Biografi Soedirman

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 4

TUGAS BAHASA INDONESIA

BIOGRAFI

Oleh:

Veronika Soli Lende

Melsintasia T. Ina

X MIPA 1

Guru Bidang Studi:

Suryani Atajama, S. Pd

Tahun Ajaran 2022/2023


Biografi Jenderal Soedirman

Jenderal Sudirman adalah Panglima Besar TNI yang


pertama dan juga Pahlawan Nasional. Sudirman lahir di
Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga, 24 Januari
1916 dari pasangan suami istri Karsid Kartowirodji dan
Siyem. Sejak masih bayi Sudirman sudah diadopsi oleh
pamannya, Cokrosunaryo, Asisten Wedana (Camat)
Bodas Karangjati. Masa kanak-kanak dan masa
remajanya dihabiskan di Cilacap.

Pendidikan formal ditempuhnya di Sekolah Taman Siswa, kemudian


melanjutkan ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Surakarta, tetapi tidak
sampai tamat. Saat di sekolah menengah, Sudirman mulai menunjukkan
kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi, dan dia sangat taat
dengan ajaran Islam. Setelah berhenti dari sekolah keguruan, pada tahun 1936
ia menjadi seorang guru, dan kemudian menjadi kepala sekolah, di sekolah
dasar Muhammadiyah, ia juga aktif dalam kegiatan Muhammadiyah lainnya
dan menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada tahun 1937.

Ketika pendudukan Jepang, pemerintah Jepang mengumumkan akan


membentuk Tentara Pembela Tanah Air (PETA). Pemuda-pemuda Indonesia
mendapat kesempatan mengikuti pendidikan militer. Para pemuda ini kelak
yang akan dimanfaatkan oleh Jepang untuk menahan serangan sekutu. Tapi
tujuan itu tidak pernah tercapai.

Sudirman mengikuti latihan Peta Angkatan ke dua di Bogor. Setelah selesai, ia


diangkat menjadi Daidanco (Komandan Batalyon) di Kroya, daerah Banyumas.
Tiap-tiap kesatuan Peta dipimpin oleh perwira Indonesia. Sedangkan orang
Jepang yang ada dalam kesatuan itu hanya bertindak sebagai pelatih.
Hubungan antara Sudirman dengan pelatih tersebut, tidak selamanya berjalan
baik. Seringkali mereka bertindak diluar batas dan Sudirman pun pasti
melancarkan protes atas tindakan tersebut. Karena itu ia dicurigai dan
dianggap sebagai orang yang berbahaya.

Pada Juli 1945, Sudirman bersama dengan beberapa orang perwira PETA
lainnya, yang juga dianggap berbahaya, diperintahkan ke Bogor. Resminya,
untuk memperoleh pendidikan yang lebih intensif. Tetapi sebenarnya, Jepang
punya rencana busuk. Jepang berkeinginan untuk melenyapkan para perwira
semacam Sudirman. Rencana itu tidak sempat dilaksanakan, sebab tanggal 14
Agustus 1945 Jepang sudah menyerah kembali kepada Sekutu.

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17


Agustus 1945, Sudirman melarikan diri, kemudian pergi ke Jakarta untuk
bertemu dengan Presiden Soekarno. Ia ditugaskan untuk mengawasi proses
penyerahan diri tentara Jepang di Banyumas, yang dilakukannya setelah
mendirikan divisi lokal Badan Keamanan Rakyat. Pasukannya lalu dijadikan
bagian dari Divisi V pada 20 Oktober oleh panglima sementara Oerip
Soemohardjo, dan Sudirman bertanggung jawab atas divisi tersebut.

Melalui Konferensi TKR tanggal 12 November 1945, Sudirman terpilih menjadi


Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang RI. Kedatangan pasukan Sekutu
yang ternyata juga diikuti tentara NICA Belanda menyebabkan timbulnya
pertempuran dengan TKR di berbagai tempat. Salah satu pertempuran besar
terjadi di Ambarawa. Sudirman memimpin langsung pasukan TKR menggempur
posisi pasukan Inggris dan Belanda selama lima hari, mulai tanggal 12
Desember 1945. Pertempuran yang dikenal sebagai Palagan Ambarawa ini
berhasil memukul mundur pasukan Inggris dan Belanda ke Semarang.

Pertempuran ini dan penarikan diri tentara Inggris menyebabkan semakin


kuatnya dukungan rakyat terhadap Sudirman, dan ia akhirnya diangkat sebagai
panglima besar pada tanggal 18 Desember dan pangkat Jenderal diberikan
padanya lewat pelantikan Presiden. Jadi ia memperoleh pangkat Jenderal tidak
melalui Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya sebagaimana lazimnya,
tapi karena prestasinya.
Selama tiga tahun berikutnya, Sudirman menjadi saksi kegagalan negosiasi
dengan tentara kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, yang
pertama adalah Perjanjian Linggarjati yang turut disusun oleh Sudirman - dan
kemudian Perjanjian Renville -yang menyebabkan Indonesia harus
mengembalikan wilayah yang diambilnya dalam Agresi Militer I kepada
Belanda dan penarikan 35.000 tentara Indonesia. Ia juga menghadapi
pemberontakan dari dalam, termasuk upaya kudeta pada 1948. Ia kemudian
menyalahkan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai penyebab penyakit
tuberkulosis-nya; karena infeksi tersebut, paru-paru kanannya dikempeskan
pada bulan November 1948.

Saat terjadi Agresi Militer II oleh Belanda(19 Desember 1948), Yogyakarta


sebagai ibukota saat itu pun jatuh ke tangan musuh. Para pemimpin bangsa,
seperti Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Muhammad. Hatta ditawan
Belanda. Sudirman tetap berjuang dengan cara bergerilya, meskipun saat itu
sudah menderita sakit TBC yang parah dan hanya bernapas dengan satu paru
saja. Presiden Sukarno pun sebenarnya sudah meminta beliau untuk tetap di
Yogya dan berobat, tetapi melihat keteguhan hati Sudirman maka Bung Karno
pun menyetujui keputusan beliau untuk memimpin langsung gerilya.
Perjuangan dengan senjata dan di meja perundingan memaksa Belanda ke
perundingan. Setelah Perundingan Roem-Royen yang menetapkan gencatan
senjata antara Belanda dan Indonesia, Jenderal Sudirman kembali ke
Yogyakarta dengan disambut Bung Karno, Bung Hatta, dan Sri Sultan HB IX
dalam suasana penuh keharuan. Saat itu, Jenderal Sudirman terlihat sangat
kurus dan lusuh. Dalam perundingan KMB pada Desember 1949. Belanda
kemudian mengakui kedaulatan Indonesia.

Pada tangal 29 Januari 1950, Sudirman meninggal dunia di Magelang, Jawa


Tengah, karena sakit yang dideritanya. Beliau dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kusuma Negara di S, Yogyakarta. Pada tahun 1997, Jenderal
Sudirman mendapat gelar sebagai Jenderal Besar Anumerta dengan pangkat
bintang lima. Pada tanggal 10 Desember 1964, ia juga ditetapkan juga sebagai
Pahlawan Nasional Indonesia.

You might also like