Professional Documents
Culture Documents
Makalah IDI - Sahira Qotrinada 221000402
Makalah IDI - Sahira Qotrinada 221000402
Makalah IDI - Sahira Qotrinada 221000402
DOSEN PENGAMPU:
Bunyamin, Drs., M.H.
Disusun oleh:
Nama: Sahira Qotrinada
NPM: 221000402
Kelas: I
Dalam konteks hukum, perkawinan beda agama memerlukan persetujuan dari kedua
belah pihak serta keluarga kedua mempelai. Selain itu, berbagai peraturan hukum juga
menyangkut perkawinan beda agama, seperti batasan usia, jenis kelamin pasangan, dan
hukuman bagi pasangan yang melanggar peraturan tersebut. Di sisi agama, perkawinan beda
agama yang sah berarti kedua pasangan harus memahami prinsip-prinsip agama masing-
masing dan harus benar-benar mempertimbangkan konsekuensi kehidupan mereka setelah
menikah. Selain itu, organisasi keagamaan juga dapat memberikan penjelasan kepada
pasangan mengenai regulasi dan tata cara pada perkawinan beda agama menurut
keyakinannya masing-masing.
Dalam konteks hukum Islam, perkawinan beda agama atau inter-agama masih menjadi
topik hangat dalam wacana hukum keluarga. Selama ini, perkawinan beda agama diatur
dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni
memuat syarat bahwa pasangan harus memiliki agama yang sama. Akan tetapi, penafsiran
hukum terhadap ketentuan ini memiliki variasi yang cukup bervariasi antara satu wilayah
dengan yang lain.
Dalam hal ini, konflik terbesar dalam perkawinan beda agama adalah persoalan agama.
Peserta yang berbeda keyakinannya bertolak belakang dalam menyelesaikan masalah, yang
pada akhirnya memperburuk hubungan. Banyak pasangan juga mengalami kesulitan dalam
memutuskan bentuk dan tata cara pernikahan, seperti menentukan masjid atau gereja mana
yang akan digunakan atau bagaimana pernikahan akan dihadiri oleh keluarga kedua
pasangan.
Namun, menyadari aturan-aturan hukum yang ada dan penjelasan dari organisasi
keagamaan akan membantu pasangan untuk mengetahui aturan dan persyaratan dalam
perkawinan beda agama dan bagaimana untuk melakukannya dengan adil dan selayaknya
dengan aturan agama masing-masing.
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dirumuskan maka tujuan dari penelitian ini
untuk mengetahui yang dimaksud dengan Perkawinan beda agama, ketentuan hukum
positif mengatur perkawinan beda agama, serta penetapan terhadap permohonan izin
perkawinan beda agama jika ditinjau dari UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
BAB II
PEMBAHASAN
Salah satu contoh kasus perkawinan beda agama adalah di India, di mana mayoritas
penduduknya menganut agama Hindu. Pada bulan November 2020, sebuah kasus
menghebohkan muncul di media sosial di mana seorang pria Muslim dan wanita Hindu, yang
telah menikah selama lima tahun, harus melarikan diri dari rumah mereka karena
mendapatkan ancaman dari keluarga perempuan tersebut. Keluarga perempuan tersebut tidak
menyetujui perkawinan antara putrinya yang beragama Hindu dengan seorang pria Muslim
dan telah berusaha memisahkan pasangan tersebut. Kasus ini menunjukkan bagaimana
perkawinan beda agama dapat menjadi masalah serius dalam beberapa budaya dan
masyarakat. Meskipun dalam banyak kasus, pasangan tersebut mungkin saling mencintai dan
dapat hidup bahagia bersama, namun pandangan dan kepercayaan keluarga dan masyarakat
sekitar seringkali mempersulit situasi.
ٌةB َ ةٌ ُّمْؤ ِمنBْؤ ِم َّن ۗ َواَل َ َمB ُت َح ٰتّى يِ ِر ٰكB وا ْال ُم ْشBBَواَل تَ ْن ِك ُح
ِر ِكي َْنBوا ْال ُم ْشBBو اَ ْع َجبَ ْت ُك ْم ۚ َواَل تُ ْن ِك ُحB
ْ Bَ ِر َك ٍة َّولBَخيْ ٌر ِّم ْن ُّم ْش
ْ ََح ٰتّى يُْؤ ِمنُ ْوا ۗ َولَ َع ْب ٌد ُّمْؤ ِم ٌن َخ ْي ٌر ِّم ْن ُّم ْش ِر ٍك َّول
ۗ و اَ ْع َجبَ ُك ْمBB
ْ ْ هّٰللا ٰۤ ُ
َر ِةBِ ْد ُع ْٓوا اِلَى ال َجنَّ ِة َوال َم ْغفBَار ۖ َو ُ ي ِ َّك يَ ْد ُع ْو َن اِلَى الن
َ اول ِٕى
اس لَ َعلَّهُ ْم يَتَ َذ َّكر ُْو َن
ِ َّ ن لِ ل ه
ٖ ِ ت ٰ
ي ٰ
ا ࣖ بِا ِ ْذنِ ٖ ۚه َويُبَي ُِّن
Ayat ini menunjukkan bahwa perkawinan antara seorang Muslim dan orang yang
tidak memeluk agama Islam tidak disarankan, karena ada kemungkinan masalah yang muncul
dalam membangun rumah tangga yang harmonis. Namun, dalam beberapa kasus, jika
pasangan masih memilih untuk menikah, maka mereka harus saling menghormati dan
menerima perbedaan keyakinan masing-masing.
Dalam Islam, pasangan yang menikah harus memiliki kesamaan dalam hal agama,
moral, dan nilai-nilai. Pasangan tersebut harus memiliki tujuan yang sama dalam membangun
kehidupan bersama, serta menghargai dan menghormati satu sama lain. Dalam Surat Al-Rum
ayat 21,
ٍ ك اَل ٰ ٰي
ت َ ِاِلَ ْيهَا َو َج َع َل بَ ْينَ ُك ْم َّم َو َّدةً َّو َرحْ َمةً ۗاِ َّن فِ ْي ٰذل
لِّقَ ْو ٍم يَّتَفَ َّكر ُْو َن
Ayat ini menunjukkan bahwa pasangan yang menikah harus saling mencintai dan
menghormati satu sama lain, dan memiliki rasa kasih sayang dan belas kasihan. Oleh karena
itu, perkawinan beda agama tidak disarankan karena kemungkinan besar pasangan tidak
memiliki kesamaan dalam hal agama, moral, dan nilai-nilai.
Pandangan menurut hadis terhadap perkawinan beda agama dalam Islam juga
dibahas dalam hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Sebagai seorang pemimpin spiritual, Nabi
Muhammad memberikan petunjuk dan pedoman bagi umatnya, termasuk dalam hal
perkawinan beda agama. Dalam hadis, Nabi Muhammad memberikan pandangan yang jelas
bahwa perkawinan antara seorang Muslim dengan orang yang tidak memeluk agama Islam
tidak dianjurkan. Dalam hadis riwayat Abu Hurairah, Nabi Muhammad bersabda, "Janganlah
kamu menikahi wanita musyrik (orang yang tidak memeluk agama Islam) sebelum dia
beriman, karena sesungguhnya budak perempuan yang mukmin lebih baik dari pada wanita
musyrik, meskipun dia menarik hatimu."
Dalam hadis lain, Nabi Muhammad juga menekankan pentingnya kesetaraan dalam
perkawinan dan bahwa pasangan yang menikah harus memiliki kesamaan dalam hal agama.
Dalam hadis riwayat Abu Dawud, Nabi Muhammad bersabda, "Janganlah kamu menikahkan
perempuan Muslim dengan lelaki musyrik, karena sesungguhnya dia akan membawa
kemunduran kepadamu. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad menyarankan
umatnya untuk tidak menikah dengan orang yang tidak memeluk agama Islam, karena dapat
menyebabkan masalah dalam rumah tangga. Namun, jika pasangan masih memutuskan untuk
menikah, maka mereka harus saling menghormati dan menerima perbedaan keyakinan
masing-masing.
Dalam Islam, pasangan yang menikah harus memiliki kesetaraan dan saling mencintai
dan menghormati satu sama lain. Pasangan tersebut harus memiliki tujuan yang sama dalam
membangun kehidupan bersama, serta menghargai dan menghormati satu sama lain. Dalam
hadis riwayat Tirmidzi, Nabi Muhammad bersabda, "Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik
dalam perlakuan terhadap keluarganya, dan aku adalah yang terbaik dari kalian dalam hal
perlakuan terhadap keluargaku." Ayat dan hadis ini menunjukkan bahwa pasangan yang
menikah harus saling mencintai dan menghormati satu sama lain, dan memiliki kesetaraan
dan rasa kasih sayang. Oleh karena itu, perkawinan beda agama tidak dianjurkan karena
kemungkinan besar pasangan tidak memiliki kesamaan dalam hal agama, moral, dan nilai-
nilai.
Menurut para pakar perkawinan beda agama adalah topik yang sering
diperdebatkan oleh para pakar agama. Beberapa pakar agama memiliki pandangan yang
berbeda-beda terkait dengan hal ini. Beberapa pakar menganggap bahwa perkawinan beda
agama tidak diperbolehkan dalam Islam, sementara yang lain menganggap hal ini dapat
diterima jika pasangan tersebut memiliki toleransi dan saling menghormati satu sama lain.
Dr. Quraish Shihab, seorang ulama dan pakar tafsir Al-Qur'an, berpendapat bahwa
perkawinan beda agama tidak dianjurkan dalam Islam. Menurutnya, perbedaan agama dapat
menimbulkan konflik dalam rumah tangga dan dapat mengganggu keseimbangan keluarga.
Namun, ia juga menekankan bahwa jika pasangan tersebut memiliki toleransi dan saling
menghormati satu sama lain, maka hal ini dapat diterima dalam Islam.
Prof. Dr. M. Quraish Shihab, seorang pakar agama dan mantan menteri agama, juga
berpendapat bahwa perkawinan beda agama tidak dianjurkan dalam Islam. Menurutnya,
Islam menekankan pentingnya kesetaraan dan kesamaan dalam perkawinan, dan pasangan
yang menikah harus memiliki kesamaan dalam hal agama. Namun, ia juga mengakui bahwa
Islam menganjurkan umatnya untuk hidup dalam perdamaian dan toleransi, sehingga jika
pasangan tersebut dapat hidup dalam harmoni dan saling menghormati, maka hal ini dapat
diterima.
Ustaz Abdul Somad, seorang ulama dan pakar agama Islam, berpendapat bahwa
perkawinan beda agama tidak diperbolehkan dalam Islam. Menurutnya, pernikahan harus
didasarkan pada kesamaan dalam hal agama, moral, dan nilai-nilai. Namun, ia juga mengakui
bahwa Islam menganjurkan umatnya untuk hidup dalam perdamaian dan toleransi, sehingga
jika pasangan tersebut dapat hidup dalam harmoni dan saling menghormati, maka hal ini
dapat diterima.
Namun, ketentuan terakhir tersebut memiliki pengecualian yaitu jika pasangan yang
akan menikah berbeda agama namun telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh
masing-masing agama. Dalam hal ini, pasangan yang berbeda agama harus memperoleh izin
khusus dari Kementerian Agama untuk melangsungkan perkawinan.
Selain itu, hakim juga harus memperhatikan aspek hukum dan kepentingan sosial
dalam memberikan izin perkawinan beda agama. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 menyebutkan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, hakim harus memastikan
bahwa pasangan yang akan menikah dapat membentuk keluarga yang harmonis dan bahagia
meskipun memiliki perbedaan agama.
Dalam memberikan izin perkawinan beda agama, hakim juga perlu
mempertimbangkan kepentingan anak yang akan lahir dari perkawinan tersebut. Hakim harus
memastikan bahwa pasangan yang akan menikah dapat memenuhi kebutuhan dan hak-hak
anak sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan Pasal 2 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan
bahwa setiap anak berhak mendapat perlindungan dari kekerasan, diskriminasi, eksploitasi,
dan perlakuan yang tidak manusiawi atau merendahkan martabatnya. Dalam penetapan
terhadap permohonan izin perkawinan beda agama, hakim harus mempertimbangkan
beberapa hal sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Beberapa pertimbangan tersebut antara lain:
1. Kepentingan Anak: Hakim perlu mempertimbangkan kepentingan anak jika hasil dari
perkawinan beda agama tersebut. Menurut pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974,
tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, hakim perlu
mempertimbangkan kepentingan anak agar tidak merasa terasing dari salah satu
agama atau bahkan merasa terpaksa untuk memilih salah satu agama tertentu.
2. Persetujuan Orang Tua: Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa
perkawinan dilakukan atas dasar kesepakatan yang dibuat secara suka rela antara
calon suami dan calon istri. Namun, jika calon suami atau calon istri masih di bawah
umur atau di bawah pengampuan orang tua, maka harus mendapat persetujuan dari
orang tua atau wali. Oleh karena itu, hakim perlu mempertimbangkan persetujuan
orang tua atau wali dalam memberikan izin perkawinan beda agama.
3. Keharmonisan Keluarga: Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa
perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Oleh
karena itu, hakim perlu mempertimbangkan keharmonisan keluarga yang akan
terbentuk dari perkawinan tersebut. Pertimbangan ini meliputi aspek-aspek seperti
adanya kecocokan antara pasangan, adanya persamaan nilai dan norma dalam
keluarga, dan adanya kesamaan tujuan hidup dan cita-cita.
4. Ketentuan Agama: Hakim juga perlu mempertimbangkan ketentuan agama dalam
penetapan izin perkawinan beda agama. Pasal 2 ayat (3) UU No. 1 Tahun 1974
menyatakan bahwa perkawinan dilakukan atas dasar agama dan kepercayaan yang
berbeda asalkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama dan norma-norma sosial
yang berlaku. Oleh karena itu, hakim perlu memastikan bahwa perkawinan beda
agama tersebut tidak melanggar ketentuan agama yang berlaku.
Dalam praktiknya, pertimbangan hakim dalam memberikan izin perkawinan beda agama
juga dipengaruhi oleh kondisi sosial dan budaya masyarakat di sekitar pasangan yang akan
menikah. Dan juga memberikan penetapan terhadap permohonan izin perkawinan beda
agama, hakim juga dapat mempertimbangkan faktor-faktor lain yang dianggap relevan,
seperti adanya dukungan dari keluarga dan masyarakat, kondisi ekonomi dan sosial pasangan,
serta kematangan emosional dan mental pasangan dalam menjalani perkawinan beda agama.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perkawinan beda agama masih
menjadi perdebatan yang kompleks dalam masyarakat Indonesia. Meskipun dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa perkawinan harus
dilangsungkan antara dua orang yang memeluk agama yang sama, namun terdapat
pengecualian untuk melakukan perkawinan beda agama dengan mengajukan permohonan
dispensasi kepada pengadilan agamaDalam pandangan agama Islam, perkawinan beda agama
dianggap tidak dianjurkan dan memiliki banyak risiko, seperti kehilangan identitas agama
anak dan berpotensi menyebabkan konflik dalam keluarga. Namun, hal ini tidak berarti
bahwa perkawinan beda agama harus dilarang, terutama jika pasangan telah berusaha untuk
menyelesaikan masalah yang timbul dan memastikan bahwa kepentingan anak tetap
diutamakan. Dalam kasus perkawinan beda agama, pasangan yang bersangkutan perlu
mempertimbangkan dengan matang keputusan mereka dan memastikan bahwa kepentingan
anak tetap diutamakan. Pasangan juga perlu memahami bahwa meskipun telah memperoleh
izin perkawinan dari pengadilan agama, mereka tetap memerlukan upaya untuk menjaga
harmoni dalam hubungan dan menghindari konflik yang bisa merugikan diri sendiri dan
anak-anak.
3.2 Saran
Sebagai saran, pemerintah perlu meningkatkan edukasi tentang pentingnya memilih pasangan
yang seagama dalam rangka memperkuat harmoni dalam hubungan dan keluarga. Selain itu,
lembaga pengadilan agama juga perlu meningkatkan transparansi dan objektivitas dalam
memberikan dispensasi perkawinan beda agama, agar kepentingan anak dan keadaan sosial
pasangan bisa dipertimbangkan dengan baik. Dalam hal ini, selain pengadilan agama, peran
masyarakat juga sangat penting untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya
mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengan agama, moral, sosial, dan
kepentingan anak dalam memutuskan untuk melakukan perkawinan beda agama. Dengan
demikian, diharapkan perkawinan beda agama dapat dilakukan dengan penuh kesadaran dan
menghasilkan keluarga yang harmonis serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
http://repo.unand.ac.id/2798/1/1974_UU-1-TAHUN-1974_PERKAWINAN.pdf
https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4d7dc128327
https://kumparan.com/@kumparannews/ustaz-abdul-somad-tentang-perkawinan-beda-agama-
dan-cara-menyikapinya-1t68fjgNRML
https://www.liputan6.com/news/read/2621195/mendalami-pandangan-islam-atas-
perkawinan-beda-agama
https://republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/16/08/08/od8s3z313-mendalami-
pandangan-islam-atas-perkawinan-beda-agama
https://www.muslim.or.id/6401-hukum-nikah-bedengan-menurut-islam.html
https://www.alquranclasses.com/marriage-in-islam/interfaith-marriage-in-islam/
https://www.indiatoday.in/india/story/hindu-woman-muslim-man-5-year-marriage-flee-
home-after-threats-1747843-2020-11-27
https://news.detik.com/berita/d-4869153/kasus-perkawinan-beda-agama-di-mana-letak-
kesalahan-dan-solusinya