Professional Documents
Culture Documents
143 307 1 PB
143 307 1 PB
Abstract
Phosphate is the second essential chemical element for plants. However, it mostly presents in
insoluble form. Using biofertilizers containing phosphate-solubilizing bacteria can increase
phosphate solubilization. However, it is often ineffective due to the high temperature of the storage
warehouse so the viability and enzyme activity of the microbes can decrease. The aims of this study
were to determine the optimum and maximum temperature of phosphate-solubilizing bacteria’s
viability, knowing the effect of storage temperature on the bacteria population and halozone of
phosphate-solubilizing bacteria, knowing phosphatase activity of phosphate-solubilizing bacteria
which were incubated at high temperatures, and knowing the organic acid production of
phosphate-solubilizing bacteria which incubated at high temperature. The results showed that 37˚C
was the optimum temperature of JBNO6, KT6D, KT7D and EPS5 strains and they could hold the
high temperature of 58˚C (thermophilic). The ability of all strains in dissolving the P-insoluble
decreased at high temperatures. However, the enzyme activity would go back again at room
temperature (reversible). The acid phosphatase value of all phosphate-solubilizing bacteria strains
was higher than the alkaline phosphatase value in the entire storage temperature. At high
temperatures, KT6D was capable of producing oxalic acid and KT7D was able to produce acetic
acid. EPS5 was the highest in the ability of phosphate solubilizing, the ability to produce the
phosphatase enzyme and the bacteria population compared with JBNO6, KT6D and KT7D.
http://jtsl.ub.ac.id
312
mikroba tanah dapat melarutkan fosfat dari produksi asam organik pada mikroba yang ada
ikatan fosfat tak larut melalui sekresi asam- di dalam pupuk hayati. Berdasarkan latar
asam organik atau mineralisasi fosfat dari belakang tersebut, penelitian ini dilakukan
bentuk ikatan fosfat-organik menjadi fosfat- untuk mengetahui suhu optimum dan
anorganik. Elfiati (2005) mengemukakan maksimum viabilitas bakteri pelarut fosfat,
keunggulan penggunaan mikroba pelarut fosfat mengetahui pengaruh suhu inkubasi terhadap
sebagai pupuk hayati: hemat energi, tidak populasi dan luas zona bening bakteri pelarut
mencemari lingkungan, mampu membantu fosfat, mengetahui aktivitas fosfatase bakteri
meningkatkan kelarutan P yang terjerap, pelarut fosfat yang diinkubasi pada suhu tinggi,
menghalangi terjerapnya P pupuk oleh unsur- serta mengetahui produksi asam organik
unsur penjerap, dan mengurangi toksisitas Al3+, bakteri pelarut fosfat yang diinkubasi pada
Fe3+, dan Mn2+ terhadap tanaman pada tanah suhu tinggi.
masam.
Pada jenis-jenis tertentu, mikroba ini
dapat memacu pertumbuhan tanaman karena
Bahan dan Metode
menghasilkan zat pengatur tumbuh, serta Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-Mei
menahan penetrasi patogen akar karena sifat 2015. Kegiatan analisis biologi dilakukan di
mikroba yang cepat mengolonisasi akar dan Laboratorium Biologi dan Kesehatan Tanah,
menghasilkan senyawa antibiotik. Akan tetapi analisis kimia (enzim fosfatase) dilakukan di
penggunaan pupuk hayati yang mengandung Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah,
BPF ini seringkali tidak dapat digunakan secara Balai Penelitian Tanah (Balittanah), serta
efektif. Hal ini diantaranya diakibatkan oleh analisis kimia (asam organik) dilakukan di Balai
penyimpanan yang tidak memadai. Biasanya Besar Penelitian dan Pengembangan
pupuk hayati disimpan di gudang yang tidak Pascapanen Pertanian, Bogor. Penelitian ini
dilengkapi dengan pendingin atau refrigerator, menggunakan isolat bakteri pelarut fosfat yang
bahkan ada kalanya suhu di gudang tersebut merupakan koleksi dari Laboratorium Biologi
cukup tinggi membuat viabilitas mikroba pada dan Kesehatan Tanah, Balai Penelitian Tanah,
pupuk hayati menjadi menurun. Bogor. Suhu inkubasi yang digunakan dalam
Hal ini didukung oleh pernyataan Rofi’i penelitian ini adalah suhu ruang (30˚C), suhu
(2009) yang menjelaskan jika kemampuan 37˚C, suhu 44˚C, suhu 51˚C, suhu 58˚C, dan
mikroorganisme untuk tumbuh dan melakukan suhu 58˚C yang dikembalikan ke suhu ruang
aktivitas enzimatis dipengaruhi oleh suhu dan (30˚C). Karakteristik isolat yang digunakan
lama penyimpanan. Suhu tinggi umumnya disajikan pada Tabel 1.
menurunkan viabilitas dan aktivitas enzim serta
http://jtsl.ub.ac.id
312
Kegiatan penelitian meliputi karakterisasi yang berbeda. Jika diamati, tampak perbedaan
morfologi koloni bakteri pelarut fosfat, yang mencolok antara isolat JBNO6 dengan
pengujian kemampuan pelarutan bakteri ketiga isolat BPF yang lain berupa adanya
pelarut fosfat pada beberapa suhu inkubasi, lendir di sekitar koloni. Lapisan lendir (slime)
pengujian sifat enzim, pengujian bakteri pelarut pada bakteri adalah material kapsul yang
fosfat dalam menghasilkan enzim fosfatase, disekresikan oleh bakteri pada media
pengujian produksi asam organik bakteri pertumbuhannya (Yulianti, 2013). Fungsi dari
pelarut fosfat, serta pengukuran pertumbuhan lapisan lendir bakteri adalah untuk melindungi
populasi bakteri pelarut fosfat. bakteri dari lingkungan yang membahayakan
Parameter yang diamati meliputi (misalnya kekeringan), menangkap nutrisi dan
parameter kualitatif dan kuantitatif. Parameter air, memungkinkan koloni bakteri bertahan
kuantitatif adalah pengamatan karakteristik pada proses sterilisasi kimiawi (misalnya
morfologi bakteri pelarut fosfat dengan metode pemberian klorin, iodin), serta memungkinkan
Hadioetomo (1993), dan pengujian sifat enzim bakteri menempel pada permukaan yang licin
yang diamati secasa mikroskopis. Paramater (Karomah, 2015).
kuantitatif yang diamati adalah aktivitas bakteri
(zona bening pqda suhu inkubasi, dan indek
pelarutan fosfat), kandungan enzim fosfatasi
(metode Tabatabai dan Bremner (1969),
viabilitas bakteri (kandungan asam organic),
dan populasi bakteri pelarut fosfat dengan
metode total plate count.
(a) (b)
Hasil dan Pembahasan
Karakterisasi morfologi koloni BPF
Isolat BPF diinokulasikan pada media
Pikovskaya padat. Selanjutnya dilakukan
karakterisasi terhadap morfologi koloni bakteri
sesuai dengan prosedur Hadioetomo (1993) (c ) (d)
yang meliputi bentuk, tepian, elevasi, dan Gambar 1. Morfologi koloni BPF (a) JBNO6
warna bakteri (Gambar 1 dan Tabel 2). Hasil (b) KT6D (c) KT7D (d) EPS5
pengamatan menunjukkan bahwa masing-
masing isolat memiliki karakteristik morfologi
http://jtsl.ub.ac.id
314
diameter zona bening optimum pada suhu Tabel 4. Indeks pelarutan fosfat
ruang (30˚C (Tabel 3). Keseluruhan isolat
Suhu Indeks Pelarutan
mengalami penurunan memiliki diameter zona
bening setelah suhu optimum. Setelah inkubasi JBNO6 KT6D KT7D EPS5
(48-72 jam), potensi mikroba untuk melarutkan 30˚C 1,14 1,16 1,18 1,26
fosfat tidak tersedia secara kualitatif dicirikan 37˚C 1,30 1,37 1,33 1,33
oleh zona bening (halozone) di sekitar koloni 44˚C 1,22 1,19 1,21 1,18
mikroba yang tumbuh pada agar trikalsium 51˚C 1,15 1,09 1,11 1,17
fosfat (Ginting et al., 2006). 58˚C 1,02 1,06 1,04 1,07
Suhu Diameter Zona Bening (mm) Pengujian sifat enzim dilakukan untuk
JBNO6 KT6D KT7D EPS5 mengetahui apakah enzim bersifat dapat
kembali (reversible) atau tidak dapat kembali
30˚C 1,6 1,4 1,6 2,0
(irreversible). Pengujian dilakukan dengan
37˚C 1,8 1,6 1,7 1,9
menginkubasi isolat bakteri yang sebelumnya
44˚C 1,1 0,9 1,0 1,3
telah diinkubasi pada suhu maksimum di media
51˚C 0,7 0,6 0,6 0,8
Pikovskaya padat (58˚C) ke suhu ruang melalui
58˚C 0,1 0,3 0,2 0,3
dua cara, yaitu tetap menggunakan media lama
lalu menginkubasinya pada suhu ruang dan
Berdasarkan hasil yang didapat, diketahui memindahkan bakteri dari media lama ke
bahwa seluruh isolat bakteri memiliki IP media baru lalu menginkubasinya pada suhu
tertinggi pada suhu 37˚C dan semakin menurun ruang. Isolat pada media lama dengan masa
pada suhu berikutnya (Tabel 4). Menurut Isroi inkubasi 72 jam pada suhu ruang tampak
(2008), beberapa faktor yang mempengaruhi adanya pertumbuhan koloni dan diameter zona
indeks pelarutan fosfat, antara lain: (a) bening yang bertambah besar dan jelas jika
konsentrasi sumber fosfat yang tidak larut dibandingkan dengan isolat pada media lama
dengan sempurna; (b) ketebalan agar; (c) yang diinkubasi pada suhu 58˚C (Gambar 2).
kecepatan pertumbuhan mikroba dan Isolat yang dipindah pada media baru dengan
kemampuan mikroba dalam melarutkan fosfat; masa inkubasi 1 minggu pada suhu ruang
(d) indeks pelarutan fosfat kurang sesuai untuk tampak adanya pertumbuhan koloni BPF.
membandingkan antar kelompok mikroba.
http://jtsl.ub.ac.id
314
Akan tetapi, tidak terdapat adanya zona bening Pengelompokkan ini didasarkan pada pH
di sekitar koloni bakteri yang tumbuh. optimum enzim, sebagian bekerja optimum
Perbedaan tersebut bisa terjadi karena pada pada pH asam dan sebagian pada pH alkalin.
media lama isolat bakteri tidak perlu melakukan Hasil tersebut menunjukkan bahwa
adaptasi dengan media hidupnya, sedangkan keseluruhan isolat memiliki kandungan enzim
pada media baru isolat bakteri perlu fosfatase asam yang paling tinggi pada suhu
beradaptasi kembali dengan lingkungan yang 37˚C dan semakin berkurang hingga suhu 58˚C
baru. Penelitian yang dilakukan oleh Saragih (Tabel 5). Akan tetapi, ketika hasil inkubasi
(2013) memberikan informasi bahwa dari lima pada suhu 58˚C dikembalikan pada suhu ruang,
isolat BPF (isolat pvk-5a,pvk-5b, pvk-6b, pvk- kandungan enzim fosfatase asam naik. Jika
7a dan pvk-8a) yang sebelumnya ditumbuhkan keempat solat dibandingkan, isolat EPS5
pada media Pikovskaya, tidak ada satupun dari memiliki kandungan enzim fosfatase asam yang
isolat tersebut yang tumbuh setelah dipindah ke paling tinggi diantara isolat BPF yang lain
media vinasse murni. untuk tiap suhu inkubasi. Sedangkan isolat
KT6D memiliki kandungan enzim fosfatase
Kemampuan BPF dalam Menghasilkan asam yang paling rendah dibanding ketiga isolat
Enzim Fosfatase yang lainnya. Mulai pada suhu rendah, aktivitas
enzim bertambah dengan naiknya suhu sampai
Dalam penelitian ini dilakukan pengamatan
aktivitas optimumnya dicapai. Menurut Pelczar
terhadap fosfomonoesterase yang meliputi
(2010), suhu akan mempengaruhi aktivitas
fosfatase asam dan fosfatase alkalin, sesuai
enzim.
dengan metode Tabatabai dan Bremner (1969).
Selanjutnya dijelaskan bahwa kenaikan suhu jika hal ini tidak berarti sama untuk setiap
lebih lanjut berakibat dengan berkurangnya enzim dengan alasan bahwa selama
aktivitas dan pada akhirnya perusakan enzim. pertumbuhan aktivitas atau respons diukur
Hasil tersebut menunjukkan bahwa sebagai aktivitas total yang dibutuhkan untuk
keseluruhan isolat memiliki kandungan enzim pertumbuhan bila semua enzim dan sistem
fosfatase alkalin yang paling tinggi pada suhu enzim berfungsi secara harmonis di dalam sel.
37˚C dan semakin berkurang hingga suhu Jika dibandingkan antara enzim fosfatase asam
58˚C, sama halnya dengan kandungan enzim dan enzim fosfatase alkalin, hasil pengukuran
fosfatase asam. Akan tetapi, ketika hasil menunjukkan nilai enzim fosfatase asam yang
inkubasi pada suhu 58˚C dikembalikan kembali lebih tinggi untuk keempat isolat yang diuji.
pada suhu ruang, hanya isolat KT6D dan Hal ini menunjukkan bahwa isolat bakteri akan
KT7D yang kandungan enzim fosfatase bekerja optimum pada pH asam. Stevenson
alkalinnya naik (Tabel 6). dan Cole (1999) meyatakan bahwa fosfatase
Pelczar (2010) menjelaskan bahwa suhu asam berperan optimum pada pH 4-6,
memang mempengaruhi aktivitas masing- sedangkan fosfatase alkalin berperan optimum
masing enzim dan besarnya produksi setiap pada pH 9-11.
enzim oleh sel. Namun selanjutnya dijelaskan
http://jtsl.ub.ac.id
169
Dilihat dari karakteristik isolat yang digunakan 58˚C yang dikembalikan ke suhu ruang (Tabel
(Tabel 1) empat isolat yang digunakan berasal 7). Hasil tersebut menunjukkan bahwa setiap
dari tanah yang bersifat masam. Sehingga, pada isolat BPF mampu menghasilkan kandungan
dasarnya, jumlah fosfatase asam lebih dominan asam organik yang berbeda-beda dengan
dibandingkan dengan jumlah fosfatase alkalin. jumlah yang berbeda pula. Isolat BPF yang
Hal ini dipertegas oleh hasil yang diungkapkan diinkubasi pada suhu yang berbeda akan
oleh Djuniwati et al. (2007) yang menyatakan menghasilkan kandungan asam organik yang
jika pada tanah masam fosfatase asam lebih berbeda pula. Kandungan asam organik yang
dominan daripada alkalin. dihasilkan tinggi pada suhu ruang dan akan
berkurang (seperti isolat KT6D yang
Produksi Asam Organik BPF menghasilkan asam oksalat dan KT7D yang
menghasilkan asam asetat) bahkan hilang sama
Pengukuran nilai asam organik yang dihasilkan
sekali pada suhu 58˚C.
oleh isolat BPF dilakukan pada isolat yang telah
diinkubasi suhu ruang 30˚C, 58˚C, dan suhu
http://jtsl.ub.ac.id
316
Hal ini diperkirakan akibat adanya proses fosfat yang diuji bersifat reversible. Aktivitas
pengenceran dalam metode penghitungan enzim fosfatase tersebut mengalami penurunan
populasi bakteri. Hasil penelitian yang pada suhu inkubasi tinggi (58˚C) dan akan
dilakukan Suriani et al. (2013) diketahui bahwa kembali lagi aktivitasnya jika disimpan dalam
keseluruhan isolat bakteri dari genus suhu ruang. Isolat bakteri pelarut fosfat
Pseudomonas dapat tumbuh pada rentang suhu tertentu mampu menghasilkan asam organik
20-40˚C. Selanjutnya dijelaskan bahwa bakteri pada suhu tinggi, seperti isolat KT6D yang
dari genus tersebut umumnya tumbuh optimal menghasilkan asam oksalat dan KT7D yang
pada suhu 37-40˚C, namun ada yang tumbuh menghasilkan asam asetat. Isolat EPS5
optimum pada rentang dibawah suhu tersebut. merupakan isolat yang dapat dikembangkan
lebih lanjut jika dilihat dari pengamatan
mengenai kemampuan pelarutan fosfat,
Kesimpulan kemampuan menghasilkan enzim fosfatase dan
Seluruh isolat bakteri pelarut fosfat yang diuji jumlah populasi.
memiliki suhu optimum 37˚C dan dapat
bertahan hidup pada suhu tinggi, 58˚C (bersifat
Daftar Pustaka
termofilik). Seluruh isolat bakteri pelarut fosfat
mengalami penurunan jumlah populasi serta Djuniwati, S., Pulunggono, H.B. dan Suwarno.
kemampuannya dalam melarutkan P sukar larut 2007. Pengaruh pemberian bahan organik
(yang ditunjukkan dengan luas zona bening) (Centrosema pubescens) dan fosfat alam terhadap
ketika diinkubasi pada suhu tinggi sebagai aktivitas fosfatase dan fraksi P tanah Latosol di
Darmaga, Bogor. Jumal Tanah dan Lingkungan
akibat adanya hilangnya kemampuan bakteri
9(1),10-15.
menghasilkan asam-asam organik. Aktivitas
enzim fosfatase pada isolat bakteri pelarut
http://jtsl.ub.ac.id
318
Elfiati, D. 2005. Peranan Mikroba Pelarut Foafat Saragih, A.B. 2013. Skrining Bakteri Pelarut Fosfat
Terhadap Pertumbuhan Tanaman. E-USU Adaptif Vinasse Dari Lahan Tebu Pabrik Gula
Repository. Universitas Sumatera Utara. Medan. Jatiroto Kabupaten Lumajang Jawa Timur.
Ginting, R.C.B., Saraswati, R. dan E. Husen, E. Skripsi. Universitas Jember.
2006. Mikroorganisme Pelarut Fosfat. Pupuk Steveson, F.J. dan M.A. Cole. 1999. Cycle of Soil
Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Carbon, Nitrogen Phosphorus, Sulfur,
Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Micronutrients. 2nd Edition. John Wiley & Sons,
Lahan Pertanian. Bogor. pp. 141-158. Inc. Canada.
Hadioetomo, R.S. 1993. Mikrobiologi Dasar Dalam Subba-Rao, N.S. 1994. Soil Microorganisms and
Praktek. Teknik dan Prosedur Dasar Plant Growth. 2nd Edition. New Hampshire.
Laboratorium. PT. Gramedia. Jakarta. New Delhi.
Isgitani, M., Kabirun, S. dan Siradz, S.A. 2005. Suriani, S., Soemarno dan Suharjo. 2013. Pengaruh
Pengaruh inokulasi bakteri pelarut fosfat suhu dan pH terhadap laju pertumbuhan lima
terhadap pertumbuhan shorghum pada berbagai isolat bakteri anggota genus Pseudomonas yang
kandungan P Tanah. Jurnal Ilmu Tanah dan diisolasi dari ekosistem sungai tercemar deterjen
Lingkungan 5(1), 48-54. di sekitar kampus Universitas Brawijaya. Jurnal
Isroi. 2008. Uji Mikroba Pelarut Fosfat 1. Pembagunan Alam Lestari 3(2), 58-62.
http://isroi.com/2008/03/13/uji-mikroba- Tabatabai, M.A. and Bremner, J.M. 1969. Use of p-
palarut-fosfat-1/. (Diakses pada tanggal 20 Juni nitrophenyl phosphate for assay of soil
2015). phosphatase activity. Soil Biolpgy and
Karomah, L. 2015. Struktur Eksternal Sel Bakteri. Biochemistry 1, 301-307.
http://hariansains.web.unej. Vassilesa, M., Vassilev, N. and Azcon, R. 1998.
ac.id/2015/02/28/struktur-eksternal-sel- Rock phosphate solubilization by Aspergillus niger
bakteri/. (Diakses pada tanggal 22 Juni 2015). on olive cake-based medium and its further
Pelczar, M. J. 2010. Dasar-Dasar Mikrobiologi. application in a soil-plant system. World Journal
Universitas Indonesia. Jakarta. of Microbiology & Biotechnology 14, 281-284.
Rofi’i, F. 2009. Hubungan Antara Jumlah Total Yulianti, N.F.E. 2013. Aktivitas Antibakteri dan
Bakteri dan Angka Katalase Terhadap Daya Bioautografi Fraksi Etil Asetat Ekstrak Aseton
Tahan Susu. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Kulit Buah Kakao (Theobroma cacao L.) terhadap
Bogor. Steptococcus mutans dan Bacillus subtilis. Naskah
Santosa, E. 2007. Mikroba Pelarut Fosfat. Metode Publikasi. Universitas Muhammadiyah
Analisis Biologi Tanah. Balai Besar Litbang Surakarta. Surakarta.
Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian. Bogor. pp. 39-52.
http://jtsl.ub.ac.id