Professional Documents
Culture Documents
Untitled
Untitled
5 1
Laboratorium Reproduksi, Fakultas Peternakan Universitas Mataram, Jl. Majapahit 62
6 Mataram, Nusa Tenggara Barat, Indonesia
7 2
Program Studi Kesehatan Hewan, Vokasi Universitas Mataram, PDD Kabupaten Bima Jl.
8 Lintas Sumbawa Sondosia-Bima NTB, 84161, Indonesia
9 3
Program Studi Produksi Ternak, Vokasi Universitas Mataram, PDD Kabupaten Bima Jl.
10 Lintas Sumbawa Sondosia-Bima NTB, 84161, Indonesia
11
12 *Corresponding Author: hylukman@yahoo.com
13
14 ABSTRACT
34 ABSTRAK
43 rektal dan analisa data catatan peternak dan petugas. Metode penelitian dilakukan melalui
44 tahapan-tahapan yaitu anamnesa, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan reproduksi secara per
45 rektal. Data yang diperoleh kemudian dicatat dan dianalisa secara deskriptif. Berdasarkan
46 hasil pemeriksaan diketahui bahwa 141 (67,14%), sapi betina mengalami gangguan
47 reproduksi yang meliputi silent heat, vaginitis, kista folikuler, corpus luteum persisten,
48 hipofungsi ovarium, dan endometritis. Kesimpulan Simpulan dari penelitian ini bahwa
49 gangguan aktivitas reproduksi disebabkan oleh faktor gizi, penyakit, dan kelaianan organ
50 reproduksi.
51
52 Kata kunci: Bima, gangguan reproduksi, sapi betina
53
54 INTRODUCTION
58 (Gitonga 2010). Kenaikan permintaan belum bisa diimbangi dengan kenaikan penyediaan,
59 akibatnya ketergantungan terhadap impor baik dalam bentuk sapi bakalan maupun daging
60 (Nuryadi dan Wahjuningsih, 2011). Dalam pemenuhan kebutuhan daging dalam negeri,
61 pemerintah tahun 2016 melalui Kementerian Pertanian meluncurkan program Upaya Khusus
64 dan Kerbau tahun 2007 (Permentan Nomor 59 dan 60 Tahun 2007) serta Upsus SIWAB
65 tahun 2016 (Permentan Nomor 48 Tahun 2016) adalah bentuk upaya pemerintah dalam
66 memacu pertumbuhan populasi dan produktivitas, khususnya pada peternakan sapi potong
67 rakyat.
69 Peternakan tersebut tidak terpengaruh oleh krisis moneter maupun tingginya harga daging
70 sapi, seperti yang pernah menggoncangkan dan merusak usaha penggemukan sapi lokal.
71 Berdasarkan ketangguhan tersebut, sampai sekarang peternakan sapi rakyat masih merupakan
73 rendah,,.hal ini dapat dilihat dari kebutuhan daging sapi pada tahun 2012 hanya mampu
74 menyediakan kebutuhannya sebesar (85,52 %) yang dicukupi dari sapi lokal (Direktoral
75 Jendral Peternakan, 2013) (Riyanto, 2015). Fakta di lapangan dan beberapa hasil kajian
76 ilmiah telah membuktikan bahwa kondisi ini disebabkan oleh adanya pemeliharaan sapi
77 betina oleh rakyat kecil di pedesaan, pada umumnya bersifat tradisional. Pemeliharaan sapi
78 secara tradisional sangat rawan terjadi kegagalan reproduksi yang disebabkan karena bibit
79 tidak dipilih secara baik dan pakan yang diberikan berkualitas rendah (Lestari et al. 2014).
81 tidak langsung mengakibatkan estrus postpartum > 90 hari, days open > 85 – 110 hari,
82 calving interval > 12 – 15 bulan, conception rate < 60 %, servis per conception > 1,5 dan
83 angka kelahiran pedet menurun (Budiyanto, dkk, 2016). Kondisi ini akan memberi dampak
84 kerugian ekonomi bagi peternak berupa adanya biaya tambahan yang dikeluarkan untuk
85 pengobatan dan perkawinan, panjangnya masa tidak produktif, meningkatnya jumlah ternak
86 yang diafkir, dan menurunnya populasi ternak (Gitonga 2010; Budiyanto et al. 2013).
89 Gangguan reproduksi yang sering terjadi pada sapi betina di peternakan rakyat saat ini
90 adalah distokia, retensi plasenta, anetrus, silent heat, dan kawin berulang. Beberapa aspek
91 penyebab gangguan reproduksi antara lain dipengaruhi oleh genetik, nutrisi, seleksi, dan
92 kondisi fisiologis berupa gangguan hormonal (Direktorat Perbibitan dan Produksi Ternak
93 2016). Pada sapi dara, 20% sapi kawin berulang diakibatkan oleh infeksi uterus (Khadrawy et
94 al. 2015), sedangkan ganngguan reproduksi pada induk, sebagai akibat pedet lama tidak
95 disapih adalah anestrus post partus lebih lama yang berakibat calving interval lebih panjang
97
4
98
100 Bahan
101
102 Pemeriksaan reproduksi dilakukan pada 210 ekor sapi betina yang memiliki umur minimal
103 2 tahun di peternakan rakyat Kecamatan Woha, Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara
104 Barat. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 1 sampai 12 Juni 2022. Penentuan umur sapi
105 pada penelitian ini berdasarkan anamnesa, estimasi gigi, atau lingkar tanduk. Bahan yang
106 digunakan adalah hormon, antara lain prostaglandin (Lutalyse), gonodatrophin (GnRH)
107 GnRH (Fertagyl), vitamin ADE, antibiotik, multivitamin, obat cacing, kapas, alkohol 70 %,
108 povidone iodine, aquades steril, veterinary examination glove, plastik sheat plastic sheat,,
109 spuit disposable, jarum 18 G, syring syringe 25 mL ml, , 50 mL mlmL dan tisu. Alat yang
110 digunakan adalah insemination gun, gelas vaginoskop (panjang 35 cm dengan diameter 4 cm
111 dan tebal 4 mm), perti dish petri dish, dan lembar catatan pemeriksaan reproduksi.
112 Metode
113 Penelitian dilakukan menggunakan metode survey terhadap sapi milik peternak di
114 Kecamatan Woha, Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Peternak membawa
115 sapinya dan berkumpul di tempat yang ditentukan oleh ketua kelompok peternak yaitu di
116 lapangan atau kandang. Pengambilan data dilakukan dengan cara beberapa tahapan yaitu
117 dengan metode anamnesa untuk pengisian kuisioner, pemeriksaan klinis, pemeriksaan
118 kondisi reproduksi secara per rektal dan penanganan gangguan reproduksi. Pemeriksaan
119 klinis meliputi body condition score (BCS), tingkah laku, leleran abnormal pada vulva dan
120 warna mukosa vagina. Pemeriksaan kondisi reproduksi dilakukan per rektal terhadap cerviks
121 korpus, dan korna uterus serta ovarium. Penentuan kondisi gangguan reproduksi berdasarkan
124 dalam kandang, kemudian ekor diikat satu sisi untuk memudahkan pemeriksaan. Vulva
125 dibersihkan dengan air bersih kemudian dilap dengan tissue sampai kering, dilanjutkan
126 dengan menyemprotkan iodium. Vulva kemudian dilap dengan menggunakan kapas
127 beralkohol sebelum vaginoskop dimasukkan ke dalam vagina melalui vulva sampai pada
128 bagian depan tulang serviks (Gautam et al. 2010). Dengan bantuan penerangan, kondisi
129 internal vagina dapat diperiksa. Apabila terdapat lendir pada bagian anterior vagina, lendir
130 tersebut kemudian diaspirasi dengan menggunakan syringe 25 mL dan 50 mL dan kemudian
131 dimasukkan ke dalam petri dish. Lendir dinyatakan normal apabila terlihat jernih tanpa nanah
133 Penanganan gangguan reproduksi sapi tersebut dilakukan kasus per kasus dari individu per
134 individu berdasarkan prosedur standar yang sudah umum dilakukan. Data yang diperoleh
135 pada pemeriksaan dan respon klinis dari penanganan gangguan reproduksi tersebut kemudian
137
139 Hasil identifikasi sapi yang dibawa peternak ke tempat penelitian sebanyak 210 ekor sapi
140 betina, yang dinyatakan mempunyai gangguan reproduksi sebanyak 141 ekor (67,14%). dan
141 Sebanyak 69 ekor (32,86%) tidak ada mengalami gangguan reproduksi. Berdasarkan hasil
142 penelitian yang disajikan pada Tabel 1 dapat diketahui bahwa 141 ekor mengalami gangguan
143 reproduksi atau sebesar 67,14% yang meliputi silent heat, vaginitis, kista folikuler, corpus
145 Gangguan reproduksi pada ternak sapi merupakan hal yang secara umum menghambat
146 terjadinya kebuntingan yang pada akhirnya mempengaruhi efisiensi reproduksi ternak secara
147 umum. Gangguan reproduksi pada ternak sapi potong di Kecamatan Woha Kabupaten
6
148 Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat, baik dara maupun induk pada penelitian ini
150 Pada Tabel 1, Hasil penelitian ini menunjukkan dapat dilihat bahwa tingkat kejadian
151 gangguan reproduksi pada ternak sapi potong betina (dara dan induk) adalah sebesar 67,14%.
152 Pada ternak sapi dara, dari 100 ekor yang diperiksa, yang mengalami gangguan reproduksi
153 sebanyak 56 ekor (56%), sedangkan pada sapi induk sebanyak 85 ekor (77,27%) dari 110
155 Hasil penelitian pada Tabel 2 menujukkan bahwa jumlah sapi dara yang mengalami
156 gangguan reproduksi sebanyak 56 ekor dengan berbagai tipe gangguan reproduksi antara lain,
157 silent heat 8 ekor (8%), vaginitis 28 ekor (28%), corpus luteum persisten 15 ekor (15%), dan
158 hipofungsi ovarium 5 ekor. Sedangkan pada induk yang mengalami gangguan sebanyak 85
159 ekor sapi, dengan tipe gangguan reproduksi yaitu, silent heat 5 ekor (4,55%), vaginitis 24
160 ekor (21,82%), kista folikuler 14 ekor (12,73 %), corpus luteum persisten 13 ekor (11,82%),
162 Tingginya kasus gangguan reproduksi terjadi dikarenakan beberapa faktor lain yaitu pada
163 pola manajemen pemeliharaan ternak khususnya pakan dan sanitasi kandang, dimana
164 keseimbangan nutrisi pakan sapi memiliki pengaruh terhadap performa reproduksi dan
165 berkaitan erat dengan pencegahan gangguan reproduksi pada ternak (Bindari et al. 2013;
166 Pradhan and Nakagoshi 2008). Menurut Siregar (2001), efisiensi penggunaan pakan untuk
167 sapi berkisar 7,52% - 11,29%. Hewan betina membutuhkan banyak makanan pada saat
168 dewasa tubuh untuk perkembangan kondisi bobot tubuh, pada sapi betina sangat perlu
169 diperhatikan dalam meningkatkan kualitas organ reproduksi ternak agar dapat berkembang
170 dengan baik. Hal tersebut juga dipertegas oleh Hifijah dan Astati (2015) bahwa kualitas dan
171 kuantitas pakan yang baik menyumbangkan 95% peranannya terhadap pencapaian berat,
172 kondisi dan ukuran tubuh ternak yang memungkinkan untuk mulai terjadinya perkembangan
7
173 anatomis dan fisiologis organ-organ reproduksi sehingga dapat dicapai performa reproduksi
174 yang baik. Kekurangan pakan khususnya untuk daerah tropis yang panas termasuk di
175 Indonesia, merupakan salah satu penyebab penurunan efisiensi reproduksi karena selalu
176 diikuti oleh adanya gangguan reproduksi yang menyebabkan timbulnya kemajiran pada
178 Sanitasi kandang merupakan suatu kegiatan pencegahan yang meliputi kebersihan
179 kandang dan lingkungannya dalam rangka untuk menjaga kesehatan ternak sekaligus
180 pemiliknya. Buruknya sanitasi kandang pada peternakan sapi dapat meyebabkan
181 berkembang biaknya bakteri yang dapat memicu penyakit serta gangguan reproduksi pada
183 Kasus endometritis dan vaginitis yang terjadi pada peternakan rakyat di Kecamatan Woha
184 Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan kasus gangguan reproduksi yang
185 tergolong cukup tinggi. Hal tersebut dikarenakan kurangnya penanganan ternak sapi setelah
186 melahirkan, dimana ternak yang baru melahirkan sangat rentan terhadap infeksi uterus.
187 Infeksi uterus menyebabkan terjadinya pembengkakan uterus yang diikuti dengan keluarnya
188 cairan mengandung darah dan juga berpengaruh terhadap proses involusi uterus (Bittar et al.
189 2014; Struve et al. 2013). Zobel (2013) menyatakan bahwa dari total 1.300 sapi, yang
190 didiagnosis, terdapat 23% menderita endometritis klinis dan sebanyak 15,31% subklinis.
191 Penamaan vaginitis untuk peradangan pada vagina. Tanda-tanda vaginitis mulai dari
192 leleran lendir keruh dan hyperemia mukosa sampai nekrosis mukosa disertai pengejanan
193 terus-menerus hingga terjadinya septicemia (Affandhy et al. 2007). Baik melalui metode
194 palpasi rektal maupun ultrasonografi, temuan vaginitis akan menunjukkan hasil yang sama
195 dengan temuan pada penyakit-penyakit kompleks metritis, sehingga sangat penting untuk
196 dilakukan pemeriksaan lebih lanjut melalui metode vaginoskopi untuk diagnosis positif kedua
197 penyakit tersebut. Penanganan kasus vaginitis ini ditujukan untuk menghilangkan iritasi,
8
198 menghentikan pengejanan dengan anastesi epidural, koreksi operatif dari defek vulva dan
200 Terganggunya proses involusi uterus karena infeksi dapat menyebabkan tidak terjadi
201 luteolisis atau terbentuknya corpus luteum persisten, yang mempertahankan fungsinya dalam
203 Faktor penyebab kista folikuler belum diketahui secara pasti, tetapi secara patofisiologi
204 dasar penyakit tersebut melibatkan sistem kerja neuroendokrin yang berhubungan dengan
205 hipotalamus, hipofisis, dan ovarium yang mengakibatkan kegagalan ovulasi (Teshome et al.
206 2016). Hasil identifikasi kasus ovarium sistik pada penelitian ini disajikan pada Tabel 2.
207 Terdapat empat belas ekor atau 12,73%, yang terjadi pada induk sapi.
208 Hipofungsi ovarium adalah ovarium yang beraktivitas rendah dalam menghasilkan sel
209 telur atau ovum. Sel telur yang dihasilkan ovarium hipofungsi pada umumnya fertilitasnya
210 rendah sehingga sulit atau tidak dapat dibuahi walaupun spermatozoa berkualitas baik. Pada
211 Tabel 2, disajikan bahwa kasus ovarium hipofungsi ditemukan terjadi pada sebelas ekor
212 (7,80%) dari 141 ekor sapi yang mempunyai gangguan reproduksinya, masing-masing lima
213 ekor (5%) pada sapi dara dan enam ekor (5,45%) pada induk sapi. Hipofungsi ovarium dapat
214 disembuhkan secara terapi dengan singkronisasi sinkronisasi berahi birahi menggunakan
215 progesteron yang diberikan intravaginal atau progesterone releasing intravaginal device
217 Pada Tabel 2 disajikan bahwa sapi dara dan induk mengalami berahi birahi berahi tenang
218 (silent heat), tetapi tanda-tanda berahinya tidak dapat dikenali oleh peternak. berahi birahi
219 Berahi tenang pada sapi dapat terjadi karena aktivitas ovarium terganggu akibat kekurangan
220 nutrisi. Gangguan endokrin yang menyebabkan produksi estrogen rendah sampai tidak
221 mampu menunjukkan tanda-tanda berahi akan terjadi berahi tenang (Purohit 2014). Menurut
222 Marume et al. (2014) menyatakan bahwa pemberian suplemen nutrisi, dapat memperbaiki
9
223 sangat signifikan kondisi tubuh dan kualitas sex cell yang dihasilkan dan penampilan berahi.
224 Perbaikan proses reproduksi dapat dilakukan dengan memberi kecukupan nutrisi sepanjang
225 pemeliharaan ternak, terutama menjelang perkawinan, bunting dan masa laktasi (Amin 2014).
226 Terjadinya inefisiensi reproduksi sapi potong betina pada peternakan rakyat di Kecamatan
227 Woha Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat akibat gangguan reproduksi.
228 Gangguan reproduksi meliputi silent heat, vaginitis, kista folikuler, corpus luteum persisten,
229 hipofungsi ovarium, dan endometritis. Adanya interaksi yang kompleks antara faktor
230 lingkungan atau manajemen (nutrisi), respon individual, jenis gangguan reproduksi dan
231 derajat keparahan gangguan reproduksi akan menimbulkan respon kesembuhan yang
233 Keberhasilan dalam penelitian ini didukung oleh keberadaan petugas teknis peternakan
234 yang tergabung dalam satu tim, terdiri dari dokter hewan, asisten teknis reproduksi,
235 pemeriksa kebuntingan, inseminator, dan petugas peternakan kesehatan hewan Kecamatan
236 Woha. Faktor pendukung lainnya dalam memudahkan penelitian ini adalah adanya sebagian
237 peternak yang memelihara secara kelompok sehingga memudahkan para petugas tenaga
238 tekhnis teknis dan anggota peneliti melakukan pemeriksaan dan penanganan pada ternak
240 Table 1. Hasil pemeriksaan gangguang reproduksi sapi potong betina di Kecamatan Woha
241 Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat.
242
Jenis Ternak Jumlah Ternak Yang Diperiksa Gangguan Reproduksi (%)
Dara 100 56 562%)
Induk 110 85 (77.27%)
Total 210 141 (67,14%)
243
10
244 Tabel 2. Jenis gangguan reproduksi pada sapi potong betina di Kecamatan Woha Kabupaten
245 Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat.
246
Jenis Ternak Jumlah Ternak Jenis Gangguan Jumlah (%)
Reprduksi
silent heat 8 (8%)
Vaginitis 28 (28%)
Dara 100 corpus luteum 15 (15%)
persisten
hipofungsi ovarium 5 (5%)
247
248
249 KESIMPULAN
250 Gangguan aktivitas reproduksi sapi pada peternakan rakyat di Kecamatan Woha
251 Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat diduga disebabkan karena faktor nutrisi
252 dalam pakan yang diberikan dan gangguan reproduksi karena faktor penyakit dan kelainan
253 organ reproduksi. Gangguan reproduksi tersebut meliputi silent heat, vaginitis, kista folikuler,
255
256 ACKNOWLEDGEMENT
257 Penelitian yang menghasilkan makalah publikasi ini, dibiayai oleh Sumber Dana
258 DIPA BLU (PNBP) Universitas Mataram, Tahun anggaran 2022. Dalam kesempatan ini kami
259 mengucapkan terima kasih kepada: Kepala Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten
260 Bima; Kepala Unit Penunjang Peternakan dan Pusat Kehetan Hewan Kecamatan Woha; dan
11
261 para peternak yang dengan sukarela membawa sapinya untuk digunakan sebagai materi
262 penelitian.
263 REFERENCES
264 Affandhy L, Pratiwi WC, dan Ratnawati D. 2007. Penanganan gangguan reproduksi pada
265 sapi potong. Bogor (Indonesia): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan..
267 Amin RUI. 2014. Nutrition: Its role in reproductive functioning of cattle-a review. Veterinary
269 Bindari YR, Shrestha S, Shrestha N, Gaire TN. 2013. Effects of Nutrition on Reproduction.
271 Bittar JH, Pinedo PJ, Risco CA, Santos JE, Thatcher WW, Hencken KE, Croyle SM,
273 Ovulation Early Postpartum Influences Uterine Health and Fertility in Dairy
275 Budiyanto A, Tophianong TC, Dalimunthe NW. 2013. Perbandingan Calving Interval (CI)
276 Sapi Bali Pada Peternakan Dikandangkan dan Semi Di kandangkan Di Daerah
277 Kupang Nusa Tenggara Timur. Proceeding Seminar Nasional Peran Rumah Sakit
279 2013.
280 Budiyanto A, Tophianong TC, Triguntoro,Dewi HK. 2016. Gannguan Reproduksi Sapi Bali
281 pada Pola Pemeliharaan Semi Intensif di Daerah Sistem Integrasi Sapi – Kelapa
283 Cruz CEF, Raymundo DL, Cerva C, Pavarini SP, Dalto AGC, Corbellini LG, Driemeier D.
284 2011. Records of Performance and Sanitary Status from a Dairy Cattle Herd in
287 Direktorat Perbibitan dan Produksi Ternak. 2016. Pedoman Teknis Optimalisasi Reproduksi
288 dan penanganan Gangguan Reproduksi pada Ternak Sapi/Kerbau Tahun 2016.
289 Gautam G, Nakao T, Koike K, Long ST, Yusuf M, Ranasinghe RMSBK, Hayashi A. 2010.
292 Gitonga PN. 2010. Pospartum reproductive performance of dairy cows in medium and large
293 scale farms in Kiambu and Nakuku Districts of Kenya. Thesis. University of
295 Haile A, Tsegaye Y, Tesfaye N. 2014. Assessment of Major Reproductive Disorders of Dairy
296 Cattle in Urban and per Urban Area of Hosanna, Southern Ethiophia. Animal and
298 Handayani UF, Hartono MS. 2014. Respon kecepatan timbulnya estrus dan lama estrus pada
299 berbagai paritas sapi bali setelah dua kali pemberian prostaglandin F2α (PGF2α).
301 Hifijah A, Astati. 2015. Analisis Faktor Keberhasilan Inseminasi Buatan Ternak Sapi Potong
302 di Kecamatan Tombolo Pao Kabupaten Gowa. Jurnal Tekno sains, 9(1);113-26.
303 Khadrawy HHE, Ahmed WM, Zaabal MM, Hanafi EM. 2015. Lights on Drugs Used for
304 Treatment of Ovarian Disorders in Farm Animals. Global Vet, 14(3): 393-399.
305 Lestari CMS, Purbowati E, Dartosukarno S, Rianto E. 2014. Sistem Produksi dan
307 di Kelompok Tani Ternak Cikoneng Sejahtera dan Lembu Lestari Kecamatan
309 Marume U, Kusina NT, Hamudikuwanda H, Ndengu M, Nyoni O. 2014. Effect Of. Dry
312 Kementerian Pertanian. 2016. Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan
314 Nuryadi, Wahjuningsih S. 2011. Penampilan Reproduksi Sapi Peranakan Ongole dan
317 Pradhan R, Nakagoshi N. 2008. Reproductive Disorders in Cattle due to Nutritional Status.
319 Purohit GN. 2014. Ovarian and oviductal pathologies in the buffalo: Occurrence, diagnostic
321 Riyanto J, Lutojo, Barcelona.D.M. 2015. Kinerja Reproduksi Induk Sapi Potong Pada Usaha
323 73-79.
324 Siregar, S.B. 2001. Ransum Ternak Ruminansia. Jakarta: Penebar Swadaya.
325 Struve KK, Herzog F,. Magata, M, Piechotta K, Shirasuna A, Miyamoto, Bollwein H. 2013.
326 The Effect of Metritis on Luteal Function in Dairy Cows. BMC Veterinary
328 Teshome E, Kebede A, Abdela N, Ahmed WM. 2016. Ovarian Cyst and its Economic Impact
330 Yusuf MT, Nakao RM, Ranasinghe RMBSK, Gautam G, Long ST, Yoshida C, Koike K,
333 Zobel R. 2013. Endometritis in Simmental cows: incidence, causes, and therapy options. Turk
335
336
337
338