Professional Documents
Culture Documents
KAEDAH FIQIH-Revisi
KAEDAH FIQIH-Revisi
Jawab:
Istilah kaidah-kaidah fiqh adalah terjemahan dari bahasa arab al-qawa‟id al-fiqhiyah.
Al-qawa‟id merupakan bentuk plural (jamak) dari kata al-qa‟idah yang secara kebahasaan
berarti dasar, aturan atau patokan umum. Pengertian ini sejalan dengan Al-Ashfihani yang
mengatakan bahwa qa`idah secara kebahasaan berarti fondasi atau dasar (al-Ashfihani, 1961:
409). Kata alqawa`id dalam Al-Qur`an ditemukan dalam surat al-Baqarah ayat 127 dan surat an-
Nahl ayat 26 juga berarti tiang, dasar atau fondasi, yang menopang suatu bangunan.
Sedangkan kata al-fiqhiyah berasal dari kata al-fiqh yang berarti paham atau pemahaman
yang mendalam (al-fahmal-„amiq) yang dibubuhi ya‟ an-nisbah untuk menunjukan penjenisan
atau pembangsaan atau pengkategorian. Dengan demikian, secara kebahasaan, kaidah-kaidah
fiqh adalah dasar-dasar, aturan-aturan atau patokan-patokan yang bersifat umum
mengenai jenis-jenis atau masalah-masalah yang masuk dalam kategori fiqh.
Secara kemaknaan (istilah ulama ushul al-fiqh) kaidah-kaidah fiqih dirumuskan dengan
redaksi-redaksi yang berbeda. Sebagai sampel, dikemukakan beberapa rumusan ahli hukum
Islam, sebagai berikut :
Pertama, menurut at-Taftazani, kaidah adalah hukum yang bersifat
umum (kulli) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya (juz`i) dimana hukum yang juz`i itu
menjadi bagian dari hukum yang umum atau kulli (Ali Shabah, 1967. 1: 20).
Kedua, an-Nadwi mengutip at-Tahanawi mengatakan bahwa kaidah adalah sesuatu yang
bersifat umum mencakup seluruh bagian-bagiannya, manakala huku dari bagian-bagian
sebelumnya itu telah diketahui (an-Nadwi, 1986: 40).
Ketiga, menurut as-Subki (t.t, 2: 10) kaidah-kaidah fiqih adalah suatu perkara hukum
yang bersifat kulli (umum) bersesuaian dengan partikular-partikular (hukum-hukum cabang)
yang
banyak, yang darinya (dari hukum-hukum kulli) diketahui hukum-hukum masing-masing
partikular atau hukum cabang tersebut.
Keempat, menurut az-Zarqa yang dikutip oleh A.Rahman (1976:10), kaidah fiqih adalah
dasar-dasar fiqih yang bersifat kulli, dalam bentuk teks-teks perundang undangan ringkas,
mencakup hukum-hukum syara‟ yang umum pada peristiwa-peristiwa yang termasuk di bawah
tema-nya (maudu‟nya).
ض ل ِن
َّ ص ُج م
َ ْم َر
Artinya: “Hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian.” (as
Suyuthi.t.t:93)
B. 5 kaidah-kaidah fiqih
Kaidah fiqih secara umum disusun dengan sistematika sebagai berikut: Pertama, kaidah-
kaidah fiqh induk (al-qawaid al-asasiyah). Disebut induk, karena banyak kaidah-kaidah cabang
yang dapat dikembalikan atau diproyeksikan kepadanya. Kedua, kaidah-kaidah fiqih cabang
yang disepakati oleh mayoritas ulama. Ketiga, kaidah-kaidah fiqh cabang yang diperselisihkan
oleh para ulama.
1. Kaidah pertama
Artinya: “Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung dengan yang telah diniatkan.
Bagi setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang diniatkannya. Karena itu barangsiapa
yang hijrahnya kepada Allah dan Rasulnya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasulnya. Barang
siapa yang hijrahnya karena dunia, yang akan didapatkannya atau karena perempuan yang
akan dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhori dari
„Umar Ibn Khattab).
Kandungan kaidah pertama
a. Tujuan niat
Tujuan niat dan fungsi itu untuk membedakan antara perbuatan ibadat dari perbuatan adat
daan untuk penentuan spesifikasi atau kekhususan antara mand dan wudhu untuk shalat
dengan mandi dan mencuci anggota badan untuk kebersihan biasa.
b. Bidang ibadah dan bidang muamalah
Dalam bidang iabdah umpammanya, bersuci, berwudhu, mandi, tayamum, shalat. Dalam
bidang muamalah
2. Kaidah Kedua
Perlu dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan al-yaqin (yakin) dalam kaidah di atas
adalah: Sesuatu yang pasti, berdasarkan pemikiran mendalam atau berdasarkan dalil. Sedangkan
yang dimaksud dengan asy-syakk (ragu): Sesuatu yang keadaannya belum pasti (mutaraddid),
antara kemungkinan adanya dan tidak adanya, sulit dipastikan mana yang lebih kuat dari salah
satu kedua kemungkinan tersebut.
“Apabila salah seorang di antara kamu ragu-ragu dalam shalatnya, ia tidak ingat
apakah sudah shalat tiga rakaat atau empat rakaat, maka singkirkanlah keragu-raguan dan
dasarilah sesuai yang diyakini.” (HR. Muslim)
Hadits ini menjelaskan tentang seorang yang semula dalam keadaan berwudu‟ lalu ia
ragu apakah telah mengeluarkan angin atau belum, maka dalam hal ini ia harus dianggap masih
keadaan berwudu‟. Sebab, keadaan berwudu‟ inilah yang sejak semula sudahmenjadi keyakinan
(al-yaqin) sedangkan keraguan (asy-syakk) baru muncul kemudian. Keyakinan yang ada itu tidak
dapat dihapus dengan keraguan.
3. Kaidah Ketiga
Kaidah ini diambil dari ayat Al-Qur‟an dan hadits Rasul Allah Saw.
Para ulama menerangkan, bahwa dari kaedah di atas keluar segala bentuk rukhshah atau
keringanan. Di antaranya:
Ketika safar, seseorang boleh mengqashar (mengurangi jumlah rakaat dari 4 menjadi 2),
boleh berbuka, boleh mengusap khuff lebih dari sehari-semalam, dsb.
Ketika sakit, boleh shalat sambil duduk atau berbaring ketika tidak sanggup berdiri, boleh
tayammum ketika berbahaya menggunakan air, boleh berbuka puasa, dsb.
Ketika lupa, bebas dari dosa karena lupa, seperti makan pada waktu puasa Ramadhan,
atau salam sebelum selesai shalat, kemudian berbicara dengan sengaja karena mengira shalatnya
telah selesai, maka dia tidak batal shalatnya.
Ketika terpaksa (darurat), seseorang boleh memakan makanan yang diharamkan agar
dirinya tidak binasa.
Ketika jahil (tidak tahu), seperti berbicara ketika shalat karena tidak tahu hukumnya,
maka shalatnya tidak batal.
Ketika sulit atau umumulbalwa (keadaan yang sulit dihindari), seperti shalat dengan
terkena najis yang sulit dihindari, adanya kotoran burung yang tersebar di masjid, dsb.
4. Kaidah Keempat
ِ ض َر َر َواَل
»ض َرا َر َ «اَل
Artinya: “Tidak boleh membuat kemudharatan dan membalas kemudharatan”. (HR.
Ibnu Majah, dan dinyatakan shahihlighairih oleh Syaikh Al Albani)
Contohnya :
Dalam masalah jinayat, Islam menetapkan qishas (membalas serupa). Juga ditetapkan
hukuman hudud agar tidak terulang lagi perbuatan berbahaya yang dilakukan, adanya kaffarat,
mengganti rugi kerusakan, mengangkat para penguasa untuk menumpas para pengacau
keamanan dan menindak para pelaku kriminalitas, dsb.
5. Kaidah Kelima
Maksud kaidah ini adalah bahwa adat dapat menjadi rujukan hukum dalam beberapa
keadaan.
Berdasarkan definisi di atas, adat merupakan perkara yang berulang-ulang dikerjakan oleh
manusia, sehingga melekat pada jiwa, diterima dan dibenarkan oleh akal dan tabiat yang masih
sehat. Adat menjadi hujjah adalah ketika bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syariat.
Oleh karena itu, tidak termasuk adat sama sekali hal-hal yang membawa kepada kerusakan,
kemaksiatan, dan tidak ada faedahnya sama sekali, seperti muamalah secara riba, berjudi,
menyabung ayam, dan sebagainya meskipun perbuatan-perbuatan itu menjadi kebiasaan dan
bahkan mungkin sudah tidak dirasakan lagi keburukannya.
Artinya: “Semua yang datang dari syara secara mutlak, tidak ada ketentuannya dalam
agama maupun bahasa, maka dikembalikan kepada uruf (adat yang berlaku).”