Makalah IDI - Sahira Qotrinada 221000402

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 15

PERKAWINAN BEDA AGAMA

DOSEN PENGAMPU:
Bunyamin, Drs., M.H.

Disusun oleh:
Nama: Sahira Qotrinada
NPM: 221000402
Kelas: I

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PASUNDAN 2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah


Perkawinan beda agama merupakan salah satu fenomena sosial yang sering terjadi di
masyarakat Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena Indonesia sendiri merupakan negara
dengan beragam suku, agama, dan budaya. Walaupun Indonesia dikenal sebagai negara
dengan mayoritas penduduk yang beragama Islam, namun terdapat pula sejumlah besar
penganut agama lain seperti Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, dan sebagainya. Oleh karena
itu, tidak jarang terjadi kasus di mana pasangan yang ingin menikah memiliki perbedaan
agama. Kasus perkawinan beda agama sangat kompleks dan mengacu pada berbagai faktor
termasuk agama, kultur, dan hukum. Dalam beberapa kasus, perkawinan beda agama dapat
menjadi sebuah tantangan dalam bidang keluarga dan hukum.
Menurut data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik, pada tahun 2020 terjadi sekitar
97.934 perkawinan beda agama di Indonesia. Jumlah ini terus meningkat setiap tahunnya
karena adanya peristiwa seperti urbanisasi dan globalisasi yang memudahkan akses terhadap
orang-orang yang berbeda agama untuk saling bertemu dan berkenalan. Perkawinan beda
agama sering kali memunculkan beberapa konflik seperti perselisihan agama, perbedaan adat
istiadat, dan masalah kewarisan. Oleh karena itu, beberapa negara pada akhirnya membuat
undang-undang yang mengatur hukum perkawinan beda agama. Dalam beberapa kasus,
redaksi undang-undang bahkan telah diselaraskan dengan aturan agama dan hukum.
Menurut Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Namun, di sisi lain, Indonesia sebagai negara dengan beragam agama dan kepercayaan juga
menghadapi masalah hukum dalam pelaksanaan perkawinan yang melibatkan pasangan
dengan agama yang berbeda.
Menurut sumber dari Kementerian Kesehatan RI, angka perceraian untuk pasangan
dengan agama yang berbeda cukup tinggi, mencapai 48,31 persen dari jumlah total perceraian
di Indonesia. Perbedaan agama seringkali menjadi kendala yang membuat hubungan suami
istri tidak harmonis dan memicu ketidakcocokan di antara keduanya. Sementara dalam
beberapa agama, perkawinan beda agama dianggap tidak sah. Al-Quran Surat Al-Baqarah (2)
ayat 221 menyatakan, "Dan janganlah kalian nikahkan (wanita-wanitamu yang beriman)
dengan orang-orang musyrik sebelum mereka beriman." Barangsiapa yang melakukan
perbuatan tersebut, akhirnya harus menerima hukuman Allah s.w.t. Walaupun banyak
dianggap tidak sah, perkawinan beda agama tetap diperbolehkan dan dianggap sah oleh
hukum negara. Pada tahun 1974, Indonesia menerbitkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, yang memungkinkan perkawinan antar agama diakui oleh institusi
negara. Hal ini secara efektif mengizinkan perkawinan beda agama di Indonesia, meskipun
hal itu sangat tidak diinginkan oleh beberapa pasangan yang mengalami kesulitan dalam
merancang pernikahan mereka sesuai dengan konvensi agama dan budaya mereka.

Dalam konteks hukum, perkawinan beda agama memerlukan persetujuan dari kedua
belah pihak serta keluarga kedua mempelai. Selain itu, berbagai peraturan hukum juga
menyangkut perkawinan beda agama, seperti batasan usia, jenis kelamin pasangan, dan
hukuman bagi pasangan yang melanggar peraturan tersebut. Di sisi agama, perkawinan beda
agama yang sah berarti kedua pasangan harus memahami prinsip-prinsip agama masing-
masing dan harus benar-benar mempertimbangkan konsekuensi kehidupan mereka setelah
menikah. Selain itu, organisasi keagamaan juga dapat memberikan penjelasan kepada
pasangan mengenai regulasi dan tata cara pada perkawinan beda agama menurut
keyakinannya masing-masing.

Dalam konteks hukum Islam, perkawinan beda agama atau inter-agama masih menjadi
topik hangat dalam wacana hukum keluarga. Selama ini, perkawinan beda agama diatur
dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni
memuat syarat bahwa pasangan harus memiliki agama yang sama. Akan tetapi, penafsiran
hukum terhadap ketentuan ini memiliki variasi yang cukup bervariasi antara satu wilayah
dengan yang lain.

Dalam hal ini, konflik terbesar dalam perkawinan beda agama adalah persoalan agama.
Peserta yang berbeda keyakinannya bertolak belakang dalam menyelesaikan masalah, yang
pada akhirnya memperburuk hubungan. Banyak pasangan juga mengalami kesulitan dalam
memutuskan bentuk dan tata cara pernikahan, seperti menentukan masjid atau gereja mana
yang akan digunakan atau bagaimana pernikahan akan dihadiri oleh keluarga kedua
pasangan.

Namun, menyadari aturan-aturan hukum yang ada dan penjelasan dari organisasi
keagamaan akan membantu pasangan untuk mengetahui aturan dan persyaratan dalam
perkawinan beda agama dan bagaimana untuk melakukannya dengan adil dan selayaknya
dengan aturan agama masing-masing.

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan latar belakang yang terlah dikemukakan sebelumnya, maka dapat
diindetifikasikan dalam rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian Perkawinan beda agama menurut Al-quran, Al-hadits dan menurut
pendapat para pakar?
2. Bagaimanakah ketentuan hukum positif Indonesia mengatur persoalan perkawinan
beda agama?
3. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam penetapan terhadap permohonan izin
perkawinan beda agama jika ditinjau dari UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dirumuskan maka tujuan dari penelitian ini
untuk mengetahui yang dimaksud dengan Perkawinan beda agama, ketentuan hukum
positif mengatur perkawinan beda agama, serta penetapan terhadap permohonan izin
perkawinan beda agama jika ditinjau dari UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Menurut AL-qur’an, hadis, dan para pakar


Perkawinan beda agama merupakan perkawinan antara dua individu yang memeluk
agama yang berbeda. Hal ini bisa menjadi sebuah masalah dalam sebuah hubungan karena
agama seringkali memiliki perbedaan keyakinan yang mendasar. Di beberapa negara,
perkawinan beda agama bisa menjadi sebuah kontroversi dan bahkan dilarang oleh hukum.
Perkawinan beda agama dapat menjadi masalah yang kompleks karena agama seringkali
menjadi salah satu aspek yang penting dalam kehidupan seseorang. Dalam beberapa negara,
seperti Indonesia, aturan hukum tentang perkawinan beda agama sangat ketat karena
berpotensi menimbulkan masalah sosial dan budaya yang signifikan.

Salah satu contoh kasus perkawinan beda agama adalah di India, di mana mayoritas
penduduknya menganut agama Hindu. Pada bulan November 2020, sebuah kasus
menghebohkan muncul di media sosial di mana seorang pria Muslim dan wanita Hindu, yang
telah menikah selama lima tahun, harus melarikan diri dari rumah mereka karena
mendapatkan ancaman dari keluarga perempuan tersebut. Keluarga perempuan tersebut tidak
menyetujui perkawinan antara putrinya yang beragama Hindu dengan seorang pria Muslim
dan telah berusaha memisahkan pasangan tersebut. Kasus ini menunjukkan bagaimana
perkawinan beda agama dapat menjadi masalah serius dalam beberapa budaya dan
masyarakat. Meskipun dalam banyak kasus, pasangan tersebut mungkin saling mencintai dan
dapat hidup bahagia bersama, namun pandangan dan kepercayaan keluarga dan masyarakat
sekitar seringkali mempersulit situasi.

Pandangan Islam bersumber dari Al-qur’an terhada perkawinan beda agama


adalah suatu topik yang kompleks dan dibahas dalam beberapa ayat Al-Qur'an. Dalam ajaran
Islam, perkawinan beda agama dikenal sebagai nikah misykat, yaitu perkawinan antara
seorang Muslim dengan orang yang tidak memeluk agama Islam. Pandangan Islam tentang
perkawinan beda agama adalah bahwa perkawinan tersebut tidak dianjurkan, karena
perbedaan keyakinan dan nilai dapat menyebabkan konflik dan masalah dalam rumah tangga.

Dalam Surat Al-Baqarah ayat 221,

ٌ‫ة‬B َ‫ ةٌ ُّمْؤ ِمن‬B‫ْؤ ِم َّن ۗ َواَل َ َم‬B ُ‫ت َح ٰتّى ي‬ِ ‫ ِر ٰك‬B ‫وا ْال ُم ْش‬BB‫َواَل تَ ْن ِك ُح‬
‫ ِر ِكي َْن‬B‫وا ْال ُم ْش‬BB‫و اَ ْع َجبَ ْت ُك ْم ۚ َواَل تُ ْن ِك ُح‬B
ْ Bَ‫ ِر َك ٍة َّول‬B‫َخيْ ٌر ِّم ْن ُّم ْش‬
ْ َ‫َح ٰتّى يُْؤ ِمنُ ْوا ۗ َولَ َع ْب ٌد ُّمْؤ ِم ٌن َخ ْي ٌر ِّم ْن ُّم ْش ِر ٍك َّول‬
ۗ ‫و اَ ْع َجبَ ُك ْم‬BB
ْ ْ ‫هّٰللا‬ ٰۤ ُ
‫ َر ِة‬Bِ‫ ْد ُع ْٓوا اِلَى ال َجنَّ ِة َوال َم ْغف‬Bَ‫ار ۖ َو ُ ي‬ ِ َّ‫ك يَ ْد ُع ْو َن اِلَى الن‬
َ ‫اول ِٕى‬
‫اس لَ َعلَّهُ ْم يَتَ َذ َّكر ُْو َن‬
ِ َّ ‫ن‬ ‫ل‬ِ ‫ل‬ ‫ه‬
ٖ ِ ‫ت‬ ٰ
‫ي‬ ٰ
‫ا‬ ‫ࣖ بِا ِ ْذنِ ٖ ۚه َويُبَي ُِّن‬

Allah SWT berfirman, "Dan janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik


dengan perempuan-perempuan yang beriman dan janganlah pula kalian menyerahkan budak-
budak wanita yang beriman kepada orang-orang musyrik, sebelum mereka beriman. Dan
sesungguhnya budak-budak wanita yang mukmin lebih baik dari pada budak-budak wanita
yang musyrik, sekalipun mereka menarik hatimu. Dan janganlah kalian menikahkan orang-
orang yang beriman dengan perempuan-perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Dan
sesungguhnya budak-budak laki-laki yang mukmin lebih baik dari pada budak-budak laki-
laki yang musyrik, sekalipun mereka menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka,
sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya."

Ayat ini menunjukkan bahwa perkawinan antara seorang Muslim dan orang yang
tidak memeluk agama Islam tidak disarankan, karena ada kemungkinan masalah yang muncul
dalam membangun rumah tangga yang harmonis. Namun, dalam beberapa kasus, jika
pasangan masih memilih untuk menikah, maka mereka harus saling menghormati dan
menerima perbedaan keyakinan masing-masing.

Dalam Islam, pasangan yang menikah harus memiliki kesamaan dalam hal agama,
moral, dan nilai-nilai. Pasangan tersebut harus memiliki tujuan yang sama dalam membangun
kehidupan bersama, serta menghargai dan menghormati satu sama lain. Dalam Surat Al-Rum
ayat 21,

َ َ‫َو ِم ْن ٰا ٰيتِ ٖ ٓه اَ ْن َخل‬


‫ق لَ ُك ْم ِّم ْن اَ ْنفُ ِس ُك ْم اَ ْز َواجًا لِّتَ ْس ُكنُ ْٓوا‬ 

ٍ ‫ك اَل ٰ ٰي‬
‫ت‬ َ ِ‫اِلَ ْيهَا َو َج َع َل بَ ْينَ ُك ْم َّم َو َّدةً َّو َرحْ َمةً ۗاِ َّن فِ ْي ٰذل‬
‫لِّقَ ْو ٍم يَّتَفَ َّكر ُْو َن‬

Allah SWT berfirman, "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia


menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa ketenangan dan
ketentraman hatimu, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang dan belas kasihan.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi
kaum yang berpikir."

Ayat ini menunjukkan bahwa pasangan yang menikah harus saling mencintai dan
menghormati satu sama lain, dan memiliki rasa kasih sayang dan belas kasihan. Oleh karena
itu, perkawinan beda agama tidak disarankan karena kemungkinan besar pasangan tidak
memiliki kesamaan dalam hal agama, moral, dan nilai-nilai.

Pandangan menurut hadis terhadap perkawinan beda agama dalam Islam juga
dibahas dalam hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Sebagai seorang pemimpin spiritual, Nabi
Muhammad memberikan petunjuk dan pedoman bagi umatnya, termasuk dalam hal
perkawinan beda agama. Dalam hadis, Nabi Muhammad memberikan pandangan yang jelas
bahwa perkawinan antara seorang Muslim dengan orang yang tidak memeluk agama Islam
tidak dianjurkan. Dalam hadis riwayat Abu Hurairah, Nabi Muhammad bersabda, "Janganlah
kamu menikahi wanita musyrik (orang yang tidak memeluk agama Islam) sebelum dia
beriman, karena sesungguhnya budak perempuan yang mukmin lebih baik dari pada wanita
musyrik, meskipun dia menarik hatimu."

Dalam hadis lain, Nabi Muhammad juga menekankan pentingnya kesetaraan dalam
perkawinan dan bahwa pasangan yang menikah harus memiliki kesamaan dalam hal agama.
Dalam hadis riwayat Abu Dawud, Nabi Muhammad bersabda, "Janganlah kamu menikahkan
perempuan Muslim dengan lelaki musyrik, karena sesungguhnya dia akan membawa
kemunduran kepadamu. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad menyarankan
umatnya untuk tidak menikah dengan orang yang tidak memeluk agama Islam, karena dapat
menyebabkan masalah dalam rumah tangga. Namun, jika pasangan masih memutuskan untuk
menikah, maka mereka harus saling menghormati dan menerima perbedaan keyakinan
masing-masing.

Dalam Islam, pasangan yang menikah harus memiliki kesetaraan dan saling mencintai
dan menghormati satu sama lain. Pasangan tersebut harus memiliki tujuan yang sama dalam
membangun kehidupan bersama, serta menghargai dan menghormati satu sama lain. Dalam
hadis riwayat Tirmidzi, Nabi Muhammad bersabda, "Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik
dalam perlakuan terhadap keluarganya, dan aku adalah yang terbaik dari kalian dalam hal
perlakuan terhadap keluargaku." Ayat dan hadis ini menunjukkan bahwa pasangan yang
menikah harus saling mencintai dan menghormati satu sama lain, dan memiliki kesetaraan
dan rasa kasih sayang. Oleh karena itu, perkawinan beda agama tidak dianjurkan karena
kemungkinan besar pasangan tidak memiliki kesamaan dalam hal agama, moral, dan nilai-
nilai.

Menurut para pakar perkawinan beda agama adalah topik yang sering
diperdebatkan oleh para pakar agama. Beberapa pakar agama memiliki pandangan yang
berbeda-beda terkait dengan hal ini. Beberapa pakar menganggap bahwa perkawinan beda
agama tidak diperbolehkan dalam Islam, sementara yang lain menganggap hal ini dapat
diterima jika pasangan tersebut memiliki toleransi dan saling menghormati satu sama lain.

Dr. Quraish Shihab, seorang ulama dan pakar tafsir Al-Qur'an, berpendapat bahwa
perkawinan beda agama tidak dianjurkan dalam Islam. Menurutnya, perbedaan agama dapat
menimbulkan konflik dalam rumah tangga dan dapat mengganggu keseimbangan keluarga.
Namun, ia juga menekankan bahwa jika pasangan tersebut memiliki toleransi dan saling
menghormati satu sama lain, maka hal ini dapat diterima dalam Islam.

Prof. Dr. M. Quraish Shihab, seorang pakar agama dan mantan menteri agama, juga
berpendapat bahwa perkawinan beda agama tidak dianjurkan dalam Islam. Menurutnya,
Islam menekankan pentingnya kesetaraan dan kesamaan dalam perkawinan, dan pasangan
yang menikah harus memiliki kesamaan dalam hal agama. Namun, ia juga mengakui bahwa
Islam menganjurkan umatnya untuk hidup dalam perdamaian dan toleransi, sehingga jika
pasangan tersebut dapat hidup dalam harmoni dan saling menghormati, maka hal ini dapat
diterima.
Ustaz Abdul Somad, seorang ulama dan pakar agama Islam, berpendapat bahwa
perkawinan beda agama tidak diperbolehkan dalam Islam. Menurutnya, pernikahan harus
didasarkan pada kesamaan dalam hal agama, moral, dan nilai-nilai. Namun, ia juga mengakui
bahwa Islam menganjurkan umatnya untuk hidup dalam perdamaian dan toleransi, sehingga
jika pasangan tersebut dapat hidup dalam harmoni dan saling menghormati, maka hal ini
dapat diterima.

2.2 Menurut ketentuan hukum positif Indonesia


Perkawinan beda agama di Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat dan jelas,
diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 2 ayat (1) dari
undang-undang tersebut menyatakan bahwa perkawinan dilangsungkan menurut hukum
agama dan kepercayaan yang dianut oleh masing-masing pasangan. Meskipun demikian, ada
beberapa persyaratan dan ketentuan yang harus dipenuhi agar perkawinan beda agama dapat
sah menurut hukum positif Indonesia.
Pertama-tama, setiap perkawinan di Indonesia harus memenuhi persyaratan
administratif yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan. Persyaratan tersebut meliputi adanya dokumen identitas seperti
KTP dan akta kelahiran, serta Surat Keterangan Tidak Keberatan dari kedua keluarga calon
pengantin. Persyaratan ini berlaku sama baik untuk pasangan yang beragama sama maupun
beda agama. Namun, bagi pasangan yang berbeda agama, ada beberapa ketentuan tambahan
yang harus dipenuhi agar perkawinan tersebut sah menurut hukum positif Indonesia. Pertama,
pasangan harus memilih satu agama untuk diakui oleh negara sebagai agama resmi dalam
perkawinan tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 2 Ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 yang
menyatakan bahwa perkawinan dilangsungkan menurut hukum agama dan kepercayaan yang
dianut oleh masing-masing pasangan. Ketentuan ini juga diatur dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang menyatakan bahwa pasangan yang berbeda
agama harus memilih satu agama yang diakui oleh negara sebagai agama resmi dalam
perkawinan. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi juga menegaskan bahwa
pasangan yang memilih agama yang tidak diakui oleh negara sebagai agama resmi dalam
perkawinan, maka perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum positif Indonesia.
Ketentuan kedua yang harus dipenuhi oleh pasangan beda agama adalah adanya
persetujuan dari masing-masing agama yang dianut oleh pasangan. Pasangan harus
mendapatkan surat persetujuan dari pimpinan agama yang bersangkutan, baik dari agama
yang diakui sebagai agama resmi dalam perkawinan maupun agama yang tidak diakui
sebagai agama resmi dalam perkawinan. Surat persetujuan ini harus diserahkan ke Kantor
Urusan Agama setempat sebagai syarat untuk pendaftaran perkawinan. Ketentuan ini diatur
dalam Pasal 6 Ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa setiap perkawinan
beda agama harus mendapatkan persetujuan dari masing-masing agama yang dianut oleh
pasangan. Selain itu, ketentuan ini juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun
2009 tentang Perubahan atas PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Selain persyaratan administratif dan persetujuan agama, terdapat pula ketentuan
mengenai pernikahan beda agama yang dapat diputuskan oleh hakim. Pasal 39 Ayat 2 UU
Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan beda agama dapat diputuskan oleh
pengadilan apabila salah satu pasangan mengajukan gugatan cerai karena alasan perbedaan
agama. Namun, dalam praktiknya, kasus perceraian karena perbedaan agama di Indonesia
masih sangat jarang terjadi. Mayoritas pasangan beda agama memilih untuk mengikuti
persyaratan dan ketentuan yang berlaku, serta menghormati perbedaan agama dan
kepercayaan masing-masing.

2.3 Pertimbangan hakim


Dalam praktik hukum di Indonesia, penetapan izin perkawinan beda agama menjadi
kewenangan hakim. Pertimbangan hakim dalam memberikan izin tersebut didasarkan pada
ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Salah satu faktor yang harus dipertimbangkan oleh hakim adalah persetujuan dari masing-
masing agama yang dianut oleh pasangan. Pasangan harus mendapatkan surat persetujuan
dari pimpinan agama yang bersangkutan, baik dari agama yang diakui sebagai agama resmi
dalam perkawinan maupun agama yang tidak diakui sebagai agama resmi dalam perkawinan.
Surat persetujuan ini harus diserahkan ke Kantor Urusan Agama setempat sebagai syarat
untuk pendaftaran perkawinan.
Selain itu, hakim juga perlu mempertimbangkan faktor-faktor lain yang tercantum
dalam UU Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 3 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan harus
dilakukan dengan suka rela dari kedua belah pihak yang hendak menikah. Selain itu,
pasangan harus memenuhi persyaratan umur yang diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 9 UU
Nomor 1 Tahun 1974. Salah satu pertimbangan hakim dalam memberikan izin perkawinan
beda agama adalah memastikan bahwa pasangan yang akan menikah telah memenuhi syarat-
syarat yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut. Menurut Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, syarat-syarat tersebut antara lain adalah:

1. Setiap calon mempelai sudah mencapai usia 21 tahun;


2. Setiap calon mempelai belum terikat dalam perkawinan;
3. Setiap calon mempelai tidak sedang dalam keadaan terpaksa;
4. Setiap calon mempelai sehat jasmani dan rohani;
5. Setiap calon mempelai tidak memiliki hubungan kekerabatan sedarah atau
semenda yang terlarang untuk melakukan perkawinan; dan
6. Setiap calon mempelai beragama yang sama.

Namun, ketentuan terakhir tersebut memiliki pengecualian yaitu jika pasangan yang
akan menikah berbeda agama namun telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh
masing-masing agama. Dalam hal ini, pasangan yang berbeda agama harus memperoleh izin
khusus dari Kementerian Agama untuk melangsungkan perkawinan.
Selain itu, hakim juga harus memperhatikan aspek hukum dan kepentingan sosial
dalam memberikan izin perkawinan beda agama. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 menyebutkan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, hakim harus memastikan
bahwa pasangan yang akan menikah dapat membentuk keluarga yang harmonis dan bahagia
meskipun memiliki perbedaan agama.
Dalam memberikan izin perkawinan beda agama, hakim juga perlu
mempertimbangkan kepentingan anak yang akan lahir dari perkawinan tersebut. Hakim harus
memastikan bahwa pasangan yang akan menikah dapat memenuhi kebutuhan dan hak-hak
anak sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan Pasal 2 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan
bahwa setiap anak berhak mendapat perlindungan dari kekerasan, diskriminasi, eksploitasi,
dan perlakuan yang tidak manusiawi atau merendahkan martabatnya. Dalam penetapan
terhadap permohonan izin perkawinan beda agama, hakim harus mempertimbangkan
beberapa hal sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Beberapa pertimbangan tersebut antara lain:
1. Kepentingan Anak: Hakim perlu mempertimbangkan kepentingan anak jika hasil dari
perkawinan beda agama tersebut. Menurut pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974,
tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, hakim perlu
mempertimbangkan kepentingan anak agar tidak merasa terasing dari salah satu
agama atau bahkan merasa terpaksa untuk memilih salah satu agama tertentu.
2. Persetujuan Orang Tua: Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa
perkawinan dilakukan atas dasar kesepakatan yang dibuat secara suka rela antara
calon suami dan calon istri. Namun, jika calon suami atau calon istri masih di bawah
umur atau di bawah pengampuan orang tua, maka harus mendapat persetujuan dari
orang tua atau wali. Oleh karena itu, hakim perlu mempertimbangkan persetujuan
orang tua atau wali dalam memberikan izin perkawinan beda agama.
3. Keharmonisan Keluarga: Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa
perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Oleh
karena itu, hakim perlu mempertimbangkan keharmonisan keluarga yang akan
terbentuk dari perkawinan tersebut. Pertimbangan ini meliputi aspek-aspek seperti
adanya kecocokan antara pasangan, adanya persamaan nilai dan norma dalam
keluarga, dan adanya kesamaan tujuan hidup dan cita-cita.
4. Ketentuan Agama: Hakim juga perlu mempertimbangkan ketentuan agama dalam
penetapan izin perkawinan beda agama. Pasal 2 ayat (3) UU No. 1 Tahun 1974
menyatakan bahwa perkawinan dilakukan atas dasar agama dan kepercayaan yang
berbeda asalkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama dan norma-norma sosial
yang berlaku. Oleh karena itu, hakim perlu memastikan bahwa perkawinan beda
agama tersebut tidak melanggar ketentuan agama yang berlaku.

Dalam praktiknya, pertimbangan hakim dalam memberikan izin perkawinan beda agama
juga dipengaruhi oleh kondisi sosial dan budaya masyarakat di sekitar pasangan yang akan
menikah. Dan juga memberikan penetapan terhadap permohonan izin perkawinan beda
agama, hakim juga dapat mempertimbangkan faktor-faktor lain yang dianggap relevan,
seperti adanya dukungan dari keluarga dan masyarakat, kondisi ekonomi dan sosial pasangan,
serta kematangan emosional dan mental pasangan dalam menjalani perkawinan beda agama.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perkawinan beda agama masih
menjadi perdebatan yang kompleks dalam masyarakat Indonesia. Meskipun dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa perkawinan harus
dilangsungkan antara dua orang yang memeluk agama yang sama, namun terdapat
pengecualian untuk melakukan perkawinan beda agama dengan mengajukan permohonan
dispensasi kepada pengadilan agamaDalam pandangan agama Islam, perkawinan beda agama
dianggap tidak dianjurkan dan memiliki banyak risiko, seperti kehilangan identitas agama
anak dan berpotensi menyebabkan konflik dalam keluarga. Namun, hal ini tidak berarti
bahwa perkawinan beda agama harus dilarang, terutama jika pasangan telah berusaha untuk
menyelesaikan masalah yang timbul dan memastikan bahwa kepentingan anak tetap
diutamakan. Dalam kasus perkawinan beda agama, pasangan yang bersangkutan perlu
mempertimbangkan dengan matang keputusan mereka dan memastikan bahwa kepentingan
anak tetap diutamakan. Pasangan juga perlu memahami bahwa meskipun telah memperoleh
izin perkawinan dari pengadilan agama, mereka tetap memerlukan upaya untuk menjaga
harmoni dalam hubungan dan menghindari konflik yang bisa merugikan diri sendiri dan
anak-anak.

3.2 Saran
Sebagai saran, pemerintah perlu meningkatkan edukasi tentang pentingnya memilih pasangan
yang seagama dalam rangka memperkuat harmoni dalam hubungan dan keluarga. Selain itu,
lembaga pengadilan agama juga perlu meningkatkan transparansi dan objektivitas dalam
memberikan dispensasi perkawinan beda agama, agar kepentingan anak dan keadaan sosial
pasangan bisa dipertimbangkan dengan baik. Dalam hal ini, selain pengadilan agama, peran
masyarakat juga sangat penting untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya
mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengan agama, moral, sosial, dan
kepentingan anak dalam memutuskan untuk melakukan perkawinan beda agama. Dengan
demikian, diharapkan perkawinan beda agama dapat dilakukan dengan penuh kesadaran dan
menghasilkan keluarga yang harmonis serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.

DAFTAR PUSTAKA

http://repo.unand.ac.id/2798/1/1974_UU-1-TAHUN-1974_PERKAWINAN.pdf
https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4d7dc128327
https://kumparan.com/@kumparannews/ustaz-abdul-somad-tentang-perkawinan-beda-agama-
dan-cara-menyikapinya-1t68fjgNRML
https://www.liputan6.com/news/read/2621195/mendalami-pandangan-islam-atas-
perkawinan-beda-agama
https://republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/16/08/08/od8s3z313-mendalami-
pandangan-islam-atas-perkawinan-beda-agama
https://www.muslim.or.id/6401-hukum-nikah-bedengan-menurut-islam.html
https://www.alquranclasses.com/marriage-in-islam/interfaith-marriage-in-islam/
https://www.indiatoday.in/india/story/hindu-woman-muslim-man-5-year-marriage-flee-
home-after-threats-1747843-2020-11-27
https://news.detik.com/berita/d-4869153/kasus-perkawinan-beda-agama-di-mana-letak-
kesalahan-dan-solusinya

You might also like