Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 18

PEDAGOGIA : Jurnal Ilmu Pendidikan

PERANAN ORANG TUA


DALAM PENGEMBANGAN KOMPETENSI SOCIAL ANAK
TUNANETRA
The Role of Parents in the Development of
the Social Competence of Children with Visual Impairment
1)
Zulkifli Sidiq
1)
Dosen pada Departemen Pendidikan Khusus, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan
Indonesia
Email: zulkiflisidik@yahoo.com

Abstract
This study was intended to uncover the challenges faced by parents in developing the social competence of their
children with visual impairment who live in the community of sighted children, the results of which are expected to be
used as the basis for developing a guidance and counseling program to help them to meet the challenges. The study
was carried out using the qualitative approach with the case study strategy; the in-depth interview was used to
collect the data, and the Social Attribute Checklist adapted from McClellan & Katz (2001) was used to portray the
social competence profile of the children. The results of the study indicated that children whose parents were active
in exposing them to their social environment and encouraged and supported them to enter a sighted peer group, had
a high interest in interacting with their peers, were well accepted by the peer group, and were successful in
developing friendship with sighted peers, and, in its turn, these children were also successful in showing a good
social competence.

Key Words: parental role; social competence; children with visual impairment; peer group; friendship

A. PENDAHULUAN kemungkinan juga terdapat di kalangan anak-


Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa anak dan mungkin berdampak pada cara
adaptasi sosial dan emosional anak jangka orang tua membina hubungan sosial antara
panjang, perkembangan akademik dan anaknya yang tunanetra dengan teman-teman
kognitifnya, dan kehidupannya sebagai sebayanya yang awas. Apakah dengan
seorang warga negara diperkuat oleh demikian anak tunanetra yang hidup di dalam
seringnya dia memiliki kesempatan untuk komunitas anak awas akan mengalami
memperkuat kompetensi sosialnya selama kesulitan dalam mengembangkan hubungan
masa kanak-kanaknya. Hubungan antarteman sosial dengan sebayanya sehingga akan
sebaya (peer relationships), sebagai satu terhambat pula perkembangan kompetensi
aspek penting dari perwujudan kompetensi sosialnya? Pertanyaan inilah yang akan
sosial, sangat besar kontribusinya terhadap dicoba dijawab melalui penelitian ini.
perkembangan sosial maupun kognitif anak Penelitian difokuskan pada anak tunanetra
(Piaget, 1932 dalam Oden, 1987; Hartup, yang tinggal bersama orang tuanya untuk
1992). meneliti peran yang dilakukan orang tua
Hubungan pertemanan tersebut, terutama terkait dengan perkembangan kompetensi
hubungan persahabatan, terwujud atas dasar sosial anak itu.
kesetaraan, kesamaan minat, saling Secara lebih spesifik pertanyaan di atas
pemahaman, kesetiaan, dan kepercayaan. dielaborasi menjadi empat pertanyaan
Sebagaimana anak pada umumnya, anak yang penelitian sebagai berikut.
tunanetra pun membutuhkan hubungan
pertemanan. Akan tetapi, sikap masyarakat (1) Apa yang dilakukan orang tua untuk
terhadap orang tunanetra cenderung negatif: membina hubungan sosial antara
ketunanetraan sering diparalelkan dengan anaknya yang tunanetra dengan
inferioritas, dan sikap seperti ini
425
sebayanya yang awas di lingkungan orang tua dalam mengasuh anaknya, dan
sekitar rumahnya? perbedaan dalam keseimbangan antara
(2) Bagaimanakah hubungan sosial dimensi-dimensi asuh (parental dimensions)
antara anak tunanetra itu dengan yang diterapkannya. Baumrind
sebayanya yang awas? mengidentifikasi dua dimensi asuh utama,
(3) Bagaimanakah profil kompetensi yaitu: parental responsiveness dan parental
sosial anak tunanetra itu? demandingness. Parental responsiveness
Penelitian ini dimaksudkan untuk (dimensi asuh responsif – juga disebut
mengungkap masalah-masalah yang dihadapi parental nurturance) adalah dimensi di mana
anak tunanetra beserta orang tuanya dalam orang tua secara sadar memupuk
mengembangkan kompetensi sosialnya, perkembangan individualitas anak,
khususnya yang terkait dengan hubungan membiarkannya mengatur diri dan
sosialnya dengan sebayanya yang awas di menampilkan dirinya sendiri, dan dimensi ini
lingkungan sekitar rumahnya, yang hasilnya diwujudkan dengan senantiasa
diharapkan dapat dipergunakan sebagai dasar mendengarkan, mendukung dan memenuhi
perumusan program bimbingan dan konseling kebutuhan khusus dan tuntutan anak.
untuk membantu orang tua dalam Parental demandingness (dimensi asuh penuh
mengembangkan kompetensi sosial anaknya tuntutan – juga disebut parental control)
yang tunanetra. adalah dimensi di mana orang tua menuntut
anaknya untuk terintegrasi ke dalam keutuhan
B. KAJIAN LITERATUR keluarga, dengan menuntut agar anak
Perkembangan kompetensi sosial anak menunjukkan kematangannya,
di dalam kelompok teman sebayanya terkait mengawasinya, mendisiplinkannya, dan
dengan gaya asuh (parenting styles) yang mengkonfrontasinya bila anak tidak
dipergunakan orang tua dalam mengasuh menunjukkan kepatuhan.
anaknya (Jewett, 1992). Diana Baumrind Orang tua dengan gaya asuh otoriter
telah melakukan sejumlah penelitian tentang cenderung rendah dalam dimensi
kaitan antara gaya asuh orang tua dengan responsifnya dan tinggi dalam dimensi
kompetensi sosial pada anak usia prasekolah tuntutannya (Moore, 1992). Orang tua ini
dan usia sekolah. menciptakan lingkungan yang terstruktur dan
Baumrind (Darling, 1999) berasumsi tertata rapi dengan aturan-aturan yang jelas.
bahwa perilaku asuh yang normal dari orang Mereka menetapkan standar yang absolut
tua berkisar seputar masalah kontrol. untuk perilaku anaknya, menerapkan disiplin
Meskipun orang tua mungkin berbeda-beda yang ketat dan menuntut kepatuhan yang
dalam cara mereka mengontrol atau segera, serta kurang menggunakan metode
mensosialisasikan anaknya dan berbeda pula persuasi. Orang tua yang otoriter juga
dalam tingkat kontrol yang mereka terapkan, cenderung kurang menggunakan cara-cara
tetapi Baumrind berasumsi bahwa peranan persuasi yang lebih lembut terhadap anaknya;
utama semua orang tua adalah mereka tidak menunjukkan kasih sayang,
mempengaruhi, mengajar, dan mengontrol pujian ataupun imbalan. Akibatnya, orang tua
anaknya. Dari hasil penelitiannya, Baumrind yang otoriter cenderung menciptakan model
mengidentifikasi empat gaya asuh yang agresif dalam cara memecahkan konflik dan
berbeda-beda, yaitu authoritarian, model interaksi sosial yang kurang ramah.
permissive, authoritative, dan uninvolved, Kebalikannya, orang tua yang
yang masing-masing berimplikasi terhadap permisif cenderung moderat hingga tinggi
kompetensi sosial anak dalam kaitannya dalam dimensi responsifnya tetapi rendah
dengan teman sebayanya dan orang dewasa. dalam dimensi tuntutannya (Moore, 1992).
Masing-masing dari keempat gaya asuh Orang tua dengan gaya asuh ini menerapkan
tersebut mencerminkan perbedaan dalam nilai relatif sedikit tuntutan kepada anaknya dan
dan pola perilaku asuh yang dipraktekkan cenderung inkonsisten dalam menerapkan

426
disiplin. Mereka selalu menerima impuls, akademik) yang lebih tinggi daripada
keinginan dan perbuatan anaknya, dan mereka yang orang tuanya nonotoritatif.
cenderung kurang memonitor perilaku  Anak dan remaja yang orang tuanya tak
anaknya. Meskipun anaknya cenderung peduli adalah yang paling buruk kinerjanya
ramah dan mudah bergaul, tetapi mereka dalam kedua ranah kompetensi tersebut.
kurang memiliki pengetahuan tentang  Anak dan remaja dari keluarga otoriter
perilaku yang tepat untuk situasi sosial pada cenderung moderat dalam kinerja
umumnya dan kurang bertanggung jawab atas sekolahnya dan tidak terlibat dalam
perilakunya yang salah. perilaku bermasalah tetapi mereka
Orang tua yang otoritatif tinggi dalam menunjukkan keterampilan sosial yang
dimensi responsifnya dan moderat dalam kurang baik, harga diri yang lebih rendah,
dimensi tuntutannya. Mereka memonitor dan dan tingkat depresi yang lebih tinggi.
menetapkan standar yang jelas bagi perilaku  Anak dan remaja dari keluarga yang
anaknya, bersifat asertif, tetapi tidak intrusif permisif cenderung terlibat dalam perilaku
ataupun restriktif. Metode pendisiplinan yang bermasalah dan kurang baik dalam kinerja
diterapkannya bersifat suportif, tidak bersifat sekolahnya, tetapi mereka menunjukkan
menghukum (punitive. Mereka menginginkan harga diri yang lebih tinggi, keterampilan
anaknya menjadi asertif dan memiliki sosial yang lebih baik, dan tingkat depresi
tanggung jawab sosial, dan mampu mengatur yang lebih rendah.
dirinya sendiri (self-regulated) serta Kegiatan bermain merupakan salah
kooperatif. Gaya asuh inilah yang oleh satu bentuk interaksi utama antarteman
Baumrind dan kolega-koleganya ditemukan sebaya di kalangan anak-anak. Penelitian
paling fasilitatif dalam perkembangan yang dilakukan oleh Pellegrini (Pellegrini &
kompetensi sosial selama awal masa kanak- Glickman, 1991) menunjukkan bahwa anak
kanak dan masa-masa perkembangan yang pasif (yaitu mereka yang diarahkan oleh
selanjutnya (Moore, 1992). orang dewasa dan noninteraktif) kurang
Orang tua dengan gaya asuh “tak kompeten dibanding anak yang berorientasi
peduli” (uninvolved) rendah dalam dimensi pada teman sebaya dan aktif melibatkan diri
responsifnya maupun dimensi tuntutannya dalam kegiatan bermain. Kegiatan bermain
(Darling, 1999). Dalam kasus yang ekstrim, ini dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis
orang tua ini akan mengabaikan anaknya atau utama, yaitu (1) kegiatan bermain fantasi
bahkan menolak kehadirannya, meskipun (symbolik/pretend/imaginary play), yang
sebagian besar orang tua dengan tipe gaya dalam bahasa Sunda disebut anjang-
asuh ini termasuk ke dalam kategori orang tua anjangan, dan (2) gim (game), yaitu
yang normal. permainan yang terstruktur dan mempunyai
Gaya asuh orang tua telah ditemukan seperangkat aturan baku dan bersifat
dapat memprediksi pencapaian anak dalam kompetitif. Baik kegiatan bermain fantasi
ranah kompetensi sosial maupun dalam maupun gim memperkuat perkembangan
beberapa ranah lainya termasuk kinerja kompetensi sosial pada anak (McClellan &
akademik, perkembangan psikososial, dan Katz, 2001).
perilakunya. Penelitian yang didasarkan pada Kegiatan bermain fantasi dapat
wawancara terhadap orang tua, laporan anak, memunculkan berbagai bentuk perilaku yang
dan observasi terhadap orang tua (Darling, terkait dengan pemeranan. Penelitian tentang
1999) secara konsisten menemukan hal-hal interaksi sosial hubungan afiliatif di kalangan
sebagai berikut: anak-anak menunjukkan bahwa teman sebaya
sering terlibat dalam bentuk-bentuk
 Anak dan remaja yang orang tuanya permainan fantasi yang kompleks dan sering
otoritatif memiliki kompetensi sosial kali menampilkan pola-pola perilaku timbal-
maupun kompetensi instrumental (kinerja balik yang berorientasi afektif (Newcomb,
Brady, & Hartup, 1979 – dalam Ladd &

427
Asher, 1985). Di dalam permainan tersebut sesuai dengan ekspektasi kelompoknya. Anak
anak memperoleh kesempatan untuk berbagi yang memiliki keterampilan tersebut akan
peran-peran interaktif, misalnya peran guru- disukai anak-anak lain. Dengan demikian, apa
murid, pedagang-pembeli, dokter-pasien, dsb. yang dilakukan anak di dalam gim tersebut
Dalam permainan ini anak dituntut untuk juga dapat memprediksi popularitasnya di
mampu beradaptasi terhadap peran yang kemudian hari (Pellegrini & Glickman,
sedang dimainkannya dan setting yang telah 1991).
disepakati dengan teman bermainnya, Temuan-temuan di atas semuanya
responsif terhadap akting temannya, terampil mendukung pendapat bahwa hubungan teman
berkomunikasi secara efektif, mampu sebaya yang baik pada masa kanak-kanak
menerima kritik bila respon yang mendukung perkembangan kompetensi sosial,
diberikannya tidak sesuai dengan ekspektasi dan buruknya hubungan teman sebaya
temannya, dan mampu berperilaku atau berdampak buruk pula terhadap
berujar yang dapat menimbulkan respon perkembangan kompetensi sosial itu.
positif. Tantangan-tantangan apakah yang
dihadapi orang tua dalam mengasuh anaknya
Gim berkelompok biasanya
yang tunanetra? Perlakuan orang tua terhadap
merupakan peristiwa di mana anak
anaknya yang tunanetra sangat ditentukan
menunjukkan kompetensi tingkat tinggi
oleh sikapnya terhadap ketunanetraan itu, dan
(Waters & Sroufe, 1983 – dalam Pellegrini &
emosi merupakan satu komponen dari sikap
Glickman, 1991). Waters dan Sroufe
di samping dua komponen lainnya yaitu
(Pellegrini & Glickman, 1991) mengamati
kognisi dan kecenderungan tindakan (Krech,
bahwa dalam permainan semacam ini anak
Crutchfield & Ballachey, 1982).
dituntut untuk menunjukkan perilaku yang
Ketunanetraan yang terjadi pada seorang anak
sesuai dengan seperangkat peraturan tertentu,
selalu menimbulkan masalah emosional pada
dan anak berusaha melakukan permainan
orang tuanya. Ayah dan ibunya akan merasa
tersebut sebaik mungkin karena mereka ingin
kecewa, sedih, malu, dan berbagai bentuk
mempertahankan interaksinya dengan teman-
emosi lainnya. Mereka mungkin akan merasa
teman sebayanya, dan dengan demikian anak-
bersalah atau saling menyalahkan, mungkin
anak tersebut berusaha menunjukkan
akan diliputi oleh rasa marah yang dapat
kompetensinya. Karakteristik interaksi sosial
meledak dalam berbagai cara, dan dalam
dari permainan ini membuka jalan bagi
terungkapnya sejumlah dimensi seperti kasus yang ekstrim bahkan dapat
mengakibatkan perceraian (Kingsley, 1999).
dimensi linguistik, sosial, dan kognitif yang
Sikap orang tua tersebut akan berpengaruh
dibutuhkan untuk pencapaian prestasinya
terhadap hubungan mereka dengan anaknya,
kelak. Oleh karena itu, kinerja anak di dalam
dan hubungan tersebut pada gilirannya akan
permainan ini dapat memprediksi prestasinya
mempengaruhi perkembangan emosi dan
di kemudian hari. Misalnya, kemampuan
sosial anak.
untuk menggunakan argumen yang logis
dalam permainan menuntut penggunaan Faktor-faktor lain, seperti tingkat
bentuk bahasa yang merupakan karakteristik pemahaman orang tua mengenai
dari tes dan pelajaran bahasa di sekolah. Di ketunanetraan serta sikap masyarakat pada
samping itu, Waters dan Sroufe (Pellegrini & umumnya terhadap orang tunanetra, juga
Glickman, 1991) mengamati bahwa di dalam akan mempengaruhi hubungan orang tua-
gim berkelompok, anak harus menunjukkan anak pada masa dini.
keterampilan sosial dan kognitif yang baik Masalah lain dapat timbul pada saat
agar dapat disukai oleh teman-temannya. anak tunanetra itu mulai berinteraksi dengan
Dengan kata lain, mereka harus memiliki dan teman-teman sebayanya. Arena utama untuk
mempergunakan keterampilan kognitif yang interaksi sosial bagi anak adalah kegiatan
dibutuhkan untuk menganalisis interaksi bermain, dan kajian yang dilakukan oleh
sosial agar dapat menampilkan perilaku yang McGaha & Farran (2001) terhadap sejumlah

428
hasil penelitian menunjukkan bahwa anak sering dan kurang berhasil melakukan
tunanetra menghadapi banyak tantangan bermain simbolik atau bermain peran.
dalam interaksi sosial dengan sebayanya yang Selain dari itu, anak tunanetra cenderung
awas. Agar efektif dalam interaksi sosial, mengarahkan kegiatan bermainnya lebih
anak perlu memiliki keterampilan- banyak kepada orang dewasa daripada kepada
keterampilan tertentu, termasuk kemampuan teman sebayanya (McGaha & Farran, 2001).
untuk membaca dan menafsirkan sinyal sosial Anak tunanetra memilih untuk berinteraksi
dari orang lain dan untuk bertindak dengan dengan orang dewasa karena interaksi ini
tepat dalam merespon sinyal tersebut. mungkin lebih bermakna dan menstimulasi
Kesulitan yang dihadapi anak tunanetra untuk daripada interaksi dengan teman sebayanya,
dapat mempersepsi isyarat-isyarat dan orang dewasa dapat mengkompensasi
komunikasi nonverbal (yang pada umumnya keterbatasan keterampilan sosial anak
visual) mengakibatkan anak ini membutuhkan tunanetra itu, misalnya dengan mensubstitusi
cara khusus untuk memperoleh keterampilan isyarat visual dengan isyarat verbal atau
sosial, seperti keterampilan untuk mengawali taktual.
dan mempertahankan interaksi. Tanpa Sehubungan dengan setting tempat
keterampilan ini, anak tunanetra sering bermain, Preisler (McGaha & Farran, 2001)
kehilangan kesempatan untuk berinteraksi menemukan bahwa anak tunanetra lebih
dan menjadi terpencil dalam kelompoknya. senang bermain di dalam ruangan daripada di
Kekelis & Sacks dan Preisler (McGaha & luar, dan menghindari tempat terbuka yang
Farran, 2001) melaporkan bahwa anak-anak luas, terutama yang tidak memiliki landmark
awas pada mulanya berminat untuk sebagai titik rujukan. Hal ini tampaknya
berinteraksi dengan anak tunanetra, tetapi terkait dengan kurangnya keterampilan
lama kelamaan kehilangan minatnya itu orientasi dan mobilitas anak tunanetra.
ketika isyarat mereka tidak memperoleh Satu faktor penting lainnya adalah
respon yang diharapkan. Selain dari itu, di densitas sosial, yaitu jumlah anak di tempat
kalangan sebayanya, anak tunanetra tertentu. Semakin banyak anak di tempat itu,
memerlukan waktu untuk dapat diterima semakin banyak kesempatan yang tersedia
karena penerimaan sosial sering didasarkan untuk interaksi sosial. Akan tetapi, McGaha
atas kesamaan. Anak cenderung mengalami dan Farran (2001) menemukan bahwa anak
penolakan sosial bila mereka dipersepsi tunanetra lebih menyukai tempat dengan
sebagai berbeda dari teman-teman sebayanya densitas sosial yang rendah. Hal ini dapat
(Asher et al. - dalam Burton, 1986). dipahami karena semakin tinggi densitas
Mungkin karena faktor-faktor tersebut sosial akan semakin tinggi pula tingkat
di ataslah maka McGaha dan Farran (2001) kebisingannya, sehingga isyarat-isyarat
menemukan bahwa anak tunanetra lebih auditer yang diterimanya pun menjadi lebih
sering melakukan kegiatan bermain kompleks dan membutuhkan konsentrasi
“repetitive and stereotyped play”. Mereka ekstra untuk menyaringnya. Bagi orang
sering tidak mengeksplorasi obyek-obyek tunanetra, indera pendengaran merupakan
ataupun lingkungannya, dan mengarahkan substitusi utama untuk indera penglihatan
kegiatan bermainnya ke tubuhnya sendiri. (Tarsidi, 2010).
Kegiatan bermain manipulatif dan Oleh karena itu, untuk dapat diterima
penggunaan barang mainan secara fungsional oleh kelompok sosialnya, anak tunanetra
juga kurang sering terlihat pada anak membutuhkan bantuan khusus untuk
tunanetra meskipun banyak dari kegiatan mengatasi kesulitannya dalam memperoleh
bermain anak prasekolah melibatkan obyek- keterampilan sosial, seperti keterampilan
obyek yang dapat berfungsi sebagai titik untuk menunjukkan ekspresi wajah yang
rujukan bersama. Sebagai alternatif dari tepat, menggelengkan kepala, melambaikan
bermain dengan obyek adalah pretend play, tangan, atau bentuk-bentuk bahasa nonverbal
tetapi anak tunanetra juga ditemukan kurang lainnya (Hallahan & Kauffman, 1991).

429
Mengajarkan keterampilan sosial 2) Anak tunanetra dari subjek tersebut
(termasuk di dalamnya penggunaan bahasa menyandang ketunanetraan dengan
nonverbal) kepada anak tunanetra dapat kisaran tingkat penglihatan dari
merupakan tugas yang sangat menantang kebutaan total hingga kurang awas
karena keterampilan tersebut secara tradisi (low vision)- atau ketunanetraan berat
dipelajari melalui modeling dan umpan balik hingga ketunanetraan ringan.
menggunakan penglihatan (Farkas et al. - 3) Ketunanetraan pada anak dari subjek
dalam Hallahan & Kauffman, 1991). Bahasa terjadi sebelum anak dapat berjalan.
nonverbal, yang pada umumnya diperoleh
anak awas secara insidental melalui proses 4) Anak tunanetra dari subjek tersebut
modeling, harus diajarkan secara sistematis tidak memiliki kecacatan lain.
kepada anak yang tunanetra. Akan tetapi, 5) Anak dari subjek tersebut sudah
sejumlah peneliti telah berhasil dalam memiliki kemampuan berbahasa secara
mengajarkan keterampilan sosial kepada anak cukup baik untuk dapat diwawancarai.
tunanetra melalui prinsip-prinsip
behavioristik (McGaha & Farran, 2001; 6) Anak tunanetra tersebut tinggal
Jindal-Snape et al., 1998; Hallahan & bersama orang tuanya di dalam
Kauffman, 1991). komunitas anak awas.
Paparan di atas menunjukkan bahwa Berdasarkan kriteria di atas, peneliti
ketunanetraan merupakan hambatan besar menemukan empat orang tua dan anak yang
bagi perkembangan keterampilan sosial anak, dapat dijadikan sebagai subjek penelitian.
yang pada gilirannya juga merupakan Anak dari keempat subjek tersebut terdiri dari
hambatan bagi perkembangan kompetensi dua orang laki-laki dan dua orang perempuan,
sosialnya. Akan tetapi, dengan intervensi dua orang anak tunanetra ringan (low
yang tepat, orang tua dapat berperan besar vision)dan dua orang tunanetra berat (blind).
dalam meninimalkan hambatan tersebut. Mereka adalah siswa kelas 3 sebuah SLB/A
di kota Bandung dan semuanya tinggal di
C. METODE PENELITIAN wilayah radius sekitar 5 km dari sekolah
Penelitian ini menggunakan tersebut.
pendekatan kualitatif dengan metode studi
kasus. Data dikumpulkan dengan teknik
wawancara mendalam (in-depth interview) D. HASIL PENELITIAN DAN
menggunakan pedoman wawancara tak PEMBAHASAN
berstruktur. Wawancara dilakukan terhadap Berikut ini adalah data hasil
ibu dan anaknya. Di samping itu, untuk wawancara terhadap keempat kasus dalam
menampilkan profil kompetensi sosial anak penelitian ini.
tunanetra itu, peneliti menggunakan “Daftar Kasus 1
Cek Atribut Sosial” (Tarsidi, 2010), yang Kasus 1 adalah sebuah keluarga
disadur dari The Social Attribute Checklist dengan seorang anak perempuan yang
dari McClellan & Katz (2001, yang terdiri dilahirkan dengan ketunanetraan berat. Dia
dari 24 item. Pemilihan subyek penelitian adalah anak pertama dari dua bersaudara-
ditentukan dengan teknik purposive sampling, dengan ayah yang berbeda. Pada usia satu
dan data penelitian dianalisis secara kualitatif. setengah tahun, anak Kasus 1 ditinggalkan
Pemilihan kasus untuk penelitian ini (bercerai) oleh ayah kandungnya, dan
didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan mendapat ayah tiri pada usia empat tahun.
berdasarkan kriteria sebagai berikut: Menyusul perceraian dengan suami
1) Subyek adalah ibu dan anaknya yang pertamanya, sang ibu membawa anaknya
tunanetra yang berusia tidak lebih dari yang tunanetra itu tinggal bersama orang
12 tahun. tuanya. Karena sang ibu harus bekerja,
pengasuhan anak itu pada siang hari terutama

430
berada di bawah tanggung jawab neneknya. pemilihan barang-barang mainan seperti
Neneknya inilah yang berperan banyak dalam boneka atau mainan lainnya yang dapat
mengekspos anak itu ke lingkungan sosialnya dipergunakan untuk kegiatan bermain fantasi.
hingga dia berusia empat tahun. Sang nenek Kesulitan muncul ketika akan memberikan
mengekspos anak tersebut ke berbagai setting akses ke permainan terstruktur (gim) yang
sosial, dari setting kelompok anak bermain biasa dilakukan oleh teman-temannya yang
hingga setting arisan ibu-ibu, sehingga proses awas. Sejauh ini permainan yang aksesibel
saling belajar terjadi antara anak dan anggota- baginya hanya congklak. Orang tua Kasus 1
angota lain di dalam lingkungan sosialnya. tidak tahu bagaimana anaknya itu dapat
Ketika ibu Kasus 1 menikah lagi pada saat berpartisipasi dalam permainan lain seperti
anaknya itu berusia empat tahun, dia permainan kartu gambar, bermain karet atau
memutuskan untuk tidak bekerja sehingga sondah. Walaupun demikian, orang tua Kasus
memiliki banyak waktu untuk melanjutkan 1 selalu mendorong agar anaknya itu tetap
sosialisasi anak tersebut. Cukup sering sang berpartisipasi semampunya, dan berusaha
ibu harus menyaksikan ekspresi wajah yang untuk menumbuhkan sikap bertoleransi dari
tidak simpatik dari orang-orang yang tak pihak teman-temannya untuk sedapat
dikenalnya, yang ditujukan kepada anak mungkin melibatkan Kasus 1 dalam kegiatan
perempuannya itu maupun kepada dirinya bermainnya.
sendiri, tetapi dia sudah belajar untuk tidak Bagaimanakah keterampilan orientasi
terlalu mempedulikannya. dan mobilitas anak Kasus 1 di rumah dan
Lingkungan tempat tinggal lingkungan sekitarnya? Sang ibu menjelaskan
mereka saat ini sangat mendukung. Mereka bahwa anak Kasus 1 sudah terorientasi
tinggal di dalam kelompok perumahan milik dengan cukup baik dan mampu bergerak
keluarga yang terdiri dari delapan rumah yang secara mandiri di dalam rumah dan
disewakan kepada keluarga-keluarga lain, lingkungan sekitarnya meskipun mobilitasnya
yang kebetulan juga mempunyai anak kecil, sering masih tampak kaku dan kadang-
yang enam di antaranya sebaya dengan Kasus kadang menabrak-nabrak. Orang tua Kasus 1
1. Pada awalnya anak-anak tetangganya itu tidak mengetahui teknik orientasi bagi anak
memandang anak Kasus 1 sebagai orang tunanetra, mereka hanya tahu bahwa setiap
asing, tetapi ibu Kasus 1 berupaya anak butuh bergerak sehingga mereka
memperkenalkan mereka dengan membiarkan anaknya itu bergerak secara
mengundang anak-anak itu bermain bersama, leluasa. Mereka selalu memperhatikannya
sehingga mereka dapat belajar melalui tetapi tidak mengintervensi kecuali bila
pengalaman langsung bagaimana Kasus 1 anaknya itu mendekati tempat-tempat yang
dapat berfungsi tanpa indera penglihatan. Jika “berbahaya” seperti tangga atau barang-
dipandang perlu, ibu Kasus 1 memberikan barang yang menghalangi jalan yang akan
penjelasan; misalnya, penyebutan nama dilaluinya. Dari pengalaman, mereka belajar
Kasus 1 itu penting pada saat menyapanya. bahwa barang-barang harus selalu berada di
Para orang tua anak-anak itu pun sangat tempat yang sama atau memberitahukan
suportif terhadap interaksi sosial anak-anak kepada anaknya itu bila ada barang yang
ini. Ibu Kasus 1 menceritakan bahwa bila dipindahkan letaknya atau bila ada barang
anaknya itu tampak sedang seorang diri di baru, sehingga dia tetap memiliki visualisasi
teras rumah, orang tua teman-temannya itu tentang keadaan lingkungannya. Lingkungan
akan mengundangnya bermain di rumah sekitar rumah juga cukup aman bagi anak
mereka bersama anaknya atau menyuruh Kasus 1 untuk bereksplorasi karena rumah-
anaknya menemani anak Kasus 1. rumah milik orang tua ibu Kasus 1 itu
Untuk memfasilitasi interaksi dengan membentuk kompleks kecil yang terbebas
teman-teman sebayanya, orang tua Kasus 1 dari lalu-lintas umum. Pembatasan yang
berusaha menyediakan mainan yang dapat diterapkan adalah bahwa anak Kasus 1 tidak
dimainkan bersama. Tidak ada masalah dalam diperbolehkan berjalan sendiri ke luar dari

431
kompleks itu tanpa ditemani, “pertama karena disuruh ibunya pergi ke warung di dekat
dia masih kecil, dan kedua karena dia rumahnya “untuk membeli pecin”.
perempuan,” ujar ibunya. Tentang permainan yang biasa
Pada saat diwawancarai, anak Kasus 1 dilakukannya bersama teman-temannya, anak
tampil ceria dan senang bercerita. Kasus 1 menyebutkan “main kelereng, main
Ketika ditanya apakah lebih suka karet, main congklak, main bola, main
bermain di sekolah atau di lingkungan layangan, main beklen, main kartu, kucing-
rumahnya, dia mengatakan, “Lebih suka di kucingan”. Ketika ditanyakan kepada ibunya
rumah karena di rumah ada banyak teman dan bagaimana Kasus 1 dapat berpartisipasi
banyak mainan”. Dia mengaku mempunyai penuh dalam permainan-permainan itu, dia
banyak teman bergaul di lingkungan sekitar menjelaskan bahwa permainan yang benar-
rumahnya, dan ada enam nama yang benar dapat diikuti olehnya hanya permainan
berulang-ulang disebutkannya sebagai teman congklak, sedangkan dalam permainan
bergaul, dengan kisaran usia antara delapan lainnya anak Kasus 1 lebih banyak berfungsi
hingga sepuluh tahun (Kasus 1 sendiri sebagai “penggembira”. Sang ibu mengatakan
berumur menjelang sembilan tahun), dan tiga bahwa dia belum mengetahui jenis permainan
orang di antaranya sama-sama duduk di kelas terstruktur di mana anak tunanetra dan anak
tiga SD. Ini tampaknya menunjukkan bahwa awas dapat sama-sama berpartisipasi secara
dia mampu bergaul dan dapat diterima penuh. Tetapi hal yang sangat baik dari
dengan baik di kalangan teman-teman teman-teman anak Kasus 1 adalah bahwa
sebayanya yang awas. Ketika ibunya ditanya mereka selalu memberi kesempatan kepada
faktor-faktor apa yang menurutnya mungkin Kasus 1 untuk sejauh tertentu turut terlibat
mempengaruhi penerimaan sosial yang baik dalam permainan-permainan itu. Jenis
itu, dia menyebutkan sifat Kasus 1 yang interaksi di mana anak Kasus 1 dapat
periang, memiliki rasa percaya diri yang berperan secara penuh adalah kegiatan
tinggi untuk berinisiatif dalam interaksi bermain fantasi. Dia sering bermain “anjang-
sosial, pandai menyanyi, dan memiliki anjangan”, di mana dia sering berperan
keterampilan akademik (terutama dalam sebagai ibu atau sebagai guru, atau sebagai
bahasa dan berhitung) yang lebih baik murid bila anak lebih besar berpartisipasi.
daripada teman-teman bermainnya. Di Kegiatan bersama lainnya yang dikemukakan
samping itu, ibunya juga mengatakan bahwa oleh anak Kasus 1 adalah bermain sepeda di
anak Kasus 1 mempunyai sifat tenggang rasa halaman rumahnya dan pergi mengaji ke
yang tinggi, “Mungkin karena dia takut mesjid.
kehilangan teman bermain”. Ketika anak Kasus 1 ditanya apakah
Tentang persahabatan, anak Kasus 1 pernah diganggu oleh anak lain, dia
menceritakan bahwa dia bersahabat karib mengatakan, “Tidak pernah”. Ibu Kasus 1
dengan Siti, anak tetangga yang seusia dan menceritakan bahwa satu hal yang agak
sama-sama duduk di kelas tiga SD. Ibunya mengganggu perasaan anaknya itu adalah
mengkonfirmasi bahwa anaknya itu dan Siti pertanyaan yang kadang-kadang diajukan
selalu bersama-sama dalam hampir semua oleh anak-anak lain tentang mengapa dia
kegiatan sosial sehari-hari. tidak dapat melihat. Untuk itu dia datang
Ketika ditanya apakah dia lebih kepada orang tuanya guna meminta
banyak bergaul di dalam rumah atau di luar penjelasan. Ibunya menjelaskan kepadanya
rumah, anak Kasus 1 mengatakan, “Sama bahwa itu merupakan takdir Tuhan. Dia
saja”. Anak Kasus 1 mengatakan bahwa dia sering menjelaskan, “Tuhan menciptakan
sudah terorientasi dengan baik di dalam bermacam-macam orang, ada yang dapat
rumah dan sekitarnya sehingga mampu melihat, ada yang tidak, tetapi Tuhan juga
bergerak mandiri secara leluasa. Anak Kasus memberikan kelebihan dalam hal lain untuk
1 bahkan menceritakan bahwa dia sering mengatasinya.” Kini anak Kasus 1 selalu

432
mengutip perkataan ibunya itu untuk kerja saya. Saya akui bahwa akibatnya anak
menjawab pertanyaan tersebut. saya hanya bermain dengan dirinya sendiri,
Daftar Cek Atribut Sosial yang tidak dengan anak lain,” sang ibu
diterapkan pada anak Kasus 1 menunjukkan menuturkan.
bahwa dari ke-24 item atribut sosial pada Dalam hal menyediakan barang-
daftar cek itu, Kasus 1 tampak baik dalam 23 barang mainan, sang ibu mengatakan bahwa
item. Ini berarti bahwa anak tersebut dia selalu memilih “mainan yang mendidik”.
memiliki kompetensi sosial yang baik. Sebagai contoh, dia menyebutkan papan tulis
kecil dan jigsaw puzzle. Dia menginginkan
Kasus 2 anaknya itu menjadi “profesional yang
Anak pada kasus 2 adalah anak berhasil meskipun menyandang kecacatan”.
tunggal, seorang anak perempuan yang Dari segi akademik, tampaknya cita-cita sang
dilahirkan tunanetra dengan tingkat ibu itu sudah mulai menuju pencapaiannya;
ketunanetraan ringan. Ayahnya selama ini anak kasus 2 selalu menduduki
meninggalkannya (karena perceraian) ketika peringkat pertama di kelasnya.
dia berusia satu tahun. Ibu pada kasus 2 Ketika dia ditanya tentang
berpendidikan S1 dan bekerja sebagai kepala pertimbangan khusus sekaitan dengan
divisi pemasaran pada sebuah perusahaan ketunanetraan anaknya dalam memilih
swasta. mainan, dia memilih mainan yang berwarna
cerah karena anak Kasus 2 masih memiliki
Sebagai seorang wanita karir dan sisa penglihatan yang fungsional. Akan tetapi,
single parent, dia tidak memiliki cukup waktu karena anak Kasus 2 selalu bermain sendiri,
untuk mengekspos anak tunggalnya itu ke maka dia tidak mempunyai akses ke kegiatan
lingkungan sosialnya secara lebih extensif. bermain terstruktur berkelompok atau
Selama jam-jam kerja, pengasuhan anaknya berpasangan.
itu dipercayakannya kepada seorang Dalam hal orientasi dan mobilitas, di
pembantu yang tugas utamanya adalah dalam rumah tidak ada masalah karena sisa
melayani kebutuhan anak tersebut. Ibu pada penglihatannya sangat membantu. Untuk
Kasus 2 sering mendapat kepahitan dari membiarkanya mengeksplorasi lingkungan
pengalamannya mengekspos anaknya dalam sekitar rumah secara mandiri, ibunya terlalu
waktunya yang sangat terbatas itu. Dia sangat khawatir karena lalu-lintas di jalan depan
tidak suka bila ada orang yang bertanya soal rumah cukup ramai. Oleh karena itu anak
ketunanetraan anaknya, terlebih lagi bila Kasus 2 tidak pernah dibiarkan ke luar rumah
anaknya itu disebut “buta”. tanpa ditemani.
Ketika diwawancarai, anak Kasus 2
Ketika ditanya apakah dia berusaha tampil pendiam dan menjawab pertanyaan
memperkenalkan anaknya itu kepada teman- seperlunya.
teman sebaya di lingkungan sekitar Ketika ditanya apakah dia punya
rumahnya, sang ibu memberikan dua alasan teman bergaul atau bermain di lingkungan
untuk tidak melakukannya. Pertama, mereka sekitar rumahnya, dia mengatakan bahwa
tinggal di daerah pusat kota yang tidak pernah bermain dan tidak berkeinginan
masyarakatnya cenderung lebih bermain; dia lebih senang bermain sendiri.
individualistik sehingga kurang saling kenal. Ketika hal ini ditanyakan kepada ibunya, sang
Kedua, dia khawatir kalau-kalau anak lain ibu menjawab dengan menjelaskan watak
mempengaruhi kebiasaan hidup disiplin yang anaknya itu sebagai sangat tergantung kepada
selalu ditanamkannya kepada anaknya itu. orang dewasa, sangat membutuhkan perhatian
”Pada jam-jam yang telah ditentukan dia dan perlindungan, tak acuh terhadap
harus makan, belajar, sembahyang, dan lain- lingkungan sosialnya, sulit beradaptasi
lain, dan pada waktu-waktu tertentu saya dengan lingkungan sosial baru, tetapi
mengeceknya melalui telepon dari tempat semangat bersekolahnya sangat tinggi

433
“karena dunianya hanya rumah dan sekolah”. Oleh karena itu, anak Kasus 3 sangat
Di samping itu, sang ibu juga jarang mendapat kesempatan bermain
mempersalahkan kekurangan interaksi sosial di luar lingkungan rumahnya.
anaknya itu pada masyarakat kota tempat Tentang fasilitas bermain, anak Kasus
tinggalnya yang cenderung lebih 3 mempunyai beberapa mainan untuk
individualistik. kegiatan bermain fantasi seperti pistol dan
Keterlekatan anak Kasus 2 kepada ibunya kapal mainan, tetapi ibunya mengatakan
tampak sangat erat. Ketika dia ditanya apakah bahwa dia jarang memainkannya. Anak
mempunyai sahabat, dia menjawab, “Sahabat Kasus 3 lebih menyukai video game Nitendo,
saya Mama” (ibunya sendiri). khususnya gim adegan gelut. Dari suaranya,
Daftar Cek Atribut Sosial yang dia belajar mempersepsi apakah tombol yang
diterapkan pada anak Kasus 2 menunjukkan ditekannya secara acak itu mengakibatkan
bahwa dari ke-24 item atribut sosial pada tokohnya kalah atau menang. Dia bermain
daftar cek tersebut Kasus 2 hanya tampak sendiri, dan baginya permainan itu lebih
baik dalam 6-11 item. Ini berarti bahwa anak berfungsi sebagai “sound game” daripada
tersebut memiliki kompetensi sosial yang video game.
kurang baik. Orang tuanya tidak tahu bagaimana
caranya anak tunanetra dan anak awas dapat
interaktif dalam permainan terstruktur,
Kasus 3
sehingga anak Kasus 3 tidak pernah
Anak pada Kasus 3 adalah seorang
mempunyai akses ke permainan terstruktur.
anak laki-laki yang dilahirkan dengan
Dalam hal orientasi dan mobilitas
menyandang ketunanetraan ringan, tetapi
anak Kasus 3, sang ibu mengatakan bahwa
kemudian, pada usia delapan tahun, sisa
anak Kasus 3 sudah terorientasi dengan baik
penglihatannya hilang sama sekali karena
di dalam rumah (karena rumah mereka tidak
kecelakaan. Dia adalah anak kedua dari dua
besar), dan anak ini dapat bergerak secara
bersaudara. Ayahnya berpendidikan SMEA
mandiri di dalamnya meskipun tidak lincah.
dan bekerja sebagai pegawai sebuah BUMN,
Mereka tidak tahu cara yang tepat untuk
sedangkan ibunya adalah seorang ibu rumah
mengorientasikan anak tunanetra dan melatih
tangga dengan latar belakang pendidikan
mobilitasnya. Yang mereka lakukan adalah
SMEA.
pada awalnya selalu menuntun anaknya itu
Ketika anak Kasus 3 lahir dan bila hendak berpindah tempat di dalam
terdeteksi tunanetra, ibunya rumah. Setelah tampak bahwa anak Kasus 3
memutuskan untuk berhenti bekerja lebih mengenal tata letak rumah itu,
sebagai pegawai administrasi di selanjutnya mereka membiarkannya berjalan
sebuah perusahaan suasta, dan sendiri dan memberikan arahan verbal bila
mendedikasikan sebagian besar diperlukan. Untuk keamanannya, mereka
waktunya untuk mengasuh anaknya selalu menghindarkan barang-barang yang
yang kedua itu. Tugasnya untuk “berbahaya” dari tempat-tempat yang biasa
mengekspos anak Kasus 3 ke dilaluinya. Untuk orientasi dan mobilitas di
lingkungan sosialnya sering lingkungan sekitar rumah, orang tua belum
mengakibatkan perasaannya pernah melatihkannya dan anak Kasus 3
terganggu. Dia tidak suka kalau sendiri belum pernah menyatakan
anaknya itu disebut “buta” atau bila keinginannya untuk mengeksplorasi
ada orang yang menatapnya dengan lingkungan luar rumahnya secara mandiri.
penuh selidik. Ini pada umumnya Anak Kasus 3 menyatakan tidak
dilakukan oleh orang yang tidak berminat untuk bermain di luar rumah karena
begitu dikenalnya. Dia bahkan pernah sering ada anak yang mengatainya buta, dan
mendengar remaja yang melarang tidak ada anak lain di lingkungan tempat
adiknya bermain dengan anaknya itu. tinggalnya yang dikenalnya dengan baik

434
meskipun dia sudah tinggal di sini selama tiga ibu mendorong interaksi anak itu dengan
tahun. Dia menghabiskan sebagian besar anak-anak lain dengan mengawasinya dan
waktu luar sekolahnya di dalam rumah, dan memberikan bantuan bila dia menghadapi
teman bergaulnya sehari-hari adalah kesulitan.
kakaknya dan kedua orang saudara Perasaan tak senang kadang-kadang
sepupunya – teman serumahnya. Dengan dialami oleh sang ibu bila didapatinya bahwa
merekalah dia belajar, bermain, dan kadang- anaknya itu dipinggirkan oleh teman-teman
kadang bertengkar. Sesekali teman-teman sebayanya dalam kegiatan bermain
saudara sepupunya datang bermain ke rumah kelompoknya. Dalam hal inilah dia turun
itu, tetapi Kasus 3 lebih memilih mengucilkan tangan dengan berbicara kepada teman-
diri di dalam kamarnya daripada bergabung temannya untuk membantu anaknya itu
dengan mereka. masuk kembali ke dalam kelompok
bermainnya. Kadang-kadang sang ibu juga
Daftar Cek Atribut Sosial yang
merasa perlu berbicara dengan orang tua anak
diterapkan pada anak Kasus 3 menunjukkan
lain untuk mengatasi persoalan ini. Hal ini
bahwa dari ke-24 item atribut sosial pada
dilakukannya jika yang mengganggu anaknya
daftar cek tersebut Kasus 3 hanya tampak
itu adalah anak yang lebih besar.
baik dalam 5-10 item. Ini berarti bahwa anak
Soal akses ke permainan terstruktur
tersebut memiliki kompetensi sosial yang
biasanya merupakan penyebab
kurang baik.
terpinggirkannya Kasus 4 dari kelompok
bermainnya itu. Partisipasinya dalam
Kasus 4
permainan yang biasa dilakukan oleh teman-
Anak Kasus 4 adalah anak laki-laki
temannya, seperti sepak bola, bulu tangkis
yang dilahirkan dengan menyandang
atau petak umpet, sangat dibatasi oleh tingkat
ketunanetraan ringan. Dia adalah anak
sisa penglihatannya. Untuk sepak bola, orang
pertama dari dua bersaudara. Ayahnya
tua berusaha mengatasinya dengan
berpendidikan D3 dan bekerja pada sebuah
menyediakan bola yang berwarna kontras,
dealer handphone, adalah lulusan SMA.
dan untuk beberapa waktu usaha tersebut
Kelainan pada fungsi mata anak dapat mengatasi persoalan, tetapi anak
Kasus 4 telah terdeteksi sejak bayi, tetapi biasanya tidak puas dengan mainan yang
kepastiannya bahwa dia tergolong sama untuk waktu yang lama. Untuk
penyandang ketunanetraan ringan baru penyediaan akses ke permainan-permainan
diperoleh pada usia empat tahun. Ibunya terstruktur lainnya, ibu Kasus 4 mengaku
menceritakan bahwa karena sisa tidak tahu caranya. Tetapi tidak ada masalah
penglihatannya masih cukup membantu, sejak yang terkait dengan status penglihatan dalam
dini kanak-kanak ini sangat aktif penyediaan barang mainan untuk kegiatan
mengeksplorasi lingkungannya. Akan tetapi, bermain fantasi.
keterbatasan penglihatannya itu menyebabkan Ibu Kasus 4 mengemukakan bahwa
dia membutuhkan perhatian extra karena tidak ada masalah dengan orientasi dan
dikhawatirkan dapat membuatnya tidak mobilitas di rumah dan lingkungan sekitarnya
menyadari bahaya yang sedang dihadapinya. karena sisa penglihatan anak ini masih sangat
Minatnya untuk berinteraksi dengan anak- membantu. Oleh karena itu, mereka tidak
anak lain di lingkungan sekitar rumahnya merasa perlu memberi bimbingan orientasi
juga sangat tinggi. Mereka tinggal di daerah dan mobilitas.
hunian padat di mana terdapat banyak anak Ibu Kasus 4 menggambarkan anaknya
kecil lain. Selain itu, jalan di depan rumahnya ini sebagai bersifat periang dan memiliki
adalah gang sempit yang menjadi arena kemampuan adaptasi sosial yang tinggi.
bermain bagi anak-anak di lingkungan itu.
Minat anak Kasus 4 untuk melakukan
Oleh karena itu, eksposur sosial bagi anak
interaksi sosial dengan anak-anak lain di
Kasus 4 menjadi lebih terakomodasi. Sang
lingkungan sekitar rumahnya sangat tinggi.

435
Ibunya bahkan mengatakan bahwa anak ini Daftar Cek Atribut Sosial yang
cenderung terlalu banyak bermain di luar diterapkan pada anak Kasus 4 menunjukkan
rumah sehingga sering kali harus bahwa dari ke-24 item atribut sosial pada
diperingatkan untuk pulang dan mengerjakan daftar cek tersebut Kasus 4 tampak baik
pekerjaan rumahnya. Ketika ditanya dengan dalam 21 item. Ini berarti bahwa anak
siapa biasanya dia bergaul, dia menyebutkan tersebut memiliki kompetensi sosial yang
banyak nama, tetapi ada delapan nama yang baik.
berulang-ulang disebutkan oleh anak Kasus 4,
enam di antaranya lebih muda, satu lebih tua Data hasil penelitian di atas
dan satu lainnya sebaya. menunjukkan bahwa tingkat eksposur anak
tunanetra yang dilakukan oleh orang tuanya
Ketika ditanya siapa sahabatnya, dia
ke lingkungan sosialnya lebih ditentukan oleh
menyebut nama Eles, anak laki-laki
faktor sikap masyarakat terhadap
tetangganya yang seusia dan sama-sama
ketunanetraan daripada oleh tingkat
duduk di kelas tiga SD. Ibunya
ketunanetraan ataupun jenis kelamin anaknya
mengkonfirmasinya dengan mengatakan
itu. Tingkat eksposur sosial (social exposure)
bahwa Eles merupakan satu-satunya teman
anak Kasus 1 (anak perempuan tunanetra
sebaya Kasus 3 yang selalu bersama-sama
berat) lebih baik daripada anak Kasus 2 (anak
dalam hampir semua kegiatan luar
perempuan tunanetra ringan) ataupun anak
sekolahnya.
Kasus 3 (anak laki-laki tunanetra berat), dan
Bentuk interaksi yang dilakukannya relatif setingkat dengan anak Kasus 4 (anak
mencakup main bola, petak umpet, bersepeda laki-laki tunanetra ringan yang orang tuanya
bersama, dan main mobil-mobilan. Tempat juga tidak banyak menceritakan tentang sikap
interaksi mencakup di dalam rumah, di yang tidak suportif dari masyarakat
halaman rumah dan sekitarnya, dan bahkan lingkungannya. Hal ini menunjukkan bahwa
kadang-kadang di tanah lapang yang agak orang tua akan lebih terdorong untuk
jauh dari rumah, dan interaksi di luar rumah mengekspos anak tunanetranya ke lingkungan
lebih sering dilakukannya daripada di dalam sosialnya apabila masyarakat di lingkungan
rumah. tempat tinggalnya itu tidak menunjukkan
Ketika ditanya mengapa dia sikap yang negatif terhadap ketunanetraan.
cenderung bergaul dengan anak yang lebih Akan tetapi, kita dapat melihat persoalan ini
muda, Kasus 4 mengatakan bahwa anak dari sudut pandang lain. Sebagaimana
sebaya sering mengganggunya. Apakah dia dikemukakan pada paparan data di atas, sikap
suka melawan jika diganggu? Dia menjawab, tidak suportif dari masyarakat itu dinyatakan
“ya, kalau sudah terlalu kesal”. Tampaknya dengan ucapan atau tatapan yang kurang
perlawanan tersebut luput dari pengamatan simpatik. Mungkin hal serupa dialami juga
ibunya karena ibunya mengatakan bahwa oleh orang tua Kasus 1 dan Kasus 4 tetapi
anak ini tidak pernah melawan bila diganggu. kedua orang tua ini tidak terlalu sensitif
Menurut ibunya, anak Kasus 4 cenderung sehingga tidak memandang perilaku tersebut
mengucilkan diri di dalam rumah bila merasa sebagai sikap negatif.
bahwa anak-anak lain tidak menghendaki Dorongan dan dukungan orang tua
kehadirannya. Ini terjadi terutama dalam bagi anak tunanetranya untuk masuk ke
permainan bola di mana teman-teman dalam kelompok teman sebaya di lingkungan
sebayanya memandang anak Kasus 4 kurang sekitar rumahnya juga tampaknya tidak
dapat mengimbangi permainan mereka karena ditentukan oleh tingkat ketunanetraan ataupun
keterbatasan penglihatannya. Dalam hal jenis kelaminnya, tetapi lebih dipengaruhi
demikian, ibunya mengintervensi untuk oleh karakteristik lingkungan itu, baik
mengembalikan anak Kasus 4 ke dalam karakteristik sosial maupun karakteristik fisik
kelompok bermainnya. lingkungan tersebut. Anak Kasus 1 (anak
perempuan tunanetra berat - AP-TB) dan

436
anak Kasus 4 (anak laki-laki tunanetra ringan mengalami masalah dalam penyediaan alat
- AL-TR), yang tinggal di dalam lingkungan mainan fantasi. Yang membedakan antara
yang aman bersama anak-anak lain yang pada kasus dengan ketunanetraan ringan dan kasus
umumnya suportif, memperoleh dorongan dengan ketunanetraan berat adalah bahwa
dan dukungan yang baik dari orang tuanya. orang tua kasus dengan ketunanetraan ringan
Sebaliknya, anak Kasus 2 (AP-TR), yang (Kasus 2 dan Kasus 4) menyebutkan
tinggal di daerah pusat kota yang “rawan pemilihan warna cerah sebagai spesifikasi
keselamatan” karena ramainya lalu-lintas dan mainan bagi anaknya. Di pihak lain, semua
masyarakatnya yang cenderung orang tua kasus menyatakan kesulitannya
individualistik, kurang memperoleh dorongan dalam menyediakan akses ke permainan
dan dukungan dari orang tuanya untuk masuk terstruktur yang memungkinkan anaknya
ke dalam kelompok teman sebayanya. bermain bersama anak awas. Kasus dengan
Lingkungan tempat tinggal anak Kasus 3 ketunanetraan ringan (sebagaimana
(AL-TB) juga kurang suportif: rumahnya dicontohkan oleh Kasus 4) sejauh tertentu
yang tidak besar dengan halaman yang sempit dapat dibantu untuk memperoleh akses
dan gang di depannya yang sering dilalui tersebut dengan menggunakan alat permainan
kendaraan, serta sebagian besar tetangganya (dalam hal ini bola dalam permainan sepak
yang orang dewasa (mahasiswa kos), tidak bola) yang berwarna kontras, tetapi hasilnya
kondusif bagi orang tuanya untuk mendorong tidak selalu efektif.
anak ini keluar rumah. Namun demikian, Inklusi dalam permainan terstruktur
masih ada upaya dari pihak orang tua Kasus 3 tampaknya memang tidak mudah untuk
untuk mendorong anak ini bergaul dengan dilaksanakan, terutama dalam permainan
teman-teman saudara sepupunya yang lapangan yang menuntut mobilitas ruang
kadang-kadang datang berkunjung, tetapi (seperti permainan yang menggunakan bola).
dorongan itu tidak memperoleh respon yang Dengan modifikasi pada alat permainan dan
positif dari anak ini. Mungkin kurangnya lapangannya serta peraturan permainannya,
respon positif tersebut disebabkan oleh para tunanetra dapat memperoleh akses ke
pengalaman negatif yang sering beberapa permainan tertentu, misalnya sepak
didapatkannya dari anak-anak lain (dikatai bola dan pingpong, tetapi permainan ini
“buta”). menjadi eksklusif hanya bagi tunanetra;
Kadar dorongan yang diberikan orang pertama karena pemain tunanetra tidak akan
tua kepada anaknya untuk bergabung dengan mampu berkompetisi melawan pemain awas,
kelompok teman sebayanya yang awas di dan kedua karena permainan itu menjadi
lingkungan sekitar rumahnya ini tampaknya kurang menarik bagi pemain awas. Di pihak
saling terkait dengan pengalaman orang lain, permainan yang tidak menuntut
tuanya dalam mengekspos anaknya ke mobilitas ruang (misalnya catur atau
lingkungan sosialnya. Orang tua yang tidak permainan kartu), modifikasi dapat dilakukan
bercerita banyak tentang sikap negatif dari tanpa mengubah hakikat permainannya
masyarakat lingkungannya itu bercerita sehingga tetap kompetitif dan menarik untuk
banyak tentang besarnya dorongan yang dimainkan bersama antara pemain tunanetra
diberikannya bagi anaknya untuk masuk ke dan pemain awas. Modifikasi itu pada
dalam kelompok teman sebayanya (Kasus 1 umumnya dapat dilakukan dengan mudah,
dan Kasus 4). Kebalikannya, orang tua yang misalnya dengan memberi tanda pembeda
banyak mendapat pengalaman yang tak antara buah putih dan hitam pada permainan
menyenangkan dari sikap masyarakatnya catur, atau menambahkan tanda-tanda Braille
menunjukkan dorongan berkelompok yang pada permainan kartu. Para orang tua kasus di
lebih rendah (Kasus 2 dan Kasus 3). dalam penelitian ini tampaknya masih perlu
Dalam hal penyediaan fasilitas belajar banyak tentang cara memodifikasi
bermain, data di atas menunjukkan bahwa permainan untuk kepentingan interaksi antara
semua orang tua kasus menyatakan tidak anaknya dengan teman sebayanya yang awas,

437
atau diberi informasi tentang lembaga- bereksplorasi mandiri baik di dalam rumah
lembaga ketunanetraan yang menyediakan maupun di lingkungan sekitarnya, tetapi
permainan semacam itu. Kasus 2 (AP-TR) dan Kasus 3 (AL-TB) tidak
Tentang pemberian bimbingan didorong untuk bereksplorasi mandiri di luar
orientasi dan mobilitas, data di atas rumah.
menunjukkan bahwa orang tua kasus dengan Kemampuan orientasi dan mobilitas
ketunanetraan berat (Kasus 1 dan Kasus 3) merupakan kemampuan yang paling
berusaha memberikannya meskipun tidak terpengaruh oleh ketunanetraan, dan
secara sistematis dan tidak berdasarkan kemampuan O&M individu tunanetra itu
pengetahuan tentang teknik-teknik orientasi sangat bervariasi. Tingkat ketunanetraan tidak
dan mobilitas. Perbedaan yang dapat kita lihat selalu menentukan tingkat kemampuan O&M
pada anak Kasus 1 (AP) dan anak Kasus 3 seorang individu tunanetra. Hallahan dan
(AL) – yaitu bahwa anak Kasus 1 diberi Kauffman (1991) mengemukakan bahwa
bimbingan O&M di dalam maupun di motivasi untuk mau bergerak merupakan
lingkungan terdekatnya sedangkan anak faktor terpenting yang menentukan
Kasus 3 hanya dibimbing di dalam rumah - kemampuan O&M individu tunanetra. Akan
tampaknya bukan perbedaan berdasarkan tetapi, berkurangnya kemampuan ini sejauh
jenis kelamin kedua kasus tersebut tetapi tertentu dapat dikoreksi melalui latihan yang
terkait dengan tingkat eksposur sosial dan sistematis dan dilakukan oleh instruktur
dorongan berkelompok yang dilakukan orang O&M profesional. Kita tidak dapat
tuanya. Sebagaimana dikemukakan di atas, mengharapkan orang tua mampu memberikan
eksposur sosial dan dorongan berkelompok bimbingan O&M yang sesungguhnya kepada
yang dilakukan oleh orang tua Kasus 1 lebih anak tunanetranya tanpa dibantu oleh
ekstensif daripada yang dilakukan oleh orang instruktur O&M.
tua Kasus 3. Dalam hal kompetensi social, data
Dalam hal pemberian bimbingan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak
orientasi dan mobilitas, data penelitian ini Kasus 1 (AP-TB) dan anak Kasus 4 (AL-TR)
menunjukkan bahwa tingkat ketunanetraan memiliki profil kompetensi sosial yang jauh
kasus menentukan intensitas bimbingan yang lebih baik daripada anak Kasus 2 (AP-TR)
perlu diberikan oleh orang tuanya. Orang tua dan anak Kasus 3 (AL-TB). Dari ke-24 item
kasus dengan ketunanetraan berat (Kasus 1 daftar cek atribut social yang
dan Kasus 3) mengaku berusaha memberikan diadministrasikan kepada anak-anak dalam
bimbingan O&M meskipun tidak secara studi kasus ini, anak Kasus 1 tampak baik
sistematis dan tanpa dasar pengetahuan dalam 23 item dan anak Kasus 4 tampak baik
tentang teknik O&M. Di pihak lain, orang tua dalam 21 item, sedangkan anak Kasus 2
kasus dengan ketunanetraan ringan (Kasus 2 hanya tampak baik dalam 6-11 item dan anak
dan Kasus 4) mengatakan bahwa mereka Kasus 3 hanya tampak baik dalam 5-10 item.
tidak merasa perlu memberikan bimbingan Menurut McClellan dan Katz (2001), jika
O&M karena sisa penglihatan anaknya itu seorang anak tampil baik dalam sebagian
masih sangat membantu untuk mengorientasi besar atribut pada daftar cek ini, maka dapat
lingkungannya dan bergerak secara mandiri diasumsikan bahwa kesulitan sosial temporer
di dalamnya. Akan tetapi, dorongan yang yang dialaminya akan teratasi tanpa
diberikan orang tua kepada anaknya untuk intervensi orang dewasa, dan dia akan
mengeksplorasi lingkungannya secara memperkuat keterampilan sosialnya, rasa
mandiri tampaknya lebih terkait dengan percaya dirinya dan kemandiriannya bila dia
persepsi orang tuanya tentang keamanan dipercaya untuk memecahkan kesulitan
lingkungannya bagi anaknya daripada dengan sosialnya itu tanpa bantuan orang dewasa.
tingkat ketunanetraan ataupun jenis Akan tetapi, jika seorang anak tampil buruk
kelaminnya. Anak Kasus 1 (AP-TB) dan anak dalam banyak dari item-item pada daftar cek
Kasus 4 (AL-TR) didorong untuk ini, maka menjadi tanggung jawab orang

438
dewasa untuk mengimplementasikan strategi yang awas) tetapi tampak jelas pada anak
yang dapat membantu anak mengatasi Kasus 1 dan anak Kasus 4 (yang berhasil
kesulitan sosialnya. dalam hubungan sosial dengan teman
Perbedaan antara tampilan anak Kasus sebayanya yang awas). Atribut-atribut
1 dan anak Kasus 4 di satu pihak dengan anak tersebut adalah sebagai berikut: Kemandirian,
Kasus 2 dan anak Kasus 3 di lain pihak kapasitas empati, hubungan yang positif
tampak jelas terkait dengan keberhasilan dengan teman sebaya, kapasitas untuk humor,
versus kegagalan mereka dalam hubungan tidak sering tampak kesepian, kemampuan
sosialnya dengan teman sebayanya. menyatakan keinginan dan kesukaan,
Sebagaimana telah dikemukakan pada data kemampuan untuk masuk ke dalam kelompok
hasil penelitian ini, kinerja anak Kasus 1 dan anak, kemampuan masuk ke dalam diskusi
anak Kasus 4 dalam hubungan sosialnya atau kegiatan yang sedang berlangsung,
dengan teman sebayanya yang awas di kemampuan untuk mengambil giliran, tidak
lingkungan sekitar rumahnya pun lebih baik menuntut perhatian secara berlebihan,
daripada anak Kasus 2 dan anak Kasus 3. kemampuan bergaul dengan anak atau orang
Analisis terhadap tampilan kasus dewasa dari kelompok etnik lain, penerimaan
dalam masing-masing item pada daftar cek oleh anak lain, ajakan dari anak lain untuk
atribut sosial ini memunculkan fakta-fakta bermain atau bekerja bersama, dan pengakuan
sebagai berikut. Di antara ke-24 atribut sosial dari anak lain sebagai sahabat atau teman
yang tampaknya tidak dimiliki oleh semua bermain.
kasus adalah keterampilan menggunakan Hanya dua dari atribut sosial pada
bahasa nonverbal dalam berinteraksi. Bahasa daftar cek ini tampak jelas pada semua kasus,
nonverbal merupakan media komunikasi yang yaitu: mood yang positif dan minat pada
penting untuk melengkapi bahasa lisan. sekolah.
Karena bahasa nonverbal biasanya diperoleh E. SIMPULAN DAN REKOMENDASI
secara aksidental melalui proses modeling
visual, individu tunanetra berkesulitan untuk 1. Simpulan
memperolehnya tanpa diajarkan secara 1) Berikut ini adalah hal-hal yang
sistematis menggunakan teknik-teknik dilakukan orang tua untuk membina
khusus. hubungan sosial antara anaknya yang
Atribut sosial lainnya yang tidak tunanetra dengan sebayanya yang
dimiliki secara baik oleh tiga dari empat awas di lingkungan sekitar rumahnya.
subyek penelitian ini adalah kemampuan a) Melakukan eksposur sosial.
untuk bernegosiasi dan berkompromi dengan Dua dari empat orang tua
orang lain. Kurangnya kemampuan ini telah kasus mengekspos anaknya
mengakibatkan anak Kasus 3 sering menarik secara relatif ekstensif ke
diri dari pergaulan, anak Kasus 4 kadang- lingkungan sosialnya; mereka
kadang terlibat dalam konflik fisik dengan adalah yang memiliki cukup
beberapa teman sebayanya, dan anak Kasus 2 kekuatan psikologis untuk
memilih untuk bersikap tak acuh terhadap menghadapi sikap masyarakat
lingkungan sosialnya. yang negatif terhadap
Dalam konteks hubungan sosial ketunanetraan.
dengan teman sebaya yang awas di b) Memberikan
lingkungan sekitar rumahnya, dua puluh dorongan/dukungan untuk
atribut lainnya hanya tampak jelas pada dua masuk ke dalam kelompok
dari empat orang subyek. Menarik untuk teman sebaya. Dua dari empat
dikemukakan di sini atribut-atribut yang orang tua kasus selalu
kurang tampak pada anak Kasus 2 dan anak berusaha mendorong dan
Kasus 3 (anak yang tidak berhasil dalam mendukung anaknya untuk
hubungan sosial dengan teman sebayanya masuk ke dalam kelompok

439
bermain bersama teman-teman kelompok teman sebayanya, maka
sebayanya yang awas di mereka juga memiliki minat yang
lingkungan sekitar rumahnya. tinggi untuk berinteraksi dengan
Keberhasilan mereka dalam teman sebayanya, baik di dalam
hal ini juga didukung oleh maupun di luar rumah, diterima baik
karakteristik fisik lingkungan oleh kelompok teman sebayanya, dan
yang cukup aksesibel bagi berhasil menjalin persahabatan
tunanetra. dengan sebayanya yang awas.
c) Menyediakan fasilitas Keberhasilan ini juga didukung oleh
bermain. Semua orang tua keterampilan O&M yang dimilikinya
kasus menyatakan tidak ada dan aksesibilitas lingkungan fisik
masalah dengan penyediaan tempat mereka tinggal.
barang mainan fantasi, tetapi 3) Profil kompetensi sosial anak-anak
semuanya mengaku tidak tahu tunanetra itu adalah sebagai berikut.
bagaimana cara anaknya dapat Dua dari keempat anak dalam studi
berpartisipasi dalam kasus ini menampilkan profil
permainan berkelompok kompetensi sosial yang baik. Mereka
bersama anak-anak awas. adalah anak dari orang tua yang aktif
d) Memberikan bimbingan mengeksposnya ke lingkungan
keterampilan orientasi dan sosialnya dan selalu mendorong dan
mobilitas. Dua dari empat mendukungnya untuk masuk ke dalam
orang tua kasus berusaha kelompok teman sebaya. Penting
memberikan bimbingan untuk dicatat bahwa di antara 24 item
keterampilan O&M kepada pada daftar cek atribut sosial yang
anaknya meskipun tanpa diterapkan untuk menampilkan profil
didasari oleh pengetahuan kompetensi sosial anak-anak ini ada
tentang O&M yang memadai, satu item yang tidak ditampilkan oleh
tetapi hanya satu kasus orang semua anak, yaitu keterampilan
tua yang membiarkan anaknya menggunakan bahasa nonverbal.
mengeksplorasi lingkungan
sekitar rumahnya, sedangkan
yang lainnya tidak 2. Rekomendasi
mengizinkan anaknya untuk Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa:
bereksplorasi karena alasan  Orang tua perlu memiliki kekuatan
keselamatan yang tidak psikologis (psychological strength)
didukung oleh karakteristik untuk menghadapi sikap masyarakat
fisik lingkungannya. Di pihak yang cenderung negatif terhadap
lain, dua kasus orang tua ketunanetran sehingga orang tua akan
lainnya merasa tidak perlu memiliki keberanian untuk
memberikan bimbingan mengekspos anaknya yang tunanetra
keterampilan O&M karena ke lingkungan sosialnya serta
anaknya masih memiliki sisa mendorong dan mendukung anaknya
penglihatan yang fungsional. masuk ke dalam kelompok anak-anak
2) Berikut ini adalah gambaran tentang awas di lingkungan sekitar rumahnya;
hubungan sosial antara anak tunanetra  Masyarakat perlu memiliki pengertian
itu dengan sebayanya yang awas. yang tepat mengenai ketunanetraan
Anak yang orang tuanya aktif sehingga dapat bersikap akomodatif
mengeksposnya ke lingkungan terhadap warga masyarakat yang
sosialnya dan selalu mendorong dan tunanetra;
mendukungnya untuk masuk ke dalam  Orang tua perlu memiliki pengetahuan

440
dasar tentang orientasi dan mobilitas IL: ERIC Clearinghouse on
agar dapat membantu anaknya yang Elementary and Early Childhood
tunanaetra berlatih keterampilan dasar Education. (Online).Tersedia:
O&M; http://www.ed.gov/databases/ERIC_D
 Orang tua perlu memiliki pemahaman igests/ed265936.html
tentang pentingnya mengajarkan Darling, N. 1999. Parenting Style and Its
keterampilan bahasa nonverbal Correlates. ERIC Digest. Champaign
kepada anak tunanetra – suatu IL: ERIC Clearinghouse on
keterampilan yang pada umumnya Elementary and Early Childhood
diperoleh anak melalui modeling yang Education. (Online). Tersedia:
tidak terprogram dan tidak tercantum http://www.ed.gov/databases/ERIC_D
dalam kurikulum sekolah; igests/ed427896.html
 Orang tua perlu memiliki pengetahuan Hallahan, D.p. & Kauffman, J.m. 1991.
tentang bentuk/alat permainan yang Exceptional Children - Introduction to
dapat dimainkan bersama oleh anak Special Education.
awas dan anak tunanetra; Virginia:Prentice-hall International,
 Otoritas lokal perlu memiliki Inc.
pemahaman tentang aksesibilitas Hartup, W. W. 1992. Having Friends, Making
lingkungan fisik bagi tunanetra dan Friends, and Keeping Friends. ERIC
penyandang disabilitas pada Digest. Urbana IL: ERIC
umumnya sehingga mereka akan Clearinghouse on Elementary and
mempertimbangkan hal tersebut Early Childhood Education. (Online).
dalam perencanaan pembangunan Tersedia:
daerahnya. http://www.ed.gov/databases/ERIC_D
Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan di igests/ed345854.html.
atas, disarankan agar diselenggarakan Jewett, J. 1992. Aggression and Cooperation:
pemberian bimbingan dan konseling yang Helping Young Children Develop
memuat materi yang terungkap dari hasil Constructive Strategies. ERIC Digest.
penelitian sebagaimana disebutkan di atas. Urbana IL: ERIC Clearinghouse on
Disarankan agar program bimbingan dan Elementary and Early Childhood
konseling tersebut menggunakan model Education. (Online). Tersedia:
bimbingan perkembangan dengan pendekatan http://www.ed.gov/databases/ERIC_D
ekologi, sehingga sasaran program adalah igests/ed351147.html
anak tunanetra beserta lingkungan sosialnya Jindal-Snape, D.; Kato, M.; Maekawa, H.
(orang tua dan kerabatnya, teman-teman 1998. "Using Self-Evaluation
sebayanya serta anggota masyarakat lainnya Procedures to Maintain Social Skills
dan pejabat otoritas setempat yang terkait in a Child Who Is Blind". Journal of
dengan kehidupan anak tunanetra itu) serta Visual Impairment and Blindness,
lingkungan fisiknya (rumah dan sekitarnya) May 1998, 362-366.
sebagai satu sistem – sesuai dengan prinsip Kingsley, M. 1999. “The Effects of a Visual
model bimbingan perkembangan dengan Loss”, dalam Mason, H. & McCall, S.
pendekatan ekologi – dan dilaksanakan di (Eds.). (1999). Visual Impairment:
dalam konteks lingkungan itu. Pelaksanaan Access to Education for Children and
program dapat dikoordinasikan oleh sekolah Young People. London: David Fulton
khusus tunanetra terdekat. Publishers
Krech, D.; Crutchfield, R. S.; & Ballachey, E.
L. 1982. Individual in Society.
F. REFERENSI Berkeley: McGraw-Hill International
Burton, C. B. 1986. "Children's Peer Book Company.
Relationships". ERIC Digest. Urbana

441
Ladd, G. W. & Asher, S. R. (1985). “Social Competence. ERIC Digest. (Online).
Skill Training and Children's Peer Tersedia:
Relations”, dalam L'Abate, Luciano & http://www.ed.gov/databases/ERIC_
Milan, Michael A. (Eds.) (1985). Digests/ed346992.html.
Handbook of Social Skills Training Oden, S. 1987. The Development of Social
and Research. New York: John Wiley Competence in Children. ERIC
& Sons. Digest. (Online). Tersedia:
McClellan, D. E. & Katz, L. G. 2001. http://www.ed.gov/databases/ERIC_D
Assessing Young Children's Social igests/ed281610.html.
Competence. ERIC Digest. (Online). Pellegrini, A. D. & Glickman, Carl D.
Tersedia: (1991). Measuring Kindergartners' Social
http://www.ed.gov/databases/ERIC_D Competence. ERIC Digest. (Online).
igests/ed450953.html. Tersedia:
McGaha, C. G. & Farran, D. C. 2001. http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/e
“Interactions in any Inclusive d327314.html.
Classroom: The Effects of Visual Tarsidi, D. 2010. Bimbingan dan Konseling
Status and Setting”. Journal of Visual untuk Perkembangan Kompetensi
Impairments and Blindness. February Sosial Anak Tunanetra. Bandung:
2001, 80-94. Rizki Press.
Moore, S. G. 1992. The Role of Parents in the
Development of Peer Group

442

You might also like