Professional Documents
Culture Documents
Muatan Pratriarki Dan Misogini Pada Novel Gadis-Gadis Amangkurat Karya RH - Widada Sebuah Kajian Gender
Muatan Pratriarki Dan Misogini Pada Novel Gadis-Gadis Amangkurat Karya RH - Widada Sebuah Kajian Gender
Abstrak
Penelitian ini mengkaji berbagai masalah terkait budaya patriarki dan misoginis pada novel
Gadis-Gadis Amangkurat. Patriarki dianggap sebagai sistem sosial yang memberikan tempat
pria sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik.
Misoginis adalah suatu budaya tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan budaya
patriarki dan budaya misoginis yang menganggap bahwa perempuan layak untuk dibenci.
Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan budaya patriarki dan misoginis yang terjadi
pada suatu wilayah. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Hasil dari penelitian ini adalah ditemukannya beberapa tindakan dari budaya patriarki
dan misoginis yang terjadi dalam satu novel berjudul Gadis-Gadis Amangkurat. Hal ini dapat
dilihat dari kekejaman para penguasa dan prajuritnya, mereka menganggap semua gadis yang
ada di Mataram adalah milik mereka. Novel Gadis-Gadis Amangkurat karya Rh. Widada ini
memberikan gambaran yang jelas tentang detail tiap-tiap kejadian yang ada.
Abstract
The journal examines various problems related to patriarchal and misogynistic culture in the
novel Girls of Amangkurat. Patriarchy is considered a social system that places men as the main
power holders and dominates in political leadership roles. Misogynist is a culture. The purpose
of this research is to describe a patriarchal culture and a misogynistic culture which assumes
that women deserve to be hated. The purpose of this study is to describe the patriarchal and
misogynistic culture that occurs in a region. The method used is descriptive method with a
qualitative approach. The result of this study is the discovery of several actions from patriarchal
and misogynistic culture that occur in a novel entitled Gadis-Gadis Amangkurat. This can be
seen from the cruelty of the rulers and their soldiers, they considered all the girls in Mataram to
be theirs. Novel Gadis-Gadis Amangkurat by Rh. This Widada provides a clear picture of the
details of each incident.
PENDAHULUAN
Perempuan selalu mendapatkan pandangan buruk tentang sebuah kedudukan jika
dibangingkan dengan laki-laki. Perempuan akan dinyatakan sebagai makhluk yang
lemah dan menjadikannya tanpak dipandang sebelah mata. Dari pandangan seperti itu,
akan timbul masalah-masalah baru yang makin merendahkan seorang perempuan,
misalnya adalah seorang wanita dilarang menuntut ilmu lebih tinggi daripada lelaki,
perempuan tidak dapat bekerja sebagaimana seorang laki-laki. Hal tersebut dapat
dijumpai di beberapa daerah di Indonesia.
Hal yang masih sangat kental dalam sebuah kebudayaan di Indonesia adalah
budaya patriarki. Budaya ini menggambarkan kaum lelaki dianggap memiliki kekuasaan
dan kemampuan yang lebih superior dibandingkan perempuan. Laki-laki dengan mudah
menempuh pedidikan hingga yang paling tinggi, sedangkan perempuan harus bersusah
payah. Selain budaya patriarki, ada juga budaya misogini. Budaya ini muncul karena
ada rasa kebencian terhadap perempuan, kebencian ini bisa berasal dari laki-laki atau
bisa juga dari sesama perempuan.
Budaya patriarki dan misogini saat ini mulai banyak direfleksikan di dalam
sebuah karya sastra, novel salah satunya. Novel merupakan cerita prosa tentang
kehidupan manusia yang mengandung ingatan jiwa yang luar biasa yang menyebabkan
perubahan nasib para tokohnya (Karmini, 2011: 102). Novel adalah salah satu bentuk
prosa yang memiliki alur panjang dan mengandung kehidupan imajinasi. Novel
memiliki cerita dengan alur kehidupan seseorang yang agak panjang dan berdasarkan
gagasan realitas masyarakat. Salah satu novel yang merefleksikan budaya patriarki dan
misogini adalah Gadis-Gadis Amangkurat karya RH.Widada.
Novel Gadis-Gadis Amangkurat karya RH.Widada mengisahkan pergolakan
kerajaan Mataram Islam pada masa kepemimpinan Amangkurat I. Masa ini dianggap
sebagai masa yang kelam, penuh tragedi, dan kemunduran akhlak. Pada masa ini,
praktik patriarki dan misogini hampir ada di setiap napas bumi pertiwi. Oleh karena itu,
peneliti menggunakan novel ini untuk mengkaji muatan partriaki dan misogini.
Masalah-masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini selain analisis muatan
patriarki dan misogini, antara lain (1) perbedaan seks dan gender; (2) mengetahui
bagaimana budaya tersebut dapat tumbuh subur; (3) akibat dari patriarki dan misogini.
Adapun tujuan dari penelitian ini, yaitu (1) mengetahui perbedaan seks dan gender
sebagai modal awal untuk memahami patriarki dan misogini; (2) mengetahui apa saja
dampak dari patriarki dan misogini; (3) mengetahui muatan patriarki dan misogini
dalam novel Gadis-Gadis Amangkurat karya RH.Widada; serta (4) mengetahui
bagaimana budaya-budaya tersebut dapat tumbuh subur.
METODE PENELITIAN
Metode yang peneliti gunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif. Metode ini digunakan karena dapat mendeskripsikan sebuah data yang
diperoleh dengan pendekatan penelitian kualitatif secara terperinci. Metode ini juga
dianggap dapat membantu peneliti dalam mencapai tujuan dan manfaat dari penelitian
ini, yaitu pemahaman patriarki dan misoginis dalam novel Gados-Gadis Amangkurat
karya RH. Widada
Muatan Pratriarki dan Misogini pada Novel Gadis-Gadis Amangkurat Karya Rh.Widada: Sebuah Kajian
Gender
(Novita Aulia Rahmah, M.Firhan Hudaya, Tristani Apriyani)
Sumber data yang digunakan dalam kajian ini adalah penggunaan bahasa yang
digunakan dalam tulisan novel tersebut. Sumber data dikumpulkan dengan cara
mengkaji tulisan pada novel. Pengkajian tersebut dilakukan dengan cara membaca dan
memahami data yang kemudian dianalisis secara teliti. Setelah semua data diteliti,
peneliti juga mencatat data yang ditemukan agar dapat mempermudah dalam dalam
menganalisis data.
Tabel 1 Muatan Patriarki dan Misogini dalam Novel Gadis-Gadis Amangkurat Karya
RH.Widada
1. “Saat giliran Warsi tiba untuk menghadap para prajurit, sorot mata Jalu tak
lepas dari kakak perempuannya itu. Mereka memang tidak menampar atau
menenfang Warsi, tapi tindakan mereka sungguh lebih menyakitkan :
memaksa kakaknya membuka kemben. Melihat itu semua, Jalu hanya bisa
menelan segenao sakit hati dan amarahnya.
melampiaskan nafsunya.”
6. “Cinta? Aku ragu Sang Nata memilikinya. Ki Panjak, kurasa Susuhunan
hanya cinta kepada dirinya. Sang Nata hanya ingin menjadikan Nyi
Tantrum sebagai sumber kesenangan bagi dirinya sendiri. Cintakah
namanya jika ia tega membuat Nyi Tuntrum merana sepanjang hidup?
Hlm. 38
Ketahuilah Ki, sampai saat meninggalnya, Kanjeng Ratu Wetan tetap
merindukan Ki Dalem. Ia terus menyebut-nyebut nama suaminya saat
sakaratul maut.”
7. “Jalu meringis tapi tampak tak peduli, dia malah bertanya, “ibu, apakah
Hlm. 54
gadis-gadis cantik akan selalu bernasib malang di Mataram ini?”
8. “Menyenangkan juga pemuda tanggung itu, pikir Sunthi. Ah, tapi Jalu lebih
pantas menjadi adikku, sergah Sunthi. Caranya menggoda tidak sama
dengan kebanyakan laki-laki yang suka menjahilinya saat dia mengamen.
Lebih-lebih mereka kemudian suka berbuat kurang ajar dengan mencolek
pantat, mencubit pipi, atau pundaknya. Bahkan seorang damang tua
Hlm. 61
pernah berusaha merogoh kembennya untuk meninggalkan kepingan
uang di sela-sela dadanya. Pada saat-saat seperti itu Sunthi merasa tidak
lebih dari seorang pelacur. Sedangkan dengan Jalu, ia merasa betul-betul
dikagumi, bukan dijadikan sasaran nafsu berahi”
9. “Maka orang-orang terdekat raja itu pun mengambil prakarsa.
Ditugaskanlah dua mantri kepedhak, Yudakarti dan Nayataruna untuk
berburu perempuan sebagai pengganti Ratu Wetan. Perempuan -
Hlm. 75
perempuan ini diharapkan mampu menghidupkan kembali kelakian Sang
Nata”
10. “Nyi Wira, aku ingin beristirahat dan bersenang-senang dengan gadis
ini. Aku butuh tempat tidur. Di senthong pun boleh!” berkata pemuda itu
seraya melompat turun dari kuda dengan tangkasnya. “Pelan-pelan!” Hlm. 140
katanya kemudian saat membantu gadis itu turun dari kuda.”
11. “Maka aku ingin melihat bukti kesungguhanmu saat ini juga! Nah,
sekarang tataplah wajah Ayahanda.” Pangeran Adipati Anom mendongak.
Lalu berkata Sang Amangkurat “Dengarkan, Ayahanda tak mungkin
menikmati ‘sisa hidangan’ dari piringmu. Tetapi, Ayahanda pun tak rela
Hlm. 199
kamu menikmati ‘hidangan’ itu hingga tandas. Maka singkirkanlah sisa
‘hidangan’ itu dengan tanganmu sendiri! Tanpa bantuan siapa pun. Tak kau
titahkan abdi marta lulut membantumu sebab kamulah yang berbuat!”
12. “Kanjeng Ratu Wetan itu memang sangat dicintainya. Belasan tahun ia tak
tergantikan oleh perempuan mana pun. Bahkan…., ini rahasia besar Jarot,
konon pada malam harinya setelah pemakaman istrinya, Susuhunan diam-
diam kembali ke Gunung Keli. Ia gali kembali makam istrinya itu untuk
dicumbu. Lalu ia berjaga dan tidur di dekatnya berhari-hari sampai jasad Hlm. 74
istrinya itu busuk. Tak peduli lagi ia pada kerajaan. Maka mandek dan
kacaulah segala urusan pemerintahan. Raja baru mau kembali ke keraton
setelah dibujuk Pangeran Purbaya.”
13. “Apa yang dikhawatirkan Sunthi terbukti sudah. Setali tiga uang dengan
Ayahandanya, pangeran adipati anom bukanlah laki-laki yang punya cinta.
Hanya cinta diri dan nafsu berahi pada kelopak bunga serta buah-buah Hlm. 175
surgawi kaum hawa yang dia punya.”
14. “Andaipun Rara Oyi selamat dan cepat sembuhnya, pasti ayahnya akan
tahu bahwa Rara Oyi sudah bukan perawan lagi ketika tiba waktunya
gadis itu harus melayani ayahandanya di atas ranjang. Bukankah
ayahandanya, lebih dari Pangeran Adipati Anom sendiri, seorang ali dalam
masalah perempuan? Rara Oyi pasti tidak akan bisa menyembunyikan Hlm. 177
masalah itu. Lagipula apa hakny untuk berharap bahwa Rara Oyi yang
sudah dipermainkannya itu sudi merahasiankannya siapa yang telah
mengambil keperawanannya?”
15. “Memenuhi panggilan Ki Landhung, Jarot tidak kembali ke Dalem Knoman
setelah mengantarkan surat ke Dalem Wirarejan itu. Kini ia menuju ke Hlm. 189
Muatan Pratriarki dan Misogini pada Novel Gadis-Gadis Amangkurat Karya Rh.Widada: Sebuah Kajian
Gender
(Novita Aulia Rahmah, M.Firhan Hudaya, Tristani Apriyani)
tanah lapang di dekat parit besar yang dibuat untuk mengalirkan sebagian
air Sungai Gajah Wong ke bendungan Segarayasa. Di sana dengan
berpura-pura merumput ia harus siap sedia menunggu kedatangan Sunthi,
menyemunyikan gadis itu di tempat yang aman, lalu mencari saat yang
tepat untuk membawa Sunthi perfi menjauhi Mataram”
16. “Nah, kini bangunlah anakku! Buktikan bahwa kamu calon raja Mataram
yang ksatria, lelaki yang sanggup menanggung akibat atas perbuatanmu
sendiri. Ayo, bangunlah, dan laksanakan titah Ayahanda. Singkirkan ‘sisa
Hlm. 200
hidangan’ yang telah kau cicipi…atau,.... kamu tidak akan pernah lagi
menjadi Pangeran Adipati Anom!”
17. “Nyai Kundhen tertegun. Omomgan Jalu ada benarnya. Bukankah kawula
Matawam tak akan pernah lupa pad lakon malang Rara Mendut dari Pati,
Tejarukmi dari Imogiri, dan yang belum lama mereka saksikan yakni Nyi
Mas Tantrum atau Kanjeng Ratu Wetan? Mereka semua cantik. Dan Hlm. 54
mereka menemui ajalnya secara mengenaskan sebagai korban keganasan
berahi penguasa-penguasa Mataram.”
18. “Tak semestinya Andika berlaku seperti itu karena Andika adalah tumpuan
kejayaan Matara. Tentu Ayahanda, Kanjeng Sultan Agung Hanyakrakusuma
di alam baka akan kecewa dan sedih jika mengetahui Andika menjadi Hlm. 63
lunglai hanya karena ditinggalkam…, maaf…, janda seorang dalang”
Total 18
Pembahasan
Novel sebagai Karya Sastra
Novel merupakan cerita prosa tentang kehidupan manusia yang mengandung
ingatan jiwa yang luar biasa yang menyebabkan perubahan nasib para tokohnya
(Karmini, 2011: 102). Novel adalah salah satu bentuk prosa yang alurnya cukup panjang
dan mengandung kehidupan imajinasi seseorang. Novel merupakan produk karya sastra
modern yang semakin banyak dicari oleh pembaca saat ini dan di era globalisasi
semakin mendapat perhatian karena novel dianggap sebagai karya sastra yang sarat
dengan konsep modern, tetapi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sastra (Priyatni,
2010: 155). Dari kedua pendapat tersebut, disimpulkan bahwa novel adalah cerita
dengan alur kehidupan seseorang yang agak panjang, berdasarkan pengimajinasian
realitas masyarakat, termasuk salah satu produk sastra modern yang berasal dari
zamannya hingga lobalisasi kini semakin banyak diminati oleh masyarakat.
Ini juga menjelaskan bahwa novel dapat mengekspresikan sesuatu dengan bebas,
menguraikan sesuatu dan memuat masalah yang lebih kompleks. Sebuah novel terdiri
dari unsur-unsur sebagai berikut: (1) peristiwa/kejadian, yaitu, masalah utama novel,
dengan fokus cerita yang mengarah pada pemecahan masalah tersebut dan mencari
solusi sehingga kejadian khusus dari cerita novel menjadi fokus utama daya tarik; (2)
alur/plot, yaitu alur yang menjelaskan perkembangan tokoh dan permasalahannya
sampai akhir. Alur/plot meliputi alur maju, mundur dan campuran; (3) tokoh dan
penokohan melibatkan para pemain atau karakter masing-masing yang berbeda,
mengarah pada hubungan antar karakter, penokohan terutama menghadirkan karakter
dan gambar khusus yang juga menjadi daya tarik novel; (4) pengaturan, yaitu gambaran
keadaan yang ingin disampaikan oleh pengarang untuk menyempurnakan cerita, latar
meliputi latar waktu, tempat dan suasana hati; (5) subjek, yaitu. unsur utama sebagai
pedoman, yang menyaratkan novel untuk diikuti; dan (6) pesan, yaitu. pemahaman
melalui kesan dan pengalaman konkrit setelah membaca novel (Nurgiyantoro, 2010:
11). Dari sudut pandang Nurgiyantoro, dapat diartikan bahwa novel memiliki aturan
Muatan Pratriarki dan Misogini pada Novel Gadis-Gadis Amangkurat Karya Rh.Widada: Sebuah Kajian
Gender
(Novita Aulia Rahmah, M.Firhan Hudaya, Tristani Apriyani)
yang lebih bebas dan penyajian cerita yang lebih banyak dibandingkan dengan karya
sastra lainnya.
berat, alat reproduksi berupa penis, testis, dan sperma; sedangkan, perempuan
mengalami menstruasi, hamil, menyusui, dsb. Hormon yang dimiliki laki-laki dan
perempuan pun berbeda. Perihal biologis merupakan ketentuan Tuhan atau kodrat yang
permanen dan tidak dapat dipertukarkan.
Konsep gender mengacu pada sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan
perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya sehingga lahir
beberapa gagasan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan. Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa “gender” dapat diartikan sebagai konsep sosial yang
membedakan (dalam arti: memilih atau memisahkan) peran antara laki-laki dan
perempuan. Perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak tidak
ditentukan karena perbedaan bilogis, tetapi menurut kedudukan, fungsi, dan peranan
masing-maisng dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan (Handayani dan
Sugiarti, 2008: 5). Dalam konstruksi sosial dan budaya, laki-laki dipandang sebagai
sosok yang kuat (bukan dalam hal fisik), jantan, perkasa, rasional, dsb; sedangkan,
perempuan adalah sosok yang lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Laki-laki
adalah sosok pemimpin, sedangkan perempuan adalah yang dipimpin. Konstruksi sosial
ini menjadikan perempuan memiliki kedudukan dan peran yang berbeda dengan laki-
laki. Perempuan tersubordinasi oleh faktor-faktor yang dikonstruksi sosial (Handayani
dan Sugiarti, 2008: 5).
Pemahaman dan pembeda antara konsep seks dan gender sangat diperlukan
dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial
yang menimpa kaum perempuan (Handayani dan Sugiarti, 2008: 3). Unger dalam
Handayani dan Sugiarti (2008: 6) mengklasifikasikan perbedaan konsep seks dan
gender, sbb.
Penilaian yang Unger lakukan pada tabel di atas tidak dapat dikatakan benar
secara mutlak. Penilaian tersebut perlu dikritisi kembali. Bahkan, tak sedikit poin yang
menunjukkan keberpihakan kepada kaum laki-laki. Hal ini menunjukkan
ketidaksetaraan gender dan berakhir menyuburkan patriarki serta misogini.
Teori Patriarki
Yanuarius mengatakan bahwa struktur masyarakat tradisional biasanya
patriarkal dan perlu dijelaskan dengan teori patriaki (2021: 1). Teori patriarki adalah
teori yang membedakan maskulinitas bagi laki-laki dan feminitas bagi perempuan.
Dalam masyarakat patriarki, kedudukan, otoritas, dan peran laki-laki lebih dominan
daripada perempuan. Patriarki tak jauh dari maskulinitas laki-laki. Mengacu pada Rene
Descartes, “saya berpikir, maka saya ada,” sejarah maskulinitas merupakan perjuangan
Muatan Pratriarki dan Misogini pada Novel Gadis-Gadis Amangkurat Karya Rh.Widada: Sebuah Kajian
Gender
(Novita Aulia Rahmah, M.Firhan Hudaya, Tristani Apriyani)
menaklukan dan menundukkan diri yang emosional dan seksual serta mengenali
kemunculan superioritas akal dan pikiran. Namun, perjuangan meraih kontrol diri
diaktualisasikan sebagai penguasaan dominasi atas orang lain, berbasis gender atas
perempuan di keluarga maupun masyarakat (Yanuarius, 2021: 2).
Maseono dan Kilonzo dalam Yanuarius (2021: 4) menyatakan bahwa “Patriarki”
berasal dari bahasa Latin “patriarchia” yang bermakna aturan ayah (rule of the father).
Kata “patriarki” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti “perilaku
mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial
tertentu”. Laki-laki memiliki kuasa atau yang dominan dalam berbagai bidang, baik
rumah tangga maupun sosial. Semakin kuat dominasi, semakin kuat pula kecenderungan
terjadinya ketidakadilan gender yang berakhir pada tindak kekerasan seksual. Dewasa
ini, patriarki tidak hanya mengacu pada bagaimana masyarakat berfungsi dengan
kekuasaan dominanan laki-laki, tetapi bagaimana laki-laki mampu mengontrol
perempuan dalam kehidupan bermasyarakat (Mashiri dalam Yanuarius, 2021: 5).
Patriarki adalah sistem di mana perempuan dijadikan tidak terlihat dan karena itu
kurang berpengaruh. Patriarki adalah kekuasaan para bapak, suatu sistem sosial-
keluarga, ideologis dan politik di mana laki-laki dengan kekuatan, tekanan langsung,
atau melalui ritual, tradisi, hukum, bahasa, adat-isitiadat, etiket, pendidikan, dan
pembagian kerja menentukan apa peran yang seharusnya dan tidak seharusnya
dilakukan oleh perempuan, dan di mana perempuan di mana pun berada di bawah posisi
laki-laki (Walby dalam Yanuarius, 2021: 7).
Teori Misogini
“Misogini” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti “kebencian
terhadap wanita”. Misogini adalah istilah untuk orang yang membenci atau tidak suka
dalam kasus ekstrim untuk wanita. Perilakunya sendiri disebut misoginis. Hampir
sebagian besar pelaku misogini adalah laki-laki, tetapi tak jarang ditemukan perempuan
yang berperilaku demikian. Perilaku misogini dilatarbelakangi oleh banyak hal, di
antaranya trauma masa kecil, pola asuh yang salah, pola pikir maskunilitas (toxic
masculinity), memperlakukan perempuan secara berbeda, merasa tidak ingin tersaingi,
berperilaku egois dan suka mengatur, menyalahkan perempuan.
1) “Saat giliran Warsi tiba untuk menghadap para prajurit, sorot mata Jalu
tak lepas dari kakak perempuannya itu. Mereka memang tidak menampar
atau menenfang Warsi, tapi tindakan mereka sungguh lebih menyakitkan :
memaksa kakaknya membuka kemben. Melihat itu semua, Jalu hanya bisa
menelan segenao sakit hati dan amarahnya.
“Ayo buka, ndhuk” prajurit itu membujuk. Warsi bersikukuh
mempertahankan diri.
“Kamu ingin kami yang membukanya?” mata prajurit itu melebar,
memancarkan berahi kambing bandot. Dengan nekat ia lalu
Muatan Pratriarki dan Misogini pada Novel Gadis-Gadis Amangkurat Karya Rh.Widada: Sebuah Kajian
Gender
(Novita Aulia Rahmah, M.Firhan Hudaya, Tristani Apriyani)
Kutipan pertama ini menunjukan kekuasaan laki-laki yang melebihi batas terhadap
perempuan (patriarki). Dibuktikan dengan tingkah laku prajurit yang memaksa untuk
membuka kemben milik Warsi di depan umum tanpa memikirkan harkat dan martabat
seorang perempuan. Warsi yang memberikan perlawanan tampaknya tak berarti
dihadapan para prajurit, mereka berjumlah lebih dari satu. Perilaku ini juga disebabkan
oleh anggapan perempuan oleh kaum laki-laki sebagai makhluk yang lemah dan tak
berdaya serta rendahan (misogini).
2) “Pasrah saja, ndhuk, pasrah! Pasrah itu enak kok! Kami kan sudah
berpengalaman ….,” timpal yang lain ditingkahi tawa jorok. Lalu
seorang prajurit segera menggelandang Warsi untuk begabung dengan
Nyai Ginem dan tawanan lain. Warsi meronta-ronta sekuat tenaga sambil
melolong dan menjelaskan bahwa ia bukanlah abdi dalem keraton.
Namun, semua usahanya sia-sia.” (Widada, 2021: 6)
Penggambaran yang ada pada kutipan ini memperlihatkan Warsi sebagai korban dari
nafsu-nafsu para prajurit yang mencari kesempatan dalam kesempitan. Para prajurit ini
mencari kesempatan dalam keterpurukan seorang Warsi yang lemah akibat tidak
mendapat asupan makanan maupun minuman yang cukup bagi tubuhnya. Perempuan
dalam hal ini direpresentasikan hanya sebagai pemuas nafsu belaka.
Laki-laki pada saat itu memiliki perangai yang sama dengan rajanya, sama-sama
nafsu ketika dihadapkan dengan perawan. Prajurit-prajurit dan para petingginya
Muatan Pratriarki dan Misogini pada Novel Gadis-Gadis Amangkurat Karya Rh.Widada: Sebuah Kajian
Gender
(Novita Aulia Rahmah, M.Firhan Hudaya, Tristani Apriyani)
beranggapan bahwa perempuan hanya sebagai alat pemuas nafsu saja. Bagi para
mereka, perempuan yang ada di wilayah itu menjadi hak mereka dan mereka berhak
melakukan apapun tanpa mempedulikan kondisinya dan kondisi keluarganya. Ini juga
menunjukkan harga diri atau nilai perempuan hanya dilihat apakah ia seorang perawan
atau bukan.
5) “Ki Sura Jaran berhenti sebentar, lalu dengan suara bergetar karena
luapan kegeraman ia berujar kembali, “Dan anak gadismu Ki Dhukuh,
….” Kalimat Ki Sura terputus. Kedua matanya menyorotkan rasa geram
“Warsi mereka lepaskan dalam keadaan linglung setelah mereka puas
melampiaskan nafsunya.” (Widada, 2021: 23)
Pada masa itu, keadikuasaan seorang raja sangat meresahkan bagi warganya,
Seorang raja mampu menjadikan wanita siapa saja menjadi pendamping hidupnya,
meskipun wanita tersebut sudah bersuami. Fenomena itulah yang membuat Ki Dhukuh
berpikir bahwa Sang Nata menikahi Nyi Tantrum hanya untuk kepentingan kebahagiaan
dia sendiri tanpa ada rasa cinta kepada istrinya. Citra perempuan pada masa itu hanya
dijadikan alat kesenangan, pemuas nafsu, tanpa mementingkan rasa dan harga diri
perempuan.
7) “Jalu meringis tapi tampak tak peduli, dia malah bertanya, “ibu, apakah
gadis-gadis cantik akan selalu bernasib malang di Mataram ini?”
(Widada, 2021: 54)
Pada kutipan ini Jalu mempertanyakan keresahannya kepada sang ibu, tentang
nasib-nasib wanita cantik yang ada di desanya. Apakah mereka akan bernasib sama
dengan wanita-wanita yang menjadi korban dari kekejaman kerajaan? Mereka yang
berparas cantik tidak memiliki kebebasan dalam memilih pasangannya sendiri.
Kebebasan untuk hidup nyaman, aman, dan damai pun direnggut oleh perempuan.
perempuan hidup di bawah bayang-bayang rasa takut. Hal ini menunjukkan subordinasi
dan marginalisasi. Subordinasi dan marginalisasi adalah bentuk-bentuk ketidakadilan
gender yang disuburkan oleh patriarki dan misogini. Subordinasi adalah penormoduaan
perempuan, perempuan lebih rendah atau lemah dari laki-laki sehingga kedudukan,
Muatan Pratriarki dan Misogini pada Novel Gadis-Gadis Amangkurat Karya Rh.Widada: Sebuah Kajian
Gender
(Novita Aulia Rahmah, M.Firhan Hudaya, Tristani Apriyani)
fungsi, dan peran perempuan seakan lebh rendah dibanding laki-laki; sedangkan
marginalisasi adalah upaya pemiskinan perempuan.
8) “Menyenangkan juga pemuda tanggung itu, pikir Sunthi. Ah, tapi Jalu
lebih pantas menjadi adikku, sergah Sunthi. Caranya menggoda tidak
sama dengan kebanyakan laki-laki yang suka menjahilinya saat dia
mengamen. Lebih-lebih mereka kemudian suka berbuat kurang ajar
dengan mencolek pantat, mencubit pipi, atau pundaknya. Bahkan
seorang damang tua pernah berusaha merogoh kembennya untuk
meninggalkan kepingan uang di sela-sela dadanya. Pada saat-saat
seperti itu Sunthi merasa tidak lebih dari seorang pelacur. Sedangkan
dengan Jalu, ia merasa betul-betul dikagumi, bukan dijadikan sasaran
nafsu berahi” (Widada, 2021: 61)
Kutipan di atas menggambarkan keadaan pada masa itu, ketika kaum laki-laki tua
maupun muda sering menganggap rendah seorang perempuan. Apalagi mereka yang
berprofesi sebagai seorang biduan atau penari. Mereka akan berperilaku seenaknya,
menyentuh bagian-bagian yang seharusnya tidak mereka sentuh. Hal itu yang membuat
seorang Sunthi merasa dirinya tak lebih dari seorang pelacur. Ini juga menunjukkan
suboridinasi pekerjaan perempuan.
9) “Maka aku ingin melihat bukti kesungguhanmu saat ini juga! Nah,
sekarang tataplah wajah Ayahanda.” Pangeran Adipati Anom
mendongak. Lalu berkata Sang Amangkurat “Dengarkan, Ayahanda tak
mungkin menikmati ‘sisa hidangan’ dari piringmu. Tetapi, Ayahanda
pun tak rela kamu menikmati ‘hidangan’ itu hingga tandas. Maka
singkirkanlah sisa ‘hidangan’ itu dengan tanganmu sendiri! Tanpa
bantuan siapa pun. Tak kau titahkan abdi marta lulut membantumu sebab
kamulah yang berbuat!” (Widada, 2021: 199)
10) “Andaipun Rara Oyi selamat dan cepat sembuhnya, pasti ayahnya akan
tahu bahwa Rara Oyi sudah bukan perawan lagi ketika tiba waktunya
gadis itu harus melayani ayahandanya di atas ranjang. Bukankah
ayahandanya, lebih dari Pangeran Adipati Anom sendiri, seorang ali
dalam masalah perempuan? Rara Oyi pasti tidak akan bisa
menyembunyikan masalah itu. Lagipula apa hakny untuk berharap bahwa
Rara Oyi yang sudah dipermainkannya itu sudi merahasiankannya siapa
yang telah mengambil keperawanannya?” (Widada, 2021: 177)
Sang raja engga untuk memiliki Rara Oyi karena ia sudah “tidak perawan” lagi.
11) “Tak semestinya Andika berlaku seperti itu karena Andika adalah
tumpuan kejayaan Matara. Tentu Ayahanda, Kanjeng Sultan Agung
Hanyakrakusuma di alam baka akan kecewa dan sedih jika mengetahui
Andika menjadi lunglai hanya karena ditinggalkam…, maaf…, janda
seorang dalang” (Widada, 2021: 63)
SIMPULAN
Dalam novel Gadis-Gadis Amangkurat ditemukan beberapa kejadian yang
mengarah pada budaya patriarki dan misoginis. Dapat dilihat dari keadikuasaan seorang
raja terhadap suatu wilayah. Budaya patriarki yang sangat kental dalam sebuah kerajaan
membawa kepedihan tersendiri bagi para warganya. Raja Amangkurat atau Sang Nata
memperlihatkan betapa mudahnya bagi seorang raja untuk mendapatkan apa yang ia
inginkan tanpa harus memperhatikan kondisi warganya.
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, ditemukan 18 kutipan bermuatan
patriarki dan misogini. Sebagian besar kutipan mengandung anggapan atau pandangan
bahwa perempuan adalah makhluk rendahan dan hanya sebagai pemuas nafsu belaka.
Perempuan adalah “gandengan” laki-laki. Perempuan direnggut kebebasannya dan
dipaksa untuk bersikap seolah biasa-biasa saja, bahkan dituntut untuk bahagia atas
penderitaanya. Misogini juga tak hanya ditemukan pada tuturan laki-laki, tetapi juga
perempuan, yaitu Ibunda Susuhunan.
Subordinasi perempuan terlihat pada kejadian yang dialami Pangeran Adipati
Anom diihadapkan dengan dua pilihan, antara tahta kerajaan Mataram atau Rara Oyi
yang ia cintai. Pangeran lebih memilih untuk mendapatkan maaf dari Ayahandanya agar
dapat meneruskan tahta kerajaan Mataram. Stereotipe jenis kelamin yang terjadi pada
novel ini dialami oleh Nyi Tantrum. Dia dianggap oleh ibu Sang Nata tidaklah lebih
dari janda seorang dalang. Kekerasan terhadap perempuan banyak terjadi mulai dari
awal cerita, Warsi yang ditelantarkan oleh para prajurit Mataram setelah dilecehkan
hingga hami, Rara Oyi yang dibunuh oleh Pangeran Adipati Anom, dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Fiksi, K. (2013, September 19). Rh. Widada. Profil Penulis. Retrieved January 22, 2023, from
https://profilpenulis.wordpress.com/2013/09/19/rh-widada/
You, Y. (2021). Patriarki, Ketidakadilan Gender, dan Kekerasan atas Perempuan:
Model Laki-Laki baru Masyarakat Hubula Suku Dani. NUSAMEDIA.
Retrieved January 23, 2023.
Sukri, S. S. (2009). Ensiklopedi Islam & Perempuan dari aborsi hingga misogini. Penerbit
Nuansa Cendekia.
Widada, R. (2011). Gadis-Gadis Amangkurat: Cinta Yang Menikam: Sebuah novel. Narasi.
Handayani, T., Sugiarti, & Dharma, S. (2006). Konsep Dan Teknik Penelitian gender.
Universitas Muhammadiyah Malang Press.
Muatan Pratriarki dan Misogini pada Novel Gadis-Gadis Amangkurat Karya Rh.Widada: Sebuah Kajian
Gender
(Novita Aulia Rahmah, M.Firhan Hudaya, Tristani Apriyani)