar
klasifikasinya. Karena itu, beberapa penjelasan atas pandangan
Quthb Al-Din Al- Syirazi mengenai hikmah, sangat diperlukan
jika kita hendak memahami landasan filosofis klasifikasinya.
• Menurut Quthb Al-Din Al-Syirazi, pandangan bahwa
hikmah (kebijaksanaan) merupakan bentuk pengetahuan tertinggi dan
termulia dianut oleh segenap kaum Muslim. Dalam Durrat al-Taj,
dia mengutip ayat- ayat Al-Qur’an untuk memperlihatkan bahwa
kepercayaan kaum Muslim pada keunggulan hikmah memperoleh
dukungan eksplisit dan kuat dalam wahyu Islam. Tetapi, kita sama-
sama mengetahui bahwa definisi hikmah maupun perbedaan dari
sesuatu yang bukan hikmah masih menjadi perdebatan di
kalangan kaum Muslimin karena tidak ada ayat Al-Qur’an maupun
hadist Nabi yang memberikan jawaban eksplisit untuk persoalan ini.
Karena alasan tersebut, Quthb Al-Din Al-Syirazi menjelaskan bahwa
dalam pemahamannya tentang hikmah dia mengikuti tradisi ahl
ma’rifah (arti harfiah: orang-orang yang mempunyai pengetahuan
yang benar).
16 16
Mutty Hariyati dan Isna Fistiyanti, Sejarah Volume 9 No. 1, Juni
Pustakaloka,
Berdasarkan bagian ilmu yang telah dirumuskan tersebut, maka
terlihat bahwa kaum ikhwanul as-safa senantiasa mengajarkan para
jamaahnya untuk mempelajari semua pengetahuan, tidak mengabaikan
suatu buku pun, dan tidak fanatik terhadap salah satu mazdhab agama.
Dari pembagian ini, bisa kita simpulkan bahwa ilmu dalam
Islam tidak hanya meliputi ilmu-ilmu ‘aqidah dan syari’ah saja. Selain
kedua ilmu tersebut, kita masih berkewajiban untuk menuntut ilmu
lainnya. Bisa dikatakan bahwa dengan ilmu syar’iyyah kita akan
mempelajari tanda Allah dari ayat qauliyyah, yang bisa disebut dengan
dzikir, sedangkan dengan ilmu ghair syra’iyyah, kita akan mempelajari
ayat kauniyyah Allah yang terbentang pada jagat raya ini, yang disebut
dengan tafakkur.
17 17
Mutty Hariyati dan Isna Fistiyanti, Sejarah Volume 9 No. 1, Juni
Pustakaloka,
Pedoman klasifikasi Islam pertama kali diterbitkan oleh
perpustakaan Nasional adalah ―Klasifikasi Bahan Pustaka tentang
Indonesia Menurut DDC oleh Soekarman dan J.N.B Tairas”,
diterbitkan pada tahun 1993 dan menggunakan notasi 2X0. Pada
tahun 2005 Perpustakaan Nasional kembali menerbitkan pedoman
klasifikasi Islam dengan judul “Klasifikasi Islam: Adaptasi dan
Perluasan Notasi 297 Dewey Decimal Classification (DDC). Berbeda
dengan edisi sebelumnya, notasi yang digunakan adalah
297. Penerbitan pedoman klasifikasi Islam tersebut dilatarbelakangi
oleh perkembangan literatur bidang agama khususnya agama Islam
cukup besar. Selain itu, dalam sistem klasifikasi persepuluhan Dewey
(edisi 22), kelas agama Islam menempati seksi (297) yang kecil dan
terbatas. Dalam berbagai kajian penggunaan klasifikasi persepuluhan
Dewey bidang agama Islam notasinya dirasa kurang memadai,
terbukti dari segi posisinya hanya menempati suatu seksi, struktur
notasi kurang mencerminkan pengembangan ilmu bidang agama Islam
maupun kelengkapan subjek. Pada tahun berikutnya, Perpustakaan
Nasional menyusun kembali Daftar Tajuk Subjek Islam. Kedua
pedoman ini menjadi produk yang dibakukan oleh Perpustakaan
Nasional dan Badan Standarisasi Nasional (BSN) dan diterbitkan pada
tahun 2006 dengan judul ―Daftar Tajuk Subjek Islam dan Klasifikasi
Islam: Adaptasi dan Perluasan Notasi 297 Dewey Decimal
Classification”15
Penyusunan bagan klasifikasi Islam ini didasarkan pada struktur
yang ada dalam DDC. Bagan ini terdiri dari tiga bagian utama yaitu
bagan yang memuat istilah-istilah subjek dalam bidang kajian Islam
dengan disertai notasi dasar dari 297–297.9, tabel-tabel dan indeks
untuk membantu pemakai dalam mencari notasi subjek. Dengan
berdasarkan prinsip persepuluhan seperti DDC, dalam menyusun
bagan klasifikasi, Namun bagan klasifikasi Islam ini membagi seksi
menjadi sepuluh kelas sub seksi, dan dari sepuluh kelas sub seksi
dibagi lagi menjadi sepuluh sub-sub seksi kelas, dan seterusnya.
Selanjutnya notasi dasar 297 mengalami adaptasi dengan
mengambil notasi dasar 297 yang dipendekkan dengan menyingkat 97
menjadi X, sehingga menjadi 2X0 dan penyusunan pedomaan ini tetap
mengikuti kaidah-kaidah yang ada dalam DDC, seperti penggunaan
tabel tambahan yang ada dalam DDC yaitu: 1. Tabel 1 Sub Divisi
Standar (Standard
17 17
Mutty Hariyati dan Isna Fistiyanti, Sejarah Volume 9 No. 1, Juni
Pustakaloka,
Subdivisions) 2. Tabel 2 Wilayah (Area Notations) 3. Tabel 3
Subdivisi
15
Ibid., 53.
17 17
Mutty Hariyati dan Isna Fistiyanti, Sejarah Volume 9 No. 1, Juni
Pustakaloka,
Kesusastraan 4. Tabel 4 Subdivisi Bahasa 5. Tabel 5 Etnik dan
kelompok bangsa 6. Tabel 6 Bahasa-bahasa Penggunaan instruksi-
instruksi yang ada dalam bagan juga mengikuti sistem yang ada di
dalam DDC. Buku pedoman ini juga dilengkapi dengan indeks relatif
yang digunakan untuk memudahkan penggunaannya.
Dalam penyusunan pedoman klasifikasi Islam, ilmu keislaman
dibagi dalam kelompok besar meliputi: Islam (Umum), Tafsir, Hadis,
Aqaid dan ilmu kalam, Fiqih, Akhlak dan Tasawuf, Sosial dan Budaya
Islam, Filsafat dan perkembangan Islam, Aliran dan Sekte dalam
Islam, serta sejarah Islam.
Secara rinci Klasifikasi ilmu keislaman dalam ilmu perpustakaan
dibagi sebagai berikut:16
• 2X0 Islam (Umum), dapat ditambahkan dengan dengan notasi
pada kelas besar DDC
• 2X1 Al-Quran dan ilmu yang berkaitan, termasuk di dalamnya
Al- Qurán dan terjemahnya, tafsir, kumpulan ayat tertentu,
kandungan al-Qurán
• 2X2 Hadis dan ilmu yang berkaitan, beberapa yang termasuk
termasuk di dalamnya adalah ilmu-ilmu hadis, kumpulan hadis,
kritik hadis
• 2X3 Aqaid dan ilmu Kalam, termasuk juga aqidah dan
iman.
• 2X4 Fiqih, mencakup tentang Ibadah, muaámalah, munakahat,
waris, jinayat, qada’, hukum internasional.
• 2X5 Akhlak dan Tasawuf, termasuk juga sufisme dan
tarekat
• 2X6 Sosial dan Budaya, termasuk di dalamnya kelas Masyarakat
Islam, Ekonomi Islam, politik Islam
• 2X7 Filsafat dan Perkembangan, yang meliputi bidang filsafat
Islam, Psikologi Islam, dakwah, dendidikan Islam, pemikiran
Islam
• 2X8 Aliran dan Sekte, memuat bermacam-macam aliran dan
sekte
yang ada di Islam
• 2X9 Sejarah Islam dan
Biografi
Dalam kelompok besar masih mengalami perluasan dan adaptasi
yang menghasilkan notasi-notasi yang panjang. Disamping itu juga
17 17
Mutty Hariyati dan Isna Fistiyanti, Sejarah Volume 9 No. 1, Juni
Pustakaloka,
mengalami penambahan notasi dengan angka yang mengikuti DDC,
yaitu yang terjadi pada kelas pendidikan Islam.
16
Muh Kailani Er, “Daftar Tajuk Subyek Islam Dan Sistem Klasifikasi Islam: Adaptasi
Perluasan
DDC Seksi Islam” (Jakarta: Departemen Agama RI, 1998), 125.
17 17
Mutty Hariyati dan Isna Fistiyanti, Sejarah Volume 9 No. 1, Juni
Pustakaloka,
Berdasarkan pembagian ilmu yang telah disebutkan sebelumnya,
secara garis besar objek ilmu dapat dibagi menjadi dua bagian
pokok, yaitu alam materi dan non-materi. Sains mutakhir yang
mengarahkan pandangan kepada alam materi, menyebabkan manusia
membatasi ilmunya pada bidang tersebut. Bahkan sebagian mereka
tidak mengakui adanya realitas yang tidak dapat dibuktikan di alam
materi. Oleh karena itu, objek ilmu menurut mereka hanya mencakup
sains kealaman dan terapan yang dapat berkembang secara kualitatif
dan penggadaan, variasi terbatas, dan pengalihan antarbudaya.
Dalam kaitan di atas disebutkan bahwa klasifikasi ilmu
keiislaman yang dari masa klasik telah berkembang secara pesat. Pada
masa klasik hanya ditujukan pada penggolongan-penggolongan secara
umum, maka, pada saat ini klasifikasi Ilmu Keislaman mendapat
nomor khusus dan penempatan sendiri yang semakin lama semakin
berkembang dengan bertambah berkembangnya Ilmu Pengetahuan.
PENUTUP
Ilmu sebagai obyek atau gagasan yang diklasifikasi dilakukan
upaya pengelompokan yang sitematis yang bertujuan agar segenap
ruang lingkupnya dapat ditindaklanjuti dengan baik sesuai dengan
tingkatan epistemology yang digunakan
Konsep ilmu pada masa abad pertengahan dan para ilmuwan
Muslim diantaranya Al Farabi, Ibnu Khaldun, Al Ghazali maupun
Ikhwanul Al- Shafa’, dan Quthb Al Din Al Syirazi yang dibawahnya
pada dasarnya masih belum ada klasifikasi ilmu di satu sisi dan agama
di sisi yang lain. Klasifikasi ilmu yang diberikan para ahli pada masa
ini bertujuan untuk lebih mempermudah manusia dalam mempelajari
ilmu agar manusia memiliki keahlian tertentu dalam disiplin keilmuan,
dan tidak menafikkan ilmu lain sehingga terjadi keseimbangan dalam
dirinya yang membawa kemanfaatan. Dan inilah falsafah yang
dikandung al qur’an terkait dengan ilmu sebagaimana tercermin dalam
wahyu pertama surat al ‘Alaq: 1-5.
Perkembangan klasifikasi pada jaman klasik sampai saat ini
mengalami perkembangan yang pesat. Apabila pada jaman klasik
hanya mengalami penggolongan besar, namun sekarang sudah adanya
notasi khusus dengan penomoran khusus membuat klasifikasi ilmu
keislaman secara rinci.
17 17
Mutty Hariyati dan Isna Fistiyanti, Sejarah Volume 9 No. 1, Juni
Pustakaloka,
DAFTAR PUSTAKA
17 17
Mutty Hariyati dan Isna Fistiyanti, Sejarah Volume 9 No. 1, Juni
Pustakaloka,
Rowley, J. E. Organising Knowledge: An Introduction to
Information Retrieval.
Aldershot, Hants, England ; Brookfield, Vt., U.S.A: Gower Pub.
Co,
1987.
Stanton, Charles Michael. Higher Learning in Islam: The Classical
Period, A.D.
700-1300. Savage, Md: Rowman & Littlefield, 1990.
17 17
Mutty Hariyati dan Isna Fistiyanti, Sejarah Volume 9 No. 1, Juni
Pustakaloka,
Suprayogo, Imam. “Problem Relasi Agama Dan Sains Di
Perguruan
Tinggi Islam.” Reflektika: Jurnal Keislaman IDIA Prenduan 2
(2003): 23.
17 17