Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 14

1

1 IDENTIFIKASI GANGGUAN REPRODUKSI PADA SAPI BETINA DI


2 PETERNAKAN RAKYAT KECAMATAN WOHA, KABUPATEN BIMA
3

4 Lukman HY1*, Kuntum Khoirani2, Ine Karni2, Nikmaturrayan2 , Burhan3

5 1
Laboratorium Reproduksi, Fakultas Peternakan Universitas Mataram, Jl. Majapahit 62
6 Mataram, Nusa Tenggara Barat, Indonesia
7 2
Program Studi Kesehatan Hewan, Vokasi Universitas Mataram, PDD Kabupaten Bima Jl.
8 Lintas Sumbawa Sondosia-Bima NTB, 84161, Indonesia
9 3
Program Studi Produksi Ternak, Vokasi Universitas Mataram, PDD Kabupaten Bima Jl.
10 Lintas Sumbawa Sondosia-Bima NTB, 84161, Indonesia
11
12 *Corresponding Author: hylukman@yahoo.com

13
14 ABSTRACT

15 Reproductive efficiency determines the productivity, profitability and sustainability of any


16 livestock business. The existence of reproductive disorders causes reproductive inefficiency.
17 This condition will cause economic loss. This study aims to identify reproductive disorders of
18 female beef cattle kept by farmers in Woha District, Bima Regency, West Nusa Tenggara
19 Province. In this study used to identify 141 female cattles. The implementation of the
20 research was carried out by bringing the cattle to the place determined by the head of the
21 farmer group, namely the field and cage. Data were collected by means of a rectal
22 examination of reproduction and data analysis of the records of farmers and officers. The
23 research method was carried out through stages, namely anamnesis, clinical examination, and
24 rectal examination of reproduction. The data obtained were then recorded and analyzed
25 descriptively. Based on the results of the examination, it was found that 141 (67.14%) female
26 cows had reproductive disorders which included silent heat, vaginitis, follicular cysts,
27 persistent corpus luteum, ovarian hypofunction, and endometritis. The conclusion of this
28 study is that reproductive activity disorders are caused by nutritional factors, diseases, and
29 reproductive organ disorders.
30
31
32 Keywords: Bima, Reproductive Disorders, Famale Cattle
33

34 ABSTRAK

35 Efisiensi reproduksi menentukan produktivitas, profitabilitas, dan keberlanjutan dari setiap


36 usaha peternakan. Adanya gangguan reproduksi menyebabkan inefisiensi reproduksi. Kondisi
37 ini akan menyebabkan kerugian ekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
38 gangguan reproduksi sapi potong betina yang dipelihara peternak di Kecamatan Woha,
39 Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dalam penelitian ini digunakan
40 mengidentifikasi 141 ekor sapi betina. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan cara sapi
41 dibawa peternak ke tempat yang ditentukan oleh ketua kelompok peternak yakni lapangan
42 dan kandang. Pengambilan data dilakukan dengan cara pemeriksaan reproduksi secara per
2

43 rektal dan analisa data catatan peternak dan petugas. Metode penelitian dilakukan melalui
44 tahapan-tahapan yaitu anamnesa, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan reproduksi secara per
45 rektal. Data yang diperoleh kemudian dicatat dan dianalisa secara deskriptif. Berdasarkan
46 hasil pemeriksaan diketahui bahwa 141 (67,14%), sapi betina mengalami gangguan
47 reproduksi yang meliputi silent heat, vaginitis, kista folikuler, corpus luteum persisten,
48 hipofungsi ovarium, dan endometritis. Kesimpulan Simpulan dari penelitian ini bahwa
49 gangguan aktivitas reproduksi disebabkan oleh faktor gizi, penyakit, dan kelaianan organ
50 reproduksi.
51
52 Kata kunci: Bima, gangguan reproduksi, sapi betina
53

54 INTRODUCTION

55 Kebutuhan pangan asal hewan (daging) di Indonesia semakin meningkat, sementara

56 ketersediaannya terbatas. Keterbatasan pangan asal hewan (daging) disebabkan oleh

57 menurunnya angka kelahiran yang menyebabkan penurunan populasi ternak di Indonesia

58 (Gitonga 2010). Kenaikan permintaan belum bisa diimbangi dengan kenaikan penyediaan,

59 akibatnya ketergantungan terhadap impor baik dalam bentuk sapi bakalan maupun daging

60 (Nuryadi dan Wahjuningsih, 2011). Dalam pemenuhan kebutuhan daging dalam negeri,

61 pemerintah tahun 2016 melalui Kementerian Pertanian meluncurkan program Upaya Khusus

62 (Upsus) Percepatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting Nomor

63 48/Permentan/PK.210/10/2016 (Menteri Pertanian 2016). Program Swasembada Daging Sapi

64 dan Kerbau tahun 2007 (Permentan Nomor 59 dan 60 Tahun 2007) serta Upsus SIWAB

65 tahun 2016 (Permentan Nomor 48 Tahun 2016) adalah bentuk upaya pemerintah dalam

66 memacu pertumbuhan populasi dan produktivitas, khususnya pada peternakan sapi potong

67 rakyat.

68 Peternakan sapi rakyat di Indonesia merupakan peternakan yang sangat tangguh.

69 Peternakan tersebut tidak terpengaruh oleh krisis moneter maupun tingginya harga daging

70 sapi, seperti yang pernah menggoncangkan dan merusak usaha penggemukan sapi lokal.

71 Berdasarkan ketangguhan tersebut, sampai sekarang peternakan sapi rakyat masih merupakan

72 sumber yang potensial penghasil sapi bakalan, walaupun keberhasilan reproduksinya


3

73 rendah,,.hal ini dapat dilihat dari kebutuhan daging sapi pada tahun 2012 hanya mampu

74 menyediakan kebutuhannya sebesar (85,52 %) yang dicukupi dari sapi lokal (Direktoral

75 Jendral Peternakan, 2013) (Riyanto, 2015). Fakta di lapangan dan beberapa hasil kajian

76 ilmiah telah membuktikan bahwa kondisi ini disebabkan oleh adanya pemeliharaan sapi

77 betina oleh rakyat kecil di pedesaan, pada umumnya bersifat tradisional. Pemeliharaan sapi

78 secara tradisional sangat rawan terjadi kegagalan reproduksi yang disebabkan karena bibit

79 tidak dipilih secara baik dan pakan yang diberikan berkualitas rendah (Lestari et al. 2014).

80 Gangguan reproduksi secara langsung mengakibatkan kegagalan fertilisasi dan secara

81 tidak langsung mengakibatkan estrus postpartum > 90 hari, days open > 85 – 110 hari,

82 calving interval > 12 – 15 bulan, conception rate < 60 %, servis per conception > 1,5 dan

83 angka kelahiran pedet menurun (Budiyanto, dkk, 2016). Kondisi ini akan memberi dampak

84 kerugian ekonomi bagi peternak berupa adanya biaya tambahan yang dikeluarkan untuk

85 pengobatan dan perkawinan, panjangnya masa tidak produktif, meningkatnya jumlah ternak

86 yang diafkir, dan menurunnya populasi ternak (Gitonga 2010; Budiyanto et al. 2013).

87 Gangguan reproduksi mempengaruhi produksi hormon reproduksi yang menyebabkan estrus

88 pada ternak menjadi terlambat (Handayani et al. 2014).

89 Gangguan reproduksi yang sering terjadi pada sapi betina di peternakan rakyat saat ini

90 adalah distokia, retensi plasenta, anetrus, silent heat, dan kawin berulang. Beberapa aspek

91 penyebab gangguan reproduksi antara lain dipengaruhi oleh genetik, nutrisi, seleksi, dan

92 kondisi fisiologis berupa gangguan hormonal (Direktorat Perbibitan dan Produksi Ternak

93 2016). Pada sapi dara, 20% sapi kawin berulang diakibatkan oleh infeksi uterus (Khadrawy et

94 al. 2015), sedangkan ganngguan reproduksi pada induk, sebagai akibat pedet lama tidak

95 disapih adalah anestrus post partus lebih lama yang berakibat calving interval lebih panjang

96 (Affandhy et al. 2009).

97
4

98

99 MATERIALS AND METHODS

100 Bahan
101
102 Pemeriksaan reproduksi dilakukan pada 210 ekor sapi betina yang memiliki umur minimal

103 2 tahun di peternakan rakyat Kecamatan Woha, Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara

104 Barat. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 1 sampai 12 Juni 2022. Penentuan umur sapi

105 pada penelitian ini berdasarkan anamnesa, estimasi gigi, atau lingkar tanduk. Bahan yang

106 digunakan adalah hormon, antara lain prostaglandin (Lutalyse), gonodatrophin (GnRH)

107 GnRH (Fertagyl), vitamin ADE, antibiotik, multivitamin, obat cacing, kapas, alkohol 70 %,

108 povidone iodine, aquades steril, veterinary examination glove, plastik sheat plastic sheat,,

109 spuit disposable, jarum 18 G, syring syringe 25 mL ml, , 50 mL mlmL dan tisu. Alat yang

110 digunakan adalah insemination gun, gelas vaginoskop (panjang 35 cm dengan diameter 4 cm

111 dan tebal 4 mm), perti dish petri dish, dan lembar catatan pemeriksaan reproduksi.

112 Metode

113 Penelitian dilakukan menggunakan metode survey terhadap sapi milik peternak di

114 Kecamatan Woha, Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Peternak membawa

115 sapinya dan berkumpul di tempat yang ditentukan oleh ketua kelompok peternak yaitu di

116 lapangan atau kandang. Pengambilan data dilakukan dengan cara beberapa tahapan yaitu

117 dengan metode anamnesa untuk pengisian kuisioner, pemeriksaan klinis, pemeriksaan

118 kondisi reproduksi secara per rektal dan penanganan gangguan reproduksi. Pemeriksaan

119 klinis meliputi body condition score (BCS), tingkah laku, leleran abnormal pada vulva dan

120 warna mukosa vagina. Pemeriksaan kondisi reproduksi dilakukan per rektal terhadap cerviks

121 korpus, dan korna uterus serta ovarium. Penentuan kondisi gangguan reproduksi berdasarkan

122 hasil anamnesa, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan per rektal.


5

123 Untuk pemeriksaan dengan vaginoscopvaginoscopy vaginoskop ternak-ternak diikat di

124 dalam kandang, kemudian ekor diikat satu sisi untuk memudahkan pemeriksaan. Vulva

125 dibersihkan dengan air bersih kemudian dilap dengan tissue sampai kering, dilanjutkan

126 dengan menyemprotkan iodium. Vulva kemudian dilap dengan menggunakan kapas

127 beralkohol sebelum vaginoskop dimasukkan ke dalam vagina melalui vulva sampai pada

128 bagian depan tulang serviks (Gautam et al. 2010). Dengan bantuan penerangan, kondisi

129 internal vagina dapat diperiksa. Apabila terdapat lendir pada bagian anterior vagina, lendir

130 tersebut kemudian diaspirasi dengan menggunakan syringe 25 mL dan 50 mL dan kemudian

131 dimasukkan ke dalam petri dish. Lendir dinyatakan normal apabila terlihat jernih tanpa nanah

132 dan tidak berbau busuk (Yusuf et al. 2010).

133 Penanganan gangguan reproduksi sapi tersebut dilakukan kasus per kasus dari individu per

134 individu berdasarkan prosedur standar yang sudah umum dilakukan. Data yang diperoleh

135 pada pemeriksaan dan respon klinis dari penanganan gangguan reproduksi tersebut kemudian

136 dicatat dan dianalisis secara deskriptif.

137

138 RESULTS AND DISCUSSION

139 Hasil identifikasi sapi yang dibawa peternak ke tempat penelitian sebanyak 210 ekor sapi

140 betina, yang dinyatakan mempunyai gangguan reproduksi sebanyak 141 ekor (67,14%). dan

141 Sebanyak 69 ekor (32,86%) tidak ada mengalami gangguan reproduksi. Berdasarkan hasil

142 penelitian yang disajikan pada Tabel 1 dapat diketahui bahwa 141 ekor mengalami gangguan

143 reproduksi atau sebesar 67,14% yang meliputi silent heat, vaginitis, kista folikuler, corpus

144 luteum persisten, hipofungsi ovarium, dan endometritis.

145 Gangguan reproduksi pada ternak sapi merupakan hal yang secara umum menghambat

146 terjadinya kebuntingan yang pada akhirnya mempengaruhi efisiensi reproduksi ternak secara

147 umum. Gangguan reproduksi pada ternak sapi potong di Kecamatan Woha Kabupaten
6

148 Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat, baik dara maupun induk pada penelitian ini

149 disajikan pada Tabel 1.

150 Pada Tabel 1, Hasil penelitian ini menunjukkan dapat dilihat bahwa tingkat kejadian

151 gangguan reproduksi pada ternak sapi potong betina (dara dan induk) adalah sebesar 67,14%.

152 Pada ternak sapi dara, dari 100 ekor yang diperiksa, yang mengalami gangguan reproduksi

153 sebanyak 56 ekor (56%), sedangkan pada sapi induk sebanyak 85 ekor (77,27%) dari 110

154 ekor yang diperiksa.

155 Hasil penelitian pada Tabel 2 menujukkan bahwa jumlah sapi dara yang mengalami

156 gangguan reproduksi sebanyak 56 ekor dengan berbagai tipe gangguan reproduksi antara lain,

157 silent heat 8 ekor (8%), vaginitis 28 ekor (28%), corpus luteum persisten 15 ekor (15%), dan

158 hipofungsi ovarium 5 ekor. Sedangkan pada induk yang mengalami gangguan sebanyak 85

159 ekor sapi, dengan tipe gangguan reproduksi yaitu, silent heat 5 ekor (4,55%), vaginitis 24

160 ekor (21,82%), kista folikuler 14 ekor (12,73 %), corpus luteum persisten 13 ekor (11,82%),

161 hipofungsi ovarium 6 ekor (5,45%), serta endometritis 23 ekor (20,91%).

162 Tingginya kasus gangguan reproduksi terjadi dikarenakan beberapa faktor lain yaitu pada

163 pola manajemen pemeliharaan ternak khususnya pakan dan sanitasi kandang, dimana

164 keseimbangan nutrisi pakan sapi memiliki pengaruh terhadap performa reproduksi dan

165 berkaitan erat dengan pencegahan gangguan reproduksi pada ternak (Bindari et al. 2013;

166 Pradhan and Nakagoshi 2008). Menurut Siregar (2001), efisiensi penggunaan pakan untuk

167 sapi berkisar 7,52% - 11,29%. Hewan betina membutuhkan banyak makanan pada saat

168 dewasa tubuh untuk perkembangan kondisi bobot tubuh, pada sapi betina sangat perlu

169 diperhatikan dalam meningkatkan kualitas organ reproduksi ternak agar dapat berkembang

170 dengan baik. Hal tersebut juga dipertegas oleh Hifijah dan Astati (2015) bahwa kualitas dan

171 kuantitas pakan yang baik menyumbangkan 95% peranannya terhadap pencapaian berat,

172 kondisi dan ukuran tubuh ternak yang memungkinkan untuk mulai terjadinya perkembangan
7

173 anatomis dan fisiologis organ-organ reproduksi sehingga dapat dicapai performa reproduksi

174 yang baik. Kekurangan pakan khususnya untuk daerah tropis yang panas termasuk di

175 Indonesia, merupakan salah satu penyebab penurunan efisiensi reproduksi karena selalu

176 diikuti oleh adanya gangguan reproduksi yang menyebabkan timbulnya kemajiran pada

177 ternak betina (Budiyanto 2016).

178 Sanitasi kandang merupakan suatu kegiatan pencegahan yang meliputi kebersihan

179 kandang dan lingkungannya dalam rangka untuk menjaga kesehatan ternak sekaligus

180 pemiliknya. Buruknya sanitasi kandang pada peternakan sapi dapat meyebabkan

181 berkembang biaknya bakteri yang dapat memicu penyakit serta gangguan reproduksi pada

182 ternak (Cruz et al. 2011; Haile et al. 2014).

183 Kasus endometritis dan vaginitis yang terjadi pada peternakan rakyat di Kecamatan Woha

184 Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan kasus gangguan reproduksi yang

185 tergolong cukup tinggi. Hal tersebut dikarenakan kurangnya penanganan ternak sapi setelah

186 melahirkan, dimana ternak yang baru melahirkan sangat rentan terhadap infeksi uterus.

187 Infeksi uterus menyebabkan terjadinya pembengkakan uterus yang diikuti dengan keluarnya

188 cairan mengandung darah dan juga berpengaruh terhadap proses involusi uterus (Bittar et al.

189 2014; Struve et al. 2013). Zobel (2013) menyatakan bahwa dari total 1.300 sapi, yang

190 didiagnosis, terdapat 23% menderita endometritis klinis dan sebanyak 15,31% subklinis.

191 Penamaan vaginitis untuk peradangan pada vagina. Tanda-tanda vaginitis mulai dari

192 leleran lendir keruh dan hyperemia mukosa sampai nekrosis mukosa disertai pengejanan

193 terus-menerus hingga terjadinya septicemia (Affandhy et al. 2007). Baik melalui metode

194 palpasi rektal maupun ultrasonografi, temuan vaginitis akan menunjukkan hasil yang sama

195 dengan temuan pada penyakit-penyakit kompleks metritis, sehingga sangat penting untuk

196 dilakukan pemeriksaan lebih lanjut melalui metode vaginoskopi untuk diagnosis positif kedua

197 penyakit tersebut. Penanganan kasus vaginitis ini ditujukan untuk menghilangkan iritasi,
8

198 menghentikan pengejanan dengan anastesi epidural, koreksi operatif dari defek vulva dan

199 urovagina serta pengobatan antibiotik sistemik.

200 Terganggunya proses involusi uterus karena infeksi dapat menyebabkan tidak terjadi

201 luteolisis atau terbentuknya corpus luteum persisten, yang mempertahankan fungsinya dalam

202 siklus estrus (Bittar et al. 2014; Struve et al. 2013).

203 Faktor penyebab kista folikuler belum diketahui secara pasti, tetapi secara patofisiologi

204 dasar penyakit tersebut melibatkan sistem kerja neuroendokrin yang berhubungan dengan

205 hipotalamus, hipofisis, dan ovarium yang mengakibatkan kegagalan ovulasi (Teshome et al.

206 2016). Hasil identifikasi kasus ovarium sistik pada penelitian ini disajikan pada Tabel 2.

207 Terdapat empat belas ekor atau 12,73%, yang terjadi pada induk sapi.

208 Hipofungsi ovarium adalah ovarium yang beraktivitas rendah dalam menghasilkan sel

209 telur atau ovum. Sel telur yang dihasilkan ovarium hipofungsi pada umumnya fertilitasnya

210 rendah sehingga sulit atau tidak dapat dibuahi walaupun spermatozoa berkualitas baik. Pada

211 Tabel 2, disajikan bahwa kasus ovarium hipofungsi ditemukan terjadi pada sebelas ekor

212 (7,80%) dari 141 ekor sapi yang mempunyai gangguan reproduksinya, masing-masing lima

213 ekor (5%) pada sapi dara dan enam ekor (5,45%) pada induk sapi. Hipofungsi ovarium dapat

214 disembuhkan secara terapi dengan singkronisasi sinkronisasi berahi birahi menggunakan

215 progesteron yang diberikan intravaginal atau progesterone releasing intravaginal device

216 (Khadrawy et al. 2015).

217 Pada Tabel 2 disajikan bahwa sapi dara dan induk mengalami berahi birahi berahi tenang

218 (silent heat), tetapi tanda-tanda berahinya tidak dapat dikenali oleh peternak. berahi birahi

219 Berahi tenang pada sapi dapat terjadi karena aktivitas ovarium terganggu akibat kekurangan

220 nutrisi. Gangguan endokrin yang menyebabkan produksi estrogen rendah sampai tidak

221 mampu menunjukkan tanda-tanda berahi akan terjadi berahi tenang (Purohit 2014). Menurut

222 Marume et al. (2014) menyatakan bahwa pemberian suplemen nutrisi, dapat memperbaiki
9

223 sangat signifikan kondisi tubuh dan kualitas sex cell yang dihasilkan dan penampilan berahi.

224 Perbaikan proses reproduksi dapat dilakukan dengan memberi kecukupan nutrisi sepanjang

225 pemeliharaan ternak, terutama menjelang perkawinan, bunting dan masa laktasi (Amin 2014).

226 Terjadinya inefisiensi reproduksi sapi potong betina pada peternakan rakyat di Kecamatan

227 Woha Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat akibat gangguan reproduksi.

228 Gangguan reproduksi meliputi silent heat, vaginitis, kista folikuler, corpus luteum persisten,

229 hipofungsi ovarium, dan endometritis. Adanya interaksi yang kompleks antara faktor

230 lingkungan atau manajemen (nutrisi), respon individual, jenis gangguan reproduksi dan

231 derajat keparahan gangguan reproduksi akan menimbulkan respon kesembuhan yang

232 bervariasi dari setiap penanganan gangguan reproduksi.

233 Keberhasilan dalam penelitian ini didukung oleh keberadaan petugas teknis peternakan

234 yang tergabung dalam satu tim, terdiri dari dokter hewan, asisten teknis reproduksi,

235 pemeriksa kebuntingan, inseminator, dan petugas peternakan kesehatan hewan Kecamatan

236 Woha. Faktor pendukung lainnya dalam memudahkan penelitian ini adalah adanya sebagian

237 peternak yang memelihara secara kelompok sehingga memudahkan para petugas tenaga

238 tekhnis teknis dan anggota peneliti melakukan pemeriksaan dan penanganan pada ternak

239 yang mengalami gangguan reproduksi.

240 Table 1. Hasil pemeriksaan gangguang reproduksi sapi potong betina di Kecamatan Woha
241 Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat.
242
Jenis Ternak Jumlah Ternak Yang Diperiksa Gangguan Reproduksi (%)
Dara 100 56 562%)
Induk 110 85 (77.27%)
Total 210 141 (67,14%)
243
10

244 Tabel 2. Jenis gangguan reproduksi pada sapi potong betina di Kecamatan Woha Kabupaten
245 Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat.
246
Jenis Ternak Jumlah Ternak Jenis Gangguan Jumlah (%)
Reprduksi
silent heat 8 (8%)
Vaginitis 28 (28%)
Dara 100 corpus luteum 15 (15%)
persisten
hipofungsi ovarium 5 (5%)

silent heat 5 (4,55 %)


Vaginitis 24 (21, 82%)
110 kista folikuler 14 (12,73%)
Induk corpus luteum 13 (11,82%)
persisten
hipofungsi ovarium 6 (5,45%)
Endometritis 23 (20,91%)

247
248
249 KESIMPULAN

250 Gangguan aktivitas reproduksi sapi pada peternakan rakyat di Kecamatan Woha

251 Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat diduga disebabkan karena faktor nutrisi

252 dalam pakan yang diberikan dan gangguan reproduksi karena faktor penyakit dan kelainan

253 organ reproduksi. Gangguan reproduksi tersebut meliputi silent heat, vaginitis, kista folikuler,

254 corpus luteum persisten, hipofungsi ovarium, dan endometritis.

255

256 ACKNOWLEDGEMENT

257 Penelitian yang menghasilkan makalah publikasi ini, dibiayai oleh Sumber Dana

258 DIPA BLU (PNBP) Universitas Mataram, Tahun anggaran 2022. Dalam kesempatan ini kami

259 mengucapkan terima kasih kepada: Kepala Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten

260 Bima; Kepala Unit Penunjang Peternakan dan Pusat Kehetan Hewan Kecamatan Woha; dan
11

261 para peternak yang dengan sukarela membawa sapinya untuk digunakan sebagai materi

262 penelitian.

263 REFERENCES

264 Affandhy L, Pratiwi WC, dan Ratnawati D. 2007. Penanganan gangguan reproduksi pada

265 sapi potong. Bogor (Indonesia): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan..

266 hlm. 17-21.

267 Amin RUI. 2014. Nutrition: Its role in reproductive functioning of cattle-a review. Veterinary

268 Clinical Science, 2(1):1-9.

269 Bindari YR, Shrestha S, Shrestha N, Gaire TN. 2013. Effects of Nutrition on Reproduction.

270 Advances in Applied Science Research, 4(1):421-429.

271 Bittar JH, Pinedo PJ, Risco CA, Santos JE, Thatcher WW, Hencken KE, Croyle SM,

272 Gobikrushanth M, Barbosa CC, Vieira-Neto A, Galvao KN. 2014. Inducing

273 Ovulation Early Postpartum Influences Uterine Health and Fertility in Dairy

274 Cows. J. Dairy Sci, 97(3):558-3569.

275 Budiyanto A, Tophianong TC, Dalimunthe NW. 2013. Perbandingan Calving Interval (CI)

276 Sapi Bali Pada Peternakan Dikandangkan dan Semi Di kandangkan Di Daerah

277 Kupang Nusa Tenggara Timur. Proceeding Seminar Nasional Peran Rumah Sakit

278 Hewan Dalam Penanggulangan Penyakit Zoonosis. Yogyakarta, 23 November

279 2013.

280 Budiyanto A, Tophianong TC, Triguntoro,Dewi HK. 2016. Gannguan Reproduksi Sapi Bali

281 pada Pola Pemeliharaan Semi Intensif di Daerah Sistem Integrasi Sapi – Kelapa

282 Sawit. Acta Veterinaria Indonesiana, Vol(1):14-18.

283 Cruz CEF, Raymundo DL, Cerva C, Pavarini SP, Dalto AGC, Corbellini LG, Driemeier D.

284 2011. Records of Performance and Sanitary Status from a Dairy Cattle Herd in

285 Souther Brazil. Pesq.Vet.Bras, 31(1):1-7.


12

286 Direktorat Jendral Peternakan 2013. Produksi Daging Sapi. 2013.

287 Direktorat Perbibitan dan Produksi Ternak. 2016. Pedoman Teknis Optimalisasi Reproduksi

288 dan penanganan Gangguan Reproduksi pada Ternak Sapi/Kerbau Tahun 2016.

289 Gautam G, Nakao T, Koike K, Long ST, Yusuf M, Ranasinghe RMSBK, Hayashi A. 2010.

290 Spontaneous recovery or persistence of postpartum endometritis and risk factors

291 forits persistence in Holstein cows. Theriogenology, 73:168-179.

292 Gitonga PN. 2010. Pospartum reproductive performance of dairy cows in medium and large

293 scale farms in Kiambu and Nakuku Districts of Kenya. Thesis. University of

294 Nairobi Faculty of Veterinary Medicine.

295 Haile A, Tsegaye Y, Tesfaye N. 2014. Assessment of Major Reproductive Disorders of Dairy

296 Cattle in Urban and per Urban Area of Hosanna, Southern Ethiophia. Animal and

297 Veterinary Science, 2(5):135-141.

298 Handayani UF, Hartono MS. 2014. Respon kecepatan timbulnya estrus dan lama estrus pada

299 berbagai paritas sapi bali setelah dua kali pemberian prostaglandin F2α (PGF2α).

300 Jurnal Ilmiah Peternakan Terpad,, 2(1);33–39.

301 Hifijah A, Astati. 2015. Analisis Faktor Keberhasilan Inseminasi Buatan Ternak Sapi Potong

302 di Kecamatan Tombolo Pao Kabupaten Gowa. Jurnal Tekno sains, 9(1);113-26.

303 Khadrawy HHE, Ahmed WM, Zaabal MM, Hanafi EM. 2015. Lights on Drugs Used for

304 Treatment of Ovarian Disorders in Farm Animals. Global Vet, 14(3): 393-399.

305 Lestari CMS, Purbowati E, Dartosukarno S, Rianto E. 2014. Sistem Produksi dan

306 Produktivitas Sapi Jawa-Brebes dengan Pemeliharaan Tradisional. (Studi Kasus

307 di Kelompok Tani Ternak Cikoneng Sejahtera dan Lembu Lestari Kecamatan

308 Bandarharjo Kabupaten Brebes). J Peternakan Indonesia, 16(1): 8-14.


13

309 Marume U, Kusina NT, Hamudikuwanda H, Ndengu M, Nyoni O. 2014. Effect Of. Dry

310 Season Nutritional Suppementation an Fertility in bulls In Sanyati Smallholder

311 Farming Area Zimbabwe. Afr J Agric Res, 9(1):34-41.

312 Kementerian Pertanian. 2016. Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan

313 Kerbau Bunting. Permentan. No 48/ Permintan/PK.210/10/2012. Jakarta.

314 Nuryadi, Wahjuningsih S. 2011. Penampilan Reproduksi Sapi Peranakan Ongole dan

315 Peranakan Limousin di Kabupaten Malang. Fakultas Peternakan, Universitas

316 Brawijaya, Malang. J. Ternak Tropika, Vol 12(1):76-81.

317 Pradhan R, Nakagoshi N. 2008. Reproductive Disorders in Cattle due to Nutritional Status.

318 Journal of International Development and Cooperation, 14(1):45-66.

319 Purohit GN. 2014. Ovarian and oviductal pathologies in the buffalo: Occurrence, diagnostic

320 and therapeutic approaches. Asian Pacific J Reprod, 3(2): 56-168.

321 Riyanto J, Lutojo, Barcelona.D.M. 2015. Kinerja Reproduksi Induk Sapi Potong Pada Usaha

322 Peternakan Rakyat di Kecamatan Mojogedang. Sains Peternakan. Vol 13 (2) :

323 73-79.

324 Siregar, S.B. 2001. Ransum Ternak Ruminansia. Jakarta: Penebar Swadaya.

325 Struve KK, Herzog F,. Magata, M, Piechotta K, Shirasuna A, Miyamoto, Bollwein H. 2013.

326 The Effect of Metritis on Luteal Function in Dairy Cows. BMC Veterinary

327 Research, 9:244.

328 Teshome E, Kebede A, Abdela N, Ahmed WM. 2016. Ovarian Cyst and its Economic Impact

329 in Dairy Farms: A Review. Global Veterinaria, 16(5):461-471.

330 Yusuf MT, Nakao RM, Ranasinghe RMBSK, Gautam G, Long ST, Yoshida C, Koike K,

331 Hayashi A. 2010. Reproductive performance of repeat breeders in dairy herds.

332 Theriogenology, 73:1220-1229.


14

333 Zobel R. 2013. Endometritis in Simmental cows: incidence, causes, and therapy options. Turk

334 J Vet Anim Sci, 37:134-140.

335

336

337

338

You might also like