Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 16

[KUMPULAN SOAL PRETEST]

1. klasifikasi DF dan tatalaksananya


2. DD demam dengan ruam makulopapular dengan perbedaannya
DD demam dg ruam

- Syphilis kongenital

Perbedaannya
3. Pertusis dan perbedaan gejala setiap stagenya
Jawaban:
● Stadium kataralis (1-2 minggu)
Batuk-batuk bertambah berat dan siang dan malam menyerupai influenza
● Stadium spasmodic (2-4 minggu)
Terjadi paroksismal berupa batuk-batuk khas.
Batuk muka merah dan sianotik.
Serangan batuk panjang, tidak ada inspirum diakhiri dengan whoop.
Muntah dan banyak sputum.
Terberak dan terkencing-kencing.
Perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis
● Stadium konvalensi (2 minggu)
Pada minggu keempat beratnya serangan berkurang,
Nafsu makan timbul kembali.
Ronki difus mulai menghilang.

4. Tatalaksana tetanus pada anak dan penegakkan diagnosisnya


Penegakan diagnosis tetanus:

Tatalaksana:
Tatalaksana Ringkas:
5. Tipe cacing soil transmitted helminth dan tatalaksananya

a. Ascaris lumbricoides (c. gelang)


b. Trichuris trichiura (c. cambuk)
c. Necator americanus (c. tambang)
d. Ancylostoma duodenale (c. tambang)

Tatalaksana :

a. Ascariasis:
- Piperazine sitrat: 75 mg/kgBB
- Pirantel pamoate: 10 mg/kgBB
- Mebendazole: 100 mg; 2x1 hari; 3 hari
- Albendazole: 400 mg single dose
b. Trikhuriasis:
- Mebendazole
- Albendazole

(Pirantel pamoate & piperazine kurang efektif)

c. Nekatoriasis & Ankilostomiasis:


- Mebendazole: 100 mg, 2x1 hari, selama 3 hari
- Albendazole: 400 mg single dose
- Pirantel pamoate: 11 mg/kgBB
- Bila anemia + Sulfas ferosus (oral iron)

Tatalaksana Snake Bite

WHO

A. At community or village level


1. Assess: check history of snakebite and look for obvious evidence of a bite (fang puncture
marks, swelling of the bitten part).
2. Reassure
3. First-aid: immobilize the whole patient as far as possible by laying him/ her down in a
relaxed but safe position (e.g. recovery position), immobilize the bitten limb with a splint and
apply pressure-pad.
4. Transport: Arrange (by emergency contact number) transport of the patient to medical care
as quickly, safely and passively as possible by vehicle, boat, bicycle, motorbike, stretcher etc.
Ideally the patient should lie in the recovery position (prone, on the left side) with his/her airway
protected to minimise the risk of shock and inhalation of vomit.
5. Snake: if the snake responsible has already been caught or killed take it (safely in a bag or
container) with the patient or take images on a mobile ‘phone , but ensure safety by avoiding
direct contact.
6. Traditional treatment: discourage time-wasting and potentially dangerous traditional
treatments such as tight ligatures (tourniquets), incisions, suction and application of herbs, ice,
chemicals, “snakestones” etc

B. At the Rural Clinic, Dispensary, Health Post, or Primary Health Centre


1. Assess for signs of local and systemic envenoming: carry out a simple medical assessment
including history and simple physical examination – local swelling, painful tender enlarged
local lymph glands, persistent bleeding from the bite wound, blood pressure, pulse rate,
bleeding (gums, nose, vomit, stool or urine), level of consciousness, drooping eyelids (ptosis)
and other signs of paralysis. Monitor these signs hourly.
2. Check: 20 minute whole blood clotting test (20WBCT), urine examination (appearance,
sticks testing for blood etc.). Identify the snake or a photo of it (if brought).
3. Analgesia: give analgesia by mouth if required: paracetamol (acetaminophen) (adult dose
500 mg to 1 g maximum 4 g in 24 hours; children 10-15 mg/kg maximum 100mg/kg/day) or
codeine phosphate (adult dose 30-60 mg maximum 240 mg in 24 hours; children more than 2
years old, 0.5 mg/kg, maximum 2 mg/kg/day) can be given every 4-6 hours by mouth as
required (not aspirin or non-steroidal anti-inflammatory drugs which can cause bleeding).
4. Antivenom: if the patient fulfils criteria for antivenom treatment and if the necessary skills,
equipment, antivenom, adrenaline and other necessary drugs are available, give antivenom.
These skills include ability to diagnose local and systemic envenoming, set up intravenous
infusion or intravenous injection, identify the early signs of anaphylaxis and treat it with
intramuscular adrenaline. Reasess for repeated dose(s) of antivenom. If no antivenom is
available, transfer to a hospital.
5. If the patient is shocked/ hypotensive: give cautious intravenous fluid challenge (adult 250-
500 ml of 0.9% saline) to correct hypovolaemic shock.
6. If the patient has evidence of respiratory paralysis: give oxygen by mask, consider atropine
and neostigmine, and transfer to hospital. It is assumed that assisted ventilation other than by
a tight-fitting face mask connected to an anaesthetic (Ambu) bag will not be possible at this
level.
7. If the patient is oliguric: initiate conservative management.
8. The bite wound: if necrotic, tampered with (incisions etc.) or obviously septic, give antibiotics
and tetanus prophylaxis.
9. Assess the need and feasibility of transporting the patient to a higher level of the health
service (see A above) especially in case of:
a. Substantial bleeding, 20WBCT still positive (non-clotting) 6 hours after initial antivenom
dose
b. Progressive paralysis (muscle weakness) or respiratory difficulty
c. Reduced urine output
d. Anaphylaxis –unresponsive to adrenaline
e. Shock/hypotension- unresponsive to fluids
f. Severe local necrosis or signs suggestive of compartment syndrome
10.Discourage the use of ineffective and potentially harmful drugs (e.g. corticosteroids,
antihistamines, and heparin).

D. At the Referral (Specialized) Hospital Proceed as in B and C above plus:


1. More advanced surgical management of local necrosis (e.g. split skin grafting).
2. More advanced investigations including bacterial cultures and imaging (CT scans) as
indicated.
3. If the patient has evidence of acute renal failure peritoneal or haemodialysis or
haemofiltration.
4. Implement rehabilitation by physiotherapists.
Conclusions: Strengthening of health system in managing snakebite

6. Identifikasi ular
7. Identifikasi toxin
8. Melakukan pembidaian atau fiksasi (pertolongan pertama)
9. Pemberian anti venom (SABU) berdasarkan ular yang menggigit
10. Imobilisasi selama perawatan

11. Tanda dan gejala anak dicurigai HIV


Bayi dan anak memerlukan tes HIV bila :
1. Anak sakit (jenis penyakit yang berhubungan dengan HIV seperti TB berat atau
mendapat OAT berulang, malnutrisi, atau pneumonia berulang dan diare kronis atau
berulang)
2. Bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV dan sudah mendapatkan perlakuan pencegahan
penularan dari ibu ke anak
3. Terpajan atau potensial terkena infeksi HIV melalui jarum suntik yang terkontaminasi,
menerima transfusi berulang dan sebab lain
4. Anak yang mengalami kekerasan seksual
Diagnosis presumtif:
Bila ada 1 kriteria berikut:
• PCP (pneumocystis pneumonia), meningitis kriptokokus, kandidiasis esophagus
• Toksoplasmosis
• Malnutrisi berat yang tidak membaik dengan pengobatan standar,
ATAU
Minimal ada 2 gejala berikut:
• Oral thrush
• Pneumonia berat
• Sepsis berat
• Kematian ibu yang berkaitan dengan HIV atau penyakit HIV yang lanjut pada ibu
• CD4+ <20%

12. Penegakan diagnosis HIV


A. Uji Virologis
1. Uji virologis digunakan untuk menegakkan diagnosis klinik (biasanya setelah umur 6
minggu), dan harus memiliki sensitivitas minimal 98% dan spesifisitas 98% dengan
cara yang sama seperti uji serologis.
2. Uji virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur < 18 bulan.
3. Uji virologis yang dianjurkan: HIV DNA kualitatif menggunakan darah plasma EDTA atau
Dried Blood Spot (DBS), bila tidak tersedia HIV DNA dapat digunakan HIV RNA
kuantitatif (viral load, VL) mengunakan plasma EDTA.
4. Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa dengan uji
virologis pada umur 4 – 6 minggu atau waktu tercepat yang mampu laksana
sesudahnya.
5. Pada kasus bayi dengan pemeriksaan virologis pertama hasilnya positif maka terapi
ARV harus segera dimulai; pada saat yang sama dilakukan pengambilan sampel darah
kedua untuk pemeriksaan uji virologis kedua.
6. Hasil pemeriksaan virologis harus segera diberikan pada tempat pelayanan, maksimal
4 minggu sejak sampel darah diambil. Hasil positif harus segera diikuti dengan inisiasi
ARV.
B. Uji Serologis
1. Uji serologis yang digunakan harus memenuhi sensitivitas minimal 99% dan spesifisitas
minimal 98% dengan pengawasan kualitas prosedur dan standardisasi kondisi
laboratorium dengan strategi seperti pada pemeriksaan serologis dewasa. Umur <18
bulan – digunakan sebagai uji untuk menentukan ada tidaknya pajanan HIV Umur >18
bulan – digunakan sebagai uji diagnostik konfirmasi
2. Anak umur < 18 bulan terpajan HIV yang tampak sehat dan belum dilakukan uji
virologis, dianjurkan untuk dilakukan uji serologis pada umur 9 bulan. Bila hasil uji
tersebut positif harus segera diikuti dengan pemeriksaan uji virologis untuk
mengidentifikasi kasus yang memerlukan terapi ARV. Jika uji serologis positif dan uji
virologis belum tersedia, perlu dilakukan pemantauan klinis ketat dan uji serologis ulang
pada usia 18 bulan.
3. Anak umur < 18 bulan dengan gejala dan tanda diduga disebabkan oleh infeksi HIV
harus menjalani uji serologis dan jika positif diikuti dengan uji virologis.
4. Pada anak umur< 18 bulan yang sakit dan diduga disebabkan oleh infeksi HIV tetapi uji
virologis tidak dapat dilakukan, diagnosis ditegakkan menggunakan diagnosis
presumtif.
5. Pada anak umur < 18 bulan yang masih mendapat ASI, prosedur diagnostik dilakukan
tanpa perlu menghentikan pemberian ASI.
6. Anak yang berumur > 18 bulan menjalani tes HIV sebagaimana yang dilakukan pada
orang dewasa

13. Tiga DD demam dengan bercak/plak putih pada tonsil


● Mononukleosis atau demam kelenjar merupakan infeksi yang disebabkan oleh virus
Epstein-Barr (EBV). Saat seseorang terinfeksi penyakit ini, bercak putih di sekitar
amandel akan muncul.
● Kandidiasis pada mulut (kandidiasis oral) merupakan infeksi jamur Candida albicans
yang berkembang pada dinding mulut.
● Tonsilitis peradangan yang terjadi pada amandel (tonsil). Kondisi ini biasanya
disebabkan oleh bakteri Streptococcus pyogenes

14. Klasifikasi dengue WHO 2009 dan WHO 2011


15. Perbedaan & tatalaksana dehidrasi dan syok
Dehidrasi (tubuh mengalami ketidakseimbangan cairan elektrolit tubuh)
Tx: Rehidrasi dg cairan elektrolit
Syok (Kegagalan sirkulasi dan perfusi jaringan)
Tx:
● Resusitasi cairan
● Awasi airway pasang oksigenasi
● Bila ada perdarahan hentikan

16. Tatalaksana diare pada anak dan keadaan khusus


Tatalaksana diare pada anak:

Keadaan Khusus (tanpa dehidrasi, dehidrasi ringan/sedang, dehidrasi berat) :

You might also like