Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 5

NAMA : RIFQAHRAYYANI AMRI

NO. STAMBUK : 04020210208

Kasus korupsi bupati kota Waringin Timur

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Bupati Kotawaringin Timur (Kotim), Supian
Hadi sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait izin usaha pertambangan (IUP) di Kabupaten
Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Izin itu dipersiapkan untuk tiga perusahaan berbeda.

Atas penerbitan IUP itu KPK menduga Supian yang juga kader PDIP tersebut telah merugikan negara
hingga Rp5,8 triliun dan US$711 ribu (setara Rp9,9 miliar dengan asumsi kurs Rp14 ribu). Kerugian
negara itu mengalahkan kerugian negara pada kasus korupsi e-KTP sebesar Rp2,3 triliun dan korupsi
SKL BLBI sebesar Rp4,58 triliun.

Besaran dugaan kerugian negara dalam kasus yang menerpa Supian ini hanya dikalahkan oleh kerugian negara
akibat dugaan korupsi kasus pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank
Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Pada kasus Century, ditengarai negara mengalami kerugian
sebesar Rp7,4 triliun.

Terlepas dari jumlah kerugian negara, Supian kembali menambah panjang kepala daerah yang menjadi
pesakitan di KPK. Padahal dia tengah menjalani periode keduanya sebagai orang nomor satu di Kabupaten
Kotawaringin Timur. Periode pertamanya, yakni 2010-2015.

Berdasar informasi yang diperoleh CNNIndonesia.com dari sejumlah sumber, pada periode pertama, setelah
dilantik Supian langsung mengangkat teman-teman dekatnya yang juga menjadi bagian dari tim suksesnya
sebagai Direktur dan Direktur Utama PT Fajar Mentaya Abadi. Kolega Supian itu mendapat masing-masing
mendapat jatah saham perusahaan sebesar 5 persen.

Perusahaan yang diduduki koleganya itu kemudian diberikan IUP seluas 1.671 hektar. Hal itu tertuang dalam
SK IUP yang diterbitkan Supian pada Maret 2011.

Izin itu keluar dari Supian meski dirinya mengetahui bahwa PT Fajar Mentaya Abadi belum memiliki sejumlah
dokumen perizinan, di antaranya Izin lingkungan atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Alhasil pada November 2011, PT Fajar Mentaya Abadi dapat melakukan kegiatan operasi produksi bauksit dan
melakukan ekspor ke China.

Pada November 2011, Gubernur Kalimantan Tengah, Agustin Teras Narang melayangkan surat kepada Supian
agar menghentikan seluruh kegiatan usaha pertambangan oleh PT Fajar Mentaya Abadi. Surat itu tidak
diindahkan dan PT Fajar Mentaya Abadi tetap melakukan kegiatan pertambangan hingga 2014.

Selain itu, Supian juga diketahui memenuhi permohonan PT Billy Indonesia dengan menerbitkan SK IUP
ekspolorasi pada Desember 2010. SK IUP itu diberikan tanpa melalui proses lelang Wilayah Izin Usaha
Pertambangan (WIUP). PT Billy Indonesia juga diketahui tidak memiliki kuasa pertambangan.

Pada April 2011, Supian juga menerbitkan SK IUP eksplorasi kepada PT Aries Iron Mining. Penerbitan IUP
ini pun tanpa melalui proses lelang WIUP. Padahal, seperti halnya PT Billy Indonesia, PT Aries Iron Mining
tidak memiliki kuasa pertambangan. Alhasil PT Aries Iron Mining melakukan eksplorasi yang
merusak lingkungan.

Tak berhenti di situ pada Februari 2013 Supian menerbitkan SK IUP tentang Persetujuan
Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi mejadi Izin Usaha Pertambangan Operasi
kepada PT Billy Indonesia. Penerbitan SK IUP itu tanpa kelengkapan dokumen AMDAL dari PT
Billy Indonesia.

Pada April 2013 Supian turut menerbitkan keputusan izin tentang izin lingkungan kegiatan usaha
pertambangan bijih bauksit dan keputusan tentang kelayakan lingkungan rencana kegiatan
pertambangan bijih bauksit oleh PT Billy Indonesia. Berdasarkan izin tersebut PT Billy
Indonesia melakukan ekspor bauksit.

KPK pun membongkar permasalahan tersebut. KPK pun menetapkan Supian sebagai tersangka
karena diduga menerima suap dan gratifikasi atas perizinan proyek tambang yang dia keluarkan.
Atas izin-izin yang dikeluarkan untuk tiga perusahaan berbeda itu, KPK juga menduga telah
terjadi kerugian negara mencapai Rp5,8 triliun dan US$711 ribu.

Atas perbuatannya tersebut, Supian dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Junto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. (sah/osc)
Diskresi merupakan sebuah perbuatan yang sah yang dapat dilakukan oleh pejabat pemerintah.
Penyalahgunaan kewenangan merupakan parameter untuk membatasi pelaksanaan kewenangan
pemerintahan. Diskresi harus digunakan sesuai dengan pengertian, batasan dan prosedur diskresi
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Tujuan dari diskresi
adalah untuk kepentingan umum atau kemaslahatan masyarakat sehingga apabila diskresi
dilakukan untuk selain dari kepentingan umum atau kemaslahatan masyarakat yang menimpang
dari UU Nomor 30 Tahun 2014 serta asas asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) maka
tindakan diskresi tersebut dapat dikualifikasikan sebagai penyalahgunaan kewenangan yang
dapat berimplikasi kepada tindak pidana korupsi apabila terdapa niat jahat (mens rea) dalam diri
pejabat pemerintahan dalam melaksanakan keputusan diskresi yang mengakibatkan adanya
actual loss dalam keuangan negara. Sehingga pernyataan Klitgaard tidak berlaku di Indonesia
dimana tidak terdapat adanya monopoli terhadap kewenangan mengingat Indonesia menganut
sistem pembagian kekuasaan, begitu pula diskresi dilaksanakan dengan batasan dan ruang
lingkup yang jelas dalam undang-undang Administrasi pemerintahan bahkan perlu dilakukan
pelaporan kepada atasan secara tertulis.

Kasus ini berhubungn dengan salah satu asas umum pemerintahan yang baik yaitu Asas tidak
menyalahgunakan kewenangan menghendaki agar dalam pengambilan keputusan seorang
pejabat didasarkan pada kewenangan yang diberikan Negara kepadanya, serta digunakan sesuai
dengan maksud diberikannya kewenangan tersebut. Asas ini sering disebut asas larangan
“detournement de pouvoir” atau asas larangan bertindak sewenang-wenang. Asas ini
memberikan petunjuk agar pejabat pemerintah maupun badan aparatur pemerintahan tidak boleh
bertindak atas sesuatu yang bukan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat lain/badan
lain.

Jika mengacu kepada Pasal 17 Huruf c Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan, ada 3 unsur larangan penyalahgunaan wewenang yaitu:

a. arangan melampaui Wewenang;


b. larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau
c. larangan bertindak sewenang-wenang.

Karena asas tidak menyalah gunakan kewenangan berkaitan dengan kasus ini bahwasannya
seorang kepala daerah di suatu kota melanggar kewenangan yang dibuat oleh pemerintah pusat
dalam halnya mengambil keputusan sepihak tanpa menimbang apakah keputusan yang di ambil
adalah keputusan yang benar atau salah dan hanya memikirkan kepentingan pribadi saja

Itulah mengapa Korupsi lahir di Indonesia dan perkembangannya sangat pesat karena
penggunaan diskresi yang tidak tepat, merugikan keuangan negara dan hanya memetingkan
kepentingan pribadi.
Dari kasus ini bahwasannya pemerintah kota atau bupati dari kota waringin timur menyalahgunakan
tindakan atau keputusan yang ditetapkan atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi
persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan tidak menjaga penggunaan
kewenangan pemerintanya agar tetap terkontrol dari tindakan penyalahgunaan kekuasaan sebagai
pemerintah kota tersebut

Korupsi lahir karena penggunaan diskresi yang tidak tepat dan merugikan keuangan negara

Diskresi merupakan keputusan atau tindakan yang ditetapkan atau dilakukan oleh pejabat
pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan
dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap,
atau tidak jelas, atau adanya stagnasi pemerintahan. Sesuai dengan Undang-Undang No. 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan untuk penggunaannya diskresi digunakan terutama karena;
pertama, kondisi darurat yang tidak memungkinkan untuk menerapkan ketentuan tertulis; kedua, tidak
ada atau belum ada peraturan yang mengaturnya; ketiga, sudah ada peraturannya namun samar atau
multitafsir. Kebebasan diskresi tersebut adalah kebebasan administrasi yang mencakup kebebasan
administrasi (interpretatieverijheid), kebebasan mempertimbangkan (beoordelingsvrijheid), dan
kebebasan mengambil kebijakan (beleidsvrijheid).

Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik merupakan sebuah jalan yang mengarahkan dan menjaga
penggunaan kewenangan pemerintah agar tetap terkontrol dari tindakan penyalahgunaan kekuasaan
(abuse of power) pejabat pemerintah. Hal ini yang menunjukan bahwa hubungan hukum antara
kewenangan diskresi dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB) adalah Asas-Asas Umum
Pemerintahan Yang Baik sebagai parameter untuk membatasi kewenangan diskresi pejabat
pemerintahan. Oleh karena itu diskresi tidak dapat dikualifikasikan sebagai tindakan abuse of power
apabila tindakan diskresi oleh pejabat pemerintahan tetap berpedoman kepada Asas-Asas Umum
Pemerintahan Yang Baik dan UndangUndang Administrasi Pemerintahan yang telah memberikan
pengertian, batasan, serta prosedur penggunaan diskresi atau dengan kata lain telah menjadi payung
hukum bagi pejabat pemerintahan untuk menggunakan kewenangan diskresi.

You might also like