Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 6

FIQIH

DIBUAT OLEH :

M YOGA PANGESTU (11950314886)


SIF’C 19

PROGRAM STUDI SISTEM INFORMASI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF
KASIM RIAU
1. Pengertian kaedah fiqih

ِ َ‫ ْالق‬yang artinya adalah pondasi


Secara bahasa kaidah terambil dari bahasa Arab ُ‫اع َدة‬
atau dasar. Adapun secara istilah, kaidah fikih adalah sebuah hukum atau perkara universal
yang bisa untuk memahami beberapa hukum dan masalah yang masuk dalam cakupan
pembahasannya.

2. Lima kaedah besar fiqih dan penjelasannya

1. Amal perbuatan itu tergantung pada niatnya

Asal Kaidah

Lafadz kaidah ini di petikan dari sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang sangat masyhur dari Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu:

ْ ‫ َف َمنْ َكا َن‬،‫ َوِإ َّن َما لِ ُك ِّل امْ ِرٍئ َما َن َوى‬،ِ‫ِإ َّن َما اَأْلعْ َما ُل ِبال ِّنيَّات‬
َ ‫ت هِجْ َر ُت ُه ِإلَى ُد ْن َيا يُصِ ي ُب َها َأ ْو ِإلَى امْ َرَأ ٍة َي ْن ِك ُح َها َف ِهجْ َر ُت ُه ِإلَى َما َه‬
‫اج َر ِإلَ ْي ِه‬

“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang
itu tergantung terhadap apa yang diniatkannya. Maka barangsiapa yang hijranya untuk Allah
dan rasulNya, maka hijrahnya itu untuk Allah dan rasulNya. Dan barangsiapa yang hijrahnya
untuk mendapatkan dunia maka ia akan mendapatkannya atau hijrahnya untuk seorang
wanita maka ia akan menikahinya, maka hijrahnya itu tergantung pada apa yang dia hijrah
untuknya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Pengertian Niat

Secara bahasa niat adalah bentuk mashdar dari akar kata ‫ نَ َوى – يَ ْن ِوي‬yang maknanya
adalah bermaksud atau bertekad untuk melakukan sesuatu. Sedangkan secara istilah makna
niat adalah berkehendak untuk menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala dengan melakukan
atau meninggalkan sesuatu.

Tempat Niat

Tidak ada perselisihan di kalangan para ulama bahwa tempatnya niat adalah di dalam hati.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
“Tempat niat itu di hati bukan di lisan berdasarkan kesepakatan para ulama. Ini berlaku untuk
semua ibadah, baik itu thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, memerdekakan budak, jihad,
maupun yang lainnya.” (Majmu’ Rasa’il Kubra 1/243)

2. Sesuatu yang yakin tidak bisa hilang karena keraguan

Kedudukan Kaidah
Kaidah ini merupakan kaidah yang sangat agung di dalam syariat Islam, dan banyak
permasalahan fikih yang dilandasi oleh kaidah ini. Kaidah ini meng-cover banyak
permasalahan, mulai dari masalah ibadah, muamalah, hingga hal-hal yang berkaitan dengan
hukuman bagi para pelaku kriminal atau yang dikenal dalam dunia fikih dengan sebutan
hudud.

Imam Suyuthi berkata, “Kaidah ini dapat diterapkan di semua bab-bab fikih, dan
permasalahan fikih yang dicakup kaidah ini mencapai tiga perempat permasalahan” (Al-
Asybah wan Nazhoir, hal.51)

Imam Nawawi berkata, “Kaidah ini merupakan kaidah yang umum (mencakup banyak
permasalahan), dan tidak keluar dari kaidah ini kecuali beberapa permasalahan saja” (Al-
Majmu’ Syarah Al-Muhadzab juz.1 hal.258)

Kaidah ini juga menunjukkan kepada kita kesempurnaan agama Islam yang kita cintai ini.
Apabila kita menerapkan kaidah ini, maka kita akan semakin yakin bahwa Islam adalah
agama yang membawa rahmat bagi semesta alam, karena kita semua sadar bahwa kehidupan
kita tidak akan pernah terlepas dari kondisi yang disebut dengan keraguan.

Imam Ibnu Abdil Bar berkata, “Para ulama sepakat bahwa barang siapa yang yakin dia telah
berhadas kemudian dia ragu-ragu apakah telah berwudu atau belum, maka keraguannya ini
tidaklah berfungsi sama sekali dan dia tetap wajib untuk berwudu kembali. Hal ini
menunjukkan bahwa ragu itu tidak dianggap menurut ulama sebab yang menjadi ukuran
adalah sesuatu yang meyakinkan. Ini merupakan pokok yang sangat agung/esensial dalam
permasalahan fikih.” (At-Tamhid juz.5 hal.27)

Makna Kaidah

“Bahwa suatu perkara yang diyakini telah terjadi tidak bisa dihilangkan kecuali dengan dalil yang
pasti dan meyakinkan. Dengan kata lain, tidak bisa dihilangkan hanya dengan sebuah keraguan.
Demikian pula sebaliknya, suatu perkara yang diyakini belum terjadi maka tidak bisa dihukumi telah
terjadi kecuali dengan dalil yang meyakinkan pula.” (Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Al-Kubro oleh DR. Shalih
bin Ghanim As-Sadlan hal.101)

Salah satu dalil dari kaidah ini :

ِّ ‫ظنًّا ِإ َّن الظَّ َّن اَل يُ ْغنِي ِمنَ ْال َح‬


‫ق َش ْيًئا‬ َ ‫َو َما يَتَّبِ ُع َأ ْكثَ ُرهُ ْم ِإاَّل‬

Artinya: “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya
persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS. Yunus:
36)

3. kesulitan membawa kemudahan

Beberapa kesulitan yang menimbulkan kemudahan, diantaranya :

1. Sakit: ada keringanan untuk tidak puasa.


2. Safar: menyebabkan bolehnya mengqoshor shalat (mengerjakan shalat 4 raka’at menjadi 2
raka’at).

3. Naqsh (kekurangan): orang yang gila dan anak kecil ada keringanan dalam beberapa
hukum syari’at yang tidak diwajibkan bagi mereka; wanita haidh gugur dalam melaksanakan
shalat dan thowaf wada’.

4. Karena tidak tahu, dipaksa, keliru, maka dimaafkan.

Bukan menyusahkan diri

Perlu dipahami bahwa syari’at tidaklah memaksudkan kita bersusah-susah dalam ibadah. Jadi
janganlah kesusahan itu yang dicari. Kalau bisa mudah dilakukan, janganlah dipersulit.
Misalnya jika ada yang ingin berhaji dengan berjalan kaki dari negerinya, maka ini tidak
dituntut oleh syari’at karena ada sarana yang mudah yang bisa ditempuh.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pahala yang engkau peroleh sesuai kadar
kesusahanmu.” (Muttafaqun ‘alaih). Yang dimaksud di sini, kita harus mencari kepayahan
dalam beribadah. Yang mendapatkan pahala adalah kecapekan yang dihasilkan dari ibadah
yang tidak dicari-cari oleh hamba.

Syari’at dalam memberi kemudahan menempuh beberapa cara, di antaranya:

 Menggugurkan suatu yang wajib. Contoh: Gugurnya shalat bagi wanita haidh.
 Mengurangi suatu yang wajib. Contoh: Shalat bagi musafir dengan cara diqoshor.
 Mengganti wajib dengan yang lain. Contoh: Tayamum sebagai ganti dari wudhu.
 Mendahulukan yang wajib. Contoh: Mendahulukan zakat (sedekah wajib),
mendahulukan shalat Jama’ah.
 Mengakhirkan yang wajib. Contoh: Musafir mengqodho’ puasa setelah Ramadhan.

4. tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan

Kaidah yang mulia ini sesuai dengan lafadz sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Mâjah, dan
lainnya:

‫ار‬ ِ َ‫ض َر َر َوال‬


َ ‫ض َر‬ َ َ‫ال‬

Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri ataupun orang lain. [1]

Dari sini dapat kita ketahui bahwa dharar (melakukan sesuatu yang membahayakan) dilarang
di dalam syari’at ini. Maka, tidak halal bagi seorang Muslim mengerjakan sesuatu yang
membahayakan dirinya sendiri atau membahayakan saudaranya sesama Muslim, baik berupa
perkataan atau perbuatan, tanpa alasan yang benar. Dan semakin kuat larangan tersebut jika
dharar itu dilakukan kepada orang-orang yang wajib dipergauli secara ihsân, seperti karib
kerabat, isteri, tetangga, dan semisalnya.
Di antara penerapan kaidah ini adalah :

1. Seseorang dilarang menggunakan barang miliknya jika hal itu menimbulkan madharat
(gangguan atau bahaya) kepada tetangganya. Meskipun ia mempunyai hak milik secara
penuh terhadap barang tersebut, namun dalam pemanfaatannya haruslah diperhatikan supaya
tidak memadharatkan, mengganggu, ataupun merugikan tetangganya.

2. Tidak diperbolehkan mengadakan gangguan di jalan-jalan kaum Muslimin, di pasar-pasar


mereka, ataupun di tempat-tempat kaum Muslimin yang lain. Baik gangguan itu berupa kayu
atau batu yang menggangu perjalanan, atau lobang galian yang bisa membahayakan, atau
bentuk gangguan lainnya. Karena semuanya itu bisa menimbulkan madharat kepada kaum
Muslimin.

3. Di antara bentuk dharar yang paling besar adalah jika seorang suami menimbulkan
madharat kepada isterinya dan menjadikannya merasa susah, dengan tujuan supaya si isteri
minta diceraikan, sehingga si suami bisa mengambil harta dari si istri sebagai konsekuensi
permintaan cerainya. Ini termasuk perbuatan dharar yang paling besar.

5. sebuah adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran hukum

Kaidah al ‘adatu muhakkamah (ٌ‫) اَ ْل َعا َدةُ ُم َح َّك َمة‬. Yang artinya sebuah adat kebiasaan
masyarakat, bisa dijadikan sebagai sandaran hukum. Apabila suatu masyarakat menilai
sesuatu itu baik, sopan, maka itu bisa dijadikan sebagai sandaran hukum selama tidak
bertentangan dengan syariat. Apabila suatu masyarakat memandang bahwa tingkah laku
tertentu tidak pantas dilakukan oleh seseorang, maka hal itu bisa dijadikan sebagai standar
bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan yang tidak baik. Apabila suatu masyarakat
memaknai suatu kata memiliki makan yang tidak baik, maka itu bisa dijadikan sebagai
standar bahwa kata-kata itu merupakan kata-kata yang tidak baik menurut Islam. Dan begitu
seterusnya.

Hal ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang memperhatikan adat kebiasaan
masyarakat. Islam adalah agama yang mengakomodir kebiasaan masyarakat. Maka dari itu
sebenarnya Islam tidaklah memerangi adat kebiasaan masyarakat. Justru Islam menjadikan
adat sebagai standar hukum selama adat tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Dari dahulu Islam bisa masuk ke masyarakat apapun. Sehingga kita tidak perlu
menyematkaan istilah kedaerahan kepada Islam. Misalnya Islam Arab, Islam Jawa, Islam
Nusantara, Islam Melayu, Islam Australian, Islam Eropa, ataupun yang lainnya. Ini tidak
perlu. Karena sejak awal Islam memperhatikan adat kebiasaan masyarakat. Dan sejak awal
Islam mengakomodir adat istiadat sebuah masyarakat selama adat istiadat tersebut tidak
bertentangan dengan nilai-nilai keislaman.

Kaidah ini juga menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah
manusia. Maka dari itu Islam tidak akan bertentangan dengan adat kebiasaan yang baik.
Karena Islam dijadikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebagai agama yang sesuai dengan
fitrah. Bahkan dalam sebuah ayat dalam surat Ar-Ruum disebutkan bahwa Islam adalah
fitrahnya Allah subhanahu wa ta’ala yang Allah jadikan fitrah tersebut sebagai sifat dasar
manusia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

َ‫اس اَل يَ ْعلَ ُمون‬ َ ِ‫ق اللَّـ ِه ۚ ٰ َذل‬


ِ َّ‫ك الدِّينُ ْالقَيِّ ُم َولَ ٰـ ِك َّن َأ ْكثَ َر الن‬ ِ ‫يل لِ َخ ْل‬ ْ ِ‫ك لِلدِّي ِن َحنِيفًا ۚ ف‬
َ َّ‫ط َرتَ اللَّـ ِه الَّتِي فَطَ َر الن‬
َ ‫اس َعلَ ْيهَا ۚ اَل تَ ْب ِد‬ َ َ‫فََأقِ ْم َوجْ ه‬
٣٠﴿﴾
Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada
fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,” (QS.
Ar-Rum[30]: 30)

Referensi :
3. Kesulitan membawa kemudahan

Al Qowa’idul Fiqhiyah, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Darul Haromain,
tahun 1420 H.

Syarh Al Manzhumatus Sa’diyah fil Qowa’id Al Fiqhiyyah, Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir bin
‘Abdul ‘Aziz Asy Syatsri, terbitan Dar Kanuz Isybiliya, cetakan kedua, 1426 H.

4. Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan

Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-
Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II,
Tahun 1422 H – 2001 M.

You might also like