Professional Documents
Culture Documents
Bab Ii Manusia Dan Kehidupan
Bab Ii Manusia Dan Kehidupan
َ َ أ َ ُ َ َ َ َ ه ُ ه َ أ َ َ َ َ َ أ َ َ َ َ َ ُّ أ َ َ َ أ أ َ َ َ أ َ َ ه
َّللا ِإل أي َك َوَل ت أب ِغ ال َف َس َاد ِفي َو أاب َت ِغ ِفيما ءاتاك َّللا الدار اْل ِخرة وَل تنس ن ِصيبك ِمن الدنيا وأح ِسن كما أحسن
َ َّللا ََل ُيح ُّب أاَلُ أفسد َأ
َ اْل أرض إ هن ه
ين ِ ِ ِ ِ ِ
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-
Qashshash : 77)
Ayat ini menjelaskan bahwa ajaran islam mengajurkan manusia mengejar
kenikmatan dunia sekaligus kenikmatan akhirat. Keterpautan dunia-akhirat
terungkap dari firman-Nya “... berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan di bumi”Artinya, bahwa kenikmatan dunia akhirat itu harus diperoleh
dengan cara-cara yang suci. Selanjutnya, lebih jelas lagi bisa dilihat dari hadis Nabi
SAW.
َ َ ََ ُ اك َك َأ هن َك َت ِع أي
ش َا َب ًدا َو أ َ إ أع َم أل ل ُد أن َي
اع َم أل ِْل ِخ َرِت َك كأ هن َك ت ُم أو ُت غ ًدا ِ ِ
Bekerjalah untuk urusan duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya dan
bekerjalah untuk urusan akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok.
Orang mukmin adalah mereka yang menyembah Tuhannya, bermunajat
kepada penciptanya di manapun, baik dilokasi kerja, perdagangan, pabrik, ladang, di
tengah-tengah kehidupan masyarakat, senantiasa mendekat kepada Allah dalam
pergaulannya, akhlaknya terhindar dari rakus dan tamak dan tetap menjaga
kesalehan amal. Amal shaleh tidak terbatas pada ibadat, seperti shalat, puasa, dzikir
merenungkan alam semesta, tetapi mencakup semua kebaikan di dunia dan semua
yang baik bagi diri, keluarga dan masyarakat. Namun demikian, Al-Qur’an tetap
mengingatkan agar tidak menempatkan dunia sebagai orientasi utama.
Beramal untuk dunia dan akhirat dalam terma syariat Islam, juga ada
timbal balik secara bersamaan. Balasan perbuatan terjadi di dunia juga di akhirat.
Balasan itu adalah : pahala dan siksa, kebahagiaan dan kesengsaraan, ketenangan
dan kekisruhan. Demikianlah, bahwa syariat Islam menghendaki kompromi antara
kehidupan dunia dan akhirat, antara amal untuk dunia dan amal untuk akhirat, itu
semua demi kebahagiaan manusai, di dunia maupun di akhirat kelak.
16
Quraisy Shihab, Tafsir Al Misbah, Vol. 1 (2002) hal 439
Di bawah ini karakteristik orang yang berorientasi hanya kehidupan
dunia:
a. Obsesinya hanya mengejar kenikmatan dunia, baik berupa wanita, anak,
harta benda (Seperti: emas, perak, kendaraan, binatang ternak, sawah,
ladang da lain-lai), karena kenikmatan dunia itu merupakan daya tarik bagi
mereka.
b. Bertambahnya ambisi untuk memperbanyak kesenangan hidup duniawi
manakala melihat orang lain memiliki kekayaan di atas dirinya.
c. Merasa senang dengan apa yang diperoleh dari kesenangan duniawi.
d. Merasa berat dan ogah-ogahan jika diajak berjuang di jalan Allah.
e. Memandang kehidupan dunia sebagai satu-satunya kehidupan dan dunia
adalah segala-galanya.
2. Orientasi hidup yang salah
Allah tidak menghendaki kehidupan dunia yang dilakukan oleh manusia
sangat memberatkan, bahkan sebaliknya yang dikehendaki Allah adalah
kehidupan yang mudah. Untuk itu, Allah memberi petunjuk kepada manusia
pada jalan yang harus dilaluinya, sebagaimana firman Allah Swt:
⬧ ◼⧫
⧫✓⧫
“tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. (Al-Baqarah/2: 256)
17
UMM, Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, UMMPRESS (Malang: 2012). Hal .24-33
Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl/16: 97)
C. MISI, FUNGSI DAN TANGGUNG JAWAB MANUSIA
Manusia dalam kaitan tugas dan peranan hidupnya di dunia disebutkan Al-
Qur’an dengan istilah tugas kekahalifahan. Khalifah berarti wakil atau pengganti
yang memegang kekuasaan. Manusia menjadi khalifah di bumi yang memegang
mandat Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran. Kekuasaan yang diberikan kepada
manusia bersifat kreatif yang memungkinkan manusia mengolah serta
mendayagunakan segala yang ada untuk kepentingannya. Sebagai wakil Tuhan,
maka Tuhan mengajarkan kepada manusia kebenaran-kebenaran dalam segala
ciptaan-Nya, dan melalui pemahaman serta penguasaan terhadap hukum-hukum
kebenaran yang terkandung dalam ciptaan-Nya, maka manusia dapat menyusun
konsep-konsep serta melakukan rekayasa-rekayasa membentuk wujud baru dalam
alam kebudayaan.
Kekuasaan manusia sebagai wakil Tuhan dibatasi aturan-aturan dan
ketentuan-ketantuan yang telah digariskan dari yang diwakilinya, yaitu hukum-
hukum Tuhan, baik yang tertulis dalam kitab suci maupun tersirat dalam kandungan
alam semesta. Seorang wakil yang melanggar batas ketentuan yang diwakilinya
adalah wakil yang mengingkari kedudukan dan peranannya serta menghianati
kepercayaan yang diwakilinya. Oleh karena itu akan dimintai pertanggungjawaban
terhadap penggunaan kewenanngannya itu di hadapan yang diwakilinya. Firman
Allah SWT:
َ ه ُ َ َ َ َ َ ُ أ َ َ َ أ َأ َ َ أ َ َ َ َ َ َ أ ُ أ ُ ُ ََ َ ُ أ َُ ه
ين ك أف ُر ُه أم ِع أن َد َ ِرب ِه أم ِإَل َم أق ًتا َوَل َي ِز ُيد
ض فمن كفر فعلي ِه كفره وَل ي ِزيد الكا ِف ِر
ِ هو ال ِذي جعلكم خَل ِئف ِفي اْلر
َ ه ُ َ َأ
ين ك أف ُر ُه أم ِإَل خ َس ًارا
الكا ِف ِر
Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang
kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-
orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi
Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan
menambah kerugian mereka belaka. (QS. Fathir : 39)
ات َس َو ًاء َم أح َي ُاه أم َو َم َم ُات ُه أم َس َاء َما َ ين َءا َم ُنوا َو َعم ُلوا ه َ السي َئات َأ أن َن أج َع َل ُه أم َك هالذ ُ َه َ أ َ
ِ الص ِالح ِ ِ ِ ِ ح ِس َب ال ِذين اجت َرحوا ه
ََ أ َ ُ َ أ ُ ُ َ َ َ َ َ ه ُ ه َ َ َ أ َأ َ أ
ض ِبال َح ِق َوِل ُت أج َزى ك ُّل َن أفس ِب َما ك َس َب أت َو ُه أم َل ُيظل ُمو َن ِ وخلق َّللا السمو،يحكمون
ات واْلر
Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan
menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang
saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa
yang mereka sangka itu. Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan
yang benar dan agar dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya, dan
mereka tidak akan dirugikan. (QS. Al-Jatsiyah : 21-22)
Disamping peran dan fungsi manusia sebagai khlaifah Allah, ia juga adalah
hamba Allah. Seorang hamba berarti orang yang taat dan patuh kepada perintah
tuannya Allah SWT. Esensi dari ’Abd adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan.
Ketaantan, ketundukan dan kepatuhan manusia itu hanya layak diberikan kepada
Allah yang dicerminkan dalam ketaatan, kepatuhan dan ketundukan kepada
kebenaran dan keadilan.
Dalam hubungan manusia dengan Tuhan, manusia menempati posisi
sebagai ciptaan, dan Tuhan sebagai pencipta. Posisi ini memiliki konsekwensi
adanya keharusan manusia untuk taat dan patuh kepada penciptanya. Keengganan
manusia menghambakan diri kepada Allah akan mengakibatkan ia menghamba
kepada dirinya ; menghamba kepada hawa nafsunya. Kesediaan manusia untuik
menghamba hanya kepada Allah dengan sepenuh hati akan mencegah
penghambaan manusia terhadap manusia, baik dirinya maupun sesamanya.
Mencapai tingkat ‘abd merupakan upaya perjuangan yang terus menerus,
karena manusia sendiri memiliki sifat-sifat yang di samping secara fitrah telah
dibekali dengan potensi cenderung ke arah kebaikan (perasaan agama), tetapi di
pihak lain, karena dorongan nafsu, potensi kejahatan (fujur) yang dimilikinya dapat
berkembang dan menghambat perjalanan kehanifannya. Hambatan itu timbul
karena adanya ketidakseimbangan dalam penggunaan potensi yang dimilikinya yang
berkembang merugikan dirinya. Karena sifat-sifat itulah derajat manusia meluncur
jatuh ketingkat yang paling rendah, bahkan lebih rendah dari binatang seperti
firman-Nya :
َ َ ُ َ َ َ َ ََ أ ََأَ أ أ
ث هم َر َد أدن ُاه أ أس َف َل َسا ِف ِل َين،ان ِفي أ أح َس ِن ت أق ِويم اْلنس
ِ لقد خلقنا
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), (QS.
At-Tiin : 4-5)
Kedudukan manusia di muka bumi sebagai khalifah dan juga sebagai
hamba Allah, bukanlah dua hal yang bertentangan tetapi merupakan suatu
kesatuan yang padu dan tak terpisahkan. Kekhalifahan adalah realisasi dari
pengabdiannya kepada Allah yang menciptakannya. Dengan uraian ini, menjadi
jelaslah bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki fitrah kemudian berproses
dengan menggunakan kapasitas dan kemampuan akalnya, dapat menunjukkan
derajat kemanusiannya yang sejati sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Manusia dapat memikirkan dan mencermati hukum-hukum alam ciptaan
Allah yang akan melahirkan ilmu pengetahuan untuk dipergunakan dalam rangka
mengelola dan memakmurkan alam secara kreatif, didasari dengan nilai-nilai
ilahiyah. Sebagai basyar, ia adalah hamba yang tunduk dan taat kepada kekuasaan
dan kekuatan Allah. Dengan demikian, manusia sebagai khalifah dan hamba Allah
merupakan kesatuan yang menyempurnakan nilai kemanusiaannya sebagai
makhluk Allah yang memiliki kebebasan berkreasi dan sekaligus menghadapkannya
kepada tuntunan kodrat yang menempatkan posisinya kepada keterbatasan.
Konsep basyar dan insan yang telah dijelaskan panjang lebar ini,
merupakan konsep Islam tentang manusia sebagai individu. Sedangkan dalam
hubungan sosial, Al-Qur’an memberi istilah an-nas, bentuk jamak dari katan insan.
Perwujudan kualitas keinsanan manusia ini tidak terlepas dari konteks sosial, atau
dengan kata lain kekhalifahan manusia pada dasarnya diterapkan pada konteks
individu dan sosial yang berporos pada Allah. Seperti dalam firman-Nya :
َ
ض ِرَب أت َعل أي ِه ُمُ ضب م َن هَّللا َو َ ضرَب أت َع َل أيه ُم الذ هل ُة َأ أي َن َما ُثق ُفوا إ هَل ب َح أبل م َن هَّللا َو َح أبل م َن ال هناس َو َب ُاءوا ب َغُ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ َ َ َ َ َ َ ه َ َ أ ُ ُ َ أ َأ َ َ َ أ َ ُ أَ َ َ ُ َ َ َه َ ُ أ
ص أوا َوك ُانوا َي أع َت ُدو َن َّللا ويقتلون اْلن ِبياء ِبغي ِر حق ذ ِلك ِبما ع ِ ات ِ اَل أسكنة ذ ِلك ِبأن ُه أم كانوا َيكف ُرون ِب َآي
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka
berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan
mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan.
Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para
nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan
melampaui batas. (QS. Ali Imran : 112)
Dapat dipahami dari ayat ini, bahwa kualitas kemanusiaan amat
bergantung pada kualitas dan intensifitas komunikasi dengan Allah SWT, melalui
ibadah sekaligus kualitas interaksi sosial melalaui mu’amalah yang dilakukan. Bila
dua parameter kualifikasi (tugas hamba dan khalifah) ini telah dicapai, maka akan
terwujud manusia-manusia sebagaimana dicita-citakan, yakni insan kamil (manusia
sempurna). Tentang pembahasan ini lebih sitematis bisa dilihat pada skema berikut.
18
Abdullah bin Muhammad bin Muhammad Alu Syaikh,Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir Jilid I,.(Jakarta:
Tim Pustaka Imam Syafi’, 2012), hal. 396
19
Abdullah bin Muhammad bin Muhammad Alu Syaikh,Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir Jilid I,.(Jakarta:
Tim Pustaka Imam Syafi’, 2012), hal. 397
20
Quraisy Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 1. (2006). Hal 440
yang sabar, berarti ia telah diberi kebaikan di dunia dan kebaikan di akherat
serta dilindungi dari azab Neraka. Oleh karena itu Rasulullah mengajurkan doa’
tersebut di atas. Senantiasa menyisipkan do’a tersebut dalam do’a-do’a yang
lainnya.
Rasulullah pernah menjenguk seorang Muslim yang sakit sangat lemah
seperti anak burung, lalu beliau bertanya kepadanya: “Apakah engkau berdo’a
kepada Allah atau memohon sesuatu kepada-Nya?” Ia menjawab :”Ya, aku
mengucapkan;”Ya Allah jika Engkau menetapka siksaan kepadaku di akherat,
timpakan saja kepadaku lebih awal di dunia.” Maka Rasulullah bersabda
:”subhanallah, kamu tidak akan kuat atau tidak akan sanggup menerimanya.
Mengapa engkau tidak mengucapkan:
اب هَ اْلخ َرة َح َس َن ًة َو ِق َنا َع َذ َ ً َ َ َ َ ُّ أ َ َه
٢٠١- الن ِار ِ ِ َربنا آ ِتنا ِفي الدنيا حسنة و ِفي
Maka ia pun memanjatkan do’a tersebut kepada Allah, dan Allah pun
menyembuhkannya. (Al-Baqarah/2: 201)
Hidup di dunia memang sudah sunatullah, Allah pasti akan menguji
hamba-hamba-Nya dengan adanya perintah dan larangan, senang dan susah,
sempit dan luas, sengsara dan bahagia. Ujian paling berat adalah ujian yang
dihadapi oleh para nabi dan Rasul.Nabi Ibrahim diuji menghadapi Raja
Namrud.Nabi Ibrahim dan Siti Sarah diuji dengan lamanya tidak memiliki anak,
oleh karena ketulusan dari istrinya, Ibrahim disuruh menikah dengan budaknya
yaitu Siti Hajar.Nabi Ibrahim kemudian dikaruniai anak Ismail, setelah mulai
besar, Allah menguji lagi untuk menyembelih anaknya.Semua rangkaian ujian
yang dihadapi, menjadikan Ibrahim sukses dalam kehidupan dunia dan akherat.
Ujian yang Allah berikan adalah untuk menguji dan sebagai tanda cinta kepada
hamba-hamba-Nya, siapa diantara mereka yang lulus dan siapa diantar mereka
yang tidak.
Meski manusia telah berupaya secara maksimal dalam
menyeimbangkan keduanya (kehidupan dunia dan akhirat), namun tidak dapat
dipungkiri lagi bahwa keterbatasan manusia dalam memahami hakikat dirinya
dengan segala keterbatasannya sangat sulit untuk menggapai keduanya.Oleh
karena itu, yang dapat dilakukan oleh seseorang adalah lebih bersyukur kepada
Allah dengan segala sesuatau yang telah diberikan kepada-Nya. Hal ini
nampaknya akan berlaku bagi orang-orang yang memahami dan tahu diri, mau
dan mampu menggunakan akal fikirannya secara sehat. Sebaliknya, bagi orang-
orang yang enggan untuk memahaminya, maka ia kan merasakan biasa-biasa
saja atau lebih condong untuk mengingkarinya, yang selanjutnya akan
berdampak pada pengalaman ajaran agama yang diikutinya.
Oleh karena itu, maka beberapa cara yang dapat dilakukan oleh
seseorang untuk meraih keseimbangan duniawi dan ukhrawi, yaitu:
a. Memahami makna hidup, bahwa setiap manusia hidup dimuka bumi tidak
lepas dengan memilih jalan hidupnya, ada jalan menuju kebenaran dan
jalan menuju kesesatan.
b. Memahami al-Qura’an sebagai petunjuk yang memberikan rambu-rambu
kepada manusia, kemana dan dimana jalan yang dapat dilaluinya untuk
meraih keseimbangan duniawi dan ukhrawi. Begitu juga dengan meraih
jalan yang dilarang dalam al-Qur’an, sebagaimana firman Allah dalam QS.
Al-An’am/6: 153.
ُ َ َ ُّ ُ أ َ ً َ ه ُ ُ َ َ َ ه ُ أ َ َ ََ ه
الس ُب َل ف َت َف هرق ِبك أم َعن َس ِب ِيل ِه اطي مست ِقيما فات ِبعوه وَل تت ِبعوا رَ
ِ ِ وأن ه
ص ا ـذ
َ َ َُ ه ُ َ ُ أ َ ه
-١٥٣- صاكم ِب ِه ل َعلك أم ت هت ُقون ذ ِلكم و
“dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka
ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena
jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu
diperintahkan Allah agar kamu bertakwa”.
c. Mengasah kepekaan hati masing-masing, sebagai penasehat yang diberikan
Allah agar memilki signal yang kuat ketika akan membuka salah satu pintu
kesesatan. Selanjutnya hati akan mengingatkan diri kita masing-masing
untuk tidak membuka dan melakukan sesuatu hal yang menjuruskan diri
kita masing-masing pada kesesatan. Agar signal kepekaan hati tetap
bercahaya, maka dibutuhkan ketaatan kepada Allah pada masing-masing
individu. Sebaliknya, signal kepekaan hati itu akan redup atau tidak bersinar
dalam pribadi seseorang, manakala kemaksiatan dan dosa sering
dilakukannya.
d. Menghindari atau menepis perbuatan yang mengarah pada kemaksiatan
atau dosa, bahwa orang yang sering atau bahkan banyak melakukan
kemaksiatan dan dosa akan berdampak pada mata hatinya tidak becahaya,
sehingga tidak memberikan signal bahaya terhadap dosa dan kemaksiatan
yang dilakukannya. Sebagai contoh, orang yang taat kepada Allah akan
merasa gelisah bila melakukan perbuatan dosa dan kemaksiatan dan segera
bertaubat kepada Allah. Sebaliknya, orang yang banyak melanggar aturan
Allah, dengan enak dan santai bahkan meraa senang dan bahagia jika
melakukan perbuatan dosa atau kemasksiatan. 21
2. Memilki keseimbangan antara Iman, Ilmu Pengetahuan dan kepekaan
Emosional
Dampak negatifnya dari memishkan antar iman, ilmu, dan kepekaan
emosional terhadap pribadi seseorang, Maka akan melahirkan pribadi-
pribadi:
a. Seeorang yang mengandalkan ilmu pengetahuan yang luas, tetapi
lemah iman dan kepekaan emosional, maka akan terjadi ketimpangan
dan membuat hidupnya dalam keadaan frustasi. Orang seperti ini akan
mengalami pribadi yan pecah dan sangat menyedihka, kemungkinan
kehidupannya sebagai manusia yang egois (ananiah), bengis dan kejam
terhadap orang lain, sehingga sangat membahayaka bagi keselamatan
21
UMM, Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, UMMPRESS (Malang: 2012). Hal . 36-38
lingkungan. Pribadinya yang pecah seperti ini sering kali temukan
ditengah masyarakat yang sebaian besar orang-orang berilmu, tapi haus
akan iman. Orang seperti ini biasanya sukar dipercaya ucapannya, lebih-
lebih terkait dengan komitmen dan pendiriannya. Ia mungkin bijak kalau
bicara, menguasai paparan ilmunya, dan terampil dalam
mengaplikasikan ilmunya, tapi kehidpannya tanpa landasan yang kuat.
Dan kalau toh kebetulan ia jujur, maka kejujurannya hanya dilandaskan
rasa takut kepada atasannya, sehingga kejujurannya hanya dilandaskan
rasa takut kepada atasannya, sehingga kejujuran itu sangat rapuh oleh
cobaan dan ujian kesetiaan. Begitu juga kalau ia teampil pada skill yang
dibidangi, maka ia dengan mudah diperalat oleh orang-orang yang
memiliki kekuasaan. Figur-figur semacam ini dengan mudah sekali
diperalat dan dipermainkan oleh orang-orang yang kurang bahkan tidak
bertanggungjawab.
b. Seseorang yang memiliki iman dengan keyakinan yang kukuh,
sedangkan ilmunya tidak berkembang dan kepekaan emosional sangat
rendah. Orang seperti ini akan mengalami hidup seperti orang yang
tidak mampu berbuat sesuatu , karena itu ia menjadi jumud, ekslusif,
bahkan kurang toleran terhadap pemikiran orang lain, sehingga besar
kemungkinan berwatak atau merasa benar sendiri pendapatnya,
sedangkan pendapat orang lain disalahkan.
c. Seseorang yang kepekaan sosialnya kuat, namun tidak didasari dengan
iman dan ilmu. Kemunginan besar orang ini dalam kehidupannya
serampangan, mengingat energi dalam menggerakan dirinya luar biasa
besarnya, namun tidak memperhatikan da perhitungan segi positif da
negatifnya. 22
22
UMM, Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, UMMPRESS (Malang: 2012). Hal . 41-42