Penerapan Pola Pertanian Vertikal (Larian) Di Lahan Pegunungan Oleh Masyarakat Suku Tengger Dalam Perspektif Hukum Lingkungan

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 25

PENERAPAN POLA PERTANIAN VERTIKAL (LARIAN) DI LAHAN

PEGUNUNGAN OLEH MASYARAKAT SUKU TENGGER DALAM


PERSPEKTIF HUKUM LINGKUNGAN

Disusun untuk memenuhi Tugas Hukum Lingkungan

Oleh:
Zaldi Nasrudin (175010100111085)
Jeremy Joel (175010100111091)
Ayu Latifiana (175010100111105)
Barlian Ayu Wisudianti (175010100111106)
Nabila Ahnafi Salsabila (175010100111110)
Daniel Hans Sunanto (175010100111114)
Sherly Desember (175010100111119)
Tivanny Dwi Gusti Asih (175010100111124)
Sekar Drupadi Muninggar (175010100111129)
Dina Kusuma Wirdani (175010100111139)

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
2019
PENERAPAN POLA PERTANIAN VERTIKAL (LARIAN) DI
LAHAN PEGUNUNGAN OLEH MASYARAKAT SUKU TENGGER
DALAM PERSPEKTIF HUKUM LINGKUNGAN
Oleh:
Zaldi Nasrudin, Jeremy Joel, Ayu Latifiana, Barlian Ayu Wisudianti, Nabila
Ahnafi Salsabila, Daniel Hans Sunanto, Sherly Desember, Tivanny Dwi Gusti
Asih, Sekar Drupadi Muninggar, dan Dina Kusuma Wirdani
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Abstract
The Tengger indigenous people who live in the Bromo Mountains, East Java are
regions that have a unique geological and hydrological structure, known as karst
areas which are known as dry and barren areas, this is due to the nature of rock
which dissolves easily when reacting with water so water located above the
surface will flow and stored below the surface into sub-surface rivers that are in
the caves. Drought has been a major problem for Tengger indigenous people for
hundreds of years. The emergence of human civilization that developed in this
region illustrates that people in this region are able to adapt to natural conditions
that provide natural resources to be utilized, one of the main resources is water,
the pattern of development of settlements in this region will always be close to its
resources where water will become the main source to meet the daily needs and
for agriculture for the people around the Bromo Mountains. In carrying out the
survival of the community has its own ways and traditions in managing existing
water resources, as well as processing the surrounding dry land into agricultural
land that can be used as a source of life for local communities, environmental
wisdom is a main pillar in the management of the area for local communities to
maintain and preserve existing resources, local culture develops and continues to
be run as a basis for local communities to run their lives. The management of the
agricultural system by the Tengger indigenous people is the main object in this
paper so there is a need to re-excavate existing local wisdom to manage the
environment better and more sustainably.
Key words: Vertical Agriculture, Tengger Tribe, Terasering

Abstrak
Masyarakat adat Tengger yang tinggal di Pegunungan Bromo, Jawa Timur adalah
daerah yang memiliki keunikan tatanan geologi dan hidrologi, dikenal sebagai
kawasan kars yang dikenal sebagai kawasan yang kering dan tandus, hal ini
diakibatkan oleh sifat batuan yang mudah larut apabila bereaksi dengan air
sehingga air yang berada di atas permukaan akan mengalir dan tersimpan di
bawah permukaan menjadi sungai-sungai bawah permukaan yang berada di dalam
gua-gua. Kekeringan menjadi permasalahan utama bagi masyarakat adat Tengger
selama beratus-ratus tahun. Munculnya peradaban manusia yang berkembang di
kawasan ini menggambarkan bahwa masyarakat di kawasan ini mampu

1
2

beradaptasi dengan kondisi alamnya yang menyediakan sumberdaya alam untuk


dapat dimanfaatkan, salah satu sumberdaya yang utama adalah air,  pola
perkembangan pemukiman di wilayah ini akan selalu mendekati pada
sumberdayanya dimana air akan menjadi sumber utama untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari dan untuk pertanian bagi masyarakat di sekitar
daerang Pegunungan Bromo. Dalam menjalankan kelangsungan hidupnya
masyarakat memiliki cara dan tradisi tersendiri dalam mengelola sumberdaya air
yang ada, serta mengolah lahan kering di sekitarnya menjadi lahan pertaniaan
yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber kehidupan masyarakat lokal, kearifan
lingkungan menjadi pilar utama dalam pengelolaan kawasan bagi masyarakat
lokal untuk menjaga dan melestarikan sumberdaya yang ada, kebudayaan lokal
berkembang dan terus dijalankan sebagai dasar bagi masyarakat lokal untuk
menjalankan kehidupannya. Pengelolaan sistem pertanian oleh masyarakat adat
Tengger menjadi objek utama dalam tulisan ini sehingga perlu  adanya penggalian
kembali kearifan lokal yang ada untuk mengelola kembali lingkungan menjadi
lebih baik dan berkelanjutan.
Kata Kunci: Pertanian Vertikal, Suku Tengger, Terasering

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan yang dilewati oleh ring of fire
sehingga menyebabkan Indonesia memiliki topografi atau bentuk muka bumi
yang beragam. Wilayah Indonesia terdiri atas wilayah perairan, lembah, dataran
rendah, dataran tinggi, hingga pegunungan curam. Kondisi tersebut memberikan
berkah bagi Indonesia dengan adanya keanekaragaman flora, fauna, dan sumber
daya alam. Tidak hanya dalam hal sumber daya alam, keberagaman kekayaan
Indonesia juga terletak pada kehidupan sosial dan budaya masyarakatnya. Hingga
saat ini masyarakat adat di Indonesia masih memiliki eksistensi dengan tetap
mempertahankan nilai-nilai adat mereka sehingga manciptakan kultur yang
berbeda-beda. Akan tetapi kondisi yang demikian ikut pula menyumbang
tantangan bagi negara untuk memastikan keadilan terhadap aksesibilitas rakyat
akan sumber daya alam seperti yang diamanatkan oleh Pancasila sila ke-5
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indoensia”.
Keadilan sebagai bagian dari nilai sosial memiliki makna yang amat luas,
bahkan pada suatu titik bisa bertentangan dengan hukum sebagai salah satu tata
nilai sosial.1 Mengingat sifatnya yang abstrak tersebut maka keadilan perlu
dimanifestasikan dalam suatu hukum agar tercipta hukum yang sebenar-benarnya.

1
Inge Dwisumiar, “Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum”, Jurnal Dinamika
Hukum, Vol. 11, No.3, (September 2011): 523, diakses 12 November 2019, doi:
http://dx.doi,org/jurnaldinamikahukum.
3

Hal ini senada dengan kenyataan bahwa Indonesia adalah negara hukum, seperti
yang tertulis dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945).
Untuk menjamin adanya keadilan terhadap aksesibilitas masyarakat
termasuk pula masyarakat adat, maka hal tersebut dijamin dalam Pasal 18B Ayat
(2) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”2
Keberadaan aturan yang demikian di dalam konstitusi menunjukkan bahwa
Indonesia memberikan kebebasan berbatas hukum terhadap masyarakat adat. Hal
ini berlaku pula terhadap masyarakat adat Tengger dalam mengakses hak-haknya
untuk mengolah lahan pertanian.
Masyarakat adat Tengger hampir 100% menggantungkan hidupnya pada
lahan pertanian.3 Kondisi geografis Suku Tengger yang terletak di daerah
pegunungan memaksa mereka untuk tetap dapat memanfaatkan lahan tersebut
menjadi lahan pertanian yang menguntungkan. Dimana dalam proses pengolahan
lahan tersebut terdapat keunikan yang berbeda dengan teknik yang lazimnya
digunakan. Masyarakat adat Tengger berasumsi bahwa dengan menggunakan
teknik pertanian vertikal (larian) pada lahan pertanian di wilayah pegunungan,
maka hasil yang mereka dapatkan akan lebih optimal. Teknik pertanian vertikal
(larian) adalah teknik pertanian dengan membuat bidang-bidang lurus secara
vertikal dari atas ke bawah mengikuti bentuk lahan pegunungan tersebut. Dengan
mengaplikasikan bentuk lahan yang demikian, maka lahan yang dapat ditanami
menjadi lebih luas karena tidak banyak yang terpotong oleh sekat-sekat pembatas.
Teknik pertanian yang demikian tidak terlepas dari adanya pengaruh sosial
dan budaya masyarakat adat Tengger sendiri. Memiliki mayoritas masyarakat
bermatapencaharian sebagai petani dengan kondisi geografis di wilayah
pegunungan, memaksa masyarakat untuk dapat mengolah lahan tersebut dengan
segala keterbatasan yang ada. Kurangnya pengetahuan masyarakat akan cara

2
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
3
Yayuk Yuliati, Perubahan Ekologis dan Strategi Adaptasi Masyarakat di Wilayah
Pegunungan Tengger, (Malang: UB Press, 2011), hlm. 99.
4

pemanfaatan lahan pegunungan menjadi salah satu faktor penyebab teknik


pertanian vertikal (larian) tersebut digunakan. Selain itu terdapat kebiasaan nenek
moyang terdahulu yang diwariskan secara turun-menurun dan dianggap sebagai
sesuatu yang benar, sehingga telah menjadi kebudayaan yang sulit untuk diubah
oleh perubahan dan ilmu pengetahuan dalam jangka waktu yang singkat.
Keyakinan masyarakat adat Tengger bahwa pertanian vertikal pada lahan
pegunungan dapat memberi hasil secara optimal tidak dapat dikatakan sebagai
suatu kebenaran. Desa Sukasari Kaler, Kabupaten Majalengka memiliki kondisi
topografi yang tidak jauh berbeda dengan topografi Tengger.4 Pada desa tersebut
lahan pegunungan diolah dengan cara menjadikannya sebagai lahan pertanian
terasering. Hasilnya adalah tidak hanya keberlangsungan kesuburan tanah yang
terjaga tetapi juga beragamnya produk pertanian yang dihasilkan. Masyarakat
Desa Sukasari Kaler memilih untuk bertani tanaman-tanaman holtikultura dengan
jenis yang beragam dan saling bergantian. Sebab, penerapan monokultur pada
lahan kering khususnya topografi miring terbukti memberikan banyak dampak
negatif terhadap ekosistem lingkungan dan produksi pertanian.5 Hal ini
membuktikan bahwa teknik pertanian terasering tetap dapat memberikan hasil
yang optimal asal diimbangi dengan adanya cara bercocok tanam yang benar.
Pertanian vertikal (larian) pada lahan pegunungan sebenarnya
bertentangan dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 47 Tahun 2006 tentang
Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan yang mengatur
bahwasanya pengolahan lahan miring sebagai lahan pertanian harus menerapkan
asas berkelanjutan yang salah satu langkahnya adalah dengan menerapkan teknik
pertanian terasering. Peraturan tersebut dibentuk dengan tujuan untuk menjaga
keberlangsungan tanah pertanian pada wilayah pegunungan atau lahan miring.
Lahan pada wilayah topografi yang demikian biasanya berupa lahan kering atau
tegal. Sistem pertanian tegal atau ladang tidak memiliki daya tahan ekologis
sekuat sistem pertanian sawah yang sungguh-sungguh berkesinambungan,
sehingga apabila diusahakan secara intensif dan terus-menerus maka akan
4
Deka Ayu Maretya, “Perilaku Petani dalam Mengelola Lahan Terasering di Desa
Sukasare Kaler Kecamatan Argopuro Kbupaten Majalengka”, Jurnal Jurisprudence, Vol. 3 No. 5,
(Februari 2017): 2
5
Darmawan Risal, dkk, “Efektifitas Sistem Pertanian Terpadu Hedgerows terhadap
Peningkatan Produktivitas Lahan Kering”, Jurnal Sains & Teknologi, Vol. 14, No. 3, (Desember
2014): 226, diakses 13 November 2019, http://pasca.unhas.ac.id.
5

mengurangi tingkat kesuburan tanah.6 Selain itu ada bahaya erosi serta potensi
berkembangbiaknya berbagai jenis jamur dan hama.7 Sehingga sebagai jalan
tengahnya, pemerintah dalam hal ini memperbolehkan masyarakat untuk
mengelola lahan miring tersebut asal sesuai dengan peraturan yang ada.
Apabila tetap dipaksakan menggunakan teknik pertanian vertikal (larian),
maka dapat menimbulkan dampak jangka panjang pada ekosistem wilayah itu
sendiri. Tanpa dibuat menjadi bidang terasering, apabila curah hujan inggi makan
akan terjadi erosi yang mengakibatkan hilangnya unsur hara dimana hal tersebut
berpengaruh terhadap kesuburan tanah. Selain itu erosi juga dapat mengakibatkan
terkikisnya lapisan tanah bagian atas sehingga tanah menjadi lebih berpasir dan
berkurangnya kemampuan tanah dalam menyerap air. Akibat yang paling fatal
adalah dapat menyebabkan longsor.
Masih adanya pertanian vertikal oleh masyarakat adat Tengger
menunjukkan Peraturan Menteri Pertanian belum berjalan secara efektif.
Permasalahan ini membuka mata peneliti untuk melakukan penelitian dengan
metodologi yuridis normatif serta menggunkan pendekatan statute-approach dan
komparatif (membandingkan dengan teknik pertanian terasering pada lahan
serupa). Penelitian ini diharapkan dapat menjadi titik tolak pemerintah untuk
memberikan sosialisasi kepada masyarakat adat dalam melakukan pengelolaan
lahan demi menjamin keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

KAJIAN TEORI
A. Teori Konservasi Tanah Mekanik
Konservasi tanah mekanik adalah teknik pelestarian atau perlindungan
fisik mekanis yang diberikan terhadap tanah, dan pembuatan bangunan. Teknik ini
diciptakan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi. Teknik konservasi
tanah ini dikenal pula dengan sebutan metode sipil teknis. 8 Bentuk konservasi
tanah mekanik meliputi teras bangku, teras gulud, teras kredit, teras individu, teras
kebun, rorak, mulsa, barisan batu, bedengan, saluran drainase, saluran pengelak,
saluran teras, saluran pembuangan air dan bangunan terjunan, namun penulis
6
Yayuk, op.cit., hlm. 8
7
ibid
8
Dairah, dkk,. Teknologi Konservasi Tanah Mekanik. (Bogor: Pusat Penelitian dan
Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2004), hlm. 103.
6

hanya akan membahas mengenai teknik konservasi tanah mekanik jenis teras
sesuai dengan objek penelitian.
1. Teras Bangku
Teras bangku atau yang biasa disebut teras tangga (bench terrace) dibuat
dengan cara memotong lereng dan meratakan tanah dibawahnya. Jenis
teras ini disebut teras bangku atau tangga karena bentuknya yang mirip
dengan bangku atau tangga. Teras bangku ini merupakan salah satu teknik
konservasi yang sudah lama digunakan dan penggunaanya sudah semakin
berkembang. Teras ini mempunyai beberapa variasi, yaitu:

Gambar 1. Empat tipe teras bangku9


2. Teras Gulud
Teras gulud adalah barisan guludan yang diberi saluran air dibelakang
guludnya, fungisnya serupa dengan teras bangku, namun teknik ini lebih
efektif diterapkan di lereng pegunungan yang mempunyai kemiringan 10-
40%.

9
P3HTA (Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air). Petunjuk Teknis
Usaha Tani Konservasi Daerah Limpasan Sungai. 1990. Dalam Sukmana et al. (Eds.). Badan
Litbang Pertanian. Departemen Pertanian
7

Gambar 2. Teras Gulud tampak samping10

3. Teras Kredit
Teras kredit merupakan teras yang terbentuk secara bertahap karena
tertahannya tanah dalam proses alam. Jenis teras ini terbentuk dalam
jangka waktu yang cukup lama sekitar 3 sampai 7 tahun.

Gambar 3. Sketsa dan foto teras kredit11

4. Teras individu
Jenis teras ini disebut teras individu karena teras ini dibuat untuk setiap
tanaman terutama tanaman tahunan. Fungsi teras ini adalah untuk
melestarikan dan menjaga tanah agar tidak mengalami erosi, khususnya
bagi tanaman tahunan.

10
P3HTA (Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air). Petunjuk Teknis
Usaha Tani Konservasi Daerah Limpasan Sungai. 1990. Dalam Sukmana et al. (Eds.). Badan
Litbang Pertanian. Departemen Pertanian
11
Agusi, dkk. Teknik Konservasi Tanah dan Air. Sekretariat Tim Pengendali Bantuan
Penghijauan dan Reboisasi Pusat. 1999. Departemen Kehutanan.
8

Gambar 4. Sketsa teras individu12

5. Teras Kebun
Teras kebun atau orchard hillside ditches adalah teras yang ditujukan
untuk tanaman tahunan, sama seperti teras individu, namun teras kebun
dikhususkan lagi bagi tanaman buah-buahan. Ciri dari teras ini adalah
adanya interval yang bervariasi dalam jarak tanam antar tanaman buah-
buahan.

Gambar 5. Sketsa teras kebun13


B. Teori Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan Hidup
1. Hakikat Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan Hidup
Pembangunan dilakukan dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup
manusia. Idealnya pembangunan berjalan dengan efektif namun juga tetap dapat
melestarikan sumber daya alam. Pada prakteknya, pembangunan berkelanjutan
dihadapkan dengan dua pilihan, yakni kebutuhan penduduk yang meningkat dan
12
The Chinese Soil and Water Conservation Society. Soil Conservation Hand Book.
1987. The Chinese Soil and Water Conservation Society
13
Agus et al. Teknik Konservasi Tanah dan Air. Sekretariat Tim Pengendali Bantuan
Penghijauan dan Reboisasi Pusat. 1999. Departemen Kehutanan.
9

sumber daya alam yang semakin menipis. Ada tiga hal penting dalam mengatasi
situasi seperti ini, yaitu: pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana;
pembangunan berkesinambungan; dan peningkatan kualitas hidup14.
Sumber daya alam dibagi menjadi dua, yakni sumber daya alam yang
dapat diperbarui (renewable source) dan sumber daya alam yang tidak dapat
diperbarui (nonrenewable source). Dengan demikian dapat dicermati pengelolaan
sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui, yakni mencermati segi kuantitas
dan kualitas sumber daya alam tersebut, lokasi sumber daya alam, rentang waktu
penggunaan sumber daya alam, dan dampak penggunaan sumber daya alam baik
dampak positif maupun negatif15.
2. Penataan Ruang Lingkungan Hidup
Dalam melakukan pemanfaatan sumber daya alam, khususnya sumber
daya alam yang tidak dapat diperbarui, perlu diupayakan penataan ruang yang
efektif, efisien, dan berlanjut. Penataan ruang lingkungan hidup sangat
berpengaruh bagi pembangunan berkelanjutan. Sasaran yang hendak dituju adalah
penyediaan peruntukan tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya. Oleh
karena itu, penataan ruang dapat diartikan sebagai usaha untuk mengelola
lingkungan hidup dengan efisien melalui perencanaan dan pemanfaatan yang
optimal, serasi, seimbang, dan tentunya berlanjut. Maka dari itu, setiap proses
penaatan ruang wajib memperhatikan hal-hal berikut:16

1. Perlindungan dan pengamaan terhadap proses ekologi dan faktor-faktor


pendukung kehidupan
2. Pelestarian keanekaragaman jenis dan plasma nutfah
3. Pemanfaatan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan, khususnya
sumber daya yang tidak dapat diperbarui, seperti tanah.

3. Peran Serta Masyarakat

14
R.M. Gatot P. Soemartono, Hukum lingkungan Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
1996), hlm. 199.
15
Emil Salim, Pembangunan Berwawasan Lingkungan, (Jakarta : L3EPS, 1986), hlm.
170.
16
Muhammad Erwin, Hukum Lingkungan dalam Sistem Pelindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2008), hlm. 36
10

Peran serta masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan sangat penting.


Pada umumnya, peran masyarakat dibutuhkan dalam proses adminisrasi,
khususnya dalam proses penerbitan izin. Namun penulis kali ini mengkaji dalam
sudut pandang yang berbeda, yakni dari kultur budaya dan latar belakang
pendidikan masyarakat di suatu daerah, khususnya daerah pedesaan. Peran
masyarakat sangat menentukan bagaimana pembangunan berkelanjutan dapat
diaplikasikan dalam daerah tersebut. Masyarakat pedesaan biasanya hanya
mengandalkan budaya yang didapat dari pengalaman leluhurnya tanpa
memedulikan bagaimana sebenarnya cara mengolah sumber daya alam,
khususnya yang tidak dapat diperbarui, seperti mengolah tanah. Pendidikan untuk
mengembangkan intelektual masyarakat desa sampai saat ini belum efektif
dijalankan sehingga masih banyak masyarakat desa di bagian lereng gunung yang
masih salah dalam mengelola tanh disekitarnya

C. Teori Sosial Masyarakat


Menurut teori sosiologi ini, Sosialisasi merupakan norma serta nilai-nilai
yang menghasilkan kesepakatan, ataupun konsesus, antara orang-orang mengenai
perilaku dan keyakinan yang sesuai tanpa kedua ini masyarakat tidak dapat hidup.
Itulah sebab cara pandang ini disebut teori struktual-konsensus. Melalui
sosialisasi, aturan-aturan kebudayaan menstrukturkan perilaku, menjamin
consensus dalam perilaku yang diharapkan, dan menjamin keteraturan social.17
Teori sosiologi dalam bahasa yang paling umum, teori sosiologi adalah
satu hal yang mengenai masyarakat,, fenomena social, dan perilkau manusia. R.K.
mendefinisikan teori sosiologi sebagai himpunan anggapan yang berkaikat dan
logis, yang dengan keseragaman empirik.18 Pada dasarnya, sosiologi merupakan
penjelasan dan ramlan secara teratur mengenai sifat, pola dan aspek-aspek lain
komunikasinya manusia dalam kehidupan masyarakat. Teori sosiologi biasanya
menyatukan dari segala aspek mengenai kehidupan social ke dalam satu pola.
Ide-ide mengenai masyarakat dan kehidupan social yang telah
dikemukakan oleh tokoh-tokoh sosiologi klasik seperti Durkheim, Marx, dan

17
Pip Jones, dkk, Pengantar Teori-Teori Sosial, (Jakarta: Yayasan pustaka Obor
Indonesia, 2016), hlm.25
18
Mohammad Taufiq Rahman, Glosari Teori Sosial, (Bandung: Ibnu Sina Press), hlm.30
11

Weber dianggap sebagai teoritis dikarenakan sebagian besar tulisan mereka


berkisar disekitar anggapan dan prinsip dasar mengenai fenomena social dan
masyarakat, serta rangka dasar konseptual dalam pemikir sosiologi modern.
Hubungan antara teori social masyarakat dengan Penerapan pola pertanian
vertical (larian) dilahan pegunungan oleh suku tengger dalam perspektif hukum
lingkan lebih ditekankan pada masyarakat suku tengger karena mereka mayoritas
pekerjaannya merupakan petani dan mereka sepakat untuk membuat pola
pertanian vertical(larian) dikarenakan keuntungan yang didapatkan lebih banyak
dari pada menerapkan pola pertanian secara horizontal sedangkan dalam peraturan
tidak dibolehkan menerapkan pola pertanian vertical dikarenakan menyebabkan
tanah longsor yang akan mengakibatkan lebih banyak lagi kerugian yang anak
didaptkan oleh para petani di suku tengger.
Teori social masyarakat sangat dibutuhkan karena apabila masyarakat
tidak mengenal teori ini maka masyarakat tidak akan bisa Bersatu dan manusia
akan seenaknya sendiri tanpa mempertimbangkan resiko yang didaptkan.
Masyarakat ditengger menggunakan teori social masyarakat ketika mereka
berkumpul untuk menyelesaikan permasalah didaerah tersebut . Dengan
menggunakan teori ini lebih memudahkan kepala adat untuk memutuskan suatu
permasalahan dikarenakan setiap orang mempunyai pendapat masing-masing dan
ketika pendapat dianggap masuk akal dan banyak yang berpendapat sama maka
kepala adat memutus dengan mudah dan benar.

PEMBAHASAN
1. Penerapan Pola Tanam Vertikal (Larian) oleh Masyarakat Adat Suku
Tengger
Pengunungan Tengger merupakan wilayah agraris,maka dari itu tidak
heran apabila masyarakat Suku Tengger lebih banyak mengahabiskan waktunya
dengan beraktivitas bercocok tanam atau sebagai petani sayuran daripada didalam
rumah. Namun timbul suatu permasalahan dalam proses bercocok tanam
masyarakat suku tengger, dimana para petani lebih memilih menggunakan pola
pertanian vertikal (larian) yang berbeda dengan sistem pertanian di daerah
12

pengunungan pulau jawa yang lain yaitu menggunakan sistem terasering


horizontal (sengkedan).19

Pola tanam vertikal (larian) di desa Ngadas Suku Tengger


Sumber : Identifikasi, 2019
Pola pertanian vertikal (larian) adalah sistem pertanian yang
memproduksi hasil pangan dalam lapisan yang ditumpuk secara vertikal (ke atas).
Dampak negatif dari sstem pertanian tersebut mengakibatkan terjadinya erosi
tanah,tanah longsor. Alasan masyarakat adat Tengger menggunakan teknik
pertanian larian antara lain adalah, memperingan beban kerja mereka dengan
kondisi lahan yang memiliki kemiringan yang tajam, bibit yang ditanam lebih
terselamatkan dari injakan kaki sewaktu menanam, selain itu mereka beranggapan
bahwa dengan menggunakan teknik yang demikian dapat mempercepat
penyerapan air ke dalam tanah.20
Penerapan pola pertanian vertikal (larian) oleh masyarakat Suku Tengger
diakibatkan adanya pembagian lahan pertanian antara pemerintah dengan para
petani di wilayah Suku Tengger. Dengan adanya Kongres Taman Nasional se-
Dunia ke-3 di Denpasar, Bali tahun 1982, pemerintah Indonesia menetapkan
Bromo Tengger Semeru menjadi kawasan Taman Nasional.Adanya pentepan
Bromo Tengger Semeru menjadi kawasan Taman Nasional tersebut membawa
dampak buruk yaitu berkurangnya lahan petani suku tengger karena terdapat batas
hutan lindung milik Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS).Akhirnya,

19
Aniek Rahmaniah,“Etnografi Masyarakat Desa Ngadas Kecamatan Poncokusumo
Kabupaten Malang” (Malang: Research Report Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada
Masyarakat Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2015), hlm. 32.
20
Rachmad Safa’at, dkk, “Rekonstruksi Politik Hukum Ketahanan Pangan Berbasis
Sistem Kearifan Lokal Guna Mewujudkan Keadaulatan Pangan ”, Jurnal Media Hukum, Vol.16,
No. 3, (Desember 2019): 591, diakses 8 Desember 2019, http:/hukum.ub.ac.id.
13

para petani sayur Suku Tengger mengembangkan pola pertanian vertikal (larian)
dengan didominasi tanaman sayur kentang.21

Dengan menggunakan pola tersebut para petani sayur Suku Tengger tidak
terlalu merugi karena berkurangnya lahan pertanian. Meskipun pola pertanian
vertikal (larian) bertentangan dengan prinsip-prinsip konservasi berdasarkan
pejabat birokrasi dari Dinas kehutanan Balai Besar Taman Nasional Bromo
Tengger Semeru (BBTN-BTS) dan pendapat perguruan tinggi. 22 Selain itu,
penerapan pola vertikal (larian) menimbulkan kerusakan pada lingkungan karena
terjadinya erosi tanah dan degradasi tanah yang terus menerus mengakibatkan
penurunan tingkat produktifitas lahan.

2. Faktor Sosial Budaya Yang Melatar Belakangi


Sosial budaya adalah segala hal yang diciptakan oleh manusia dengan
pemikiran dan budi nuraninya yang diperuntukkan dalam kehidupan
bermasyarakat dimana manusia sebagai makhluk sosial 23. Struktur sosial budaya

21
Dian Antariksa, dkk, “Tinjauan Perubahan Cara Bercocok Tanam Pada Lanskap
Agrikultur di Desa Enclave Taman Naional Bromo Tengger Semeru, Ngadas, Kabupaten Malang”,
Jurnal Arsitektur Lanskep Vol. 5, No. 2, (Oktober 2019): 236
22
Aniek, Op.cit, hlm. 33
23
Teguh Imam Prawijaya, “Faktor Sosial Budaya Masyarakat Petani Mempengaruhi
Tidak Diterapkannya Sistem Terasering (Sengkedan) Dalam Pertanian”, Journal Pendidikan
Geografi FIS Unesa No. 1 Vol. 2, (2014): 44, diakses 13 November 2019, http://unesa.ac.id
14

dimiliki oleh semua masyarakat, bukan hanya dimiliki oleh masyarakat modern
saja tetapi juga dimiliki oleh masyarakat adat. Setiap masyarakat adat yang ada di
Indonesia memiliki suatu sistem atau pranata sosial budaya yang khas serta
ditopang oleh tradisi sudah dimiliki secara turun-temurun selama bertahun-tahun
dari nenek moyang sehingga akan menjadi suatu keunikan yang dijadikan suatu
identitas dari masyarakat adat tersebut.
Hal ini juga dimiliki oleh masyarakat adat Suku Tengger yang merupakan
salah satu masyarakat adat di Indonesia yang masih berpegang teguh pada adat
istiadat serta budaya nenek moyangnya, sehingga menyebabkan masyarakat adat
Suku Tengger memiliki kekhasan pada pola kehidupannya termasuk pada pola
sosial budayanya. Pola sosial budaya yang dimiliki masyarakat adat Suku Tengger
dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari mereka, dimana mata pencaharian utama
masyarakat adalah sebagai petani sehingga teknik pengolahan pertanian yang
digunakan adalah hasil dari pengaruh sosial budaya yang sudah ada sedari dulu.
 Faktor Sosial
1. Ilmu Pengetahuan
Tingkat ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia sangat
mempengaruhi segala aspek kehidupan manusia itu sendiri. Salah satunya
adalah mengenai etika terhadap lingkungan. Semakin tinggi ilmu
pengetahuan yang dimiliki maka akan semakin tinggi kesadaran manusia
terhadap lingkungan yang ada di sekitarnya sehingga akan tercipta
keselarasan hidup antara manusia dengan lingkungan sekitarnya.
Tingkat ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia sangat erat
kaitannya dengan pendidikan yang ia dapatkan. Latar belakang pendidikan
masyarakat adat Suku Tengger masih tergolong rendah, hal ini dibuktikan
dengan adanya data presentase tingkat pendidikan masyarakat adat Suku
Tengger :
15

PERSENTASE (%)
TINGKAT PENDIDIKAN Argosari Wonokitri Ngadas
Lk Pr Lk Pr Lk Pr
Tidak Sekolah 5 23 0 0 0 0
SD 88 74 50 43 91 88
SLTP 7 3 32 39 9 12
SLTA 0 0 18 18 0 0
Perguruan Tinggi 0 0 0 0 0 0
Sumber: Perubahan Ekologis Dan Strategi Adaptasi Masyarakat Di
Wilayah Pegunungan Tengger, Yayuk Yuliati
Dari data pendidikan di atas dapat disimpulkan bahwa sangat rendah
tingkat pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat adat Suku Tengger
sehingga sangat rendah juga ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh
masyarakat. Hal ini mengakibatkan pengetahuan mengenai lingkungan
yang dimiliki juga sangat minim termasuk pengetahuan mengenai teknik
pertanian yang baik dan benar yang tidak menimbulkan kerusakan pada
lingkungan.
2. Teknologi
Teknologi lahir karena semakin tinggi dan beragamnya aktivitas
manusia sehingga adanya teknologi akan mempermudah aktivitas manusia
tersebut. Terasering merupakan salah satu bentuk teknologi yang ada
disektor pertanian. Dengan adanya terasering diharapkan petani yang
berada di lereng pegunungan tetap dapat menjalankan pertaniannya tanpa
takut longsor dan erosi karena model pertanian dengan terasering dapat
mengurangi laju erosi dan longsor. Namun masyarakat adat Suku Tengger
mengetahui teknik pertanian melalui turun temurun yang sudah sejak dari
dulu menggunakan model terasering dengan bentuk vertikal. Sehingga
msyarakat beranggapan bahwa apabila menggunakan terasering biasa akan
mempersulit pengerjaan lahan dan tidak akan mendapatkan keuntungan
yang banyak.
16

 Faktor Budaya
Budaya merupakan kearifan lokal yang berasal dari pengetahuan,
pemahaman, keyakinan, wawasan juga adat istiadat maupun etika dan dianggap
sebagai suatu nilai yang baik dan benar yang berlangsung secara turun-temurun
selama bertahun-tahun dan merupakan akibat dari adanya interaksi antara
masyarakat setempat dengan lingkungan yang ada di sekitarnya 24. Budaya dapat
menjadi pedoman masyarakat untuk memnuhi kebutuhan-kebutuhannya. Salah
satunya adalah cara bertani yang dilakukan oleh masyarakat adat Suku Tengger
yang masih memakai cara yang diajarkan oleh nenek moyang mereka secara
turun-temurun yaitu dengan menggunakan model terasering dengan bentuk
vertikal. Masyarakat adat Suku Tengger beranggapan bahwa dengan
digunakannya model terasering dengan bentuk vertikal lebih menguntungkan
karena dapat menghasilkan hasil pertanian yang lebih maksimal dengan lahan
yang terbatas.

3. Penerapan Terasering di Desa Sukasari Kaler, Majalengka Yang Memiliki


Kondisi Geografi Sama Dengan Wilayah Suku Tengger
Desa Sukasari Kaler yang menerapkan sistem pertanian terasering
terletak di Kabupaten Majalengka. Kabupaten Majalengka tepatnya di bagian
tenggara berbatasan langsung dengan Kabupaten Kuningan merupakan daerah
Kaki Gunung Ciremai yang terdiri dari perbukitan. Dengan keadaan topografi
tersebut, tepatnya di daerah Kecamatan Argapura menjadi daerah pertanian dan
perkebunan. Sebagian wilayah Kecamatan Argapura merupakan daerah
perbukitan terjal dengan kemiringan lerengnya berkisar 15% - 50% (Profil Kec.
Argapura, 2015). Dengan kemiringan lereng tersebut, beberapa lahan dijadikan
berundak-undak, sehingga terciptalah lahan pertanian berterasering. Lahan
pertanian yang berterasering tersebut dimanfaatkan untuk tanaman hortikultura
seperti bawang daun, bawang merah, tomat, kubis, kentang, cabe merah, sawi, dan
wortel. Lahan berundak-undak tersebut berada pada sebagian Bukit Panyaweuyan
Desa Sukasari Kaler sehingga lebih dikenal dengan sebutan Terasering

24
Dianing Primanita Ayuninggar, Antariksa dan Dian Kusuma Wardhani, “Kearifan
Lokal Masyarakat Suku Tengger Dalam Pemanfaatan Ruang Dan Upaya Pemeliharaan
Lingkungan”, Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011, hlm. CP.85
17

Panyaweuyan Argapura.25 Kondisi geografi tersebut dapat dibilang hampir sama


dengan kondisi geografi masyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri, Kecamatan
Tosari, Kabupaten Pasuruan.
Petani membuat terasering dengan tujuan untuk mengurangi panjang
lereng dan menahan atau memperkecil aliran permukaan tanah agar air dapat
meresap ke dalam tanah. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya erosi
(Arsyad, 2010). Kegiatan pemanfaatan lahan di Bukit Panyaweuyan tentunya
memerlukan pengelolaan lahan yang intensif. Petani di Desa Sukasari Kaler
beradaptasi dengan kondisi lahan yang berbukit dengan memanfaatkan lahan
untuk menanam tanaman hortikultura. Di Indonesia, sebagian besar masyarakat
yang mengembangkan tanaman hortikultura adalah masarakat petani pedesaan.
Menurut Haerani (2001) budidaya tanaman hortikultura di Indonesia masih
banyak dilakukan secara konvensional dengan menggunakan tenaga manusia.
Kurangnya pengetahuan para petani terhadap perkembangan teknologi sehingga
menjadikan petani mengolah tanah secara manual.26
Dengan pembuatan terasering tersebut sama sekaali tidak mengurangi
hasil panen dari masyarakat di Desa Sukasari tersebut. Bahkan pendapatan dari
hasil pertanian masyarakat tersebut dapat dikatakan cukup tinggi untuk
masyarakat yang tinggal di pedesaan.
Variabel pendapatan rumah tangga merupakan variabel yang
menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat petani yang mengelola lahan.
Pendapatan rumah tangga yang diukur berdasarkan pendapatan yang berasal dari
hasil usaha tani dalam setahun yang kemudian dibagi perbulan. Dapat diketahui
bahwa pendapatan petani di Desa Sukasari Kaler dominan lebih dari Rp
4.000.000 sebanyak 50%, sedangkan yang berkisar Rp 2.000.000 – Rp 4.000.000
yaitu hanya 7%. Selain itu, yang kurang dari Rp 2.000.000 yaitu sebanyak 43%.
Hal ini dikarenakan petani memiliki lahan yang gunakan secara maksimal. Dapat
diketahui bahwa rata-rata petani dapat mencukupi kebutuhan keluarganya.
Mengingat kehidupan di desa tidak memerlukan biaya yang besar. Jika dilihat
berdasarkan besaran UMK Majalengka yaitu sebesar Rp 1.525.632, hal ini dapat

25
Deka, loc.cit.
26
Ibid.
18

dikatakan bahwa petani di Desa Sukasari Kaler memiliki kehidupan yang


sejahtera karena memperoleh pendapatan rata-rata sebesar Rp 5.700.000/bulan. 27
Selain itu, dengan dibuatnya terasering dalam sistem pertanian
masyarakat di Desa Sukasari, juga berdampak positif terhadap penanggulangan
bencana longsor di desa tersebut. Berdasarkan data dari BNPB, daerah rawan
longsor di Kabupaten majalengka biasanya terjadi di daerah yang tidak
menerapkan terasering dalam sistem pertaniannya. Hal tersebut dikarenakan air
langsung mengalir tanpa dapat diserap secara sempurna oleh tanah dan
mengakibatkan struktur tanah terus tergerus sehingga menyebabkan longsor.

4. Penerapan Pola Tanam Vertikal (Larian) oleh Masyarakat Adat Suku


Tengger dalam Perspektif Hukum Lingkungan
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 47 Tahun 2006 tentang Pedoman
Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan telah mengatur bahwa
Daerah rawan longsor harus dijadikan areal konservasi, sehingga bebas dari
kegiatan pertanian, pembangunan perumahan dan infrastruktur. Apabila lahan
digunakan untuk perumahan maka bahaya longsor akan meningkat, sehingga
dapat mengancam keselamatan penduduk di daerah tersebut dan di sekitarnya.
Penerapan teknik pengendalian longsor diarahkan ke daerah rawan longsor yang
sudah terlanjur dijadikan lahan pertanian areal rawan longsor yang belum dibuka
direkomendasikan untuk tetap dipertahankan dalam kondisi vegetasi permanen,
seperti cagar alam, kawasan konservasi, dan hutan lindung.
Pengendalian longsor dapat direncanakan dan diimplementasikan melalui
pendekatan mekanis (sipil teknis) dan vegetatif atau kombinasi keduanya. Pada
kondisi yang sangat parah, pendekatan mekanis seringkali bersifat mutlak jika
pendekatan vegetatif saja tidak cukup memadai untuk menanggulangi longsor.
Salah satu pendekatan mekanis yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan
teknik terasering pada lahan pertanian yang berada diwilayah pegunungan. Jelas
hal ini bertolak belakang dengan teknik pertanian yang saat ini diupayakan oleh
masyarkat adat Tengger, yaitu pola pertanian dengan menggunakan teknik
vertikal (larian).

27
Ibid, hlm. 6
19

Sebagai pencegahan terhadap erosi, Menteri Pertanian telah mengatur


mengenai penerapan jenis-jenis teras sesuai dengan jenis tanah dan topografinya
antara lain,
1. Teras bangku atau teras tangga dibuat dengan cara memotong panjang
lereng dan meratakan tanah di bagian bawahnya, sehingga terjadi
deretan bangunan yang berbentuk seperti tangga. Efektivitas teras
bangku sebagai pengendali erosi akan meningkat bila ditanami dengan
tanaman penguat teras di bibir dan tampingan teras. Rumput dan
legum pohon merupakan tanaman yang baik untuk digunakan sebagai
penguat teras. Tanaman murbei sebagai tanaman penguat teras banyak
ditanam di daerah pengembangan ulat sutra. Teras bangku adakalanya
dapat diperkuat dengan batu yang disusun, khususnya pada tampingan.
Model seperti ini banyak diterapkan di kawasan yang berbatu.
2. Teras gulud adalah barisan guludan yang dilengkapi dengan saluran air
di bagian belakang gulud. Metode ini dikenal pula dengan istilah
guludan bersaluran. Bagian-bagian dari teras gulud terdiri atas
guludan, saluran air, dan bidang olah. Untuk meningkatkan efektivitas
teras gulud dalam menanggulangi erosi dan aliran permukaan, guludan
diperkuat dengan tanaman penguat teras. Sebagai kompensasi dari
kehilangan luas bidang olah, bidang teras gulud dapat pula ditanami
dengan tanaman bernilai ekonomi (cash crops), misalnya tanaman
katuk, cabai rawit, dan sebagainya. Sehingga alasan masyarakat adat
Tengger enggan menggunakan sistem terasering karena berkurangnya
hasil komoditas dapat teratasi dengan memilih tanaman yang sesuai
sebagai bentuk optimalisasi lahan olah.
3. Teras individu adalah teras yang dibuat pada setiap individu tanaman,
terutama tanaman tahunan.
4. Teras kebun adalah jenis teras untuk tanaman tahunan, khususnya
tanaman pekebunan dan buah-buahan. Teras dibuat dengan interval
yang bervariasi menurut jarak tanam.
5. Rorak merupakan lubang penampungan atau peresapan air, dibuat di
bidang olah atau saluran resapan. Pembuatan rorak bertujuan untuk
20

memperbesar peresapan air ke dalam tanah dan menampung tanah


yang tererosi. Pada lahan kering beriklim kering, rorak berfungsi
sebagai tempat pemanen air hujan dan aliran permukaan.
Apabila Suku Tengger tetap memaksakan menggunakan teknik pertanian
vertikal (larian), maka dapat menimbulkan dampak jangka panjang pada
ekosistem wilayah itu sendiri. Sistem pertanian tegal atau ladang tidak memiliki
daya tahan ekologis sekuat sistem pertanian sawah yang sungguh-sungguh
berkesinambungan, sehingga apabila diusahakan secara intensif dan terus-
menerus maka akan mengurangi tingkat kesuburan tanah serta adanya potensi
berkembangbiaknya berbagai jenis jamur dan hama. Tanpa dibuat menjadi bidang
terasering, apabila curah hujan inggi makan akan terjadi erosi yang
mengakibatkan hilangnya unsur hara dimana hal tersebut berpengaruh terhadap
kesuburan tanah. Selain itu erosi juga dapat mengakibatkan terkikisnya lapisan
tanah bagian atas sehingga tanah menjadi lebih berpasir dan berkurangnya
kemampuan tanah dalam menyerap air. Akibat yang paling fatal adalah dapat
menyebabkan longsor. Dapat dikatakan bahwa pola pertanian Suku Tengger tidak
sesuai dengan aturan yang berlaku serta asas manfaat berkelanjutan.

5. Evektifitas Peraturan Menteri Pertanian Nomer 47 Tahun 2006 Tentang


Pedoman Umum Budidaya Pertanian Pada Lahan Pegunungan
Seperi yang telah dijelaskan diatas bahwa sebagian besar masyarakat suku
tenggert dalam meakukan kegiatan pertanian, mereka menggunakan sistem
terasering yang tidak biasa digunakan oleh petani pada umumnya yaitu bukan
sistem terasering horizontal, melainkan petani masyarakat adat suku tengger
menggunakan sistem terasering Vertikal.
Pada dasarnya pengaturan tentang penggunaan terasering dalam kegiatan
pertanian diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomer 47 Tahun 2006 tentang
Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan. Pada poin 4.2.2.4,
dalam poin tersebut disebutkan bahwa:
“Trap terasering adalah bangunan berbentuk teras yang digunakan untuk
menampung longsoran”28
28
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 47 Tahun 2006 tentang Pedoman Umum Budidaya
Pertanian pada Lahan Pegunungan
21

Yang dimaksud dalam poin tersebut adalah bahwa sistem trap terasering
disini merupakan sistem terasering Horizontal yang sering digunakan petani pada
umumnya dalam mendukung proses pertanian di daerah lereng-lereng gunung
atau bukit dan juga digunakan sebagai pencegah terjadinya erosi tanah yang
kemudian bisa memicu terjadinya tanah longsor. Adanya pengaturan ini pada
dasarnya dikarenakan padaumumnya pertanian yang dilakukan didaerah lereng
pegunungan ayau perbukitan biasanya hanya lebih berfokus pada peningkatan
produksi sehingga masalah konservasi dari lahan pertanian itusendiri sering
diabaikan oleh para petani
Dengan diundangkannya Peraturan Mentri nomer 47 tahun 2006, maka
pemerintah mengharapkan agar pertanian yang dilakukan disekitar lereng-lereng
gunung ataupun pertanian yang dilakukan disekitar lereng-lereng bukit harus
menggunakan sistem pertanian yang sama yaitu sistem terasering Horizontal
untuk menjaga lahan pertanian sehingga terbebas dari bencana tanah longsor
yang bisa saja terjadi kapanpun saat hujan mengguyur lahan pertanian tersebut,
dan tetap menjaga tingkat kesuburan tanah serta dapat menjaga stuktur
tanah.Berbanding terbalik dengan sistem terasering yang digunakan masyarakat
adat suku tengger yang mayoritas petaninya menggunakan sistem pertanian selain
yang disebutkan dalam Peraturan Menteri tersebut, yaitu menggunakan sistem
terasering Vertikal.
Disini dapat diartikan bahwa Peraturan Menteri nomer 47 tahun 2006
masih bisa dibilang belum efektif terkait dengan pengaturan sistem terasering
yang boleh digunakan dalm pertanian lereng gunung dan atau lereng bukit, karena
masih terdapat petani yang menggunakan sistem pola pertanian terasering selain
sistem pola terasering horizontal yang disebutkan dalam undang-undang tersebut.
Walaupun sudah diundangkannya Peraturan Menteri nomer 47 tahun 2006 ini
masyarakat Suku Tengger masih menggunakan sistem pertanian terasering
vertikal dan enggan beralih untuk mengubah sistem pertaniannya menggunakan
sistem terasering horizotal.
Sebagai jalan tengah dari permasalahan tersebut maka diperlukan adanya
aturan yang tidak hanya berorientasi kepada pembangunan semata tetapi juga
harus mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat, khususnya masyarakat adat
22

yang memiliki keistimewaan. Peraturan yang dibuat haruslah tetap berdasar pada
asas dan tujuan hukum yang hendak dicapai dengan tidak mengabaikan
permasalahan yang konkret terjadi di tengah-tengah masyarakat. Untuk
menemukan hukum yang tepat, haruslah didahului dengan adanya kajian dan
penelitian. Dalam hal ini dapat menggunakan kedua pendekatan, baik pendekatan
yuridis normatif maupun yuridis sosiologis tidaklah berdiri sendiri dan dapat
digunakan untuk menjawab permasalahan sistem kearifan lokal masyarakat adat
dalam pengelolaan sumber daya alam.29 Keduanya sudah waktunya melakukan
kolaborasi dan mengintegrasikan ke dua pendekatan guna menjawab
permasalahan penelitian yang memfokusan kajiannya pada sistem kearifan lokal
demi mencapai tujuan hukum yaitu mensejahterakan dan membahagiakan
masyarakat.30

Kesimpulan
Kesimpulan dari pembahasan diatas adalah bahwasannya benar bahwa
masyarakat Tengger masih menggunakan sistem terasering vertikal. Meskipun
menurut kajian dalam perspektif hukum lingkungan berbahaya, hal tersebut tetap
dilakukan dikarenakan beberapa faktor yang dapat dijabarkan sebagai demikian.
Pertama bahwasannya faktor kurangnya kemajuan teknologi pada
masyarakat Tengger menjadi salah satu alasan mereka masih menggunakan
teknologi seadanya. Kemudian ada juga faktor bahwa mereka masih memegang
teguh nilai nenek moyang yang ada dan masih menggunakan cara- cara yang
sangat tradisional. Terakhir, bahwa faktanya memang pendidikan pada
masyarakat Tengger masih kurang sehingga mereka masih belum paham
mengenai dampak yang akan ditimbulkan dari pengunaan sistem terasering
vertikal.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

29
Rachmad Safa’at, “Ambivalensi Pendekatan Yuridis Normatif dan Yuridis Sosiologis
dalam Menelaah Sistem Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya
Alam”, Lex Jurnalica, Vol. 10, No. 1, (April, 2013): 58, diakses 8 Desember 2019,
http:/ejurnal.esaunggul.ac.id.
30
Ibid.
23

Agusi, dkk. Teknik Konservasi Tanah dan Air. Sekretariat Tim Pengendali
Bantuan Penghijauan dan Reboisasi Pusat. 1999. Departemen Kehutanan.
Ayuninggar, Dianing Primanita Ayuninggar, dkk , “Kearifan Lokal Masyarakat
Suku Tengger Dalam Pemanfaatan Ruang Dan Upaya Pemeliharaan
Lingkungan”, Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green
Living 2011, hlm. CP.85
Dairah, dkk. Teknologi Konservasi Tanah Mekanik. Bogor: Pusat Penelitian dan
Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2004.
Erwin, Muhammad. Hukum Lingkungan dalam Sistem Pelindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia, Bandung: PT Refika
Aditama, 2008
Jones, Pip dkk, Pengantar Teori-Teori Sosial. Jakarta: Yayasan pustaka Obor
Indonesia, 2016
P3HTA (Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air). Petunjuk Teknis
Usaha Tani Konservasi Daerah Limpasan Sungai. 1990. Dalam Sukmana
et al. (Eds.). Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
Rahman, Mohammad Taufiq. Glosari Teori Sosial, Bandung: Ibnu Sina Press
Rahmaniah, Aniek “Etnografi Masyarakat Desa Ngadas Kecamatan
Poncokusumo Kabupaten Malang” Malang: Research Report Lembaga
Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang, 2015
Salim, Emil. Pembangunan Berwawasan Lingkungan, Jakarta : L3EPS, 1986
Soemartono, R.M. Gatot P. Hukum lingkungan Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,
1996.
The Chinese Soil and Water Conservation Society. Soil Conservation Hand Book.
1987. The Chinese Soil and Water Conservation Society
Yuliati, Yayuk. Perubahan Ekologis dan Strategi Adaptasi Masyarakat di
Wilayah Pegunungan Tengger. Malang: UB Press, 2011.

JURNAL
Antariksa, Dian dkk, “Tinjauan Perubahan Cara Bercocok Tanam Pada Lanskap
Agrikultur di Desa Enclave Taman Naional Bromo Tengger Semeru,
24

Ngadas, Kabupaten Malang”, Jurnal Arsitektur Lanskep Vol. 5, No. 2,


(Oktober 2019): 236
Dwisumiar, Inge. “Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum”, Jurnal Dinamika
Hukum, Vol. 11, No.3, (September 2011): 523, diakses 12 November
2019, doi: http://dx.doi,org/jurnaldinamikahukum.
Maretya, Deka Ayu. “Perilaku Petani dalam Mengelola Lahan Terasering di Desa
Sukasare Kaler Kecamatan Argopuro Kbupaten Majalengka”, Jurnal
Jurisprudence, Vol. 3, No. 5, (Februari 2017): 2
Prawijaya, Teguh Imam. “Faktor Sosial Budaya Masyarakat Petani
Mempengaruhi Tidak Diterapkannya Sistem Terasering (Sengkedan)
Dalam Pertanian”, Journal Pendidikan Geografi FIS Unesa Vol. 2, No. 1
(2014): 44, diakses 13 November 2019, http://unesa.ac.id
Risal, Darmawan, dkk “Efektifitas Sistem Pertanian Terpadu Hedgerows terhadap
Peningkatan Produktivitas Lahan Kering”, Jurnal Sains & Teknologi, Vol.
14, No. 3, (Desember 2014): 226, diakses 13 November 2019,
http://pasca.unhas.ac.id.
Safa’at, Rachmad, “Ambivalensi Pendekatan Yuridis Normatif dan Yuridis
Sosiologis dalam Menelaah Sistem Kearifan Lokal Masyarakat Adat
dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam”, Lex Jurnalica, Vol. 10, No. 1,
(April, 2013): 58, diakses 8 Desember 2019, http://ejurnal.esaunggul.ac.id.
Safa’at, Rachmad, dkk, “Rekonstruksi Politik Hukum Ketahanan Pangan Berbasis
Sistem Kearifan Lokal Guna Mewujudkan Keadaulatan Pangan ”, Jurnal
Media Hukum, Vol.16, No. 3, (Desember 2019): 591, diakses 8 Desember
2019, http://hukum.ub.ac.id.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 47 Tahun 2006 tentang Pedoman Umum
Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan

You might also like