Professional Documents
Culture Documents
Bab I PENDAHULUAN
Bab I PENDAHULUAN
1
2
Gambar I.1. Elemen-elemen tektonik di wilayah tenggara Paparan Sunda dan batas kerak kontinen
dan jalur melange zaman Kapur (Hamilton, 1979).
2
3
Gambar I.2. Jalur magmatik Tersier Pulau Jawa (Soeria-Atmadja dkk., 1994).
3
4
Gambar I.3. Posisi lajur-lajur penunjaman (subduksi) Kapur dan Tersier (modifikasi dari Katili, 1975; Sujanto dan Sumantri, 1977).
4
Untuk mempertahankan produksi minyak dan gasbumi dibutuhkan target
eksplorasi baru. Salah satu diantara hydrocarbon play yang berpotensi adalah
berada di bawah Neogene play, yakni Paleogene play, yang telah terbukti dengan
penemuan cadangan gasbumi yang cukup besar di daerah Banyuurip, Cepu pada
reservoir karbonat Formasi Kujung yang berumur Oligosen (Satyana, 2002).
Paleogene play menjadi alternatif yang menjanjikan untuk mempertahankan
minyak dan gasbumi sebagai sumber devisa negara yang dapat diandalkan.
Berdasarkan uraian di atas penelitian ini akan difokuskan pada evolusi tektonik
Paleogen Jawa bagian timur. Yang dimaksud dengan evolusi tektonik Paleogen di
sini adalah perkembangan tektonik yang berkaitan dengan perubahan zona
subduksi lempeng Indo-Australia yang pada zaman Kapur Akhir-Paleosen berarah
baratdaya-timurlaut menjadi berarah barat-timur pada zaman Tersier Awal
(Paleogen) di daerah Jawa bagian timur.
5
6
Gambar I.4. Daerah penelitian dan sebaran singkapan batuan Pra-Tersier dan batuan Paleogen di Jawa bagian Timur
(modifikasi dari Gafoer dan Ratman, 1999; dan Amin, Ratman, dan Gafoer, 1999).
6
7
Gambar I.5. Arah pola struktur utama Pulau Jawa dan sekitarnya (modifikasi dari Pulunggono dan Martodjojo, 1994).
7
x Dari tiga lokasi singkapan batuan tertua di Jawa, yakni di Ciletuh, Luk Ulo,
dan Bayat, dua lokasi diantaranya, Luk Ulo-Karangsambung, Kebumen; dan
Perbukitan Jiwo-Bayat, Klaten, terdapat di daerah Jawa bagian timur.
x Data pendukung dan data bawah permukaan dari daerah ini cukup banyak
mengingat daerah ini merupakan salah satu daerah sumber minyak dan
gasbumi yang masih aktif dieksplorasi dan dieksploitasi.
x Terdapatnya jaringan jalan atau akses yang mudah ke seluruh bagian daerah
penelitian sehingga mendukung lancarnya pelaksanaan penelitian lapangan.
8
Katili, 1975; Hamilton, 1979) (Gambar I.6). Model rotasional dapat dibedakan
lagi menjadi model rotasional searah jarum jam dan model rotasional berlawanan
jarum jam. Model rotasional searah jarum jam dikemukakan oleh Daly dkk.
(1991) yang beranggapan bahwa arah zona subduksi Meratus semula berarah
timurlaut-baratdaya.
9
Gambar I.6. Evolusi tektonik Indonesia bagian barat mulai dari zaman Kapur
hingga sekarang yang ditandai oleh berpindahnya zona subduksi ke
arah selatan (Asikin, 1974).
10
Gambar I.7. Rekonstruksi evolusi tektonik Asia Tenggara, dengan arah rotasi
searah jarum jam, mulai dari Kapur Akhir (70 jtl) sampai Oligosen (30
jtl) menurut Daly dkk. (1991).
11
Gambar I.8. Rotasi berlawanan arah jarum jam dalam evolusi tektonik Kepulauan
Indonesia mulai dari Eosen Awal (50jtl) sampai Miosen Akhir (10jtl)
menurut Hall (1996).
12
Gambar I.9. (A) Paleotektonik bagian tepi timur Daratan Sunda pada Kapur
Awal-Kapur Akhir menurut Parkinson dkk. (1998); (B) Ilustrasi
perkembangan tektonik bagian tepi tenggara Daratan Sunda pada
Kapur Akhir menurut Wakita (2000).
13
Gambar I.10. Kerangka tektonik menggambarkan perkembangan tektonik Asia
Tenggara mulai dari 70 jtl sampai dengan 5 jtl. Berpindahnya zona
konvergensi berarah timurlaut-baratdaya pada 70-35 jtl menjadi arah
barat-timur pada 35-20 jtl akibat penyumbatan oleh tumbukan
lempeng Jawa Timur (Sribudiyani dkk., 2003).
14
Penyumbatan ini menyebabkan terjadinya proses tumbukan yang menghasilkan
eklogit dan batuan jadeit-glaukofan-garnet-kuarsa, yang merupakan batuan
metamorf bertekanan sangat tinggi, di Karangsambung, Pegunungan Meratus dan
Bantimala. Zona subduksi kemudian berpindah ke selatan pada Kapur Akhir.
Seiring dengan rotasi berlawanan arah jarum jam dari Daratan Sunda pada awal
Tersier, zona subduksi ini akhirnya menjadi berarah barat-timur (lihat Gambar
I.9). Sribudiyani dkk. (2003), berdasarkan data seismik dan data pemboran baru di
Jawa Timur, juga menafsirkan hadirnya mikrokontinen, yang disebut sebagai
Lempeng mikro Jawa Timur, sebagai penyebab berubahnya zona subduksi arah
Meratus menjadi arah barat-timur.
15
diinterpretasikan berbeda-beda, yakni pada Kapur Awal (Parkinson dkk.,
1998) atau pada Eosen Awal (Sribudiyani dkk., 2003).
2. Keberadaan batuan asal-kontinen di komplek batuandasar yang tersingkap di
daerah penelitian, terutama di daerah Karangsambung dan Bayat. Model
mikrokontinen melibatkan batuan asal-kontinen pada proses tumbukan
lempeng sehingga kemungkinan besar di zona konvergensinya (di jalur
Karangsambung-Meratus) akan dijumpai keberadaan batuan asal-kontinen.
Meskipun demikian hingga kini belum ditemukan bukti yang jelas, baik dari
singkapan maupun data bawah permukaan, tentang terdapatnya material
kontinen di daerah penelitian. Identifikasi keterdapatan fragmen kontinen
hanya didasarkan pada hasil analisis data sumur di daerah lepas pantai Jawa
Timur (Bransden dan Matthews, 1992; Mudjiono dan Pireno, 2001;
Sribudiyani dkk., 2003) dan analisis Zircon U-PB SHRIMP (Sensitive High
Resolution Ion-Microprobe) di daerah Pegunungan Selatan Jawa Timur
(Smyth dkk., 2005).
3. Kelanjutan zona konvergensi lempeng pada Paleogen (Tersier Awal). Jalur
Karangsambung-Meratus secara luas dianggap sebagai zona subduksi Kapur
namun tentang kelanjutannya pada Paleogen masih memunculkan interpretasi
yang berbeda-beda. Sribudiyani dkk. (2003) menganggap sampai Eosen Awal
zona konvergen masih berada di jalur Karangsambung-Meratus sedangkan
yang lain (Hall, 1996; 2002; Smyth dkk., 2005; Clements dan Hall, 2007)
berpendapat pada Eosen Awal zona konvergen sudah tidak berada lagi di jalur
Karangsambung-Meratus karena sudah berpindah di selatan Jawa.
4. Hubungan genetis struktur Pola Meratus yang berarah timurlaut-baratdaya
dengan struktur Pola Sakala yang berarah timur-barat. Dua struktur ini
merupakan pengendali pembentukan cekungan Tersier di daerah penelitian,
namun hubungan umur dua struktur utama ini diinterpretasikan berbeda-beda
oleh para peneliti terdahulu. Ada yang menganggap Pola Meratus merupakan
struktur tertua (Pulunggono dan Martodjojo, 1994; Simanjuntak dan Barber,
1996) sementara peneliti lain berpendapat sebaliknya, struktur Sakalalah yang
lebih tua (Sribudiyani dkk., 2003).
16
1.4 Cakupan Penelitian
Batuan Paleogen serta hubungannnya dengan batuandasar Pra-Tersier di daerah
Jawa bagian timur merupakan fokus penelitian. Daerah Jawa bagian timur yang
dikaji dalam penelitian meliputi wilayah bagian timur Propinsi Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Kajian atas batuan Paleogen dan batuandasar di daerah yang
termasuk wilayah Propinsi Jawa Tengah didasarkan pada penelitian lapangan di
lokasi-lokasi dimana batuan Paleogen beserta batuandasar Pra-Tersier tersingkap,
yakni di daerah Karangsambung (Kabupaten Kebumen), Nanggulan (Kabupaten
Kulonprogo), dan Bayat (Kabupaten Klaten). Sedangkan penelitian batuan
Paleogen dan batuandasar di Jawa Timur didasarkan pada data-data bawah
permukaan (data sumur dan data seismik) yang berasal dari kegiatan eksplorasi
minyak dan gasbumi di daerah daratan maupun daerah lepas pantai Jawa Timur.
17
1.7 Pentingnya Penelitian
Secara keilmuan model evolusi tektonik yang dihasilkan oleh penelitian ini
diharapkan dapat memperbaharui konsep geologi tentang evolusi Paleogen Pulau
Jawa khususnya, mengenai kelanjutan zona subduksi dan dan secara umum
tentang waktu terjadinya perubahan tektonik di daerah tepi tenggara Daratan
Sunda yang merupakan inti wilayah tektonik Indonesia bagian barat. Disamping
itu, model evolusi tektonik Paleogen dari hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan
sehingga diharapkan dapat menjelaskan perkembangan cekungan yang ada di
daerah Jawa bagian timur. Pengetahuan tentang perkembangan cekungan
merupakan bagian penting dalam eksplorasi minyak dan gasbumi baik di daerah
penelitian maupun di daerah lain yang memiliki tataan tektonik yang sama.
I.8 Metodologi
Penelitian ini secara umum didasarkan pada evaluasi data lapangan, data
pendukung lain yang berupa data sumur dan data seismik. Untuk tercapainya
tujuan penelitian diperlukan pengkajian yang teliti yang meliputi: Memetakan dan
menganalisis batuan Paleogen untuk mengetahui stratigrafi, struktur, provenan,
dan lingkungan pengendapannya, membandingkan hubungan stratigrafi dan
struktur antara endapan Paleogen dan batuandasar yang terdapat di lokasi yang
berbeda-beda di daerah penelitian (di Karangsambung, Nanggulan, Bayat, dan
Jawa Timur) untuk menginterpretasi paleogeografinya (Gambar I.11).
18
pengamatan digunakan alat GPS Garmin 3-Plus dengan ketelitian 2 sampai 8 m.
Sebanyak 462 sampel batuan dikumpulkan selama penelitian lapangan ini. Sampel
ini kemudian dipilah untuk keperluan analisis laboratorium yang meliputi analisis
petrografi, analisis provenan (metoda point counting), analisis paleontologi,
analisis mineral lempung dengan metoda difraksi Sinar X, dan analisis umur
absolut dengan metoda penanggalan K-Ar. Analisis yang lain adalah analisis
struktur terhadap data pengukuran struktur primer (kedudukan perlapisan batuan)
dan struktur sekunder (kekar dan sesar). Disamping itu berdasarkan data-data
tersebut di atas dibuat penampang-penampang struktur, korelasi sumur dan
penampang stratigrafi.
19
I.8.1.3 Analisis Paleontologi
Analisis paleontologi yang dilakukan terdiri dari analisis foraminifera dan analisis
fosil nanno. Analisis fosil nanno dilakukan pada sampel-sampel batulempung
diamana tidak dijumpai fosil foram, terutama pada sampel batulempung yang
berasal dari Bayat dan Karangsambung. Semua fosil foram besar di analisis
dengan pengamatan pada sayatan tipis sehingga tingkat identifikasinya kadang
hanya terbatas pada level genus.
Meskipun terdapat keterbatasan dalam penentuan umur yang tua karena adanya
efek kelebihan Ar, penanggalan K-Ar dipilih karena pada umumnya umur absolut
batuan metamorf Karangsambung dan batuandasar Cekungan Jawa Timur juga
ditentukan berdasarkan penanggalan K-Ar. Penanggalan K-Ar adalah salah satu
metoda untuk menentukan umur absolut batuan atau mineral. Untuk mengetahui
umur absolut sampel batuan telah dilakukan penentuan umur berdasarkan metoda
ini terhadap tiga sampel batuan, dua sampel batuan metamorf (sampel BY-50B1
20
dan BY-50B2) dari daerah Bayat dan satu sampel batuan diorit yang merupakan
inti batuandasar Sumur JS-44 A-1. Analisis dilakukan oleh Laboratorium Geologi
P3G Bandung. Uraian tentang teknik penanggalan K-Ar beserta hasilnya
dicantumkan pada Lampiran D.
21
I.8.3 Data Sumur
Seperti halnya data seismik, data sumur yang digunakan berasal dari instansi dan
proses perijinan yang sama, yakni bersumber sebagian besar dari Patra Nusa Data
(PND) atas ijin Dirjen Migas. Sumber data sumur yang lain adalah laporan tak-
terpublikasikan dari Pertamina-Robertson Research (1996). Data sumur yang
dipakai terdiri dari sampel batuan Paleogen dan batuandasar inti pemboran dan
laporan final sumur-sumur di Cekungan Jawa Timur. Sampel inti pemboran
batuan Paleogen dan batuandasar Pra-Tersier yang berhasil diperoleh berjumlah
46 sampel berasal dari 20 sumur. Evaluasi atas data sumur yang umumnya terdiri
dari laporan final sumur dan log final diutamakan di level stratigrafi Paleogen dan
batuandasar. Data sumur ini disamping untuk mengetahui umur dan litologi
batuan Paleogen dan batuandasar juga digunakan untuk mengikat horison seismik
pada penampang-penampang seismik yang melewati atau berdekatan dengan
sumur yang bersangkutan, dan untuk korelasi struktur dan stratigrafi sehingga
dapat diidentifikasi cekungan Paleogennya.
22
Gambar I.11. Diagram alir penelitian.
23