Professional Documents
Culture Documents
Artikel Putusan Serta Merta Fix
Artikel Putusan Serta Merta Fix
Artikel Putusan Serta Merta Fix
1
ABSTRAK
Putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad), adalah putusan yang dapat
dilaksanakan atau dieksekusi terlebih dahulu meskipun putusan tersebut belum
mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Pelaksanaan putusan serta
merta harus berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk mencegah
terjadinya masalah baru akibat pelaksanaan putusan serta merta itu sendiri. Salah satu
masalah yang terjadi akibat pelaksanaan putusan serta merta adalah sulit melakukan
pemulihan kembali atas harta pailit yang telah dieksekusi apabila pailit dibatalkan
pada pengadilan tingkat banding atau kasasi oleh mahkamah agung. Hal tersebut akan
merugikan debitor dan mengganggu kelangsungan usaha debitor itu sendiri. Penelitian
ini menggunakan teknik penelitian kepustakaan yang selanjutnya dianalisis secara
kualitatif. Hukum kepailitan indonesia mengenal adanya putusan serta merta, hal ini
dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK PKPU), pelaksanaan putusan serta
merta harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam HIR/RBg, Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2000 dan SEMA Nomor 4 Tahun
2001. Ketentuan dalam undang-undang kepailitan dan beberapa SEMA sebagaimana
disebut di atas, mengenai pemberian uang jaminan yang nilainya sama dengan
objek/barang yang dieksekusi oleh pemohon eksekusi kepada pengadilan, merupakan
ketentuan yang menjamin perlindungan hukum kepada si debitor apabila dikemudian
hari pernyataan pailit dibatalkan.
2
BAB I
PENDAHULUAN
Mampu menjelaskan fungsi dan dan peran Putusan Serta Merta dalam
menyelesaikan kasus-kasus hukum di indonesia. Serta mampu menjalankan Putusan
itu dengan baik tanpa menimbulkan Kontroversi.
3
1.3 Ruang Lingkup
Putusan Serta Merta ini hanya dibatasi pada Ruang Lingkup Pengadilan
Negeri yang memang memiliki wewenang untuk menjalankan Putusan ini.
4
BAB II
LANDASAN TEORI
5
Untuk pelaksanaan eksekusi putusan serta merta, Ketua Pengadilan Negeri wajib
memperhatikan SEMA No.3 Tahun 2000 dan SEMA No.4 Tahun 2001. yang
mengatur bahwa dalam pelaksanaan putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad)
harus disertai penetapan sebagaimana diatur dalam butir 7 SEMA No.3 Tahun 2000
yang menyebutkan:
"Adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/obyek
eksekusi sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain apabila ternyata
dikemudian hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan Pengadilan Tingkat
Pertama."
Apabila jaminan tersebut berupa uang harus disimpan di Bank Pemerintah (lihat
Pasal 54 Rv).
Pelaksanaan putusan serta merta suatu gugatan, yang didasarkan adanya putusan
Hakim perdata lain yang telah berkekuatan hukum tetap tidak memerlukan uang
jaminan.2
1-- http://hukumonline.com/detail.asp?id=20590&cl=Fokus
6
BAB III
PEMBAHASAN
Pengertian
Uitvoerbarr bij voorrad atau dalam bahasa indonesianya sering diterjemahkan
dengan putusan serta merta, adalah merupakan suatu putusan pengadilan yang bisa
dijalankan terlebih dahulu, walaupun terhadap putusan tersebut dilakukan upaya
hukum Banding, Kasasi dan Perlawanan oleh pihak yang kalah atau pihak ketiga yang
merasa berhak.
Peradilan di negeri ini dibagi menjadi dua tingkat peradilan yaitu Pengadilan
Negeri ( pengadilan tingkat Pertama) dan Pengadilan Tinggi ( pengadilan tingkat
Kedua ) kedua tingkat peradilan itu disebut dengan Judex Factie, atau peradilan yang
memeriksa pokok perkara.
Adapun Mahkamah Agung tidak disebut Pengadilan Tingkat Ketiga, karena
Mahkamah Agung pada prinsipnya tidak memeriksa pokok perkara, melainkan
sebagai pemeriksa dalam penerapan hukumnya saja. Putusan uitvoerbaar bij voorrrad
tersebut dapat dijatuhkan dalam putusan pengadilan tingkat pertama dan/atau
pengadilan tingkat kedua. Dari segi hukum acara perdata putusan tersebut memang
dibolehkan walaupun menurut pengamatan dan penelitian Mahkamah Agung RI
pelaksanaan dari adanya penjatuhan putusan serta merta tersebut sering menimbulkan
berbagai masalah.
Oleh karenanya Mahkamah Agung RI mengeluarkan berbagai Surat Edaran yang
mengatur tentang tata cara dan prosedur penjatuhan serta pelaksanaan putusan
tersebut. Di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.3 tahun 2000 Mahkamah
Agung telah menetapkan tata cara, prosedur dan gugatan-gugatan yang bisa diputus
dengan putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad), dan dalam Surat Edaran
Mahkamah Agung RI Nomor 4 tahun 2001 mahkamah Agung kembali menetapkan
agar dalam setiap pelaksanaan putusan serta merta disyaratkan adanya jaminan yang
nilainya sama dengan barang/benda objek eksekusi.
Dari sini jelas sekali bahwa Mahkamah Agung sebenarnya “tidak menyetujui”
adanya putusan serta merta di dalam setiap putusan pengadilan walaupun perkara
tersebut memenuhi ketentuan pasal 180 ayat (1) HIR dan pasal 191 ayat (1) Rbg serta
pasal 332 Rv sebagai syarat wajib penjatuhan putusan serta merta. Bahwa selain
pelaksaan putusan serta merta tersebut ternyata di lapangan menimbulkan banyak
7
permasalahan apalagi dikemudian hari dalam upaya hukum berikutnya, pihak yang
Tereksekusi ternyata diputus menang oleh Hakim. oleh karenanya Hakim/Ketua
Pengadilan bersangkutan harus super hati-hati dalam mengabulkan gugatan
provisionil dan permintaan putusan serta-merta.
Adapun dapat dikabulkannya uitvoerbaar bij voorraad dan provisionil menurut
Surat Ederan Ketua Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 200 adalah : 1). Gugatan
didasarkan pada bukti surat autentik/tulis tangan yang tidak dibantah kebenarannya
oleh pihak Lawan ; 2) Gugatan hutang-piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak
dibantah ; 3). Gugatan tentang sewa-menyewa tanah,rumah,gudang dll, dimana
hubungan sewa-menyewa telah habis atau Penyewa melalaikan kewajibannya sebagai
penyewa yang baik ; 4). Pokok gugatan mengenai tuntutan harta gono-gini dan
putusannya telah inkracht ; 5) Dikabulkannya gugatan provisionil dengan
pertimbangan hukum yang tegas dan jelas serta memenuhi pasal 332 Rv ; dan 6)
Pokok sengketa mengenai bezitsrecht ;
Memang dari segi hukum belum ada yang melarang dijatuhkannya putusan
uitvoerbaar bij voorraad dalam perkara yang memenuhi ketentuan pasal 180 ayat (1)
HIR dan pasal 191 ayat (1) Rbg serta pasal 332 Rv, sehingga sampai saat ini hakim
masih sah-sah saja menjatuhkan putusan serta merta tersebut. Guna memproteksi hal-
hal yang tidak diinginkan dimana pihak yang Tereksekusi ternyata dikemudian hari
menjadi pihak yang memenangkan perkara tersebut, maka Ketua Mahkamah Agung
telah pula mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) No.4 tahun 2001 tentang Putusan
Serta-Merta yang isinya menekankan bahwa sebelum putusan serta-merta dapat
dijalankan pihak Pemohon Eksekusi diwajibkan membayar uang jaminan yang
nilainya sama dengan nilai barang/obyek eksekusi agar tidak menimbulkan kerugian
pada pihak lain.
Namun kalau yang akan dieksekusi itu sebuah bangunan yang mempunyai nilai
sejarah yang mana bangunan tersebut harus dilestarikan keberadaannya dan pihak
Pemohon Eksekusi bermaksud akan membongkar bangunan bersejarah tersebut yang
akan digantikan dengan bangunan baru sesuai dengan rencananya tentu masalahnya
menjadi lain jika di kemudian hari pihak Tereksekusi ternyata diputus menang dalam
perkara tersebut.
Ketua Pengadilan Negeri dan/atau Ketua Pengadilan Tinggi harus dapat menjamin
bahwa bangunan bersejarah yang telah dieksekusi tersebut harus tetap utuh seperti
8
semula tanpa mengalami perubahan apapun hingga upaya hukum terakhir bagi
tereksekusi tidak ada lagi ( Inkracht Van Gewijsde ).
Dan tentu tidak berlebihan dalam hal ini Ketua Mahkamah Agung telah
mengeluarkan ancaman yang keras kepada Pejabat yang bersangkutan yang
ditemukan menyimpang dalam melaksanakan putusan serta-merta sebagaimana
ditegaskannya dalam butir ke-9 SEMA No.3 tahun 2000 tentang Putusan Serta-Merta
dan Provionil.3
9
melalaikan kewajibannya sebagai Penyewa yang beritikad baik. Demikian pula
dikabulkannya gugatan provisi serta pokok sengketa mengenai bezitsrecht.
Ketiga, tentang adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai
barang/obyek eksekusi, sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain,
apabila ternyata dikemudian hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan
Pengadilan Tingkat Pertama.
Adapun poin penting SEMA No. 4 Tahun 2001, selain penegasan kembali mengenai
jaminan dalam SEMA terdahulu. SEMA ini menyatakan bahwa tidak boleh ada
putusan serta merta tanpa adanya jaminan yang sama nilainya dengan nilai barang.4
3--(http://sofyanlubis.blogspot.com/2008/07/putusan-serta-merta-dari-segi-hukum-dan.html)
4--http://hukumonline.com/detail.asp?id=16473&cl=Fokus
10
3.1 Fakta (Kontroversi Putusan Serta Merta)
1. Para hakim diimbau untuk tidak menerapkan putusan serta-merta (putusan provisi)
dalam kasus-kasus perdata. Putusan jenis ini mengandung banyak persoalan baik bagi
pemohon perkara, maupun bagi pengadilannya.
Imbauan ini diungkapkan Ketua Mahkamah Agung kepada semua ketua pengadilan
negeri dan tinggi di seluruh Indonesia. ''Putusan ini justru lebih banyak masalahnya
bagi peradilan dan banyak pihak, daripada mendatangkan manfaatnya. Karena, semua
putusan serta-merta itu hanya namanya saja, tapi tak dapat dieksekusi,'' kata Ketua
MA, Bagir Manan, dalam pidato pelantikan lima ketua pengadilan tinggi (KPT) di
Gedung MA, Selasa (27/3).
Imbauan untuk menghentikan sementara putusan serta-merta itu lebih dipertegas kali
ini oleh MA. Sebelumnya, MA berkali-kali mengimbau kepada seluruh pengadilan di
Indonesia melalui Surat Edaran MA (SEMA). Putusan provisi dimintakan oleh pihak
yang beperkara dalam gugatan perdata, biasanya dalam bentuk permintaan sita
jaminan, yang bisa dikabulkan atau ditolak sebelum persidangan memasuki
pemeriksaan pokok perkara. Bagir mengatakan, putusan serta-merta itu hanya dapat
dikeluarkan oleh hakim apabila telah terdapat bukti-bukti kuat seperti yang diatur
dalam hukum acara perdata.
Sekarang ini, katanya, gugatan itu disertai untuk meminta diputus serta-merta.
Dengan begitu, pokok perkaranya nanti dilakukan, tapi putusannya dilakukan lebih
dulu. Untuk putusan serta-merta itu, pelaksananya adalah di pengadilan tingkat
pertama. Untuk pengadilan tingkat banding, putusan ini tak diperbolehkan. Makanya,
Pengadilan Tinggi tak punya wewenang untuk membentuk putusan serta-merta.
Hanya, menurut Bagir, akhir-akhir ini ada beberapa kesulitan dalam menerapkannya,
11
terutama dari sudut prosedur. Kesulitan pertama adalah pada umumnya yang kalah
langsung banding atau kasasi. Kalau sudah begitu, penanganan perkara tak dapat
langsung dilaksanakan, karena putusannya jadi terbalik, dari yang menang menjadi
kalah.
MA juga meminta agar para hakim dan pengadilan untuk memperhatikan soal
simpang siurnya permohonan perkara. Hakim perlu memperhatikan lebih rinci lagi
soal perkara yang ternyata di dalamnya justru dapat menimbulkan sengketa. Jadi, bila
ada permohonan dikabulkan, maka menimbulkan masalah di pihak yang dirugikan.
Ini lebih banyak terjadi dalam perkara-perkara perdata.
Soal hak cipta juga menjadi sorotan MA kali ini. Menurut Bagir, banyak pencipta
lagu yang justru tidak kaya akibat tidak adanya penghargaan yang semestinya bagi
mereka.
Padahal, katanya, hak cipta itu dijamin dalam UU dan ada royaltinya. Pihaknya
berharap, para pencipta karya seni itu yang menuntut haknya atas royaltinya, justru
menjadi terpidana karena dituntut balik oleh tergugatnya.
4. http://komisiyudisial.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=494%3AHakim+tak+Boleh+lagi+Keluarkan+Putusan+Provisi&catid=1%3ABerita+Terakhir&Itemid=295&
lang=en4—
12
2. Akhirnya Pengadilan Negeri 1A Tanjung Karang(Bandar Lampung) di demo oleh
lebih dari 70 orang yang mengaku karyawan PT. Pelindo II Cabang Panjang, karena
mereka ingin melaksanakan Penetapan Eksekusi yang dikeluarkan oleh Ketua
Pengadilan Negeri 1A Tanjung Karang H.M Asnun,SH,MH.
Pada tanggal 21 Juni 2009 Ketua PN Kelas 1A Tanjung Karang yang statusnya akan
dipindahkan menjadi Ketua PN Kelas 1A Tanggerang mengeluarkan Penetapan
Eksekusi Pengosongan tertanggal 23 juni 2009, atas putusan Serta Merta (Uit
Voerbaar Bij Voorraad), dengan menimbang oleh karena tenggat waktu
pemberitahuan pengosongan kepada pihak termohon eksekusi tidak tercukupi. Yang
akhirnya dikeluarkan surat Penundaan Eksekusi Pengosongan yang ditanda tanggani
oleh Sekretaris Panitera dalam tanggal 23 Juni 2009.
Hal ini cukup membuat pihak pemohon yaitu PT.Pelindo II Cab Panjang geram,
dengan mengumpulkan 70 orang lebih yang diberi seragam PT.Pelindo II Cab
panjang untuk melaksankan demo yang direncanakan merubah penetapan pembatalan
eksekusi tersebut. Dan akhirnya dengan keluarnya penetapan yang sama
diberitahukan penundaan.
Selain itu juga termohon sedang mengajukan banding pada tinggkat Pengadilan
Tinggi. Sudah memiliki surat tembusan dari Mahkamah Agung yang ditanda tangani
oleh Ketua Muda Bidang Perdata tanggal 12 Juni 2009 bahwa mohon penundaan
eksekusi terhadap putusan tersebut, karena terkait SEMA No.3 tahun 2003 dan SEMA
No.4 tahun 2004 akan dapat menimbulkan masalah dan kesulitan dikemudian hari,
pihak Mahkamah Agung pun setelah meneliti serta mempelari dengan seksama
permasalahannya, berkaitan dengan pelaksaan eksekusi tersebut yang bersifat serta
merta, hendaknya mencermati dengan seksama ketentuan-ketentuan yang
mengaturnya.
13
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
setelah melihat serta membaca berbagai data yang ada, baik itu fakta maupun
beberapa peraturan yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung, sampailah saya pada
kesimpulan, bahwa Putusan Serta Merta yang memang selam ini sudah menjadi
bagian dari penetapan putusan-putusan yang berkenaan untuk menyelesaikan
persoalan dengan cepat tidak lah harus menjadi sebuah kewajiban, hal ini dikarenakan
sangat sedikit Hakim yang mampu menjunjung tinggi nilai-nilai amanah serta
keadilan, dan hal ini pula yang menyebabkan Putusan Serta Merta ini akan menjadi
kontroversi di berbagai Pengadilan Negeri.
Usul dan Saran
Setiap pengambil kebijakan/Hakim yang berwenang di Pengadilan Negeri
setempat haruslah memahami dengan baik perihal Putusan Serta Merta ini, dan tidak
menjadikannya Objek untuk meraup keuntungan, selain hal itu sangat dilarang dalam
peradilan di Indonesia, dan hal itu juga melanggar hukum dan bisa dikenakan Pidana
Korupsi yang Undang-undangnya sedang disahkan.
Dan hal lain yang tidak kalah penting adalah penerapan Putusan Serta Merta
memang sulit, yang pertama adalah mereka yang kalah langsung banding atau kasasi
dan akhirnya putusanya menjadi terbalik dari yang menang menjadi kalah, serta
banyak kekurangan-kekurangan lainnya yang membuat Putusan Serta Merta ini
diharapkan tidak diterapkan.
DAFTAR PUSTAKA
14
www.radarberita.com/Tentang Hukum/putusan serta merta/.htm
http://komisiyudisial.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=494%3AHakim+tak+Boleh+lagi+Keluarkan+
Putusan+Provisi&catid=1%3ABerita+Terakhir&Itemid=295&lang=en4—
(http://sofyanlubis.blogspot.com/2008/07/putusan-serta-merta-dari-segi-hukum-
dan.html)
http://hukumonline.com/detail.asp?id=16473&cl=Fokus/PUTUSANsertaMerta
http://hukumonline.com/detail.asp?id=20590&cl=Fokus
LAMPIRAN
15
SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 3 TAHUN 2000
TENTANG
PUTUSAN SERTA MERTA (UITVOERBAAR BIJ VOORAAD) DAN
PROVISIONIL KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK
INDONESIA
Jakarta, 21 Juli 2000
Nomor : MA.Kumdil/232/VI/K/2000
Kepada Yth:
1. KETUA PENGADILAN NEGERI
2. KETUA PENGADILAN AGAMA
di
SELURUH INDONESIASURAT EDARAN
NOMOR 3 TAHUN 2000
1. Berdasarkan hasil pengamatan dan pengkajian secara teliti dan cermat oleh
Mahkamah Agung tentang Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad) dan
Putusan Provisionil yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama
berdasarkan Pasal 180 ayat (1) Reglemen Indonesia Yang di Perbaharui (HIR) dan
Pasal 191 ayat (1) Reglemen Hukum Acara Untuk Luar Jawa - Madura (RBg),
Mahkamah Agung memperoleh faktafakta sebagai berikut:
a. Putusan Serta Merta dikabulkan berdasarkan bukti-bukti yang keauntentikannya
dibantah oleh Pihak Tergugat dengan bukti yang juga autentik.
b. Hakim tidak cukup mempertimbangkan atau tidak memberikan pertimbangan
hukum yang jelas dalam hal mengabulkan petitum tentang Putusan Yang Dapat
Dilaksanakan Terlebih Dahulu (serta merta) dan tuntutan Provisionil.
c. Hampir terhadap setiap jenis perkara dijatuhkan Putusan Serta Merta oleh Hakim,
sehingga menyimpang dari ketentuan Pasal 180 ayat (1) Reglemen Indonesia Yang di
Perbaharui (HIR) dan Pasal 191 ayat (1) Reglemen Hukum Acara Luar Jawa- Madura
(RBg).
d. Untuk melaksanakan Putusan Serta Merta dan Putusan Provisionil, Ketua
Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Agama meminta persetujuan ke
16
Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tinggi Agama tanpa disertai dokumen suratsurat
pendukung.
e. Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tinggi Agama tanpa meneliti secara cermat dan
sungguh-sungguh faktor-faktor ethos, pathos, logos serta dampak sosialnya
mengabulkan permohonan Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan
Agama untuk melaksanakan Putusan Serta Merta yang dijatuhkan.
f. Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Agama serta para Hakim
mengabaikan sikap hati-hati dan tidak mengindahkan SEMA No.16 Tahun 1969,
SEMA No.3 Tahun 1971, SEMA No.3 Tahun 1978 dan Buku II tentang
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan serta Pasal 54 Rv.
Sebelum menjatuhkan Putusan Serta Merta dan mengajukan permohonan izin
untuk melaksanakan Putusan Serta Merta.
5. Setelah Putusan Serta Merta dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri atau Hakim
Pengadilan Agama, maka selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diucapkan,
turunan putusan yang sah dikirimkan ke Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tinggi
Agama.
7. Adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/objek eksekusi,
sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain, apabila ternyata di kemudian
hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan Pengadilan Tingkat Pertama.
8. Terhitung sejak diterbitkannya Surat Edaran ini, maka SEMA No.16 Tahun 1969,
SEMA No.3 Tahun 1971, SEMA No.3 tahun 1978 serta SEMA yang terkait
dinyatakan tidak berlaku lagi.
18
9. Diperintahkan kepada Saudara agar petunjuk ini dilaksanakan secara sungguh-
sungguh dan penuh tanggung jawab, dan apabila ternyata ditemukan penyimpangan
dalam pelaksanaannya, maka Mahkamah Agung akan mengambil langkah tindakan
terhadap Pejabat yang bersangkutan.
19