Professional Documents
Culture Documents
Penerapan Pola Pertanian Vertikal (Larian) Di Lahan Pegunungan Oleh Masyarakat Suku Tengger Dalam Perspektif Hukum Lingkungan
Penerapan Pola Pertanian Vertikal (Larian) Di Lahan Pegunungan Oleh Masyarakat Suku Tengger Dalam Perspektif Hukum Lingkungan
Penerapan Pola Pertanian Vertikal (Larian) Di Lahan Pegunungan Oleh Masyarakat Suku Tengger Dalam Perspektif Hukum Lingkungan
Oleh:
Zaldi Nasrudin (175010100111085)
Jeremy Joel (175010100111091)
Ayu Latifiana (175010100111105)
Barlian Ayu Wisudianti (175010100111106)
Nabila Ahnafi Salsabila (175010100111110)
Daniel Hans Sunanto (175010100111114)
Sherly Desember (175010100111119)
Tivanny Dwi Gusti Asih (175010100111124)
Sekar Drupadi Muninggar (175010100111129)
Dina Kusuma Wirdani (175010100111139)
Abstrak
Masyarakat adat Tengger yang tinggal di Pegunungan Bromo, Jawa Timur adalah
daerah yang memiliki keunikan tatanan geologi dan hidrologi, dikenal sebagai
kawasan kars yang dikenal sebagai kawasan yang kering dan tandus, hal ini
diakibatkan oleh sifat batuan yang mudah larut apabila bereaksi dengan air
sehingga air yang berada di atas permukaan akan mengalir dan tersimpan di
bawah permukaan menjadi sungai-sungai bawah permukaan yang berada di dalam
gua-gua. Kekeringan menjadi permasalahan utama bagi masyarakat adat Tengger
selama beratus-ratus tahun. Munculnya peradaban manusia yang berkembang di
kawasan ini menggambarkan bahwa masyarakat di kawasan ini mampu
1
2
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan yang dilewati oleh ring of fire
sehingga menyebabkan Indonesia memiliki topografi atau bentuk muka bumi
yang beragam. Wilayah Indonesia terdiri atas wilayah perairan, lembah, dataran
rendah, dataran tinggi, hingga pegunungan curam. Kondisi tersebut memberikan
berkah bagi Indonesia dengan adanya keanekaragaman flora, fauna, dan sumber
daya alam. Tidak hanya dalam hal sumber daya alam, keberagaman kekayaan
Indonesia juga terletak pada kehidupan sosial dan budaya masyarakatnya. Hingga
saat ini masyarakat adat di Indonesia masih memiliki eksistensi dengan tetap
mempertahankan nilai-nilai adat mereka sehingga manciptakan kultur yang
berbeda-beda. Akan tetapi kondisi yang demikian ikut pula menyumbang
tantangan bagi negara untuk memastikan keadilan terhadap aksesibilitas rakyat
akan sumber daya alam seperti yang diamanatkan oleh Pancasila sila ke-5
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indoensia”.
Keadilan sebagai bagian dari nilai sosial memiliki makna yang amat luas,
bahkan pada suatu titik bisa bertentangan dengan hukum sebagai salah satu tata
nilai sosial.1 Mengingat sifatnya yang abstrak tersebut maka keadilan perlu
dimanifestasikan dalam suatu hukum agar tercipta hukum yang sebenar-benarnya.
1
Inge Dwisumiar, “Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum”, Jurnal Dinamika
Hukum, Vol. 11, No.3, (September 2011): 523, diakses 12 November 2019, doi:
http://dx.doi,org/jurnaldinamikahukum.
3
Hal ini senada dengan kenyataan bahwa Indonesia adalah negara hukum, seperti
yang tertulis dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945).
Untuk menjamin adanya keadilan terhadap aksesibilitas masyarakat
termasuk pula masyarakat adat, maka hal tersebut dijamin dalam Pasal 18B Ayat
(2) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”2
Keberadaan aturan yang demikian di dalam konstitusi menunjukkan bahwa
Indonesia memberikan kebebasan berbatas hukum terhadap masyarakat adat. Hal
ini berlaku pula terhadap masyarakat adat Tengger dalam mengakses hak-haknya
untuk mengolah lahan pertanian.
Masyarakat adat Tengger hampir 100% menggantungkan hidupnya pada
lahan pertanian.3 Kondisi geografis Suku Tengger yang terletak di daerah
pegunungan memaksa mereka untuk tetap dapat memanfaatkan lahan tersebut
menjadi lahan pertanian yang menguntungkan. Dimana dalam proses pengolahan
lahan tersebut terdapat keunikan yang berbeda dengan teknik yang lazimnya
digunakan. Masyarakat adat Tengger berasumsi bahwa dengan menggunakan
teknik pertanian vertikal (larian) pada lahan pertanian di wilayah pegunungan,
maka hasil yang mereka dapatkan akan lebih optimal. Teknik pertanian vertikal
(larian) adalah teknik pertanian dengan membuat bidang-bidang lurus secara
vertikal dari atas ke bawah mengikuti bentuk lahan pegunungan tersebut. Dengan
mengaplikasikan bentuk lahan yang demikian, maka lahan yang dapat ditanami
menjadi lebih luas karena tidak banyak yang terpotong oleh sekat-sekat pembatas.
Teknik pertanian yang demikian tidak terlepas dari adanya pengaruh sosial
dan budaya masyarakat adat Tengger sendiri. Memiliki mayoritas masyarakat
bermatapencaharian sebagai petani dengan kondisi geografis di wilayah
pegunungan, memaksa masyarakat untuk dapat mengolah lahan tersebut dengan
segala keterbatasan yang ada. Kurangnya pengetahuan masyarakat akan cara
2
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
3
Yayuk Yuliati, Perubahan Ekologis dan Strategi Adaptasi Masyarakat di Wilayah
Pegunungan Tengger, (Malang: UB Press, 2011), hlm. 99.
4
mengurangi tingkat kesuburan tanah.6 Selain itu ada bahaya erosi serta potensi
berkembangbiaknya berbagai jenis jamur dan hama.7 Sehingga sebagai jalan
tengahnya, pemerintah dalam hal ini memperbolehkan masyarakat untuk
mengelola lahan miring tersebut asal sesuai dengan peraturan yang ada.
Apabila tetap dipaksakan menggunakan teknik pertanian vertikal (larian),
maka dapat menimbulkan dampak jangka panjang pada ekosistem wilayah itu
sendiri. Tanpa dibuat menjadi bidang terasering, apabila curah hujan inggi makan
akan terjadi erosi yang mengakibatkan hilangnya unsur hara dimana hal tersebut
berpengaruh terhadap kesuburan tanah. Selain itu erosi juga dapat mengakibatkan
terkikisnya lapisan tanah bagian atas sehingga tanah menjadi lebih berpasir dan
berkurangnya kemampuan tanah dalam menyerap air. Akibat yang paling fatal
adalah dapat menyebabkan longsor.
Masih adanya pertanian vertikal oleh masyarakat adat Tengger
menunjukkan Peraturan Menteri Pertanian belum berjalan secara efektif.
Permasalahan ini membuka mata peneliti untuk melakukan penelitian dengan
metodologi yuridis normatif serta menggunkan pendekatan statute-approach dan
komparatif (membandingkan dengan teknik pertanian terasering pada lahan
serupa). Penelitian ini diharapkan dapat menjadi titik tolak pemerintah untuk
memberikan sosialisasi kepada masyarakat adat dalam melakukan pengelolaan
lahan demi menjamin keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
KAJIAN TEORI
A. Teori Konservasi Tanah Mekanik
Konservasi tanah mekanik adalah teknik pelestarian atau perlindungan
fisik mekanis yang diberikan terhadap tanah, dan pembuatan bangunan. Teknik ini
diciptakan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi. Teknik konservasi
tanah ini dikenal pula dengan sebutan metode sipil teknis. 8 Bentuk konservasi
tanah mekanik meliputi teras bangku, teras gulud, teras kredit, teras individu, teras
kebun, rorak, mulsa, barisan batu, bedengan, saluran drainase, saluran pengelak,
saluran teras, saluran pembuangan air dan bangunan terjunan, namun penulis
6
Yayuk, op.cit., hlm. 8
7
ibid
8
Dairah, dkk,. Teknologi Konservasi Tanah Mekanik. (Bogor: Pusat Penelitian dan
Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2004), hlm. 103.
6
hanya akan membahas mengenai teknik konservasi tanah mekanik jenis teras
sesuai dengan objek penelitian.
1. Teras Bangku
Teras bangku atau yang biasa disebut teras tangga (bench terrace) dibuat
dengan cara memotong lereng dan meratakan tanah dibawahnya. Jenis
teras ini disebut teras bangku atau tangga karena bentuknya yang mirip
dengan bangku atau tangga. Teras bangku ini merupakan salah satu teknik
konservasi yang sudah lama digunakan dan penggunaanya sudah semakin
berkembang. Teras ini mempunyai beberapa variasi, yaitu:
9
P3HTA (Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air). Petunjuk Teknis
Usaha Tani Konservasi Daerah Limpasan Sungai. 1990. Dalam Sukmana et al. (Eds.). Badan
Litbang Pertanian. Departemen Pertanian
7
3. Teras Kredit
Teras kredit merupakan teras yang terbentuk secara bertahap karena
tertahannya tanah dalam proses alam. Jenis teras ini terbentuk dalam
jangka waktu yang cukup lama sekitar 3 sampai 7 tahun.
4. Teras individu
Jenis teras ini disebut teras individu karena teras ini dibuat untuk setiap
tanaman terutama tanaman tahunan. Fungsi teras ini adalah untuk
melestarikan dan menjaga tanah agar tidak mengalami erosi, khususnya
bagi tanaman tahunan.
10
P3HTA (Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air). Petunjuk Teknis
Usaha Tani Konservasi Daerah Limpasan Sungai. 1990. Dalam Sukmana et al. (Eds.). Badan
Litbang Pertanian. Departemen Pertanian
11
Agusi, dkk. Teknik Konservasi Tanah dan Air. Sekretariat Tim Pengendali Bantuan
Penghijauan dan Reboisasi Pusat. 1999. Departemen Kehutanan.
8
5. Teras Kebun
Teras kebun atau orchard hillside ditches adalah teras yang ditujukan
untuk tanaman tahunan, sama seperti teras individu, namun teras kebun
dikhususkan lagi bagi tanaman buah-buahan. Ciri dari teras ini adalah
adanya interval yang bervariasi dalam jarak tanam antar tanaman buah-
buahan.
sumber daya alam yang semakin menipis. Ada tiga hal penting dalam mengatasi
situasi seperti ini, yaitu: pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana;
pembangunan berkesinambungan; dan peningkatan kualitas hidup14.
Sumber daya alam dibagi menjadi dua, yakni sumber daya alam yang
dapat diperbarui (renewable source) dan sumber daya alam yang tidak dapat
diperbarui (nonrenewable source). Dengan demikian dapat dicermati pengelolaan
sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui, yakni mencermati segi kuantitas
dan kualitas sumber daya alam tersebut, lokasi sumber daya alam, rentang waktu
penggunaan sumber daya alam, dan dampak penggunaan sumber daya alam baik
dampak positif maupun negatif15.
2. Penataan Ruang Lingkungan Hidup
Dalam melakukan pemanfaatan sumber daya alam, khususnya sumber
daya alam yang tidak dapat diperbarui, perlu diupayakan penataan ruang yang
efektif, efisien, dan berlanjut. Penataan ruang lingkungan hidup sangat
berpengaruh bagi pembangunan berkelanjutan. Sasaran yang hendak dituju adalah
penyediaan peruntukan tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya. Oleh
karena itu, penataan ruang dapat diartikan sebagai usaha untuk mengelola
lingkungan hidup dengan efisien melalui perencanaan dan pemanfaatan yang
optimal, serasi, seimbang, dan tentunya berlanjut. Maka dari itu, setiap proses
penaatan ruang wajib memperhatikan hal-hal berikut:16
14
R.M. Gatot P. Soemartono, Hukum lingkungan Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
1996), hlm. 199.
15
Emil Salim, Pembangunan Berwawasan Lingkungan, (Jakarta : L3EPS, 1986), hlm.
170.
16
Muhammad Erwin, Hukum Lingkungan dalam Sistem Pelindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2008), hlm. 36
10
17
Pip Jones, dkk, Pengantar Teori-Teori Sosial, (Jakarta: Yayasan pustaka Obor
Indonesia, 2016), hlm.25
18
Mohammad Taufiq Rahman, Glosari Teori Sosial, (Bandung: Ibnu Sina Press), hlm.30
11
PEMBAHASAN
1. Penerapan Pola Tanam Vertikal (Larian) oleh Masyarakat Adat Suku
Tengger
Pengunungan Tengger merupakan wilayah agraris,maka dari itu tidak
heran apabila masyarakat Suku Tengger lebih banyak mengahabiskan waktunya
dengan beraktivitas bercocok tanam atau sebagai petani sayuran daripada didalam
rumah. Namun timbul suatu permasalahan dalam proses bercocok tanam
masyarakat suku tengger, dimana para petani lebih memilih menggunakan pola
pertanian vertikal (larian) yang berbeda dengan sistem pertanian di daerah
12
19
Aniek Rahmaniah,“Etnografi Masyarakat Desa Ngadas Kecamatan Poncokusumo
Kabupaten Malang” (Malang: Research Report Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada
Masyarakat Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2015), hlm. 32.
20
Rachmad Safa’at, dkk, “Rekonstruksi Politik Hukum Ketahanan Pangan Berbasis
Sistem Kearifan Lokal Guna Mewujudkan Keadaulatan Pangan ”, Jurnal Media Hukum, Vol.16,
No. 3, (Desember 2019): 591, diakses 8 Desember 2019, http:/hukum.ub.ac.id.
13
para petani sayur Suku Tengger mengembangkan pola pertanian vertikal (larian)
dengan didominasi tanaman sayur kentang.21
Dengan menggunakan pola tersebut para petani sayur Suku Tengger tidak
terlalu merugi karena berkurangnya lahan pertanian. Meskipun pola pertanian
vertikal (larian) bertentangan dengan prinsip-prinsip konservasi berdasarkan
pejabat birokrasi dari Dinas kehutanan Balai Besar Taman Nasional Bromo
Tengger Semeru (BBTN-BTS) dan pendapat perguruan tinggi. 22 Selain itu,
penerapan pola vertikal (larian) menimbulkan kerusakan pada lingkungan karena
terjadinya erosi tanah dan degradasi tanah yang terus menerus mengakibatkan
penurunan tingkat produktifitas lahan.
21
Dian Antariksa, dkk, “Tinjauan Perubahan Cara Bercocok Tanam Pada Lanskap
Agrikultur di Desa Enclave Taman Naional Bromo Tengger Semeru, Ngadas, Kabupaten Malang”,
Jurnal Arsitektur Lanskep Vol. 5, No. 2, (Oktober 2019): 236
22
Aniek, Op.cit, hlm. 33
23
Teguh Imam Prawijaya, “Faktor Sosial Budaya Masyarakat Petani Mempengaruhi
Tidak Diterapkannya Sistem Terasering (Sengkedan) Dalam Pertanian”, Journal Pendidikan
Geografi FIS Unesa No. 1 Vol. 2, (2014): 44, diakses 13 November 2019, http://unesa.ac.id
14
dimiliki oleh semua masyarakat, bukan hanya dimiliki oleh masyarakat modern
saja tetapi juga dimiliki oleh masyarakat adat. Setiap masyarakat adat yang ada di
Indonesia memiliki suatu sistem atau pranata sosial budaya yang khas serta
ditopang oleh tradisi sudah dimiliki secara turun-temurun selama bertahun-tahun
dari nenek moyang sehingga akan menjadi suatu keunikan yang dijadikan suatu
identitas dari masyarakat adat tersebut.
Hal ini juga dimiliki oleh masyarakat adat Suku Tengger yang merupakan
salah satu masyarakat adat di Indonesia yang masih berpegang teguh pada adat
istiadat serta budaya nenek moyangnya, sehingga menyebabkan masyarakat adat
Suku Tengger memiliki kekhasan pada pola kehidupannya termasuk pada pola
sosial budayanya. Pola sosial budaya yang dimiliki masyarakat adat Suku Tengger
dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari mereka, dimana mata pencaharian utama
masyarakat adalah sebagai petani sehingga teknik pengolahan pertanian yang
digunakan adalah hasil dari pengaruh sosial budaya yang sudah ada sedari dulu.
Faktor Sosial
1. Ilmu Pengetahuan
Tingkat ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia sangat
mempengaruhi segala aspek kehidupan manusia itu sendiri. Salah satunya
adalah mengenai etika terhadap lingkungan. Semakin tinggi ilmu
pengetahuan yang dimiliki maka akan semakin tinggi kesadaran manusia
terhadap lingkungan yang ada di sekitarnya sehingga akan tercipta
keselarasan hidup antara manusia dengan lingkungan sekitarnya.
Tingkat ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia sangat erat
kaitannya dengan pendidikan yang ia dapatkan. Latar belakang pendidikan
masyarakat adat Suku Tengger masih tergolong rendah, hal ini dibuktikan
dengan adanya data presentase tingkat pendidikan masyarakat adat Suku
Tengger :
15
PERSENTASE (%)
TINGKAT PENDIDIKAN Argosari Wonokitri Ngadas
Lk Pr Lk Pr Lk Pr
Tidak Sekolah 5 23 0 0 0 0
SD 88 74 50 43 91 88
SLTP 7 3 32 39 9 12
SLTA 0 0 18 18 0 0
Perguruan Tinggi 0 0 0 0 0 0
Sumber: Perubahan Ekologis Dan Strategi Adaptasi Masyarakat Di
Wilayah Pegunungan Tengger, Yayuk Yuliati
Dari data pendidikan di atas dapat disimpulkan bahwa sangat rendah
tingkat pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat adat Suku Tengger
sehingga sangat rendah juga ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh
masyarakat. Hal ini mengakibatkan pengetahuan mengenai lingkungan
yang dimiliki juga sangat minim termasuk pengetahuan mengenai teknik
pertanian yang baik dan benar yang tidak menimbulkan kerusakan pada
lingkungan.
2. Teknologi
Teknologi lahir karena semakin tinggi dan beragamnya aktivitas
manusia sehingga adanya teknologi akan mempermudah aktivitas manusia
tersebut. Terasering merupakan salah satu bentuk teknologi yang ada
disektor pertanian. Dengan adanya terasering diharapkan petani yang
berada di lereng pegunungan tetap dapat menjalankan pertaniannya tanpa
takut longsor dan erosi karena model pertanian dengan terasering dapat
mengurangi laju erosi dan longsor. Namun masyarakat adat Suku Tengger
mengetahui teknik pertanian melalui turun temurun yang sudah sejak dari
dulu menggunakan model terasering dengan bentuk vertikal. Sehingga
msyarakat beranggapan bahwa apabila menggunakan terasering biasa akan
mempersulit pengerjaan lahan dan tidak akan mendapatkan keuntungan
yang banyak.
16
Faktor Budaya
Budaya merupakan kearifan lokal yang berasal dari pengetahuan,
pemahaman, keyakinan, wawasan juga adat istiadat maupun etika dan dianggap
sebagai suatu nilai yang baik dan benar yang berlangsung secara turun-temurun
selama bertahun-tahun dan merupakan akibat dari adanya interaksi antara
masyarakat setempat dengan lingkungan yang ada di sekitarnya 24. Budaya dapat
menjadi pedoman masyarakat untuk memnuhi kebutuhan-kebutuhannya. Salah
satunya adalah cara bertani yang dilakukan oleh masyarakat adat Suku Tengger
yang masih memakai cara yang diajarkan oleh nenek moyang mereka secara
turun-temurun yaitu dengan menggunakan model terasering dengan bentuk
vertikal. Masyarakat adat Suku Tengger beranggapan bahwa dengan
digunakannya model terasering dengan bentuk vertikal lebih menguntungkan
karena dapat menghasilkan hasil pertanian yang lebih maksimal dengan lahan
yang terbatas.
24
Dianing Primanita Ayuninggar, Antariksa dan Dian Kusuma Wardhani, “Kearifan
Lokal Masyarakat Suku Tengger Dalam Pemanfaatan Ruang Dan Upaya Pemeliharaan
Lingkungan”, Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011, hlm. CP.85
17
25
Deka, loc.cit.
26
Ibid.
18
27
Ibid, hlm. 6
19
Yang dimaksud dalam poin tersebut adalah bahwa sistem trap terasering
disini merupakan sistem terasering Horizontal yang sering digunakan petani pada
umumnya dalam mendukung proses pertanian di daerah lereng-lereng gunung
atau bukit dan juga digunakan sebagai pencegah terjadinya erosi tanah yang
kemudian bisa memicu terjadinya tanah longsor. Adanya pengaturan ini pada
dasarnya dikarenakan padaumumnya pertanian yang dilakukan didaerah lereng
pegunungan ayau perbukitan biasanya hanya lebih berfokus pada peningkatan
produksi sehingga masalah konservasi dari lahan pertanian itusendiri sering
diabaikan oleh para petani
Dengan diundangkannya Peraturan Mentri nomer 47 tahun 2006, maka
pemerintah mengharapkan agar pertanian yang dilakukan disekitar lereng-lereng
gunung ataupun pertanian yang dilakukan disekitar lereng-lereng bukit harus
menggunakan sistem pertanian yang sama yaitu sistem terasering Horizontal
untuk menjaga lahan pertanian sehingga terbebas dari bencana tanah longsor
yang bisa saja terjadi kapanpun saat hujan mengguyur lahan pertanian tersebut,
dan tetap menjaga tingkat kesuburan tanah serta dapat menjaga stuktur
tanah.Berbanding terbalik dengan sistem terasering yang digunakan masyarakat
adat suku tengger yang mayoritas petaninya menggunakan sistem pertanian selain
yang disebutkan dalam Peraturan Menteri tersebut, yaitu menggunakan sistem
terasering Vertikal.
Disini dapat diartikan bahwa Peraturan Menteri nomer 47 tahun 2006
masih bisa dibilang belum efektif terkait dengan pengaturan sistem terasering
yang boleh digunakan dalm pertanian lereng gunung dan atau lereng bukit, karena
masih terdapat petani yang menggunakan sistem pola pertanian terasering selain
sistem pola terasering horizontal yang disebutkan dalam undang-undang tersebut.
Walaupun sudah diundangkannya Peraturan Menteri nomer 47 tahun 2006 ini
masyarakat Suku Tengger masih menggunakan sistem pertanian terasering
vertikal dan enggan beralih untuk mengubah sistem pertaniannya menggunakan
sistem terasering horizotal.
Sebagai jalan tengah dari permasalahan tersebut maka diperlukan adanya
aturan yang tidak hanya berorientasi kepada pembangunan semata tetapi juga
harus mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat, khususnya masyarakat adat
22
yang memiliki keistimewaan. Peraturan yang dibuat haruslah tetap berdasar pada
asas dan tujuan hukum yang hendak dicapai dengan tidak mengabaikan
permasalahan yang konkret terjadi di tengah-tengah masyarakat. Untuk
menemukan hukum yang tepat, haruslah didahului dengan adanya kajian dan
penelitian. Dalam hal ini dapat menggunakan kedua pendekatan, baik pendekatan
yuridis normatif maupun yuridis sosiologis tidaklah berdiri sendiri dan dapat
digunakan untuk menjawab permasalahan sistem kearifan lokal masyarakat adat
dalam pengelolaan sumber daya alam.29 Keduanya sudah waktunya melakukan
kolaborasi dan mengintegrasikan ke dua pendekatan guna menjawab
permasalahan penelitian yang memfokusan kajiannya pada sistem kearifan lokal
demi mencapai tujuan hukum yaitu mensejahterakan dan membahagiakan
masyarakat.30
Kesimpulan
Kesimpulan dari pembahasan diatas adalah bahwasannya benar bahwa
masyarakat Tengger masih menggunakan sistem terasering vertikal. Meskipun
menurut kajian dalam perspektif hukum lingkungan berbahaya, hal tersebut tetap
dilakukan dikarenakan beberapa faktor yang dapat dijabarkan sebagai demikian.
Pertama bahwasannya faktor kurangnya kemajuan teknologi pada
masyarakat Tengger menjadi salah satu alasan mereka masih menggunakan
teknologi seadanya. Kemudian ada juga faktor bahwa mereka masih memegang
teguh nilai nenek moyang yang ada dan masih menggunakan cara- cara yang
sangat tradisional. Terakhir, bahwa faktanya memang pendidikan pada
masyarakat Tengger masih kurang sehingga mereka masih belum paham
mengenai dampak yang akan ditimbulkan dari pengunaan sistem terasering
vertikal.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
29
Rachmad Safa’at, “Ambivalensi Pendekatan Yuridis Normatif dan Yuridis Sosiologis
dalam Menelaah Sistem Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya
Alam”, Lex Jurnalica, Vol. 10, No. 1, (April, 2013): 58, diakses 8 Desember 2019,
http:/ejurnal.esaunggul.ac.id.
30
Ibid.
23
Agusi, dkk. Teknik Konservasi Tanah dan Air. Sekretariat Tim Pengendali
Bantuan Penghijauan dan Reboisasi Pusat. 1999. Departemen Kehutanan.
Ayuninggar, Dianing Primanita Ayuninggar, dkk , “Kearifan Lokal Masyarakat
Suku Tengger Dalam Pemanfaatan Ruang Dan Upaya Pemeliharaan
Lingkungan”, Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green
Living 2011, hlm. CP.85
Dairah, dkk. Teknologi Konservasi Tanah Mekanik. Bogor: Pusat Penelitian dan
Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2004.
Erwin, Muhammad. Hukum Lingkungan dalam Sistem Pelindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia, Bandung: PT Refika
Aditama, 2008
Jones, Pip dkk, Pengantar Teori-Teori Sosial. Jakarta: Yayasan pustaka Obor
Indonesia, 2016
P3HTA (Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air). Petunjuk Teknis
Usaha Tani Konservasi Daerah Limpasan Sungai. 1990. Dalam Sukmana
et al. (Eds.). Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
Rahman, Mohammad Taufiq. Glosari Teori Sosial, Bandung: Ibnu Sina Press
Rahmaniah, Aniek “Etnografi Masyarakat Desa Ngadas Kecamatan
Poncokusumo Kabupaten Malang” Malang: Research Report Lembaga
Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang, 2015
Salim, Emil. Pembangunan Berwawasan Lingkungan, Jakarta : L3EPS, 1986
Soemartono, R.M. Gatot P. Hukum lingkungan Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,
1996.
The Chinese Soil and Water Conservation Society. Soil Conservation Hand Book.
1987. The Chinese Soil and Water Conservation Society
Yuliati, Yayuk. Perubahan Ekologis dan Strategi Adaptasi Masyarakat di
Wilayah Pegunungan Tengger. Malang: UB Press, 2011.
JURNAL
Antariksa, Dian dkk, “Tinjauan Perubahan Cara Bercocok Tanam Pada Lanskap
Agrikultur di Desa Enclave Taman Naional Bromo Tengger Semeru,
24
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 47 Tahun 2006 tentang Pedoman Umum
Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan