Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 127

KONSEP PENDIDIKAN PEREMPUAN MENURUT

RADEN DEWI SARTIKA

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Gelar Sarjana Strata 1 (S.Pd.I)
Program Studi Pendidikan Agama Islam

LINA ZAKIAH
NIM: 107011001073

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
ABSTRAK

Barangkali tidak banyak orang tahu bahwa di Bandung telah lahir sosok
tokoh pendidikan yang memiliki concern terhadap perkembangan kaum
perempuan. Tepatnya pada tahun 1904, telah berdiri sebuah lembaga pendidikan
yang khusus diperuntukkan bagi kaum perempuan. Sekolah ini bernama Sakola
Kautamaan Istri yang didirikan oleh Raden Dewi Sartika. Latar belakang
didirikannya sekolah ini adalah oleh suatu kondisi dimana kaum perempuan
seringkali memperoleh perlakuan diskriminatif dalam memperoleh pendidikan.
Bertolak dari hal tersebut, maka dilakukan penelitian yang mengangkat tokoh
pendidikan perempuan di Bandung dalam upayanya memajukan kaum perempuan
melalui pendidikan.
Penelitian ini bertujuan untuk lebih mengenal sosok Pahlawan Nasional
asal Jawa Barat, Raden Dewi Sartika yang concern pada pemberdayaan kaum
perempuan melalui pendidikan. Penelitian ini merupakan penelitian ekplorasi.
Penelitian ini dilakukan untuk melakukan pengujian yang didasarkan atas
pengalaman-pengalaman masa lampau. Oleh karena obyek penelitian ini
difokuskan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan dunia sejarah
pendidikan, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan sejarah
pendidikan.
Adapun data-data yang dijadikan rujukan diperoleh melalui sumber buku,
makalah, dan karangan-karangan Raden Dewi Sartika yang diperoleh dari
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Umum Fakultas Sastra
Universitas Padjajaran Bandung, Perpustakaan Daerah Bandung, dan
Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta khusus makalah-makalah,
penulis dapatkan dari Yayasan Dewi Sartika di Bandung.
Setelah melakukan penelitian, diketahui bahwa Raden Dewi Sartika
adalah seorang pemikir dan aktifis perempuan Sunda yang lahir dari keluarga
menak dan memiliki cita-cita tinggi untuk memajukan bangsa dengan cara
memajukan kaum perempuannya melalui pendidikan. Karena hanya dengan
pendidikanlah seorang perempuan akan memiliki banyak pengetahuan dan
keterampilan yang akan berguna bagi dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa, dan
negara.
Gagasannya itu, ia tuangkan dengan mendirikan Sakola Kautamaan Istri
yang khusus diperuntukkan untuk kaum perempuan. Sakola Kautamaan Istri
adalah ujung dari satu idealisme atau ujung dari cita-cita bangsa yang merupakan
hasil kerja keras dalam upaya untuk meningkatkan derajat kaum perempuan,
khususnya perempuan Sunda, dan pada umumnya perempuan Indonesia.
Implementasi konsep itu sendiri tertuang dalam kurikulum yang
diterapkan pada Sakola Kautamaan Istri diantaranya dengan memfokuskan materi
pelajaran pada keterampilan perempuan sebagai salah satu upaya pemberdayaan
kaum perempuan dengan pendidikan.

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT yang telah melimpahkan
curahan Rahmat dan pertolongan-Nya yang tak terhingga serta petunjuk yang
memberikan jalan bagi penulis, sehingga dapat dengan mudah menyelesaikan
tulisan yang sulit ini, dengan judul “Konsep Pendidikan Perempuan menurut
Raden Dewi Sartika”.
Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW yang mengubah dunia kegelapan menjadi terang benderang dan
menuntun segenap manusia menuju jalan kebenaran dan kebahagiaan di dunia dan
akhirat. Juga kepada seluruh keluarga dan sahabat-sahabatnya yang selalu
membantu perjuangan dalam menegakkan Agama Islam di muka bumi ini.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengalami berbagai kesulitan di saat
menyusun tentang konsep pendidikan yang dicetuskan oleh Raden Dewi Sartika
untuk memajukan bangsa terutama kaum perempuannya. Oleh karena itu, apa
yang penulis sampaikan dalam skripsi ini masih jauh dari sempurna. Namun,
meskipun begitu, penulis berharap, skripsi ini dapat menjadi sumbangsih
tersendiri yang melengkapi pustaka tentang riwayat hidup dan gagasan Raden
Dewi Sartika dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan dalam
memperoleh pendidikan. Sehingga dapat bermanfaat, dan memberi inspirasi bagi
penerus bangsa agar berbuat dan berkarya yang lebih dari yang telah dilakukan
oleh Raden Dewi Sartika.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa proses penulisan skripsi ini tidak
akan terwujud tanpa bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, dengan kesadaran hati penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

ii
2. Ibu Hj. Nurlena Rifa’i, MA, Ph.D, Pembantu Dekan bidang Akademik
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, sekaligus dosen Seminar Proposal Skripsi yang
selalu memberikan bimbingan dan masukan dalam memilih judul skripsi
ini serta secara pribadi selalu memberikan motivasi kepada penulis.
3. Bapak Bahrissalim, M.Ag, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Beliau senantiasa memberikan yang terbaik untuk
seluruh mahasiswa Pendidikan Agama Islam.
4. Bapak Drs. Sapiudin Shidiq, M.Ag, Sekretaris Jurusan Pendidikan
Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Atas segala motivasi yang diberikan
kepada penulis.
5. Ibu Hj. Dra. Eri Rossatria, MA, Dosen Pembimbing Skripsi. Berkat jasa
beliau, yang telah ikhlas meluangkan waktu untuk membantu,
membimbing, dan mengarahkan penulis demi terselesainya skripsi ini.
6. Bapak Dr. Anshari, LAL, MA, Dosen Penasehat Akademik. Atas segala
nasehat-nasehatnya serta bimbingan dan bantuan dalam masalah yang
dihadapi oleh penulis.
7. Ibu Eva Fitria, MA, Dosen sekaligus saudara penulis. Yang memberikan
inspirasi dan selalu memberikan masukan dalam menguraikan gagasan
Raden Dewi Sartika, serta memberikan arahan kemana penulis harus
mencari sumber buku.
8. Bapak Drs. Moh. Ziyad, MA dan Bapak Samsul Aripin, MA. Yang selalu
meluangkan waktu untuk memberikan saran dan kritik, dikala penulis
butuh masukan dalam penulisan skripsi ini.
9. Rasa hormat dan terima kasih kepada kedua orangtuaku, Drs. Dandan
Nasjir dan Siti Sa’adah atas segala do’a dan cinta kasih sayangnya yang
senantiasa menyertai penulis. Serta kakak-kakakku Syarif Hidayat, S.Ag,
Lilis Latifah, S.Pd.I, Nanan Amin Iskandar, A.Ma, Irma Rismayanti,
S.Pd, Deni Abdul Kholik, S.Pd.I, dan adikku satu-satunya Dede Khotibul

iii
Umam. Semangat dan senyum kalian adalah motivasi berharga yang
tidak penulis dapatkan dari orang lain.
10. Hadi Assyihabi. Atas segala bantuan, dorongan dan semangat dalam
membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Mudah-mudahan kita
benar-benar dipertemukan di Jabal Rahmat-Nya. Amin.
11. Bapak Prof. Dr. H. Moh. Mastna, HS, MA dan Ibu Mastna. Selaku Bapak
dan Ibu kos. Terima kasih atas semangat, dorongan, nasehat dan do’anya
kepada penulis. Serta temen-temen kos Rhoudlotul Hikmah, Mala
Allifni, Husni Amalia, Mega Ziadatun Ni’mah, Bias Rembulan Semesta
dan Rezki Meida Sari yang tak pernah henti-hentinya memberikan
semangat kepada penulis.
12. Dan sahabat-sahabat saya, Dini Puspita Mulyani, Wulandari, dan Titin
Rostina. Atas bantuannya mencari sumber buku ke UNPAD Bandung
dan Perpustakaan Daerah Bandung, serta menunjukan jalan ke Sekolah
Dewi Sartika. Tanpa kalian, penulis tidak akan mendapatkan data yang
penting untuk melengkapi bahan dalam skripsi ini.
13. Teh Nurchasanah, Teh Eka, Anisah Isu, dan Fadhila Putri. Atas semangat
yang tak pernah henti-hentiya diberikan kepada penulis. Yang selalu
memberikan masukan dan diskusi-diskusi, serta saran dan kritik sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
14. Semua pihak yang telah ikut berjasa dalam penyusunan skripsi ini, yang
tak mungkin disebutkan satu persatu.
Kepada semua pihak tersebut, semoga amal baik yang telah diberikan
dapat diterima oleh Allah SWT, dan mendapat limpahan Rahmat-Nya, Amin.

Jakarta, 12 Sepetember 2011

Penulis

iv
DAFTAR ISI

ABSTRAK ......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ....................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................. vii

BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ....................................................... 6
C. Pembatasan Masalah ...................................................... 6
D. Perumusan Masalah ........................................................ 6
E. Tujuan Penelitian ............................................................ 6
F. Manfaat Penelitian .......................................................... 7
G. Metodologi Penelitian ..................................................... 7
H. Penelitian Yang Relevan ................................................. 9
BAB II PENDIDIKAN PEREMPUAN
A. Pendidikan ...................................................................... 11
1. Pengertian Pendidikan ................................................ 11
2. Unsur-unsur Pendidikan ............................................. 13
a. Pendidik ................................................................ 13
b. Peserta didik .......................................................... 16
c. Kurikulum ............................................................. 19
d. Proses Belajar Mengajar ........................................ 22
e. Metode Pembelajaran ............................................ 24
B. Perempuan ...................................................................... 26
1. Pengertian dan Karakteristik Perempuan .................... 26
2. Kedudukan Perempuan .............................................. 29
3. Tugas Perempuan ....................................................... 31
4. Peran Perempuan ....................................................... 34

v
C. Pendidikan Perempuan ................................................... 36
1. Kebutuhan Perempuan terhadap Pendidikan ............... 36
2. Pemikiran Pendidikan Perempuan di Indonesia .......... 39
a. R.A.Kartini ............................................................ 39
b. Rahmah El Yunisiah .............................................. 41
c. Rohana Kudus ....................................................... 43
d. Rasuna Said ........................................................... 44
e. Raden Ayu Lasminingrat ....................................... 45
3. Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat ...................... 46
BAB III RIWAYAT HIDUP RADEN DEWI SARTIKA
A. Latar Belakang Keluarga ................................................ 52
B. Latar Belakang Pendidikan ............................................. 56
C. Karya-karya .................................................................... 57
BAB IV KONSEP PENDIDIKAN PEREMPUAN MENURUT RADEN
DEWI SARTIKA
A. Latar Belakang Berdirinya Sakola Kautamaan Istri ......... 58
B. Berdirinya Sakola Kautamaan Istri ................................. 62
C. Sistem Pendidikan di Sakola Kautamaan Istri ................. 65
1. Guru .......................................................................... 65
2. Murid ......................................................................... 67
3. Kurikulum ................................................................. 68
4. Proses Belajar Mengajar ............................................ 72
5. Metode Pembelajaran ................................................. 75
D. Konsep Pendidikan Perempuan Menurut
Raden Dewi Sartika ........................................................ 77
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................... 87
B. Saran .............................................................................. 88

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

vi
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Materi Pelajaran Sakola Kautamaan Istri ................................... 69


Tabel 2 Prosentase Materi Pelajaran Sakola Kautamaan Istri .................. 72
Tabel 3 Metode Pembelajaran yang Digunakan
pada Materi Pelajaran Sakola Kautamaan Istri ........................... 75

vii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pada masa Pemerintah Hindia Belanda, pendidikan di Indonesia
bertujuan untuk menjadikan warga negara yang mengabdi pada kepentingan
penjajah. Dengan kata lain, pendidikan dimaksudkan untuk mencetak tenaga-
tenaga yang dapat digunakan sebagai alat untuk memperkuat kedudukan penjajah.
Oleh karena itu, isi pendidikan pun hanya sekedar pengetahuan dan kecakapan
yang dapat membantu mempertahankan kekuasaan politik dan ekonomi penjajah. 1
Barulah awal abad ke-20, sifat pendidikan itu berangsung-angsur
berubah. Hal tersebut antara lain sebagai akibat lahirnya Politik Etis (Ethische
Politick). Politik Etis merupakan garis politik kolonial baru, yang pertama
diucapkan secara resmi oleh Van Dedem sebagai anggota Parlemen Belanda.
Dalam pidatonya tahun 1891, dikemukakan adanya keharusan untuk memisahkan
keuangan Indonesia dari negeri Belanda. Selain itu, diperjuangkan pula kemajuan
dan kesejahtaraan rakyat serta ekspansi menuju pada politik yang konstruktif.
Perjuangan politik kolonial yang progresif itu kemudian diteruskan oleh Van Kol,
Van Deventer dan Brooschoot.2

1
I.L. Pasaribu dan B. Simandjuntak, Pendidikan Nasional, Tinjauan Paedagogik Teoritis,
(Bandung: Tarsito, 1978), h. 53 dalam Edi S. Ekajati dkk, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa
Barat, (Jakarta: Pialamas, 1998), edisi ke-2, h. 69
2
Edi S. Ekajati, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, ..., edisi ke-2, h. 69-70

1
2

Timbulnya elit baru ini ialah sebagai akibat dari perubahan dalam politik
penjajahan Belanda. Kebijaksanaan baru ini dimulai terutama karena pengaruh
beberapa orang Belanda yang menunjukkan adanya “eereschuld” (hutang budi)
negeri Belanda terhadap jajahannya yang telah sekian lama memberi keuntungan
berlimpah-limpah yang diperoleh dari tanam paksa. 3 Menurut Van Deventer,
utang itu bisa dibayar lewat program yang dikenal dengan sebutan “Trias Etika”
yaitu, “pendidikan, pengairan, dan transmigrasi”. Lebih jauh, Van Deventer
menilai, sikap politik yang tidak berpihak pada rakyat Jawa atau Hindia-Belanda,
merupakan strategi yang tidak menguntungkan Belanda sendiri, dalam kaitannya
dengan sistem desentralisasi administrasi politik yang direncanakan. Karena
sistem desentralisasi tidak mungkin berhasil tanpa bantuan golongan pegawai
Bumiputra dan masyarakat terpelajar Bumiputra lainnya. 4
Akibat dari desentralisasi politik tersebut ialah pemerintah Hindia
Belanda memerlukan banyak pegawai pribumi yang terdidik baik untuk lembaga
pemerintahan maupun swasta, sehingga didirikanlah sekolah-sekolah sebagai
tempat dalam mencetak tenaga ahli yang terdidik dari pribumi. 5
Namun, sesuai dengan keperluannya, tujuan didirikan sekolah adalah
agar dapat mencetak tenaga kerja yang terdidik untuk kepentingan pemerintah
Hindia Belanda, sehingga yang boleh masuk ke sekolah tersebut hanyalah anak-
anak dari keturunan terhormat, bangsawan, atau anak pejabat. Sedangkan anak-
anak dari seorang petani, pedagang, buruh dan rakyat biasa lainnya tidak
diperkenankan untuk masuk sekolah tersebut, karena mereka tidak mungkin
memiliki kemampuan seperti anak-anak bangsawan.
Terlebih lagi, pendidikan untuk kaum perempuan dirasa tidak perlu dan
tidak memberikan manfaat. Karena meskipun bersekolah, anak perempuan pada
akhirnya tidak akan bekerja, mereka hanya akan menjadi ibu rumah tangga yang

3
Sukanti Suryochondro, Potret Pergerakan Wanita di Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1984),
cet ke-1, h. 70-71
4
Dri Arbaningsih, Kartini dari Sisi Lain Melacak Pemikiran Kartini tentang Emansipasi
“Bangsa”, (Jakarta: Kompas, 2005), h. 78-79
5
Akira Nagazumi, The Dawn of Indonesian Nationalism, (Tokyo: Institute of Developing
Economics, 1972), h. 18 dalam Sukanti Suryochondro, Potret Pergerakan Wanita di Indonesia, ...,
cet ke-1, h. 72
3

hanya bertugas melayani suami, sehingga pendidikannya akan dirasa sia-sia.


Apalagi bagi orangtua dari golongan miskin, jika mempunyai uang mereka lebih
senang menyekolahkan anak laki-lakinya daripada menyekolahkan anak
perempuan. 6
Selain itu juga, pada saat itu terdapat perbedaan pendidikan antara
golongan menak dan golongan rakyat biasa. N. Dwidjo Sewojo Instruktur dari
Sekolah Pendidikan Guru di Yogyakarta membagi masyarakat Jawa menjadi
empat kelas, dan ia pun memberikan status kepada perempuan-perempuan dari
empat kelas tersebut:
1. Golongan miskin. Para perempuan di kelas sosial ini tidak mendapatkan
pendidikan. Mereka belajar melakukan pekerjaan di sawah dan menjual
hasilnya. Terkadang mereka juga belajar menjahit. Hidup mereka sangat
keras, tetapi mereka cukup bebas. Sewojo tidak menyebutkan pada usia
berapa mereka biasanya menikah.
2. Golongan menengah (cukup mampu). Para perempuan di kelas sosial ini
tidak bersekolah dan mereka pun belajar melakukan pekerjaan-pekerjaan
rumah. Mereka biasanya menikah pada usia 12 sampai 15 tahun. Setelah
menikah, mereka membantu suaminya di sawah atau berdagang; mereka
diperlakukan dengan baik oleh suaminya karena mereka sebenarnya
dapat menafkahi kehidupannya sendiri.
3. Golongan santri. Para perempuan di kelas sosial ini tidak bersekolah,
tetapi mereka mendapat pelajaran agama di rumah. Mereka biasanya
mulai menikah sejak usia lima belas tahun. Mereka begitu dihargai para
suaminya karena secara umum mereka memiliki kemampuan yang lebih
dibanding para perempuan di golongan sebelumnya.
4. Golongan priyayi, para bangsawan. Beberapa dari mereka belajar di
bangku sekolah dasar. Sejak usia dua belas tahun, mereka dipingit dan
hanya melakukan sedikit pekerjaan karena telah memiliki banyak
pembantu. Setelah memasuki usia lima belas atau enam belas tahun dan

6
Meidiana F, Dewi Sartika, (Jakarta: Bee Media Indonesia, 2010), h. 8
4

akhirnya menikah, mereka kembali melanjutkan kehidupan mereka yang


terkekang dan tanpa kesibukan.7
Meskipun kehidupan para perempuan dari kelas sosial yang lebih rendah
terlihat begitu bebas dan keras, pernikahan dini yang terjadi dikelas sosial ini
sama sering dengan yang terjadi di kelas sosial yang tinggi.
Hal ini dibenarkan oleh seorang Bupati Serang di awal 1900, Achmad
Djajadiningrat. Menurutnya, pernikahan dini dilakukan untuk mencegah seorang
perempuan agar tidak menikahi seseorang karena dorongan hatinya belaka, bukan
karena logika. Ketika perempuan itu masih anak-anak, tentu saja mereka belum
memiliki perasaan cinta terhadap seorang lelaki. Namun, bila mereka telah
dewasa, rencana pernikahan dini ini akan sulit karena biasanya si perempuan telah
memiliki lelaki pilihan yang ternyata tidak sesuai dengan keinginan orang tuanya. 8
Keadaan sosial tersebut menjadikan kaum perempuan tidak mendapatkan
kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang layak seperti halnya laki-laki,
kecuali anak perempuan dari golongan menak atau bangsawan. Sehingga kaum
perempuan tidak mampu hidup mandiri, karena mereka tidak mendapatkan ilmu
pengetahuan dan keterampilan-keterampilan, yang pada akhirnya mereka hanya
mengandalkan kaum pria, dan mereka tidak bisa berbuat apa-apa untuk
melanjutkan kehidupannya lagi jika ditinggalkan oleh kaum pria.
Kondisi masyarakat yang masih terpengaruh feodalisme dan pandangan
tradisional banyak merugikan rakyat biasa, juga di bidang pendidikan. Sehingga
sebagian besar dari mereka masih tetap hidup dalam kebodohan. Dalam keadaan
demikian, tampil seorang tokoh dari kalangan menak yaitu Raden Dewi Sartika,
yang tergerak pikirannya untuk menyebarkan pendidikan di kalangan rakyat
banyak, terutama untuk kaum perempuan. Raden Dewi Sartika mempunyai
pandangan bahwa perempuan harus hidup terhormat dan sejajar dengan laki-laki,

7
Onderzoek naar de mindere welvaart der inlandsche bevolking op Java en Madoera,
(penyelidikan tentang menurunnya kesejahteraan masyarakat Jawa dan Madura), dalam, Cora
Vreede-De Steurs, The Indonesian Women: Struggles And Achievement, 1960, Mouton&Co,
s’Gravenhage, Terj Elvira Rosa dkk, Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan dan Pencapaian,
(Depok: Komunitas Bambu, 2008), h. 63-64
8
Ahmad Djajadiningrat, Herinneringen (Memoar), 1936, h. 146 dalam Elvira Rosa dkk,
Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan dan Pencapaian, ..., h. 64
5

tanpa melupakan kodratnya sebagai perempuan. Kaum perempuan harus


mengecap pendidikan dan keterampilan untuk bisa hidup dalam kehidupan
bermasyarakat, tanpa harus bergantung kepada kaum pria. Sehingga ia mampu
berperan aktif untuk memajukan bangsa yang beradab.
Maka dari itu, dengan bantuan Bupati Bandung, R.A.A. Martanegara,
akhirnya Raden Dewi Sartika dapat mewujudkan cita-citanya dengan mendirikan
sekolah yang khusus diperuntukkan bagi kaum perempuan. Setelah Raden Dewi
Sartika mendirikan Sakola Istri pada tahun 1904, anak-anak gadis dari golongan
biasa bisa mendapatkan pendidikan. Di sekolah gadis pertama di Indonesia ini
diajarkan dasar-dasar berhitung, menulis, membaca, memasak, mencuci,
menyetrika, pengetahuan agama, membatik dan lain sebagainya. Selama tujuh
tahun sekolah ini mengalami perkembangan yang pesat. Cabang-cabang sekolah
dibuka antara lain di Bogor, Serang, Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang, Cianjur,
dan Sukabumi. Pada tahun 1910 sekolah ini berubah nama menjadi “Sakola
Kautamaan Istri”.9
Munculnya tokoh pendidikan kaum perempuan, Raden Dewi Sartika,
telah menunjukan kiprah dan peran kaum perempuan Indonesia, tidak kalah
penting dan sangat strategis fungsinya dalam memacu dan mendorong segala
potensi dan kemampuan yang dimiliki agar menjadi sumbangsih yang lebih
bermanfaat bagi diri pribadi maupun orang lain.
Bertolak dari permasalahan tersebut di atas, perlu kiranya dilakukan
penelitian yang lebih mendalam mengenai eksistensi dan konsep pendidikan bagi
kaum perempuan. Adapun tokoh yang akan menjadi obyek penelitian kali ini
adalah Raden Dewi Sartika, seorang tokoh perempuan pertama di Indonesia dalam
memperjuangkan hak-hak perempuan dalam bidang pendidikan. Sehubungan
dengan itu, penulis merasa tertarik untuk menulis studi tentang “Konsep
Pendidikan Perempuan Menurut Raden Dewi Sartika”.

9
Nina Herlina Lubis, Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942, (Bandung: Pusat
Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran, 2006),
cet ke-1, h. 218
6

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat
diidentifikasi beberapa masalah yang akan dimunculkan, diantaranya:
1. Kurangnya perhatian masyarakat terhadap pendidikan bagi kaum
perempuan.
2. Kurangnya kesempatan bagi anak perempuan dalam mengenyam
pendidikan.
3. Kurangnya kesadaran orang tua dalam menyekolahkan anak perempuan.
4. Kondisi awal pendidikan perempuan di Bandung sebelum Raden Dewi
Sartika mendirikan Sakola Kautamaan Istri.
5. Faktor didirikannya Sakola Kautamaan Istri.
6. Sistem pendidikan yang diterapkan oleh Raden Dewi Sartika di Sakola
Kautamaan Istri.
7. Konsep pendidikan perempuan menurut Raden Dewi Sartika.

C. Pembatasan Masalah
Dari identifikasi masalah di atas, berdasarkan keterbatasan yang dimiliki
penulis, maka penulis membatasi masalah yang akan diteliti hanya pada “Konsep
Pendidikan Perempuan menurut Raden Dewi Sartika”.

D. Perumusan Masalah
Berdasarkan pada pembatasan masalah yang dikemukaan di atas, maka
perumusan masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimana konsep pendidikan
perempuan menurut Raden Dewi Sartika.?

E. Tujuan Penelitian
Tujuan penulis dalam melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui
konsep pendidikan perempuan menurut Raden Dewi Sartika.
7

F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat dari penelitian ini adalah agar dapat memberikan informasi
kepada sivitas akademik pada khususnya, dan masyarakat luas pada
umumnya tentang kiprah Raden Dewi Sartika dalam mengemukakan
gagasannya tentang konsep pendidikan bagi kaum perempuan dan dapat
mengembangkan gagasan-gagasannya serta diharapkan dapat berbuat lebih
dari apa yang telah diperbuat oleh Raden Dewi Sartika.
2. Diharapkan masyarakat Jawa Barat, dan masyarakat luas pada umumnya
dapat mengenal lebih jauh tentang sosok seorang perempuan pribumi dari
Bandung yang berhasil mengembangkan konsep pendidikan bagi kaum
perempuan di Jawa Barat yaitu Raden Dewi Sartika.
3. Memberikan sumbangan dalam dunia pendidikan khususnya dalam bidang
pemikiran pendidikan kaum perempuan.

G. Metodologi Penelitian
1. Sumber dan Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksplorasi. Penelitian ini dilakukan
untuk melakukan pengujian yang didasarkan atas pengalaman-pengalaman masa
lampau. 10 Oleh karena obyek penelitian ini difokuskan pada masalah-masalah
yang berkaitan dengan dunia sejarah pendidikan, maka pendekatan yang
dilakukan adalah pendekatan sejarah pendidikan. 11
Adapun sumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber
tertulis.12 Sumber tertulis ini diperoleh melalui sumber buku, makalah, dan
karangan-karangan. Sumber tertulis tersebut diperoleh dari Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia, Perpustakaan Umum Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran
Bandung, Perpustakaan Daerah Bandung, Perpustakaan Umum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Yayasan Raden Dewi Sartika.

10
J. Supranto, Metode Riset dan Aplikasinya di dalam Riset Pemasaran, (Jakarta: Yayasan
Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 1974), h. 33
11
Imam Barnadib, Arti dan Metode Sejarah Pendidikan, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit
FIP IKIP, 1982), hal. 51.
12
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2004), Cet. XVIII, hal. 13 - 14
8

Selain itu, penulis menemukan beberapa dokumentasi tentang Raden


Dewi Sartika. Dari keseluruhan dokumen yang ditemukan, menghasilkan data-
data deskriptif yang cukup berharga dan ditelaah dari segi subjektif serta dianalisis
secara induktif.13
2. Teknik Perolehan Data
Data-data yang dikumpulkan pada penelitian ini diperoleh melalui
Library research (kajian pustaka). Jadi data-data yang dikumpulkan peneliti
diperoleh dari perpustakaan. Dari literatur yang penulis gunakan, terdapat
beberapa data primer yang bisa dijadikan sebagai rujukan. Selebihnya, peneliti
menemukan data-data melalui makalah-makalah yang didapatkan dari Yayasan
Raden Dewi Sartika di Bandung. Tulisan-tulisan tersebut dibaca, selanjutnya
dianalisis kemudian disimpulkan.
3. Teknik Pengolahan Data
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa sumber dan jenis data
yang diperoleh pada penelitian ini salah satunya adalah berupa sumber tertulis.
Jenis data lain juga diperoleh dalam bentuk dokumentasi yang setidaknya dapat
memberikan informasi penting lainnya dari seorang tokoh yang bernama Raden
Dewi Sartika. Setelah data-data itu diperoleh, peneliti mengolah data-data tersebut
dengan cara dibaca dan dianalisis kemudian disimpulkan.
4. Bentuk Laporan
Bentuk laporan penelitian yang disampaikan, dikemukakan dengan
menggunakan pendekatan deskriptif analisis, yakni mendeskripsikan semua data-
data yang sudah diperoleh dan dianalisis sehingga menjadi satu bentuk kesatuan
yang utuh dan menyeluruh serta sesuai dengan tujuan penelitian yang telah
dirumuskan sebelumnya.
5. Teknik Penulisan
Teknik penulisan Skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.

13
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, ..., h. 14-16.
9

H. Penelitian yang Relevan


Penulis menemukan beberapa tulisan tentang Raden Dewi Sartika.
Diantara penulis ialah Yan Daryono denga judul R. Dewi Sartika yang isinya
tentang latar belakang keluarga dan pendidikan Raden Dewi Sartika serta
gagasan-gagasannya dalam upaya pemberdayaan kaum perempuan melalui
pendidikan. 14 Nina Herlina Lubis dalam bukunya 9 Pahlawan Nasional Asal Jawa
Barat, isinya tentang konsep pendidikan perempuan yang digagas Raden Dewi
Sartika.15 Meidiana F dengan judul R. Dewi Sartika, isinya tentang keluarga dan
gagasannya dalam pendidikan perempuan.16 MB. Rahimsyah. AR dengan judul
Kumpulan Biografi Pahlawan Bangsa, yang berisi tentang gagasan Raden Dewi
Sartika yang dituangkan dalam Sakola Kautamaan Istri. 17 Biografi Pahlawan Asal
Jawa Barat yang dikarang oleh Sultan Ageng Tirtayasa dkk, yang berisi tentang
biografi Raden Dewi Sartika.18 Buku karangan Maria Ulfah Subadio dan T.O.
Ihromi dengan judul Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia, yang berisi
tentang peranan Raden Dewi Sartika dalam memajukan perempuan Indonesia
melalui pendidikan.19 Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan dan Pencapaiannya
oleh Cora Vreede-De Stuers yang diterjemahkan oleh Elvira Rosa dkk, yang berisi
tentang gerakan-gerakan Raden Dewi Sartika dalam upaya memajukan kaum
perempuan melalui pendidikan. 20 Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan
Masyarakat karya Nani Soewondo-Soerasno, berisi tentang Raden Dewi Sartika
dalam peranannya dalam memajukan kaum perempuan di Indonesia. 21 Sukanti
Suryochondro dalam bukunya Potret Pergerakan Wanita di Indonesia, yang berisi
tentang pergerakan Raden Dewi Sartika dalam upaya memajukan kaum

14
Yan Daryono, R. Dewi Sartika, (Jakarta: CV. Pialamas Permai, 1998).
15
Nina Herlina Lubis, 9 Pahlawan Nasional Asal Jawa Barat, (Bandung: Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga peneltiian Universitas Padjajajran, 2006).
16
Meidiana F, Dewi Sartika, (Jakarta:Bee Media Indonesia, 2010).
17
MB. Rahimsyah. AR, Kumpulan Biografi Pahlawan Bangsa, (Surabaya: Serba Jaya)
18
Sultan Ageng Tirtayasa, Biografi Pahlawan Asal Jawa Barat, (Bandung: CV. Geger
Sunten, 1993).
19
Maria Ulfah Subadio dan T.O. Ihromi, Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia,
(Yogyakarta: Gajah Mada University, 1986).
20
Elvira Rosa dkk, Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan dan Pencapaian, (Depok:
Komunitas Bambu, 2008).
21
Nani Soewondo-Soerasno, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat,
(Jakarta: Timun Mas, 1955).
10

perempuan melalui pendidikan. 22 Edi S Ekajati, dengan judul Sejarah Pendidikan


Daerah Jawa Barat, yang berisi tentang sejarah pergerakan Raden Dewi Sartika
dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dalam memperoleh pendidikan. 23
Kosoh S dkk dengan judul Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, yang berisi
tentang sejarah berdirinya Sakola Kautamaan Istri yang didirikan Raden Dewi
Sartika,24 dan makalah tentang riwayat hidup dan perjuangan Ibu Raden Dewi
Sartika, yang berisi perjuangan Raden Dewi Sartika dalam memajukan kaum
perempuan melalui pendidikan dan usahanya dalam mendirikan Sakola
Kautamaan Istri.25
Dari sekian buku yang penulis temukan, hampir semuanya membahas
tentang kehidupan dan gagasan Raden Dewi Sartika dalam memajukan
perempuan melalui pendidikan. Namun dari sekian buku tersebut, berbeda dengan
penulis dalam penulisan skripsi ini. Dalam skripsi ini penulis membahas tentang
konsep pendidikan kaum perempuan menurut Raden Dewi Sartika dengan
meneliti lebih dalam bagaimana sistem pendidikan di Sakola Kautamaan Istri
yang didirikan oleh Raden Dewi Sartika.

22
Sukanti Suryochondro, Potret Pergerakan Wanita di Indonesia, (Jakarta: CV. Rajawali,
1984).
23
Edi S. Ekajati dkk, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, (Jakarta: Pialamas, 1998).
24
Kosoh, dkk, Sejarah Daerah Jawa Barat, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek
Investarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1994).
25
Panitia Peringatan Hari Lahir Ibu Rd.Dewi Sartika, Riwayat Hidup dan Perjuangannya
1884-1947, (Bandung,: Konsolidasi Partisipasi Masyarakat Meneruskan Perjuangan Rd. Dewi
Sartika).
BAB II
PENDIDIKAN PEREMPUAN

A. PENDIDIKAN
1. Pengertian Pendidikan
Menurut Arifin, secara teoretis pendidikan mengandung pengertian
“memberi makan” (opvoeding) kepada jiwa peserta didik sehingga mendapatkan
kepuasan rohaniah, juga sering diartikan dengan “menumbuhkan” kemampuan
dasar manusia. 26 Sementara, menurut Ngalim Purwanto pendidikan ialah segala
usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin
perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. 27 Sejalan dengan itu,
Ahmad D. Marimba mendefinisikan pendidikan sebagai bimbingan atau pimpinan
secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta
didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. 28 Lebih jauh, tokoh
pendidikan nasional Indonesia, Ki Hajar Dewantara, menyatakan pendidikan pada
umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin),
pikiran (intelek), dan jasmani anak-anak, selaras dengan alam dan
29
masyarakatnya.

26
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006), cet ke-5, h. 22
27
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT.Remaja
Rosdakarya, 2007), cet ke-18, h. 11
28
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1989),
h. 16
29
Ki Hajar Dewantara, Masalah Kebudayaan; Kenang-kenangan Promosi Doktor Honoris
Causa, (Yogyakarta, 1967), h. 42 dalam Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan
Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), cet ke-4 , h. 4
11
12

Dengan demikian, pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan


orang dewasa untuk menjadikan peserta didik agar tumbuh dan berkembang ke
arah kedewasaan baik jasmani maupun rohani sehingga dapat bermanfaat bagi
dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Sementara itu, Oemar Hamalik mendefinisikan pendidikan sebagai suatu
proses sosial, karena berfungsi untuk memasyarakatkan anak didik melalui
sosialisasi di dalam masyarakat.30 Dalam proses sosialisasi yang cocok untuk
peserta didik adalah di lingkungan sekolah. Di sekolah peserta didik akan
memerankan sebagai makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam proses
belajar mengajar, baik itu terhadap gurunya sebagai pendidik, maupun teman-
teman sebayanya di lingkungan sekolah. Selain itu juga, peserta didik dapat
mengamalkan dalam kehidupan di masyarakat dari apa yang telah dipelajari di
sekolah.
Lebih jauh, Azyumardi Azra mengemukakan pendidikan merupakan
suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan
memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien. Pendidikan lebih
sekedar pengajaran; yang terakhir ini dapat dikatakan sebagai suatu proses
transfer ilmu belaka, bukan transformasi nilai dan pembentukkan kepribadian
dengan segala aspek yang dicakupnya.31
Dengan demikian, pengajaran hanya sekedar proses pemberian materi
pelajaran kepada anak didik yang hanya akan membentuk para spesialis, yang
terkurung pada bidangnya saja. Sedangkan pendidikan, lebih dari itu, di samping
proses transfer ilmu dan keahlian, juga lebih menekankan pada pembentukkan
kesadaran dan kepribadian anak didik sehingga dapat menjadikan mereka dapat
menyongsong kehidupannya di masa yang akan datang dengan lebih efektif dan
efisien.
Berbagai pengertian pendidikan di atas, sejalan dengan Undang-Undang
Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, pada bab 1 ayat 1 menjelaskan bahwa pendidikan

30
Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2007), cet ke-2, h. 73
31
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, ...,
cet ke-4, h. 3-4
13

adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudukan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara. 32
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan ialah usaha
sadar dengan sengaja dan terencana oleh pendidik untuk membimbing
pertumbuhan dan perkembangan peserta didik melalui proses bimbingan dan
pengajaran yang menjadikan peserta didik secara aktif mengembangkan seluruh
potensi yang dimilikinya sehingga ia dapat mencapai tingkat kematangan
intelektual dan kepribadian yang bermanfaat bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.
2. Unsur-unsur Pendidikan
a. Pendidik
Menurut Ahmad D. Marimba pendidik ialah orang dewasa yang memiliki
hak dan kewajiban dalam memikul tanggung jawab untuk mendidik peserta
didik.33 Seorang pendidik hendaknya mengetahui bagaimana cara murid belajar
dengan baik dan berhasil, oleh karena itu Zakiah Daradjat mengemukakan unsur-
unsur yang perlu diperhatikan oleh seorang pendidik yang meliputi: Kegairahan
dan kesediaan untuk belajar, membangkitkan minat belajar, menumbuhkan sikap
dan bakat yang baik, mengatur proses belajar mengajar, berpindahnya pengaruh
belajar dan pelaksanaanya ke dalam kehidupan nyata, hubungan manusiawi dalam
proses belajar.34
Dari sini dapat disimpulkan bahwa seorang pendidik dalam mengajar
bukan hanya terbatas pada penyampaian ilmu pengetahuan dan keterampilan saja,
akan tetapi juga melakukan pembinaan-pembinaan yang diperlukan untuk
mengembangkan seluruh kepribadian peserta didik.

32
UU RI No. 20 tahun 2003 dan UU RI No. 14 tahun 2005, (Jakarta: Transmedia Pustaka,
2008), cet ke-2, h. 2
33
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, ..., h. 35
34
Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005), cet k-4, h. 15-
16
14

Sementara itu, menurut Ahmad Tafsir, orang yang paling bertanggung


jawab terhadap perkembangan anak didik adalah orangtua (ayah dan ibu) anak
didik. Tanggung jawab itu sekurang-kurangnya oleh dua hal: pertama kodrat,
yaitu karena orangtua ditakdirkan menjadi orangtua anaknya, dan karena itu
ditakdirkan pula bertanggung jawab mendidik anaknya; kedua, karena
kepentingan orangtua, yaitu orangtua berkepentingan terhadap kemajuan
perkembangan anaknya, sukses anaknya adalah sukses orangtua juga. Namun,
karena perkembangan pengetahuan, keterampilan, sikap serta kebutuhan hidup
sudah demikian luas, dalam, dan rumit, maka orangtua tidak mampu lagi
melaksanakan sendiri tugas-tugas dalam mendidik anak. Oleh karena itu, tugas-
tugas orangtua diserahkan kepada sekolah. 35 Dalam hal ini guru sebagai tenaga
pendidik menggantikan orangtua di rumah untuk mendidik anak agar menjadi
manusia yang dewasa.
Guru sebagai seorang pendidik adalah orang yang memberikan ilmunya
kepada peserta didik sehingga peserta didik memperoleh ilmu pengetahuan yang
seluas-luasnya. Selain memberikan pengajaran, seorang guru pun memberikan
pendidikan dengan mentransformasikan nilai-nilai dan pembentukkan kepribadian
sehingga peserta didik mewarisi nilai-nilai luhur dan dapat menjalankan
kehidupan dengan sebaik-baiknya. Namun, masih banyak orang beranggapan
bahwa pekerjaan sebagai guru adalah rendah dibandingkan dengan pekerjaan lain
seperti pekerjaan kantor dan lain sebagainya. Namun perlu diketahui bahwa
bekerja menjadi seorang guru merupakan pekerjaan yang luhur dan mulia. Guru
merupakan orang yang paling berjasa dalam memajukan negara ini. Tanpa
seorang guru tidak akan ada orang-orang yang berkualitas yang memajukan
negara, baik itu dari sektor pendidikan, ekonomi, maupun sektor lainnya. Karena
bagaimanapun, tinggi atau rendahnya kebudayaan suatu masyarakat tergantung
pada pendidikan dan pengajaran yang diperoleh dari seorang guru.
Dengan demikian, dapatlah kita ketahui bahwa tugas seorang guru
merupakan tugas yang berat, oleh karena itu negara mengatur syarat-syarat untuk

35
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2007), cet ke-7, h. 74-75
15

menjadi seorang guru yang tertera dalam UU No. 12 tahun 1954 bahwa syarat
utama untuk menjadi guru, selain ijazah dan syarat-syarat yang mengenai
kesehatan jasmani dan rohani, juga harus bertakwa kepada Tuhan YME,
berkelakuan baik, bertanggung jawab, dan berjiwa nasional. 36 Seorang guru pun
harus berlaku adil, percaya dan suka kepada murid-muridnya, sabar dan rela
berkorban, bersikap baik terhadap guru-guru lainnya, bersikap baik terhadap
masyarakat, menguasai mata pelajarannya, suka kepada mata pelajaran yang
diberikannya, dan berpengetahuan luas. 37 Selain itu, terdapat empat kompetensi
guru dalam Pasal 28 ayat 3 Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 yang
meliputi: Kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
profesional, dan kompetensi sosial. 38
Semua syarat-syarat menjadi guru tersebut, merupakan sebagai upaya
untuk menciptakan tenaga pendidik yang profesional untuk kemajuan bangsa
dengan mendidik anak-anak penerus bangsa dengan baik.
Selain itu juga, seorang guru harus memiliki kepribadian yang baik.
Kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan
pembina yang baik bagi anak-anaknya, ataukah akan menjadi perusak atau
penghancur bagi hari depan anak-anaknya, terutama bagi anak didik yang masih
kecil dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa. Kepribadian yang
sesungguhnya adalah abstrak, sukar dilihat atau diketahui secara nyata, yang dapat
diketahui adalah penampilan atau bekasnya dalam segala segi dan aspek
kehidupan. Misalnya dalam tindakannya, ucapan, caranya bergaul, berpakaian dan
dalam menghadapi setiap persoalan, baik yang ringan maupun yang berat.39
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang pendidik adalah
orang yang membimbing dan memimpin anak didik dalam proses belajar
mengajar, tidak hanya bertugas memberikan pengajaran yang mentransformasikan
ilmu pengetahuan, melainkan juga bertugas membentuk kepribadian peserta didik

36
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, ..., cet ke-18, h. 139
37
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis,..., cet ke-18, h. 143
38
Martinis Yamin, Profesionalisasi Guru & Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi,
(Jakarta: Gaung Persada Press, 2006), h. 79
39
Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru,...h. 9
16

menjadi manusia yang susila dan beradab, oleh karena itu seorang pendidik harus
dibekali dengan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, menguasai ilmu
pengetahuan yang luas serta dapat mempraktekan pendidikan yang menjadi
bidang spesialisnya. Karena pendidik adalah orang yang selalu dipandang dan
dicontoh oleh anak didiknya. Dalam hal ini, seorang pendidik harus mengenal dan
memahami serta mentaati norma-norma yang berlaku di masyarakat. Karena
sebelum mendidik peserta didik agar menjadi manusia susila, pendidik harus
terlebih dahulu menjadi manusia susila.
b. Peserta Didik
Menurut Ahmad D. Marimba peserta didik adalah seseorang yang belum
dewasa baik secara jasmani maupun rohani. Ia mempunyai kebutuhan-kebutuhan
yang harus dipenuhi yang tidak dapat ia penuhi sendiri, melainkan masih
tergantung kepada orang lain, dalam hal ini pendidik. Oleh karena itu, peserta
didik menggantungkan harapannya kepada pendidik. Sifat ketergantungan ini
tidak disadari oleh peserta didik, melainkan para pendidiklah sebagai orang yang
bertanggung jawab yang harus memahaminya. Namun demikian, tidaklah seluruh
persoalan pendidikan tergantung kepada pendidik. Karena peserta didik
memegang peranan yang penting pula. Ia yang memiliki apa-apa yang harus
dikembangkan, ia juga akan mengolah apa yang telah diajarkan oleh pendidik.
Peranan ini semakin lama semakin besar, dan pada masa dewasa seluruh tanggung
jawab terletak pada diri peserta didik.40
Maka dari itu, dalam menjalankan tugasnya, seorang pendidik harus
memiliki kemampuan untuk mengetahui dan memahami keadaan peserta didik,
baik dari segi fisik maupun psikis. Peserta didik adalah manusia yang belum
dewasa dan memerlukan bantuan orang lain untuk membimbingnya supaya dapat
mencapai kedewasaan. Karena, walaupun peserta didik memiliki potensi yang
banyak, namun apabila tidak ada yang mengarahkan dan membimbingnya, maka
dia tidak akan mencapai kedewasaan jasmani dan rohani yang optimal dan tidak
akan menunaikan kewajibannya sebagai peserta didik untuk mengamalkan
pendidikannya dalam kehidupannya sehari-hari.

40
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, ..., h. 30-31
17

Dalam kewajibannya sebagai peserta didik, menurut HAMKA seorang


peserta didik harus berupaya memiliki akhlak mulia, baik secara vertikal maupun
horizontal dan senantiasa mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan
seperangkat ilmu pengetahuan, sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang telah
dianugerahkan Allah melalui fitrah-Nya.41
Maka dari itu, dengan keluasan ilmu dan akhlak yang dimilikinya,
peserta didik dapat memiliki wawasan yang luas, kepribadian yang baik, dan
meraih kesempurnaan hidup sebagai makhluk Allah.
Oleh karena itu, menurut HAMKA dalam menuntut ilmu, hendaklah
peserta didik mencari guru yang banyak pengalamannya, luas pengetahuannya,
bijaksana, pemaaf, tenang dalam memberi pengajaran. Hendaklah peserta didik
rindu dan cinta pada ilmu dan tidak cepat bosan dalam mencari ilmu pengetahuan,
percaya pada keutamaannya dan yakin pada manfaatnya, serta dengan niat untuk
mencari keridhoan Allah SWT. Karena dengan ilmu yang luas itulah, peserta
didik dapat mengenal Tuhan dan membangun budi pekerti yang baik. Dan
janganlah menuntut ilmu karena ingin riya, karena orang riya itu sebenarnya
tidaklah menjadi orang besar, tetapi ia menjadi orang yang terhina. 42
Sosok pendidik yang demikian, akan sangat bermanfaat bagi peserta
didik dalam mencari ilmu pengetahuan, sehingga mereka dapat menguasai ilmu
pengetahuan luas dan kepribadian yang baik. Karena dengan demikian, ia akan
dapat melaksanakan kewajibannya sebagai makhluk Allah yang senantiasa
mengembangkan seluruh potensi yang ia miliki sebagai anugerah dari Allah untuk
menjalankan segala aktifitas serta dapat bermanfaat bagi dirinya, masyarakat,
bangsa, dan negara.
Selain itu juga, menurut HAMKA seorang peserta didik hendaklah
mengakui kelebihan gurunya dan menghormatinya, karena guru itu lebih utama
daripada ibu dan bapak tentang kebesaran jasanya. Ibu dan bapak mengasuh anak
sejak dilahirkan, tetapi guru melatih anak supaya berguna setelah besar. Karena

41
HAMKA, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998), jilid 6, h. 4033-4036 dalam
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 159
42
HAMKA, Lembaga Hidup, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001), h. 241
18

akal budi itu adalah laksana berlian yang baru keluar dari tambang, masih kotor
dan belum berkilat. Adalah guru yang menjadi tukang gosoknya dan
membersihkannya, sehingga menjadi berlian yang berharga. Meskipun guru tidak
akan dikatakan lebih daripada ibu bapak, tetapi janganlah dikatakan kurang. 43
Jadi, sudah seharusnya seorang anak menghormati dan menyayangi guru
sebagaimana ia menghormati dan menyayangi orang tuanya. Karena, tanpa
bantuan seorang guru, ia tidak akan mampu tumbuh dan berkembang dengan
optimal untuk menjalankan kehidupan sehari-hari. Di tangan gurulah peserta didik
mendapatkan pendidikan, pengajaran dan pembinaan yang dilakukan dengan
senagaja maupun tidak sengaja, bahkan tidak disadari oleh guru melalui sikap, dan
berbagai penampilan kepribadian guru.
Dalam mengikuti proses belajar mengajar, seorang peserta didik tidak
bisa lepas dalam interaksi dengan sesamanya. Agar interaksi itu berjalan secara
harmonis dan mendukung proses pendidikan, maka setidaknya ada dua kewajiban
yang mesti dilakukan antara sesama peserta didik, yaitu:
1. Merasakan keberadaan mereka (peserta didik yang lain) bagaikan sebuah
keluarga dengan ikatan persaudaraan).
2. Jadikan teman untuk menambah ilmu. Lakukanlah diskusi dan berbagai
latihan sebagai sarana untuk menambah kemampuan intelektual sesama
peserta didik.44
Maka dengan demikian, dengan melakukan interaksi dengan peserta
didik lainnya, peserta didik akan menyadari kekurangan dirinya, sehingga ia akan
selalu membutuhkan peserta didik lainnya dalam upaya mencari ilmu pengetahuan
yang luas dengan melakukan diskusi-diskusi untuk meningkatkan mutu ilmu
pengetahuan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peserta didik adalah orang
yang membutuhkan bimbingan dan pertolongan dalam mengembangkan seluruh
potensi yang dimilikinya, sehingga ia dapat mencapai kedewasaan dan dapat

43
HAMKA, Lembaga Hidup, ..., h. 247
44
HAMKA, Lembaga Hidup, ..., h. 245-246
19

bermanfaat untuk masa depannya baik untuk dirinya sendiri, masyarakat, bangsa
maupun negara.
c. Kurikulum
Dalam proses pembelajaran, kurikulum sangat diperlukan sebagai
pedoman untuk menyusun target dalam kegiatan pendidikan. Dengan kurikulum,
seorang guru akan membawa peserta didik ke arah sesuai tujuan yang hendak
dicapai.
Pengertian kurikulum menurut pandangan lama atau pandangan
tradisional adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh murid untuk
memperoleh ijazah. 45 Menurut Ahmad Tafsir, pandangan tersebut tidak terlalu
salah; mereka membedakan kegiatan belajar kurikuler dari kegiatan belajar
ekstrakurikuler dan kokurikuler. Kegiatan kurikuler ialah kegiatan belajar untuk
mempelajari mata pelajaran wajib, sedangkan kegiatan belajar kokurikuler dan
ektrakurikuler disebut mereka sebagai kegiatan penyerta. Praktek kimia, fisika,
biologi, kunjungan ke museum untuk pelajaran sejarah, dipandang mereka sebagai
kokurikuler (penyerta kegiatan belajar bidang studi). Bila kegiatan itu tidak
berfungsi penyerta, seperti pramuka dan olahraga (di luar bidang studi olahraga),
maka ini disebut mereka kegiatan di luar kurikulum (kegiatan ekstrakurikuler).46
Berbeda dengan pandangan lama, pengertian kurikulum menurut
pandangan modern adalah kurikulum bukan hanya mata pelajaran saja, tetapi
meliputi semua kegiatan dan pengalaman yang menjadi tanggung jawab sekolah. 47
Di dalam pendidikan, kegiatan yang dilakukan siswa dapat memberikan
pengalaman belajar, atau dianggap sebagai pengalaman belajar, seperti berkebun,
olahraga, pramuka, dan pergaulan selain mempelajari bidang studi. Semua itu
merupakan pengalaman belajar yang bermanfaat. Pandangan modern berpendapat
bahwa semua pengalaman belajar itulah kurikulum. Atas dasar ini maka inti
kurikulum adalah pengalaman belajar. Ternyata pengalaman belajar yang banyak
pengaruhnya dalam pendewasaan anak, tidak hanya mempelajari mata-mata

45
Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi,
(Jakarta: Kencana, 2008), h. 2
46
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, ..., cet ke-7, h. 53
47
Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, ..., cet ke-2, h. 4
20

pelajaran, interaksi sosial di lingkungan sekolah, kerja sama dalam kelompok,


interaksi dengan lingkungan fisik, dan lain-lain, juga merupakan pengalaman
belajar.48
Oleh karena itu, untuk memahami kurikulum sekolah, tidak hanya
dengan melihat dokumen kurikulum sebagai suatu program tertulis, akan tetapi
juga bagaimana proses pembelajaran yang dilakukan anak didik baik di sekolah
maupun di luar sekolah. Hal ini harus dipahami, sebab kaitannya sangat erat
dengan evaluasi keberhasilan pelaksanaan suatu kurikulum, yaitu bahwa
pencapaian target pelaksanaan suatu kurikulum tidak hanya diukur dari
kemampuan siswa menguasai seluruh isi atau materi pelajaran seperti yang
tergambar dari hasil tes sebagai produk belajar, akan tetapi juga harus dilihat
proses atau kegiatan siswa sebagai pengalaman belajar.49
Berdasarkan pengertian di atas, maka kurikulum itu isinya luas sekali.
Namun isi kurikulum yang luas tersebut menurut Hilda Taba dapat dirinci
menjadi empat komponen kurikulum yang terdiri dari tujuan, isi, metode atau
proses belajar mengajar dan evaluasi yang merupakan bagian integral dalam
kurikulum yang harus saling berkaitan satu sama lain. Komponen tujuan
mengarahkan atau menunjukkan sesuatu yang hendak dicapai dalam proses
belajar mengajar. Tujuan itu mula-mula bersifat umum, dalam operasinya tujuan
tersebut harus dibagi menjadi bagian-bagian yang “kecil”. Bagian-bagian itu
dicapai hari demi hari dalam proses belajar mengajar, dan tujuan yang kecil-kecil
itu dirumuskan dalam rencana pengajaran yang sering disebut persiapan mengajar.
Tujuan yang ditulis di dalam persiapan mengajar itu disebut tujuan pengajaran,
yang sebenarnya adalah tujuan anak belajar dan selanjutnya tujuan itu
mengarahkan perbuatan belajar mengajar yang dilakukan oleh siswa dan guru.50
Kemudian komponen isi menunjukkan materi proses belajar mengajar.
Materi (isi) itu harus relevan dengan tujuan pengajaran. Komponen proses belajar
mengajar mempertimbangkan kegiatan anak dan guru dalam proses belajar.

48
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, ..., h. 53
49
Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, ..., h.
4
50
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, ..., h. 54-55
21

Dalam proses belajar, anak sebaiknya tidak dibiarkan sendirian, karena hasil
belajar biasanya kurang maksimal. Karena itulah para ahli menyebut proses
belajar itu dengan proses belajar-mengajar, karena memang proses itu merupakan
gabungan kegiatan anak belajar dengan guru mengajar yang tidak terpisahkan.
Mutu proses itu banyak ditentukan oleh kemampuan guru dalam menguasai dan
mengaplikasikan teori-teori keilmuan, yaitu teori psikologi, khususnya psikologi
pendidikan, metodologi mengajar, metode belajar, penggunaan alat pengajaran,
dan sebagainya.51
Adapun komponen evaluasi merupakan penilaian untuk mengetahui
berapa persen tujuan pendidikan dalam proses belajar mengajar dapat tercapai.
Hasil penilaian itu biasanya berupa angka, yang dinyatakan sebagai angka yang
dicapai siswa. Feed Back yang diperoleh dari penilaian banyak juga. Dari
penilaian itu kita mengetahui pencapaian tujuan. Jika terdapat tingkat pencapaian
rendah, maka harus memeriksa proses belajar mengajar, karena bisa saja ada
kekurangan dalam proses belajar mengajar tersebut. Mungkin isi kurang relevan
dengan tujuan. Bahkan mungkin harus merevisi rumusan tujuan, atau mungkin
rumusan kurang jelas, terlalu dalam, terlalu luas. Atau mungkin kita harus melihat
lagi teknik dan alat evaluasi, mungkin teknik dan alatnya kurang tepat, istilahnya
kurang valid atau kurang reliabel. Jadi, mengevaluasi sebenarnya mengevaluasi
pencapaian tujuan, mengevaluasi isi, mengevaluasi proses, dan megevaluasi
evaluasi itu sendiri, dengan kata lain, mengevaluasi adalah mengevaluasi
kurikulum itu sendiri. 52
Keempat komponen tersebut bisa saja berubah sejalan dengan perubahan
kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Misalnya komponen tujuan akan sesuai
dengan situasi kondisi pada saat kurikulum ditetapkan. Jadi, wajar apabila tujuan
kurikulum berbeda tiap kurikulum mengalami perubahan. Diantara faktor
penyebab perubahan kurikulum tersebut ialah pertama, perluasan dan pemerataan

51
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, ..., h. 55
52
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, ..., h. 55-56
22

kesempatan belajar, kedua, peningkatan mutu pendidikan, ketiga relevansi


pendidikan dan keempat efektifitas dan efisiensi pendidikan. 53
d. Proses Belajar Mengajar
Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat
fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Oleh
karena itu berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan sangat bergantung
pada proses belajar yang dialami siswa, baik ketika ia berada di sekolah maupun
di lingkungan rumah atau keluarga sendiri. Secara institusional, belajar dipandang
sebagai proses “validasi” atau pengabsahan terhadap penguasaan siswa atas
materi-materi yang telah ia pelajari. Adapun pengertian belajar secara kualitatif
(tinjauan mutu) ialah proses memperoleh arti-arti dan pemahaman secara cara-
cara menafsirkan dunia di sekeliling siswa. Belajar dalam pengertian ini
difokuskan pada tercapainya daya pikir dan tindakan yang berkualitas untuk
memecahkan masalah-masalah yang kini dan nanti dihadapi siswa. 54
Menurut HAMKA, agar proses belajar mengajar mampu berperan dalam
menciptakan peserta didik yang memiliki wawasan intelektual yang luas, maka
proses interaksinya hendaknya mendorong perkembangan potensi peserta didik,
sehingga ia dapat mengekspresikan seluruh kemampuan yang dimilikinya. 55
Oleh karena itu, dalam proses belajar mengajar seorang pendidik harus
mengetahui bahwa peserta didik adalah individu yang berbeda, karena masing-
masing peserta didik memiliki kemampuan baik fisik maupun psikis yang berbeda
pula. Sehingga, peserta didik mampu mengembangkan potensi yang ia miliki
untuk mendapatkan pencapaian kedewasaan.
Para ahli sependapat bahwa proses belajar mengajar adalah sebuah
kegiatan yang integral (utuh terpadu) antara siswa sebagai pelajar yang sedang
belajar dengan guru sebagai pengajar yang sedang mengajar. Para siswa dalam
situasi instruksional menjalani tahapan kegiatan belajar melalui interaksi dengan

53
Hafni Ladjid, Pengembangan Kurikulum menuju Kurikulum Berbasis Kompetensi,
(Jakarta: Quantum Teaching, 2005), h. 7-8
54
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2008), cet ke-14, h. 91-92
55
Hamka, Falsafah Hidup. h. 267-268 dalam Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika
Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam, ..., h. 185
23

kegiatan tahapan mengajar yang dilakukan guru. Namun, dalam proses belajar
mengajar masa kini di samping guru menggunakan interaksi resiprokal, ia juga
dianjurkan memanfaatkan konsep komunikasi banyak arah untuk menciptakan
suasana pendidikan yang kreatif, dinamis, dan dialogis. (Pasal 40 ayat 2a UU
Sisdiknas 2003). 56
Dalam hal ini ada interaksi antara peserta didik dan guru sebagai
pendidik melalui proses pembelajaran. Peserta didik tidak hanya menerima saja
pelajaran dari pendidik, namun juga harus aktif, dan dinamis dalam memperoleh
pendidikan dan pengajaran. Ia tidak hanya berkomukasi dengan guru saja,
melainkan juga dengan teman-teman sebayanya. Karena dengan berperan aktif,
peserta didik tidak hanya sekedar mendapatkan teori belajar saja, melainkan lebih
daripada itu. Ia akan mewarisi berbagai ilmu pengetahuan praktis, juga berbagai
warisan kebudayaan, pemikiran serta pembentukkan kepribadian yang berperan
penting bagi kemajuan bangsa menuju masyarakat yang beradab. Oleh karena itu
diperlukan proses belajar mengajar dalam suasana multiarah.
Selanjutnya, kegiatan proses belajar mengajar dipandang sebagai
kegiatan sebuah sistem yang memproses input, yakni para siswa yang diharapkan
terdorong secara instrinsik untuk melakukan pembelajaran aneka ragam materi
pelajaran disajikan di kelas. Hasil yang diharapkan dari PBM tersebut adalah
output berupa para siswa yang telah mengalami perubahan positif baik dimensi
ranah cipta, rasa, maupun karsanya, sehingga cita-cita mencetak sumber daya
manusia (SDM) yang berkualitas pun tercapai. 57
Oleh karena itu, peran guru sangatlah penting, agar peserta didik dapat
mencapai tujuan pendidikannya. Namun peran guru tidak akan dapat berjalan
dengan baik, jika peserta didik tidak ikut berperan aktif dalam proses pendidikan.
Karena guru sebagai tenaga pendidik, hanya membimbing dan mengarahkan
peserta didik, dan yang berperan aktif adalah peserta didik itu sendiri. Oleh karena
itu, diperlukan koordinasi yang selaras antara pendidik dan peserta didik agar
terciptanya keselarasan dalam mencapai tujuan pendidikan.

56
Muhibbin Syah, PsikologiPendidikan dengan Pendekatan Baru, ..., cet ke-14, h. 237
57
Muhibbin Syah, PsikologiPendidikan dengan Pendekatan Baru, ..., cet ke-14, h. 238
24

e. Metode Pembelajaran
Proses pembelajaran merupakan sebuah kegiatan yang wajib guru
berikan kepada peserta didik. Karena, merupakan kunci sukses untuk menggapai
masa depan yang cerah, mempersiapkan generasi bangsa dengan wawasan ilmu
pengetahuan yang tinggi. Yang pada akhirnya akan berguna bagi bangsa, negara,
dan agama. Melihat peran yang begitu vital, maka penerapan metode yang efektif
dan efisien adalah sebuah keharusan. Dengan harapan proses belajar mengajar
akan berjalan menyenangkan dan tidak membosankan.
Ahmad Tafsir secara umum mendefinisikan metode pembelajaran ialah
semua cara yang digunakan dalam upaya mendidik. 58 Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa metode adalah cara atau teknik yang digunakan pendidik dalam
menyampaikan ilmu pengetahuan kepada peserta didik.
Menurut Zakiah Daradjat metode adalah strategi penyampaian program
belajar mengajar. Metode merupakan aspek yang sangat penting yang menentukan
dalam pelaksanaan program belajar mengajar, terutama apabila dipandang dari
segi pendidikan sebagai proses. Program belajar mengajar sebagai proses
pendidikan terdiri dari interaksi dan komunikasi antara guru dan sumber belajar
lainnya dengan murid. Metode mengajar adalah sistem penggunaan teknik-teknik
di dalam interaksi dan komunikasi antara guru dan murid dalam pelaksanaan
program belajar mengajar sebagai proses pendidikan. Proses mengajar
mempunyai dua aspek; aspek ideal dan aspek teknis. Secara ideal, program belajar
mengajar adalah sarana untuk mencapai tujuan pendidikan. Oleh karena itu, yang
harus menjadi pedoman utama adalah bagaimana mengusahakan perkembangan
anak didik yang optimal, baik sebagai perorangan maupun sebagai anggota
masyarakat. Mengenai aspek teknis metode mengajar perlu dikemukakan
bermacam-macam teknik yang dapat digunakan dalam interaksi dan komunikasi
itu, seperti: bermain, ceramah, tanya jawab, diskusi, peragaan, kerja kelompok
dll. 59

58
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam perspektif Islam, ..., h. 131
59
Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru,..., h. 41
25

Selain itu juga, menurut HAMKA, agar proses pendidikan terlaksana


secara efektif dan efisien, maka seorang pendidik dituntut untuk mempergunakan
berbagai macam metode. Dengan menggunakan metode tertentu, proses interaksi
akan dapat diterima dan dipahami oleh peserta didik.60
Oleh karena itu, pendidik harus mengetahui berbagai metode
pembelajaran dalam upaya memberikan materi pelajaran kepada peserta didik.
Karena, dengan metode pembelajaran yang kreatif maka peserta didik tidak akan
merasa bosan dengan proses belajar mengajar, bahkan ia akan dengan mudah
menyerap ilmu pengetahuan yang ia dapat dari pendidik.
Selain metode-metode yang telah disebutkan di atas, penulis juga
menemukan berbagai metode-metode baru yang sangat bervariasi yang akan
menarik perhatian murid sehingga ia akan memiliki kegairahan dalam proses
belajar mengajar, diantara metode-metode tersebut ialah, Mind Maping, Card
Short, The Power Of Two, Index Card Match, Information Search, Everyone is A
Teacher Here, Active Knowledge Sharing, True Or False, Jigsaw Learning dan
lain sebagainya. 61
Metode-metode tersebut menampilkan sesuatu yang baru dan menarik
untuk digunakan dalam proses pembelajaran, namun tentunya hal itu harus
disesuaikan dengan materi yang akan diberikan kepada murid. Karena sebagus
apapun metode pembelajaran yang dipakai, apabila tidak sesuai dengan materi
yang diberikan, maka materi yang semula diharapkan dapat dipahami siswa justru
sebaliknya, siswa tidak memahami materi karena kesalahan metode yang
diberikan. Oleh karena itu, disini sangat diperlukan peran guru untuk memilih
metode yang tepat untuk materi yang diberikan kepada murid dalam proses belajar
mengajar. Sehingga pemilihannya disesuaikan dengan tujuan pengajaran yang
hendak dicapai.

60
HAMKA, Tafsir al-Azhar, jilid 10, h. 7362-7363 dalam Samsul Nizar,
Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam, ..., h.
159
61
Melvin L. Silberman, Active Learning, 101 Strategi Pembelajaran Aktif, Terj Sarjuli dkk,
(Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2009), h. vii
26

B. PEREMPUAN
1. Pengertian dan Karakteristik Perempuan
Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, perempuan adalah orang
(manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan
menyusui. 62 Sedangkan wanita digunakan untuk sebutan bagi perempuan
dewasa. 63 Dalam judul tulisan ini, penulis menggunakan kata “perempuan’ karena
menurut hemat penulis, cakupan makna kata “perempuan” lebih luas daripada
kata “wanita”, karena semua yang ada di wanita sudah pasti ada di perempuan,
namun yang ada di wanita belum tentu ada di perempuan. Jadi perempuan adalah
orang yang memiliki semua sifat yang ada pada wanita.
Berbicara mengenai perempuan, tidak terlepas dari sosok perempuan
pertama yang diciptakan Allah. Hawa (sebagai perempuan pertama) lengkap
dengan semua sifat-sifat femininnya untuk mengimbangi dan mendampingi Adam
yang memiliki segala sifat maskulin.
Keseimbangan ini berasal dari sifat Tuhan yang universal, yang memiliki
maskulin seperti Mahakuasa, Maha Agung, Maha Hebat, Maha Perkasa dan
sebagainya, yang semuanya menunjukkan pada kebesaran, keagungan, kekuasaan
serta kontrol dan maskulin. Sebaliknya selain memiliki sifat-sifat di atas, Tuhan
juga memiliki sifat-sifat yang lebih menekankan pada feminitas, seperti Maha
Indah, Maha Dekat, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Lembut, Maha
Pengampun, Maha Pemaaf, Maha Pemberi dan sebagainya. Semuanya dikenal
dengan nama-nama keindahan, melembutkan, anugerah, dan rahmat.64
Sifat-sifat Tuhan yang memiliki sifat maskulin lebih dominan
dikategorikan sebagai jantan atau laki-laki. Sebaliknya, bagi yang memiliki sifat
feminin lebih dominan dinamakan betina atau perempuan. Dari penciptaanNya
itu, Tuhan mengaturnya dengan seimbang, dan tidak ada ketimpangtindihan dalam

62
Frista Artmanda W, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jombang: Lintas Media), h. 915
63
Dato Paduka Haji Mahmud bin Haji Bakyr, Kamus Bahasa Melayu Nusantara, (Brunei
Darussalam: Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei, 2003), h. 3021
64
Sachiko Murata, The Tao of Islam, (Bandung: Mizan, 1999), Terj. Rahmani Astuti dan S
Nasrullah, cet ke-VII, h. 31
27

derajat dan martabat manusia. Hanya perbedaan fisiklah yang ada pada diri laki-
laki dan perempuan sehingga menimbulkan karakter yang berbeda pula.
Perbedaan fisik tersebut misalnya, rambut kepala perempuan tumbuh
lebih subur sehingga lebih panjang dan lebih halus dibandingkan rambut lelaki.
Akan tetapi, lelaki begitu memasuki usia dewasa, tumbuh rambut pada dagu
(jenggot) di atas bibir (kumis), dan tidak jarang pula pada dada. Kerongkongan
pun lebih menonjol daripada perempuan. Sedangkan otot-otot perempuan tak
sekekar otot-otot lelaki. Lelaki secara umum lebih besar dan lebih tinggi daripada
perempuan, tetapi pertumbuhan perempuan lebih cepat daripada lelaki, demikian
juga kemampuan berbicaranya. Itu antara lain perbedaan yang dapat diketahui
dengan mudah melalui pancaindra. 65
Menurut Murtadha Muthahhari dalam buku M. Quraish Shihab
mengatakan bahwa “Kemampuan paru-paru lelaki menghirup udara
lebih besar/banyak daripada perempuan, dan denyut jantung
perempuan lebih cepat daripada denyut lelaki. Secara umum, lelaki
lebih cenderung kepada olahraga, berburu, atau melakukan
pekerjaan yang melibatkan gerakan dibandingkan perempuan.
Lelaki secara umum juga lebih cenderung kepada tantangan dan
perkelahian, sedangkan perempuan cenderung kepada kedamaian
dan keramahan. Lelaki lebih agresif dan suka ribut, sementara
perempuan lebih tenang dan tentram. 66

Lebih lanjut, pakar Psikologi Mesir, Zakaria Ibrahim dalam


buku M.Quraish Shihab, menulis bahwa, “Perempuan memiliki
kecendrungan mosokhisme/mencintai diri sendiri yang berkaitan
dengan kecendrungan untuk menyakiti diri (berkorban) demi
kelanjutan keturunan. Kecintaan kepada dirinya yang disertai
dengan kecendrungan itu menjadikan perempuan kuasa mengatasi
kesulitan dan sakit yang memang telah menjadi kodrat yang harus
dipikulnya khususnya ketika haid, mengandung dan melahirkan,
serta menyusukan dan membesarkan anak. Karena adanya rasa
sakit itu pula, Allah SWT menganugerahkan kenikmatan bukan
saja dalam hubungan seks seperti halnya lelaki, melainkan juga
dalam memelihara anak-anaknya. Ini berbeda dengan lelaki. Tanpa
kenikmatan itu, anak akan terlantar karena suami harus keluar
rumah mencari nafkah buat istri dan anak-anaknya.67

65
M.Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), cet ke-1, h. 8-9
66
M.Quraish Shihab, Perempuan, ..., cet ke-1, h. 10-11
67
M.Quraish Shihab, Perempuan,..., cet ke-1, h. 11-12
28

Marwah Daud Ibrahim, yang terdapat dalam buku Azizah al-


Hibri dkk, menulis bahwa dalam kenyataannya, sebenarnya wanita
dan laki-laki pada dasarnya sama cerdas otaknya; sama mulia
budinya; sama luhur cita-citanya, sama-sama memiliki impian dan
harapan, mereka juga sama-sama didera oleh kekhawatiran dan
ketakutan, dan sama-sama memiliki potensi untuk memimpin. 68

Firman Allah SWT QS Al-Hujuraat: 13

           

          
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Dari firman Allah SWT dapat diketahui bahwa salah satu prinsip pokok
dalam ajaran Islam adalah persamaan antar manusia, baik antara laki-laki dan
perempuan maupun antar bangsa, suku, dan keturunan. Perbedaan yang
digarisbawahi dan yang kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang
hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Allah SWT.
Dari uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa pada hakikatnya
Allah menciptakan makhluk yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, dan
semua itu Dia ciptakan supaya manusia dapat saling melengkapi satu sama lain.
Dan tidak ada satupun orang yang jauh lebih tinggi harkat dan martabatnya
dihadapan Allah kecuali ketakwaannya. Namun perlu diketahui juga, di atas
persamaan pasti ada perbedaan. Dan hal ini juga dialami oleh manusia yang
berjenis kelamin laki-laki dan perempuan karena di dalam diri mereka terdapat
perbedaan yang menonjol terutama dari segi fisik maupun dari psikisnya. Karena
bagaimanapun, Allah menciptakan makhluknya untuk saling berdampingan satu
sama lain, jika semua manusia laki-laki dan perempuan sama, maka manusia
sebagai makhluk sosial tidak akan ada fungsinya. Oleh karena itu baik segi fisik

68
Azizah al-Hibri dkk, Wanita dalam Masyarakat Indonesia, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga
Press), h. 280
29

maupun psikis, bahkan kemampuan serta kegunaan antara laki-laki dan


perempuan semuanya berbeda. Namun perlu diingat bahwa semua perbedaan itu
tidak menjadikan martabat yang satu lebih tinggi dari yang lainnya.
2. Kedudukan Perempuan
Agama Islam menjamin hak-hak perempuan dan memberikan perhatian
serta kedudukan terhormat kepada perempuan yang hal ini tidak pernah dilakukan
oleh agama atau syari’at sebelumnya. Sebelum Islam datang, kaum perempuan
pernah terpuruk jauh ke dasar yang paling hina, dimana kaum perempuan tidak
punya harga diri sama sekali, diperjualbelikan, dihadiahkan, dan dipermainkan,
sehingga orang-orang bangsawan Quraisy malu mempunyai anak-anak
perempuan, yang karenanya dikubur hidup-hidup sebelum orang lain tahu.
Sedangkan kaum laki-laki menempati posisi sentral dan istimewa dalam keluarga
dan masyarakat. Mereka bertanggung jawab secara keseluruhan dalam persoalan
kehidupan keluarga, sehingga kaum perempuan secara umum hanya mengekor
kaum lelaki. 69
Secara singkat dapat dikatakan bahwa posisi perempuan pada masa pra-
Islam sebagai berikut:
1. Dari sisi kemanusiaan, perempuan tidak memiliki tempat terhormat di
hadapan laki-laki karena tidak adanya pengakuan atau sikap laki-laki
terhadap peran perempuan dalam mengatur masyarakat.
2. Ketidaksetaraan antara anak laki-laki dan perempuan, suami dan istri
dalam lingkungan keluarga.
3. Mengesampingkan kepribadian atau kompetensi perempuan dalam
memperoleh penghidupan, sehingga perempuan tidak memiliki hak
dalam persoalan waris dan pemilikan harta.70
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa mereka tidak ada sikap
“memanusiakan” perempuan, baik disebabkan oleh pengingkaran
kemanusiaannya atau karena ada anggapan dari kaum laki-laki bahwa peran

69
Azizah al-Hibri dkk, Wanita dalam Masyarakat Indoesia, ..., h. 37-38
70
Azizah al-Hibri dkk, Wanita dalam Masyarakat Indoesia, ..., h. 37-38
30

perempuan tidak dapat diandalkan dalam berbagai sektor kehidupan di


masyarakat.
Oleh karena itu, hadirnya Islam mengikis habis anggapan tersebut dan
menempatkan kedudukan perempuan menjadi terhormat, Islam menempatkan
kedudukan perempuan pada proporsinya dengan mengakui kemanusiaan mereka
dan mengikis habis kegelapan yang dialami perempuan sepanjang sejarah, serta
menjamin hak-hak perempuan.
Firman Allah SWT QS. Lukman: 14

           

     

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya;
ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu
bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.

Begitu pual firman Allah SWT QS. Al-Ahqaf: 15

           

    


Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu
bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan
susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.

Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa ada seorang laki-laki datang


kepada Rasulullah SAW dan berkata:
“Wahai Rasulullah, siapa orang yang paling berhak bagi aku untuk
berlaku baik kepadanya?” Nabi menjawab: “Ibumu” Orang itu bertanya lagi,
“kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “ibumu” Orang itu bertanya
lagi, “kemudian setelah dia siapa lagi?” Nabi menjawab, “ibumu” orang itu
bertanya lagi, “kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab “ayahmu” (HR.
Bukhari Muslim)

Dari firman dan hadis di atas dapat disimpulkan bahwa Islam


memandang seorang perempuan sebagai calon ibu memiliki kedudukan terhormat.
31

Dan semua anak wajib menghormatinya, oleh karena itu menjadi kewajiban bagi
seorang anak untuk berterima kasih kepada ibu, berbakti dan sopan santun dalam
bersikap kepadanya. Dan kedudukan ibu terhadap anak-anaknya lebih
didahulukan daripada kedudukan ayah.
Dengan demikian, agama Islam mempercayai kesanggupan perempuan
untuk berpikir, bekerja dan memimpin, serta berhak mendapat pahala dan imbalan
yang sama dengan pria. Agama Islam merupakan agama yang mempunyai
prinsip-prinsip keadilan gender. Salah satu prinsip pokok dalam ajaran Islam
adalah persamaan antar manusia baik dari segi gender, kebangsaan, kesukuan
maupun keturunan. Perbedaan yang digarisbawahi dan yang kemudian
meninggikan dan merendahkan seseorang hanyalah nilai ketakwaan dan
pengabdiannya kepada Allah SWT. 71
Maka dari itu, kedudukan perempuan dalam Islam sangatlah terhormat.
Dan tidak ada perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Semua
makhluk Allah sejajar dan tidak ada ketimpangtindihan diantara keduanya. Hal itu
karena Islam adalah agama untuk seluruh alam, bukan untuk sebagian alam. Maka
tidak sepatutnyalah ada orang yang memposisikan perempuan pada tempat yang
tidak layak, sebagaimana apa yang telah dilakukan oleh orang-orang sebelum
Islam datang.
3. Tugas Perempuan
Laki-laki dan perempuan diciptakan Allah SWT untuk saling
berdampingan satu sama lain. Dalam hal ini perempuan diciptakan Allah untuk
mendampingi lelaki, demikian pula sebaliknya. Ciptaan Allah itu pastilah yang
paling baik dan sesuai untuk masing-masing. Tidak ada ciptaan Tuhan yang tidak
sempurna dalam potensinya saat mengemban tugas serta fungsi yang diharapkan
dari ciptaan itu. Semua lelaki, termasuk para nabi yang suci sekalipun, harus
mengakui bahwa dia membutuhkan perempuan untuk menyalurkan cinta yang
terdapat dalam jiwanya sehingga jika seorang lelaki tidak menemukan perempuan
yang dia cintai, dia akan mencintai perempuan yang ditemukan. 72

71
Azizah al-Hibri dkk, Wanita dalam Masyarakat Indoesia, ..., h. 39
72
M.Quraish Shihab, Perempuan,..., cet ke-1, h. vii
32

Semua lelaki harus mengakui bahwa tanpa perempuan hati lelaki akan
remuk, dan tanpa perempuan lelaki akan saling menghancurkan. Lelaki yang tidak
didampingi oleh perempuan demikian juga sebaliknya, bagaikan perahu tanpa
sungai, malam tanpa bulan, atau biola tanpa senar.
M.Quraish Shihab, menulis pengalaman pribadi dari Ibnu Hazm
al-Andalusi (994-1064), bahwa “Seandainya bukan karena
keyakinan bahwa dunia ini adalah tempat ujian dan negeri
kekeruhan, sedangkan surga adalah tempat perolehan ganjaran, kita
akan berkata bahwa hubungan harmonis antar kekasih merupakan
kebahagiaan tanpa kekeruhan, kegembiraan tanpa kesedihan,
kesempurnaan cita dan puncak harapan”. Selanjutnya ulama besar ini
berkata: “Aku telah merasakan kelezatan dengan aneka ragamnya.
Aku juga telah meraih keberuntungan dengan segala macamnya.
Tidaklah kedekatan kepada penguasa, tidak juga wujud setelah
ketiadaan, atau kembali ke pangkuan setelah bepergian jauh, dan
tidak juga rasa aman setelah mengalami rasa takut, atau perolehan
harta yang dimanfaatkan, tidaklah semua itu seindah hubungan
harmonis/asmara dengan kekasih/lawan jenis kita”.73

Dari uraian di atas, dapatlah diketahui bahwa perempuan sangat


dibutuhkan dalam berbagai segi kehidupan. Maka, pantaslah ditempatkan pada
tempat yang wajar. Sungguh tidak berbudi siapa yang tidak mencintai atau tidak
menghormatinya, atau bahkan mendiskriminasikannya, terutama dalam
mendapatkan hak pendidikan.
Menuntut ilmu adalah kewajiban baik setiap muslim, seperti yang
terdapat dalam hadis:
َ ‫طَلَبُ ْال ِع ْل ِم فَ ِر‬
‫يضةٌ َعلَى ُك ِل ُم ْسلِم‬
“Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim”.(HR.ath-Thabarani melalui
Ibnu Mas’ud ra).
Bahkan pada masa Nabi Muhammad SAW perempuan memohon kepada
Nabi SAW agar diberi waktu tertentu untuk belajar langsung kepada beliau, dan
permohonan mereka beliau kabulkan.

73
M.Quraish Shihab, Perempuan, ..., cet ke-1, h. x
33

Firman Allah SWT QS. Ali Imran: 195

             

    


Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman):
"Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara
kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari
sebagian yang lain.

Ini berarti bahwa kaum perempuan dapat berfikir, mempelajari dan


kemudian mengamalkan apa yang telah mereka hayati dari zikir kepada Allah
serta apa yang mereka ketahui dari alam raya ini. Pengetahuan menyangkut alam
raya tentunya berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat
dipahami bahwa perempuan bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan
kecendrungan dan keinginan masing-masing.
Perempuan merupakan calon seorang ibu yang memiliki tugas utama
untuk mendidik anak-anaknya. Tiap-tiap anak harus mendapatkan pendidikan dan
pengajaran dari ibunya, oleh karena itu seorang ibu mempunyai kewajiban yang
lebih berat dalam menjaga anak perempuannya. Pendidikan anak perempuannya
jangan diserahkan kepada sekolah saja, karena waktu yang dipakainya di sekolah,
tidaklah sepanjang waktu yang dipakainya di rumah. 74
Dengan demikian, seorang ibulah yang memberikan pengaruh besar
dalam perkembangan anaknya. Karena ditangan ibulah pertama kali anak
diberikan pendidikan dan pengajaran yang akan bermanfaat bagi masa depannya.
Oleh karena itu, seorang perempuan sebagai calon ibu wajib diberikan
pendidikan, karena bagaimana mungkin tugas pokoknya itu dapat mereka
laksanakan secara baik kalau mereka tidak diberi kesempatan untuk belajar.
Karena sebelum ia memberikan pengajaran dan pendidikan kepada anak-anaknya,
terlebih dahulu ia harus mendapatkannya.
Sudah tidak diragukan lagi bahwa letak kebahagiaan tunas bangsa yang
baru akan tumbuh menjadi kaum remaja, pemuda-pemudi, yang nantinya akan

74
HAMKA, Lembaga Hidup, ..., h. 41
34

menjadi tiang utama negara, adalah sebagian besar ada di tangan kaum ibu, atau
dengan kata lain, jika kaum ibu dan khususnya golongan kaum perempuan ingin
merusakkan bangsanya, pasti akan dapat terlaksana, ingin menghancurkan akhlak
generasi mudanya, itupun tidak ada kesukaran sama sekali, begitu pula jika ingin
membaguskan keadaan bangsa serta akhlaknya. Hal itu disebabkan karena dalam
kekuasaan merekalah letak kendali yang paling menentukan dalam hal didikan
dan asuhan putra-putri bangsa. Namun beruntunglah bahwa kaum perempuan dan
kaum ibu belum sampai hati berbuat hal-hal yang buruk untuk generasi bangsa.
Ini adalah semata-mata berkat kasih sayang mereka kepada bangsa, tanah air dan
terutama kepada anak-anak sendiri. 75
Dalam uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perempuan sebagai ibu
memiliki tugas utama untuk mendidik anak-anaknya. Mendidik anak-anaknya
adalah suatu keharusan mengingat dari tangan seorang ibulah lahir seorang
penerus bangsa yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektualitas, juga
memiliki adab sopan santun terhadap sesama. Dalam tugasnya sebagai pendidik
bagi anak-anaknya, perempuan mengemban tugas menciptakan tunas-tunas
bangsa yang akan menjadi tiang utama negara. Perempuanlah yang memberikan
pendidikan pertama dan utama kepada anak-anaknya, dan dari pendidikan
pertamalah akan memberikan pengaruh besar dalam kehidupan anak-anaknya.
Oleh karena itu, tugas perempuan dalam mendidik anak-anaknya adalah tugas
yang berat, yang harus diembannya dengan penuh tanggug jawab, karena dengan
begitu perempuan akan banyak melahirkan penerus bangsa yang bermartabat.
4. Peran Perempuan
Di dalam Islam tidak ada konsep peran yang khas untuk lelaki maupun
perempuan kecuali dalam batas-batas yang menyangkut hal-hal yang khas dan
yang menyangkut hak dan kewajiban masing-masing. Secara totalitas, Islam
menjamin sepenuhnya hak-hak kaum perempuan. Sejumlah nash-nash dan konsep
Islam dalam al-Quran menganjurkan manusia untuk menghormati dan melindungi
kaum perempuan dalam perasaan cinta kasih dan tanggung jawab. Ini adalah inti

75
Syekh Musthafa Ghalayini, Bimbingan Menuju ke Akhlak yang Luhur, (Semarang: CV.
Toha Putra), h. 287-288
35

ajaran Islam yang melestarikan hak-hak asasi manusia, dan menghormati sesama
manusia tanpa membedakan lelaki dan perempuan. Jadi, ajaran Islam telah
menempatkan perempuan dalam posisi terhormat, patut dicintai dan diperlakukan
dengan baik.76
Dari fakta-fakta sejarah kita peroleh gambaran yang menarik perhatian
yang berhubungan dengan kedudukan dan peranan perempuan di Indonesia.
Kaum perempuan Indonesia tidak hanya memiliki peranan ternyata juga bisa
memperoleh kedudukan, wewenang dan kekuasaan tertinggi sebagai kepala
negara. Disamping itu, mereka juga telah berkiprah di berbagai bidang yang
sering dianggap sebagai dunia laki-laki. Hal ini bertentangan sekali dengan
gambaran umum yang ada tentang masyarakat Indonesia masa lalu, dimana kaum
perempuan tidak memiliki peranan dan mereka hanya memiliki kedudukan yang
rendah dan hidup terkekang. Mereka seolah-olah tidak mempunyai peluang untuk
berkembang.
Memasuki abad ke-20 terjadi perubahan struktur peranan perempuan
Indonesia. Ide atau pemikiran dari Barat masuk bersamaan dengan diperkenalkan
dan disebarluaskan pendidikan cara Barat. Kaum perempuan, walaupun
jumlahnya masih terbatas, mulai ada yang berkesempatan menikmati pendidikan
Barat itu. Karena itu, muncullah orang-orang yang mulai sadar akan diri pribadi
dan statusnya. Mereka tumbuh kesadarannya bahkan mereka hidup di bawah
kaum penjajah dengan praktek-praktek kolonialnya. R.A.Kartini, Rd. Dewi
Sartika, Rohanna Kudus, Rahmah El Yunisiah, Nyai Achamd Dahlan, Haji
Rasuna Said dan Maria Walanda Maramis merupakan nama-nama tokoh wanita
dari kalangan kaum elit modern Indonesia. Dari pendidikan dan pengetahuan yang
mereka peroleh, mereka menyadari akan keadaan kaumnya. 77
Oleh karena itu, dengan berbagai cara, para tokoh pergerakan perempuan
tersebut berusaha untuk menyadarkan kaum perempuan akan kedudukan dan
perannya dalam masyarakat. Mereka menyadari bahwa pendidikan merupakan
salah satu faktor yang dapat mendorong kemajuan perempuan. Mereka berharap,

76
Azizah al-Hibri dkk, Wanita dalam Masyarakat Indoesia, ..., h. 266
77
Azizah al-Hibri dkk, Wanita dalam Masyarakat Indoesia, ..., h. 290-291
36

kaum perempuan sebangsanya dapat sadar akan hak dan kewajibannya. Sehingga,
kaum perempuan dapat ikut berperan untuk memajukan bangsa dan negaranya.
Kalau ada ungkapan “wanita tiang negara” atau “didiklah wanita, maka
kita mendidik bangsa” itu berarti betapa strategisnya kedudukan wanita dalam
melipatgandakan manfaat hasil pendidikan. Dengan menyadari adanya
pergeseran-pergeseran pola komunikasi yang disebabkan oleh perkembangan
industri barang dan jasa, perempuan tetap mempersepsi tugas mendidik anak
sebagai tugas utama. Melalui perannya sebagai ibu ia bertindak secara nyata:
memelihara, memberi contoh, mensugesti, memotivasi, melarang, menghukum,
mengerjakan sesuatu bersama anak, merangsang berfikir, memuji dan lain
sebagainya; ia menyebarkan ragi yang menstimulasi dan mengarahkan tumbuh
kembangnya anak. Sebagai anggota masyarakat ia bergaul dan saling
mempengaruhi dengan orang lain; suatu arena yang potensial menjadi tanah
gembur bagi pertumbuhan pengetahuan, sikap dan keterampilan-keterampilan. 78
Maka dari itu, perlu mendudukkan perempuan pada kedudukan yang
sebenarnya serta memberi mereka tugas dan peranan, bukan saja dalam kehidupan
rumah tangga melainkan juga dalam kehidupan bermasyarakat. Kini, semua pihak
mengakui perlunya keadilan, kebebasan, kemajuan, dan pemberdayaan
perempuan.

C. PENDIDIKAN PEREMPUAN
1. Kebutuhan Perempuan Terhadap Pendidikan
Dalam beberapa dekade yang lalu, perempuan tidak memiliki tempat
dalam mendapat hak-haknya dalam dunia pendidikan. Kini dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta berkembangnya isu
demokrasi dan gender pada umumnya, maka perempuan mulai berkembang dan
mendapatkan akses pendidikan. Di Indonesia, sebetulnya pendidikan perempuan
sudah dimulai sejak perjuangan R.A. Kartini untuk memperoleh status sebagai
pelajar.

78
Azizah al-Hibri dkk, Wanita dalam Masyarakat Indoesia,..., h. 331-333
37

Seperti halnya yang telah penulis kemukakan bahwa pendidikan


merupakan hal yang tidak boleh tidak harus diberikan. Melalui pendidikan, kaum
perempuan harus diyakinkan mengenai perlunya perubahan-perubahan yang akan
memajukan kaum perempuan dalam berbagai segi kehidupan.79 Maka dari itu,
seperti halnya laki-laki, perempuan pun mempunyai hak untuk belajar, dengan
segala dan usaha serta kecakapannya. Jika dia tidak mendapatkan ilmu
pengetahuan, maka hak dan tanggung jawab mereka menjadi sia-sia terpegang di
tangannya. Jadi semua orang, baik laki-laki maupun perempuan diwajibkan
menuntut ilmu dan dimudahkan bagi mereka jalan untuk mencari ilmu, supaya
dipilih mana yang menurutnya sanggup atau yang sesuai dengan bakat dan
pikirannya.80
Dengan demikian, perempuan memiliki hak yang wajib dipenuhi. Hak
tersebut adalah dalam memperoleh pendidikan. Karena sebenarnya, yang
menyebabkan kemerosotan masyarakat seluruhnya, hanyalah disebabkan
merosotnya kaum perempuan, sebab mereka menjadi manusia yang bodoh dan
tidak terdidik sebagaimana mestinya, sehingga didikan mereka rusak dan inilah
yang menimbulkan akhlak yang kurang sempurna kebaikan serta kemuliannya.
Maka dari itu wajib memberikan pengajaran dan pendidikan kepada putri-putri
dan para gadis remaja dengan tekun dan penuh tanggung jawab. Dengan
melaksanakan itu, sudah dapat menguasai suatu urusan yang terpenting dan akan
diikuti pula oleh amal perbuatan yang lain-lain yang seluruhnya adalah berupa
amalan yang shalih dan diridhoi Allah WST.81
Oleh karena itu, kaum perempuan wajib mendapatkan kehormatan yang
sepatutnya. Kedudukan mereka wajib diperbaiki dan diluhurkan, diberi
pendidikan yang sempurna, diasuh dengan pendidikan yang mulia, budi pekerti
yang luhur, sehingga nantinya akan menjadi ibu rumah tangga yang dapat
mengendalikan seluruh keluarganya dengan cara yang sebaik-baiknya, disamping
itu juga memahami apa yang menjadi tugas kewajibannya terhadap alam kecil

79
Jacqueline Chabaud, Mendidik dan Memajukan Wanita, (Jakarta: Gunung Agung, 1984),
h. 8
80
HAMKA, Lembaga Hidup, ..., h. 41
81
Syekh Musthafa Ghalayini, Bimbingan Menuju ke Akhlak yang Luhur, ..., h. 291
38

yang wajib selalu ada di bawah pengawasannya, yakni rumah, tetapi jangan tidak
mengerti sama sekali hal-hal yang berhubungan dengan masyarakat luar. Oleh
karena itu, kaum perempuan harus disekolahkan untuk memperoleh pelajaran
yang bermanfaat dan didikan akhlak yang mulia dan luhur.82
Dengan demikian, pendidikan kaum perempuan telah menjadi suatu
keharusan, karena kemajuan yang merupakan kebutuhan mendesak itu
menciptakan dan sekaligus menuntut jenis perempuan yang baru. Mendesaknya
kebutuhan ini dengan demikian berkaitan dengan keinginan untuk memperoleh
keadilan dan berkenaan dengan pentingnya orang perorangan, dan semua itu
menyebabkan tidak berlakunya anggapan bahwa perempuan lebih rendah
kedudukannya. Perempuan adalah juga manusia seperti pria; ia pun patut
mengembangkan kemampuannya, untuk memilih jalan hidup yang hendak
ditempuhnya serta melaksanakan kegiatan-kegiatan dan memegang segala
tanggung jawab yang akan ikut membentuk kemuliaan manusia. 83
Selain itu, Syekh Musthafa Ghalayini menasehatkan kepada para
orangtua untuk mendidik putri-putri dengan tarbiyah yang benar-benar baik dan
melalui garis yang ditetapkan oleh agama. Jika telah menjadi kepala negara kecil,
yaitu kepala keluarga. Utamakanlah persoalan pendidikan, melebihi sandang
pangan yang diberikan, dan berikanlah putri-putri pelajaran yang berguna bagi
dirinya untuk hari dewasanya nanti, terutama apabila sudah memegang jabatan
sebagai ibu rumah tangga. Karena hanya dengan demikian, tanah air akan segera
bangun dengan cepat dan bangsapun akan luhur, sehingga dapat mencapai puncak
ketinggian yang tiada taranya.84
Karena bagaimanapun juga, perkembangan masyarakat ditentukan sekali
oleh kedudukan wanitanya dan peranan yang dimainkan oleh wanita dalam
kehidupan bangsa itu.
Rene Maheu mengemukakan dalam bukunya Jacqueline
Chabaud bahwa “Terbukanya kesempatan bagi anak-anak
perempuan merupakan juga konsekuensi langsung dari hak asasi

82
Syekh Musthafa Ghalayini, Bimbingan Menuju ke Akhlak yang Luhur, ..., h. 288
83
Jacqueline Chabaud, Mendidik dan Memajukan Wanita, …, h. 11
84
Syekh Musthafa Ghalayini, Bimbingan Menuju ke Akhlak yang Luhur, ..., h. 293
39

pendidikan…dan tuntutan kemajuan ekonomi pun membuat


kesempatan itu sebagai suatu keharusan”.
“Tiada satu negeri pun dapat membiarkan separuh dari
penduduknya berada dalam keadaan relatif bodoh, karena hal ini
akan menyebabkan mereka menghambat perkembangan, dan
bukan menjadi tenaga motivasi”. 85

Maka dari itu, penulis menyimpulkan bahwa pendidikan bagi kaum


perempuan adalah kebutuhan berskala nasional, bahkan internasional. Mengingat
peranan serta tugas dan kontribusi yang telah perempuan berikan, baik untuk
dirinya sendiri, keluarga, lingkungan sekitar bahkan untuk negaranya. Kita jangan
memandang rendah kemampuan seorang perempuan. Karena bagaimanapun juga
perempuanlah yang mendidik anak-anaknya dengan perannya sebagai ibu dan
pendidik pertama dan utama. Perempuanlah yang mendorong kesuksesan seorang
laki-laki dalam arti suaminya. Walau terdengar klise, tapi itu benar bahwa
“Dibalik kesuksesan seorang laki-laki terdapat peranan perempuan yang
mendorongnya dari belakang”. Tidak hanya itu, perempuan pun ikut serta dalam
pergerakan kemerdekaan Indonesia, yang berjuang melawan penjajah. Terbukti
dengan banyaknya catatan sejarah pahlawan nasional perempuan seperti Cut Nyak
Dien, Cut Muetia, dalam bidang pendidikan, antara lain R.A. Kartini, Dewi
Sartika, Rahmah El Yunisiah, Rohanna Kudus, dan lain sebagainya.
2. Pemikiran Pendidikan Perempuan di Indonesia
a. Rd. Ajeng Kartini
Dilahirkan pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah. Ayahnya ialah
Raden Mas Adipati Sosroningrat, seorang Bupati Jepara. 86 R.A. Kartini dianggap
sebagai pelopor kemajuan wanita di Indonesia, cita-citanya yang dimuat dalam
buku kumpulan surat-suratnya “Habis gelap terbitlah terang” besar sekali
pengaruhnya dalam menggerakkan kaum perempuan. Beberapa hal yang
terpenting yang diungkapkan oleh R.A. Kartini ialah tentang kawin paksa
(perempuan pada umumnya menikah dengan laki-laki yang belum dikenal,
bahkan belum pernah dilihat sebelumnya), poligami (terutama diantara golongan

85
Jacqueline Chabaud, Mendidik dan Memajukan Wanita, …, h. 125
86
Suryanto Sastroatmodjo, Tragedi Kartini, (Yogyakarta: Narasi, 2005), cet k-1, h. 13
40

atas sudah menjadi kebiasaan laki-laki beristri lebih dari satu dan semua istri itu
biasanya tinggal dalam satu rumah), perceraian dengan sewenang-wenang dari
pihak suami, dan kebiasaan bahwa gadis-gadis setelah dewasa dipingit dirumah
dan baru boleh keluar setelah bersuami, dan anak perempuan kurang mendapatkan
kesempatan mendapatkan pendidikan.87
Kartini berpendirian bahwa calon-calon suami itu seharusnya telah
terlebih dulu dikenal oleh gadis-gadis yang akan diperistrinya, dan tidak tiba-tiba
disodorkan sebagai suami hasil pilihan orangtuanya. Ia berhasrat memperbaiki
nasib para wanita, para wanita yang dimadu, termasuk Raden-raden Ayu yang
setiap hari harus menghadapi kompleks-kompleks kontradiksi dalam hidup di
suasana poligami, harus berhadapan dan menghadapi selir-selir sebagai
“peliharaan” suaminya. Menurut Kartini, jalan keluar yang wajib ditempuh oleh
para perempuan bangsanya hanyalah satu, yakni belajar, mencerdaskan diri.
Hanya dengan jalan inilah, maka nasib mereka bisa berubah menjadi lebih baik,
dan kaum pria tidak akan meremehkannya. 88
Dengan demikian, dapatlah terlihat tujuan Kartini adalah berusaha
memajukan bangsa dan merintis jalan bagi kaum perempuan, menjadikan
perempuan menjadi manusia yang beradab. Mendidik dan mencerdaskan kaum
perempuan, serta membangkitkannya dari dasar yang paling dangkal, menuju
pusaran tinggi dalam kehidupannya.
Menurut R.A. Kartini, orang yang sanggup melakukan hal banyak dan
berusaha memajukan kecerdasan budi, dan mempertinggi derajat manusia ialah
perempuan sendiri, ibu; karena pada haribaan si ibulah manusia akan mendapat
didikan yang pertama, oleh karena disanalah pangkal anak itu belajar merasa,
berfikir, dan berkata, dan didikan yang pertama kali, pastilah sangat berpengaruh
bagi penghidupan seseorang. “Peranan seorang Ibu bagi peradaban”, masyarakat,
rumah tangga dan untuk dirinya sendiri. 89

87
Nani Soewondo-Soerasno, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat,
(Jakarta: Timun Mas, 1955), h. 126
88
Suryanto Sastroatmodjo, Tragedi Kartini, ..., cet k-1, h. 35-37
89
Suryanto Sastroatmodjo, Tragedi Kartini, ..., cet k-1, h. 38
41

Oleh karena itu, di tangan perempuanlah tercipta sebuah peradaban baru


yang akan menyongsong meraih masa depan yang lebih baik. Dengan penuh cita-
cita yang tak pernah goyah maupun sedetik pun lepas dari tangan, Kartini betapa
menebar cinta kepada kemanusiaan, cita-citanya dalam upaya pemberdayaan
kaum perempuan merupakan perjalanan yang tak kenal mati, yang senantiasa
segar, berkelopak, dan merekah sepanjang zaman.
b. Rahmah El Yunisiah
Rahmah El Yunisiah dilahirkan pada 31 Desember 1900 di Padang
Panjang, Sumatera Barat. Ia adalah putri bungsu dari pasangan Syaikh
Muhammad Yunus dan Rafi’ah. Ayahnya adalah seorang kadi di Pandai Sikat
yang juga ahli ilmu falak. Kakeknya adalah Syaikh Imaduddin, ulama terkenal di
Minangkabau sekaligus tokoh tarekat Naqsanbandiyah. 90
Rahmah El Yunisiah bersekolah di perguruan Diniyah School pimpinan
kakaknya, Zainuddin Labay. Disamping itu, pagi dan sore ia belajar kepada
beberapa ulama terkemuka di Padang Panjang. Karena ia dibesarkan dalam
keluarga yang banyak berkecimpung dalam bidang pendidikan, maka ia sangat
kagum pada lembaga pendidikan yang dikelola kakaknya, Diniyah School.
Namun demikian, menurut pandangannya sebagai seorang wanita, ia belum
merasa cukup puas terhadap mekanisme pendidikan yang diselenggarakan
Diniyah School dalam memperlakukan murid wanita.91
Menurutnya, kaum perempuan Indonesia harus memperoleh kesempatan
penuh untuk menuntut ilmu yang sesuai kodrat perempuan, sehingga dapat
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Usaha pendidikannya itu ditujukan agar
kaum perempuan sanggup berdikari untuk menjadi ibu pendidik yang cakap, aktif,
dan bertanggungjawab kepada kesejakhteraan bangsa dan tanah air. Minat
Rahmah untuk bergerak di kalangan puteri-puteri didorong oleh keyakinan bahwa

90
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta:
Djambatan, 1992, h. 804
91
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia,..., h. 804
42

terdapat masalah-masalah yang hanya khusus berlaku bagi puteri, dan semua itu
harus diberikan oleh wanita.92
Sehingga dapat dikatakan bahwa perempuan memiliki hak belajar dan
mengajar yang sama dengan laki-laki. Bahkan, perempuan juga mampu memiliki
kecerdasan. Seorang perempuan sekalipun hanya berperan sebagai ibu rumah
tangga, namun ia memiliki tanggung jawab sosial atas kesejahteraan masyarakat,
agama, dan tanah airnya. Barangkali, seandainya Rahmah masih hidup ia akan
sepakat dengan gagasan masa kini yang menyebutkan bahwa membangun
masyarakat tanpa melibatkan perempuan bagaikan seekor burung yang terbang
dengan satu sayap. Mendidik seorang perempuan berarti mendidik semua
manusia. Karena, sebagaimana diyakini oleh banyak orang, pendidikan dapat
memberikan sumbangan yang besar bagi upaya memodernisasi suatu masyarakat.
Maka, atas bantuan Persatuan Murid-murid Diniyah School yang
didirikkan oleh kakaknya, Labay, Rahmah mendirikan Madrasah Diniyah khusus
untuk putri pada tanggal 1 Nopember 1923. Mulanya terdapat 71 orang murid
yang kebanyakan terdiri dari ibu-ibu rumah tangga yang masih sangat muda.
Pelajaran diberikan tiap hari selama 3 jam di sebuah masjid di Pasar Usang,
Padang Panjang dan terdiri dari pelajaran agama serta ilmu alat. Pada tahun 1924,
pindah ke sebuah rumah di dekat masjid dan mulailah diadakan kelas-kelas yang
dilengkapi dengan bangku, meja, dan papan tulis. Disamping usaha tersebut,
Rahmah juga mulai mengadakan usaha pemberantasan buta huruf bagi kalangan
ibu-ibu yang lebih tua.93
Visi Rahmah tentang peran perempuan adalah peran dengan beberapa
segi: pendidik, pekerja sosial untuk kesejahteraan masyarakat, teladan moral,
muslim yang baik, dan juru bicara untuk mendakwahkan pesan-pesan Islam.
Meniru model sekolah modern, Diniyah Putri menawarkan program pendidikan
baik pelajaran umum (matematika, biologi, geografi, fisika, dan bahasa
Indonesia), mata pelajaran agama (fiqh, ushul fiqh, tafsir, tauhid, hadis, musthalah
al-hadis, akhlaq, sejarah Islam, dan sejarah kesenian islam). Diniyah Putri
92
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1982),
cet ke-2, h. 62
93
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, ..., cet ke-2, h. 63
43

menawarkan tiga ijazah: satu miliknya sendiri, satu untuk pendidikan sekolah
menengah umum, dan satu pendidikan Islam yang diakui pemerintah. 94
Selain sebagai pendidik, Rahmah juga merupakan seorang pejuang.
Dialah orang pertama yang mengibarkan bendera merah putih di sekolahnya
setelah mendengar berita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dibawah
kepemimpinan Rahmah, Diniyah Putri berkembang pesat. Keberhasilan lembaga
ini mendapat perhatian dan pujian dari berbagai tokoh pendidikan, pemimpin
nasional, politikus, dan tokoh agama, baik dari dalam maupun luar negeri. Untuk
itu pada tahun 1957 Rahmah memperoleh gelar Syaikhah dari Senat Guru Besar
Universitas Al-Azhar, Mesir.95
c. Rohana Kudus
Rohana kudus lahir di Kota Gadang, Sumatera Barat, 20 Desember 1884.
Ia merupakan anak dari Muhammad Rasyad gelar Maharajo Sutan. 96 Pada 11
Februari 1911, ia mendirikan Kerajinan Amai Setia (KAS) di kota Gadang,
Sumatera Barat. Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan derajat perempuan
dengan jalan mengajarkan baca tulis huruf Arab dan latin, mengatur rumah
tangga, membuat kerajinan tangan, dan mengatur pemasarannya.97
Disamping itu Rohana Kudus beserta rekannya Zubaidah Ratna Juwita
anak dari Mahyuddin gelar Datuk Sutan Maharajo 98 mendirikan sebuah surat
kabar perempuan yang bertujuan untuk meningkatkan harkat dan kemajuan
perempuan, khususnya perempuan Minang. Surat kabar tersebut didirikan di Kota
Gadang tahun 1911. Rohana Kudus menyuarakan gagasannya lewat surat kabar
Sunting Melayu. Atas usaha yang dilakukan, maka kemudian Rohana Kudus
tercatat sebagai salah satu perintis pers Indonesia. Meskipun Rohana Kudus tidak
94
Lucy A. Whalley, Meletakkan Islam ke Dalam Praktek: Perkembangan Islam dalam
Perspektif Gender Minangkabau, dalam Mark R. Woodward, Jalan Baru Islam, (Bandung: Mizan,
cet 1, 1998), h. 217 dalam Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam,
(Ciputat, Quantum Teaching, 2005), h. 46-47
95
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia,..., h. 805
96
Zainal Abidin Ahmad, Memperkembang dan mempertahankan Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), cet ke-1, h. 287
97
Kongres Wanita Indonesia, Sejarah setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1978), cet k 1, h. 2-15 dalam Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan
Pemikiran Pendidikan Islam, ..., h. 48
98
Zainal Abidin Ahmad, Memperkembang dan Mempertahankan Pendidikan Islam di
Indonesia, ..., cet ke-1, h. 287
44

mendapatkan pendidikan formal, akan tetapi ia menyadari betul arti penting dari
media bagi pencapaian cita-citanya. 99
Rohana adalah seorang perempuan yang mempunyai komitmen yang
kuat pada pendidikan terutama untuk kaum perempuan. Pada zamannya Rohana
termasuk salah satu dari segelintir perempuan yang percaya bahwa diskriminasi
terhadap perempuan, termasuk kesempatan untuk mendapat pendidikan adalah
tindakan semena-mena dan harus dilawan. Dengan kecerdasan, keberanian,
pengorbanan serta perjuangannya Rohana melawan ketidakadilan untuk
perubahan nasib kaum perempuan.
d. Rasuna Said
Rasuna Said lahir di Maninjau, Sumatera Barat pada 14 September 1910.
Dari semenjak gadisnya, ia telah menunjukkan bakat dan perhatian di bidang
politik.100 Rasuna giat dalam Permi (Persatuan Muslim Indonesia) yang didirikan
pada tahun 1930. Sebagai seorang tokoh Permi, Rasuna Said menjadi seorang juru
pidato yang tangguh. Dalam pidatonya, Rasuna membakar semangat bangsa
Indonesia untuk bangkit menentang penjajah Belanda. 101 Namun pada tahun 1932,
Rasuna dijatuhi hukuman penjara satu tahun di penjara Bulu, Semarang karena
dituduh menghasut rakyat untuk memberontak. Setelah bebas, ia kemudian pindah
ke Medan, disana ia mendirikan Perguruan Putri dan Majalah Menara Putri di
Medan.102
Lewat majalah inilah Rasuna Said menyuarakan suara hatinya dan
pendiriannya dengan bebas. Selain itu, Ia juga pernah mengajar di Diniyah Putri
yang didirikan Rahmah El-Yunisiah. Tahun 1930 ketika ia menjadi guru di
Diniyah Putri, ia mulai mengemukakan pada pelajaran yang diberikan maupun
dalam pembicaraan-pembicaraan yang bersifat pribadi dengan para pelajar tentang
pentingnya politik dan partisipasi pelajar di dalamnya. Menurut Rasuna, pelajar

99
Kartini Syahrir, Para perempuan Indonesia di Media Massa, dalam Daniel Dhakidae,
Perempuan, Politik dan Jurnalisme: Tujuh Puluh Tahun Tuty Aziz, (Jakarta: Yayasan Padi Kapas,
1994), h. 58 dalam Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, ..., h. 48-
49
100
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia,..., h. 806
101
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia,..., h. 806
102
Nani Soewondo-Soerasno, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan
Masyarakat, ...,h. 195
45

hendaknya dilengkapi dengan berbagai macam kepandaian yang diperlukan oleh


seseorang yang akan berkecimpung dalam pergerakan. 103
Sesudah proklamasi kemerdekaan, Rasuna Said diangkat menjadi
anggota Komite Nasional Pusat (KNIP), kemudian menjadi anggota DPRS, dan
DPA. Pada tahun 1963, Rasuna Said berpulang ke Rahmatullah di Parabek
Bukittinggi. 104
Rasuna berjuang terus, tak mengenal lelah. Seluruh perhatian,
kepandaiannya, kesanggupan, tenaga dan pikirannya ditumpahkan untuk
perjuangannya dalam memajukan bangsa, terutama harkat dan martabat kaum
perempuan.
e. Raden Ayu Lasminingrat
Dilahirkan pada tahun 1843 di Kota Intan, Garut. Beliau adalah putri
Raden Muhammad Musa, Kepala Penghulu Kabupaten Garut, pendiri Sekolah
Raja, dan pada saat itu menjabat sebagai penasehat pemerintah. 105 Meskipun
terlahir dari keturunan bangsawan, Raden Ayu Lasminingrat tidak disekolahkan,
karena pada saat itu di Garut belum ada sekolah khusus untuk kaum perempuan.
Sebagai gantinya, beliau disekolahkan di rumah Kontroleur Levisan, seorang
bangsa Belanda. Di sana Raden Ayu Lasminingrat belajar menulis, membaca,
Bahasa Belanda, kebudayaan Barat dan pengetahuan lainnya yang berhubungan
dengan kewanitaan. Raden Ayu Lasminingrat adalah seorang perempuan yang
memiliki otak yang cerdas, kemauan keras, cita-cita yang tinggi dan tekun belajar,
maka segala pengetahuan yang diperolehnya dapat dikuasainya dengan cepat,
sehingga beliau menjadi wanita Sunda pertama yang fasih berbahasa Belanda
dengan orang-orang Belanda yang ada di Garut waktu itu. 106
Walaupun Raden Ayu Lasminingrat memiliki harkat dan derajat yang
cukup tinggi, baik di lingkungan keluarga maupun dalam ketajaman intelektual,

103
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942,..., cet ke-2, h. 64
104
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia,..., h. 806-807
105
Edi S Ekajati, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, (Jakarta: CV. Pialamas Permai,
1998), h. 90
106
Kadir Tisna Sutan, Ibu Lasminingrat Pelopor Pendidikan yang terlupakan, Kawit,
Bulletin Kebudayaan Jawa Barat, 1980, h. 4 dalam Edi S Ekajati, Sejarah Pendidikan Daerah
Jawa Barat,..., h. 90
46

semua itu tidak sepenuhnya membahagiakan hati beliau. Kehidupan kaum


perempuan Sunda khususnya dan perempuan Indonesia pada umumnya, yang
masih erat terbelengggu kebodohan akibat adat lama akibat penjajahan, selalu
menjadi bahan pemikiran beliau. Dalam hal ini, beliau telah merasakan apa arti
pendidikan dan pengetahuan bagi kehidupan manusia.
Bertolak dari permasalahan di atas, Ayu Lasminingrat berusaha
mendobrak adat lama yang tidak mengizinkan kaum perempuan memperoleh
pendidikan. Pada tahun 1907 beliau mendirikan ”Sekolah Kautamaan Istri” di
lingkungan Pendopo Garut, dengan mengambil tempat di ruang gamelan. Di
sekolah tersebut beliau mulai mendidik beberapa orang putri bangsawan dan anak-
anak pesuruh yang ada di lingkungan kabupaten. Mereka dididik dan diajari
membaca, menulis serta berbagai keterampilan wanita. 107
Raden Ayu Lasminingrat mendirikan sekolah tersebut karena beliau
memiliki sifat dan jiwa pendidik serta menaruh perhatian yang cukup besar
terhadap pendidikan bagi kaum wanita. Selain itu, beliau tergugah oleh gagasan-
gagasan Raden Dewi Sartika yang seringkali berkunjung kepadanya. 108
3. Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat
Pendidikan untuk penduduk golongan Eropa maupun penduduk golongan
Bumiputra dapat dilaksanakan dan dikembangkan di Jawa Barat pada abad ke-19.
Diantaranya:
Usaha pertama kali oleh Reinwardt dengan mendirikan ELS (Europeeshe
Lagere School) pada 24 Februari 1817. Sekolah ini mencontoh sekolah dasar yang
ada di Belanda. Sekolah ini merupakan sekolah khusus untuk anak-anak Belanda.
Pada tahun 1820 sekolah ini dikembangkan menjadi 7 buah, yaitu 2 buah di
Jakarta (di Weltevreden dan Molenvliet) dan masing-masing 1 buah di Cirebon,
Semarang, Surakarta, Surabaya, dan Gresik.109 Disekolah dasar itu diberikan
pelajaran menulis, membaca, berhitung, bahasa Belanda, sejarah, dan ilmu bumi.

107
E.M. Dachlan d/h Redacteur Sipatahunan, (Jakarta: September, 1980) dalam Edi S
Ekajati, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, ..., h. 90
108
E.M. Dachlan d/h Redacteur Sipatahunan dalam Edi S Ekajati, Sejarah Pendidikan
Daerah Jawa Barat, ..., h. 90
109
Pendidikan di Indonesia dari jaman ke jaman, (Jakarta: Dep. PK BP3K, 1979), h. 41
47

Setelah pendidikan dasar tersebut berlangsung selama kurang lebih 9 tahun, pada
tahun 1826 kegiatan pendidikan dan pengajaran terganggu oleh usaha-usaha
penghematan yang dilakukan oleh pemerintah (Komisaris Jenderal Du Bus de
Gisignes), sehingga urusan pendidikan dan pengajaran sangat disederhanakan. 110
Sementara itu pada tahun 1830 kekuasaan di Indonesia beralih ke tangan
Gubernur Jenderal Van den Bosch, “bapak” Cultuurstelsel” atau tanam paksa.
Untuk kelancaran Cultuurstelsel, Van den Bosch sangat membutuhkan tenaga
pekerja yang terdidik. Oleh karena itu bidang pendidikan, baik untuk golongan
Eropa maupun untuk golongan Bumiputra ditingkatkan.
Pendidikan untuk golongan Bumiputra bertujuan untuk mendapatkan
tenaga pendidik dengan biaya murah. Karena bila pegawai untuk administrasi
pemerintah ataupun pekerja bawahan harus didatangkan dari Negeri Belanda,
sudah tentu memerlukan biaya yang besar. Van den Bosch selau Gubernur
Jenderal Hindia Belanda memberikan (1830-1834) merasakan bahwa tanpa
bantuan penduduk Bumiputra yang terdidik, maka pembangunan ekonomi Hindia
Belanda yang menjadi tugas utama Van den Bosch tidak akan berhasil. 111
Untuk itu dibukalah pendidikan untuk golongan Bumiputra, agar
pelaksanaan Cultuurstelsel mendatangkan keuntungan besar sehingga dapat
memperbaiki kondisi ekonomi negeri Belanda.
Demikianlah pada tahun 1833 jumlah sekolah dasar dikembangkan
menjadi 19 buah, tahun 1845 menjadi 25 buah, tahun 1858 menjadi 57 buah,
tahun 1895 menjadi 159 buah, kemudian tahun 1902 meningkat lagi menjadi 173
buah. 112
Sekolah Dasar Bumiputra dibagi menjadi dua kategori, yaitu 113:
1. Sekolah Dasar Kelas Satu (De Scholen der Eerste Klasse)
Sekolah ini didirikan di ibukota keresidenan kabupaten, kewedanaan atau
yang sederajat, dan di kota-kota yang menjadi pusat perdagangan dan kerajinan
atau di tempat-tempat yang dipandang perlu untuk memiliki sekolah ini. Murid-

110
I. Djumhur dan H. Danasuparta, Sejarah Pendidikan, (Bandung: Ilmu, 1976), h. 121
111
Pendidikan di Indonesia dari jaman ke jaman, ..., h. 51
112
Pendidikan di Indonesia dari jaman ke jaman, ..., h. 50
113
Edi S Ekajati, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, ..., h. 52-60
48

murid yang diterima di sekolah ini adalah anak-anak golongan masyarakat atas,
seperti anak-anak bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka, dan orang-orang
Bumiputra yang terhormat. Hal ini disebabkan anak sekolah tersebut dimaksudkan
untuk memenuhi kebutuhan administrasi pemerintahan, perdagangan, dan
perusahaan. Lama belajar pada Sekolah Kelas Satu adalah 3 tahun, dengan bahasa
pengantar mula-mula bahasa Melayu dan daerah, tetapi kemudian secara
berangsur-angsur diubah menjadi bahasa Belanda (tahun 1914).
Sekolah Kelas Satu kemudian berkembang menjadi HIS (Hollandsch
Inlandsche School). HIS dibuka bukan karena direncanakan oleh pemerintah,
melainkan atas desakan masyarakat Indonesia, khususnya golongan masyarakat
atas. Hal ini disebabkan Sekolah Kelas Satu terbukti tidak memenuhi syarat untuk
melanjutkan pelajaran. Selain itu, masyarakat meminta agar kesempatan masuk
sekolah Belanda diperluas, sebab ujian Klein Ambtenaar terbukti terlalu sukar
untuk anak-anak Sekolah Kelas Satu.
2. Sekolah Dasar Kelas Dua (De Scholen der Tweede Klasse)
Sekolah ini dibuka dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan
pendidikan bagi masyarakat umum. Dengan kata lain, sekolah tersebut disediakan
bagi anak-anak Bumiputra dengan tujuan untuk mendidik calon-calon pegawai
rendah. Perbedaan antara Sekolah Kelas Satu dengan Sekolah Kelas Dua terletak
pada lama belajar, kurikulum, tenaga pengajar, dan ruang sekolah. Lama belajar
pada Sekolah Dasar Kelas Dua selama 5 tahun.
3. Gymnasium Willem III
Pada tahun 1860 di Jakarta dibuka Gymnasium Willem III yang
merupakan sekolah lanjutan (menengah) pertama untuk anak-anak golongan
Eropa dengan lama belajar 3 tahun. 114 Pada tahun 1867 sekolah tersebut dibagi
menjadi dua bagian (afdeling). Bagian A dengan lama belajar 5 tahun dan dapat
meneruskan ke Perguruan Tinggi. Bagian B dengan lama belajar 3 tahun,
kemudian dapat melanjutkan ke Perguruan Perwira, Pendidikan Pegawai Negeri
atau Akademi Perdagangan dan Kerajinan di Delf Negeri Belanda. Selanjutnya
49

Gymnasium diubah menjadi Hogere Burgerschool (HBS), dengan lama belajar 5


tahun. 115
4. Sekolah Raja (Hoofdenschool)
Hoofdenschool atau dalam bahasa sehari-hari biasa disebut Sekolah Raja,
mula-mula didirikan di Tondano pada tahun 1865 dan tahun 1872. Sekolah ini
disediakan bagi anak-anak dari orang-orang Bumiputra yang menjadi kepala
daerah dan tokoh-tokoh golongan Bumiputra lainnya. Setelah percobaan di
Tornado berhasil, maka pada tahun 1878 sekolah Raja didirikan lagi di Bandung,
Magelang, dan Probolinggo. Sekolah ini merupakan lanjutan umum dengan tujuan
mendidik calon-calon pegawai Bumiputra. Oleh karena itu, setelah percobaan
pendirian sekolah di kota-kota tersebut di atas berjalan lancar, maka pada tahun
1900, Sekolah Raja berganti nama menjadi OSVIA (Opleidingschool voor
Inalndsche Ambtenaren: Sekolah Pendidikan Pegawai Bumiputra). Selanjutnya
sekolah ini ditingkatkan menjadi sekolah menengah dengan nama MOSVIA.
5. Sekolah Pertukangan
Sekolah kejuruan pertama kali dibuka atas prakarsa pihak swasta pada
tahun 1856 di Batutulis, Jakarta. Murid-muridnya berusia 6-15 tahun. Tujuan
dibuka sekolah ini adalah untuk membantu golongan peranakan Indo-Belanda
agar dapat mencari penghidupan yang layak. Namun sekolah ini hanya bertahan
sampai tahun 1873. Pada tahun 1860 pihak pemerintah juga membuka sekolah
pertukangan namun inipun tidak dapat bertahan lama. Hal ini disebabkan
sedikitnya biaya pengolahan sekolah atau kurangnya animo murid-murid.
6. Sekolah Pendidikan Guru (Hollandsch Inlandsche Kweekschool)
Setelah pendidikan guru (Kweekschool) dibuka dengan maksud sebagai
persiapan untuk pendidikan sekolah-sekolah Bumiputra. Pada tahun 1834 dibuka
di Ambon. Di Pulau Jawa pada tahun 1852 di Surakarta. Pada tahun 1866 dibuka
di Bandung dengan murid pertama berjumlah 27 orang, diantaranya pindahan dari
HIK Surakarta.

115
Pendidikan di Indonesia dari jaman ke jaman, ..., h. 51
50

Semula bahasa pengantar pada HIK adalah bahasa Melayu, tetapi setelah
bahasa Belanda pada tahun 1865 diajarkan, maka sejak tahun 1871 bahasa
Belanda dijadikan bahasa pengantar.
Di daerah Priangan (Jawa Barat), HIK biasa disebut juga “Sekolah Raja”,
yaitu di Bandung, maka pendidikan Bumiputra di Jawa Barat dapat berkembang
karena adanya tenaga guru untuk mengajar, baik di sekolah pemerintah maupun di
sekolah swasta misalnya di HIS, termasuk HIS Pasundan.
Setelah lahirnya Politik Etis maka pendidikan tersebut diatas berangsur-
angsur membaik dan semakin banyak. Diantara sekolah yang baru didirikan ialah
sebagai berikut116:
1. Sekolah Bumiputra-Belanda (Hollandsch Inlandscheschool)
HIS yang dimulai didirikan pada tahun 1914 merupakan penjelmaan dari
Sekolah Kelas Satu. Di Jawa Barat HIS pemerintah dibuka di Jakarta, Bandung,
Sumedang, Ciamis, dan Kuningan. HIS Pasundan (swasta) terdapat di Bandung,
Ciparay, Sukabumi, Cianjur, Bogor, Karawang, Purwakarta, Tasikmalaya, dan
kota-kota lainnya.
2. Sekola Desa
Pertama kali didirikan pada tahun 1907 dan disediakan untuk anak-anak
rakyat biasa yang tinggal di desa-desa. Lama belajarnya 3 tahun. Pengetahuan
yang diajarkan hanyalah sekedar kepandaian membaca, menulis, dan berhitung.
Di Jawa Barat, sekolah ini antara lain terdapat di desa-desa di lingkungan kota
Bandung, Cirebon, dan Ciamis.
3. Sekolah Lanjutan (Vervoigschool)
Sekolah ini dibuka pada tahun yang bersamaan dengan tahun pendirian
HIS, yaitu tahun 1914 dan merupakan sekolah lanjutan dari Sekolah Desa
(Volkschool). Lama belajarnya 3 tahun dan disediakan untuk murid-murid Sekolah
Desa yang berprestasi baik. Pada sekitar tahun 1915 di Jawa Barat, Vervolgschool
dan Sekolah Kelas Satu/HIS telah berdiri hampir di tiap kabupaten.

116
Edi S Ekajati, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, ..., h. 73-78
51

4. Sekolah Peralihan (Shakeschool)


Di Jawa Barat, sekolah ini pertama kali didirikan di Bandung pada tahun
1921 dan di Jakarta pada tahun 1924. Disebut sekolah peralihan karena memang
sekolah tersebut merupakan peralihan dari Sekolah Desa 3 tahun yang berbahasa
pengantar bahasa daerah ke sekolah dasar yang berbahasa Belanda dengan lama
belajar 5 tahun.
5. MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs)
MULO pertama kali didirikan pada tahun 1914 dan merupakan sekolah
umum yang berdiri sendiri (sekarang SMP) yang terbuka bagi golongan
Bumiputra dan Timur. Lama belajar MULO selama 3 tahun
6. AMS (Algemeene Middelbaresschool)
AMS merupakan kelanjutan dari MULO dan sekaligus merupakan
persiapan untuk memasuki perguruan tinggi, dengan lama belajar 3 tahun. Setaraf
dengan SMA. Pada tahun 1920 membuka AMS di Bandung.
BAB III

RIWAYAT HIDUP RADEN DEWI SARTIKA

A. Latar Belakang Keluarga


Raden Dewi Sartika dilahirkan pada tanggal 4 Desember 1884 di
Bandung dalam kalangan menak (bangsawan) Sunda, sebagai putri kedua dari
lima bersaudara. Ayahnya adalah Raden Rangga Somanagara, Patih Bandung, dan
Ibunya adalah Raden Ayu Rajapermas. Raden Dewi Sartika mempunyai saudara
empat orang, yaitu Raden Sumamur (kakaknya) dan tiga orang adiknya masing-
masing bernama Raden H.Yunus, Raden Entis, dan Raden Sarti Pamerat. 117
Raden Rangga Somanagara adalah salah seorang putra dari perkawinan
Raden Demang Suriadipraja dengan Raden Ayu Komalanagara. Adapun kakeknya
dari garis ayah dikenal sebagai mantan Hoofd Djaksa (Jaksa Kepala) di Bandung.
Selain itu ia juga masih keturunan keluarga Dalem Timbanganten yang menjadi
cikal bakal pendiri kabupaten Bandung. Sedangkan ibunya, Raden Ayu
Rajapermas merupakan salah seorang putri dari Raden Aria Adipati

117
Nina H Lubis, 9 Pahlawan Nasional Asal Jawa Barat, (Bandung: Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran, 2006), h. 92

52
53

Wiranatakusumah IV yang pernah menjabat sebagai bupati Bandung (1846-1874)


dan lebih dikenal dengan sebutan Dalem Bintang. 118
Saat di Bandung, Raden Dewi Sartika tinggal bersama orangtua dan
saudara-saudaranya di sebuah rumah besar dan luas yang terletak di pinggir jalan
raya, tepatnya di Kepatihan Straat. Di beranda atau tepas, terlihat pot-pot bunga
berisi tanaman suflir dan kuping gajah yang tertata rapi. Sedangkan di
halamannya yang cukup luas itu ditumbuhi berbagai tanaman keras serta bunga-
bunga yang asri, termasuk diantaranya bunga hanjuang merah yang menjadi ciri
khas orang Sunda.119 Raden Dewi Sartika sangat rajin, dan suka kepada segala
sesuatu yang baru, serta dari kecil telah tampak pula sifat-sifat
kepemimpinannya. 120 Gerak-geriknya lincah, sigap, berani. Bicaranya pun lugas
dengan tutur kata yang tegas dan terkadang bernada keras. Walaupun Raden Dewi
Sartika agak tomboy, akan tetapi setiap harinya ia mengenakan kebaya dan kain
panjang. Jika berangkat ke sekolah atau bepergian kemana saja, ia selalu diantar
dengan delman yang dihias. Mengenakan busana yang terbuat dari bahan mahal
serta perhiasan yang indah. Kehidupan sehari-haripun diurus dan dilayani oleh
para abdi dalem yang setia, patuh dan hormat.121
Setiap ada acara yang cukup penting, ayahnya sering mengajak Raden
Dewi Sartika serta saudara-saudaranya. Misalnya menonton acara pacuan kuda di
Tegalega, pagelaran hiburan rakyat dan lain sebagainya. 122 Namun kebahagiaan
itu, berubah ketika tahun 1893, Raden Rangga Somanagara dituduh terlibat dalam
percobaan pembunuhan terhadap Bupati Bandung R.A.A.Martanegara (keturunan
menak Sumedang) dan para pejabat Belanda di Kota Bandung. 123 Dalam aksinya
Raden Rangga Somanagara, ayah Raden Dewi Sartika, bertindak bersama
ayahnya, yang juga kakek Raden Dewi Sartika yaitu Raden Demang Suriadipraja
(hoofd jaksa) Bandung dan beberapa tokoh menak lainnya, diantaranya Raden

118
Yan Daryono, R. Dewi Sartika, (Jakarta: Yayasan Awika&PT. Grafitri Budi Utami,
1996). h. 28
119
Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h.29
120
Edi S. Ekajati dkk, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, (Jakarta: CV. Pialamas
Permai, 1998), h. 84
121
Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 29-30
122
Meidiana F, Dewi Sartika, (Jakarta:Bee Media Indonesia, 2010), cet ke-1, h. 6
123
Nina H Lubis, 9 Pahlawan Nasional Asal Jawa Barat,..., h. 92
54

Rangga Kartadireja, Raden Danugara, Raden Natanagara, Raden Wira Sudibya,


Haji Abdul Kahar, dan Raden Argawijaya. Atas tuduhannya itu, Raden Rangga
Somanagara dibuang ke Ternate, yang terlebih dahulu pada tanggal 22 Juli 1893,
dimutasi menjadi Patih Afdeling Mangunreja, menggantikan jabatan
R.A.A.Martanegara. Sementara jabatan Patih Bandung digantikan oleh Raden
Tisnakusumah yang semula menjabat sebagai Patih Sumedang. 124 Sementara itu,
ayahnya, yang juga kakek Raden Dewi Sartika, Raden Demang Suriadipraja
dibuang ke Pontianak. 125 Sejumlah tokoh lainnya yang terlibat, ada yang
dikenakan hukuman buang di sekitar Pulau Jawa, atau menjalani hukuman
kurungan selama 20 tahun dan dikenakan kerja rodi untuk kepentingan
Gubernemen. Selain diasingkan, harta kekayaan mereka pun disita. 126
Setelah ditinggalkan oleh ayah dan ibunya ke pengasingan, kehidupan
Raden Dewi Sartika berubah drastis. Ia tinggal di rumah kakak kandung ibunya di
Cicalengka yang bernama Raden Demang Aria Surakarta Adiningrat. Semula
Raden Dewi Sartika terbiasa hidup enak dan serba dilayani oleh abdi dalem,
setelah ayahnya dibuang, ia harus hidup susah. Perlakuan tidak ramah dan kasar
sering dialami oleh Dewi kecil. Raden Dewi Sartika dianggap sebagai anak
pemberontak. Siapa pun yang membela atau memperlakukannya dengan baik,
akan dianggap sebagai pro pemberontak. Karena alasan itulah, pamannya yang
juga patih Cicalengka, memperlakukan dia sebagai abdi dalem atau pembantu di
rumahnya.127
Selain itu, Raden Dewi Sartika dikeluarkan dari sekolahnya, karena pihak
sekolah tidak mau menerima anak pemberontak. Akhirnya, Dewi kecil mulai
terbiasa dengan pekerjaan yang layaknya dilakukan oleh para pembantu, seperti
mencuci, membereskan rumah, menyapu rumah, memasak dan
menghidangkannya, serta semua pekerjaan rumah sehari-hari lainnya. Yang
membedakan Raden Dewi Sartika dengan abdi dalem lainnya adalah dia dapat

124
Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 35
125
Kosoh, dkk, Sejarah Daerah Jawa Barat, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek
Investarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1994), h. 162
126
Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 36
127
Meidiana F, Dewi Sartika,..., h. 14
55

membaca dan menulis karena dia pernah bersekolah di Sekolah Kelas Satu (Eerste
Klasse Inlandsche School) di Bandung, sekolah khusus anak-anak Belanda dan
anak priyayi. 128
Meskipun sehari-hari ia diperlakukan seperti abdi dalem, tapi pancaran
wajahnya tetap memantulkan darah kebangsawanannya. Ibarat kata pepatah, jika
terbuat dari loyang meskipun diletakkan di etalase tetap saja loyang. Dan
meskipun terbuat dari emas, bila ditempatkan di tempat kotor, tetap saja bernilai
emas. Hal demikian dalam bahasa Sunda disebut sorot. Dan sorot itu diyakini
tidak bisa dibuat-buat, karena ia adalah anugerah dari Kanjeng Gusti Allah.
Nampaknya kecantikan Raden Dewi Sartika mengundang hasrat Raden Kanjun
yang sudah beristri, berniat memperistri Raden Dewi Sartika sebagai istri yang
kedua. Namun Raden Dewi Sartika menolak secara halus ajakan anak dari istri
ketiga pamannya itu.129 Penolakannya, bukan hanya disebabkan karena tidak
menaruh hati pada saudaranya misannya itu, juga karena ia tidak bisa menganut
paham poligami, dan tidak ingin merusak rumah tangga orang lain. 130
Setelah Raden Dewi Sartika kembali tinggal dan hidup dengan ibunya di
Bandung, tepatnya setelah Raden Dewi Sartika mendirikan Sekolah Istri. Ia
kembali dilamar oleh seorang lelaki yaitu dari salah satu anak Pangeran
Djajadiningrat melalui utusan yang datang dari Banten yang menemui
R.A.Rajapermas. Namun lamaran tersebut ditolak oleh Raden Dewi Sartika,
karena menurutnya dirinya tak mungkin bisa menikah dengan pria yang belum
dikenalnya dengan baik, dan yang belum tentu mengena dihatinya. 131
Akhirnya, pada tahun 1906 Raden Dewi Sartika menikah dengan Raden
Kanduruan Agah Suriawinata.132 Raden Agah Kanduruan sendiri merupakan
seorang duda beranak dua, namun salah satu anaknya meninggal menyusul

128
Meidiana F, Dewi Sartika,..., h. 16
129
Meidiana F, Dewi Sartika,..., h. 18
130
Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 51
131
Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 64
132
Meidiana F, Dewi Sartika,..., h. 42
56

istrinya yang lebih dahulu meninggal. Ia adalah seorang guru Eerste Klasse
School di Karang Pamulang.133

B. Latar Belakang Pendidikan

Orangtua Raden Dewi Sartika sangat menginginkan anaknya tumbuh


dengan cerdas dan pintar. Karena ayahnya menjabat sebagai Patih Bandung, maka
Raden Dewi Sartika dan saudara-saudaranya diperbolehkan mengikuti sekolah di
Eerste Klasse School yakni sekolah setingkat sekolah dasar. Pada prinsipnya
sekolah tersebut hanya untuk anak-anak Belanda dan peranakan, tapi sehubungan
Raden Dewi Sartika dan saudara-saudaranya adalah putri Patih, maka ia
diperbolehkan mengikuti pendidikan di sekolah tersebut. Disitulah mereka
mendapat kesempatan belajar bahasa Belanda dan Inggris. 134
Di sekolah tersebut Raden Dewi Sartika termasuk ke dalam golongan
murid yang maju, sungguh-sungguh dalam belajar dan sukai oleh teman-
temannya. Sayang ia tidak dapat menamatkan sekolahnya (hanya sampai kelas 3)
karena ia terpaksa harus meninggalkan sekolahnya karena musibah telah menimpa
ayahandanya. Raden Rangga Somanegara, ayah Raden Dewi Sartika telah dituduh
sebagai pelopor pemberontakkan yang akan menggulingkan kedudukan Bupati
Bandung masa itu. 135 Dari kejadian itulah, Raden Rangga Somanagera diasingkan
ke Ternate, hal itu menjadikan kaum kerabat dan masyarakat menjauhkan diri dari
kehidupan mereka, sebab takut dicurigai atau dianggap bersekutu dengan
“pemberontak”. Sekolah-sekolah tidak mau menerima kelima anak
R.A.Rajapermas sebagai muridnya. Mereka takut kepada tindakan Pemerintah
Hindia Belanda, sebab menerima anak seorang “pemberontak”. Karena keadaan
tidak memungkinkan untuk terus belajar, Raden Dewi Sartika kemudian dibawa
pamannya ke Cicalengka, yang diangkat sebagai Patih Cicalengka. 136
Di tempat uwaknya tersebut, Raden Dewi Sartika tetap mendapatkan
pendidikan dari istri ke empat Raden Aria Suriakarta, yakni Nyi Raden Eni (Agan

133
Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 66
134
Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 29
135
Edi S. Ekajati dkk, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat,..., h. 85
136
Nina H Lubis, 9 Pahlawan Nasional Asal Jawa Barat, ..., h. 92-93
57

Eni). Oleh uwaknya ia dididik dan dibekali bermacam-macam ilmu pengetahuan


yang perlu untuk perempuan. Ia merasa bangga karena pada waktu itu ia
merupakan satu-satunya diantara wanita-wanita di lingkungannya yang sudah
pandai membaca dan menulis. 137 Dalam pengajarannya, Agan Eni mengajarkan
para perempuan menak bawah tentang kepandaian bertutur, bertingkah laku,
memasak makanan sehat, berdandan, dan semua hal yang sudah seharusnya
wanita kuasai untuk menyenangkan suami. 138
Pada waktu itu Raden Dewi Sartika sudah memperlihatkan minat
terhadap usaha dalam mendidik kaumnya. Bila ada kesempatan bermain dengan
sesama gadis para menak, Raden Dewi Sartika sering bermain sekolah-sekolahan,
dimana ia bertindak sebagai guru sedangkan teman-temannya sebagai murid. Ia
juga sering membantu teman-temannya yang buta huruf untuk membacakan surat-
surat yang mereka terima.
Mungkin, hal tersebut yang kelak menjadi pendorong bagi Raden Dewi
Sartika untuk memberikan peluang bagi kaum perempuan dari kalangan
masyarakat biasa, agar memiliki sejumlah pengetahuan dan keterampilan melalui
jenjang pendidikan yang akan menjadi pembuka atau jalan bagi kehidupan yang
lebih baik.

C. Karya-karya
Karangan-karangan Raden Dewi Sartika dalam pidatonya tentang
Konsep Pendidikan bagi Kaum Perempuan. Karangan tersebut disampaikan dalam
pidatonya di Surabaya dalam acara Sarekat Islam atas undangan HOS
Tjokroaminoto sekaligus perayaan tujuh tahun didirikannya Sakola Kautamaan
Istri di Bandung dengan judul:
1. Kautamaan Istri yang berisi tentang keutamaan perempuan dalam
kehidupan teruatam hak untuk mendapatkan pendidikan.
2. Wanita Pribumi yang berisi tentang keadaan wanita pribumi pada masa
kolonial (masa Raden Dewi Sartika).

137
Edi S. Ekajati dkk, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat,..., h. 85-86
138
Meidiana F, Dewi Sartika,..., h. 18
BAB IV
KONSEP PENDIDIKAN PEREMPUAN MENURUT RADEN
DEWI SARTIKA

A. Latar Belakang Berdirinya Sekolah Kautamaan Istri


Dari semenjak kecil Raden Dewi Sartika sudah bercita-cita menjadi
seorang guru. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, ia sering
memperagakan layaknya seorang guru di sekolah, mengajari baca-tulis, dan
bahasa Belanda kepada anak-anak pembantu di kepatihan. 139 Cita-citanya tersebut
semakin kuat untuk dilaksanakan, setelah terjadi prahara di kepatihan yang
menyebabkan Ayahnya harus dibuang ke Ternate, karena dituduh melakukan
percobaan pembunuhan terhadap bupati Bandung yang akan dilantik pada saat itu,
R.A.A. Martanegara.140 Raden Ayu Rajapermas, Ibu Raden Dewi Sartika,
memutuskan untuk ikut menemani suaminya ke Ternate.141
Raden Dewi Sartika merasakan pedihnya ditinggal oleh kedua
orangtuanya, terlebih lagi ibunya yang sebenarnya tidak menerima hukuman
buang ke Ternate, namun lebih memilih menemani ayahnya daripada menjaga dan
mengasuh ia dan saudara-saudaranya yang masih kecil. Kejadian itu membukakan
pikirannya untuk mengubah jalan pikiran perempuan agar lebih mandiri dalam

139
Meidiana F, Dewi Sartika, (Jakarta:Bee Media Indonesia, 2010), cet ke-1, h. 12
140
Kosoh, dkk, Sejarah Daerah Jawa Barat, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek
Investarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1994), h. 162
141
Meidiana F, Dewi Sartika,..., cet ke-1, h. 14

58
59

menjalani kehidupannya sehari-hari. Dengan kemampuan yang perempuan miliki,


selayaknya kaum perempuan harus dapat keluar dari bayang-bayang kaum pria.
Karena bagaimanapun, tak selamanya seorang istri terus berada di belakang
suaminya.
Selain itu, ketika Raden Dewi Sartika tinggal bersama uwaknya, di
Cicalengka, ia melihat kehidupan rumah tangga uwaknya yang berpoligami.
Raden Aria Suriakarta Adiningrat, uwak Raden Dewi Sartika, memiliki empat
orang istri. Bahkan konon walaupun telah memiliki empat orang istri, Raden Aria
Suriakarta Adiningrat masih suka mengganggu istri-istri bawahannya, bahkan
ketika berburu ia suka memanfaatkan kesempatan mencari wanita yang bisa
dikencani. 142
Dari realitas kehidupan yang ia alami di rumah uwaknya, Raden Dewi
Sartika melihat bahwa seorang istri tidak berdaya ketika suaminya ingin memiliki
istri lagi, dan tidak dapat menolak keinginan suaminya itu. Ia pun tidak bisa
berbuat apa-apa ketika mengetahui suaminya berselingkuh dengan perempuan
lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa seorang istri harus menerima apapun yang
suaminya berikan kepadanya, tanpa bisa menolak sedikitpun.
Selain melihat kehidupan keluarga yang berpoligami, Raden Dewi
Sartika pun melihat realita bahwa keponakan-keponakannya, serta anak-anak
abdi dalem yang sebaya dengannya tidak dapat membaca dan menulis. Hal itu
diketahui ketika ia dan teman-teman sebayanya mendapatkan pengajaran dan
pendidikan dari Agan Eni, istri keempat uwaknya, Raden Aria Suriakarta
Adiningrat. Dari seluruh anak-anak yang diajar oleh Agan Eni, hanya Raden Dewi
Sartika yang pandai membaca dan menulis, hal itu disebabkan karena ia
sebelumnya telah mengenyam pendidikan di sekolah Belanda. Pada waktu itulah
ia merasa bangga karena ia merupakan satu-satunya murid yang sudah pandai
membaca dan menulis. Oleh karena itu ia seringkali dimintai pertolongan oleh
teman-teman sebayanya untuk menulis surat atau membacakan surat. 143

142
Yan Daryono, R. Dewi Sartika, (Jakarta: CV. Pialamas Permai, 1998), h. 50
143
Panitia Peringatan Hari Lahir Ibu Rd.Dewi Sartika, Riwayat Hidup dan Perjuangannya
1884-1947, (Bandung,: Konsolidasi Partisipasi Masyarakat Meneruskan Perjuangan Rd. Dewi
Sartika), h. 2
60

Keadaan keponakan-keponakan dan teman-teman Raden Dewi Sartika,


yang dibiarkan bodoh akan baca tulis, dapat membahayakan bagi nasib kaum
perempuan itu sendiri. Karena jika mereka meminta tolong kepada orang lain,
untuk membaca atau menuliskan surat, maka tidak menutup kemungkinan mereka
bisa ditipu oleh orang lain. Hal inilah yang membuka pikirannya bahwa anak
perempuan harus bisa menulis dan membaca, agar dapat menjaga dirinya dan
tidak menjadi korban penipuan.
Ketika ibunya kembali ke Bandung setelah ayahnya meninggal di
Ternate, Raden Dewi Sartika pun memutuskan pergi dari rumah uwaknya dan
hidup bersama ibunya. Namun tak disangka kehidupannya terasa pahit, karena
ibunya sudah jatuh miskin dan tidak memiliki kemampuan untuk membiayai
kehidupan sehari-hari. Karena semua hartanya disita oleh pemerintah ketika
suaminya, Raden Somanagara diasingkan ke Ternate. Karena Raden Ayu
Rajapermas, ibunya Raden Dewi Sartika tidak mendapat pengajaran dan
pendidikan, sehingga ia tidak bisa mencari nafkah untuk kelima putra-putrinya,
apalagi untuk hidup di atas kaki sendiri. Sehingga ia dan keluarga hidup dalam
keadaan serba kekurangan dan banyak mendapat kesulitan-kesulitan dalam
menjalani kehidapannya. Hal ini mengakibatkan penderitaan batin bagi ibu Raden
Dewi Sartika. 144
Raden Raden Dewi Sartika sangat prihatin akan ketidakberdayaan
ibunya sebagai seorang perempuan. Dalam pikirannya, sudah tentu banyak
perempuan yang bernasib buruk dan tidak berdaya seperti ibunya, lebih-lebih di
kalangan rakyat kecil. Kesedihan dan keprihatinan yang dialaminya telah
membukakan mata hatinya untuk berusaha mengubah jalan pikiran kaum
perempuan sebangsanya sehingga timbullah keinginan untuk memperbaiki
kehidupan mereka dengan jalan memberikan pengajaran dan pendidikan kepada
kaum perempuan supaya mereka dapat memiliki berbagai kecakapan yang
diperlukan sebagai perempuan, terutama calon ibu rumah tangga.

144
Panitia peringatan Hari Lahir Ibu Rd.Dewi Sartika, Riwayat Hidup dan Perjuangannya
1884-1947,..., h. .3- 4
61

Seorang perempuan tidak boleh bergantung kepada suami, keluarga atau


kebaikan hati orang lain. Kaum perempuan harus mendapatkan pengajaran dan
pendidikan sedemikian rupa sehingga ia sanggup dan dapat berdiri di atas kaki
sendiri. Terlebih-lebih Raden Dewi Sartika telah merasakan dan menyaksikan
sendiri perlakuan yang sangat berbeda antara pendidikan bagi perempuan dan
laki-laki waktu itu, yang menjadikan posisi kaum perempuan berada di nomor dua
daripada laki-laki dalam menerima pendidikan. Maka, ia semakin mempunyai
tekad untuk berjuang terus melaksanakan cita-citanya dalam memajukan kaum
perempuan untuk dapat mendapatkan pendidikan yang layak, dan memperkuat
keteguhan untuk berjuang dalam memajukan kaum perempuan.
Namun tidak hanya itu, keadaan sosial yang masih terikat dengan adat
istiadat yang berlaku di masyarakat pun mengikat anak perempuan untuk
berkembang. Ketika anak perempuan menginjak usia 12 tahun, ia mulai dipingit
oleh orang tuanya. Mereka tidak diizinkian ke luar rumah tanpa sepengatahuan
orang tuanya. Di rumah, mereka hanya belajar mempersiapkan diri untuk terampil
di dapur sambil menunggu nasibnya disunting oleh laki-laki yang hendak
menjadikannya istri. Bagi mereka yang sedang sekolah, tidak ada pilihan lain
kecuali harus ke luar dari sekolah. 145
Dengan kondisi sosial budaya seperti itu, betapa besar kesulitan yang
dihadapi Raden Dewi Sartika untuk mewujudkan cita-citanya. Karena sulit
baginya untuk mengubah suatu keadaan yang sudah tertanam dalam masyarakat
dan menjadikannya suatu perubahan demi menciptakan peradaban baru dalam
kehidupan masyarakat. Akan tetapi, baginya kesulitan-kesulitan yang dihadapinya
tersebut justru semakin memperkuat keinginannya untuk dapat memberikan
pengajaran dan pendidikan bagi anak-anak perempuan, yang ia realisasikan
dengan mendirikan sebuah sekolah yang diperuntukkan khusus bagi kaum
perempuan.
Keinginannya itu dapat terwujud dengan bantuan Bupati Bandung
R.A.A. Martanegara yaitu pada tanggal 16 Januari 1904, Raden Dewi Sartika

145
Nina Herlina Lubis, 9 Pahlawan Nasional Asal Jawa Barat, (Bandung: Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga peneltiian Universitas Padjajajran, 2006), h. 94
62

dapat mendirikanlah sebuah sekolah yang khusus untuk kaum perempuan yang
bertempat di Paseban Kulon, Kompleks Pendopo Kabupaten Bandung dengan
nama “Sakola Istri” dan kemudian diganti dengan nama “Sakola Kautamaan
Istri.146

B. Berdirinya Sakola Kautamaan Istri


Semua pengalamannya baik ketika tinggal bersama uwaknya di
Cicalengka, maupun ketika kembali tinggal bersama ibunya di Bandung, telah
menyadarkan Raden Dewi Sartika bahwa selayaknyalah kaum perempuan harus
mampu mandiri dan terampil. Untuk itu anak perempuan harus dididik dan dibina
agar menjadi manusia yang dapat mengembangkan potensinya dan supaya
dikemudian hari mereka dapat menjadi ibu yang baik, yang sanggup melindungi
keluarganya. Karena dari ibu yang baik akan lahir generasi yang baik.
Oleh karena itu, ia mulai berpikir untuk mewujudkan cita-citanya untuk
mendidik anak-anak perempuan dari kalangan menak maupun rakyat jelata demi
kemajuan harkat dan martabat kaum perempuan itu sendiri, sehingga dapat
menjadi manusia berguna bagi dirinya sendiri, masyarakat, bangsa dan negara.
Dan hanya dengan pendidikanlah jalan keluarnya. Maka, inilah alasan mengapa
Raden Dewi Sartika mencetuskan gagasan untuk mendirikan sekolah khusus
untuk kaum perempuan.
Usahanya dalam mengajar dan mendidik kaum perempuan, dilakukan
pertama kali pada tahun 1902 ketika ia kembali ke rumah ibunya di Kota
Bandung. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, dia
mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan, seperti merenda,
menyulam, merancang pakaian, tatakrama, memasak, menjahit, membaca,
menulis, dan sebagainya. Mereka pun sangat senang diajari oleh Raden Dewi
Sartika sehingga pengetahuan mereka semakin bertambah. Sebagai imbalan atas

146
Panitia Peringatan Hari Lahir Ibu Rd.Dewi Sartika, Riwayat Hidup dan Perjuangannya
1884-1947, ...h. 5
63

pelajaran yang diberikan Raden Dewi Sartika, biasanya murid-muridnya


membawa makanan, beras, garam, buah-buahan dan sebagainya. 147
Kegiatan belajar mengajar yang dirintis Raden Dewi Sartika perlahan-
lahan tercium oleh Inspektur Pengajaran Hindia Belanda di Bandung yang
bernama C. Den Hammer. Pada mulanya, Den Hammer menilai kegiatan tersebut
adalah kegiatan liar yang membahayakan dan patut dicurigai. Terlebih Raden
Dewi Sartika adalah anak dari Patih Somanagara yang dikenal menentang
Gubernemen. Tetapi, setelah melihat secara dekat, dengan cara mendatangi rumah
R.A. Rajapermas untuk melihat kegiatan pengajaran yang dilakukan Raden Dewi
Sartika, akhirnya C. Den Hammer menilai kegiatan tersebut tidak membahayakan
dan bahkan dinilai positif, sehingga ia terkesan dengan pemikiran dan keinginan
Raden Dewi Sartika yang ingin mendirikan sekolah bagi anak perempuan.148
Karena terkesan dan simpati, secara pribadi maupun sebagai pejabat
Inspektur Pengajaran, Den Hammer menyatakan dukungannya atas rencana untuk
mendirikan sekolah untuk kaum perempuan, bahkan Den Hammer menyuruhnya
agar segera mendirikan sekolah tersebut.
Namun, dukungan Den Hammer ternyata tidak cukup, karena masih saja
ada yang menghalangi usahanya tersebut. Bahkan ketika Raden Dewi Sartika
menghubungi kerabat dekat dan sanak keluarganya untuk membantu mendirikan
sekolah bagi anak perempuan, semua yang dihubunginya justru menolak dan
menentang gagasan tersebut dengan alasan adat istiadat. Seperti yang
diungkapnya dalam salah satu artikelnya, dia menyayangkannya,”.......masih
banyak diantara orang-orang setanah air saya yang rupanya selalu berusaha
untuk lebih dahulu menentang segala yang baru”.149 Dengan kenyataan itu, Den
Hammer ikut prihatin.
Melihat kenyataan bahwa keluarga Raden Dewi Sartika tidak mendukung
cita-citanya dalam mendirikan sekolah bagi anak perempuan, akhirnya Den
Hammer mengusulkan agar ia meminta bantuan kepada Bupati Bandung, R.A.A.
Martanegara. Mendengar usulan dari Den Hammer membuatnya merasa ragu,
147
Meidiana F, Dewi Sartika,..., cet ke-1, h. 22-24
148
Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 56
149
Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 55
64

mengingat ayahnya dibuang ke Ternate hingga meninggal dunia di sana karena


dituduh melakukan percobaan pembunuhan pada bupati Bandung, R.A.A.
Martanegara. Ia sudah membayangkan bahwa ibunya akan marah dan mungkin
akan dimusuhi oleh saudara-saudaranya. Tetapi setelah berpikir ulang, ia akhirnya
menerima usulan Den Hammer. 150
Mendengar bahwa Raden Dewi Sartika akan menghadapinya, Bupati
Bandung R.A.A. Martanegara terkejut, apalagi mendengar gagasan Raden Dewi
Sartika yang ingin mendirikan sekolah bagi anak perempuan. Setelah bupati
Bandung mendengar paparan dari Raden Dewi Sartika dalam mewujudkan cita-
citanya untuk mendirikan sekolah bagi kaum perempuan, demi kemajuan harkat
dan martabat kaum perempuan itu sendiri, R.A.A. Martanegara merasa haru, dan
kagum, akan tetapi sang Bupati perlu waktu untuk merundingkan ide itu dengan
sejumlah sahabat dan kerabat dekatnya. Tak lama setelah itu, ia pun dipanggil ke
Pendopo dalem. Dalam pertemuan itu, R.A.A. Martanegara menjawab keinginan
Raden Dewi Sartika dan mengatakan:
“Nya atuh uwi, ari Uwi jeung kekeuh hayang mah, mugi-
mugi bae dimakbul ku Allah nu ngawasa sekuliah alam,
urang nyoba-nyoba nyieun sakola sakumaha kahayang Uwi.
Pikeun nyegah bisi aya ka teu ngeunah di akhir, sekolah teh
hade lamun di pendopo wae heula. Lamun katanyaan henteu
aya naon-naon, pek bae pindah ka tempat sejen,” ujar
Martanegara.

(Kalau memang Uwi tetap berkeinginan seperti itu, semoga


dikabulkan oleh Allah penguasa semua alam. Kita mencoba
membuat sekolah sebagaimana keinginan Uwi. Untuk
mencegah kalau ada hal-hal yang tdak diinginkan lebih baik
sekolahnya di Pendopo saja. Kalau sudah berjalan dengan
baik, silahkan pidah ke tempat lain,” ujar Martanegara).151

Mendengar ucapan R.A.A. Martanegara, hilanglah semua perasaan


cemasya. Ia sangat senang karena ucapan sang Bupati menandakan dukungan dan
perlindungan atas rencananya mendirikan sekolah untuk kaum perempuan. Oleh

150
Meidiana F, Dewi Sartika,..., cet ke-1, h. 28
151
Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 57
65

karena itu, pada 16 Januari 1904, Sakola Istri berhasil dibentuk. Dalam bahasa
Sunda, istri berarti juga wanita. 152
Sekolah ini merupakan sekolah pertama bagi kaum perempuan Indonesia.
Sesuai dengan amanat R.A.A. Martanegara, untuk sementara waktu tempat belajar
dilaksanakan di ruangan Paseban Barat di halaman rumah bupati Bandung. 153

C. Sistem Pendidikan di Sakola Kautamaan Istri


Sehubungan dengan sistem pendidikan Sakola Kautamaan Istri, penulis
mencatat beberapa elemen penting yang menjadi faktor penunjang keberhasilan
sebuah lembaga pendidikan. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Guru
Sakola Kautamaan Istri adalah sekolah yang khusus diperuntukkan untuk
kaum perempuan. Oleh karena itu, guru-guru yang mengajar di sekolah tersebut
semuanya merupakan perempuan. Salah satu tujuan diberlakukan kebijakan
seperti ini adalah agar masyarakat dapat menyaksikan dan mampu memberikan
penilaian bahwa kaum perempuan juga mampu bersaing dengan kaum laki-laki
dalam upaya pemberdayaan pendidikan.
Penulis mencatat, pada awal pembentukkannya pada tahun 1904, terdapat
tiga guru yang mengajar di Sakola Kautamaan Istri, selain Raden Dewi Sartika
sendiri yang juga merangkap sebagai kepala sekolah, juga ada saudara misannya
yang ikut membantu dalam memberikan ilmu pengetahuan. Diantara kedua guru
tersebut ialah Nyi Poerwa dan Nyi Oewit. Selain itu penulis mencatat beberapa
nama guru setelah berdirinya tahun 1904, diantaranya mbok Suro (guru pada mata
pelajaran membatik), Ibu Juhana, Ibu Neno Karsanah, Ibu Enceh, Ibu Halimah,
Ibu Ine Tardine, dan Ibu Teiters (guru bahasa Belanda). 154
Oleh karena keterbatasan sumber dan data yang tersedia, penulis hanya
bisa menyajikan beberapa nama guru yang mengajar pada waktu itu. Hal ini
disebabkan karena tidak adanya dokumentasi tertulis baik dari Perpustakaan
Daerah Bandung maupun dari Sekolah Dewi Sartika sekarang, tentang
152
Meidiana F, Dewi Sartika,..., cet ke-1, h. 31-32
153
Yan Daryono, R. Dewi Sartika, ..., h. 58
154
Lihat Yan Daryono, R. Dewi Sartika, ...., h. 58, 72, 127, 128,
66

keseluruhan jumlah guru yang mengajar di Sakola Kautamaan Istri selama rentang
sekolah tersebut beroperasi. Walaupun Sakola Kautamaan Istri atau sekarang
berubah menjadi Sekolah Dewi Sartika masih ada, namun penulis tidak dapat
menemukan data nama-nama guru sewaktu masih di pimpin oleh Raden Dewi
Sartika di sekolah tersebut, mengingat banyak dokumen-dokumen yang hilang
ketika tentara Jepang mengambil alih Sakola Kautamaan Istri pada tahun 1942.
Walaupun demikian, dapat dipastikan bahwa semua tenaga pengajar yang
mengajar pada Sakola Kautamaan Istri merupakan guru-guru pilihan yang sengaja
dipilih oleh Raden Dewi Sartika untuk membantu beliau dalam merealisasikan
cita-citanya mengangkat derajat kaum perempuan.
Oleh karena itu, kriteria guru yang mengajar di Sakola Kautamaan Istri
adalah sebagai berikut:
1. Memiliki kemampuan tinggi tentang dunia pendidikan.
2. Memiliki keterampilan khusus di bidang keterampilan wanita, seperti;
memasak, menjahit, menyulam, merenda, mengatur rumah dll.
3. Berwibawa, bijaksana, tegas, disiplin, baik, periang, dan berlaku adil
kepada murid-murid.
4. Memiliki kemampuan untuk selalu membangkitkan minat anak belajar
dan memberi nasehat kepada anak didik untuk belajar sungguh-sungguh.
5. Memiliki semangat juang dalam memajukan kaum perempuan. 155
Dalam proses belajar mengajar di Sakola Kautamaan Istri, guru-gurunya
tidak hanya memberikan ilmu pengetahuan umum saja seperti membaca, menulis,
berhitung dll, akan tetapi juga memberikan berbagai keterampilan yang
dituangkan dalam pelajaran keterampilan wanita seperti memasak, menjahit,
menyulam, merenda, menyajikan makanan dll. Selain itu juga, diberikan pelajaran
akhlak atau budi pekerti dan berbagai pembinaan-pembinaan. Sehingga, dapat
disimpulkan bahwa seorang guru menurut Raden Dewi Sartika adalah orang
dewasa yang tidak hanya memberikan ilmu pengetahuan dan keterampilan saja
kepada anak didik, namun juga memberikan pembinaan-pembinaan yang akan

155
Lihat Yan Daryono, R. Dewi Sartika, ...., h. 125, 126, 134
67

membentuk kepribadian yang baik bagi anak didik yang akan bermanfaat bagi
kehidupan yang akan datang.
2. Murid
Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Raden Dewi Sartika khusus untuk
anak-anak perempuan sebagai upaya untuk menjadikan mereka memiliki
pengetahuan, dan keterampilan yang akan mengangkat harkat dan martabat kaum
perempuan itu sendiri. Oleh karena itu, murid-murid yang sekolah di Sakola
Kautamaan Istri pun semuanya adalah anak perempuan.
Penulis mencatat, pada tahun 1904 didirikan, jumlah murid di Sakola
Kautamaan Istri cukup menggembirakan. Walaupun baru didirikan namun jumlah
siswi yang mendaftar pada angkatan pertama sudah mencapai 60 siswi. Pada
tahun selanjutnya, tepatnya pada tahun 1905, proses belajar mengajar
dipindahalihkan dari Pendopo atau halaman rumah bupati Bandung, R.A.A
Martanegara ke Jalan Ciguriang-Kebon Cau. Walaupun penulis tidak menemukan
data tentang jumlah siswi pada saat dipindahkan, namun penulis dapat
mengasumsikan bahwa siswinya pada saat itu sangat banyak. Mengingat untuk
angkatan pertama saja siswi yang daftar sudah mencapai 60 siswi, apalagi untuk
angkatan kedua, penulis menilai lebih dari 50 siswi yang daftar sebagai murid
Raden Dewi Sartika, karena berdirinya Sakola Kautamaan Istri mendapat
sambutan hangat dari masyarakat umum, selain itu juga yang menjadi sebab
kegiatan belajar mengajar dipindahkan, karena Pendopo sudah tidak bisa lagi
menampung siswi yang semakin banyak. 156
Tepat pada tujuh tahun Sakola Kautamaan Istri didirikan, pada tahun
1911 jumlah siswi pada Sakola Kautamaan Istri berjumlah 210 siswi. Memasuki
tahun ajaran di tahun 1913, jumlah siswi di Sakola Kautamaan Istri telah
mencapai 251 siswi. Dan yang lulus pada tahun yang sama sebanyak 107 siswi.
Maka dapat penulis simpulkan bahwa jumlah siswi keseluruhan pada saat itu
mencapai 358 siswi. Dari data tersebut dapat terlihat jelas bahwasanya Sakola
Kautamaan Istri yang didirikan oleh Raden Dewi Sartika merupakan sekolah

156
Lihat Yan Daryono, R. Dewi Sartika, ..., h. 58, 82
68

bumiputra yang paling besar dan paling mapan di zamannya. Bahkan para
siswinya tidak hanya dari Bandung, akan tetapi dari seluruh pulau jawa.157
Namun demikian, penulis tidak dapat menuliskan jumlah siswi di Sakola
Kautamaan Istri pada tiap tahunnya, karena keterbatasan sumber yang ditemukan.
Dari buku yang penulis temukan, tidak ada data tentang jumlah siswi pada tiap
tahunnya, selain itu juga ketika penulis sambangi ke Sekolah Dewi Sartika,
disanapun tidak ada data tentang jumlah siswi pada saat ia pimpin, karena seluruh
dokumentasi tentang Sakola Kautamaan Istri dibuang oleh tentara Jepang yang
mengambil alih Sakola Kautamaan Istri pada tahun 1942.
Sesuai yang telah penulis uraikan sebelumnya bahwa latar belakang
Raden Dewi Sartika mendirikan Sakola Kautamaan Istri adalah karena masih
banyak anak-anak perempuan yang tidak memiliki ilmu pengetahuan yang luas
dan keterampilan-keterampilan yang berguna bagi kehidupan. Maka dari itu, hadir
Raden Dewi Sartika dengan guru-guru lain yang ada di Sakola Kautamaan Istri
untuk memberikan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan-keterampilan
kepada anak didik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa anak didik menurut Raden
Dewi Sartika adalah orang yang membutuhkan bimbingan untuk memperoleh
ilmu pengetahuan dan keterampilan sehingga dapat bermanfaat bagi
kehidupannya di masa yang akan datang. Karena, bagaimanapun juga tanpa
bimbingan dari Raden Dewi Sartika dan guru-guru lain yang mengajar di Sakola
Kautamaan Istri, anak-anak perempuan tidak akan mendapatkan ilmu pengetahuan
dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan bagi kehidupan, baik di keluarga
maupun di masyarakat luas.
3. Kurikulum
Sementara itu, kurikulum yang diajarkan pada sekolah ini dirancang
menyesuaikan dengan kurikulum yang ditetapkan pemerintah kolonial, yakni
dengan mengacu pada Tweede Klasse School. 158 Kurikulum yang mengikuti
sistem pemerintah kolonial diantaranya dengan memasukan materi Bahasa
Belanda sebagai salah satu mata pelajaran yang wajib diajarkan kepada para siswi.

157
Lihat Yan Daryono, R. Dewi Sartika, ..., h. 71, 82
158
Nina Herlina Lubis, 9 Pahlawan Nasional Asal Jawa Barat, ..., 97
69

Adapun materi berhitung, menulis, membaca, Bahasa Sunda, Bahasa Melayu dan
Olah Raga merupakan mata pelajaran yang juga diajarkan di sekolah-sekolah
umum lainnya. Selain materi-materi yang telah disebutkan diatas, materi pelajaran
yang diberikan di Sakola Kautamaan Istri juga disesuaikan dengan kebutuhan
kaum perempuan dalam kehidupan sehari-hari.
Hal tersebut dirancang untuk membuktikan bahwa materi-materi
keterampilan wanita merupakan mata pelajaran khusus yang dipelajari di Sakola
Kautamaan Istri dan tidak diajarkan di sekolah-sekolah lain. Dan perlu
dikemukakan sebuah catatan penting berkaitan dengan kurikulum yang diterapkan
di Sakola Kautamaan Istri, yaitu implementasi materi pelajaran agama Islam yang
sama sekali tidak lazim diajarkan di sekolah-sekolah umum yang ada pada saat
itu.
Berikut adalah materi-materi yang diajarkan oleh Raden Dewi Sartika
dan guru-guru lainnya di Sakola Kautamaan Istri159:
Tabel 1.
Daftar Materi Pelajaran Sakola Kautamaan Istri

NO MATERI KATEGORI

1 Berhitung Pendidikan Umum

2 Menulis Pendidikan Umum

3 Membaca Pendidikan Umum

4 Bahasa Belanda Pendidikan Umum

5 Bahasa Melayu Pendidikan Umum

6 Budi Pekerti/Akhlak Pendidikan Agama

7 Agama Pendidikan Agama

8 Membatik Pendidikan Keterampilan Wanita

9 Menjahit Pendidikan Keterampilan Wanita

159
Lihat Yan Daryono, R. Dewi Sartika, ..., h. 72, 82, 88, 124, 127
70

10 Merenda Pendidikan Keterampilan Wanita

11 Menambal Pendidikan Keterampilan Wanita

12 Menyulam Pendidikan Keterampilan Wanita

13 Menisi Pendidikan Keterampilan Wanita

14 Menyongket Pendidikan Keterampilan Wanita

15 Memasak Pendidikan Keterampilan Wanita

16 Menyajikan Makanan Pendidikan Keterampilan Wanita

17 Memelihara Bayi Pendidikan Keterampilan Wanita

18 Mencuci Pendidikan Keterampilan Wanita

19 Menyetrika Pendidikan Keterampilan Wanita

20 Mengatur Rumah Pendidikan Keterampilan Wanita

21 Merawat Orang Sakit Pendidikan Keterampilan Wanita

22 Kesehatan (PPPK) Pendidikan Umum

23 Olah raga Pendidikan Umum

Dibawah ini merupakan mata pelajaran yang diajarkan pada tiap


tingkatannya160:
1. Kelas 1 : Membaca, menulis, berhitung, menyanyi, dikte, dan
berbaris.
2. Kelas II : Membaca, menulis, berhitung, menyanyi, dikte, berbaris,
dan menggambar.
3. Kelas III : Membaca, menulis, berhitung, menyanyi, dikte, berbaris,
menggambar, dan merajut.
4. Kelas IV : Ilmu Sejarah, Ilmu bumi, Bahasa Belanda dan menjahit
(membuat taplak meja, baju bayi), membordel, memasak (membuat sayur
160
Lihat Yan Daryono, R. Dewi Sartika, h. 128, 130, 133-134
71

lodeh, sayur sop, tumis-tumisan, dan macam-macam sambal), bahasa


melayu, mengaji al-Quran, belajar shalat, do’a-do’a, membuat bunga dari
kertas kreep.
5. Kelas V : Menjahit (membuat taplak meja dari kain strimin), ilmu
tumbuh-tumbuhan, ilmu alam, ilmu bumi, ilmu sejarah, bahasa Belanda,
memasak, mengaji al-Quran dan sembahyang dan sebulan sekali mengisi
siaran Radio NIROM (Nederland Indische Radio Omroep Maatchaapy)
berubah menjadi RRI dari pukul 17.00-18.00, anak-anak menyanyikan
lagu-lagu Belanda dan Sunda.
6. Kelas VI : Menjahit (membuat taplak meja dari kain strimin), ilmu
tumbuh-tumbuhan, ilmu alam, ilmu bumi, ilmu sejarah, bahasa Belanda,
memasak, mengaji al-Quran dan sembahyang dan membuat baju bayi,
gurita bayi, membuat tali popok.
Raden Dewi Sartika tentunya memiliki alasan tersendiri untuk
menentukan materi yang akan diajarkan kepada para anak didiknya. Seperti yang
telah dipaparkan sebelumnya bahwa pada saat itu gerak langkah kaum perempuan
sangatlah terbatas, khususnya dalam memperoleh kesempatan mendapatkan
pendidikan. Dengan demikian, diberikannya kesempatan kepada kaum perempuan
untuk mengenyam pendidikan, memiliki nilai tersendiri pada masyarakat
Indonesia saat itu. Sehubungan dengan itulah, maka Raden Dewi Sartika
mengeluarkan kebijakan untuk memperbanyak porsi pendidikan keterampilan
wanita hingga 61 %.
Kemudian, pada tataran yang lebih praktis, dalam perkembangannya
banyak diantara para alumni Sakola Kautamaan Istri yang memanfaatkan
keterampilan mereka dengan membuka lapangan pekerjaan pada bidang
keterampilan wanita, seperti: berdagang saputangan, renda, rok dll, membantu
orangtua mereka menghitung uang hasil dagangan, membuka jasa menjahit
pakaian, dll. 161

161
Yan Daryono, R. Dewi Sartika, ...., h. 88
72

Berikut adalah prosentase materi pelajaran pada Sakola Kautamaan Istri:


Tabel 2.
Prosentase Materi Pelajaran Sakola Kautamaan Istri

NO MATERI JUMLAH PROSENTASE

1 Umum 7 30 %

2 Agama 2 9%

3 Keterampilan Wanita 14 61 %

23 100 %

Dalam kurikulum yang terdapat di Sakola Kautamaan Istri, mata


pelajaran yang diberikan tidak hanya ilmu pengetahuan umum saja, melainkan
banyak diberikan keterampilan-keterampilan perempuan seperti memasak,
menjahit, menyulam dan lain sebagainya yang semua itu membutuhkan praktek
langsung sehingga dalam proses belajar mengajar, murid-murid tidak hanya
mendapatkan materi-materi pelajaran saja, akan tetapi langsung di praktekkan.
Oleh karena itu, Raden Dewi Sartika membuat ruangan khusus untuk
mempraktekkan teori-teori pada mata pelajaran keterampilan perempuan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pandangan kurikulum
Raden Dewi Sartika sama dengan pengertian kurikulum menurut pandangan baru
atau modern yang mengatakan bahwa kurikulum adalah bukan hanya sekumpulan
mata pelajaran saja, melainkan meliputi semua kegiatan dan pengalaman yang
menjadi tanggung jawab sekolah. Berarti, walaupun Raden Dewi Sartika
merancang kurikulum yang ada di Sakola Kautamaan Istri pada tahun 1904,
namun padangannya sama dengan orang-orang yang merancang kurikulum pada
masa sekarang.
4. Proses belajar mengajar
Proses belajar mengajar di Sakola Kautamaan Istri dilaksanakan di jalan
Ciguriang, dan sekarang berganti nama menjadi Jalan Kautamaan Istri. Jam
masuk sekolah setiap harinya dimulai pada pukul 07.30 sampai 13.00 WIB, dan
73

istirahat dari pukul 10.00 WIB selama 30 menit. Sebelum masuk kelas, para siswi
berbaris terlebih dahulu di depan kelas dengan dua barisan, dan sebelum masuk,
guru yang berdiri di depan para siswi berbaris, memeriksa kuku mereka satu
persatu. Setiap hari saat mulai pelajaran, buku tulis sudah tersusun rapi dan berada
di atas pinggir kiri bangku, sedangkan buku pelajaran atau buku paket, para siswi
mendapatkan pinjaman dari sekolah sehingga tidak perlu membelinya. Setiap
harinya para siswi memakai pakaian kebaya. 162
Raden Dewi Sartika sebagai kepala sekolah merupakan orang yang
sangat berwibawa sehingga semua guru dan murid-murid segan dan patuh kepada
beliau. Setiap hari ia berangkat ke sekolah dan tiba sebelum pelajaran dimulai.
Semua pekerjaan di sekolah dilakukan dengan gesit, lincah dan cepat. Setelah
lonceng berbunyi, dengan memakai pakaian berupa kain panjang dan kemben,
kebaya Sunda, selendang dan sandal selop, beliau segera beraktifitas. Setelah
murid-murid masuk ke kelas, ia berkeliling kelas untuk memonitor seluruh proses
belajar mengajar di Sakola Kautamaan Istri.
Kebijaksanaannya dapat terlihat dari kesehariannya yang tidak pernah
menghukum murid-murid ketika ada yang melakukan kesalahan, paling-paling
beliau memberi wejangan-wejangan di depan kelas. Jika beliau marah pada
seorang murid, beliau tidak memarahi murid yang bersangkutan, tetapi beliau
memarahi semua murid dengan wejangan-wejangan sampai murid-murid tidak
tahu kepada siapa sebenarnya beliau marah. Tetapi apabila beliau betul-betul
marah kepada salah satu murid yang melakukan pekerjaan yang salah, maka
beliau memanggil murid itu ke kantor dan disanalah murid itu diberi banyak
wejangan, dan murid itu harus berjanji untuk tidak mengulang lagi kesalahannya
itu. Apabila ia sedang memberi wejangan kepada murid-muridnya, baik di depan
kelas maupun di kantor, tangan kiri beliau selalu ke belakang dan tangan kanan di
depan, serta telunjuk tangan kanannya selalu menunjuk ke atas. 163
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Raden Dewi Sartika tidak
pernah menghukum murid-murid dengan memukul atau perbuatan fisik lainnya,

162
Yan Daryono, R. Dewi Sartika, ..., h. 124
163
Yan Daryono, R. Dewi Sartika, ..., h. 125
74

bahkan memarahi dengan nada keras pun tidak pernah, yang ia berikan adalah
memberikan wejangan-wejangan atau nasehat-nasehat yang selalu mengingatkan
kepada murid-muridnya untuk menjadi seorang calon ibu yang baik bagi
keluarganya serta agar memiliki akhlak yang mulia dalam pergaulan dengan
masyarakat luas. Tidak seperti yang terjadi dalam dunia pendidikan pada beberapa
tahun terakhir ini, yang banyak melakukan cara kekerasan fisik ketika ada murid
yang melakukan kesalahan.
Dalam kesehariannya di sekolah, Raden Dewi Sartika sangat peduli dan
perhatian kepada murid-murid di Sakola Kautamaan Istri, hal itu terlihat dengan
seringnya ia datang ke kelas-kelas untuk memeriksa murid yang hadir dan
memberikan wejangan kepada murid-murid. Bahkan, setelah jam istirahat pun
beliau selalu kembali datang ke kelas-kelas, untuk memeriksa jika ada murid yang
datang telat ke kelas setelah jam istirahat.
Keadaan proses belajar mengajar yang diuraikan di atas, menurut hemat
penulis, untuk zaman sekarang belum tentu ada seorang kepala sekolah yang
melakukan hal serupa dengan apa yang telah Raden Dewi Sartika lakukan di
Sakola Kautamaan Istri.
Dalam penyampaian materi pelajaran, setiap harinya setelah materi
dalam proses belajar mengajar diberikan, biasanya para siswi langsung
mempraktekkannya di ruangan praktek yang berada di sebelah kelas. 164
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, proses belajar mengajar di
Sakola Kautamaan Istri, antara guru dan murid tidak dapat dipisahkan satu sama
lain. Karena disamping guru mengajar, juga murid belajar dan dipraktekkan
secara langsung sehingga anak lebih aktif dan kreatif. Oleh karena itu, hasilnya
pun murid-murid memiliki berbagai wawasan intelektual yang luas, serta
keterampilan-keterampilan yang mendorong perkembangan potensi anak didik
sehingga dapat bermanfaat untuk kehidupannya di masa yang akan datang, baik
dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat luas.

164
Yan Daryono, R. Dewi Sartika, ..., h. 125
75

5. Metode Pembelajaran
Metode merupakan salah satu komponen yang menempati peranan yang
tidak kalah penting dengan komponen lainnya dalam proses pembelajaran.
Metode merupakan salah satu cara yang digunakan oleh seorang guru dalam
proses belajar mengajar di sekolah. Dalam proses ini, seorang guru dituntut untuk
menggunakan lebih dari satu metode pembelajaran, jika hanya menggunakan satu
metode saja dalam menyampaikan materi pelajaran kepada murid-muridnya, pada
umumnya, akan cenderung menghasilkan kegiatan belajar mengajar yang
membosankan, sehingga anak didik terlihat kurang bergairah karena merasa jenuh
dan malas dengan proses belajar mengajar, dan akhirnya tujuan pendidikan pun
tidak tercapai. Oleh karena itu, agar tujuan pendidikan dapat tercapai dengan baik,
maka seorang guru harus mampu mengembangkan metode pembelajaran yang
aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
Berikut ini merupakan metode pembelajaran yang diberikan di Sakola
Kautamaan Istri:
Tabel 3.
Metode Pembelajaran yang Digunakan pada Materi Pelajaran Sakola
Kautamaan Istri 165

NO MATERI KATEGORI

1 Berhitung Ceramah dan tanya jawab

2 Menulis Ceramah dan praktek

3 Membaca Ceramah dan praktek

4 Bahasa Belanda Ceramah dan praktek

5 Bahasa Melayu Ceramah dan praktek

6 Budi Pekerti/Akhlak Ceramah, diskusi, tanya jawab dan praktek

7 Agama Ceramah, diskusi, tanya jawab dan praktek

165
Lihat Yan Daryono, R. Dewi Sartika, ..., h. 128, 130, 133-134
76

8 Membatik Ceramah dan praktek

9 Menjahit Ceramah dan praktek

10 Merenda Ceramah dan praktek

11 Menambal Ceramah dan praktek

12 Menyulam Ceramah dan praktek

13 Menisi Ceramah dan praktek

14 Menyongket Ceramah dan praktek

15 Memasak Ceramah dan praktek

16 Menyajikan Makanan Ceramah dan praktek

17 Memelihara Bayi Ceramah dan praktek

18 Mencuci Ceramah dan praktek

19 Menyetrika Ceramah dan praktek

20 Mengatur Rumah Ceramah dan praktek

21 Merawat Orang Sakit Ceramah dan praktek

22 Kesehatan (PPPK) Ceramah dan praktek

23 Olah raga Ceramah dan praktek

Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa metode-metode yang diterapkan


Raden Dewi Sartika kepada murid-muridnya di Sakola Kautamaan Istri,
seluruhnya selain menggunakan metode ceramah dalam upaya menyampaikan
materi pelajaran juga menggunakan metode praktek. Hal itu sengaja diberlakukan
dengan tujuan agar setiap murid senantiasa dapat berperan aktif dalam proses
belajar mengajar, dan agar dapat bermanfaat bagi mereka ketika terjun ke tengah-
tengah masyarakat luas.
77

Walaupun metode yang diberikan oleh Raden Dewi Sartika tidak


menggunakan metode-metode yang banyak sekarang ini, namun pada esensinya
penerapan metode yang diberikan oleh Raden Dewi Sartika sama dengan guru-
guru pada masa sekarang, yaitu untuk menjadikan anak memiliki ilmu
pengetahuan yang luas, serta aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.

D. Konsep Pendidikan Perempuan menurut Raden Dewi Sartika


Pada pembahasan sebelumnya telah diuraikan bahwa Raden Dewi
Sartika merupakan tokoh perempuan Sunda yang memiliki cita-cita tinggi untuk
mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan melalui pendidikan. Ia prihatin
ketika para perempuan banyak dilecehkan oleh kaum pria. Menurutnya, kaum
perempuan harus hidup sejajar dengan kaum pria, ia harus memiliki ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang akan membawanya pada tarap hidup yang
lebih tinggi, dan jalan untuk mendapatkannya yaitu dengan pendidikan.
Namun yang terjadi pada lingkungannya, ada fakta yang kuat bahwa
Kaum Tua sangat berat untuk menyekolahkan putri-putri mereka. Mereka
khawatir dan takut untuk membiasakan anak setiap hari bergaul dengan ratusan
orang, apalagi selama bersekolah putri-putri mereka berada di luar pengawasan
orang tua. Orangtua pun tidak mempunyai kepastian bahwa anak mereka bersama
dengan teman-teman yang baik. Menurut pandangan mereka pendidikan sekolah
membangkitkan sikap bebas pada sang anak, yang dikhawatirkan anak mereka
akan lebih mudah tergoda untuk berbuat jahat. Selain itu juga Kaum Tua tidak
dapat rela melepaskan kebiasaan-kebiasaan lama, bahwa mereka sesungguhnya
tidak pernah bersekolah, tapi mereka mampu menjadi ibu rumah tangga yang
baik.166
Selain itu juga, terdapat beberapa pandangan masyarakat dalam hal
menyekolahkan anak perempuan, diantaranya sebagian besar orang berpendapat:
1. Anak perempuan itu tidak perlu sekolah, karena walaupun pintar tidak
akan memiliki kedudukan seperti laki-laki. Asal baik, bisa menanak nasi,
bisa membuat sambal, dan bisa memelihara rumah, sudah bisa untuk

166
Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 93
78

mengabdi kepada suaminya. Dan kalau ingin bisa menulis, minta diajar
kepada suaminya.
2. Percuma anak perempuan disekolahkan, karena kalau sudah pandai
menulis, suka digunakan membuat surat-surat cinta yang mendorong
berbuat tidak baik. Oleh karena itu, lebih baik diam saja di rumah
membantu pekerjaan orangtua.
3. Menurut kaum santri, anak perempuan itu bukan disekolahkan,
melainkan agar mempelajari pengetahuan agama, belajar shalat,
mempelajari sifat 20 dan tasawuf, supaya baik hati dan ada sesuatu untuk
menahan nafsunya, karena wanita itu harus teguh benteng pertahanannya.
4. Perempuan itu tidak boleh terlihat oleh laki-laki, kecuali oleh suaminya
dan muhrimnya. Oleh karenanya wanita itu tidak baik disekolahkan167.
Selain pemikiran orang tua yang terlalu kolot dalam pandangannya
tentang pendidikan, juga kebiasaan mengawinkan anak-anak di usia kanak-kanak
telah menjadi penyakit di masyarakat. Dalam masyarakat, ada kebiasaan buruk
untuk saling memperjodohkan anak-anak di usia yang masih kanak-kanak, bahkan
sebelum yang bersangkutan mempunyai sesuatu pengertian mengenai hal itu.
Walau perkawinan masih jauh, tetapi orangtua masing-masing sudah
menginginkan kepastian, karena khawatir bahwa akan timbul peristiwa yang dapat
menghalangi maksud itu.
Betapa seringnya terjadi bahwa kedua orang anak yang sama sekali tidak
saling mengenal dijodohkan, dan tidak diperhitungkan adanya dua tabiat yang
justru bertentangan satu sama lain. Menurut Raden Dewi Sartika, pemikiran para
orangtua untuk menikahkan anak-anak mereka dalam usia dini akan dapat diubah
dengan pendidikan. Dengan pendidikan, orangtua akan menyadari bahwa
perkawinan kanak-kanak itu adalah keliru. Selain orangtua, kaum perempuan
sendirilah yang harus menginsyafi bahwa suatu perkawinan harus dilaksanakan
sesuai dengan keinginan dari kedua belah pihak antara laki-laki dan perempuan

167
Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 86
79

yang bersangkutan, bukan kepada sikap tunduk berserah pada perhitungan


orangtua mereka. 168
Selain itu juga, menurut pandangan Raden Dewi Sartika, sebagian besar
orang berpendirian bahwa pendidikan untuk anak-anak perempuan dirasa tidak
perlu karena para orangtua belum mengetahui benar manfaatnya sekolah, mereka
menganggap di sekolah itu hanya diajarkan menulis, membaca dan berhitung.
Sebenarnya tidak hanya itu, karena masih banyak lagi mata pelajaran pokok yang
perlu bagi keutamaan hidup manusia, agar mereka memiliki pengetahuan dan
keterampilan untuk mencari jalan hidup ketika tidak ada yang memberi nafkah
untuk menjaga keselamatan, menghindari bahaya dan lain sebagainya.
Diantara pelajaran pokok yang diberikan kepada anak-anak yaitu169:
1. Kebersihan: Yaitu agar badan, pakaian, alat-alat sekolah, tempat
duduknya harus bersih dan berhati-hati dalam memilih makanan.
2. Tatakrama: Yaitu segala tindak-tanduknya sopan, bisa bekerjasama atau
menyesuaikan diri dengan orang lain, bersikap sesuai dengan orang yang
dihadapi seperti kepada pembesar, kepada yang setahap, dan kepada
orangtua serta berpakaian rapih dan wajar.
3. Berbicara: Yaitu tepat menggunakannya, tidak tertukar antara berbicara
dengan pembesar dan dengan rakyat biasa, fasih berbicara, jelas
ucapannya dan tidak cabul atau tidak sopan.
4. Disiplin dalam pemakaian waktu: Seperti waktu untuk belajar jangan
digunakan untuk bermain atau sebaliknya, begitu pun mandi, makan,
tidur harus pada waktunya dan harus tetap.
5. Taat: Yakni sungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah guru,
perintah orangtua dengan benar, belajar, bekerja rajin, sampai selesai
dengan cepat, benar dan tidak berbohong.
6. Gembira: Yaitu mencari kegembiraan hati dengan menyanyi, main
musik, bercerita, menonton lukisan, bermain dengan teman, membuat
kerajinan.
168
Maria Ulfah Subadio dan T.O. Ihromi, Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia,
(Yogyakarta: Gajah Mada University, 1986), h. 118
169
Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 87-88
80

7. Baik hati, hati suci: Seperti bersahabat dengan kawan sekolah, tidak
pernah bertengkar, sayang kepada teman-teman, tidak sombong, suka
menolong, sabar, tidak suka terburu-buru, tidak suka mengejek, tidak
ingin dipuji, tidak iri.
8. Hemat: Seperti belajar mengumpulkan uang (menabung) supaya
mengerti nilai uang, agar kelak senang menyisakan rizki yang diperoleh,
bisa cukup dengan rizki kecil dan bersisa bila rizkinya besar.
9. Berpikir atau memilih: Yaitu membukakan pikiran agar kelak dapat
berpikir baik, dapat memilih mana yang menyenangkan dan mana yang
tidak menyenangkan.
Oleh karena itu, menurut Raden Dewi Sartika anak yang rajin sekolahnya
sampai tamat, baik anak perempuan maupun laki-laki dapat diharapkan akan
menjadi orang yang baik seperti menurut ungkapan sehat, baik, cekatan dan benar.
Menurut Raden Dewi Sartika perkembangan anak didik berdasarkan pula
atas pergaulannya dan pendidikannya. Misalnya jika ia bergaul dengan priyayi
tentu akan dapat bertatakrama seperti priyayi dan dapat pula menjadi priyayi.
Tetapi sebaliknya, walaupun putera priyayi, tapi jika tidak dididik dan tidak
disekolahkan, maka tidak akan dapat menjadi priyayi. Akhirnya hilang tabiat
kepriyayiannya dan muncul tabiat buruk dan jelek pula kelakukannya serta
membawa akibat buruk kepada lingkungannya, karena hal itu akan ditiru oleh
rakyat kecil. Karena tabiatnya tidak dipelihara atau dimanja sejak kecil, segala
kehendaknya dituruti, sesudah besar sulit dididiknya.
Menurutnya, akan jauh lebih baik jika mereka berasal dari keturunan
baik, ditambah dengan pemeliharaannya baik, maka kebaikannya akan berlipat
ganda. Jika anak itu dijaga, diperhatikan, dan dididik, maka penglihatan dan
pilihannya tentu akan berbeda dengan anak yang tidak baik penjagaan atau
pendidikannya. Sebaliknya jika anak kurang baik pemeliharaannya, tentu
badannya lemah dan sering kena penyakit. Sesudah besar tabiatnya jelek dan
bodoh atau lemah pikirannya, mudah melakukan kejelekan, mudah tergoda,
mudah tertipu, nafsunya besar tak tertahan oleh akal sehatnya sebab sudah lemah
sejak kecil. Dan ingatan yang terang benderang atau hati yang terbuka terdapat
81

pada badan yang sehat. Begitu pula anak-anak Sunda yang baik mendidiknya, bisa
pula menyamai orang Eropa.170
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemikiran Raden Dewi
Sartika sejalan dengan aliran konvergensi yang dicetuskan oleh William Stern,
yang berpandangan bahwa perkembangan seseorang tergantung pada pembawaan
dan lingkungannya. Dalam hal ini, keturunan yang baik merupakan pembawaan
dari lahir, sedangkan pemeliharaan yang baik berasal dari lingkungan atau
pendidikan yang diperoleh anak didik. Oleh karena itu, pembawaan anak dari
sejak lahir tidak akan memiliki pengaruh apa-apa terhadap perkembangan anak
didik jika tidak dibarengi dengan pendidikan yang ia dapatkan.
Begitu pula pandangan Raden Dewi Sartika, mengenai mutu pendidikan
bahwa jika anak-anak dididik dengan baik maka mereka akan bisa pula menyamai
orang Eropa. Kata-kata tersebut sarat dengan idealisme. Walaupun pada saat itu
masih tahun 1911. Namun, dapat menggambarkan begitu idealisnya seorang
Raden Dewi Sartika dalam menyongsong masa depan. Karena jika kita sebagai
orang Indonesia pada umumnya, mendapatkan pendidikan yang baik, maka akan
menyamai orang Eropa mencapai keberhasilan dalam kehidupan melalui ilmu
pengetahuan yang luas yang diperoleh dari hasil belajar sehingga orang Indonesia
tidak diinjak-injak kehormatannya, bahkan akan disegani dan dihormati. Karena
hanya ilmu pengetahuanlah yang akan mengangkat harkat dan martabat
perempuan, bukan keturunan ataupun harta pusaka.
Begitu pula, pandangan Raden Dewi Sartika mengenai kemajuan
bangsanya bahwa agar suatu bangsa bertambah maju, maka kaum perempuannya
harus maju pula, pintar seperti kaum laki-laki, sebab kaum perempuan itu akan
menjadi ibu.171 Seorang ibulah yang paling dahulu mengajarkan pengetahuan
kepada anak-anak mereka, laki-laki maupun perempuan, karena didikan yang
pertamalah yang memberikan pengaruh yang besar bagi kehidupan seseorang.
Jadi kaum perempuan bangsa pribumi itu pertama-tama harus tahu tentang segala
macam urusan perempuan. Disini dapat diketahui bahwa Raden Dewi Sartika

170
Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 89
171
Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 90
82

mempertautkan masalah martabat perempuan dan kemajuan bangsa, karena


menurutnya mendidik perempuan adalah mendidik ibu bangsa.
Pandangan tersebut mengandung makna bahwa suatu bangsa tidak akan
mencapai suatu peradaban tinggi jika kaum perempuannya tidak maju, dan agar
perempuan maju maka ia harus disekolahkan, karena dengan bersekolah mereka
akan mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang nantinya
akan memajukan bangsa. Apalagi Raden Dewi Sartika hidup pada masa
penjajahan. Maka agar bangsa Indonesia bebas dari penjajahan, kaum
perempuannya harus maju dan berpengetahuan luas, sehingga rakyat tidak dapat
dibodohi oleh penjajah. Terbukti, setelah banyak tokoh-tokoh pergerakan
perempuan Indonesia, maka Indonesia dapat bebas dari penjajahan.
Selain itu, dengan prinsip Nu bisa hirup dapat ditelusuri konsep
pendidikan menurut Raden Dewi Sartika bahwa sejak semula, Raden Dewi
Sartika tidak setuju dengan pandangan orang-orang tradisional tentang pendidikan
kaum perempuan pada masa itu, yang membuat kaum perempuan tidak berdaya
yang nasibnya tergantung kepada pria. Oleh karena itu, dengan prinsip Nu bisa
hirup, kaum perempuan akan dapat menjalankan kehidupannya dengan sebaik
mungkin, dan dapat berdiri di atas kaki sendiri, cakap, dan terampil dalam
menyongsong kehidupan yang akan datang.
Dengan demikian, menurut Raden Dewi Sartika, kaum perempuan harus
hidup terhormat sejajar dengan laki-laki dan harus menggapai kemajuan dalam
segala bidang kehidupan tanpa melupakan kodratnya sebagai seorang perempuan,
agar senantiasa menjadi ibu yang binangkit, ibu teladan yang penuh kesabaran,
ramah, riang, baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat.
Oleh karena itu, perempuan harus mendapatkan pendidikan dan keterampilan
untuk bisa hidup. Karena dengan bekal keterampilan yang dimiliki, ia akan hidup
mandiri tanpa harus bergantung kepada orang lain.
Cita-cita Raden Dewi Sartika yang berjangkauan luas ke depan itu benar-
benar diperjuangkan olehnya dengan mendirikan Sakola Kautamaan Istri sebagai
media untuk mewujudkan visi dan gagasan-gagasan revolusionernya. Di sinilah
83

letak kemampuannya dalam menurunkan ide dan gagasannya secara langsung ke


wilayah praktis-realistis.
Dengan sekolah yang didirikannya itu, Raden Dewi Sartika memiliki
keyakinan kuat bahwa ia akan dapat mengangkat harkat dan martabat kaum
perempuan. Dengan bersekolah kaum perempuan akan lebih pandai karena
sekolah adalah sarana untuk mendidik manusia sehingga jati dirinya dapat
dikenali oleh dirinya sendiri. Selain mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan,
para siswi pun langsung mempraktekkan pengetahuan yang mereka peroleh
sehingga mereka dapat dengan mudah mengamalkannya dalam kehidupan sehari-
hari. Oleh karena itu, Raden Dewi Sartika merasa yakin dapat mengubah keadaan
sosial budaya yang menganggap rendah kaum perempuan, karena dengan
pendidikan yang semakin baik, perilaku dan budi pekerti akan semakin baik
sehingga kehidupannya akan semakin maju.
Oleh karena itu, kurikulum pendidikan pada Sakola Kautamaan Istri,
dirancang dalam bentuk konsep pendidikan kaum perempuan. Hal ini dapat dilihat
dari keseluruhan mata pelajaran keterampilan perempuan lebih banyak diberikan
daripada materi pelajaran umum. Hal tersebut dimaksudkan untuk membuktikan
bahwa untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang biasa dilakukan oleh kaum
perempuan dalam urusan rumah tangga, bukanlah sesuatu yang dianggap mudah.
Melainkan harus diberikan pengajaran khusus, serta dipraktekan secara langsung.
Selain itu juga, dengan didirikannya Sakola Kautamaan Istri memberikan
kesempatan yang luas kepada kaum perempuan untuk mengasah keterampilannya,
sehingga akan jauh lebih bermanfaat baik untuk dirinya sendiri sebagai istri untuk
melayani suami, juga sebagai ibu yang mendidik putra-putrinya supaya dapat
menjadi anak yang berbakti kepada orangtua dan bermanfaat bagi lingkungan di
sekelilingnya.
Pandangan Raden Dewi Sartika mengenai tujuan pendidikan yang
diterapkan di Sakola Kautamaan Istri, ialah bertujuan untuk mencetak anak didik
yang cageur, bageur, bener, pinter, dan wanter, serta harus berani kepada
84

kebenaran yang diyakininya, jangan mudah putus asa, dan harus melangkah lebih
jauh serta tidak mengeluh dalam setiap keadaan. 172
Jika istilah cageur, bageur, bener, pinter, dan wanter dikaitkan pada masa
sekarang, maka akan terlihat tujuan pendidikan pada Sakola Kautamaan Istri
sangat relevan dengan pendidikan saat ini. Yakni istilah cageur yaitu sehat
jasmani dan rohani, merupakan aspek fisik anak, bageur yaitu berhati dan
berkelakuan baik, bener yaitu memegang teguh kebenaran, wanter yaitu pandai
bergaul, ketiga istilah tersebut merupakan ranah emosional/afektif, dan pinter
yakni pintar, pandai atau cakap merupakan ranah kognitif/intelektual. Sedangkan
ranah prikomotor terdapat pada pelajaran keterampilan perempuan yang diberikan
di Sakola Kautamamaan Istri.
Dari tujuan pendidikan yang dikemukakan Raden Dewi Sartika di atas,
dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek yang harus dicapai oleh anak didik pada
Sakola Kautamaan Istri, sama dengan aspek-aspek yang harus ada pada anak didik
pada masa sekarang, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Walaupun
Raden Dewi Sartika mendirikan sekolahnya pada tahun 1904, namun
pemikirannya sejalan dengan masa sekarang. Dengan demikian, Raden Dewi
Sartika merupakan seorang pemikir dan aktifis yang mempunyai integritas
kepribadian yang tinggi, dan naluri yang tajam terhadap strategi dan
keseimbangan di dalam totalitas aksi, reaksi, dan kontemplasi.
Raden Dewi Sartika bereaksi ketika merasakan keterbatasan eksistensi
sebagai seorang perempuan karena ikatan tradisi masyarakat yang berlaku pada
saat itu, kemudian ia berkontemplasi dengan membaca buku-buku sehingga daya
cerna pikirannya mulai bekerja. Ia berpendapat bahwa kaum perempuan harus
bisa mandiri dan tidak bergantung kepada kaum pria dalam mencari nafkah. Oleh
karena itu mereka harus bersekolah, karena di sekolah mereka akan diberi ilmu
pengetahuan yang luas, diajari keterampilan-keterampilan, bahasa asing sebagai
jendela untuk melihat dunia luas, dan budi pekerti yang tepat untuk memperkuat
ekspresi diri. Begitu ia bisa merumuskan reaksinya di dalam kontemplasi, segera

172
Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 130
85

ia memulai aksinya dengan cara mengajari sanak keluarganya yang perempuan


dengan keterampilan dan ilmu pengetahuan.
Betapa besar kemampuan yang ia miliki pada saat ia memulai aksinya.
Gadis remaja yang berumur 18 tahun, putri seorang musuh pemerintah yang wafat
dipembuangan, menghadapi tradisi pelecehan terhadap hak asasi perempuan yang
masih berlaku pada saat itu, fasilitas dan dana yang serba kurang, juga tidak
memiliki ijazah guru, serta harus menghadapi kaum menak atau bangsawan.
Namun Raden Dewi Sartika sanggup menghadapinya, dan akhirnya ia sanggup
menjelma menjadi sosok unggul yang harus diperhitungkan oleh segenap lapisan
masyarakat.
Dari konsepnya tentang pendidikan kaum perempuan, terlihat jelas
membuktikan bahwa Raden Dewi Sartika memiliki kepekaan yang sangat tajam
terhadap masalah sosial, padahal ia lahir pada masa kolonial. Namun ternyata,
daya pikirnya tajam, yang menunjukkan tingkat kecerdasannya yang tinggi, Raden
Dewi Sartika mampu melahirkan pemikiran dan gagasan inovatif bagi bangsanya
di masa itu. Jarang pemikir sekaligus aktifis yang memiliki kelebihan yang dapat
melakukan sesuatu di masyarakat dan untuk masyarakat dengan tujuan untuk
memperbaiki dan memajukan masyarakat, terutama kaum perempuan.
Gagasan-gagasannya untuk memajukan kaum perempuan dengan
memberikan kaum perempuan hak pendidikan seperti layaknya kaum laki-laki
sesuai dengana hadis Rasulullah SAW:
َ ‫طَلَبُ ْال ِع ْل ِم فَ ِر‬
‫يضةٌ َعلَى ُك ِل ُم ْسلِم‬
“Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim”.(HR.ath-Thabarani melalui
Ibnu Mas’ud ra).
Dari hadis di atas dapat disimpulkan bahwa menuntut ilmu bukan hanya
untuk kaum laki-laki saja, melainkan untuk kaum laki-laki dan perempuan.
Bahkan pada masa Nabi Muhammad SAW perempuan memohon kepada
Nabi SAW agar diberi waktu tertentu untuk belajar langsung kepada beliau, dan
permohonan mereka beliau kabulkan.
86

Firman Allah SWT QS. Ali Imran: 195

             

    


Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman):
"Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara
kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari
sebagian yang lain.

Demikianlah, sikap dan pandangan Raden Dewi Sartika menunjukkan


pribadi yang mandiri dan kokoh. Dengan berbekal pendidikan yang sederhana tapi
disertai kepekaan terhadap lingkungan kehidupan, Raden Dewi Sartika mampu
mendirikan sekolah dengan corak baru dan menggagas konsep pendidikannya,
menginginkan kaum perempuan harus mencapai kemajuan dalam segala bidang
tanpa melupakan kodratnya sebagai perempuan, agar senantiasa menjadi istri dan
ibu teladan baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat. Untuk
mencapai tujuan tersebut, Raden Dewi Sartika telah mengorbankan segalanya
baik pirkiran, tenaga maupun harta.
BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan

Dari uraian tentang konsep pendidikan perempuan menurut Raden Dewi


Sartika, dapat disimpulkan bahwa Raden Dewi Sartika adalah sosok pahlawan
Indonesia yang berjuang untuk memajukan derajat perempuan melalui
pendidikan. Walaupun Raden Dewi Sartika tidak memiliki ijazah namun ia
mampu menjadi guru bangsa. Ia memiliki naluri seorang pemikir dan aktifis yang
dengan tegas mendobrak kebiasaan lama menjadi sesuatu yang baru dengan
bermodalkan tekad yang kuat, keberanian, tanggung jawab, keteguhan, serta
pemikiran yang cemerlang dalam membuat suatu konsep luar biasa, yang belum
tentu ada orang pada masa sekarang mampu membuatnya.
Konsep pendidikan yang Raden Dewi Sartika kemukakan pada tahun
1904, menurut hemat penulis, sangat relevan dengan keadaan pendidikan pada
masa sekarang. Diantaranya, prinsip Nu Bisa Hirup yang mengimplikasikan
bahwa kemampuan kaum perempuan dapat disejajarkan dengan kaum laki-laki.
Selain itu juga, pandangan Raden Dewi Sartika sejalan dengan aliran konvergensi
yang dicetuskan oleh William Stern, yang berpandangan bahwa perkembangan
seseorang tergantung pada pembawaan dan lingkungannya.

87
88

Yang menarik ialah pandangan Raden Dewi Sartika mengenai mutu


pendidikan bahwa jika anak dididik dengan baik maka akan bisa menyamai orang
Eropa. Kalimat itu, walaupun diucapkan pada tahun 1911. Namun, kita bisa
melihat dari kalimat tersebut bahwa Raden Dewi Sartika adalah seorang pelopor
zaman itu, yang mengucapkan kalimat yang sarat dengan idealisme.
Gagasan Raden Dewi Sartika yang sangat relevan lainnya adalah
mengenai konsep tujuan pendidikan di Sakola Kautamaan Istri, yaitu istilah
cageur, bageur, bener, pinter, dan wanter yang semua itu mencakup seluruh
aspek baik itu kognitif, afektif, dan psikomotor. Ketiga aspek itu, merupakan
aspek yang harus dimiliki oleh peserta didik pada masa sekarang.
Dari gagasan-gagasannya itu, dapat diketahui bahwa Raden Dewi
Sartika adalah seorang pemikir dan aktifis yang berpandangan jauh ke depan,
untuk kemajuan bangsanya terutama kaum perempuan.

B. Saran
Dengan dilakukannya penulisan ini, penulis memiliki harapan agar
sekiranya masyarakat Indonesia dapat lebih jauh mengenal sosok Pahlawan
Nasional asal Bandung yang concern pada bidang pendidikan kaum perempuan.
Tidak hanya dikenal untuk orang Sunda saja, tapi untuk semua masyarakat
Indonesia pada umumnya. Selain itu, untuk civitas akademika, penulis berharap
agar dapat melanjutkan dan mengembangkan gagasan serta cita-cita Raden Dewi
Sartika, untuk berperan yang signifikan terhadap perkembangan bagi kaum
perempuan melalui pendidikan.
Bagi mahasiswa, agar dapat mengetahui gagasan-gagasan pendidikan
Raden Dewi Sartika dalam memajukan bangsa serta meneladani kegigihan dan
semangat tanpa lelah dalam memperjuangkan hak bangsa untuk mengenyam
pendidikan. Karena kebahagiaan dan kesejahteraan hidup yang berhasil sekarang
nikmati adalah hasil perjuangan dan jerih payah pahlawan bangsa, diantaranya
Raden Dewi Sartika. Yang pada akhirnya, diharapakan agar mahasiswa menjadi
generasi penerus untuk memajukan pendidikan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Zainal Abidin. Memperkembang dan mempertahankan Pendidikan Islam


di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang. 1976.
Al-Hibri, Azizah dkk. Wanita dalam Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Sunan
Kalijaga Press.
Al-Rasyidin dan Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press.
2005.Arbaningsih, Dri. Kartini dari Sisi Lain Melacak Pemikiran Kartini
tentang Emansipasi “Bangsa”. Jakarta: Kompas. 2005.
Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2006.
_______, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bina Aksara. 1987.
Artmanda W, Frista. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jombang: Lintas Media
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 2002.
Nizar, Samsul. Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA
tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. 2008.
Chabaud, Jacqueline. Mendidik dan Memajukan Wanita. Jakarta: Gunung Agung,
1984.
Cora Vreede-De, Steurs. The Indonesian Women: Struggles And Achivement.
1960. Mouton&Co, s’Gravenhage, Terj. Elvira Rosa dkk. Sejarah
Perempuan Indonesia Gerakan dan Pencapaian. Jakarta: Komunitas
Bambu. 2008.
Daradjat, Zakiah. Kepribadian Guru. Jakarta: Bulan Bintang. 1982.
Daryono, Yan. R. Dewi Sartika. Jakarta: Yayasan Awika&PT. Grafitri Budi
Utami. 1996.
Ekajati, Edi S. dkk. Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat. Jakarta: Pialamas.
1998.
F, Meidiana. Dewi Sartika. Jakarta:Bee Media Indonesia. 2010.
Hamalik, Oemar. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. 2007.
HAMKA. Lembaga Hidup. Jakarta: Djajamurni. 1962.
________, Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1998.
________, Lembaga Budi. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1983.
Ibrahim, Abdul Mun’im. Mendidik Anak Perempuan. Jakarta: Gema Insani. 2005.
Kosoh, dkk. Sejarah Daerah Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan
Nilai Tradisional Proyek Investarisasi dan Dokumentasi Sejarah
Nasional. 1994.
Ladjid, Hafni. Pengembangan Kurikulum menuju Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Jakarta: Quantum Teaching. 2005.
Lubis, Nina Herlina. Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung:
Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian
Universitas Padjajaran. 2006.
Mahmud, Dato Paduka Haji bin Haji Bakyr. Kamus Bahasa Melayu Nusantara.
Brunei Darussalam: Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei. 2003.
Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif,
1989.
Murata, Sachiko The Tao of Islam. Bandung: Mizan, 1999. Terj. Rahmani Astuti
dan S Nasrullah.
Nizar, Samsul. Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam. Ciputat.
Quantum Teaching. 2005.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
1982.
Panitia Peringatan Hari Lahir Ibu Rd.Dewi Sartika, Riwayat Hidup dan
Perjuangannya 1884-1947. Bandung,: Konsolidasi Partisipasi Masyarakat
Meneruskan Perjuangan Rd. Dewi Sartika.
Purwanto, Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: PT.Remaja
Rosdakarya. 2007.
Sanjaya, Wina. Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Jakarta: Kencana. 2008.
Sastroatmodjo, Suryanto. Tragedi Kartini. Yogyakarta: Narasi. 2005Syah,
Muhibbin. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya. 2008.
Shihab, M.Quraish. Perempuan. Jakarta: Lentera Hati. 2005.
Struggles And Achivement, 1960, Mouton&Co, s’Gravenhage, diterjemahkan
oleh Elvira Rosa dkk, Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan dan
Pencapaian. Depok: Komunitas Bambu. 2008.
Surakhmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah; Dasar, Metode dan Teknik.
Bandung: tarsito. 1998.
Suryochondro, Sukanti. Potret Pergerakan Wanita di Indonesia. Jakarta: Rajawali.
1984.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. 2007.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta:
Djambatan. 1992.
UU RI No. 20 tahun 2003 dan UU RI No. 14 tahun 2005. Jakarta: Transmedia
Pustaka. 2008.
Yamin, Martinis. Profesionalisasi Guru & Implementasi Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Ciputat: Gaung Persada Press. 2006.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Karangan-karangan Raden Dewi Sartika

Pada tahun ini (1911) telah tepat tujuh tahun lamanya penulis menjadi
guru di Sakola Kautamaan Istri. Pada mulanya penulis mengikuti kehendak
Kanjeng Tuan Inspektur Sekolah yang bernama Den Hammer, yang sekarang
telah pensiun dan telah kembali ke Negeri Belanda. Beliaulah yang untuk
pertama kali mendirikan sekolah bagi anak-anak wanita pribumi di Bandung.
Dan atas persetujuan dari Kanjeng Bupati Bandung Raden Adipati Aria
Martanegara.
Sekolah tersebut mulai dibuka pada tanggal 16 Januari 1904, muridnya
waktu itu ada 60 orang dan gurunya sebanyak 3 orang. Adapun tempatnya ialah
di Paseban Barat, depan Pendopo Kabupaten Bandung yang sekarang (1911)
ditempati oleh kantor Bank (Bandoengsche Afdelings Banks). Sedangkan
sekarang sekolah wanita itu telah mempunyai bangunan tersendiri dengan
muridnya sebanyak 210 orang dan gurunya 5 orang.
Sebelum menjadi guru, penulis telah senang mengajar anak-anak
perempuan, terutama dari kalangan keluarga sendiri, yaitu mengajarkan
merenda, menyulam, merancang pakaian dan tata krama. Ketika dipanggil oleh
Kanjeng Tuan Inspektur bahwa akan diangkat menjadi guru sekolah, penulis
sangat gembira. Menurut peribahasanya; pucuk dicita ulam tiba. Tambahan hal
itu mendapat persetujuan dari orang tua.
Mengapa akan diangkat menjadi guru itu gembira? Padahal semuanya
tahu bahwa penulis tak punya kecakapan, sempit budi, dan tak tahu apa-apa.
Adapun alasan sebabnya penulis gembira begini:
1. Kesenangan penulis mengajar anak-anak menjadi berlanjut, dan anak-
anak bertambah teguh hatinya sebab diperkuat oleh perintah pembesar
negara.
2. Menjadi guru itu, walaupun wanita bukan kelakuan hina dan tidak
melanggar hukum agama. Yang dimaksud agar kaum wanita orang
Sunda bisa maju, meniru orang Eropa, mudah-mudahan bangsa kita
tidak terlalu direndahkan oleh bangsa lain.
3. Punya pekerjaan tetap. Sebab wanita yang menganggur suka murung,
akibatnya pun macam-macam. Dalam hal ini semuanya sudah
mengetahui atau merasakan.
4. Martabat guru dianggap paling tinggi kedudukannya oleh bujangga;
bukankah ada ungkapan leluhur yang mengatakan bahwa yang harus
ditaati ada tiga macam yaitu guru, pemerintah dan orang tua. Dan lagi
prakteknya guru itu suka mengajarkan ilmu pengetahuan, menunjukkan
kebaikan. Barangkali menurut peribahasa Belanda: Jika suka mencuci
tangan kiri, tangan kanan pun ikut bersih.
5. Dan yang menjadi guru itu biasanya luas pandangannya; tiap hari
pengetahuannya bertambah, karena terpaksa menjadi pembimbing anak-
anak dan suka ditanya oleh murid-murid.
6. Ilmu pengetahuan dan pandangan itulah yang akan selalu dijadikan
pegangan oleh manusia selama hidupnya, laksana obor menerangi jalan
gelap.
Dalam usia 3-4 tahun menjadi guru, penulis tak henti-hentinya
digunjingkan orang sehingga telinga terasa merah sekali akibat cemoohan orang
yang mengatakan macam-macam. Misalnya merendahkan martabat orangtua
seperti tidak diberi makan atau tidak diurus saja. Tak pantas wanita bangsa kita
menjadi guru di sekolah, sebab tidak ada contoh dari dulu. Yang ada hanya guru
ngaji dan lain-lain. Mereka berpendapat demikian, karena baik priyayi mau pun
rakyat kurang mengetahui keadaan masa silam. Mereka tidak ingat akan
ungkapan yang mengatakan; dulu-dulu, sekarang-sekarang.
Tetapi penulis tidak ragu dan tidak akan mundur setapak pun, sebab
memang demikianlah dalam hidup ini. Walau bagaimanapun baiknya, toh ada
saja yang sirik/dengki. Dalam masyarakat kita yang menimbulkan kedengkian itu
ada 3 macam yaitu harta benda, kebahagiaan, dan ketampanan/kecantikan.
Lebih-lebih setelah sering disebut-sebut istilah Kaum Muda, penulis merasa
bertambah teguh pendirian.
Apakah Kaum Muda itu dan bagaimana kehendaknya?
Adapun yang dinamakan Kaum Muda itu ialah bangsa kita, wanita dan
pria. Suku Sunda, Melayu, Bugis, Makasar dan lain-lain, yang bermaksud ingin
memuliakan dirinya dengan ilmu pengetahuan dan kemauannya. Istilah Kaum
Muda itu berasal dari seorang cendekiawan yaitu orang Melayu yang bernama
Abdul Rivai. Atas kepintarannya, keuletannya, dan tuntas dalam menuntut ilmu
sehingga bisa menjadi Dokter Militer di Cimahi (namun sekarang beliau sudah
pindah ke Bukit Tinggi). Kedudukan Abdul Rivai waktu itu tidak berbeda dengan
dokter-dokter Eropa.
Oleh karenanya penulis waktu ini makin teguh memegang pendapat
sendiri dan ikut serta ambil bagian sedapat-dapatnya dalam mengarungi zaman
kemajuan. Adapun yang dipikirkan oleh penulis siang dan malam dengan susah
payah sekalipun, tak lain hanyalah masalah sekolah wanita. Yang dimasalahkan
itu terutama begini:
1. Supaya para orangtua ingin menyekolahkan anak perempuan mereka
dan memahami fungsi dan manfaatnya bersekolah.
2. Anak-anaknya sendiri mau bersekolah dan mau mengikutinya sampai
tamat.
3. Pelajaran apa yang perlu diajarkan kepada anak-anak perempuan itu,
harus bisa apa mereka itu, dan sampai bagaimana demi bekal hidup
mereka kelak.
4. Memperhatikan tingkah laku wanita yang baik dan yang buruk untuk
dijadikan contoh bagi anak-anak.
5. Kemudian bertanya-tanya kepada orang tua, para cendekiawan, para
bujangga, bahkan kepad apara bupati, walaupun segan memberikan diri
juga menanyakan tentang apa yang menjadi kebutuhan kaum wanita
agar mereka tidak sampai hidup sengsara.
Adapun usaha yang dilaksanakan untuk mendidik anak-anak itu tidak
ada lagi kecuali dua macam, yaitu menasehati dan memberi contoh. Mudah-
mudahan ada berkatnya almarhum Tuan K.F.Holle yang memajukan rakyat
dalam bidang pertanian. Karena terus menerus dinasehati dan diberi contoh
akhirnya sekarang banyak petani yang kaya raya. Menurut ungakapan bahasa
Belanda: “Leeringen wekken, voorbeelden trekken” artinya nasehat itu
menumbuhkan niat, sedangkan contoh menimbulkan keinginan.
Tetapi nasehat dan contoh yang sedang dilaksanakan oleh penulis,
laksana perahu kecil yang sedang dinaiki oleh anak-anak perempuan (murid
penulis) akan berlayar ke negara kemajuan, mengarungi samudera besar yang
beromabk besar. Perjalanan itu belum tentu sampai ke tempat tujuannya, walau
nasib sial bisa jadi tenggelam!.
Hanya demikianlah barangkali sudah menjadi keberuntungan mereka.
Karena tiba-tiba datang kapal besar dan kokoh yang membimbing dan
menunjukkan jalan ke arah negara kemajuan. Coba apa yang dilambangkan
dengan kapal besar tersebut?
Adapun yang dilambangkan dengan kapal besar itu ialah bahwa
sekarang di Bandung berdiri sebuah organisasi yang diatur oleh Tuan Inspektur
Sekolah J.C.J. Van Bemmel maksudnya akan memajukan anak-anak perempuan.
Oleh karena itu organisasi tersebut dinamai Kautamaan Istri (Keutamaan
wanita) oleh Kanjeng Bupati Bandung.
Adapun berdirinya organisasi itu ialah pada tanggal 5 Nopember 1910.
Pada waktu itu penulis dipanggil oleh Tuan Residen W.F.L. Boissevain dan harus
menghadap di Karesidenan pada hari minggu jam 19.00 malam. Begitu juga
Tuan Residen mengundang tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang sama-sama
menghendaki kemajuan wanita Sunda untuk menghadiri pertemuan tersebut.
Pimpinan pertemuan itu ialah Tuan Inspektur Sekolah, Kanjeng Bupati Bandung,
dan 3 orang Raden Ayu. Pada pertemuan itu ditetapkan pengurus organisasi
yaitu para nyonya dan para Raden Ayu saja, yang sama-sama ingin memajukan
kecerdasan anak perempuan orang Sunda.
Yang akan lebih dahulu diusahakan oleh organisasi tersebut ialah
membantu sekolah wanita di Bandung. Cara kerjanya begini:
1. Komisi memohon kepada pengurus agar organisasi Kautamaan Istri itu
diberi kekuatan yang kokoh (kekuatan hukum).
2. Komisi itu secara bergilir masing-masing 2 orang (seorang nyonya dan
seorang Raden Ayu) mengunjungi sekolah wanita untuk memeriksa apa
kekurangan sekolah itu, apa yang harus diajarkan dan apa yang kurang
baik.
3. Setelah semua anggota komisi mengunjungi sekolah, kemudian komisi
mengadakan pertemuan untuk membicarakan hasil pemeriksaan itu.
Adapun untuk biayanya, sementara diusahakan begini:
1. Kanjeng Tuan Inspektur membuat surat edaran yang dibagikan kepada
tuan-tuan dan nyonya-nyonya untuk memohon bantuan berupa uang
iuran setiap bulan atau bantua sekali saja.
2. Begitu pula Kanjeng Bupati Bandung membuat surat edaran kepada
priyayi-priyayi dan orangtua anak-anak sekolah wanita dengan maksud
seperti tersebut dalam nomor di atas.
3. Jika uang iuran itu tidak mencukupi, selanjutnya akan mengadakan
undian yang besar kecilnya dan caranya dipertibangkan oleh Kanjeng
Tuan Residen dan Kanjeng Tuan Inspektur.
4. Jika uang itu ada lebihnya, akan digunakan untuk mendirikan sekolah
wanita lagi seperti di Garut atau dimana saja yang dipandang perlu ada
sekolah wanita. Harapan komisi dapat dikatakan tercapai. Hasil daftar
iuran yang diedarkan cukup buat memajukan sekolah wanita di Bandung
dan mendirikan sekolah wanita di Garut.
Demikianlah cara yang ditempuh oleh Kanjeng Inspektur dengan
persetujuan Kanjeng Bupati dalam membantu anak-anak perempuan supaya maju
pengetahuan dan kecakapan mereka. Masalah ini tentu telah terpikirkan oleh
beliau bahwa yang harus maju itu bukan saja pria, wanita pun harus maju pula
supaya sama-sama menjadi satu barisan. Sebab mungkin telah mendengar juga
cerita seseorang pria yang pintar tapi istrinya tak tahu apa-apa, berakibat rumah
tangga mereka selamanya tidak bahagia.
Dan wanita dari hasil bersuami mempunyai anak. Mengurus dan
mendidik anak itu biasanya bagian ibunya. Semua orang mempunyai keinginan
yang sama yaitu punya anak yang sehat dan baik. Tapi bagaimana agar anaknya
begitu? Tak ada lagi kecuali ibunya harus mempunyai ilmu, banyak pengetahuan
dan kecakapan serta harus bersekolah. Semoga kehendak Kanjeng Tuan
Inspektur segera ada hasilnya. Jika diibaratkan tanaman, baik tumbuhnya, subur
daunnya, banyak dalamnya dan lebat buahnya.
Sekarang kembali lagi pada masalah, apakah perlu wanita itu
disekolahkan supaya pintar? Sebagian besar orang berpendapat begini:
5. “Ah, wanita itu tidak perlu sekolah, karena walaupun pintar tidak akan
memiliki kedudukan seperti laki-laki. Asal baik, bisa menanak nasi, bisa
membuat sambal, dan bisa memelihara rumah, sudah bisa untuk
mengabdi kepada suaminya. Katanya, kalau ingin bisa menulis, minta
diajar kepada suaminya.
6. Ada juga yang begini pandangannya: “Ah, percuma wanita
disekolahkan, sebab kalau sudah pandai menulis, suka digunakan
membuat surat-surat cinta yang mendorong berbuat tidak baik. Oleh
karena itu, lebih baik diam saja di rumah membantu pekerjaan orangtua.
7. Kalau kaum santri bukan begitu pandangannya, tapi begini: “His,
wanita itu bukan disekolahkan, melainkan agar mempelajari
pengetahuan agama, belajar shalat, mempelajari sifat 20 dan tasawuf,
supaya baik hati dan ada sesuatu untuk menahan nafsunya, karena
wanita itu harus teguh benteng pertahanannya.
8. Ada lagi pendapat golongan santri yang terdengar oleh Kanjeng Bupati
Bandung” Wanita itu tidak boleh terlihat oleh laki-laki, kecuali oleh
suaminya dan muhrimnya. Oleh karenanya wanita itu tidak baik
disekolahkan
Coba mana yang benar diantara berbagai pendapat tersebut.
Menurut hemat penulis, semuanya juga tidak salah sebab kehendaknya
sama, yaitu kalau-kalau anaknya tidak baik. Tetapi manusia itu, laki-laki ataupun
wanita, tidak cukup hanya baik saja, tetapi harus juga memiliki pengetahuan dan
kecakapan buat mencari jalan hidup pada waktu tak ada yang memberi nafkah
buat menjaga keselamatan, menghindari mara bahaya dan lain sebagainya.
Dan lagi jika anak perempuan tidak bersekolah, apakah sesudah
besarnya terjamin pasti baik? Ah jelek orang mengatakan: “Bukankah ada
ungkapan walau disimpan di dalam peti besi sekalipun, kalau akan jahat ya jahat
saja” Dan supaya sekolah memang masih baru, pada zaman dahulu belum ada
yang bersekolah. Apakah dahulu tidak pernah ada orang jahat?
Mengapa sebagian besar orang berpendirian demikian? Hal itu karena
mereka belum mengetahui benar gunanya sekolah, disangkanya di sekolah itu
hanya diajarkan menulis atau membaca dan berhitung. Selain dari pelajaran
pokok tersebut, banyak lagi mata pelajaran yang perlu bagi keutamaan hidup
manusia. Oleh Kanjeng Tuan Inspektur itu dinamakan “de bron van het leven”.
Jelasnya sekolah itu modal hidup, sebab selain pelajaran pokok, anak-anak itu
diberi pelajaran:
1. Kebersihan: Yaitu agar badan, pakaian, alat-alat sekolah, tempat
duduknya harus bersih dan berhati-hati dalam memilih makanan.
2. Tatakrama: Yaitu segala tindak-tanduknya sopan, bisa bekerjasama atau
menyesuaikan diri dengan orang lain, bersikap sesuai dengan orang
yang dihadapi seperti kepada pembesar, kepada yang setahap, dan
kepada orangtua serta berpakaian rapih dan wajar.
3. Berbicara: Yaitu tepat menggunakannya, tidak tertukar antara berbicara
dengan pembesar dan dengan rakyat biasa, fasih berbicara, jelas
ucapannya dan tidak cabul atau tidak sopan.
4. Disiplin dalam pemakaian waktu: Seperti waktu untuk belajar jangan
digunakan untuk bermain atau sebaliknya, begitu pun mandi, makan,
tidur harus pada waktunya dan harus tetap.
5. Taat: Yakni sungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah guru,
perintah orangtua dengan benar, belajar, bekerja rajin, sampai selesai
dengan cepat, benar dan tidak berbohong.
6. Gembira: Yaitu mencari kegembiraan hati dengan menyanyi, main
musik, bercerita, menonton lukisan, bermain dengan teman, membuat
kerajinan.
7. Baik hati, hati suci: Seperti bersahabat dengan kawan sekolah, tidak
pernah bertengkar, sayang kepada teman-teman, tidak sombong, suka
menolong, sabar, tidak suka terburu-buru, tidak suka mengejek, tidak
ingin dipuji, tidak iri.
8. Hemat: Seperti belajar mengumpulkan uang (menabung) supaya
mengerti nilai uang, agar kelak senang menyisakan rizki yang diperoleh,
bisa cukup dengan rizki kecil dan bersisa bila rizkinya besar.
9. Berpikir atau memilih: Yaitu membukakan pikiran agar kelak dapat
berpikir baik, dapat memilih mana yang menyenangkan dan mana yang
tidak menyenangkan.
Sekarang di sekolah wanita Bandung ditambah 3 macam pelajaran
yaitu:
1. Keterampilan wanita: Seperti menyulam, menyongket, merenda,
memotong dan menjahit pakaian. Membuat kembang kertas,
menggambar dan sebagainya.
2. Rumah tangga: Seperti mengatur rumah, menyusun barang, mencuci
pakaian, membereskan dan menyetrika pakaian, mencuci dan
membersihkan perkakas rumah, mengatur halaman dan menyediakan
makanan.
3. Masak: Belajar memasak lauk-pauk dan jenis makanan lainnya untuk
bangsa kita.
Dimasa datang akan diajarkan membatik yaitu melukis kain, tutup
kepala, selendang dan lain sebagainya. Oleh karena itu anak yang rajin
sekolahnya sampai tamat, dapat diharapkan akan menjadi orang baik seperti
menurut ungkapan; sehat, baik, cekatan, dan benar. Baik wanita atau pria sama
saja.
Penulis sering menyaksikan anak-anak perempuan di Pasar Baru di
Bandung, keluaran sekolah wanita di Bandung, telah dapat menolong orangtua
mereka memegang pensil dan buku untuk mencatat barang-barang atau mencatat
yang membayar utang dan yang mengutang dagangan. Dan lagi telah banyak
diantara mereka yang berdagang kutang, rok, renda, saputangan dan lain
sebagainya.
Hal ini telah diketahui oleh para pembesar, serta beliau-beliau merasa
gembira melihat kemajuan rakyatnya. Dan jika semua orang pribumi (orangtua)
dimana-mana sudah mengerti akan maksudnya anak-anak perempuan
disekolahkan, seperti yang telah terjadi di Bandung, tentu rakyat kecil makin
bertambah maju.
Sekarang aka menceritakan pendapat dokter tentang anak. Adapun
usaha atau sarat agar anak itu sesudah besarnya menjadi orang baik ialah sejak
kecil harus sehat, yaitu tidak banyak penyakit di tubuhnya, tidak lemah panca
indranya, yakni tajam penglihatan, tajam penciumannya, tajam pendengarannya
cerdas dan terbuka hatinya.
Menurut Dokter Raden Saleh, penyakit itu ada dua macam:
1. Penyakit karena pembawaan: Sejak lahir penyakit itu sudah ada.
Penyakit ini disebut penyakit keturunan. Artinya penyakit itu sifat dan
tabeatnya keturunan dari orangtuanya.
2. Penyakit adat kebiasaan: Yaitu penyakit yang datang kemudian sesudah
lahir, seperti sakit kepala, sakit ulu hati, sakit perut dan lain-lain.
Sifat anak berdasarkan pula atas pergaulannya dan pendidikannya,
misalnya bergaul Misalnya bergaul dengan priyayi tentu akan dapat
bertatakrama seperti priyayi dan dapat pula menjadi priyayi. Tetapi sebaliknya,
walaupun putera priyayi, tapi jika tidak dididik, tidak disekolahkan, tidak akan
dapat menjadi priyayi. Akhirnya hilang tabiat kepriyayiannya dan muncul tabiat
buruk dan jelek pula kelakukannya serta membawa akibat buruk kepada
lingkungannya (semuanya), sebab hal itu akan ditiru oleh rakyat kecil. Karena
tabiatnya tidak dipelihara atau dimanja sejak kecil, segala kehendaknya dituruti,
sesudah besar sulit dididiknya. Bukankah ada peribahasa “Bambu itu hanya
dapat dilengkungkan tatkala masih muda, tapi kalau sudah tua daripada
lengkung mungkin potong”.
Kedua penyakitnya tersebut dapat dicegah, diobati oleh usaha, oleh
pemeliharaan yang baik. Lebih-lebih jika mereka berasal dari keturunan baik,
ditambah dengan pemeliharaannya baik, maka kebaikannya akan berlipat ganda.
Jika anak itu dijaga, diperhatikan, dan dididik, maka penglihatan dan pilihannya
tentu akan berbeda dengan anak yang tidak baik penjagaan atau pendidikannya.
Bukankah bunga ros merah pun kalau dipelihara baik, bunganya bisa menjadi
indah dan berwarna-warni. Begitu pula anak-anak Sunda yang baik mendidiknya,
bisa pula menyamai orang Eropa.
Sebaliknya jika anak kurang baik pemeliharaannya, tentu badannya
lemah dan sering kena penyakit. Sesudah besar tabiatnya jelek dan bodoh atau
lemah pikirannya, mudah melakukan kejelekan, mudah tergoda, mudah tertipu,
nafsunya besar tak tertahan oleh akal sehatnya sebab sudah lemah sejak kecil.
Dan ingatan yang terang benderang atau hati yang terbuka terdapat pada badan
yang sehat.
Dan menurut ahli ilmu mendidik, ingatan yang terang benderang atau
hati yang terbuka terdapat pada badan yang sehat (Een gezonde ziel is een
gezonde Iichaam, dat is de volkomen mench). Penulis mendapatkan sebuah cerita.
Di Eropa ada seorang tuan, Thomas Alva Edison namanya. Ibunya seorang guru.
Tuan Edison di sekolahkan hanya selama 6 bulan, selanjutnya dididik sendiri
saja. Karena teliti dan baik memberi pelajarannya, tuan Edison menjadi orang
yang termasyur di dunia zaman sekarang ini. Atas berkat kepintaran dan cerdas
pikirannya, disebutnya pun “Raja Listrik”. Mesin dan telpon (agar dapat
berbicara dengan yang lebih jauh, seperti dari Bandung ke Jakarta) diciptakan
berkat kecerdasan tuan Edison.
Apakah dari bangsa kita kira-kiranya ada yang bisa berbuat demikian?
Wah masih jauh. Kalau menurut peribahasa “laksana jauhnya bumi dengan
langit”. Tetapi bukan mustahil, kalaupun perbuatan itu tidak disaksikan oleh kita,
barangkali dapat disaksikan oleh anak cucu, sebab zaman sekarang pun bangsa
kita sudah mulai maju, menguasai ilmu pengetahuan yang berasal dari Eropa.
tapi kebanyakan dari mereka terdiri atas kaum laki-laki yaitu putra-putra para
priyayi atau putra-putra orang kaya, sedangkan kaum wnaita masih belum begitu
banyak.
Bagaimana caranya agar bangsa kita bertambah maju?
Hal ini oleh para pembesar sudah terpikirkan, yaitu kaum wanitanya
harus maju pula, pintar seperti kaum laki-laki, sebab kaum wanita itu akan
menjadi ibu. Merekalah yang paling dahulu mengajarkan pengetahuan kepada
manusia, yaitu kepada anak-anak mereka, laki-laki maupun perempuan.
Jadi kaum wanita bangsa pribumi itu pertama-tama harus tahu tentang
segala macam urusan wanita. Hal itu menurut hemat penulis ada 6 macam:
1. Mengurus anak: Sejak bayi hingga masanya untuk disekolahkan, bagi
bangsa kita dalam usia 6 atau 7 tahun.
2. Menjaga anak selama masih sekolah.
3. Sesudah dewasa dan tamat sekolah.
4. Mempunyai suami dan berumah tangga
5. Tidak mempunyai suami atau ditinggal oleh suami, tidak ada yang
memberi nafkah.
6. Kehidupan wanita, disamping mempunyai suami.
Dokumentasi Sekolah Raden Dewi Sartika di Bandung
Foto-foto di atas merupakan bangunan asli pada Sakola Kautamaan Istri
yang didirikan pada tahun 1904 yang memiliki enam ruang kelas. Ke enam
ruangan kelas tersebut tidak ada perubahan dari bangunan asli sejak zaman dulu,
kecuali atap (genting) yang mengalami renovasi. Dan sekarang masih digunakan
di Sakola Raden Dewi Sartika di Bandung.

You might also like