Jurnal Paguyuban Wedangan Baron Rifky

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 20

PAGUYUBAN WEDANGAN BARON (PAWON) Di SURAKARTA

TAHUN 1990-2011

Oleh : Rifky Dwi Prahardika

ABSTRACT

Rifki Dwi Prahardika. C. 0514050. 2021. Association of Wedangan Baron (Pawon)


in Surakarta 1990-2011 Thesis: Historical Science Study Program, Faculty of Cultural
Sciences, Sebelas Maret University, Surakarta.

This Research took the theme of Pawon Association in Surakarta. This research was
conducted with the aims to know about (1) history of the start of Pawon Association, (2)
social networking that was created from wedangan tradesman, (3) benefits from the creation
of the association for wedangan tradesman.

In accordance with the aims, this research used historical research methods involving:
Heuristic, Source Criticism which include internal and external critic, Data Interpretation, and
Historiography. Sources of this research is obtained from Solo Pers Monument’s archive,
Pawon Association, Interview with Totok Mulyanto, Nico, Seno and Wiyadi. Other sources
are reference books, and newspaper from the same timeline.

The result of this research showed that wedangan business first appeared in Surakarta
in 1940. By 1990, wedangan business had grown considerably that a group consisted of
wedangan tradesman and food vendors was created. Because of the high enthusiasm for
wedangan business, in 2003 an association which consisted of wedangan tradesman and food
vendors was created and named Pawon. It’s purpose were to help fellow members, and
provide economic, social, and cultural benefits. The Association’s existence also serve as

This research concluded that the creation of Pawon association were very important
for wedangan tradesman because it unified the goal of wedangan tradesman and help them
prosper through the association’s activity.

Keyword: Assosiation, Pawon, Surakarta

A. Pendahuluan

Kondisi Kota Surakarta pada tahun 1901 ketika memasuki malam hari keadaanya gelap

karena kurangnya penerangan. Penerangan yang digunakan saat itu hanyalah lampu ting,
yaitu lampu teplok yang memakai semprong yang disatukan dengan tempat yang terbuat dari

seng berbentuk persegi maupun bulat dan memakai kaca. Pemasangan lampu ting ini dengan

cara digantung di sepanjang jalan yang dianggap ramai dan setiap seratus meter dipasang satu

lampu.

Pembaharuan pemasangan lampu penerangan setelah dibangunnya instalasi listrik

dengan tenaga diesel pada tahun 1902 yang dipasang dekat Stasiun Nederlandsch Indische

Spoorweg Maatschappij (NIS) di Purwosari, pembangunan instalasi listrik ini untuk

menggantikan penerangan yang sebelumnya menggunakan gas dan adanya instalasai listrik

ini membuat keadaan kota menjadi semarak karena adanya perkantoran dan tempat hiburan.1

Keadaan tersebut menggugah keinginan masyarakat sekitar Surakarta nglembara atau

merantau karena melihat perkembangan kota dan menangkap peluang ekonomi yang ada

dengan cara berjualan makanan dan minuman yang berwadah angkring.

Penyebutan angkringan sendiri pada mulanya adanya seorang pencuri di Kampung

Baladan, Kauman dekat dengan jalan raya Slompretan, pencuri yang bernama Jugil yang lari

dari pengejaran banyak orang di tengah kegelapan malam. Pencuri yang dikejar bersembunyi

dalam sebuah wadah keranjang pikulan yang biasa digunakan untuk membawa makanan dan

air kopi. Ketika dalam pencarian pencuri tengah bersembunyi di dalam wadah keranjang

tersebut beserta barang curian seketika masyarakat yang menemukan berteriak pencuri berada

dalam wadah angkringan, dari peristiwa yang tengah terjadi maka penyebutan pedagang yang

membawa pikulan keranjang yang berisi makanan minuman disebut pedagang angkringan. 2

Akan sangat keliru bila kata angkringan berasal dari kata Nangkring yaitu duduk dengan

menaikan satu kaki dan menghadap ke aneka rupa jajanan dan salah satu kaki di bawah

1
Wanto Budi Raharjo, Perumahan dan Hotel di Mangkunegaran tahun 1917-1937
Skripsi,Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Surakarta, hlm. 58.
2
Heri Priyatmoko.“Angkringan dan Wong Cilik”. Kompas, Senin 23 April 2018,
hlm.12.
berayun, dalam budaya jawa itu sendiri, cara duduk seperti ini biasanya tidak diperbolehkan

karena dianggap tidak etis apalagi bila dilakukan pada saat makan selain nama angkringan.

Pedagang angkringan di Surakarta dikenal dengan nama pedagang wedangan

menjajakan dagangannya dengan dipikul berkeliling kampung keluar masuk gang untuk

menghampiri pembelinya, berjalanya waktu sudah sedikit sekali pedagang yang menjajakan

dagangannya dengan cara dipikul keliling kampung, dengan nama HIK, diambil dari cara

para pedagang yang menjajakan dagangannya untuk memanggil para pembeli dengan

bertetiak “Hik yeek” sehingga masayarakat yang akan membeli dengan mudah

mengenalinya.3

Kesatuan ekonomi dari pedagang wedangan sendiri termasuk dalam usaha sektor

informal yang mengarah pada transaksi jual beli, dilihat dari kegiatannya termasuk suatu

kejadian sosial budaya karena terjadi interaksi antara penjual dan pembeli. Interaksi yang

dilakukan memicu terbentuknya masyarakat yang guyub rukun karena kegiatan ekonominya

masih tradisional. Sistem ekonomi yang di terapkan oleh pedagang wedangan masih

tradisional karena mengandalkan tampilan dari warungnya yang masih menggunakan lampu

minyak atau yang disebut dengan teplok maupun yang lebih modern dengan lampu voltase

kecil suasana yang tradisional tersebut menarik minat masyarakat. 4 Karena perkembangan

Kota Surakarta pada tahun 1990 menarik minat masyarakat di sekitar Kota Surakarta yang

membuka usaha wedangan

Minat masyarakat terhadap warung wedangan berpengaruh pada perkembangannya,

terjadi pada tahun 1997 PKL disepanjang Jalan Slamet Riyadi padagang makanan yang

3
Okta Hadi Nurcahyono,”Mekanisme Bertahan Pedagang Angkringan di Era Disrupsi
(Studi Modal Sosial Pada Pedagang Angkringan di Kawasan JL. KI Hadjar Dewantara,
Surakarta)” Jurnal Pendidikan Sosiologi dan Antropologi Vol 3 No.1, 2019 .hlm. 42
4
Edy Susanto, Sudiro, Hik Naik Kelas (Kajian Sosial Ekonomi Warung HIK
(Hidangan Istimewa Kampung) di Kota Surakarta) Sebagai Usaha Kecil Menengah Berbasis
Kerakyatan. Jurnal Sainstech Politeknik Indonusa Surakarta Vol. 1 No.2 , 2014, hlm. 6.
menjajakan dagangannya memiliki daya tarik sendiri. Pandangan wedangan yang dulu

sebagai tempat makan kelas ekonomi menengah ke bawah kini berubah lebih menarik semua

golongan masyarakat tanpa batasan status dan jabatan, perubahan pola pikir masyarakat di

dorong oleh tentang suatu kegiatan untuk kebutuhan hidupnya. Interaksi kegiatan

ekonominya mengarah kegiatan jual beli, dapat dilihat sebagai suatu kejadian sosial budaya

karena terjadi interaksi antara penjual dan pembeli. Interaksi yang terjadi tersebut

menyebabkan terbentuknya masyarakat yang saling terikat pada kesatuan karena masih

didasari oleh sektor yang masih tradisional.5 Dalam suasana tradisional yang ditawarkan oleh

wedangan tersebut dimanfaatkan oleh pembeli untuk menikmati hidangan makanan dan

minuman yang disediakan oleh pedagang sambil berbincang-bincang yang memperlihatkan

keakraban diantara pembeli. Suasana yang tradisional yang tergambar pada wedangan

menarik minat masayarakat umum karena suasana tersebut tidak terdapat pada warung makan

permanen. Kesempatan perkembangan wedangan dimanfaatkan oleh para pedagang untuk

membuat paguyuban wedangan di tahun 2003, dengan tujuan untuk menghimpun sesama

pedagang wedangan dan suplier makanan agar tercipta suasana guyub rukun. Jaringan sosial

juga memainkan peranan bagi masyarakat yang ingin membuka usaha warung wedangan,

dengan adanya jaringan tersebut menjadi jembatan bagi masyarakat agar saling membantu

kepada sesama yang membutuhkan bantuan, munculnya wedangan modern pada tahun 2011

berpengaruh pada wedangan tradisional, dengan adanya paguyuban diharapkan pedagang

wedangan tradisional dapat bertahan dengan usahnya.

B. Metode Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, maka metode yang digunakan adalah

metode sejarah. Metode sejarah adalah cara yang digunakan untuk melakukan penelitian

5
SoloPos, 4 Oktober 1997, Solo gudang makanan khas, hlm. 14.
terhadap data dan fakta yang objektif agar sesuai dengan tujuan penelitian, sehingga dapat

terbukti secara ilmiah dengan melakukan 4 langkah yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi

dan historiografi.

1. Heuristik (pengumpulan sumber).

Heuristik merupakan ketrampilan untuk mengumpulkan sumber, penulis

mengumpulkan sumber-sumber yang baik tertulis maupun lisan yang relevan

dengan tema penelitian. Penulis mengumpulkan sumber yang didapat dari berbagai

literatur penelitian, baik berupa buku, jurnal penelitian, laporan penelitian dan

internet yang relevan dengan tema penelitian. Data yang diperoleh dari penelitian

ini berasal dari studi dokumen, studi pustaka dan wawancara.

a. Studi dokumen

Studi dokumen merupakan cara untuk mempelajari dokumen-dokumen

pendukung yang berhasil dikumpulkan dan disortir untuk mendukung dasar-dasar

dari penelitian ini. Studi dokumen mempunyai arti metode yang sangat penting, sebab

selain bahan dokumen, sejumlah fakta-fakta dan sejarah, bahan ini juga dapat

digunakan untuk menjawab pertanyaan apa, kapan, siapa, di mana, mengapa, dan

bgaimana6 Dokumen tersebut diperoleh dari Monumen Pers Nasional Surakarta

b. Studi Pustaka

Studi pustaka adalah teknik pengumpulan data yang didasarkan pada

pemanfaatan berbagai macam referensi dan literatur sehingga dapat dijadikan

data pendukung yang berisi informasi yang mendukung. Data yang didapat dari

studi pustaka adalah data yang bersifat sekunder untuk melengkapi data primer.

Beberapa bahan pustaka yang mendukung dalam penelitian ini adalah buku yang

6
Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi
Indonesia :Suatu Alternatif, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1982), hlm. 97.
didapatkan dari Perpustakaan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Monumen

Pers Nasional Surakarta,Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Yogyakarta

c.Wawancara

Sumber sejarah yang penting dalam penelitian sejarah yaitu sumber lisan

yang diperoleh dari tokoh yang mengalami peristiwa sejarah itu. Untuk

mengumpulkan sumber data ini diperlukan teknik wawancara. Dalam melakukan

wawancara, untuk memperoleh informasi atau data lengkap, mendalam, dan

berkualitas perlu dicermati dalam memilih narasumber Totok Mulyanto(Ketua

Pawon), Nico ( Seksi Anggota Pawon), Seno (Anggota Pawon), Wiyadi

(Pengunjung Wedangan)

2. Kritik Sumber

Selanjutnya, peneliti melakukan kritik sumber baik kritik internal maupun

kritik eksternal. Kritik internal berguna untuk menentukan kredibilitas data. Suatu

data dianggap kredibel apabila unsur-unsurnya paling dekat dengan peristiwa yang

sesungguhnya terjadi pada waktu lampau dan sekarang. Kritik eksternal merupakan

cara yang digunakan untuk melihat data dari keadaan fisik sumber yang digunakan

untuk sumber penelitian.

3. Interpretasi

Langkah ketiga yang dilakukan peneliti adalah melakukan interpretasi.

Interpretasi adalah penafsiran keterangan yang saling berhubungan secara kronologis

untuk dikritisi dengan fakta sejarah yang ada. Kegiatan interpretasi dilakukan untuk

menganalisis data yang digunakan. Dalam tahap interpretasi, terdapat unsur

subjektivitas sejarawan. Ketepatan analisis sangat diperlukan dalam suatu penelitian

agar penelitian yang dilakukan sejalan dengan apa yang telah dirumuskan.
4. Historiografi

Terakhir, peneliti menjalankan langkah historiografi. Historiografi adalah suatu

penulisan sejarah yang dihasilkan dari data-data yang sudah dikumpulkan berdasarkan

fakta-fakta yang telah dipilih. Data-data yang telah diseleksi kebenarannya akan

memberikan argumen yang kuat dan harmonis sehingga isi penulisannya dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

C. Hasil Penelitian

Kota Surakarta yang berada di bagian Selatan Propinsi Jawa Tengah memiliki

karakter tersendiri dalam kegiatan maupun perkembangan fisik kota. Secara geografis

wilayah Kota Surakarta berada antara 110º45’15”- 110º45’35” BT dan 7º36’00”-

7º56’00”LS dengan luas wilayah 44,04 Km². Kota Surakarta berbatasan dengan

Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali pada sebelah utara. Batas Selatan kota

Surakarta adalah Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar. Disebelah timur

berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo, sedangkandi sebelah barat berbatasan dengan

Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar. Kota Surakarta terdiri dari 5

kecamatan seluas keseluruhan 44,04 km2 dengan jumlah penduduk sesuai sensus tahun

2000 sejumlah 490.214 jiwa. Kecamatan yang mempunyai luas wilayah paling besar

yaitu Kecamatan Banjarsari (14,81 km2) sedangkan kecamatan yang mempunyai luas

paling kecil yaitu Kecamatan Serengan.7 Kota Surakarta memiliki jumlah penduduk

sebanyak 490.214 jiwa yang tersebar ke 5 wilayah kecamatan. Kepadatan rata-rata adalah

12.594 jiwa/km2. Wilayah dengan penduduk terpadat adalah Kecamatan Serengan dengan

kepadatan 19.394 jiwa/km2. Sedangkan wilayah dengan kepadatan terendah adalah

kecamatan Jebres yaitu 10.127 jiwa/km2.

7
Profil Kabupaten/Kota Surakarta, hlm. 1.
Perkembangan pedagang wedangan atau yang biasa disebut HIK di Kota Surakarta

tidak dapat dipisahkan dari sejarah keberadaan listrik pertama di tahun 1902. Keberadaan

listrik menambah geliat malam di Kota Solo yang relatif sepi. Geliat malam ini ditunjukan

melalui pertunjukan layar tancap, bioskop di taman Sriwedari dan di gedung Abipraya

singosaren dan Societet Harmony.8 Para penikmat malam yang telah selesai menonton

bioskop, layar tancap atau  wayang orang mereka tentunya lapar dan membutuhkan tempat

untuk nongkrong, disinilah keberadaan wedangan mulai bermunculan di Kota Surakarta.

Sejarah munculnya wedangan di mulai dari seorang yang bernama Karso dikromo atau

Djukut seorang warga dukuh sawit desa Ngerangan kecamatan Bayat, Klaten merantau ke

Solo berjualan terik dengan pikulan tumbu. Kemudian pada sekitar tahun 1940an Karso

Djukut mengembangkan usahanya dengan menambahkan cerek atau tempat air pada tumbu

sisi belakang untuk minuman. Tahun 1943 pikulan tumbu berganti dengan angkringan berupa

pikulan dengan beban kotak kayu pada kedua sisinya untuk menempatkan anglo beserta cerek

serta membawa aneka jajanan serta nasi bungkus. Tahun 1970an pikulan angkring berubah

menjadi gerobak yang menyajikan menu nasi kucing dan minuman seperti jahe dan teh

oplosan dari berbagai merek. Pada tahun 1990 wedangan telah merebak di Surakarta seiring

dengan banyaknya pendatang dan hingga kini dari 1900 keluarga di Ngerangan, 600

diantaranya berprofesi sebagai pedagang wedangan menyebar di Jawa Tengah, DIY, Aceh,

Jawa Barat, Jawa Timur, Jakarta, Lampung hingga Kalimantan.9

Melihat geliat perkembangan usaha inilah masyarakat desa tertarik datang ke kota

menjadi pedagang wedangan. Mulanya pedagang wedangan menjajakan dagangannya dengan

8
Okta Hadi Nurcahyono, Mekanisme Bertahan Pedagang Angkringan di Era Disrupsi
(Studi Modal Sosial Pada Pedagang Angkringan di Kawasan JL. KI Hadjar Dewantara,
Surakarta), Jurnal Pendidikan Sosiologi dan Antropologi Vol. 3 No. 1, 2019 hlm. 44.

9
Whisnupaksa Kridhangkara http://m.solopos.com/sejarah-angkringan-dari-bayat-
klaten-hingga-ke-pelosok-negeri-1042785 diakses pada tanggal 10 Februari 2020 pukul 15.08
WIB.
dipikul berkeliling kampung keluar masuk gang untuk menghampiri pembelinya, karena

dinilai kurang efektif dari segi waktu dan menguras energi. Para pedagang angrkingan kini

memilih menetap di pinggir jalan menggunakan gerobak yang mulai buka dari sore hingga

larut malam. Ciri khas warung wedangan berupa tenda yang biasanya berwarna orange biru,

dingklik (kursi panjang tanpa sandaran), tikar untuk lesehan dan lampu remang-remang untuk

menikmati jajanan. Jajanan yang disajikan bukanlah jajanan mahal, hanya jajana istimewa

khas dari kampung berupa nasi bungkus dengan lauk bandeng yang dipotong kecil serta

sambalnya dan bermacam gorengan.10 Salah satu yang menjadi idola adalah teh ginastel

(legi,panas,kenthel) yang artinya teh manis, panas dan kental. Serta adanya interaksi sesama

pembeli. Keramahan suasana sebagai tanda kegigihan warga kelas bawah dalam memenuhi

kebutuhan dengan cara berdagang di perkotaan. Hanya dengan bermodalkan secukupnya

tanpa pendidikan yang tinggi dengan tujuan mengadu nasib dan mengikuti jejak kerabat,

tetangga maupun teman yang terlebih dahulu bekerja atau pun membuka usaha.11

Warga desa tertarik dengan ajakan berdagang wedangan dikarenakan tanah di desa

kurang bagus untuk bercocok tanam, hal lain yang menjadi faktor pendukung karena warga

desa melihat keberhasilan tetangga mereka yang terleih dahulu berdagang serta adanya ingin

mencari peruntungannya di kota.12 Bergulirnya waktu pada tahun 1990 semakin banyak

pedagang wedangan di kota karena perkembangan kota Surakarta, kemudian membentuk

kelompok di Baron Surakarta yang berfungsi mewadahi pedagang wedangan.

Peran dari pedagang wedangan yang semakin berkembang inilah yang manjadikan

dibentuknya paguyuban pedagang wedangan di Baron Surakarta. Karena berperan untuk

10
Heri Priyatmoko. “Kearifan Angkringan”. http://news,detik.com/kolom/d-
3969893/kearifan-angkringan diakses pada 11 Juli 2019 pukul 20.03 WIB.

11
Sukanto, Karseno, Ekonomi Perkotaan (Yogyakarta: BPFE, 1982), hlm.97
12
Hans Dieter,Evers, Sosiologi Perkotaan: urbanisasi dan sengketa tanah di
Indonesia dan Malaysia, (Jakarta: LP3S, 1986,Cetakan ke- 3), hlm. 9.
mewadahi pedagang wedangan dan pedagang makanan agar dapat dibina dan meningkatkan

taraf hidup bagi pedagang, manyatukan tujuan para pedagang serta tempat untuk bertukar

pikiran maupun informasi sehingga mereka mampu mempertahankan usaha yang dibangunya

dan dapat di kembangkan ke arah yang lebih baik di Kota Surakarta.13

Perkembanagan paguyuban wedangan di Surakarta bermula ketika adanya masyarakat

yang membuka usaha untuk memenuhi kebutuhan dagangan makanan bagi pedagang

wedangan, para pembuat makanan sudah mulai berdagang di Kampung Baron Gede Rt 1

Rw1 pada tahun 1990, dan belum memiliki nama sebelumnya, lokasi berdagang awalnya di

halaman depan rumah warga. Karena pemilik tempat ingin membangun rumah di tempat

berdagang mereka, akhirnya para pedagang pindah tempat dan mencari tempat yang baru.

Selama mecari tempat berdagang banyak dari pedagang menghentikan sementara usahanya.

Karena antusias pedagang wedangan para pedagang makanan berusaha dan berinisiatif

membuka usaha kembali dengan mencari tempat baru yang dapat untuk membuka lapak,

lokasi yang ditempati setelah pindah masih berada di satu kampung tidak jauh dari lokasi

awal berdagang, tepatnya tetap di Baron Gede Rt 02 Rw 01 kecamatan Laweyan, Kota

Surakarta.14 Area yang di tempat tidak terlalu luas hanya berada di sebuah lorong gang

dengan luas sekitar 50 meter dan mampu menggerakkan semangat berdagang masyarakat.

Pada tahun 2003 secara resmi tempat tersebut didirikan paguyuban dengan nama Paguyuban

Wedangan Baron Solo (Pawon) atas kesepakatan bersama.

Paguyuban merupakan media pendorong ekonomi bagi anggota yang berasal dari

masyarakat kecil dan sebagai alat untuk mempererat tali silaturahmi antar pedagang.

Pembentukan paguyuban sebagai perjuangan mereka dimulai dengan menyamakan tujuan

untuk meningkatkan taraf hidup dan mengesampingkan persaingan kemudian mempunyai


13
Wawancara dengan Nico Aldli Susanto Seksi Anggota Baru Pawon pada tanggal 18
Juni 2020
14
Wawancara dengan Totok Mulyanto Ketua Pawon pada tanggal 20 Juni 2020
kesadaran dalam memajukan usaha secara bersama-sama, sebagai usaha yang bergerak di

kuliner. Sebelum terbentuk paguyuban pedagang wedangan yang mengambil dagangan

kebanyakan berasal dari Bayat Klaten yang berada di sekitar Baron, dalam perkembangannya

paguyuban menerima anggota baru yang berasal dari berbagai daerah. Pedagang wedangan

yang ingin bergabung diwajibkan untuk mendaftar dengan membawa identitas diri disertai

membayar administrasi Rp 75.000,00 sebagai syarat menjadi anggota, selain pendaftaran

anggota baru juga di survei tempat berdagangnya.15

Peraturan yang kedua pedagang wedangan yang berjumlah 150 orang diwajibkan untuk

mengambil mengambil makanan dari 30 pembuat makanan yang ada di paguyuban, makanan

juga sudah di sediakan sesuai dengan jumlah dan harus jujur dalam menghitung makanan

agar tidak terjadi kekeliruan serta menghindari perslisihan. Kesepakatan yang telah dibuat

bersama seluruh anggota, sistem kerja yang dibuat dimaksudkan agar pembuat makanan yang

berjumalah 30 mendapat bagian semua dan pembuat jajanan di Pawon tidak khawatir jika

jajanan yang dibawanya bila makanan tidak laku.16 Sistem kerja atau peraturan telah melalui

musyawarah dan di sepakati bersama, hal ini di maksudkan agar tidak terjadi perselisihan dan

tidak ada yang di rugikan di kemudian hari.

Waktu transaksi yang ada di paguyuban telah di terapkan dan di sepakati bersama

oleh para anggota paguyuban, transaksi pengambilan makanan dibuka pada pukul 14.00.

Waktu yang di tentukan dimaksudkan agar pedagang makanan telah siap menyiapkan

dagangann nya sehingga ketika sampai di paguyuban pedang makanan tinggal ambil

dagangan yang sudah disiapkan. Banyaknya pedagang yang mengambil dagangan di

paguyuban di karenakan tempat tersebut menyediakan berbagai makanan yang terbilang

paling komplit, transaksi pengambilan dagangan berakhir pada pukul 15.00. Transaksi

15
Wawancara dengan Nico Aldli Susanto Seksi Anggota Pawon pada tanggal 18 Juni
2020
16
Wawancara dengan Seno Anggota Pawon pada tanggal 19 Juni 2020
selanjutnya adalah pembayaran dagangan, dilakukan pada keesokan harinya pada pukul

08.00, pembayaran menyesuaikan dengan hasil makanan yang laku terjual sedangkan sisa

makanan yang tidak laku dikembalikan ke pembuat makanan dan tidak dikenakan bayaran.

Atruan waktu tersebut yang membuat beda dari tempat lainnya. Transaksi yang dilakukan

oleh anggota paguyuban merupakan kesepakatan bersama yang telah dibuat sejak hadirnya

paguyuban. Kesepakatan yang ada di paguyuban membantu anggota untuk mempertahankan

dan mendukung usaha baik pedagang makanan maupun pedagang wedangan yang berasal

dari masyarakat kecil dalam memenuhi perekonomiannya. 17

Berkat adanya paguyuban dan juga sebagai sarana kemudahan bagi pedagang

wedangan untuk mendapatkan dan melengkapi dagangan, dan sebagai tempat menjualkan

daganagan dari pembuat makanan. Keberadaan nya memberikan manfaat serta menjadi

tujuan utama bagi pedagang makanan baik di wilayah Kota Surakarta mau pun dari daerah

sekitar Surakarta, sistem kerja mudah dipahami para anggota, pedagang tinggal ambil

dagangan yang telah disiapkan dan di tata sesuai jumlah. Aturan tersebut dinilai pedagang

lebih menguntungkan karena meminimalisir pengeluaran yang besar, serta pedagang

makanan dapat mengambil keuntungan penjualan makanan dari paguyuban.18

Pedagang makanan diuntungkan dengan adanya paguyuban di karenakan hasil

produksinya bermuara di wedangan melalui perantara paguyuban. Kewajiban paguyuban

yang terus brgotong royong mampu untuk menggerakan roda perekonomian yang berfokus

pada industri rumahan pembuat makanan, melalui pembinaan paguyuban di harapkan dapat

lebih produktif dalam usahanya. Dukungan paguyuban bagi pembuat makanan dan pedagang

makanan agar optimis untuk mengembangkan usahanya dengan baik di kota Surakarta,

sehingga mereka mampu bersaing dan mampu mempertahankan usaha yang dibangunya

17
Wawancara dengan Nico Aldli Susanto Seksi Anggota Baru Pawon pada tanggal 18
Juni 2020
18
Wawancara dengan Seno Anggota Pawon pada tanggal 18 Juni 2020
untuk bisa di kelola perekonomian nya, rata-rata anggota paguyuban berasal dari masyarakat

kecil, pengelolaan yang dilakukakan agar perekonomiaanya tidak mati serta berupaya untuk

meningkatkan kesejateraan anggotanya.19

Pembentukan paguyuban berperan sebagai tempat untuk membentuk jaringan sosial

yang berguna bagi pendatang untuk membantu mereka berwirausaha seperti berdagang.

Konsep jaringan sosial yang saling keterlekatan ini akan dapat mendiskripsikan nilai-nilai

yang dibangun dalam paguyuban. Berdasarkan keterkaitan para pedagang wedangan, dapat

diketahui bahwa modal dari jaringan sosial telah berperan dengan baik diantara para

pedagang wedangan dari peluang membuka usaha wedangan hingga informasi tempat

tinggal. Berkat adanya jaringan sosial dari paguyuban biasanya mereka membentuk

permukiman mempermudah koordinasi dengan sesama pedagang, satu permukiman

pedagang wedangan bisanya berisi teman atau kerabat dekat yang masih satu daerah. Dengan

adanya jaringan sosial di paguyuban, pedagang diharapkan dapat berinteraksi dengan sesama

pedagang lainnya yang bersifat kerjasama, kegotong-royongan dengan tujuan untuk

mempertahankan usaha yang telah dirintis.20 Selain itu jaringan sosial pada paguyuban

bermanfaat dari segi sosial maupun ekonomi, interaksi sesama pedagang yang terjalin

kedepannya dapat sebagai sarana untuk mengembangkan usaha wedangan di Surakarta.

Bagi pedagang wedangan dan pedagang makanan, tergabung dalam paguyuban

mempunyai manfaat dari segi ekonomi, sosial dan budaya. Dari segi sosial Kekompakan

paguyuban tersebut dipengaruhi karena ada ikatan kekeluargaan dan saling membantu antar

anggota, keterlekatan inilah yang di terapkan dalam kelompok paguyuban sehingga para

anggota mampu berkembang serta mampu mempertahankan usaha yang dirintis. Nilai-nilai
19
Dian Kristiyawati Utomo, “Warung Hidangan Istimewa Kampung(HIK) (Studi
Kasus Tentang Karakteristik Pengunjung, Obrolan dan Interaksi Antar Pengunjung Serta
Penjaja HIK Di Sepanjang Jalan Dr Rajiman, Solo)” Skripsi Prodi Sosiologi dan Antropologi
Universitas Sebelas Maret Surakarta , 2010 hlm. 96-98.
20
Wawancara dengan Totok Mulyanto Ketua Pawon pada tanggal 20 Juni 2020
kebersamaan dalam paguyuban pawon ditunjukan dengan adanya dengan adanya hubungan

guyub dengan sesama anggota paguyuban. Kekompakan dalam paguyuban dengan membantu

sesama anggota lain ditunjukan sebagai rasa solidaristas melalui berbagai kegiatan sosial

seperti mengunjungi anggota yang sakit, ada hajatan, melahirkan, maupun kematian.21 Semua

kegiatan yang dilaksanakan tersebut dalam rangka membangun keluargaan serta dapat

menjadi alat pemersatu bagi para anggota paguyuban karena memiliki latar sosial dan

budaya yang sama. Untuk dana dari kegiatan sosial di dapat dari kas dan pemungutan

retribusi pedagang wedangan maupun pedagang makanan.

Peran serta paguyuban mempunyai manfaat dari segi perekonomian usaha pembuat

makanan dan wedangan, selain itu pekerjaan tersebut menjajikan bagi masyarakat, karena

dapat dijadikan solusi untuk mengurangi pengangguran. Pembentukan paguyuban yang

dilakukan di harapkan dapat mengembangkan usaha agar lebih maju serta menambah jumlah

anggota untuk bergabung.22 Bergabung dengan paguyuban agar semua pedagang dapat

menjadi satu dalam satu wadah, untuk memajukan dan membuat usaha berkembang,

sehingga dengan keberlangsungan aktvitas paguyuban menjadikan eksistensi pedagang dapat

di pertahankan.

Adanya upaya pengembangan yang di lakukan oleh paguyuban dengan mengangkat

jajanan tradisonal sebagai warisan budaya dan mengelolanya dengan serius, serta

mempromosikan ke wedangan melalui paguyuban agar semakin di kenal dan diterima oleh

masyarakat umum. Paguyuban yang bergerak di bidang industri makanan wedangan

merupakan gambaran kelompok para pedagang yang peduli dengan sesama. Dari hal tersebut

ide pembentukan paguuban Pawon merupakan langkah untuk menciptakan peluang baru

21
Wawancara dengan Nico Aldli Susanto Seksi Anggota Baru Pawon pada tanggal 18
Juni 2020

22
Wawancara dengan Totok Mulyanto Ketua Pawon pada tanggal 20 Juni 2020
dibidang pengolahan pangan, harapan pembentukan paguyuban juga dapat mengangkat

kesejahteraan dari anggota dengan terbukti mampu meningkatkan penghasilan ekonomi

anggota. Selanjutnya cara yang di terapkan sebagai strategi pembangunan sosial oleh

anggota, dimana manafaat pembentukan paguyuban dapat menjadi wadah bagi pedagang,

serta saling bekerja sama dengan cara kekeluargaan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Selain itu adanya paguyuban juga bermanfaat bagi lingkungan di sekitar tempat paguyuban

berdiri dan berkembang.23

Melalui paguyuban menempatkan masyarakat sebagai pelaku penting dalam usaha yang

bergerak di bidang makanan. Aktivitas yang didilaksanakan oleh paguyuban dengan

mengelola pedagang makanan dan pedagang wedangan agar menjadi unit usaha yang

menjanjikan untuk di kembangkan dan sebagai alat untuk meningkatkan taraf kesejahteraan

anggota nya. Hal tersebut menarik minat banyak masyarakat yang ingin bergabung ke dalama

paguyuban, tidak hanya dalam kota tetapi dari dari daerah sekitar Kota Surakarta banyak

yang berasal dari pendatang, masyarakat pendatang yang bergabung dengan paguyubuan

umumnya adalh pedagang wedangan dan sebagian kecil menjadi pedagang makanan.

Kehadiran dari pendatang tersebut optimis untuk mengembangkan usahanya agar bertambah

banyak, selain itu kehadiran pendatang menambah tradisi atau kebudayaan di dalam

paguyuban, tradisi ini menambah wawasan sesama dan dalam rangka membangun hubungan

kekeluargaan di antara anggota kelompok. Hal ini dibuktikan dengan kunjungan anggota

yang sedang sakit, maupun kegiatan untuk anggota misalnya rekreasi, serta melakukan libur

selama satu minggu ketika memasuki hari raya.24 Kegiatan yang dilaksanan paguyuban dapat

dijadikan contoh bagi kelompok usaha lain yang bergerak di industri rumahan kreatif, di sisi

lain paguyuban pawon berperan melestarikan budaya di bidang makanan tradisional lewat

para anggotanya.

Wawancara dengan Seno Anggota Pawon pada tanggal 19 Juni 2020


23

24
Wawancara dengan Totok Mulyanto Ketua Pawon pada tanggal 20 Juni 2020
Keberadaan wedangan berkonsep cafe yang muncul pada tahun 2011 juga

berpengaruh bagi anggota paguyuban utamanya dari pedagang wedangan, dengan adanya

cafe berkonsep wedangan membuat pedagang wedangan tersaingi keberadaaanya,

lengkapnya fasilitas yang ditawarkan oleh wedangan modern membuat masyarakat lebih

tertarik pada wedangan berkonsep kafe dengan menawarkan fasilitas tambahan seperti

fasilitas wifi. Tidak dipungkiri akses internet menjadi salah satu fasilitas yang menarik minat

konsumen, karena konsumen dapat mengakses dunia maya dan sambil menikmati

makananan. Selain fasilitas internet wedangan berkonsep cafe mempunyai dekorasi dengan

tema lawas dan penambahan fasilitas lainnya. Lebih lanjut, paguyuban berupaya untuk

mendorong pedagang wedagan agar dapat bersaing degan wedangan modern, strategi yang

dilakukan paguyuban dengan meningkatkan kualitas makanan dan kebersihannya agar dapat

bersaing dipasaran. Strategi ini dilakukan untuk menjaga kepercayaan terhadap konsumen

agar tertarik mengunjungi wedagan tradisinal. Upaya paguyuban sebagai jalan agar pedagang

wedangan dapat bersaing dan mampu mempertahankan usaha yang dirintis, dalam upaya

mengembangkan usaha untuk meningkatkan ekonomi dan mensejahterakan pedagang

wedangan serta pedagang makanan.25 Oleh karena itu keberadaan paguyuban Pawon dapat

melestarikan makanan tradisional, serta diharapkan membawa peningkatan ekonomi, sosial,

budaya bagi anggota Pawon serta bermanfaat bagi masyarakat.

D. Kesimpulan

Perkembangan usaha wedangan di Kota Surakarta yang manjadikan dibentuknya

paguyuban pedagang wedangan di Kota Surakarta, yang berperan untuk mewadahi pedagang

wedangan dan pedagang makanan agar. Paguyuban Pawon yang terbentuk pada tahun 2003

atas prakasa dari pedagang makanan karena antusias dari semakin banyaknya pedagang

makanan. Mulanya anggota nya terdiri 100 pedagang wedangan dan 30 pedagang makanan,

25
Wawancara dengan Nico Aldli Susanto Seksi Anggota Baru Pawon pada tanggal 18
Juni 2020
kemudian pada tahun 2011 bertambah dengan 30 pedagang makanan dan 150 pedagang

wedangan.

Jaringan sosial yang ada dapat dimanfaatkan guna membangun relasi serta dapat

membantu anggota keluar dari kesulitan, serta mempermudah segala hambatan yang dimiliki

oleh anggota, karena persamaan rasa dan juga berfungsi menyatukan tujuan yang sama. Hal

ini dilakukan karena kedekatan antar individu. di lain sisi jaringan sosial bermanfaat

membantu bagi masyarakat yang ingin membuka usaha wedangan dengan perlengkapannya.

Aktivitas saling membantu yang dilakukan pedagang wedangan sehingga dapat meningkatan

kerukunan antar pedagang dan meningkatkan taraf hidup bagi anggota paguyuban.

Manfaat dari dibentuknya paguyuban dapat terlihat dari segi ekonomi, sosial dan

budaya dari segi ekonomi dapat menggerakan semangat wirausaha anggota paguyuban

manfaat di segi ekonomi ini sangat membantu anggota karena rata-rata berasal dari

masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah. Dari segi sosial, terdapat jaringan sosial di

dalam nya memudahkan anggota untuk saling membantu. Pembangunan sosial paguyuban

dapat menjadi wadah bagi pedagang dan bekerja dengan rasa solidaritas yang tinggi, serta

mengesampingkan persaingan agar dapat memajukan usaha wedangan. Dari segi budaya

paguyuban memelihara hubungan kekeluargaan di antara anggota kelompok melalui kegiatan

kegiatan kegotong royongan, maupun kegiatan kunjungan anggota. Hal ini sebagai bukti

bahwa paguyuban Pawon bermanfaat di segi budaya dan dapat dijadikan contoh bagi

masyarakat selain itu paguyuban berperan melestarikan budaya di bidang makanan

tradisional lewat produksinya. Di sisi lain Pawon membantu pedagang wedangan bertahan

dari berkembanganya wedangan berkonsep modern pada tahun 2011, dengan menerapkan

strategi meningkatkan kualitas dan kreatifitas makanan serta kebersihannya.

Upaya yang dilakukan paguyuban agar dapat bersaing dipasaran dan mendapat

kepercayaan konsumen. Paguyuban Pawon telah mampu menciptakan peluang usaha


dibidang pengolahan pangan serta terbukti mampu meningkatkan penghasilan ekonomi dan

mensejahterakan anggotanya. Lebih jauh lagi paguyuban Pawon juga berperan melestarikan

makanan tardisional dan harapannya dapat bermanfaat bagi masyarakat di Surakarta.

DAFTAR PUSTAKA
Buku:

Bintarto.1983. Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya. Jakarta Timur: Ghalia Indonesia

Purnawan Basundoroo.2012. Pengantar Sejarah Kota. Yogyakarta: Ombak

Sartono Kartodirjo .1982 Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia :Suatu


Alternatif. Jakarta: Gramedia Pustaka
Sukanto Reksohadiprojo dan A.R Karseno .1982Ekonomi Perkotaan.Yogyakarta: BPFE

Jurnal:

Edi Susanto dan Sudiro. 2014 “Hik Naik Kelas” (Kajian Sosial Ekonomi Warung HIK
(Hidangan Istimewa Kampung) di Kota Surakarta) Sebagai Usaha Kecil Menengah
Berbasis Kerakyatan Jurnal Sainstech Politeknik Indonusa Surakarta Vol. 1 No.2

Okta Hadi Nurcahyo. 2019. ”Mekanisme Bertahan Pedagang Angkringan di Era Disrupsi
(Studi Modal Sosial Pada Perdagangan Angkringan di JL.KI Hadjar
Dewantara,Surakarta)” Jurnal Pendidikan Sosiologi dan Antropologi Vol. 3 No. 1
Koran:

Heri Priyatmoko.“Angkringan dan Wong Cilik”. Kompas, Senin 23 April 2018

“Solo gudang makanan khas”. Solopos, Sabtu 4 Oktober 1997

Koran Web:

HeriPriyatmoko.2018.“KearifanAngkringan”.,http://news,detik.com/kolom/d-
3969893/kearifan-angkringan (diakses pada tanggal 11 Juli 2019 pukul 20.03 WIB)

Whisnupaksa Kridhangkara http://m.solopos.com/sejarah-angkringan-dari-bayat-klaten-


hingga-ke-pelosok-negeri-1042785 (diakses pada tanggal 10 Februari 2020 pukul 15.08
WIB).

Skripsi

Dian Kristiyawati Utomo. 2010. “Warung Hidangan Istimewa Kampung(HIK) (Studi Kasus
Tentang Karakteristik Pengunjung, Obrolan dan Interaksi Antar Pengunjung Serta
Penjaja HIK Di Sepanjang Jalan Dr Rajiman, Solo)” Skripsi Prodi Sosiologi dan
Antropologi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Raharjo,Wanto Budi. 2010 “Perumahan dan Hotel di Mangkunegaran tahun 1917-
1937.”.Skripsi Prodi Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas
Maret Surakarta

You might also like